Disusun Oleh:
030.12.075
Pembimbing:
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul
"Penatalaksanaan 5 Pasien Demam Pada Anak" dengan baik dan tepat waktu. Presentasi
kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan
kepaniteraan klinik ilmu penyakit anak di RSUD Budhi Asih.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Widagdo, Sp. A sebagai
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada keluarga dan rekan-rekan sejawat yang telah memberikan dukungan, saran, dan kritik
yang membangun. Keberhasilan penyusunan laporan kasus ini tidak akan tercapai tanpa
adanya bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak-pihak tersebut.
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................169
BAB I
PENDAHULUAN
Demam adalah suatu tanda bahwa tubuh sedang melawan infeksi atau bakteri yang
berada di dalam tubuh. Demam juga biasanya menjadi pertanda bahwa sistem imunitas anak
berfungsi dengan baik (Nurdiansyah, 2011). Demam bukan merupakan penyakit melainkan
reaksi yang menggambarkan adanya suatu proses dalam tubuh. Saat terjadi kenaikan suhu,
tubuh bisa jadi sedang memerangi infeksi sehingga terjadi demam atau menunjukan adanya
proses inflamasi yang menimbulkan demam (Arifianto, 2012). Protokol Kaiser Permanente
Appointment and Advice Call Center mendefinisikan demam yaitu temperatur rektal diatas
38°C, aksilar 37,5°C dan diatas 38,2°C dengan pengukuran membrane tympani. Sedangkan
dikatakan demam tinggi apabila suhu tubuh >41°C (Kania, 2010). Demam pada anak terjadi
ketika suhu tubuh anak diatas 38°C (Arifianto, 2012). American Academy of Pediatrics
(AAP) menyebutkan bahwa demam sering terjadi pada anak usia sekolah yaitu 5-11 tahun
yang disebabkan oleh infeksi virus seperti batuk, flu, radang tenggorokan, common cold
(selesma) dan diare. Disamping itu juga anak usia sekolah merupakan kelompok rentan untuk
terjadinya kasus kesehatan gigi dan mulut. Karies gigi pada anak usia sekolah menempati
posisi cukup tinggi, yaitu dari 100 anak yang melakukan pemeriksaan kesehatan gigi dan
mulut, hanya 10 anak yang terbebas dari karies gigi yang biasanya menyebabkan rasa
sakit/nyeri serta demam (Depkes RI, 2000, Susanto, 2007).
Penanganan pertama demam pada anak dapat berupa terapi farmakologi dan terapi
non farmakologi. Terapi farmakologi yang digunakan biasanya adalah berupa memberikan
obat penurun panas, sedangkan terapi non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu
mengenakan pakaian tipis, lebih sering minum, banyak istirahat, mandi dengan air hangat,
serta memberi kompres (Saito, 2013). Tindakan kompres yang dapat dilakukan antara lain
kompres hangat basah, kompres hangat kering dengan larutan obat antiseptik, kompres basah
dingin dengan dengan air biasa dan kompres dingin kering dengan kirbat es atau kantung
untuk mengompres (Asmadi, 2008).
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN 1
Identitas
Agama : Islam
Pendidikan :-
Alamat : Jl. Menteng Rawa Jelawe 09/11 RT/RW: 09/11, kelurahan Pasar
Manggis, kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Orang Tua/Wali
Ayah Ibu
0 ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung dan ayah kandung pasien di
bangsal Emerald barat pada tanggal 5 September 2017 pukul 06.00 WIB.
Keluhan tambahan : Bintik kemerahan di seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit.
0 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan keluhan demam
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul mendadak dan terus-menerus. Pasien
juga mengeluh adanya batuk dan pilek sejak 4 hari SMRS, batuk disertai dengan dahak yang
sulit keluar. Ibu pasien mengatakan 4 hari terakhir mata pasien terlihat merah danbtampak
banyak kotoran. Pasien juga tampak rewel dan lebih sering menangis.
Pada tubuh pasien juga didapatkan bintik kemerahan yang menyebar dimulai dari
leher dan menjalar ke seluruh tubuh yang timbul pada hari ketiga demam dimana demam
semakin meningkat pada saat awal timbulnya ruam. Tidak terdapat penurunan nafsu makan.
Pasien mengeluh adanya BAB cair sejak 3 hari yang lalu, BAB cair 2 kali dalam 24 jam
terakhir berwarna kuning kecoklatan, terdapat lendir dan tidak terdapat darah. Keluhan
muntah disangkal. Buang air kecil normal seperti biasanya, tidak ada penurunan dari
frekuensi dan banyaknya. Ibu pasien mengatakan tidak terdapat penurunan berat badan, berat
badan saat diperiksa di rumah sakit sesuai dengan berat badan pasien saat dirumah.
Sebelumnya kurang lebih 2 minggu yang lalu kakak pasien dirawat di RS Tebet dengan
diagnosis campak, lalu kakak pasien pulang dan tinggal bersama lagi dengan pasien setelah
dinyatakan sembuh.
0 Riwayat Perkembangan
2 Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +
0 Riwayat Imunisasi
3 Riwayat Keluarga
Jenis Lahir Mati Keterangan
No Usia Hidup Abortus
kelamin mati (sebab) kesehatan
1 tahun
2 Laki-laki + - - - Pasien
11 bulan
Kesimpulan corak reproduksi : Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, ibu
tidak pernah mengalami keguguran ataupun kematian anak.
b. Riwayat Pernikahan
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 1 1
Kosanguinitas - -
Kesimpulan Riwayat Keluarga : Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang
menderita gejala atau penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.
A. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua dan kakak pasien. Lingkungan rumah
pasien padat, ventilasi dan pencahayaan cukup. Untuk kebutuhan sehari – hari menggunakan
air tanah dan minum dari air galon. Kakak pasien baru dirawat dari RS Tebet dengan
diagnosis campak dan saat ini telah pulang dan tinggal bersama dengan pasien.
Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Keadaan lingkungan rumah pasien saat ini
kurang baik karena kakak pasien baru dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama.
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswatsa dengan pendapatan kurang lebih 3 juta per bulan.
Ibu pasien adalah ibu rumah tangga.
0 PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi kurang
DATA ANTROPOMETRI
Lingkar Kepala : 46 cm (-2SD)
Lingkar Lengan Atas : 12 cm
Berat Badan sekarang : 8,4 kg
Tinggi Badan : 75 cm
STATUS GIZI
BB/U = 8,4/12,4 x 100% = 67,74%
TB/U = 75/84 x 100% = 86,20%
BB/TB = 8,4/10,2 x 100% = 82,35%%
Kesimpulan status gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan
kesan gizi kurang.
TANDA VITAL
Nadi : 122x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 37,60C
SPO2 : 98%
Kepala : Normosefali
Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka, ataupun jaringan parut
Mata :
Visus : Tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophtalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Oedem : -/- Sekret : +/+
Injeksi konjungtiva : +/+
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Telinga :
Mulut : Trismus (-), oral hygiene baik, halitosis (-), mukosa gigi berwarna merah
muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan
mukosa palatum berwarna merah muda, bercak koplik (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-), detritus (-), dinding posterior faring
hiperemis(+) arcus faring tidak hiperemis, uvula terletak ditengah.
Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba
pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening.
Thoraks
Jantung
Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi :Bentuk thoraks simetris, gerak dinding dada simetris kanan dan kiri,
tidak tampak pernapasan cepat, retraksi intercostal (-) retraksi
subcostal (-) retraksi suprasternal (-) ruam (+) makula papul eritema.
Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus normal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Warna kulit sawo matang, tidak tampak distensi , ruam(+) makula
papul eritema, kulit keriput (-), umbilikus normal, gerak dinding perut
saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien tidak
teraba membesar, acites (-)
Ekstremitas :
Inspeksi : Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan
kaki, serta sikap badan, sianosis (-), edema (-), ruam (+) pada keempat
ekstremitas berupa makula papul eritema.
Palpasi : akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-), edema (-) pada
kedua tungkai, capillary refill time <2 detik.
Kulit : Warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak lembab,
terdapat makula papul eritema pada seluruh tubuh.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan keluhan demam
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul mendadak, terus-menerus dan
bertambah parah. Pasien juga mengeluh adanya batuk dan pilek sejak 4 hari SMRS, batuk
disertai dengan dahak yang sulit keluar. Pasien juga tampak rewel dan lebih sering menangis.
Pada tubuh pasien juga didapatkan bintik kemerahan yang menyebar dimulai dari leher dan
menjalar ke seluruh tubuh. Pasien mengeluh adanya BAB cair sejak 3 hari yang lalu, BAB
cair 2 kali dalam 24 jam terakhir berwarna kuning kecoklatan, terdapat lendir dan tidak
terdapat darah. Pasien mengeluh terdapat banyak kotoran pada mata pasien. Sebelumnya
kurang lebih 2 minggu yang lalu kakak pasien dirawat di RS Tebet dengan diagnosis campak,
lalu kakak pasien pulang dan tinggal bersama lagi dengan pasien setelah dinyatakan sembuh.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang, compos mentis, kesan status status
gizi kurang menurut CDC. Nadi : 122x/menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular,
pernapasan :24x/menit, Suhu : 37,60C, SPO2: 98%. Pada pemeriksaan status generalisata
didapatkan tampak banyak kotoran pada ujung mata pasien dan injeksi konjungtiva pada
kedua mata pasien. Terdapat faring hiperemis, pada pemeriksaan kulit didapatkan makula
papul eritema pada seluruh tubuh. Pada pemeriksaan laboraturium didapatkan semua dalam
batas normal.
V. TATALAKSANA
Non- Medikamentosa
- Rawat inap
- Diet pada gizi kurang sesuai berat badan ideal
Medikamentosa
- IVFD KAEN 1B 3cc/mg/kgbBB
- Ambroxol 3 x 15mg
- Salbutamol 3 x 1,5mg
- Vit A 200.000 ui (2hari)
- Paracetamol 3 x 100mg
- Probiokid 1 x 1 sachet
- Zinkid 1x1
VI. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : bonam
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN 2
Nama : An. B
Umur : 5 tahun
Agama : Islam
Ayah Ibu
Pendidikan : S1 Pendidikan : S1
1 ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu pasien pada tanggal 11 Juli 2017 pukul
11.00 WIB.
• Keluhan Utama
Demam sejak 5 hari SMRS
• Riwayat Penyakit Sekarang
D. Riwayat Perkembangan
- Pertumbuhan gigi I : 9 bulan (Normal: 5-9 bulan)
- Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
- Psikomotor :
Tengkurap : 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : 9 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 11 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 14 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Bicara : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Membaca dan menulis : 4 tahun (Normal : 4-5 tahun)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Tidak terdapat
keterlambatan perkembangan pasien, baik sesuai usia .
E. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 PASI - - -
4–6 PASI + + -
6–8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +
F. Riwayat Imunisasi
H. Riwayat Pernikahan
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 1 1
Kosanguinitas - -
Kesimpulan Riwayat Keluarga : Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang
menderita gejala atau penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.
H. Riwayat Lingkungan
Keadaan rumah : tidak padat penduduk, sanitasi baik,
ventilasi baik, pencahayaan baik dan sumber air
minum dari aqua galon.
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswatsa dengan pendapatan kurang lebih 5 juta per
bulan. Ibu pasien adalah ibu rumah tangga.
Kesimpulan sosial ekonomi : Cukup
K. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi kurang
DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan sekarang : 18 kg
Tinggi Badan : 105 cm
Lingkar Kepala : 52 cm
Lingkar dada : 54 cm
Lingkar lengan atas : 14 cm
Kesimpulan status gizi : kesan gizi baik.
TANDA VITAL
0 Tekanan darah : 90/60 (diukur di lengan kiri)
1 Nadi : 110x/ menit (regular, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri)
2 Pernapasan : 22 x/ menit
3 Suhu : 38,2o C
Kepala : Normosefali, tidak ada jejas, tidak ada luka, nyeri kepala (+)
Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka, ataupun jaringan parut
Mata :
Visus : Tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophtalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Oedem : -/- Sekret : +/+
Injeksi konjungtiva : +/+
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Telinga :
Hidung :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
Mulut : Trismus (-), oral hygiene baik, halitosis (-), mukosa gigi berwarna merah
muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan
mukosa palatum berwarna merah muda, bercak koplik (-)
Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba
pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening.
Thoraks
Jantung
Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi :Bentuk thoraks simetris, gerak dinding dada simetris kanan dan kiri,
tidak tampak pernapasan cepat, retraksi intercostal (-) retraksi
subcostal (-) retraksi suprasternal (-) ruam (+) makula papul eritema.
Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus normal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, datar, warna sawo matang, tidak terdapat striae tidak terdapat
pelebaran vena
Auskultasi : Bising usus positif 3x/menit
Perkusi :
- Batas bawah hepar setinggi ICS 7 linea midclavicularis kanan dengan Suara pekak
- Shifting dullness (-)
Palpasi :
- Supel, tidak teraba massa, turgor kulit baik
- Nyeri tekan epigastrium (+)
- Tidak teraba pembesaran hepar baik lobus kanan maupun lobus kiri
- Tidak teraba pembesaran lien
- Ballottement negatif pada ginjal kanan dan kiri undulasi (-)
Ekstremitas :
Ekstremitas Atas
Inspeksi : bentuk normal
Palpasi : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT < 3”
Ekstremitas Bawah
Inspeksi : bentuk normal, tampak bintik merah kehitaman gigitan nyamuk (+)
Palpasi : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT < 3”
Tulang Belakang :
Bentuk normal, lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-), gibus (-), massa (-) nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis
Kejernihan: agak keruh
Hematologi
Eritrosit: 5,8 juta/UL
Trombosit: 192 ribu/UL
Hematologi
Malaria: P. Falciparum stadium schizon
IV. RESUME
Pasien an. B laki-laki 5 tahun datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan
keluhan demam 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam naik turun, disertai mual (+),
muntah (+) dan sakit kepala. Pasien juga mengeluh batuk kering. BAK seperti teh. Riwayat
perjalanan ke Bima, NTB selama 4 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
epigastrium dan bintik merah kehitaman gigitan nyamuk pada ekstremitas. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan urinalisis kejernihan: agak keruh, eritrosit: 5,8 juta/UL, trombosit: 192
ribu/UL, Malaria: P. Falciparum stadium schizon.
2 DIAGNOSIS KERJA\
Malaria
3 PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan mikroskopis darah
4 TATALAKSANA
Non- Medikamentosa
- Rawat inap
Medikamentosa
- IVFD Kaen IB 3cc/KgBB/Jam
- Clanexy syr 2x250mg
- DHP 1x1 tab
- Primakuin 1x3/4 tab
PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
Nama Mahasiswa: Diah Quratun A Pembimbing: Prof. Dr. H.Widagdo SpA MBA
NIM : 030.12.075 Tanda tangan :
IDENTITAS PASIEN 3
Nama : An. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 3 tahun 4 bulan
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 13 Mei 2014
Suku bangsa : Betawi
Agama : Islam
Pendidikan :-
Alamat : Jl. Tebet Barat Dalam 7B No. 26, Jakarta Selatan
Ayah Ibu
Nama : Tn. A Nama : Ny. S
Umur : 24 Umur : 24
Pekerjaan : Wirausaha Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : S1 Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Betawi Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Jl. Tebet Barat Alamat : Jl. Tebet Barat
Dalam 7B No. 26, Jakarta Selatan Dalam 7B No. 26, Jakarta Selatan
D. Riwayat Perkembangan
- Pertumbuhan gigi I : 8 bulan (Normal: 5-9 bulan)
- Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
- Psikomotor :
Tengkurap : 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : 9 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 11 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 15 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Bicara : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
- Perkembangan pubertas :-
E. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI - + +
8 – 10 ASI - + +
10 -12 ASI - + +
3 4
Hepatitis B Lahir 2 bulan
bulan bulan
BCG 1 bulan
Campak 9 bulan
7 Riwayat Keluarga
a. Corak Reproduksi
Tanggal
Jenis Lahir Mati Keterangan
No lahir Hidup Abortus
kelamin mati (sebab) kesehatan
/Usia
1. 2014 Laki-laki + - - - Sehat
8 Riwayat Pernikahan
Ayah Ibu
Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama seperti
yang dialami oleh pasien.
9 Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua. Rumah merupakan rumah sendiri,
dua lantai, beratap genteng, berlantai keramik, dan berdinding tembok. Ventilasi dan
pencahayaan baik. Sumber air bersih dari air PAM. Air yang dikonsumsi direbus
hingga mendidih. Rumah pasien terletak di kawasan penduduk yang padat. Kedua
orang tua pasien menguras dan menutup sumber air seminggu sekali. Baik anggota
keluarga maupun tetangga disekitar pasien tidak ada sedang mengalami demam
berdarah dengue.
DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan sekarang : 13,5 kg
Berat Badan sebelum sakit : 14 kg
Tinggi Badan : 99 cm
STATUS GIZI
- BB / U = 13,5/14 x 100% = 95 %
- TB/U = 99/95 x 100% = 104%
- BB/TB = 13,5/15 x 100% = 90%
Kesimpulan status gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan
kesan gizi baik
TANDA VITAL
4 Tekanan darah : 95/50 mmhg
5 Nadi : 112 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
6 Pernapasan : 34 x/ menit
7 Suhu : 37,8o C
MATA :
Visus : tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3mm/3mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-
HIDUNG :
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi : +/+
BIBIR: Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), pucat (-)
MULUT:
Trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna merah muda,
perdarahan mukosa gusi (-) mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris
dengan mukosa palatum berwarna merah muda, ulkus (-), halitosis (-).
0 Lidah : Normoglosia, pucat (-), ulkus (-), hiperemis (-) massa (-), atrofi papil (-),
coated tongue (-).
TENGGOROKAN:
Dinding posterior faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T1/T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar, tidak ada detritus
LEHER:
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak
tampak deviasi trakea.
- Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid.
- Tidak teraba pembesaran KGB submandibula, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan.
- Trakea teraba di tengah.
THORAKS :
0 JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi
Retraksi substernal (-), subcostal (-), intercostall (-), bentuk thoraks simetris pada saat
statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang tertinggal.
Palpasi
Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus
teraba simetris pada kedua hemithoraks.
Perkusi
Sonor dikedua lapang paru.
Batas paru-lambung : ICS VII linea axillaris anterior
Batas paru-hepar : ICS VI linea midklavikularis dextra
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-) di seluruh lapang paru, wheezing
(-),
stridor (-)
ABDOMEN :
Inspeksi :
Warna kulit sawo matang, ruam (-), kulit keriput (-), umbilikus normal, gerak dinding perut
saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)
KGB :
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraclavicula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
EKSTREMITAS :
Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta
sikap badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat
ekstremitas, sianosis (-), edema (-), capillary refill time <2 detik. Uji torniquet (+)
pada ekstremitas atas sinistra. Ptekie (+) pada kedua siku ekstremitas atas dan
patela dekstra.
IV. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa oleh kedua orangtuanya
dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam
muncul secara tiba-tiba, terus-menerus, dan terasa panas dengan perabaan tangan.
Pasien mengalami nyeri perut sejak 2 hari sebelum masuk RS. Nyeri perut di ulu hati
bersifat tajam, timbul mendadak, hilang timbul, dan tidak menjalar ke daerah lain.
Pasien juga mengalami muntah dan mimisan sejak 1 hari sebelum masuk RS. Muntah
sebanyak 1x, bersifat cair, warna merah segar, dan jumlahnya sedikit. Mimisan
sebanyak 1x dan berlangsung 5 menit. Kedua orang tua pasien juga mengeluhkan
pasien terdapat bintik-bintik merah di siku kedua tangan sejak 1 hari sebelum masuk
RS. Keluhan lain seperti batuk, pilek, gusi berdarah, gangguan BAB dan BAK
disangkal. Pasien sebelumnya belum pernah mengalami keluhan seperti ini. Riwayat
imunisasi dasar tidak lengkap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos
mentis dengan keadaan umum tampak sakit sedang, gizi baik. Kepala, leher, thoraks
dalam batas normal. Pada regio abdomen didapatkan nyeri tekan pada ulu hati. Pada
ekstremitas Uji torniquet (+) pada ekstremitas atas sinistra, serta didapatkan ptekie
pada kedua siku ekstremitas atas dan patella dextra. Pada pemeriksaan laboratorium
darah ditemukan trombositopenia, penurunan kadar hemoglobin, eritrosit, hematokrit.
Selain itu, didapatkan kelainan hitung jenis berupa penurunan hitung jenis basofil,
eosinophil, netrofil batang, dan peningkatan monosit.
V. DIAGNOSIS BANDING
- Demam Berdarah Dengue Grade II
- Demam Dengue
- Demam Tifoid
VIII. TATALAKSANA
- Rawat inap
- IUFD Kaen 1B 3cc/kgbb/Jam
- Thrombocyte concentrate 2 x 150 mg
- Diet: Makan Biasa
Medikamentosa
- Paracetamol 3 x 150 mg
- Inj Ranitidine 2 x 25 mg
- Inj Metilprednisolone 16 mg
Non medikamentosa
Edukasi :
- Edukasi orang tua mengenai keadaan dan penyakit pasien
- Kompres panas
- Minum paracetamol 3-4x sehari sesuai dengan berat-badan pasien jika demam >
38oC
- Hindari penggunaan asam salisilat, asam mefenamat, dan obat NSAID lainnya
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
Nama Mahasiswa: Diah Quratun A Pembimbing: Prof. Dr. H.Widagdo SpA MBA
NIM : 030.12.075 Tanda tangan :
IDENTITAS PASIEN 4
Nama : An. IA
No. RM : 01096700
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan :-
Umur : 4 Tahun
Alamat : Asrama Polri Cipinang
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Agustus 2012 Atas RT/RW 15/05, Pulogadung
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ayah pasien.
Lokasi : Ruang Rawat Inap Emerald Barat
Tanggal/Waktu : 7 Juli 2017 Jam 12.00
Tanggal masuk : 4 Juli 2017
Keluhan utama : Demam 4 hari SMRS
Keluhan tambahan : Batuk berdahak
Pasien dibawa oleh Ayahnya dengan keluhan demam yang dirasa tidak turun sejak 4
hari SMRS. Ayah pasien tidak pernah mengukur suhu anaknya dengan thermometer dan
hanya dirasakan menggunakan telapak tangan. Ayah pasien mengaku anaknya sudah
sering mengalami demam sejak kurang lebih 2 minggu terakhir. Demam dirasa hanya
“sumeng-sumeng” sepanjang hari. Kadang pasien dirasa tidak demam namun hanya
bertahan paling lama 1 hari dan keesokan harinya ayah pasien merasa anaknya kembali
mengalami demam. Ayah pasien kadang memberi paracetamol sirup jika anaknya demam,
namun demam dirasa muncul lagi kurang lebih 8 jam setelah konsumsi paracetamol
tersebut. Karena keadaan tersebut, setelah dirasa 1 minggu anaknya sering mengalami
demam Ayah pasien membawa pasien ke puskesmas dan mendapat obat Amoxan sirup
dengan dosis 3 kali sehari dan paracetamol yang dikonsumsi jika demam. Obat tersebut
dikonsumsi oleh pasien selama 6 hari, namun ayah pasien tidak merasakan perubahan
yang bermakna. Selama demam, riwayat menggigil, kejang, penurunan kesadaran,
mengigau, bintik merah, mimisan atau gusi berdarah dan sesak napas disangkal oleh ayah
pasien.
Selain demam, ayah pasien juga mengeluhkan bawah anaknya juga mengalami batuk
berdahahak yang sudah dialami kurang lebih 3 minggu SMRS. Batuk dilaporkan terjadi
setiap hari yang intensitasnya dirasa makin parah. Namun ayah pasien tidak mengetahui
karakteristik dahak pasien, karena pasien tidak bisa mengeluarkan dahaknya ataupun
kadang langsung ditelan oleh pasien. Batuk tidak disertai dengan sesak napas, bunyi
“ngik”, wajah atau mulut yang kebiruan ataupun muntah.
Ayah pasien juga melaporkan bahwa anaknya sempat mengalami BAB cair yang
dialami 2 hari SMRS. BAB 2x/hari dengan jumlah yang relatif sedikit, berwarna
kecoklatan, tidak terdapat lendir ataupun darah. BAB cair hanya terjadi selama 2 hari dan
semenjak masuk rumah sakit, BAB sudah kembali seperti biasa. Menurut ayah pasien,
terjadi penurunan berat badan sebanyak 1 kg selama 2 minggu terakhir. Nafsu makan
pasien tidak ada perubahan. Sehari-harinya pasien memang kadang sulit makan dengan
frekuensi makan 2-3x/hari dengan porsi yang terbilang sedikit sehingga pasien terlihat
kurus disbanding anak-anak seumurannya.
B. Riwayat Kehamilan/Kelahiran
Kehamilan Morbiditas kehamilan Anemia (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok (-),
Perawatan antenatal infeksi (-), minum alkohol (-)
Rutin kontrol ke bidan 1 bulan sekali dan selalu
datang sesuai anjuran
Kelahiran Tempat persalinan Rumah sakit
Penolong persalinan Dokter
SC
Cara persalinan
39 Minggu
Masa gestasi
C. Riwayat Perkembangan
Psikomotor
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 13 bulan
D. Riwayat Makanan
Umur (bulan) ASI / PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0–2 PASI - - -
2–4 PASI - - -
4–6 PASI - - -
6–8 PASI + + -
8 – 10 PASI + + -
10 – 12 PASI + + +
E. Riwayat Imunisasi :
F. Riwayat Keluarga
a. Corak Reproduksi
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 2 1
Umur saat menikah 40 Tahun 35 Tahun
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Menurut ayah pasien, tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa. Keluarga
pasien juga tidak ada yang pernah mengalami riwayat batuk lama, batuk berdahak
yang produktif, riwayat TB Paru ataupun dalam pengobatan rutin karena masalah
paru-paru. Ayah pasien juga tidak merasa memiliki anggota keluarga yang memiliki
penyakit asma, alergi ataupun penyakit jantung.
Alat memasak dan alat makan minum selalu dicuci dengan air keran. Keluarga pasien
jarang mencuci tangan setelah makan dan sehabis beraktivitas.
Kesimpulan riwayat keluarga : Tidak ada keluara pasien yang memiliki penyakit
tertentu yang membutuhkan pengobatan khusus di sarana kesehatan.
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua dan adik pasien. Rumah yang ditempati
merupakan rumah milik sendiri. Rumah satu lantai, beratap genteng, berlantai keramik,
dan berdinding tembok. Ventilasi dan pencahayaan baik. Sumber air bersih dari air tanah.
Air yang dikonsumsi merupakan air isi ulang. Rumah tersebut merupakan rumah yang
padat penduduk, sudah terdapat MCK, tidak dekat dengan pembuangan sampah, selokan
lancar dan lokasi septic tank tidak dengat dengan rumah tersebut.
Kesimpulan keadaan lingkungan : Lingkungan rumah padat penduduk dengan ventilasi
yang baik.
Orang tua pasien bekerja sebagai pegawai swasta, penghasilan keduanya kurang lebih 4,5
juta per bulan. Menurut orang tua pasien, penghasilan mereka cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi : Penghasilan orang tua cukup.
J. Riwayat Pengobatan
Pasien diberikan Amoksan sirup dan Paracetamol dari Puskesmas yang sudah dikonsumsi
kurang lebih 6 hari.
Kesimpulan pengobatan : Sudah mendapatkan antibiotik selama pasien mngelami
demam dan batuk berdahak.
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan gizi : Gizi Buruk
Keadaan lain : Tidak terdapat pucat, ikterik, sianosis, dyspnoe
Data antropometri
Berat badan : 11 kg
Tinggi badan : 100 cm
Status Gizi
- BB / U = <-3 SD
- TB/U = < - 2SD
- BB/TB = < -3 SD
Kesan gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan kesan gizi buruk,
perawakan pendek dan sangat kurus, berdasarkan kurva WHO.
Tanda vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 110 x/menit
Nafas : 36 x/menit
Suhu : 36,5 OC
STATUS GENERALIS
KEPALA : Normocephali, deformitas (-), hematoma (-).
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
MATA
Visus : Kesan baik Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : +/+ Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3mm/3mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-
HIDUNG :
Bentuk : Simetris
Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/-
Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
Konka eutrofi : +/+
BIBIR: : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), pucat (-)
MULUT:
Trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna merah
muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan mukosa
palatum berwarna merah muda, ulkus (-), halitosis (-).
- Lidah : Normoglosia, pucat (-), ulkus (-), hiperemis (-) massa (-), atrofi papil (-),
coated tongue (-).
TENGGOROKAN:
Dinding posterior faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah, ukuran tonsil
T1/T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar, tidak ada detritus
LEHER:
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak
tampak deviasi trakea.
- Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid.
- Tidak teraba pembesaran KGB submandibula, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan.
THORAKS :
JANTUNG
PARU
Inspeksi
Retraksi substernal (-), subcostal (-), intercostall (-), bentuk thoraks simetris pada
saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang tertinggal.
Palpasi
Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus
teraba simetris pada kedua hemithoraks.
Perkusi
Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi
Suara napas vesikuler , ronkhi basah (+/ +), wheezing (-), stridor (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Warna kulit kuning langsat, ruam (-), kulit keriput (-), umbilikus normal,
gerak dinding perut saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)
Palpasi :
ANOGENITALIA:
Jenis kelamin laki-laki
KGB :
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Teraba membesar pada submandibula sinistra dengan
diameter ± 1 cm, mobile dan tidak nyeri
Supraclavica : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
EKSTREMITAS :
Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta
sikap badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat
ekstremitas, sianosis (-), edema (-), capillary refill time <2 detik.
TULANG BELAKANG
Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, tidak benjolan, tidak ada ruam
Foto Thorax
Hasil Pemeriksaan:
Jantung:
CTR <50%, Aorta normal
Paru:
Corakan bronkovaskular meningkat ramai dengan bercak berkabut lapangan bawah paru
kiri
Hilus agak melebar
Sinus dan diafragma kiri suram
Tulang dan jaringan lunak dinding dada dalam batas normal
Kesan:
Sugestif Pneumonia sinistra (DD/ Proses Spesifik)
III. RESUME
Pada anamnesis didapatkan demam sejak 2 minggu SMRS, dirasa “sumeng-
sumeng” , 4 hari terakhir dirasa makin parah. Dilaporkan juga pasien mengalami batuk
berdahak yang sudah berlangsung selama 3 minggu SMRS. Pasien sudah berobat ke
Puskesmas diberikan Sirup Amoxicillin dan Paracetamol yang sudah dikonsumsi
selama 6 hari secara rutin namun tidak ada perubahan bermakna pada pasien. 2 hari
SMRS pasien juga mengalami BAB cair namun hanya berlangsung selama 2 hari.
Tidak ada keluhan lain yang menyertai seperti riwayat menggigil, kejang, penurunan
kesadaran, mengigau, bintik merah, mimisan atau gusi berdarah dan sesak napas
ataupun bunyi “ngik” ketika bernafas.
TB Paru
Demam Dengue
Gizi Buruk
Anemia
TB Paru
Bronkopneumonia
V. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Sputum BTA
- Uji serologis
- Serum iron
VI. PENATALASANAAN
Non-medikamentosa
- Komunikasi, informasi, dan edukasi orang tua pasien mengenai
keadaan dan penyakit pasien, hasil pemeriksaan, serta rencana
pengobatan.
Medikamentosa
- FDC 1x2tablet
- Triamsinolon p.o 3x1mg
- Salbutamol p.o 3x0.75mg
- CTM p.o 3x1mg
- PRC 2x125cc
VII. PROGNOSIS
IDENTITAS PASIEN 5
Identitas
Nama : An. FS
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Ayah Ibu
5 ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung dan ibu kandung pasien di
bangsal Emerald barat pada tanggal 2 September 2017 pukul 06.00 WIB.
Keluhan tambahan : Badan pegal, nafsu makan menurun, belum BAB 3 hari
4 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan keluhan
demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul mendadak dan hilang
timbul. Cenderung meningkat suhunya pada sore menjelang malam. Pasien sudah
mendapat obat penurun panas, demam hilang bila diberi penurun panas saja. Pasien
merasakan badannya pegal-pegal terutama di tangan dan kaki. Pasien merasa akhir-akhir
ini ceat lelah dan lemas. Semenjak sakit ini nafsu makan pasien menurun dan pasien belum
BAB selama 3 hari.
Pasien sering jajan jajanan dipinggir jalan sekitar sekolahnya seperti es puter dan
mie. Riwayat mual, muntah, batuk , pilek, disangkal.
7 Riwayat Perkembangan
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +
9 Riwayat Imunisasi
10 Riwayat Keluarga
Kesimpulan corak reproduksi : Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, ibu
tidak pernah mengalami keguguran ataupun kematian anak.
c. Riwayat Pernikahan
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 1 1
Kosanguinitas - -
Kesimpulan Riwayat Keluarga : Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang
menderita gejala atau penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.
D. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama ayah, ibu , adik dan kakak pasien. Rumah pasien berada di
wilayah padat penduduk . inhalasi dan pencahayaan rumah baik. Sumber air bersih dari
sumur, isi ulang ir minum aqua. Rumah pasien juga sebagai tempat produksi tempe,
kebersihan terjaga.
Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Keadaan lingkungan rumah pasien saat ini
cukup baik
E. Riwayat Sosial dan ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswatsa dengan pendapatan kurang lebih 3 juta per
bulan. Ibu pasien adalah ibu rumah tangga.
1 PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi kurang
DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan sekarang : 40 kg
Tinggi Badan : 154 cm
STATUS GIZI
BB/U = 40/45 x 100% = 88,8%
TB/U = 154/155 x 100% = 99,3%
BB/TB 40/45 x 100% = 88,8%%
Kesimpulan status gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan
kesan gizi kurang.
TANDA VITAL
Nadi : 140x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 38,20C
SPO2 : 98%
Kepala : Normosefali
Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka, ataupun jaringan parut
Mata :
Visus : Tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophtalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Oedem : -/- Sekret : +/+
Injeksi konjungtiva : +/+
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Telinga :
Hidung :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-), detritus (-), dinding posterior faring
hiperemis(+) arcus faring tidak hiperemis, uvula terletak ditengah.
Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba
pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening.
Thoraks
Jantung
Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi :Bentuk thoraks simetris, gerak dinding dada simetris kanan dan kiri,
tidak tampak pernapasan cepat, retraksi intercostal (-) retraksi
subcostal (-) retraksi suprasternal (-) ruam (+) makula papul eritema.
Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus normal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Warna kulit sawo matang, tidak tampak distensi , ruam(+) makula
papul eritema, kulit keriput (-), umbilikus normal, gerak dinding
perut saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien
tidak teraba membesar, acites (-)
Ekstremitas :
Inspeksi : Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan
kaki, serta sikap badan, sianosis (-), edema (-)
Kulit : Warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak lembab,
terdapat makula papul eritema pada seluruh tubuh.
RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan keluhan
demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul mendadak dan hilang
timbul. Cenderung meningkat suhunya pada sore menjelang malam. Pasien sudah
mendapat obat penurun panas, demam hilang bila diberi penurun panas saja. Pasien
merasakan badannya pegal-pegal terutama di tangan dan kaki. Pasien merasa akhir-akhir
ini ceat lelah dan lemas. Semenjak sakit ini nafsu makan pasien menurun dan pasien belum
BAB selama 3 hari.
Pasien sering jajan jajanan dipinggir jalan sekitar sekolahnya seperti es puter dan
mie. Riwayat mual, muntah, batuk , pilek, disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
kessan gizi kurang, tekanan darah 90/70 mmHg, nadi 140x permenit, pernapasan 40x per
menit suhu 38 derajat C. tidak didapatkan uji tourniquet positif, terdapat coated tongue pda
lidah.
X. PEMERIKSAAN ANJURAN
Anti dengue IgM dan IgG
XI. TATALAKSANA
Non- Medikamentosa
- Rawat inap
- Diet pada gizi kurang sesuai berat badan ideal
Medikamentosa
- IVFD Asering 3cc/mg/kgbBB
- Inj. Cefotaxime 4x2gram
- Inj. Gentamycin 1x200mg
- Inj. Ondansentron 1x4 mg
- Paracetamol 3x500mg
XII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Morbili
3.1.1 Defenisi
Campak merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dan secara
khas terdiri dari empat stadium, yaitu stadium inkubasi, stadium prodromal, erupsi, dan
konvalesens.2
Penyakit ini umumnya menyerang anak dan sangat mudah menular. Seseorang yang
menderita campak dapat menularkan pada 90% orang yang belum mendapat imunisasi
apabila kontak dengannya3. Manusia merupakan satu-satunya reservoir pada penyakit
campak.4
Campak (measles, Ing.) disebut juga rubeola ( nama ilmiah ). Nama lainnya
yaitu : hard measles, red measles, seven-day measles, eight-day measles, nine-day
measles, 10-day measles, dan morbili. Penyakit ini sering salah diartikan dengan rubella,
yang merupakan nama ilmiah dari campak Jerman, yang disebabkan oleh virus yang
berbeda.5
3.1.2 Epidemiologi
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki
tempat ke 5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke 5
dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%). Di daerah
perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah terjadi pada kelompok anak yg
tentan terhadap campak, yaitu dengan populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan
daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa campak menyebabkan penurunan
daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder atau penyulit.
Penyulit yang sering di jumpai ialah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%) dan
lain lain (7,9%).1
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700
kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari
atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun. Berdasarkan
laporan DirJen PP&PL DepKes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia
dengan jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak
173 kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anakanak usia pra
sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada
kelompok umur 59 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 14 tahun (3383 kasus).2
3.1.3 Etiologi
Campak disebabkan oleh Morbilivirus, salah satu virus RNA dari famili
Paramyxoviridae1.
Virus berbentuk bulat dengan tepi kasar dan bergaris tengah 140 nm dan dibungkus
oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid
yang bulat lonjong terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA),
merupakan struktur heliks nukleoprotein darimyxovirus. Selubung luar sering
menunjukkan tonjolan pendek, satu protein yang berada di selubung luar muncul sebagai
hemaglutinin.1
Pada temperatur kamar virus campak kehilangan 60% sifat infeksifitasnya selama 3-5
hari, pada 37°C waktu paruh umurnya 2 jam, pada 56°C hanya satu jam. Pada media
protein ia dapat hidup dengan suhu -70°C selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari
pendingin dengan suhu 4-6°C dapat hidup selama 5 bulan. Virus tidak aktif pada PH asam.
Oleh karena selubung luarnya terdiri dari lemak maka ia termasuk mikroorganisme yang
bersifat ether labile, pada suhu kamar dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit dan
50% aseton dalam 30 menit. Dalam 1/4000 formalin menjadi tidak efektif selama 5 hari,
tetapi tidak kehilangan antigenitasnya. Tripsin mempercepat hilangnya potensi antigenik.1
Infeksi dengan virus campak merangsang pembetukkan neutralizing antibody,
complement fixing antibody, dan haemagglutinine inhibition antibody. Imunoglobulin kelas
IgM dan IgG muncul bersama-sama diperkirakan 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer
tertinggi sekitar 21 hari. Kemudian IgM menghilang dengan cepat sedangkan IgG tinggal
tidak terbatas dan jumlahnya terukur, sehingga IgG menunjukkan bahwa pernah terkena
infeksi walaupun sudah lama. Antibodi protektif dapat terbentuk dengan penyuntikkan
antigen hemagglutinin murni.1
3.1.4 Patogenesis
Manusia adalah satu-satunya inang asli untuk virus campak 4. Penularan campak
terjadi secara droplet melalui udara, terjadi antara 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis
sampai 4 hari setelah timbul ruam. Infeksi dimulai di mukosa hidung/faring. Di tempat
awal infeksi, penggandaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya.
Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuklear
mencapai kelenjar getah bening lokal. Virus kemudian bermultiplikasi dengan sangat
perlahan dan disitu mulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular (RES) seperti limpa,
dimana virus menyerang limfosit. Virus campak dapat bereplikasi dalam limfosit tertentu
yang membantu penyebaran ke seluruh tubuh4. 5-6 hari sesudah infeksi awal, fokus infeksi
terbentuk yaitu ketika ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah (viremia primer) dan
menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran napas, kulit, kandung
kemih, dan usus. Pada hari 9-10 fokus infeksi yang berada di epitel saluran napas dan
konjungtiva, mengalami nekrosis pada satu sampai dua lapisan. Pada saat itu virus dalam
jumlah banyak masuk kembali ke dalam pembuluh darah (viremia sekunder) dan
menimbulkan manifestasi klinis dari sistem pernafasan diawali dengan keluhan batuk pilek
disertai selaput konjungtiva yang tampak merah.1
3.1.5 Patofisiologi
Ruam makulopapular muncul 14 hari setelah awal infeksi dan pada saat itu antibodi
humoral dapat dideteksi. Ruam ini dapat timbul selama 67 hari. Demam umumnya
memuncak (mencapai 400C) pada hari ke 23 setelah munculnya ruam.
Ruam–ruam kulit biasanya mulai sebagai makula tidak tegas, terdapat pada bagian
samping atas leher penderita, di belakang telinga, sepanjang batas rambut dan pada bagian
belakang pipi. Setiap lesi berubah menjadi makulopapular bersamaan dengan penyebaran
cepat ruam kulit di seluruh muka, leher, lengan atas dan bagian atas dada dalam waktu
kurang lebih 24 jam pertama, disertai panas tinggi. Dalam 24 jam berikutnya, lesi-lesi
menyebar menutupi punggung, abdomen, seluruh lengan dan paha. Proses menghilangnya
ruam kulit berlangsung dari atas ke bawah dengan urutan sesuai proses pemunculannya.
Lesi pada wajah mulai menghilang pada hari ke 2-3, yaitu pada saat lesi mencapai kaki.
Derajat penyakit berhubungan langsung dengan luas dan penyatuan ruam-ruam tersebut7.
D. Fase Konvalesens
Setelah 34 hari umumnya ruam berangsur menghilang sesuai dengan pola
timbulnya. Ruam kulit menghilang dan berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang
dalam 710 hari
3.1.7 Diagnosis
Gambar 3. Skema Gejala Morbili
Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari penderita.
Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di selsel epitel saluran
napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan penyebaran ke kelenjar limfe
regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viremia primer disusul multiplikasi virus di sistem
retikuloendotelial di limpa, hati, dan kelenjar limfe. Multiplikasi virus juga terjadi di
tempat awal melekatnya virus. Pada hari ke5 sampai ke7 infeksi, terjadi viremia sekunder
di seluruh tubuh terutama di kulit dan saluran pernapasan. Pada hari ke11 sampai hari ke
14, virus ada di darah, saluran pernapasan, dan organorgan tubuh lainnya, 23 hari
kemudian virus mulai berkurang. Selama infeksi, virus bereplikasi di selsel endotelial, sel
sel epitel, monosit, dan makrofag 3,5
Diagnosis campak biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis yang sangat
berkaitan, yaitu koriza dan konjungtivitis disertai batuk dan demam tinggi pada beberapa
hari serta diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari belakang
telinga kemudian menyebar ke ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki bersamaan dengan
meningkatnya suhu tubuh dan selanjutnya mengalami hiperpigmentasi dan deskuamasi.
Jadi diagnosis campak dapat ditegakkan secara klinis1
Gambar 4. Patogenesis infeksi Campak
200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih
100.000 IU pada anak umur 6 11 bulan
50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan
Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal dengan dosis sesuai umur
penderita diberikan antara minggu ke2 sampai ke4 pada anak dengan gejala defisiensi
vitamin A.
Sedangkan pada campak dengan penyulit, pasien perlu dirawat inap. Di rumah sakit
pasien campat dirawat di bangsal isolasi system pernafasan, diperlukan perbaikan keadaan
umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai. Vitamin A 100.000
IU per oral diberikan satu kali, apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.
3.1.10 Komplikasi
Laringitis akut
Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas,
bertambah parah pada saat demam mencapai puncaknya, ditandai dengan distres
pernafasan, sesak, sianosis, dan stridor. Ketika demam menurun, keadaan akan
membaik dan gejala akan menghilang1.
Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah komplikasi campak yang sering dijumpai (75,2%).
yang sering disebabkan invasi bakteri sekunder, terutama Pneumokokus,
Stafilokokus, dan Hemophilus influenza7. Pneumonia terjadi pada sekitar 6% dari
kasus campak dan merupakan penyebab kematian paling sering pada penyakit
campak1.
Kejang demam
Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat
ruam keluar1.
Ensefalitis
Ensefalitis adalah penyulit neurologik yang paling sering terjadi, biasanya
terjadi pada hari ke 4-7 setelah timbul ruam, dan sejumlah kecil pada periode pra-
erupsi. Ensefalitis simptomatik timbul pada sekitar 1:1000. Diduga jika ensefalitis
terjadi pada waktu awal penyakit maka invasi virus memainkan peranan besar,
sedangkan ensefalitis yang timbul kemudian menggambarkan suatu reaksi
imunologis. Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi, koma, dan iritabel.
Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, twitching, disorientasi, juga dapat
ditemukan. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis ringan,
dengan predominan sel mononuklear, peningkatan protein ringan, sedangkan glukosa
dalam batas normal1.
Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)
SSPE (Dawson’s disease) merupakan kelainan degeneratif susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh infeksi oleh virus campak yang persisten, suatu penyulit lambat
yang jarang terjadi. Semenjak penggunaan vaksin meluas, kejadian SSPE menjadi
sangat jarang. Kemungkinan untuk menderita SSPE pada anak yang sebelumnya
pernah campak adalah 0,6-2,2 per 100.000. Masa inkubasi timbulnya SSPE rata-rata
7 tahun1.
Sebagian besar antigen campak terdapat dalam badan inklusi dan sel otak yang
terinfeksi, tetapi tidak ada partikel virus matur. Replikasi virus cacat karena
kurangnya produksi satu atau lebih produk gen virus, seringkali adalah protein
matrix. Keberadaan virus campak intraseluler laten dalam sel otak pasien dengan
SSPE menandakan kegagalan sistem imun untuk membersihkan infeksi virus4.
Gejala SSPE didahului dengan gangguan tingkah laku, iritabilitas dan
penurunan intelektual yang progresif serta penurunan daya ingat, diikuti oleh
inkoordinasi motorik, dan kejang yang umumnya bersifat mioklonik. Selanjutnya
pasien menunjukkan gangguan mental yang lebih buruk, ketidakmampuan berjalan,
kegagalan berbicara dengan komprehensi yang buruk, dysphagia, dapat juga terjadi
kebutaan. Pada tahap akhir dari penyakit, pasien dapat tampak diam atau koma.
Aktivitas elektrik di otak pada EEG menunjukkan perubahan yang progresif selama
sakit yang khas untuk SSPE dan berhubungan dengan penurunan yang lambat dari
fungsi sistem saraf pusat. Laboratorium : Peningkatan globulin dalam cairan
serebrospinal, antibodi terhadap campak dalam serum meningkat (1: 1280)11.
Otitis media
Invasi virus ke telinga tengah umumya terjadi pada campak. Gendang telinga
biasanya hiperemia pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi
bakteri menjadi otitis media purulenta1.
Enteritis dan diare persisten
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada
fase prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus. Diare
persisten bersifat protein losing enteropathy sehingga dapat memperburuk status
gizi1.
Konjungtivitis
Ditandai dengan mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi dan
fotofobia. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Virus campak atau
antigennya dapat dideteksi pada lesi konjungtiva pada hari-hari pertama sakit.
Konjungtivitis diperburuk dengan terjadinya hipopion dan pan-oftalmitis yang dapat
menyebabkan kebutaan.
Miokarditis
Hemorrhagic (black) measles
Reaktivasi atau memberatnya penyakit TB
Trombositopenia
3.1.11 Diagnosis Banding
Ruam kulit pada campak harus dibedakan dari eksantema subitum, rubela,
mononukleosis infeksiosa, meningokoksemia, demam skarlatina, penyakit riketsia,
penyakit serum dan ruam kulit akibat obat, dan lain-lain7.
1. Rubella (Campak German): Tidak diawali suatu masa prodromal yang spesifik. Remaja
dan dewasa muda dapat menunjukkan gejala demam ringan serta lemas dalam 1-4 hari
sebelum timbulnya kemerahan. Pembesaran kelenjar getah bening khususnya pada
daerah belakang telinga dan oksipital sangat menunjang diagnosis rubella.
2. Eksantema Subitum (roseola infantum): gejala demam tinggi selama 3-4 hari disertai
iritabilitas biasanya terjadi sebelum timbulnya kemerahan pada kulit dan diikuti dengan
penurunan demam secara drastis menjadi normal.
3. Demam Skarlatina: kelainan kulit pada demam skarlatina biasanya timbul dalam 12 jam
pertama sesudah demam, batuk dan muntah. Gejala prodromal ini dapat berlangsung
selama 2 hari. Lidah berwarna merah stroberi serta tonsilitis eksudativa atau
membranosa.
4. Steven-Johnson, drug eruption: tidak memiliki gejala prodromal
5. Penyakit Kawasaki: demam tidak spesifik disertai nyeri tenggorokan sering mendahului
kemerahan pada penyakit ini selama 2-5 hari. Sering juga ditemui konjungtivitis
bilateral.
6. Infeksi virus lain: demam biasanya tidak tinggi, menghilang saat timbulnya kemerahan.
Pada infeksi Coxsackie kadang-kadang terjadi bersamaan dengan kemerahan.
7. Meningococcemia: kemerahan pada kulit 24 jam pertama. Gejala : demam, muntah,
kelemahan umum, gelisah, dan kemungkinan adanya kaku kuduk.
8. Penyakit Rikets: erupsi papulovesikular secara menyeluruh, biasanya tidak mengenai
wajah, sering didahului oleh adanya gejala seperti influenza. Sakit kepala lebih
menonjol.
9. Staphylococcal toxic shock syn.: demam tinggi, nyeri kepala, batuk, muntah serta diare,
dan renjatan sering mendahului atau juga bersamaan dengan keluarnya kelainan kulit
3.1.12 Pencegahan
Imunisasi aktif
Pencegahan campak dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif pada bayi berumur
9 bulan atau lebih. Pada tahun 1963 telah dibuat dua macam vaksin campak, yaitu (1)
vaksin yang berasal dari virus campak hidup yang dilemahkan (tipe Edmonstone B), dan
(2) vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (dalam larutan formalin
dicampur dengan garam alumunium). Namun sejak tahun 1967, vaksin yang berasal dari
virus campak yang telah dimatikan tidak digunakan lagi, oleh karena efek proteksinya
hanya bersifat sementara dan dapat menimbulkan gejala atypical measles yang hebat1.
Vaksin yang berasal dari virus campak yang dilemahkan berkembang dari Edmonstone
strain menjadi strain Schwarz (1965) dan kemudian menjadi strain Moraten (1968). Dosis
baku minimal pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 0,5 ml, secara subkutan,
namun dilaporkan bahwa pemberian secara intramuskular mempunyai efektivitas yang
sama.
Vaksin campak sering dipakai bersama-sama dengan vaksin rubela dan parotitis
epidemika yang dilemahkan, vaksin polio oral, difteri-tetanus-polio vaksin dan lain-lain.
Laporan beberapa peneliti menyatakan bahwa kombinasi tersebut pada umumnya aman
dan tetap efektif 2.
Imunisasi pasif
Campak dapat dicegah dengan Immune serum globulin (gamma globulin) dengan
dosis 0,25 ml/kgBB intramuskuler, maksimal 15 ml dalam waktu 5 hari sesudah terpapar,
atau sesegera mungkin. Perlindungan yang sempurna diindikasikan untuk bayi, anak-anak
dengan penyakit kronis, dan para kontak di bangsal rumah sakit serta institusi
penampungan anak. Setelah hari ke 7-8 dari masa inkubasi, maka jumlah antibodi yang
diberikan harus ditingkatkan untuk mendapatkan derajat perlindungan yang diharapkan7.
Kontraindikasi vaksin : reaksi anafilaksis terhadap neomisin atau gelatin, kehamilan,
imunodefisiensi (keganasan hematologi atau tumor padat, imunodefisiensi kongenital,
terapi imunosupresan jangka panjang, infeksi HIV dengan imunosupresi berat2.
3.1.13 Prognosis
Biasanya campak sembuh dalam 7-10 hari setelah timbul ruam. Bila ada penyulit
infeksi sekunder/malnutrisi berat, maka penyakit menjadi berat. Kematian disebabkan
karena penyulit (pneumonia dan ensefalitis)2
4.1 Malaria
Di Indonesia, malaria sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Angka kesakitan malaria masih cukup tinggi, terutama di luar Jawa dan
Bali, oleh karena di daerah tersebut terdapat campuran penduduk yang berasal dari
daerah endemis dan non endemis malaria. Pada daerah-daerah tersebut masih sering
terjadi wabah malaria yang menimbulkan banyak kematian. Malaria merupakan
penyakit infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh Plasmodium, ditandai
dengan gejala demam rekuren, anemia dan hepatoslenomegali.8
4.1.1 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia,
Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum
merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat
spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu Plasmodium falciparum yang
menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria
tertian, Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan Plamodium
ovale yang menyebabkan malaria ovale.
Jumlah merozoit
Lama siklus Diameter skizon matur
Spesies dalam skizon
eksoeritrositik (hari) eksoeritrositik (μm)
eksoeritrositik
Plasmodium
5-7 60 30.000
falciparum
Plasmodium
6-8
vivax 45
10.000
Plasmodium
9 60 15.000
ovale
Plasmodium 55 15.000
14-16
malariae
Plasmodium Plasmodium
Plasmodium
Lamanya daur falciparum Plasmodium ovale malariae
vivax
48 jam 72 jam
Daur eritrositik 48 jam 50 jam
Merozoit
20-30 hari 18-24 hari 8-14 hari 8-10 hari
skizon
Tabel 3. Lamanya siklus eritrositik.
4.1.3 Morfologi Parasit
Morfologi dari Plasmodium falciparum secara mikroskopis yaitu sebagai berikut :12
Tropozoit mudaBerbentuk cincin, terdapat dua buah kromatin, bentuk marginal, sel
darah merah tidak membesar, tampak sebagian sitoplasma parasit berada di bagian tepi dari
eritrosit ( bentuk accole atau form appliqué). Pada bentuk tropozoit lanjut mengandung
bintik-bintik Maurer (Maurer dots).
Gambar 2. Bentuk tropozoit muda Plasmodium falciparum.
SkizonPigmen menggumpal di tengah, skizon muda berinti < 8 dan skizon tua berinti
8-24.
o
daerah tropis, subtropics maupun daerah beriklim dingin. Malaria ditemukan pada 64 LU
o
(Archangel di Rusia) sampai 32 LS (Cordoba di Argentina), dari daerah ketinggian 2666
m sampai daerah 433 m dibawah permukaan air laut (Laut Mati). Diantara garis lintang
dan bujur, terdapat daerah yang bebas malaria, yaitu Pasifik Tengah dan Selatan (Hawaii,
Selandia Baru). Keadaan ini dikarenakan tidak ada vektor di tempat bebas malaria tersebut,
sehingga siklus hidup parasit tidak dapat berlangsung.
Suatu daerah dikatakan endemis malaria jika secara konstan angka kejadian malaria dapat
diketahui serta penularan secara alami berlangsung sepanjang tahun. Peningkatan
perjalanan udara internasional dan resistensi terhadap obat antimalaria dapat meningkatkan
10,11,13
kasus malaria impor pada turis, pelancong dan imigran.
Menurut WHO (1963), malaria di suatu daerah ditemukan dari beberapa kasus, kasus
autokhton yaitu kasus malaria pada suatu daerah yang terbatas. Kasus indigen, yaitu kasus
malaria yang secara alami terdapat pada suatu daerah. Kasus impor, yaitu didapatnya kasus
malaria di luar daerah yang biasa dan masuk dari luar daerah. Kasus introdus, kasus
malaria yang terbukti terbatas pada suatu daerah dan diperoleh dari malaria impor. Kasus
sporadik, yaitu merupakan kasus autokhton yang terbatas pada sedikit daerah tapi tersebar.
Kasus Indus, didapatnya infeksi secara parenteral misalnya, melalui jarum suntik dan
transfusi darah.10
Klasifikasi dari epidemiologi malaria menggunakan parameter ukur spleen rate (angka
limpa) atau parasite rate (angka parasit), yaitu sebagai berikut :
← Hipoendemik : spleen rate atau parasite rate 0-10%
← Mesoendemik : spleen rate atau parasite rate 10-50%Hiperendemik : spleen rate
atau parasite rate 50-75%, dewasa biasanya lebih tinggi
← Holoendemik : spleen rate atau parasite rate > 75%, dewasa biasanya rendah.
← 2.4 Patologi dan Gejala Klinis
← Gejala penyakit malaria dipengaruhi oleh daya pertahanan tubuh penderita. Waktu
terjadinya infeksi pertama kali hingga timbulnya penyakit disebut sebagai masa inkubasi,
sedangkan waktu antara terjadinya infeksi hingga ditemukannya parasit malaria didalam
darah disebut periode prapaten. Keluhan yang biasanya muncul sebelum gejala demam
adalah gejala prodromal, seperti sakit kepala, lesu, nyeri tulang (arthralgia), anoreksia
(hilang nafsu makan), perut tidak enak, diare ringan dan kadang merasa dingin di
10,11
pungung.
o
panas sekali. Suhu tubuh naik hingga 41 C sehingga menyebabkan pasien
kehausan. Muka kemerahan, kulit kering dan panas seperti terbakar, sakit kepala
makin hebat, mual dan muntah, nadi berdenyut keras. Stadium ini berlangsung 2
sampai 6 jam.
2. Stadium berkeringatPasien berkeringat banyak sampai basah, suhu turun drastis bahkan
mencapai dibawah ambang normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan
saat bangun merasa lemah tapi sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam.
Pemeriksaan fisik yang ditemukan lainnya yang merupakan gejala
khas malaria adalah adanya splenomegali, hepatomegali dan anemia. Anemia terjadi bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
← Sel darah merah yang lisis karena siklus hidup parasit
← Hancurnya eritrosit baik yang terinfeksi ataupun tidak di dalam
limpa
10,11
kepala, kelemahan, nyeri tulang, anoreksia, perut tidak enak.
Malaria BeratMenurut WHO, malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh
infeksi Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax aseksual dengan satu atau lebih
komplikasi, akan tetapi Plasmodium vivax jarang ditemukan pada kasus ini. sebagai
berikut :
1. Malaria cerebral Terjadi akibat adanya kelainan otak yang menyebabkan terjadinya
gejala penurunan kesadaran sampai koma, GCS (Glasgow Coma Scale) < 11, atau
lebih dari 30 menit setelah serangan kejang yang tidak disebabkan oleh penyakit
lain.
2. Anemia BeratHb < 5 gr% atau hematokrit < 15% pada hitung parasit > 10.000/μL, bila
anemianya hipokromik/mikrositik dengan mengenyampingkan adanya anemia
defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya.
3. Gagal ginjal akutUrin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau < 12 ml/kgBB pada anak
setelah dilakukan rehidrasi, dan kreatinin > 3 mg%.
4. Edema paru / ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome).
5. Hipoglikemi (gula darah < 40 mg%).
6. Syok Tekanan sistolik < 70 mmHg disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur
0
kulit-mukosa > 1 C.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus atau disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2x24 jam setelah pendinginan pada hipertemia.
9. Asidemia (pH < 7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat < 15 mmol/L).
10. Makroskopik hemoglobinuri (blackwater fever) oleh karena infeksi pada malaria
akut (bukan karena obat anti malaria).
11. Diagnosis post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh
kapiler pada jaringan otak.Selain itu juga terdapat beberapa keadaan yang
digolongkan dalam
malaria berat, yaitu :1. Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15) atau dalam keadaan
delirium
dan somnolen.2. Kelemahan otot (tidak bisa duduk/berjalan) tanpa kelainan neurologik.
3. Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria.
0
4. Ikterik (bilirubin > 3 mg%).5. Hiperpireksia (temperatur rectal > 40 C) pada
dewasa/anak.33
12
leukosit dan SDr tipis penghitungannya adalah jumlah parasit/1000 eritrosit.
13
pulasan darah dari sumsum tulang yang lebih sensitif dari pulasan darah perifer.
2. Tes Diagnostik Cepat ( Rapid Diagnostic Test )Metode ini untuk mendeteksi adanya
antigen malaria dengan cara
imunokromatografi. Tes ini dapat dengan cepat didapatkan hasilnya, namun lemah dalam
hal spesifitas dan sensitifitas. Tes ini biasanya digunakan pada KLB (Kejadian Luar Biasa)
12
yang membutuhkan hasil yang cepat di lapangan supaya cepat untuk ditanggulangi.
> 50 μmol/LSGOT > 3 diatas normalSGPT > 3 diatas normal, 5-Nukleotidase ↑ CPK ↑
Myoglobin ↑> 600 μmol/L
> 12000 /μLplatelet < 50000/μL Fibrinogen < 200 mg/dL
> 100000/μL – peningkatan mortalitas
12
>500000/μL – mortalitas tinggi > 20% parasit yang mengandung tropozoit dan skizon.
b. Kelembapan udara yang lebih dari 60% (umur nyamuk > panjang).c. Musim hujan
(breeding site >, kelembapan >).d. Pada keadaan hujan deras malaria berkurang, karena
larva dan
jumlahnya berkurang karena terbawa oleh air.12
4.1.9. Komplikasi Penyakit Malaria
Penyakit malaria dapat mengakibatkan beberapa komplikasi, diantaranya adalah :13
- Gagal ginjal
- Malaria cerebral
- Anemia hemolitik
- Black water fever
- Algid malaria
- Dehidrasi dan gangguan elektrolit
- Edema paru
← 4.1.10 Pencegahan Malaria
← Pencegahan ditujukan untuk orang yang tinggal di daerah endemis
maupun yang ingin pergi ke daerah endemis :
← 1. Pengendalian vektor
← - Bisa menggunakan larvasida untuk memberantas jentik-jentik.
- Semprot insektisida untuk membasmi nyamuk dewasa.
- Penggunaan pembunuh serangga yang mengandung DEET (10-35%) atau
picaridin 7%.
2. Proteksi personal/Personal ProtectionAdalah suatu tindakan yang dapat melindungi
orang terhadap
infeksi, seperti :
← Menghindari gigitan nyamuk pada waktu puncak nyamuk
mengisap (petang dan matahari terbenam).
← Penggunaan jala bed (kelambu) yang direndam insektisida
sebelumnya, kawat nyamuk, penolak serangga.
← Memakai baju yang cocok dan tertutup.
← Penggunaan obat-obat profilaksis jika ingin bepergian ke
11,13
daerah endemis. 3. Vaksin Malaria Parasit malaria mempunyai siklus hidup
yang komplek, sehingga vaksin berbeda-beda untuk setiap stadium, seperti :
← Stadium aseksual eksoeritrositik Cara kerjanya menghambat terjadinya
gejala klinis maupun transmisi penyakit di daerah endemis. Contohnya,
circumsporozoite protein (CSP), Thrombospondin-related adhesion protein
(TRAP), Liver stage antigen (LSA).
← Stadium aseksual eritrositikCara kerjanya menghambat
terjadinya infeksi parasit terhadap eritrosit, mengeliminasi parasit dalam eritrosit
dan mencegah terjadinya sekuesterasi parasit di kapiler organ dalam sehingga dapat
mencegah terjadinya malaria berat. Contohnya, merozoite surface protein (MSP),
ring infected erythrocyte surface antigen (RESA), apical membraneantigen-1
(AMA-1).
← Stadium seksual
Cara kerjanya menghambat atau mengurangi transmisi malaria di suatu daerah. Contohnya,
Pfs 28 dan Pfs 25.
Penatalaksanaan
A. Malaria ringan
1. Klorokuin bisa di berikan total 25mg/kgBB selama 3 hari dengan perincian sebagai
berikut: hari pertama 10mg/kgBB, 6 jam kemudian 10mg/kgBB dan 5mg/kgBB. Atau hari
I dan II masing-masing 10mg/kgBB dan hari ketiga 5mg/kgBB. Pada malaria tropika
ditambahkan primakuin 0,75mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria tersiana ditambahkan
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari IV masih demam atau hari VIII masih
3. Bila dijumpai dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII
b. tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2b. Dosis
kina dan fansidar sesuai butir 2a dan 2b hanya pada umur 8 tahun atau lebih.
5.1 Dengue Haemorrhagic Fever(Demam Berdarah Dengue)
5.1. DEFINISI
Menurut Kemenkes RI, Demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti, yang ditandai
dengan demam 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan, trombositopenia <100.000/mm3,
serta adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan perubahan nilai hematocrit >20%
dari nilai normal.15
5.2. EPIDEMIOLOGI
Menurut data Ditjen PP dan PL Depkes RI, penyakit demam berdarah dengue telah
terjadi peningkatan persebaran kasus secara signifikan di Indonesia dalam 40 tahun trakhir.
Peningkatan persebaran kasus terjadi dari endemis demam berdarah dengue yang hanya
terjadi pada 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) provinsi dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu, jumlah kasus demam berdarah dengue juga
meningkat dari hanya 58 kasus pada tahun 1968 hingga 158.912 kasus pada tahun 2009.15
Pada tahun 2009, provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan angka insiden
demam berdarah dengue tertinggi sebanyak 313 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan
nusa tenggara timur merupakan provinsi dengan angka insiden demam berdarah dengue
terendah sebanyak 8 kasus per 100.000 penduduk. Terdapat 11 provinsi termasuk dalam
daerah resiko tinggi (Angka insiden > 55 kasus per 100.000 penduduk.
Menurut WHO, Angka kematian pada dengue mengalami penurunan dari tahun
1966 hingga 2012. Pada tahun 1966 Angka kematian dengue mencapai CRP 42%. Pada
tahun 1975 angka kematian mengalami penurunan hingga CRP menjadi 8%. Pada tahun
2011 Angka kematian mengalami penurunan menjadi CRP 0,87%.15
Grafik 3.2.1 Epidemiologi angka kematian yang mengalami penurunan signfikan dalam
waktu 40 tahun16
Pada tahun 2014, jumlah penderita demam berdarah dengue telah dilaporkan
sebanyak 100.347 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang (IR/Angka
kesakitan= 39,8 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,9%). Dibandingkan
tahun 2013 dengan kasus sebanyak 112.511 serta IR 45,85 terjadi penurunan kasus pada
tahun 2014. Target Renstra Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun
2014 sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk, dengan demikian Indonesia telah mencapai
target Renstra 2014.15
5.3. ETIOLOGI
Virus dengue merupakan genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae mengandung
single strand RNA. Tedapat empat jenis serotipe virus dengue yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3
dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibody serotipe terhadap
pasien yang bersangkutan. Akan tetapi, antibodi serotipe tersebut tidak memberikan
perlindungan terhadap serotipe yang lain. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes.
Aedes aegypty merupakan vektor epidemik paling utama selain Aedes albopictus. Pada
aedes albopictus, infeksi tersebut dapat menghasilkan infeksi yang asimptomatik, demam
dengue, demam berdarah dengue bahkan dengue shock syndrome (DSS).15
- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc
dan masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum
tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai
sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen),
sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan
mengaktivasi faktor koagulasi.
Hipotesis ini menjelaskan bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua
kalinya dengan serotipe virus dengue heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain sehingga membentuk kompleks antigen antibody. Kemudian antibodi
heterolog berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit atau makrofag sehingga
mengalami replikasi. Reaksi terhadap infeksi tersebut, memicu sekresi mediator vasoaktif
sehingga terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan syok. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe
virus dengue yang berlainan pada penderita demam berdarah dengue, respons antibodi
anamnestik mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit untuk menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue.16
Gambar Patofisiologi terjadinya syok pada demam berdarah dengue
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi akibat jumlah virus yang meningkat. Hal tersebut mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi sehingga mengaktifkan sistem komplemen
berupa aktivasi C3 dan C5. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan permeabilitas dinding
pembuluh darah meningkat dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Perembesan plasma dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa
seperti efusi pleura atau asites. Syok yang tidak ditangani segera dapat menyebabkan
terjadinya asidosis dan anoksia.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit. Selain itu,
aktivasi koagulasi menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin dan memicu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel
kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.18
Tabel Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD
Demam yang tidak terdiferensiasi merupakan demam yang disebabkan oleh infeksi
virus dengue, khususnya bila infeksi pertama kali terjadi (infeksi dengue primer). Pada
keadaan ini demam tidak dapat dibedakan dengan demam akibat infeksi virus lainnya.
Ruam makulopapular dapat muncul menyertai demam ataupun pada saat demam mulai
menurun. Gejala lain yang sering menyertai berupa gejala pada sistem respirasi dan
gastrointestinal.
Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah
15 tahun pada area hiperendemik, dan berkaitan dengan infeksi dengue berulang. Ciri
demam berdarah dengue berupa demam tinggi onset akut dengan gejala dan tanda yang
mirip dengan demam dengue di fase awal. Pada DBD dapat dijumpai adanya kelainan
dalam perdarahan misalnya, uji tourniquet (rumple leed) positif, petekiae, lebam-lebam
serta perdarahan saluran cerna pada kasus yang lebih berat. Di akhir fase demam, terdapat
ancaman terjadinya syok hipovolemik (sindroma syok dengue) akibat adanya kebocoran
plasma.17,18
Dengue shock syndrome (DSS) merupakan bentuk syok hipovolemik yang terjadi
akibat permeabilitas kapiler yang continue dan kebocoran plasma. Hal ini biasanya terjadi
pada hari ke-4 dan ke-5 (antara hari 3-8). Dan disertai dengan tanda warning signs. Pasien
yang tidak mendapat terapi cairan, secara cepat dapat berkembang menjadi syok. Dengue
shock syndrome terlihat sebagai fisiologi yang terus berlanjut, berkembang menjadi
asimptomatik kebocoran kapiler menjadi syok terkompensasi, dan terus berkembang
menjadi syok hipotensi, dan akhirnya berkembang menjadi cardiac arrest. Ciri dari syok
adalah jarak tekanan darah yang sempit yaitu kurang dari 20 mmHg dengan peningkatan
TD diastolik misalnya 100/90, atau hipotensi. Tanda-tanda berkurangnya perfusi jaringan
adalah waktu pengisian kapiler yang memanjang (> 3 detik), kulit dingin dan basah disertai
gelisah
Pada awal terjadinya syok, mekanisme kompensasi untuk mengatur tekanan darah
sistol tetap normal dengan takikardi, takipneu (takipneu tanpa peningkatan usaha),
vasokontriksi perifer dengan penurunkan perfusi kulit (akral dingin, capillary refill > 2
detik, dan lemahnya volume nadi perifer). Resistensi perifer vascular meningkat, tekanan
diastol meningkat mendekati tekanan sistol, dan tekanan nadi (perbedaan antara tekanan
sistol dan diastol) menyempit. Pasien syok yang harus dapat dikompensasi jika tekanan
sistol dalam batas normal dan tekanan nadi < 20 mmhg pada anak (100/85 mmhg) atau
terdapat tanda perfusi kapiler yang buruk (akral dingin, capillary refill > 2detik, atau
takikardi). Kompensasi asidosis metabolic diobservasi jika ph normal dengan kadar CO2
rendah dan kadar bikarbonat rendah. Pasien yang syoknya terkompensasi masih sadar.
5.6. DIAGNOSIS
Tabel 3.6.4 klasifikasi derajat demam berdarah dengue berdasarkan WHO tahun 19757,9
Klasifikasi derajat demam dengue berdasarkan WHO tahun 2011
2. MAC ELISA
IgM capture ELISA antibodi (MAC-ELISA) Format ini paling sering digunakan di
laboratorium diagnostik dan komersial yang tersedia kit diagnostik. Uji ini berdasarkan
pada menangkap antibodi IgM manusia di piring microtiter menggunakan antibodi
anti-manusia-IgM diikuti dengan penambahan antigen spesifik virus dengue (DENV1-
4). Antigen yang digunakan untuk pengujian ini berasal dari protein amplop virus.
Salah satu keterbatasan pengujian ini adalah reaktivitas silang antara flaviviruses
beredar lainnya. Keterbatasan ini harus dipertimbangkan ketika bekerja di daerah-
daerah di mana beberapa flaviviruses co-beredar. Deteksi IgM tidak berguna untuk
penentuan dengue serotipe karena reaktivitas silang antibodi.
3. IgG ELISA
IgG ELISA digunakan untuk mendeteksi infeksi dengue masa lalu menggunakan
antigen virus sama dengan MAC ELISA. pengujian ini berkorelasi dengan uji
hemaglutinasi (HI) yang sebelumnya digunakan. Secara umum IgG ELISA lacks
kekhususan dalam kelompok Flavivirus serocomplex. Primer versus infeksi dengue
sekunder dapat ditentukan dengan menggunakan algoritma sederhana. Sampel dengan
IgG negatif pada fase akut dan IgG positif dalam tahap penyembuhan dari infeksi
adalah infeksi dengue primer. Sampel dengan IgG positif pada fase akut dan
peningkatan 4 kali lipat IgG titer pada fase penyembuhan (dengan setidaknya interval 7
hari antara dua sampel) adalah infeksi dengue sekunder.
4. NS1 ELISA
The non-struktural protein 1 (NS1) dari genom virus dengue telah terbukti berguna
sebagai alat untuk diagnosis infeksi dengue akut. antigen Dengue NS1 telah terdeteksi
dalam serum pasien yang terinfeksi DENV sedini 1 hari pasca timbulnya gejala (DPO),
dan sampai 18 DPO. The NS1 ELISA antigen berdasarkan assay tersedia secara
komersial untuk DENV dan banyak peneliti telah mengevaluasi pengujian ini untuk
sensitivitas dan spesifisitas. The NS1 assay juga dapat berguna untuk diagnosa
diferensial antara flaviviruses karena kekhususan pengujian tersebut.
3.7.1 Gambar grafik perbedaan serologi virus DBD pada infeksi primer dan sekunder
3.8. PENATALAKSANAAN14,17,18
Tatalaksana demam berdarah dengue berdasarkan keadaan umum pasien, gejala
klinis. diagnosis, pemeriksaan penunjang, dan derajat keparahan penyakit demam berdarah
dengue yang diderita oleh pasien. Terapi yang diberikan dimulai dari observasi keadaan
pasien, rawat inap, terapi simptomatik, terapi cairan, serta terapi terhadap komplikasi yang
muncul pada pasien.
Indikasi cairan intravena jika didapatkan pasien tidak bisa diberi asupan oral yang
memadai atau muntah, Ht terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah
diberikan, serta adanya ancaman munculnya syok.
Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:
- Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia < 6 bulan
lebih tepat
menggunakan natrium klorida 0,45%.
- Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti dekstran 40 atau
larutan starch
dapat digunakan jika kebocoran plasma masif, dan tidak ada respon dengan pemberian
kristaloid
dalam jumlah yang optimal (seperti yang direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik
seperti
plasma dan hemaccel kemungkinan tidak efektif.
- Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan untuk sekedar
mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
- Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam bagi
mereka
dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi terapi cairan intravena bisa
lebih lama
namun tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini karena pasien yang tidak syok baru saja
memasuki
fase kebocoran plasma sementara pasien yang sudah syok, kebocoran plasma berlangsung
dalam
durasi yang lebih panjang hingga terapi intravena dimulai.
- Pada pasien obesitas, yang digunakan sebagai panduan untuk menghitung volume cairan
adalah
berat badan ideal
Algoritma tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.
- Kompres panas
- Minum sesuai dengan kebutuhan seperti minum susu, jus buah, oral rehidration solution,
dengan catatan bahwa minum air biasa dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektroli
- Minum paracetamol 3-4x sehari sesuai dengan berat-badan pasien jika demam > 38oC
- Hindari penggunaan asam salisilat, asam mefenamat, ibuproven, dan obat NSAID lainnya
- Jika terdapat tanda-tanda perdarahan, muntah, tidak mau minum, nyeri perut berat,
kejang,
akral dingin, sulit bernapas, tidak buang air kecil dalam 4-6 jam segera berobat ke rumah
sakit6,
Pada demam berdarah dengue grade I dan II secara umum, masukan cairan (oral +
IV) bertujuan untuk pemeliharaan (untuk sehari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersama-
sama), yang diberikan dalam 48 jam. Misalnya, pada anak dengan berat badan 20 kg,
defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan adalah 1500 ml untuk satu
hari. Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2.500 ml. Pada pasien non-syok, jumlah cairan
ini akan diberikan dalam 48 jam pertama. Pada demam berdarah dengue grade III telah
terjadi Dengue shock syndrome (DDS) sehingga pada sebagian besar kasus perlu
diberikan terapi cairan. Pemberian cairan 10 ml/kg (pada anak-anak) atau 300-500 ml
(pada orang dewasa) dalam 1 jam atau bila perlu secara bolus. Resusitasi cairan awal
pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar cepat mengembalikan tekanan darah.
Pemantauan laboratorium dan keterlibatan organ harus segera mungkin dilakukan dan
diketahui. Bahkan hipotensi yang ringan pun harus segera ditangani secara agresif.dengan
diberikan 10 ml/kg cairan bolus dalam waktu 10 sampai 15 menit. Jika tekanan darah
berhasil diperbaiki, cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan sebagaimana penanganan
pada derajat III. Jika syok tidak tertangani setelah pemberian 10 ml/kg pertama, ulangi
bolus 10 ml/kg kedua sementara hasil laboratorium harus dikejar dan dikoreksi segera
mungkin. Transfusi darah merupakan langkah berikutnya yang harus segera dikerjakan
(setelah menilai HCT praresusitasi).
Dengue tanpa warning sign
pada kondisi tertentu
Kristaloid atau 0,9% salin hipertonik pada osmolaritas 308 mosm/l dan
mengandung kadar sodium dan klorida yang tinggi (154 mmol/ each). Kadar normal
plasma chloride antara 95 – 105 mmol/L. Saline cocok untuk resusitasi, namun pemberian
0,9% saline berulang dapat menyebabkan asidosis hiperkloramik. Asidosis hiperkloramik
akan memicu asidosis laktat pada syok yang berkepanjangan. Jika kadar serum klorida
melebihi normal, disarankan untuk menggunakan ringer laktat. Ringer laktat memiliki
kadar yang rendah pada sodium (131 mmol/L) dan klorida (115 mmol/L), serta memiliki
osmolaritas 273 mmol/L. Tidak dapat digunakan pada pasien hyponatremia berat untuk
keperluan resusitasi cairan. Akan tetapi, dapat diberikan pada pasien yang telah
menggunakan saline 0,9% serta memiliki kadar clorida yang melebihi normal. Ringer
laktat tidak dapat digunakan pada pasien dengan kegagalan fungsi hepar dan pada pasien
yang menggunakan metformin karena dapat menganggu metabolism laktat. Koloid
terdapat 3 jenis, diantaranya adalah dextran, gelatin, dan hydroxyethyl starch. Masalah
terhadap penggunaan koloid adalah pengaruhnya terhadap koagulasi. Dextran dapat
mengikat factor VIII kompleks dan menganggu proses koagulasi. Dari seluruh koloid,
gelatin memiliki efek yang minim terhadap koagulasi, namun resiko terhadap reaksi alergi
tinggi. Dextran 40 dan koloid starch dapat berpotensi kerusakan osmotic ginjal pada pasien
hipovolemik. Akan tetapi, jika dengan kristaloid tidak terdapat hemodinamik yang stabil
dan kadar hematocrit tetap tinggi, maka gunakan koloid karena lebih efektif untuk
menurunkan kadar hematocrit. Pada saat kadar hematokrit turun dan hemodinamik pasien
meningkat, hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbaikan volume sirkulasi
Sedangkan pasien boleh dirawat jalan atau pulang jika memenuhi semua kriteria dibawah
ini: 17
- Tidak ada demam dalam 48 jam
- Perbaikan status klinik pasien seperti keadaan umum, nafsu makan baik, status
hemodinamik,
pengeluaran urin, dan tidak ada respirasi distress
- Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar trombosit yang cenderung meningkat,
hematocrit stabil tanpa cairan intraven
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila
terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit
maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih
menandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat.
Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah
terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat
penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga
kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang
awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu
diberikan transfusi.
5.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus demam berdarah dengue adalah overload
cairan, kelainan ginjal, ensefalopati dengue, asidosis metabolik, edema pulmonal, dan
disseminated intravascular coagulation (DIC), respirasi distress, dan gagal jantung. Akibat
kelebihan cairan sesudah tidak adanya kebocoran plasma, dapat menyebabkan terjadinya
edema paru dan gagal jantung. Kelainan metabolik dapat terjadi akibat ketidakseimbangan
elektrolit seperti hipokalsemia, hyponatremia, hipoglikemik, maupun hiperglikemik. Selain
dapat menyebabkan terjadi asidosis metabolik, kelainan tersebut dapat menyebabkan
timbulnya ensefalopati.
5.10 PENCEGAHAN
DEFINISI
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak
<15 tahun.(2) Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang
signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test
tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup
droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler
pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa
normal atau hanya terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan
limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan
sakit TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran
kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.19
6.2 EPIDEMIOLOGI
Proposi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2010
adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tanun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada
tahun 2013, 7,16% pada tahun 2014 dan 9% pada tahun 2015. Proporsi tersebut bervariasi
tiap antar provinsi, dari 1,2% sampai 17,3%. Variasi proporsi ini mungkin menunjukan
endemisitas yang berbeda antar provinsi, tetapi bisa juga karena perbedaan kualitas
diagnosis TB anak pada tiap provinsi.(4)
Sistem pencatatan dan pelaporan TB anak di indonesia belum sempurna, yang ada
umumnya hanya mencakup penderita yang datang ke fasilitas kesehatan. (3) Berdasar
informasi dari fasilitas kesehatan diperkirakan angka kesembuhan sebesar 87 % tetapi Case
Detection Rate (CDR) masih rendah yaitu 32 % pada tahun 2003.5 Tahun 2007 angka
penemuan case detection rate (CDR) di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau hanya
mencapai 49,3%, sedangkan target penemuan kasus TB adalah sebesar 70%. 5 Angka ini
menunjukkan bahwa masih banyak penderita TB BTA positif yang belum terjaring dan
menjalani pengobatan. Di Kabupaten Kuantan Singingi, jumlah kasus TB anak selalu
mengalami peningkatan dari 45 kasus (0,14%) tahun 2005, 98 kasus (0,28%) tahun 2006
menjadi 130 kasus (0,37%) pada tahun 2007, dengan case fatality rate (CFR) sebesar
2,31%. Data kasus TB anak pada tahun 2008 berjumlah 143 kasus.
6.3 ETIOLOGI
6.4 PATOFISIOLOGI
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi, dan
imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Jika sistem imun
seseorang berfungsi dengan baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Tetapi sebagian kecil kuman TB tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik.21 Pada saat imunitas selular terbentuk, fokus
primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk
fibrosis atau klasifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapulasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.21
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.21
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk
ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.22
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis.19 Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,
ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak
aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.20
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak
bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Kuman TB akan menyebar keseluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam
pembuluh darah akan tersangkut diujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat
tersebut.21
Respon imun yang terjadi pada infeksi TB terdiri dari respon imun alamiah dan
imun adaptif yang bekerja saling melengkapi. Kekebalan alamiah melibatkan fagositosis,
pengenalan imun, produksi sitokin, serta mekanisme efektor. Makrofag mampu
menghambat pertumbuhan kuman TB melalui proses fagositosis, sedangkan imunitas
seluler melalui proses presentasi antigen dan peran limfosit T. Sitokin proinflamasi (Terdiri
dari TNF- α, IL-12 dan IFNγ ) yang berperan dalam terjadinya migrasi sel-sel leukosit ke
tempat kuman TB berada. Sel makrofag dan dendritik yang terinfeksi akan memproduksi
IL-12 yang merupakan sitokin penting untuk mengeliminasi kuman TB, selain itu IL-12
akan meregulasi sistem imun mengarah ke respon Th1 sehingga mampu memproduksi
IFNγ yang akan menekan produksi IL-10 dan IL-14 (sitokin inflamasi) yang memiliki
kemampuan menekan produksi IFNγ dan menekan aktifitas makrofag. Sel T yang juga
diproduksi makrofag akan memproduksi tumor necrosis factor –α (TNF –α) yang akan
mempengaruhi terbentuknya granuloma, dan dapat membatasi atau menekan pertumbuhan
kuman TB.21
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Pada awal terjadinya infeksi
TB dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodusum. Uji tuberkulin biasanya
positif dalam waktu 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Tuberkulosis
milier dan meningitis TB dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 12
bulan setelah infeksi TB. Tuberkulosis pleura dapat tejadi dalam 3-6 bulan pertama setelah
terinfeksi TB. Tuberkulosis tulang dapat terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
dalam tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal dapat terjadi lebih lama yaitu 5-25 tahun
setelah infeksi TB primer. Perjalanan munculnya manifestasi TB di berbagai organ di
penelitian Wallgren yang disusun dalam kalender kejadian TB di berbagai organ.
6.5MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum atau nonspesifik yang muncul ialah 23
1. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, demam
umumnya tidak tinggi.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang
4. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik. atau gagal tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
6. Diare presisten atau menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare
7. Keringat malam disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
Gejala klinis pada organ yang terkena TB:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran
KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan
kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
- Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
- Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
- Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
- Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan
di daerah panggul.
- Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
- Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi
ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
- Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
- Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
6.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi
buruk. Selain itu, jika dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)
berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi
M. tuberculosis. Dapat disimpulkan bahwa uji tuberkulin positif menunjukkan adanya
infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. (3). Namun, uji tuberkulin dapat
negatif palsu pada anak TBC berat dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat,
pemberian imunosupresif, dll). Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh
berbagai keadaan sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin
walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TBC. Uji tuberkulin positif palsu dapat juga
ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah. Demikian juga uji
tuberkulin negatif palsu, bisa didapatkan karena penyimpanan tuberkulin yang tidak
baik sehingga potensinya menurun.21
2. Radiologis
pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB,
kecuali gambaran TB milier. Paling mungkin jika ditemukan infiltrat dengan
pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Secara umum, gambaran
radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut(3)
3. Patologi Anatomik
4. Serologi
Bahan pemeriksaan yang digunakan berupa darah, sputum, cairan bronkus, cairan
pleura, dan CCS. Pada awalnya pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan
antara infeksi TB dan sakit TB, namun hingga saat ini belum memenuhi harapan
tersebut, dan pemeriksaan tersebut masih dalam taraf penelitian.
5. Mikrobilologis
- Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi rekasi cepat BCG (<7 hari) harus
dievaluasi dengan sistem skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik
- Diagnosis kerja TB anak di tegakan bila jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
- Pasien usia bawah lima tahun (balita) yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk
evaluasi lebih lanjut
6.8 TATALAKSANA TUBERKULOSIS
- OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler
- Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan
1. Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal
3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit. Diberikan Rifampisin, INH dan Pirazinamid untuk menghancurkan
populasi BTA yang membelah cepat.
- Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
- Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal
prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama.
Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan.
- Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah21
Etambutol
Streptomis
in
Prednison
Obat TB utama (first line) yang digunakan saat ini adalah Isoniazid (INH),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), etambutol (E) dan streptomisin (S). pilihan kedua
(second line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,
ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, kinamycin, amikacin, dan
capreomycin, yang digunakan jika terjadi multi drug resusisten (MDR).26
1. Isoniazid (INH)
INH bersifat bakterisid, dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik
terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat
berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal,
cairan pleura, cairan ascites, jaringan kaseosa. Selain itu, angka timbulnya reaksi
simpang sangat rendah. Dosis harian yang biasa diberikan 5-15 mg/kg/hari (dosis
maksimal 300 mg/hari), diberikan satu kali pemberian, sediaan dalam bentuk tablet 100
mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup sediannya 100mg/5ml, penggunaaan dalam
bentuk sirup tidak di anjurkan, karena biasanya tidak stabil.
INH mempunyai dua efek toksik utama hepatotoksik dan neuritis perifer, jarang
terjadi pada anak tetapi frekuensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia,
lebih mungkin terjadi pada remaja atau anak dengan TB berat. Sebagian besar anak
yang menggunakan INH mengalami peningkatan transaminase darah yang tidak terlalu
tinggi dalam 2 bulan pertama, pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama,
karna akan menurun sendiri tanpa penghentian obat dan jarang menimbukan
hepatotoksisitas pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan. Pemberian INH tidak
dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih dari lima kali harga normal atau
tiga kali disertai ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah dan
nyeri perut.25
2. Rifampisin
Bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan,
dapat membunuh kuman semi dorman yang tidak dapat dibunuh oleh INH. (7)
Diabsorpsi baik melalui saluran gastrointestinal pada saat perut kosong, 1 jam sebelum
makan (karena makanan menghambat bioavabilitas rifampisin) dan kadar puncak
serum tercapai pada 2 jam. Diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/
hari (dosis maksimal 600 mg/hari), dengan dosis satu kali pemberian perhari. Sediaan
rifampisin dalam bentuk kapsul 150 mg, 300mg dan 450 mg.
Jika pemberian Rifampisin bersama dengan INH, maka salah satu dosis dari obat
diatas harus dikurangi menjadi ½ dosis agar tidak mengganggu fungsi hepar
(hepatotoksik). Bila di berikan secara bersamaan makan dosis rifampisin tidak boleh
melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis INH 10mg/kgBB/hari.
Efek samping yang umum terjadi adalah nyeri kepala, mengantuk, fatigue, rasa
gatal dikulit (dengan atau tanpa rash), gangguan gastrointestinal (muntah dan mual),
anoreksia, diare, hiperbilirubinemia, dan hepatotoksisitas (ikterus/ hepatitis) yang
biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Selain
itu, rifampisin juga dapat membuat kontrasepsi oral tidak efektif dan dapat berinteraksi
dengan beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid, dll.19
3. Pirazinamid
4. Etambutol
Etambutol tidak digunakan secara rutin pada anak-anak di bawah usia 8 tahun
karena dapat menyebabkan neuritis optik yang dapat menyebabkan kebutaan
ireversibel jika tidak dihentikan pemakaiannya saat masalah visual terjadi selain itu
dapat terjadi buta warna merah-hijau sehingga penggunaannya dihindari pada anak
yang belum bisa diperiksa tajam penglihatannya.(5) Namun, karena toksisitas terkait
dengan dosis dan durasi terapi, EMB dapat digunakan dengan aman pada dosis yang
dianjurkan untuk pengobatan awal dua bulan. Etambutol dapat digunakan pada anak
dengan TBC berat dan kecurigaan TBC resisten obat jika obat-obat lainnya tidak
tersedia atau tidak dapat digunakan.
5. Streptomisin
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ektraseluler pada keadaan
basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin
jarang digunakan dalam pengobatan TBC, tetapi penggunaannya penting dalam
pengobatan TBC yang resisten obat.26
Keterangan :
- Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin
- Rifampisin di absorpsi dengan melalui sistem gastrointestinal pada saat perut
kosong (1 jam sebelum makan)
TB milier
TB + destroyed
lung
Skeletal TB -
Keterangan :
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial (sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar), meningitis TB, dan peritonitis
TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2 mg/kg BB/hari sampai 4 mg/
kgBB/hari pada kasus sakit berat, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah
60 mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini
untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC= Fixed Dose Combination) Untuk
mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan
OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien
untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu
rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg dalam satu paket.
Keterangan:
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pada fase intensif pasien TB anak kontrol
tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping
obat. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan
penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis.
Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, respon
pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat
badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan
baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon
pengobatan kurang atau tidak baik yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan BB
maka pengobatan TB tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak
ada perbaikn. kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment atau resisten
terhadap OAT, Pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap atau kekonsultan respirologi
anak, bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan yang terbatas.22
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier perlu
diulang setelah 1 bulan untuk mengevaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura
TB pengulangan foto toraks dilakukan setelah 2 minggu.21
Setelah pemberian obat selama 6-12 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks,
pada foto toraks ulangan pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.
Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai.26
Efek samping yang cukup sering muncul karena penggunaan isoniazid dan
rifampisin adalah hepatotoksisitas, neuritis perifer, ruam dan gatal. 25 Hepatotoksisitas
jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hari dan
dosis Rifampisin 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi.
Ketidak patuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi
dan dapat meningkatkan risiko TB resisten obat. Sikap selanjutnya untuk penanganan
bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama
menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus.
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB,lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan
keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar- benar menderita TB.
Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi
dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan
untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.26
1. Pendekatan DOTS
Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan minum obat adalah dengan
melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment),
directly observed treatment shortcourse adalah strategi yang telah direkomendasi oleh
WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB dan telah dilaksanakan
diindonesia sejak tahun 1995.
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang
bertanggung jawab mengawasi pasien menelan obat, disebut sebagai PMO (pengawas
menelan obat). Syarat menjadi PMO adalah dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, tempat tinggalnya dekat dengan pasien, bersedia
membantu pasien dengan sukarela, bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan. 7
Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, tokoh
masyarakat, guru sekolah atau petugas unit kesehatan sekolah yang sudah dilatih
strategi DOTS, dimana tugas PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat
secara teratur dampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau
berobat teratur, memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala tersangka TB segera memeriksakan diri keunit pelayanan
kesehatan. Karena hasil yang terpenting dalam penatalaksanaan TB adalah keteraturan
menelan obat, karena bebrapa minggu setelah mendapatkan pengobatan pasien TB
menunjukan pernaikan kebanyakan dari mereka merasa sembuh dan tidak melanjutkan
pengobatan, untuk itu dibentuk program DOTS.
Jika anak dengan TB, maka harus dicari sumber penular yang menyebabkan anak
tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa menderita TB aktif dan
terdapat kontak erat dengan anak tersebut. sehingga perlu dilakukan pelacakan secara
sentripetal dan sentrifugal, sentripetal dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA
sputum, bila telah ditemukan sumbernya, perlu dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu
mencari anak lain sekitarnya yang mungkin tertular, dengan cara uji tuberkulin.
Jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak sekitarnya atau yang kontak
erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (sentrifugal). Pelacakan tersebut
dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu
tuberkulin.
a. Edukasi ditunjukan kepada pasien dan keluarga pasien agar mengetahui mengenai
apa itu Tuberkulosis.
b. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada anak tidak
menular kepada orang di sekitarnya.
c. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05
ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan
(penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menganggu
struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG
berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak
pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi. .
Dilaporkan manfaat BCG oleh beberapa peneliti antara 0-80%. BCG efektif
terutama untuk mencegah milier, meningitis dan spondilitis TBC pada anak. BCG
memberikan perlindungan terhadap milier TBC, meningitis TBC, TBC tulang dan
sendi, dan kavitas sedikitnya 75%. BCG ulangan tidak dianjurkan mengingat
efektivitas perlindungannya hanya 40%, sekitar 70% TBC berat mempunyai parut
BCG. BCG relatif aman, jarang ada efek samping serius, yang sering ditemukan
ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supurativa) dengan insiden 0,1-1%.
Kontraindikasi pemberian munisasi BCG: defisiensi imun, infeksi berat, luka bakar.27
2. Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit. Diberikan
pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif,
klinis, dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia
balita, menderita morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama
(sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TBC baru, konversi uji tuberkulin
dalam waktu kurang dari 12 bulan.
Demam tifoid atau demam enterik merupakan penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella enterica serotype Typhi. Pada beberapa kasus
dikenal pula demam paratiofid, merupakan jenis yang lebih ringan, disebabkan oleh
S.Paratyphi A, S.Paratyphi B (Schotmulleri), dan S.Paratyphi C (Hirschfeldii).28
Manifestasi klinis pada penyakit ini adalah demam tinggi (>38ºC) selama 7-14 hari
dengan rentang 3-30 hari. Demam disertai berbagai gejala gastrointestinal seperti nyeri
perut, diare, konstipasi, maupun mual dan muntah.16 Sebagai salah satu penyakit infeksi
yang endemis di negara‐negara berkembang, maka dari itu demam tifoid berkaitan
erat dengan kondisi sanitasi tempat tinggal maupun hygiene makanan yang
dikonsumsi, lingkungan yang kumuh, kurangnya kebersihan tempat makan umum (rumah
makan, restoran), serta perilaku makan makanan yang dibeli di pinggir jalan.29,30
Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian demam tifoid antara
lain tidak mencuci tangan sebelum makan, makan/jajan diluar minimal seminggu sekali,
makan di penjaja makanan pinggir jalan, kualitas air dan lingkungan tinggal yang buruk,
tidak memakai air dari PDAM, dan selokan rumah yang tidak tertutup.30,31
Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan gejala klinis
infeksi, yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba yang tepat, pemilihan
antimikroba, umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi strain bakteri, jumlah kuantitas
inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor dari status imun pejamu.
Salmonella yang berada di dalam hepar akan diekskresikan melalui sistem bilier,
dan mengikuti siklus enterohepatik, sehingga terjadi reinfeksi kembali. Pada Plak Peyer
terjadi fokus‐fokus infeksi Salmonella di sepanjang ileum, menyebabkan nekrosis. Apabila
nekrosis ini menembus tunika serosa maka akan terjadi perforasi ileum yang dapat
berakibat peritonitis.34
a. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit yang
rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah
leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-
25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan
koagulasi intravacular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun
gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan37
b.Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex yang
mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua dekade
ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang.11 Antigen dipisahkan dari
berbagai struktur subselular organisme antara lain: liposakarida (LPS), outer membrane
protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian
yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir
100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi
IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex) R dan IgM terhadap S.typhi
(Typhidot) R memiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar 70%dan 80%.11 Pemeriksaan
serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit dengan membandingkan
warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat.
Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus
tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan,
sedangkan IgG sampai 6 bulan.
Dikutip dari : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p5.
d.
Pemeriksaan PCR
yang menjanjikan.28 Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari
S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen
darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).
100%, 9,1% dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana
umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotic sebagai
pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan
kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier
salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis
bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.
Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral
ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi
darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan
dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi,
tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di
rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit
tersebut.
Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di
negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan
ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan
demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa,
dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin,
siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat
ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan
dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR).
S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada tahun 1970,
kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimethoprim
sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah
memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas
pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun
alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi
yang membutuhkan pengobatan parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2.36
Dikutip dari : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p10.
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama kasus demam
tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan sebagai obat alternatif atau
obat pilihan atau lini kedua karena obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya
untuk pengobatan demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa
kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata
hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah.
Dibandingkan dengan antibiotic yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih
cepat bila digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan
penurunan demam oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada anak.
Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa
anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi
terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini
adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa
digunakan untuk mengobati karier S. typhi.
Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid
tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada kasus demam tifoid dengan
kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan sebagai terapi lini kedua atau
alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat
ini selain sebagai terapi alternative untuk kasus demam tifoid yang MDR juga angka
kekambuhan demam tifoidnya yang rendah. Obat ini bekerja dengan menginhibisi
pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit
yang berasal dari sel THP-1.
hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun pada anak
dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip dengan bila digunakan kloramfenikol.
Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap
kuinolon. Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif
mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.29
Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat ini yang dapat
merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga disebagian besar negara di dunia,
obat ini tidak digunakan sebagai obat demam tifoid, sementara di sebagian lain hanya
digunakan pada kasus-kasus berat atau kasus yang dicurigai resisten terhadap
kloramfenikol. Sedangkan sebagian negara lainnya menganggap obat ini tetap bisa
digunakan dengan mempertimbangkan rasio keuntungan dan resikonya.
ANALISIS KASUS
KASUS 1
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini adalah cairan rumatan berupa
KaEN 1B 3cc/kgbb, pada pasien didapatkan adanya batuk nerdahak sehingga
diberikan mukolitik dan bronkodilator untuk mempermudah pengelaran sputum.
Pemberian vitamin A dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang
meningkatkan respons antibodi terhadap virus campak. Diberikan juga obat-
obatan simtomatik seperti paracetamol untuk meredakan suhu agar tetap dibawah
40o C, zinc diberikan pada pasien karena adanya bab cair, zinc berfungsi sebagai
pelindung mukosa saluran cerna, membantu penyerapan cairan serta
memperpendek durasi dan frekuensi diare.
KASUS 2
An. B / Malaria
Pada pasien diberikan DHP sebgai danti malaria dan primakuin 1x3/4 tab sesuai
dengan temuan hasil pemeriksaan penunjang yaitu P. falciparum stadium schizon
KASUS 3
KASUS 4
An. IA / TB Paru
KASUS 5
Tatalaksana yang diberikan yakni berupa tatalaksana umum berupa rawat inap,
pemantauan regulasi suhu, pengawasan diet makanan, pengoreksian cairan yang
hilang, serta simptomatik seperti antipiretik dan pemberian PPI. Tatalaksana
spesifik pada diagnosis kerja demam tifoid pada dasarnya ialah antibiotik oleh
karena pathogen yang mendasarinya ialah bakteri Salmonella Thypii. Antibiotic
yang dipilih adalah sefalosporin generasi ke 3 yaitu cefotaxime
DAFTAR PUSTAKA
28. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J
Med.2002; 347:1770‐1782.
29. Bhutta ZA Enteric Fever (Typhoid Fever) in Nelson Textbook of Pediatrics
19th Edition. 2012. Elsevier: 954-58.
30. Gasem MH, Dolmans WM, Keuter M, Djokomoeljanto RR. Poor food
hygiene and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang, Indonesia.
Trop Med Int Health. 2001;6(6):484-90
31. Volaard AM, Ali S, van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, et al. Risk
factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta Indonesia. J Am Med
Assoc. 2004;291:2607‐15.
32. Jong EC Enteric Fever in Netter’s Infectious Diseases. Philadelphia. Elsevier
Saunders: 2012;394‐98.
33. Monack DM, Mueller A, Falkow S. Persistent bacterial infections: the
interface of the pathogen and the host immune system. Nat Rev Microbiol
2004;(2):747‐65.
34. Mastroeni P, Grant A, Restif O,Maskell D. A dynamic view of the spread and
intracellular distribution of Salmonella enterica. Nat Rev Microbiol 2009;
(7):73‐80.
35. Escobedo GG, Marshall JM, Gunn JS. Chronic and acute infection of the
gallbladder by Salmonella Typhi: understanding the carrier state. Nat Rev
Microbiol 2011;(9):9‐14.
36. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever.
BMJ. 2006;333:78-82.
37. Soedarmo S, Garna H, Hadinegoro S, Satari HI. Infeksi dan pediatri topis.
Edisi 2. IDAI.2015.h109-21.