Anda di halaman 1dari 170

PRESENTASI KASUS

PENATALAKSANAAN 5 PASIEN DEMAM PADA ANAK DENGAN DIAGNOSIS


BERBEDA

Disusun Oleh:

Diah Quratun Ayuni

030.12.075

Pembimbing:

Prof. dr. Widagdo Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 28 AGUSTUS – 4 NOVEMBER 2017

JAKARTA
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul
"Penatalaksanaan 5 Pasien Demam Pada Anak" dengan baik dan tepat waktu. Presentasi
kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan
kepaniteraan klinik ilmu penyakit anak di RSUD Budhi Asih.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Widagdo, Sp. A sebagai
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada keluarga dan rekan-rekan sejawat yang telah memberikan dukungan, saran, dan kritik
yang membangun. Keberhasilan penyusunan laporan kasus ini tidak akan tercapai tanpa
adanya bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak-pihak tersebut.

Jakarta, 23 September 2017

Diah Quratun Ayuni


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................3

BAB II LAPORAN KASUS………………………………....……………………………...4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................54

BAB IV ANALISIS KASUS................................................................................................164

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................169
BAB I

PENDAHULUAN

Demam adalah suatu tanda bahwa tubuh sedang melawan infeksi atau bakteri yang
berada di dalam tubuh. Demam juga biasanya menjadi pertanda bahwa sistem imunitas anak
berfungsi dengan baik (Nurdiansyah, 2011). Demam bukan merupakan penyakit melainkan
reaksi yang menggambarkan adanya suatu proses dalam tubuh. Saat terjadi kenaikan suhu,
tubuh bisa jadi sedang memerangi infeksi sehingga terjadi demam atau menunjukan adanya
proses inflamasi yang menimbulkan demam (Arifianto, 2012). Protokol Kaiser Permanente
Appointment and Advice Call Center mendefinisikan demam yaitu temperatur rektal diatas
38°C, aksilar 37,5°C dan diatas 38,2°C dengan pengukuran membrane tympani. Sedangkan
dikatakan demam tinggi apabila suhu tubuh >41°C (Kania, 2010). Demam pada anak terjadi
ketika suhu tubuh anak diatas 38°C (Arifianto, 2012). American Academy of Pediatrics
(AAP) menyebutkan bahwa demam sering terjadi pada anak usia sekolah yaitu 5-11 tahun
yang disebabkan oleh infeksi virus seperti batuk, flu, radang tenggorokan, common cold
(selesma) dan diare. Disamping itu juga anak usia sekolah merupakan kelompok rentan untuk
terjadinya kasus kesehatan gigi dan mulut. Karies gigi pada anak usia sekolah menempati
posisi cukup tinggi, yaitu dari 100 anak yang melakukan pemeriksaan kesehatan gigi dan
mulut, hanya 10 anak yang terbebas dari karies gigi yang biasanya menyebabkan rasa
sakit/nyeri serta demam (Depkes RI, 2000, Susanto, 2007).

Penanganan pertama demam pada anak dapat berupa terapi farmakologi dan terapi
non farmakologi. Terapi farmakologi yang digunakan biasanya adalah berupa memberikan
obat penurun panas, sedangkan terapi non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu
mengenakan pakaian tipis, lebih sering minum, banyak istirahat, mandi dengan air hangat,
serta memberi kompres (Saito, 2013). Tindakan kompres yang dapat dilakukan antara lain
kompres hangat basah, kompres hangat kering dengan larutan obat antiseptik, kompres basah
dingin dengan dengan air biasa dan kompres dingin kering dengan kirbat es atau kantung
untuk mengompres (Asmadi, 2008).
BAB II

LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH

Nama Mahasiswa: Diah Quratun Ayuni Pembimbing: Prof Widagdo, Sp.A

NIM : 030.12.075 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN 1

Identitas

Nama : An. RMA

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 1 tahun 11 bulan 22 hari

Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 13 September 2015

Suku bangsa : Betawi

Agama : Islam

Pendidikan :-

Alamat : Jl. Menteng Rawa Jelawe 09/11 RT/RW: 09/11, kelurahan Pasar
Manggis, kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Orang Tua/Wali

Ayah Ibu

Nama : Tn. DA Nama : Ny. FS

Umur : 29 tahun Umur : 25 th

Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP

Suku bangsa : Betawi Suku bangsa : Betawi

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Jl. Menteng Rawa Alamat : Jl. Menteng Rawa


Jelawe 09/11 RT/RW: 09/11, Jelawe 09/11 RT/RW: 09/11,
kelurahan Pasar Manggis, kecamatan kelurahan Pasar Manggis, kecamatan
Setiabudi, Jakarta Selatan Setiabudi, Jakarta Selatan

Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung.

0 ANAMNESIS

Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung dan ayah kandung pasien di
bangsal Emerald barat pada tanggal 5 September 2017 pukul 06.00 WIB.

Keluhan utama : Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit

Keluhan tambahan : Bintik kemerahan di seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit.
0 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan keluhan demam
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul mendadak dan terus-menerus. Pasien
juga mengeluh adanya batuk dan pilek sejak 4 hari SMRS, batuk disertai dengan dahak yang
sulit keluar. Ibu pasien mengatakan 4 hari terakhir mata pasien terlihat merah danbtampak
banyak kotoran. Pasien juga tampak rewel dan lebih sering menangis.

Pada tubuh pasien juga didapatkan bintik kemerahan yang menyebar dimulai dari
leher dan menjalar ke seluruh tubuh yang timbul pada hari ketiga demam dimana demam
semakin meningkat pada saat awal timbulnya ruam. Tidak terdapat penurunan nafsu makan.
Pasien mengeluh adanya BAB cair sejak 3 hari yang lalu, BAB cair 2 kali dalam 24 jam
terakhir berwarna kuning kecoklatan, terdapat lendir dan tidak terdapat darah. Keluhan
muntah disangkal. Buang air kecil normal seperti biasanya, tidak ada penurunan dari
frekuensi dan banyaknya. Ibu pasien mengatakan tidak terdapat penurunan berat badan, berat
badan saat diperiksa di rumah sakit sesuai dengan berat badan pasien saat dirumah.
Sebelumnya kurang lebih 2 minggu yang lalu kakak pasien dirawat di RS Tebet dengan
diagnosis campak, lalu kakak pasien pulang dan tinggal bersama lagi dengan pasien setelah
dinyatakan sembuh.

1 Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit jantung (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)

Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien belum pernah


mengalami penyakit yang sama sebelumnya.

0 Riwayat Kehamilan/ Persalinan


Morbiditas kehamilan Anemia (-), hipertensi (-), diabetes
mellitus (-), penyakit jantung (-), penyakit
paru (-), merokok (-), infeksi (-), minum
KEHAMILAN alkohol (-)

Perawatan antenatal Rutin kontrol bidan setiap 3 bulan sekali


dan selalu datang sesuai anjuran.
Tempat persalinan Puskesmas
Penolong persalinan Bidan
Spontan
Cara persalinan
Penyulit : Tidak ada
Masa gestasi Cukup bulan
Berat lahir : 2800 gr
KELAHIRAN Panjang lahir : 49 cm
Lingkar kepala : Ibu pasien lupa
Langsung menangis (+)
Keadaan bayi
Kemerahan (+)
Kuning (-)
Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan :. Pasien lahir spontan dengan usia
kandungan cukup bulan

0 Riwayat Perkembangan

- Pertumbuhan gigi I : 5 bulan (Normal: 5-9 bulan)


- Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
- Psikomotor :
Tengkurap : 3 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : 7 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 15 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Bicara : 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Tidak terdapat keterlambatan
perkembangan pasien, baik sesuai usia .

2 Riwayat Makanan

Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +

Kesimpulan Riwayat Makanan : Pasien mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan


Dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping berupa bubur susu dan nasi tim

0 Riwayat Imunisasi

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )


Hepatitis B + + + - - -
DPT + + + - - -
Polio + + + - - -
BCG + - - -
Campak + - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi: Imunisasi dasar sudah lengkap.

3 Riwayat Keluarga
Jenis Lahir Mati Keterangan
No Usia Hidup Abortus
kelamin mati (sebab) kesehatan

1. 6 tahun Laki-laki + - - - Sehat

1 tahun
2 Laki-laki + - - - Pasien
11 bulan

Kesimpulan corak reproduksi : Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, ibu
tidak pernah mengalami keguguran ataupun kematian anak.

b. Riwayat Pernikahan

Ayah Ibu

Nama Tn. DA Ny. FS

Perkawinan ke- 1 1

Umur saat menikah 27 tahun 23 tahun

Agama Islam Islam

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

Kosanguinitas - -

Kesimpulan Riwayat Keluarga : Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang
menderita gejala atau penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.

A. Riwayat Lingkungan

Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua dan kakak pasien. Lingkungan rumah
pasien padat, ventilasi dan pencahayaan cukup. Untuk kebutuhan sehari – hari menggunakan
air tanah dan minum dari air galon. Kakak pasien baru dirawat dari RS Tebet dengan
diagnosis campak dan saat ini telah pulang dan tinggal bersama dengan pasien.
Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Keadaan lingkungan rumah pasien saat ini
kurang baik karena kakak pasien baru dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama.

B. Riwayat Sosial dan ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai wiraswatsa dengan pendapatan kurang lebih 3 juta per bulan.
Ibu pasien adalah ibu rumah tangga.

Kesimpulan sosial ekonomi : Cukup

C. Riwayat Pengobatan : Belum pernah berobat sebelumnya.

Kesimpulan pengobatan : Belum pernah berobat sebelumnya.

0 PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi kurang

DATA ANTROPOMETRI
Lingkar Kepala : 46 cm (-2SD)
Lingkar Lengan Atas : 12 cm
Berat Badan sekarang : 8,4 kg
Tinggi Badan : 75 cm

STATUS GIZI
BB/U = 8,4/12,4 x 100% = 67,74%
TB/U = 75/84 x 100% = 86,20%
BB/TB = 8,4/10,2 x 100% = 82,35%%
Kesimpulan status gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan
kesan gizi kurang.

TANDA VITAL
Nadi : 122x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 37,60C
SPO2 : 98%

Kepala : Normosefali

Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut

Wajah : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka, ataupun jaringan parut

Mata :
Visus : Tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophtalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Oedem : -/- Sekret : +/+
Injeksi konjungtiva : +/+
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+

Telinga :

Bentuk : Normotia Tuli : -/-


Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-
Hidung :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-

Bibir : Mukosa berwarna merah muda, sianosis (-), pucat (-)

Mulut : Trismus (-), oral hygiene baik, halitosis (-), mukosa gigi berwarna merah
muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan
mukosa palatum berwarna merah muda, bercak koplik (-)

Lidah : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-),


atrofi papil (-), tremor (-), lidah kotor (-)

Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-), detritus (-), dinding posterior faring
hiperemis(+) arcus faring tidak hiperemis, uvula terletak ditengah.

Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba
pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening.

Thoraks
 Jantung
Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi :Bentuk thoraks simetris, gerak dinding dada simetris kanan dan kiri,
tidak tampak pernapasan cepat, retraksi intercostal (-) retraksi
subcostal (-) retraksi suprasternal (-) ruam (+) makula papul eritema.
Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus normal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : Warna kulit sawo matang, tidak tampak distensi , ruam(+) makula
papul eritema, kulit keriput (-), umbilikus normal, gerak dinding perut
saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)

Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 3x/menit

Perkusi : Timpani seluruh lapang perut

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien tidak
teraba membesar, acites (-)

Genitalia : Jenis kelamin laki-laki dalam batas normal, fimosis (-)

Kelenjar getah bening :

- Preaurikuler : tidak teraba membesar


- Postaurikuler : tidak teraba membesar
- Submandibula : tidak teraba membesar
- Supraclavicula : tidak teraba membesar
- Axilla : tidak teraba membesar
- Inguinal : tidak teraba membesar

Ekstremitas :

Inspeksi : Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan
kaki, serta sikap badan, sianosis (-), edema (-), ruam (+) pada keempat
ekstremitas berupa makula papul eritema.
Palpasi : akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-), edema (-) pada
kedua tungkai, capillary refill time <2 detik.

Kulit : Warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak lembab,
terdapat makula papul eritema pada seluruh tubuh.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 04/8/17 Hasil Nilai normal


Hematologi Rutin
Eritrosit 5,3 3,6-5,2 juta/ uL
Hemoglobin 11,0 10,8-12,8 g/ dL
Hematokrit 30 30-43%
Leukosit 7,2 6-17 ribu/ μL
Trombosit 288 217-497 ribu/ μL
MCV 75 73-101 fL
MCH 25 23-31 pg
MCHC 27 26-34 g/ dL
RDW 13,9 <14%
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 101 33-111 mg/dL
Elektrolit Serum
Natrium 136 135-155 mmol/L
Kalium 3,6 3,6-5,5 mmol/L
Klorida 100 98-109 mmol/L

RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan keluhan demam
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul mendadak, terus-menerus dan
bertambah parah. Pasien juga mengeluh adanya batuk dan pilek sejak 4 hari SMRS, batuk
disertai dengan dahak yang sulit keluar. Pasien juga tampak rewel dan lebih sering menangis.
Pada tubuh pasien juga didapatkan bintik kemerahan yang menyebar dimulai dari leher dan
menjalar ke seluruh tubuh. Pasien mengeluh adanya BAB cair sejak 3 hari yang lalu, BAB
cair 2 kali dalam 24 jam terakhir berwarna kuning kecoklatan, terdapat lendir dan tidak
terdapat darah. Pasien mengeluh terdapat banyak kotoran pada mata pasien. Sebelumnya
kurang lebih 2 minggu yang lalu kakak pasien dirawat di RS Tebet dengan diagnosis campak,
lalu kakak pasien pulang dan tinggal bersama lagi dengan pasien setelah dinyatakan sembuh.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang, compos mentis, kesan status status
gizi kurang menurut CDC. Nadi : 122x/menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular,
pernapasan :24x/menit, Suhu : 37,60C, SPO2: 98%. Pada pemeriksaan status generalisata
didapatkan tampak banyak kotoran pada ujung mata pasien dan injeksi konjungtiva pada
kedua mata pasien. Terdapat faring hiperemis, pada pemeriksaan kulit didapatkan makula
papul eritema pada seluruh tubuh. Pada pemeriksaan laboraturium didapatkan semua dalam
batas normal.

II. DIAGNOSIS BANDING


Morbili fase erupsi
Rubeola
Roseola
Gizi kurang

III. DIAGNOSIS KERJA


Morbili fase erupsi
Gizi kurang

IV. PEMERIKSAAN ANJURAN


Serologis immunoglobulin virus morbili

V. TATALAKSANA
Non- Medikamentosa
- Rawat inap
- Diet pada gizi kurang sesuai berat badan ideal
Medikamentosa
- IVFD KAEN 1B 3cc/mg/kgbBB
- Ambroxol 3 x 15mg
- Salbutamol 3 x 1,5mg
- Vit A 200.000 ui (2hari)
- Paracetamol 3 x 100mg
- Probiokid 1 x 1 sachet
- Zinkid 1x1

VI. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : bonam
LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH

STATUS PASIEN

Nama Mahasiswa : Diah Quratun Ayuni Pembimbing: Prof.dr.H Widagdo, SpA

NIM : 030.12.075 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN 2

Nama : An. B

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 5 tahun

Tempat/ tanggal lahir : 8/11/2011

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kemang Utara 9 no 29-Jakarta Selatan


Orang Tua/Wali

Ayah Ibu

Nama : Tn. AS Nama : Ny. I

Umur : 31 tahun Umur : 28 th

Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : S1 Pendidikan : S1

Suku bangsa : Jawa Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Jl. Kemang Utara 9 Alamat : Jl. Kemang Utara 9


no 29-Jakarta Selatan no 29-Jakarta Selatan

Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung.

1 ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu pasien pada tanggal 11 Juli 2017 pukul
11.00 WIB.
• Keluhan Utama
Demam sejak 5 hari SMRS
• Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan demam tinggi, keringat dingin, dan


menggigil sejak 5 hari SMRS. Demam naik turun, disertai mual (+), muntah
(+) dan sakit kepala. Pasien juga mengeluh batuk kering. BAK seperti teh.
Riwayat perjalanan ke Bima, NTB selama 4 bulan.

B. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit jantung (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)

Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien belum pernah


mengalami penyakit yang sama sebelumnya.

C. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

Morbiditas kehamilan Anemia (-), hipertensi (-),


diabetes mellitus (-), penyakit
jantung (-), penyakit paru (-),
merokok (-), infeksi (-), minum
KEHAMILAN alkohol (-)
Perawatan antenatal 4 minggu sekali pada trimester I,
2 minggu sekali pada trimester
II dan 1 minggu sekali pada
trimester III. TT (+)
KELAHIRAN Tempat persalinan Rumah Bersalin
Penolong persalinan Bidan
Spontan
Cara persalinan
Penyulit : -
Masa gestasi Cukup bulan
Berat lahir : 3300 gr
Panjang lahir : 49 cm
Lingkar kepala : Ibu pasien lupa
Langsung menangis (+)
Keadaan bayi
Kemerahan (+)
Kuning (-)
Nilai APGAR : Tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan :. Pasien lahir spontan, cukup bulan,
tidak ada penyulit dengan berat badan 3300 gram.

D. Riwayat Perkembangan
- Pertumbuhan gigi I : 9 bulan (Normal: 5-9 bulan)
- Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
- Psikomotor :
Tengkurap : 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : 9 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 11 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 14 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Bicara : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Membaca dan menulis : 4 tahun (Normal : 4-5 tahun)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Tidak terdapat
keterlambatan perkembangan pasien, baik sesuai usia .

E. Riwayat Makanan

Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 PASI - - -
4–6 PASI + + -
6–8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah


Nasi 3x/ hari (1/2 piring)
Sayur 4x/ minggu (1 mangkuk kecil)
Daging 2x/ minggu (1 potong)
Telur 3x/minggu (1 butir/1x makan)
Ikan 6-7x/hari (1/2 ekor)
Tahu 6x/ minggu (1 potong)
Tempe 6x/ minggu (1 potong)
Susu 2x/ minggu (1 gelas)
Tambahan Tidak ada
Kesulitan makan : (+) sejak pasien sakit

Kesimpulan Riwayat Makanan : Tidak ada kesulitan makan

F. Riwayat Imunisasi

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )


Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Polio 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
BCG 2 bulan - - - - -
Campak 9 bulan - - - - -
MMR 15 bulan - - - - -
Kesimpulan riwayat imunisasi: Imunisasi dasar lengkap
G. Riwayat Keluarga
Jenis Lahir Mati Keterangan
No Usia Hidup Abortus
Kelamin Mati (sebab) Kesehatan

1. 5 tahun Laki - laki + - - - Pasien

Kesimpulan corak reproduksi : Pasien merupakan anak tunggal

H. Riwayat Pernikahan

Ayah Ibu

Nama Tn. AS Ny. I

Perkawinan ke- 1 1

Umur saat menikah 24 tahun 21 tahun

Agama Islam Islam

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

Kosanguinitas - -

Kesimpulan Riwayat Keluarga : Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang
menderita gejala atau penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.

H. Riwayat Lingkungan
Keadaan rumah : tidak padat penduduk, sanitasi baik,
ventilasi baik, pencahayaan baik dan sumber air
minum dari aqua galon.

Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Rumah pasien berada di lingkungan yang


berpolusi namun kebersihan rumah dalam keadaaan baik.

I. Riwayat Sosial dan ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai wiraswatsa dengan pendapatan kurang lebih 5 juta per
bulan. Ibu pasien adalah ibu rumah tangga.
Kesimpulan sosial ekonomi : Cukup

J. Riwayat Pengobatan : Belum pernah berobat sebelumnya.

Kesimpulan pengobatan : Belum pernah berobat sebelumnya.

K. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi kurang

DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan sekarang : 18 kg
Tinggi Badan : 105 cm
Lingkar Kepala : 52 cm
Lingkar dada : 54 cm
Lingkar lengan atas : 14 cm
Kesimpulan status gizi : kesan gizi baik.

TANDA VITAL
0 Tekanan darah : 90/60 (diukur di lengan kiri)
1 Nadi : 110x/ menit (regular, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri)
2 Pernapasan : 22 x/ menit
3 Suhu : 38,2o C

Kepala : Normosefali, tidak ada jejas, tidak ada luka, nyeri kepala (+)
Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka, ataupun jaringan parut
Mata :
Visus : Tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophtalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Oedem : -/- Sekret : +/+
Injeksi konjungtiva : +/+
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+

Telinga :

Bentuk : Normotia Tuli : -/-

Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-


Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-

Hidung :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-

Bibir : Mukosa berwarna merah muda, sianosis (-), pucat (-)

Mulut : Trismus (-), oral hygiene baik, halitosis (-), mukosa gigi berwarna merah
muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan
mukosa palatum berwarna merah muda, bercak koplik (-)

Lidah : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-),


atrofi papil (-), tremor (-), lidah kotor (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-), detritus (-), dinding posterior faring
hiperemis(+) arcus faring tidak hiperemis, uvula terletak ditengah.

Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba
pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening.
Thoraks
 Jantung
Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
 Paru
Inspeksi :Bentuk thoraks simetris, gerak dinding dada simetris kanan dan kiri,
tidak tampak pernapasan cepat, retraksi intercostal (-) retraksi
subcostal (-) retraksi suprasternal (-) ruam (+) makula papul eritema.
Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus normal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, datar, warna sawo matang, tidak terdapat striae tidak terdapat
pelebaran vena
Auskultasi : Bising usus positif 3x/menit
Perkusi :
- Batas bawah hepar setinggi ICS 7 linea midclavicularis kanan dengan Suara pekak
- Shifting dullness (-)
Palpasi :
- Supel, tidak teraba massa, turgor kulit baik
- Nyeri tekan epigastrium (+)
- Tidak teraba pembesaran hepar baik lobus kanan maupun lobus kiri
- Tidak teraba pembesaran lien
- Ballottement negatif pada ginjal kanan dan kiri undulasi (-)

Genitalia : : Jenis kelamin laki-laki dalam batas normal, fimosis (-)

Kelenjar getah bening :


Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikular : Tidak teraba membesar
Submental : Tidak teraba membesar
Submaksila : Tidak teraba membesar
Supraclavicular : Tidak teraba membesar
Aksila : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar

Ekstremitas :
Ekstremitas Atas
Inspeksi : bentuk normal
Palpasi : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT < 3”
Ekstremitas Bawah
Inspeksi : bentuk normal, tampak bintik merah kehitaman gigitan nyamuk (+)
Palpasi : akral hangat +/+, oedem -/-, CRT < 3”

Tulang Belakang :
Bentuk normal, lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-), gibus (-), massa (-) nyeri tekan (-)

Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis
Kejernihan: agak keruh
Hematologi
Eritrosit: 5,8 juta/UL
Trombosit: 192 ribu/UL

Hematologi
Malaria: P. Falciparum stadium schizon

IV. RESUME
Pasien an. B laki-laki 5 tahun datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan
keluhan demam 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam naik turun, disertai mual (+),
muntah (+) dan sakit kepala. Pasien juga mengeluh batuk kering. BAK seperti teh. Riwayat
perjalanan ke Bima, NTB selama 4 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
epigastrium dan bintik merah kehitaman gigitan nyamuk pada ekstremitas. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan urinalisis kejernihan: agak keruh, eritrosit: 5,8 juta/UL, trombosit: 192
ribu/UL, Malaria: P. Falciparum stadium schizon.

II. DIAGNOSIS BANDING


Malaria
Demam Berdarah Dengue

2 DIAGNOSIS KERJA\
Malaria
3 PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan mikroskopis darah

4 TATALAKSANA
Non- Medikamentosa
- Rawat inap
Medikamentosa
- IVFD Kaen IB 3cc/KgBB/Jam
- Clanexy syr 2x250mg
- DHP 1x1 tab
- Primakuin 1x3/4 tab
PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH

Nama Mahasiswa: Diah Quratun A Pembimbing: Prof. Dr. H.Widagdo SpA MBA
NIM : 030.12.075 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN 3

Nama : An. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 3 tahun 4 bulan
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 13 Mei 2014
Suku bangsa : Betawi
Agama : Islam
Pendidikan :-
Alamat : Jl. Tebet Barat Dalam 7B No. 26, Jakarta Selatan

ORANG TUA/ WALI

Ayah Ibu
Nama : Tn. A Nama : Ny. S
Umur : 24 Umur : 24
Pekerjaan : Wirausaha Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : S1 Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Betawi Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Jl. Tebet Barat Alamat : Jl. Tebet Barat
Dalam 7B No. 26, Jakarta Selatan Dalam 7B No. 26, Jakarta Selatan

Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung.


I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien di Bangsal Dahlia
Timur pada tanggal 29 Agustus 2017.
Keluhan utama : Demam sejak 3 hari sebelum masuk RS.
Keluhan tambahan : Nyeri perut sejak 1 hari sebelum masuk RS. Muntah 1
kali
sebelum masuk RS. Mimisan 1 kali sebelum masuk
RS.
Bintik-bintik merah 1 hari sebelum masuk RS

A. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa oleh kedua orangtuanya
dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Demam muncul secara tiba-tiba, terus-menerus, dan terasa panas dengan
perabaan tangan. Pasien mengeluh nyeri perut sejak 2 hari sebelum masuk RS.
Nyeri perut di ulu hati bersifat tajam, timbul mendadak, hilang timbul, dan
tidak menjalar ke daerah lain. Pasien juga mengalami Muntah dan mimisan
sejak 1 hari sebelum masuk RS. Muntah sebanyak 1x, bersifat cair, warna
merah segar, dan jumlahnya sedikit. Mimisan sebanyak 1x dan berlangsung 5
menit. Kedua orang tua pasien juga mengeluh terdapat bintik-bintik merah di
siku kedua tangan sejak 1 hari sebelum masuk RS. Keluhan lain seperti batuk,
pilek, gusi berdarah, gangguan BAB dan BAK disangkal. Pasien belum pernah
berobat sebelumnya. Pasien baru pertama kali mengalami hal seperti ini
selama ini dan tidak ada tetangga atau keluarga pasien yang mengalami hal
yang serupa dengan pasien.

B. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit jantung (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien belum pernah


mengalami penyakit yang sama sebelumnya.

C. Riwayat Kehamilan/ Persalinan

Morbiditas kehamilan Anemia (-), hipertensi (-), diabetes mellitus


(-), penyakit jantung (-), penyakit paru (-),
merokok (-), infeksi (-), minum alkohol (-)
KEHAMILAN
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke dokter Obsgyn 2 bulan
sekali dan selalu datang sesuai anjuran.
Tempat persalinan RSIA Budhi Jaya
Penolong persalinan Dokter Obsgyn
Normal
Cara persalinan
Penyulit : -
Masa gestasi Cukup bulan
Berat lahir : 3.400 gram
KELAHIRAN Panjang lahir : 53 cm
Lingkar kepala : Ibu pasien tidak tahu
Langsung menangis (+)
Keadaan bayi
Kemerahan (+)
Kuning (-)
Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan :. Pasien lahir normal

D. Riwayat Perkembangan
- Pertumbuhan gigi I : 8 bulan (Normal: 5-9 bulan)
- Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
- Psikomotor :
Tengkurap : 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : 9 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 11 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 15 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Bicara : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
- Perkembangan pubertas :-

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Tidak terdapat


keterlambatan perkembangan pasien, baik sesuai usia.

E. Riwayat Makanan

Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI - + +
8 – 10 ASI - + +
10 -12 ASI - + +

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah

Nasi / Pengganti Nasi 2 kali / hari (1 piring )

Sayur 2 kali / hari ( 1 mangkuk kecil )

Daging 2 kali / hari ( 1 potong )

Ikan 1 kali / seminggu ( ½ - 1 potong )

Telur 2 kali / hari ( 1 butir / 1 kali makan )

Tempe 1 kali / sebulan ( 1 )

Tahu 2 kali / hari ( 1 – 2 potong )

Kesimpulan Riwayat Makanan : Pasien mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan .


Dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping berupa bubur susu dan nasi tim saring.
Riwayat makan sekarang baik, pasien rutin mengonsumsi makanan dengan kualitas dan
kuantitas yang cukup.
F. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

3 4
Hepatitis B Lahir 2 bulan
bulan bulan

Polio Lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan

BCG 1 bulan

DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan

Hib 2 bulan 3 bulan 4 bulan

Campak 9 bulan

Kesimpulan riwayat imunisasi: Imunisasi dasar sudah lengkap.

7 Riwayat Keluarga
a. Corak Reproduksi

Tanggal
Jenis Lahir Mati Keterangan
No lahir Hidup Abortus
kelamin mati (sebab) kesehatan
/Usia
1. 2014 Laki-laki + - - - Sehat

Kesimpulan corak reproduksi : Pasien merupakan anak pertama

8 Riwayat Pernikahan

Ayah Ibu

Nama Tn. A Ny. T


Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 19 tahun 19 tahun
Pendidikan terakhir S1 SMA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Betawi Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit, bila ada - -

Kesimpulan Riwayat Keluarga :

Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama seperti
yang dialami oleh pasien.

9 Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua. Rumah merupakan rumah sendiri,
dua lantai, beratap genteng, berlantai keramik, dan berdinding tembok. Ventilasi dan
pencahayaan baik. Sumber air bersih dari air PAM. Air yang dikonsumsi direbus
hingga mendidih. Rumah pasien terletak di kawasan penduduk yang padat. Kedua
orang tua pasien menguras dan menutup sumber air seminggu sekali. Baik anggota
keluarga maupun tetangga disekitar pasien tidak ada sedang mengalami demam
berdarah dengue.

Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Rumah pasien berada di lingkungan


yang padat penduduk.

II. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi baik

DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan sekarang : 13,5 kg
Berat Badan sebelum sakit : 14 kg
Tinggi Badan : 99 cm

STATUS GIZI
- BB / U = 13,5/14 x 100% = 95 %
- TB/U = 99/95 x 100% = 104%
- BB/TB = 13,5/15 x 100% = 90%
Kesimpulan status gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan
kesan gizi baik

TANDA VITAL
4 Tekanan darah : 95/50 mmhg
5 Nadi : 112 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
6 Pernapasan : 34 x/ menit
7 Suhu : 37,8o C

KEPALA : Normocephali, deformitas (-), hematoma (-).


RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut

MATA :
Visus : tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3mm/3mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+

TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-

HIDUNG :
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi : +/+

BIBIR: Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), pucat (-)

MULUT:
Trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna merah muda,
perdarahan mukosa gusi (-) mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris
dengan mukosa palatum berwarna merah muda, ulkus (-), halitosis (-).

0 Lidah : Normoglosia, pucat (-), ulkus (-), hiperemis (-) massa (-), atrofi papil (-),
coated tongue (-).

TENGGOROKAN:
Dinding posterior faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T1/T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar, tidak ada detritus

LEHER:
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak
tampak deviasi trakea.
- Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid.
- Tidak teraba pembesaran KGB submandibula, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan.
- Trakea teraba di tengah.

THORAKS :
0 JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

 PARU
Inspeksi
Retraksi substernal (-), subcostal (-), intercostall (-), bentuk thoraks simetris pada saat
statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang tertinggal.
Palpasi
Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus
teraba simetris pada kedua hemithoraks.

Perkusi
Sonor dikedua lapang paru.
Batas paru-lambung : ICS VII linea axillaris anterior
Batas paru-hepar : ICS VI linea midklavikularis dextra

Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-) di seluruh lapang paru, wheezing
(-),
stridor (-)
ABDOMEN :

Inspeksi :
Warna kulit sawo matang, ruam (-), kulit keriput (-), umbilikus normal, gerak dinding perut
saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)

Auskultasi : Bising usus (+) 5x/menit


Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen. Shifting dullness (-)
Palpasi :
- Supel, nyeri tekan regio abdomen (+) pada epigastrium, turgor kulit baik
- Hepar : Tidak teraba membesar
- Lien : Tidak teraba membesar
- Ginjal : Ballotement -/-
ANOGENITALIA:

Jenis kelamin laki-laki

KGB :
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraclavicula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar

EKSTREMITAS :
Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta
sikap badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat
ekstremitas, sianosis (-), edema (-), capillary refill time <2 detik. Uji torniquet (+)
pada ekstremitas atas sinistra. Ptekie (+) pada kedua siku ekstremitas atas dan
patela dekstra.

Tangan Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain Edema (-) Edema (-)
Ptekie (+) Ptekie (+)

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain Edema (-) Edema (-)
Ptekie (+) pada patela Ptekie (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 29/8/17 Hasil Nilai normal


Hematologi Rutin
Leukosit 6.3 5.5-15.5 ribu/ μL
Eritrosit 4.1 3,6-5,8 juta/ uL
Hemoglobin 11.1 10,7-12,8 g/ dL
Hematokrit 33 33-45%
Trombosit 3 217-497 ribu/ μL
MCV 80.6 73-101 fL
MCH 27.2 23-31 pg
MCHC 33.7 26-34 g/ dL
RDW 11,4 <14%
Kimia Klinik
GDS 86 52-98 mg/ dL
Elektrolit
Natrium 135 135-155
Kalium 4.5 3.6-5.5
Klorida 101 98-109

IV. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa oleh kedua orangtuanya
dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam
muncul secara tiba-tiba, terus-menerus, dan terasa panas dengan perabaan tangan.
Pasien mengalami nyeri perut sejak 2 hari sebelum masuk RS. Nyeri perut di ulu hati
bersifat tajam, timbul mendadak, hilang timbul, dan tidak menjalar ke daerah lain.
Pasien juga mengalami muntah dan mimisan sejak 1 hari sebelum masuk RS. Muntah
sebanyak 1x, bersifat cair, warna merah segar, dan jumlahnya sedikit. Mimisan
sebanyak 1x dan berlangsung 5 menit. Kedua orang tua pasien juga mengeluhkan
pasien terdapat bintik-bintik merah di siku kedua tangan sejak 1 hari sebelum masuk
RS. Keluhan lain seperti batuk, pilek, gusi berdarah, gangguan BAB dan BAK
disangkal. Pasien sebelumnya belum pernah mengalami keluhan seperti ini. Riwayat
imunisasi dasar tidak lengkap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos
mentis dengan keadaan umum tampak sakit sedang, gizi baik. Kepala, leher, thoraks
dalam batas normal. Pada regio abdomen didapatkan nyeri tekan pada ulu hati. Pada
ekstremitas Uji torniquet (+) pada ekstremitas atas sinistra, serta didapatkan ptekie
pada kedua siku ekstremitas atas dan patella dextra. Pada pemeriksaan laboratorium
darah ditemukan trombositopenia, penurunan kadar hemoglobin, eritrosit, hematokrit.
Selain itu, didapatkan kelainan hitung jenis berupa penurunan hitung jenis basofil,
eosinophil, netrofil batang, dan peningkatan monosit.

V. DIAGNOSIS BANDING
- Demam Berdarah Dengue Grade II
- Demam Dengue
- Demam Tifoid

VI. DIAGNOSIS KERJA


- Demam Berdarah Dengue Grade II

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Pemeriksaan darah rutin
- IgG IgM anti dengue
- NS1

VIII. TATALAKSANA
- Rawat inap
- IUFD Kaen 1B 3cc/kgbb/Jam
- Thrombocyte concentrate 2 x 150 mg
- Diet: Makan Biasa
 Medikamentosa
- Paracetamol 3 x 150 mg
- Inj Ranitidine 2 x 25 mg
- Inj Metilprednisolone 16 mg

 Non medikamentosa
Edukasi :
- Edukasi orang tua mengenai keadaan dan penyakit pasien

- Tirah baring yang adekuat

- Kompres panas

- Minum sesuai dengan kebutuhan

- Minum paracetamol 3-4x sehari sesuai dengan berat-badan pasien jika demam >
38oC

- Mencari sumber jentik nyamuk disekitar rumah dan hilangkan segera

- Hindari penggunaan asam salisilat, asam mefenamat, dan obat NSAID lainnya

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH

Nama Mahasiswa: Diah Quratun A Pembimbing: Prof. Dr. H.Widagdo SpA MBA
NIM : 030.12.075 Tanda tangan :
IDENTITAS PASIEN 4
Nama : An. IA
No. RM : 01096700
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan :-
Umur : 4 Tahun
Alamat : Asrama Polri Cipinang
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Agustus 2012 Atas RT/RW 15/05, Pulogadung

Orang Tua / Wali


Ayah Ibu
Nama Tn.H Ny.D
Umur 44 Tahun 37 Tahun
Alamat Asrama Polri Cipinang Asrama Polri Cipinang
Atas RT/RW 15/05, Atas RT/RW 15/05,
Pulogadung
Pulogadung
Pekerjaan Wiraswasta IRT
Pendidikan SMA SMA
Suku Sunda Betawi
Agama Islam Islam
Hubungan dengan pasien : Pasien merupakan anak kandung.

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ayah pasien.
Lokasi : Ruang Rawat Inap Emerald Barat
Tanggal/Waktu : 7 Juli 2017 Jam 12.00
Tanggal masuk : 4 Juli 2017
Keluhan utama : Demam 4 hari SMRS
Keluhan tambahan : Batuk berdahak

A. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa oleh Ayahnya dengan keluhan demam yang dirasa tidak turun sejak 4
hari SMRS. Ayah pasien tidak pernah mengukur suhu anaknya dengan thermometer dan
hanya dirasakan menggunakan telapak tangan. Ayah pasien mengaku anaknya sudah
sering mengalami demam sejak kurang lebih 2 minggu terakhir. Demam dirasa hanya
“sumeng-sumeng” sepanjang hari. Kadang pasien dirasa tidak demam namun hanya
bertahan paling lama 1 hari dan keesokan harinya ayah pasien merasa anaknya kembali
mengalami demam. Ayah pasien kadang memberi paracetamol sirup jika anaknya demam,
namun demam dirasa muncul lagi kurang lebih 8 jam setelah konsumsi paracetamol
tersebut. Karena keadaan tersebut, setelah dirasa 1 minggu anaknya sering mengalami
demam Ayah pasien membawa pasien ke puskesmas dan mendapat obat Amoxan sirup
dengan dosis 3 kali sehari dan paracetamol yang dikonsumsi jika demam. Obat tersebut
dikonsumsi oleh pasien selama 6 hari, namun ayah pasien tidak merasakan perubahan
yang bermakna. Selama demam, riwayat menggigil, kejang, penurunan kesadaran,
mengigau, bintik merah, mimisan atau gusi berdarah dan sesak napas disangkal oleh ayah
pasien.

Selain demam, ayah pasien juga mengeluhkan bawah anaknya juga mengalami batuk
berdahahak yang sudah dialami kurang lebih 3 minggu SMRS. Batuk dilaporkan terjadi
setiap hari yang intensitasnya dirasa makin parah. Namun ayah pasien tidak mengetahui
karakteristik dahak pasien, karena pasien tidak bisa mengeluarkan dahaknya ataupun
kadang langsung ditelan oleh pasien. Batuk tidak disertai dengan sesak napas, bunyi
“ngik”, wajah atau mulut yang kebiruan ataupun muntah.

Ayah pasien juga melaporkan bahwa anaknya sempat mengalami BAB cair yang
dialami 2 hari SMRS. BAB 2x/hari dengan jumlah yang relatif sedikit, berwarna
kecoklatan, tidak terdapat lendir ataupun darah. BAB cair hanya terjadi selama 2 hari dan
semenjak masuk rumah sakit, BAB sudah kembali seperti biasa. Menurut ayah pasien,
terjadi penurunan berat badan sebanyak 1 kg selama 2 minggu terakhir. Nafsu makan
pasien tidak ada perubahan. Sehari-harinya pasien memang kadang sulit makan dengan
frekuensi makan 2-3x/hari dengan porsi yang terbilang sedikit sehingga pasien terlihat
kurus disbanding anak-anak seumurannya.

B. Riwayat Kehamilan/Kelahiran

Kehamilan Morbiditas kehamilan Anemia (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok (-),
Perawatan antenatal infeksi (-), minum alkohol (-)
Rutin kontrol ke bidan 1 bulan sekali dan selalu
datang sesuai anjuran
Kelahiran Tempat persalinan Rumah sakit
Penolong persalinan Dokter
SC
Cara persalinan
39 Minggu
Masa gestasi

Keadaan bayi Berat lahir: 2500 gram


Panjang lahir: 50 cm
Lingkar kepala : Tidak tau
Langsung menangis : (+)
Kemerahan : (+)
Nilai APGAR : Keluarga pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan dan kelahiran:
Pasien lahir SC, cukup bulan dan berat badan lahir normal.

C. Riwayat Perkembangan

 Pertumbuhan gigi : 8 bulan

 Gangguan perkembangan mental : Tidak ada

Psikomotor

 Tengkurap : 5 bulan

 Duduk : 8 bulan

 Berdiri : 10 bulan

 Berjalan : 12 bulan

 Bicara : 13 bulan

 Membaca dan Menulis : - Tahun

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Tidak terdapat


keterlambatan perkembangan pasien, baik sesuai usia .

D. Riwayat Makanan
Umur (bulan) ASI / PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0–2 PASI - - -
2–4 PASI - - -
4–6 PASI - - -
6–8 PASI + + -
8 – 10 PASI + + -
10 – 12 PASI + + +

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah


Nasi/Pengganti nasi 3 x 1 Centong / hari
Sayur 4 x sehari
Daging 1 x seminggu
Ikan 2 x seminggu
Telur 3 x seminggu
Tahu 3 x sehari
Tempe 3 x sehari

 Kesulitan makan : Tidak ada

E. Riwayat Imunisasi :

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )


BCG 2 bulan
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6bulan
Polio 2 bulan 4bulan 6bulan
Campak 12 bulan
Hepatitis B 0 bulan 2bulan 6bulan
Kesimpulan riwayat imunisasi : Riwayat Imunisasi dasar pasien lengkap. Pasien melakukan
imunisasi di posyandu atau puskesmas. Pasien tidak pernah melakukan imunisasi ulangan.

F. Riwayat Keluarga

a. Corak Reproduksi

Tanggal Jenis Lahir Abortu Mati Keterangan


No Hidup
lahir (umur) kelamin mati s (sebab) kesehatan
1. 4 tahun Laki-laki + Pasien
2. 5 bulan Perempuan Sehat
b. Riwayat Pernikahan

Ayah Ibu
Perkawinan ke- 2 1
Umur saat menikah 40 Tahun 35 Tahun
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Menurut ayah pasien, tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa. Keluarga
pasien juga tidak ada yang pernah mengalami riwayat batuk lama, batuk berdahak
yang produktif, riwayat TB Paru ataupun dalam pengobatan rutin karena masalah
paru-paru. Ayah pasien juga tidak merasa memiliki anggota keluarga yang memiliki
penyakit asma, alergi ataupun penyakit jantung.

d. Riwayat Kebiasaan Keluarga

Alat memasak dan alat makan minum selalu dicuci dengan air keran. Keluarga pasien
jarang mencuci tangan setelah makan dan sehabis beraktivitas.
Kesimpulan riwayat keluarga : Tidak ada keluara pasien yang memiliki penyakit
tertentu yang membutuhkan pengobatan khusus di sarana kesehatan.

G. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi - Difteria - Penyakit jantung -
Cacingan - Diare 2 tahun Penyakit ginjal -
DBD - Kejang - Radang paru -
Ootitis - Morbili - TBC -
Parotitis - Operasi - Lain-lain -
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita : Pasien pernah memiliki riwayat
penyakit diare saat berumur 2 tahun.

H. Riwayat Lingkungan Perumahan :

Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua dan adik pasien. Rumah yang ditempati
merupakan rumah milik sendiri. Rumah satu lantai, beratap genteng, berlantai keramik,
dan berdinding tembok. Ventilasi dan pencahayaan baik. Sumber air bersih dari air tanah.
Air yang dikonsumsi merupakan air isi ulang. Rumah tersebut merupakan rumah yang
padat penduduk, sudah terdapat MCK, tidak dekat dengan pembuangan sampah, selokan
lancar dan lokasi septic tank tidak dengat dengan rumah tersebut.
Kesimpulan keadaan lingkungan : Lingkungan rumah padat penduduk dengan ventilasi
yang baik.

I. Riwayat Sosial Ekonomi

Orang tua pasien bekerja sebagai pegawai swasta, penghasilan keduanya kurang lebih 4,5
juta per bulan. Menurut orang tua pasien, penghasilan mereka cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi : Penghasilan orang tua cukup.

J. Riwayat Pengobatan

Pasien diberikan Amoksan sirup dan Paracetamol dari Puskesmas yang sudah dikonsumsi
kurang lebih 6 hari.
Kesimpulan pengobatan : Sudah mendapatkan antibiotik selama pasien mngelami
demam dan batuk berdahak.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan gizi : Gizi Buruk
Keadaan lain : Tidak terdapat pucat, ikterik, sianosis, dyspnoe
Data antropometri
Berat badan : 11 kg
Tinggi badan : 100 cm
Status Gizi
- BB / U = <-3 SD
- TB/U = < - 2SD
- BB/TB = < -3 SD
Kesan gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan kesan gizi buruk,
perawakan pendek dan sangat kurus, berdasarkan kurva WHO.

Tanda vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 110 x/menit
Nafas : 36 x/menit
Suhu : 36,5 OC
STATUS GENERALIS
KEPALA : Normocephali, deformitas (-), hematoma (-).
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
MATA
Visus : Kesan baik Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : +/+ Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3mm/3mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+

TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-

HIDUNG :
Bentuk : Simetris
Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/-
Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
Konka eutrofi : +/+
BIBIR: : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), pucat (-)
MULUT:
Trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna merah
muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan mukosa
palatum berwarna merah muda, ulkus (-), halitosis (-).

- Lidah : Normoglosia, pucat (-), ulkus (-), hiperemis (-) massa (-), atrofi papil (-),
coated tongue (-).

TENGGOROKAN:
Dinding posterior faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah, ukuran tonsil
T1/T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar, tidak ada detritus
LEHER:

- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak
tampak deviasi trakea.
- Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid.

- Tidak teraba pembesaran KGB submandibula, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan.

- Trakea teraba di tengah.

THORAKS :

 JANTUNG

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS VI linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kiri bawah : ICS VII 2 cm lateral midklavikularis sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan bawah : ICS VI 2 cm inter midklavikularis dextra
Auskultasi : BJ I-II regular, tidak terdapat murmur dan gallop

 PARU
Inspeksi
Retraksi substernal (-), subcostal (-), intercostall (-), bentuk thoraks simetris pada
saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang tertinggal.
Palpasi
Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus
teraba simetris pada kedua hemithoraks.
Perkusi
Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi
Suara napas vesikuler , ronkhi basah (+/ +), wheezing (-), stridor (-)

ABDOMEN

Inspeksi : Warna kulit kuning langsat, ruam (-), kulit keriput (-), umbilikus normal,
gerak dinding perut saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)

Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit.

Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen. Shifting dullness (-).

Palpasi :

- Supel, nyeri tekan epigastrium (-), turgor kulit baik.


- Hepar : Tidak teraba membesar.

- Lien : Tidak teraba membesar.

- Ginjal : Ballotement -/-

ANOGENITALIA:
Jenis kelamin laki-laki
KGB :
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Teraba membesar pada submandibula sinistra dengan
diameter ± 1 cm, mobile dan tidak nyeri
Supraclavica : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
EKSTREMITAS :

Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta
sikap badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat
ekstremitas, sianosis (-), edema (-), capillary refill time <2 detik.

Tangan Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis N N
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain Edema (-) Edema (-)

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis N N
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain Edema (-) Edema (-)

TULANG BELAKANG
Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, tidak benjolan, tidak ada ruam

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 4 Juli 2017


Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Leukosit 4300 /ul 5000-14500
Eritrosit 2.3 juta/uL 3.7-5.7
Hemoglobin 6.5 g/dl 10.8 – 12.8
Hematokrit 20 % 31 – 43
Trombosit 38000 ribu/ul 217 - 497
MCV 85 fL 72 - 88
MCH 28 Pg 23 - 31
MCHC 32.9 g/dL 32 – 36
RDW 18.3 % <14
Kimia Klinik
GDS 86 mg/dL 52-98
Natrium 138 mmol/L 135-155
Kalium 4.1 mmol/L 3.6-5.5
Klorida 104 mmol/L 98-109

Foto Thorax

Hasil Pemeriksaan:
Jantung:
CTR <50%, Aorta normal
Paru:
Corakan bronkovaskular meningkat ramai dengan bercak berkabut lapangan bawah paru
kiri
Hilus agak melebar
Sinus dan diafragma kiri suram
Tulang dan jaringan lunak dinding dada dalam batas normal

Kesan:
Sugestif Pneumonia sinistra (DD/ Proses Spesifik)

III. RESUME
Pada anamnesis didapatkan demam sejak 2 minggu SMRS, dirasa “sumeng-
sumeng” , 4 hari terakhir dirasa makin parah. Dilaporkan juga pasien mengalami batuk
berdahak yang sudah berlangsung selama 3 minggu SMRS. Pasien sudah berobat ke
Puskesmas diberikan Sirup Amoxicillin dan Paracetamol yang sudah dikonsumsi
selama 6 hari secara rutin namun tidak ada perubahan bermakna pada pasien. 2 hari
SMRS pasien juga mengalami BAB cair namun hanya berlangsung selama 2 hari.
Tidak ada keluhan lain yang menyertai seperti riwayat menggigil, kejang, penurunan
kesadaran, mengigau, bintik merah, mimisan atau gusi berdarah dan sesak napas
ataupun bunyi “ngik” ketika bernafas.

Pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis.


Status gizi didapatkan gizi buruk, perawakan pendek dan sangat kurus. Pemeriksaan
tanda vital Tekanan darah 90/60 mmHg, Nadi 110 x/menit, Nafas 36 x/menit, Suhu
36,5 OC. Status generalis didapatkan konjungtiva anemis, rhonki basah dikedua lapang
paru, dan teraba pembesaran kelenjar getah bening pada submandibula sinistra dengan
diameter ± 1 cm, mobile dan tidak nyeri.
Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap di hari pertama didapatkan darah rutin
anemia, leukopenia dan trombositopenia. Foto Thorax dengan kesan Sugestif
Pneumonia sinistra (DD/ Proses Spesifik).

III. DIAGNOSIS KERJA

TB Paru
Demam Dengue
Gizi Buruk
Anemia

IV. DIAGNOSIS BANDING

TB Paru
Bronkopneumonia

V. PEMERIKSAAN ANJURAN

- Sputum BTA

- Uji serologis
- Serum iron

VI. PENATALASANAAN

Non-medikamentosa
- Komunikasi, informasi, dan edukasi orang tua pasien mengenai
keadaan dan penyakit pasien, hasil pemeriksaan, serta rencana
pengobatan.

- Edukasi mengenai pentingnya kepatuhan minum obat teratur.

- Penyuluhan untuk menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi


makanan yang bersih dan bergizi.

- Menjauhkan penderita dari sumber penularan TB.

- Menyarankan anggota keluarga atau orang sekitar untuk segera


memeriksakan diri dan berobat jika didapati menderita TB.

- Penyuluhan mengenai kebersihan lingkungan, mengusahan cahaya


matahari pagi selalu masuk ke dalam rumah, serta menjemur kasur,
bantal, dan guling.

- Menyarankan untuk mengkonsumsi makanan-makanan yang kaya


akan gizi serta sayur-sayuran.

Medikamentosa
- FDC 1x2tablet
- Triamsinolon p.o 3x1mg
- Salbutamol p.o 3x0.75mg
- CTM p.o 3x1mg
- PRC 2x125cc

VII. PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia Ad bonam


Ad fungsionam : Dubia Ad malam
Ad sanationam : Dubia Ad malam
LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH

Nama Mahasiswa: Diah Quratun Ayuni Pembimbing: Prof Widagdo, Sp.A

NIM : 030.12.075 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN 5

Identitas

Nama : An. FS

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 13 tahun 7 bulan

Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 01 Januari 2004

Suku bangsa : Betawi

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Alamat : Jl. Cikoko Baratt IV No. 14 RT.03 RW.05 Jakarta


Orang Tua/Wali

Ayah Ibu

Nama : Tn. T Nama : Ny. I

Umur : 42 tahun Umur : 42 th

Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP

Suku bangsa : Jawa Suku bangsa : Betawi

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Jl. Cikoko Baratt IV Alamat : Jl. Cikoko Baratt IV


No. 14 RT.03 RW.05 Jakarta No. 14 RT.03 RW.05 Jakarta

Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung.

5 ANAMNESIS

Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung dan ibu kandung pasien di
bangsal Emerald barat pada tanggal 2 September 2017 pukul 06.00 WIB.

Keluhan utama : Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit

Keluhan tambahan : Badan pegal, nafsu makan menurun, belum BAB 3 hari
4 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan keluhan
demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul mendadak dan hilang
timbul. Cenderung meningkat suhunya pada sore menjelang malam. Pasien sudah
mendapat obat penurun panas, demam hilang bila diberi penurun panas saja. Pasien
merasakan badannya pegal-pegal terutama di tangan dan kaki. Pasien merasa akhir-akhir
ini ceat lelah dan lemas. Semenjak sakit ini nafsu makan pasien menurun dan pasien belum
BAB selama 3 hari.

Pasien sering jajan jajanan dipinggir jalan sekitar sekolahnya seperti es puter dan
mie. Riwayat mual, muntah, batuk , pilek, disangkal.

5 Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit jantung (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)

Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien belum pernah


mengalami penyakit yang sama sebelumnya.

6 Riwayat Kehamilan/ Persalinan

KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Anemia (-), hipertensi (-), diabetes


mellitus (-), penyakit jantung (-),
penyakit paru (-), merokok (-), infeksi (-),
minum alkohol (-)
Perawatan antenatal Rutin kontrol bidan setiap 3 bulan sekali
dan selalu datang sesuai anjuran.
Tempat persalinan Rumah bersalin
Penolong persalinan Bidan
Spontan
Cara persalinan
Penyulit : Tidak ada
Masa gestasi Cukup bulan
Berat lahir : 2900 gr
KELAHIRAN Panjang lahir : 49 cm
Lingkar kepala : Ibu pasien lupa
Langsung menangis (+)
Keadaan bayi
Kemerahan (+)
Kuning (-)
Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan :. Pasien lahir spontan dengan usia
kandungan cukup bulan

7 Riwayat Perkembangan

- Pertumbuhan gigi I : 5 bulan (Normal: 5-9 bulan)


- Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
- Psikomotor :
Tengkurap : 3 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : 7 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 15 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Bicara : 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Tidak terdapat keterlambatan
perkembangan pasien, baik sesuai usia .
8 Riwayat Makanan

Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +

Kesimpulan Riwayat Makanan : Pasien mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan


Dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping berupa bubur susu dan nasi tim

9 Riwayat Imunisasi

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )


Hepatitis B + + + - - -
DPT + + + - - -
Polio + + + - - -
BCG + - - -
Campak + - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi: Imunisasi dasar sudah lengkap.

10 Riwayat Keluarga

Jenis Lahir Mati Keterangan


No Usia Hidup Abortus
kelamin mati (sebab) kesehatan

1. 23 tahun Perempuan + - - - Sehat


2 13 tahun Laki-laki + - - - Pasien

3 5 tahun Perempuan + - - - Sehat

4 9 bulan Laki-laki + - - - Sehat

Kesimpulan corak reproduksi : Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, ibu
tidak pernah mengalami keguguran ataupun kematian anak.

c. Riwayat Pernikahan

Ayah Ibu

Nama Tn. T Ny. I

Perkawinan ke- 1 1

Umur saat menikah 18 tahun 18tahun

Agama Islam Islam

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

Kosanguinitas - -

Kesimpulan Riwayat Keluarga : Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang
menderita gejala atau penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.

D. Riwayat Lingkungan

Pasien tinggal bersama ayah, ibu , adik dan kakak pasien. Rumah pasien berada di
wilayah padat penduduk . inhalasi dan pencahayaan rumah baik. Sumber air bersih dari
sumur, isi ulang ir minum aqua. Rumah pasien juga sebagai tempat produksi tempe,
kebersihan terjaga.

Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Keadaan lingkungan rumah pasien saat ini
cukup baik
E. Riwayat Sosial dan ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai wiraswatsa dengan pendapatan kurang lebih 3 juta per
bulan. Ibu pasien adalah ibu rumah tangga.

Kesimpulan sosial ekonomi : Cukup

F. Riwayat Pengobatan : Belum pernah berobat sebelumnya.

Kesimpulan pengobatan : Belum pernah berobat sebelumnya.

1 PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi kurang

DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan sekarang : 40 kg
Tinggi Badan : 154 cm

STATUS GIZI
BB/U = 40/45 x 100% = 88,8%
TB/U = 154/155 x 100% = 99,3%
BB/TB 40/45 x 100% = 88,8%%

Kesimpulan status gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan
kesan gizi kurang.

TANDA VITAL
Nadi : 140x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 38,20C
SPO2 : 98%

Kepala : Normosefali

Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut

Wajah : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka, ataupun jaringan parut

Mata :
Visus : Tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophtalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Oedem : -/- Sekret : +/+
Injeksi konjungtiva : +/+
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 3 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+

Telinga :

Bentuk : Normotia Tuli : -/-


Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-

Hidung :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-

Bibir : Mukosa berwarna merah muda, sianosis (-), pucat (-)


Mulut : Trismus (-), oral hygiene baik, halitosis (-), mukosa gigi berwarna
merah muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum
simetris dengan mukosa palatum berwarna merah muda, bercak koplik
(-)

Lidah : Normoglosia, coated tongue (+)mukosa berwarna merah muda,


hiperemis (-),
atrofi papil (-), tremor (-), lidah kotor (-)

Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-), detritus (-), dinding posterior faring
hiperemis(+) arcus faring tidak hiperemis, uvula terletak ditengah.

Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba
pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening.

Thoraks
 Jantung
Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi :Bentuk thoraks simetris, gerak dinding dada simetris kanan dan kiri,
tidak tampak pernapasan cepat, retraksi intercostal (-) retraksi
subcostal (-) retraksi suprasternal (-) ruam (+) makula papul eritema.
Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus normal
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen

Inspeksi : Warna kulit sawo matang, tidak tampak distensi , ruam(+) makula
papul eritema, kulit keriput (-), umbilikus normal, gerak dinding
perut saat pernapasan simetris, gerakan peristaltik (-)

Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 4x/menit

Perkusi : Timpani seluruh lapang perut

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien
tidak teraba membesar, acites (-)

Genitalia : Jenis kelamin laki-laki dalam batas normal, fimosis (-)

Kelenjar getah bening :

- Preaurikuler : tidak teraba membesar


- Postaurikuler : tidak teraba membesar
- Submandibula : tidak teraba membesar
- Supraclavicula : tidak teraba membesar
- Axilla : tidak teraba membesar
- Inguinal : tidak teraba membesar

Ekstremitas :

Inspeksi : Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan
kaki, serta sikap badan, sianosis (-), edema (-)

Uji tourniquet (-)


Palpasi : akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-), edema (-) pada
kedua tungkai, capillary refill time <2 detik.

Kulit : Warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak lembab,
terdapat makula papul eritema pada seluruh tubuh.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 27/08/2017 Hasil Nilai normal


Hematologi Rutin
Eritrosit 5,8 3,6-5,2 juta/ uL
Hemoglobin 11,1 10,8-12,8 g/ dL
Hematokrit 36 30-43%
Leukosit 5,8 6-17 ribu/ μL
Trombosit 241 217-497 ribu/ μL
MCV 75 73-101 fL
MCH 25 23-31 pg
MCHC 27 26-34 g/ dL
RDW 13,9 <14%
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 122 33-111 mg/dL
Elektrolit Serum
Natrium 130 135-155 mmol/L
Kalium 3,6 3,6-5,5 mmol/L
Klorida 100 98-109 mmol/L
Tubex 4

RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan keluhan
demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul mendadak dan hilang
timbul. Cenderung meningkat suhunya pada sore menjelang malam. Pasien sudah
mendapat obat penurun panas, demam hilang bila diberi penurun panas saja. Pasien
merasakan badannya pegal-pegal terutama di tangan dan kaki. Pasien merasa akhir-akhir
ini ceat lelah dan lemas. Semenjak sakit ini nafsu makan pasien menurun dan pasien belum
BAB selama 3 hari.

Pasien sering jajan jajanan dipinggir jalan sekitar sekolahnya seperti es puter dan
mie. Riwayat mual, muntah, batuk , pilek, disangkal.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
kessan gizi kurang, tekanan darah 90/70 mmHg, nadi 140x permenit, pernapasan 40x per
menit suhu 38 derajat C. tidak didapatkan uji tourniquet positif, terdapat coated tongue pda
lidah.

Dati pemeriksaan penunjang didapatkan tubex TF positif 4

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Demam tifoid
Demam dengue
Virl infection

IX. DIAGNOSIS KERJA


Demam tifoid
Gizi kurang

X. PEMERIKSAAN ANJURAN
Anti dengue IgM dan IgG

XI. TATALAKSANA
Non- Medikamentosa
- Rawat inap
- Diet pada gizi kurang sesuai berat badan ideal
Medikamentosa
- IVFD Asering 3cc/mg/kgbBB
- Inj. Cefotaxime 4x2gram
- Inj. Gentamycin 1x200mg
- Inj. Ondansentron 1x4 mg
- Paracetamol 3x500mg

XII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Morbili
3.1.1 Defenisi
Campak merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dan secara
khas terdiri dari empat stadium, yaitu stadium inkubasi, stadium prodromal, erupsi, dan
konvalesens.2
Penyakit ini umumnya menyerang anak dan sangat mudah menular. Seseorang yang
menderita campak dapat menularkan pada 90% orang yang belum mendapat imunisasi
apabila kontak dengannya3. Manusia merupakan satu-satunya reservoir pada penyakit
campak.4
Campak (measles, Ing.) disebut juga rubeola ( nama ilmiah ). Nama lainnya
yaitu : hard measles, red measles, seven-day measles, eight-day measles, nine-day
measles, 10-day measles, dan morbili. Penyakit ini sering salah diartikan dengan rubella,
yang merupakan nama ilmiah dari campak Jerman, yang disebabkan oleh virus yang
berbeda.5

3.1.2 Epidemiologi
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki
tempat ke 5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke 5
dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%). Di daerah
perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah terjadi pada kelompok anak yg
tentan terhadap campak, yaitu dengan populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan
daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa campak menyebabkan penurunan
daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder atau penyulit.
Penyulit yang sering di jumpai ialah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%) dan
lain lain (7,9%).1

Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700
kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari
atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun.  Berdasarkan
laporan DirJen PP&PL DepKes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia
dengan jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak
173 kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak­anak usia pra­
sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada
kelompok umur 5­9 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 1­4 tahun (3383 kasus).2

3.1.3 Etiologi
Campak disebabkan oleh Morbilivirus, salah satu virus RNA dari famili
Paramyxoviridae1.
Virus berbentuk bulat dengan tepi kasar dan bergaris tengah 140 nm dan dibungkus
oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid
yang bulat lonjong terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA),
merupakan struktur heliks nukleoprotein darimyxovirus. Selubung luar sering
menunjukkan tonjolan pendek, satu protein yang berada di selubung luar muncul sebagai
hemaglutinin.1
Pada temperatur kamar virus campak kehilangan 60% sifat infeksifitasnya selama 3-5
hari, pada 37°C waktu paruh umurnya 2 jam, pada 56°C hanya satu jam. Pada media
protein ia dapat hidup dengan suhu -70°C selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari
pendingin dengan suhu 4-6°C dapat hidup selama 5 bulan. Virus tidak aktif pada PH asam.
Oleh karena selubung luarnya terdiri dari lemak maka ia termasuk mikroorganisme yang
bersifat ether labile, pada suhu kamar dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit dan
50% aseton dalam 30 menit. Dalam 1/4000 formalin menjadi tidak efektif selama 5 hari,
tetapi tidak kehilangan antigenitasnya. Tripsin mempercepat hilangnya potensi antigenik.1
Infeksi dengan virus campak merangsang pembetukkan neutralizing antibody,
complement fixing antibody, dan haemagglutinine inhibition antibody. Imunoglobulin kelas
IgM dan IgG muncul bersama-sama diperkirakan 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer
tertinggi sekitar 21 hari. Kemudian IgM menghilang dengan cepat sedangkan IgG tinggal
tidak terbatas dan jumlahnya terukur, sehingga IgG menunjukkan bahwa pernah terkena
infeksi walaupun sudah lama. Antibodi protektif dapat terbentuk dengan penyuntikkan
antigen hemagglutinin murni.1

Gambar 1. Virus Morbili

3.1.4 Patogenesis
Manusia adalah satu-satunya inang asli untuk virus campak 4. Penularan campak
terjadi secara droplet melalui udara, terjadi antara 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis
sampai 4 hari setelah timbul ruam. Infeksi dimulai di mukosa hidung/faring. Di tempat
awal infeksi, penggandaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya.
Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuklear
mencapai kelenjar getah bening lokal. Virus kemudian bermultiplikasi dengan sangat
perlahan dan disitu mulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular (RES) seperti limpa,
dimana virus menyerang limfosit. Virus campak dapat bereplikasi dalam limfosit tertentu
yang membantu penyebaran ke seluruh tubuh4. 5-6 hari sesudah infeksi awal, fokus infeksi
terbentuk yaitu ketika ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah (viremia primer) dan
menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran napas, kulit, kandung
kemih, dan usus. Pada hari 9-10 fokus infeksi yang berada di epitel saluran napas dan
konjungtiva, mengalami nekrosis pada satu sampai dua lapisan. Pada saat itu virus dalam
jumlah banyak masuk kembali ke dalam pembuluh darah (viremia sekunder) dan
menimbulkan manifestasi klinis dari sistem pernafasan diawali dengan keluhan batuk pilek
disertai selaput konjungtiva yang tampak merah.1

3.1.5 Patofisiologi

Gambar 2. Patofisiologi Morbili


Pada stadium prodromal terdapat hiperplasia jaringan limfe. Distribusi yang luas dari
giant cell multinuklear (sel retikuloendotel Warthin-Finkeldey) akibat fusi-fusi sel dan
inklusi intranuklear terlihat dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh (limfoid, tonsil,
terutama appendix). Keadaan tersebut terjadi selama masa inkubasi, biasanya 9-11 hari4.
Sebagai reaksi terhadap virus, terjadi proses peradangan epitel saluran pernafasan,
konjungtiva dan kulit yang mana terbentuk eksudat yang serous dan proliferasi sel
mononukleus dan beberapa sel polimorfonukleus di sekitar kapiler. Respon imun ini diikuti
dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat dan ruam yang
menyebar ke seluruh tubuh, tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut
bercak Koplik, merupakan tanda pasti untuk menegakkan diagnosis1. Ruam pada kulit
terjadi sebagai akibat respon delayed hypersensitivityterhadap antigen virus, sebagai hasil
interaksi sel T imun dan sel yang terinfeksi virus dalam pembuluh darah kecil dan
berlangsung sekitar 1 minggu. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami
defisit sel T 4. Pada kulit, reaksi terutama terjadi di sekitar kelenjar sebacea dan folikel-
folikel rambut .7

3.1.6 Manifestasi klinis


A. Fase Inkubasi
Berlangsung 10-12 hari, pada fase ini pasien tidak menunjukkan gejala.
B. Fase Prodormal
Pada stadium prodromal dapat ditemukan enantema di mukosa pipi yang merupakan
tanda patognomonis campak yaitu bercak koplik, conjungtivitis, coryza, dan cough (tanda
3C), disertai demam ringan sampai sedang. Bercak koplik adalah bintik-bintik berwarna
putih kelabu, berukuran sebesar butir pasir dikelilingi areola berwarna kemerahan, kadang-
kadang bercak tersebut bersifat hemoragis. Selain itu cenderung timbul berhadapan dengan
gigi molar bawah, tetapi dapat menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan
mukosa pipi. Meski jarang, bercak dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah,
langit-langit dan karunkula lakrimalis. Bercak koplik terdiri atas eksudat serosa dan
proliferasi sel-sel endotel, serupa dengan yang terdapat pada lesi-lesi kulit. Bercak tersebut
muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu 12-18 jam. Ketika menghilang pada
mukosa penderita masih ditemukan bercak diskolorisasi mukosa kemerahan7.
Kelenjar limfe pada sudut rahang dan daerah servikal posterior sering mengalami
pembesaran disertai splenomegali ringan. Limfadenopati mesenterik menyebabkan
timbulnya rasa nyeri abdomen. Perubahan patologis campak yang khas pada lapisan
mukosa usus buntu mengakibatkan penyumbatan lumen disusul munculnya gejala
apendisitis. Perubahan ini cenderung mereda dengan menghilangnya bercak koplik7.
C. Fase Erupsi

Ruam makulopapular muncul 14 hari setelah awal infeksi dan pada saat itu antibodi
humoral dapat dideteksi. Ruam   ini   dapat   timbul   selama   6­7   hari.   Demam   umumnya
memuncak (mencapai 400C) pada hari ke 2­3 setelah munculnya ruam. 
Ruam–ruam kulit biasanya mulai sebagai makula tidak tegas, terdapat pada bagian
samping atas leher penderita, di belakang telinga, sepanjang batas rambut dan pada bagian
belakang pipi. Setiap lesi berubah menjadi makulopapular bersamaan dengan penyebaran
cepat ruam kulit di seluruh muka, leher, lengan atas dan bagian atas dada dalam waktu
kurang lebih 24 jam pertama, disertai panas tinggi. Dalam 24 jam berikutnya, lesi-lesi
menyebar menutupi punggung, abdomen, seluruh lengan dan paha. Proses menghilangnya
ruam kulit berlangsung dari atas ke bawah dengan urutan sesuai proses pemunculannya.
Lesi pada wajah mulai menghilang pada hari ke 2-3, yaitu pada saat lesi mencapai kaki.
Derajat penyakit berhubungan langsung dengan luas dan penyatuan ruam-ruam tersebut7.
D. Fase Konvalesens
Setelah   3­4   hari   umumnya   ruam   berangsur   menghilang   sesuai   dengan   pola
timbulnya. Ruam kulit menghilang dan berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang
dalam 7­10 hari

3.1.7 Diagnosis
Gambar 3. Skema Gejala Morbili

Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari penderita.
Virus   campak   masuk   melalui   saluran   pernapasan   dan   melekat   di   sel­sel   epitel   saluran
napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan penyebaran ke kelenjar limfe
regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viremia primer disusul multiplikasi virus di sistem
retikuloendotelial   di   limpa,   hati,   dan   kelenjar   limfe.   Multiplikasi   virus   juga   terjadi   di
tempat awal melekatnya virus. Pada hari ke­5 sampai ke­7 infeksi, terjadi viremia sekunder
di seluruh tubuh terutama di kulit dan saluran pernapasan. Pada hari ke­11 sampai hari ke­
14,   virus   ada   di   darah,   saluran   pernapasan,   dan   organ­organ   tubuh   lainnya,   2­3   hari
kemudian virus mulai berkurang. Selama infeksi, virus bereplikasi di sel­sel endotelial, sel­
sel epitel, monosit, dan makrofag 3,5

Diagnosis campak biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis yang sangat
berkaitan, yaitu koriza dan konjungtivitis disertai batuk dan demam tinggi pada beberapa
hari serta diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari belakang
telinga kemudian menyebar ke ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki bersamaan dengan
meningkatnya suhu tubuh dan selanjutnya mengalami hiperpigmentasi dan deskuamasi.
Jadi diagnosis campak dapat ditegakkan secara klinis1
Gambar 4. Patogenesis infeksi Campak

3.1.8 Pemeriksaan Penunjang


 Jumlah leukosit cenderung menurun disertai limfositosis relatif 7.
 Isolasi dan identifikasi virus : Swab nasofaring dan sampel darah yang diambil dari
pasien 2-3 hari sebelum onset gejala sampai 1 hari setelah timbulnya ruam kulit
(terutama selama masa demam campak) merupakan sumber yang memadai untuk
isolasi virus. Selama stadium prodromal, dapat terlihat sel raksasa berinti banyak
pada hapusan mukosa hidung7.
 Serologis: Virus campak menunjukkan antigenisitas yang homogen. Immunoglobulin
kelas IgM dan IgG di stimulasi oleh infeksi campak, muncul bersamasama
diperkirakan 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer tertinggi setelah 21 hari.
Kemudian IgM menghilang dengan cepat sedangkan IgG tinggal tidak terbatas dan
jumlahnya terus terukur. Keberadaan IgM menunjukkan pertanda baru terkena
infeksi atau baru mendapatkan vaksinasi, sedangkan IgG menunjukkan bahwa
pernah terkena infeksi walaupun sudah lama.1,3
3.1.9 Tatalaksana
Pada   campak   tanpa   komplikasi   tatalaksana   bersifat   suportif,   berupa   tirah   baring,
antipiretik (parasetamol 10­15 mg/kgBB/dosis dapat diberikan sampai setiap 4 jam), cairan
yang   cukup,   suplemen   nutrisi,   dan   vitamin   A.  Vitamin   A   dapat   berfungsi   sebagai
imunomodulator yang meningkatkan respons antibodi terhadap virus campak. Pemberian
vitamin   A   dapat   menurunkan   angka   kejadian   komplikasi   seperti   diare   dan   pneumonia.
Vitamin A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis sebagai berikut:1,2

 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih 
 100.000 IU pada anak umur 6 ­ 11 bulan 
 50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan 
 Pemberian vitamin A tambahan satu kali  dosis tunggal dengan dosis sesuai umur
penderita diberikan antara minggu ke­2 sampai ke­4 pada anak dengan gejala defisiensi
vitamin A.

Sedangkan pada campak dengan penyulit, pasien perlu dirawat inap. Di rumah sakit
pasien campat dirawat di bangsal isolasi system pernafasan, diperlukan perbaikan keadaan
umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai. Vitamin A 100.000
IU per oral diberikan satu kali, apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.

3.1.10 Komplikasi
 Laringitis akut
Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas,
bertambah parah pada saat demam mencapai puncaknya, ditandai dengan distres
pernafasan, sesak, sianosis, dan stridor. Ketika demam menurun, keadaan akan
membaik dan gejala akan menghilang1.
 Bronkopneumonia
Bronkopneumonia adalah komplikasi campak yang sering dijumpai (75,2%).
yang sering disebabkan invasi bakteri sekunder, terutama Pneumokokus,
Stafilokokus, dan Hemophilus influenza7. Pneumonia terjadi pada sekitar 6% dari
kasus campak dan merupakan penyebab kematian paling sering pada penyakit
campak1.
 Kejang demam
Kejang dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat
ruam keluar1.
 Ensefalitis
Ensefalitis adalah penyulit neurologik yang paling sering terjadi, biasanya
terjadi pada hari ke 4-7 setelah timbul ruam, dan sejumlah kecil pada periode pra-
erupsi. Ensefalitis simptomatik timbul pada sekitar 1:1000. Diduga jika ensefalitis
terjadi pada waktu awal penyakit maka invasi virus memainkan peranan besar,
sedangkan ensefalitis yang timbul kemudian menggambarkan suatu reaksi
imunologis. Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi, koma, dan iritabel.
Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, twitching, disorientasi, juga dapat
ditemukan. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis ringan,
dengan predominan sel mononuklear, peningkatan protein ringan, sedangkan glukosa
dalam batas normal1.
 Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)
SSPE (Dawson’s disease) merupakan kelainan degeneratif susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh infeksi oleh virus campak yang persisten, suatu penyulit lambat
yang jarang terjadi. Semenjak penggunaan vaksin meluas, kejadian SSPE menjadi
sangat jarang. Kemungkinan untuk menderita SSPE pada anak yang sebelumnya
pernah campak adalah 0,6-2,2 per 100.000. Masa inkubasi timbulnya SSPE rata-rata
7 tahun1.
Sebagian besar antigen campak terdapat dalam badan inklusi dan sel otak yang
terinfeksi, tetapi tidak ada partikel virus matur. Replikasi virus cacat karena
kurangnya produksi satu atau lebih produk gen virus, seringkali adalah protein
matrix. Keberadaan virus campak intraseluler laten dalam sel otak pasien dengan
SSPE menandakan kegagalan sistem imun untuk membersihkan infeksi virus4.
Gejala SSPE didahului dengan gangguan tingkah laku, iritabilitas dan
penurunan intelektual yang progresif serta penurunan daya ingat, diikuti oleh
inkoordinasi motorik, dan kejang yang umumnya bersifat mioklonik. Selanjutnya
pasien menunjukkan gangguan mental yang lebih buruk, ketidakmampuan berjalan,
kegagalan berbicara dengan komprehensi yang buruk, dysphagia, dapat juga terjadi
kebutaan. Pada tahap akhir dari penyakit, pasien dapat tampak diam atau koma.
Aktivitas elektrik di otak pada EEG menunjukkan perubahan yang progresif selama
sakit yang khas untuk SSPE dan berhubungan dengan penurunan yang lambat dari
fungsi sistem saraf pusat. Laboratorium : Peningkatan globulin dalam cairan
serebrospinal, antibodi terhadap campak dalam serum meningkat (1: 1280)11.
 Otitis media
Invasi virus ke telinga tengah umumya terjadi pada campak. Gendang telinga
biasanya hiperemia pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi
bakteri menjadi otitis media purulenta1.
 Enteritis dan diare persisten
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada
fase prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus. Diare
persisten bersifat protein losing enteropathy sehingga dapat memperburuk status
gizi1.
 Konjungtivitis
Ditandai dengan mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi dan
fotofobia. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Virus campak atau
antigennya dapat dideteksi pada lesi konjungtiva pada hari-hari pertama sakit.
Konjungtivitis diperburuk dengan terjadinya hipopion dan pan-oftalmitis yang dapat
menyebabkan kebutaan.
 Miokarditis
 Hemorrhagic (black) measles
 Reaktivasi atau memberatnya penyakit TB
 Trombositopenia
3.1.11 Diagnosis Banding
Ruam kulit pada campak harus dibedakan dari eksantema subitum, rubela,
mononukleosis infeksiosa, meningokoksemia, demam skarlatina, penyakit riketsia,
penyakit serum dan ruam kulit akibat obat, dan lain-lain7.
1. Rubella (Campak German): Tidak diawali suatu masa prodromal yang spesifik. Remaja
dan dewasa muda dapat menunjukkan gejala demam ringan serta lemas dalam 1-4 hari
sebelum timbulnya kemerahan. Pembesaran kelenjar getah bening khususnya pada
daerah belakang telinga dan oksipital sangat menunjang diagnosis rubella.
2. Eksantema Subitum (roseola infantum): gejala demam tinggi selama 3-4 hari disertai
iritabilitas biasanya terjadi sebelum timbulnya kemerahan pada kulit dan diikuti dengan
penurunan demam secara drastis menjadi normal.
3. Demam Skarlatina: kelainan kulit pada demam skarlatina biasanya timbul dalam 12 jam
pertama sesudah demam, batuk dan muntah. Gejala prodromal ini dapat berlangsung
selama 2 hari. Lidah berwarna merah stroberi serta tonsilitis eksudativa atau
membranosa.
4. Steven-Johnson, drug eruption: tidak memiliki gejala prodromal
5. Penyakit Kawasaki: demam tidak spesifik disertai nyeri tenggorokan sering mendahului
kemerahan pada penyakit ini selama 2-5 hari. Sering juga ditemui konjungtivitis
bilateral.
6. Infeksi virus lain: demam biasanya tidak tinggi, menghilang saat timbulnya kemerahan.
Pada infeksi Coxsackie kadang-kadang terjadi bersamaan dengan kemerahan.
7. Meningococcemia: kemerahan pada kulit 24 jam pertama. Gejala : demam, muntah,
kelemahan umum, gelisah, dan kemungkinan adanya kaku kuduk.
8. Penyakit Rikets: erupsi papulovesikular secara menyeluruh, biasanya tidak mengenai
wajah, sering didahului oleh adanya gejala seperti influenza. Sakit kepala lebih
menonjol.
9. Staphylococcal toxic shock syn.: demam tinggi, nyeri kepala, batuk, muntah serta diare,
dan renjatan sering mendahului atau juga bersamaan dengan keluarnya kelainan kulit
3.1.12 Pencegahan
 Imunisasi aktif
Pencegahan campak dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif pada bayi berumur
9 bulan atau lebih. Pada tahun 1963 telah dibuat dua macam vaksin campak, yaitu (1)
vaksin yang berasal dari virus campak hidup yang dilemahkan (tipe Edmonstone B), dan
(2) vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (dalam larutan formalin
dicampur dengan garam alumunium). Namun sejak tahun 1967, vaksin yang berasal dari
virus campak yang telah dimatikan tidak digunakan lagi, oleh karena efek proteksinya
hanya bersifat sementara dan dapat menimbulkan gejala atypical measles yang hebat1.
Vaksin yang berasal dari virus campak yang dilemahkan berkembang dari Edmonstone
strain menjadi strain Schwarz (1965) dan kemudian menjadi strain Moraten (1968). Dosis
baku minimal pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 0,5 ml, secara subkutan,
namun dilaporkan bahwa pemberian secara intramuskular mempunyai efektivitas yang
sama.
Vaksin campak sering dipakai bersama-sama dengan vaksin rubela dan parotitis
epidemika yang dilemahkan, vaksin polio oral, difteri-tetanus-polio vaksin dan lain-lain.
Laporan beberapa peneliti menyatakan bahwa kombinasi tersebut pada umumnya aman
dan tetap efektif 2.
 Imunisasi pasif
Campak dapat dicegah dengan Immune serum globulin (gamma globulin) dengan
dosis 0,25 ml/kgBB intramuskuler, maksimal 15 ml dalam waktu 5 hari sesudah terpapar,
atau sesegera mungkin. Perlindungan yang sempurna diindikasikan untuk bayi, anak-anak
dengan penyakit kronis, dan para kontak di bangsal rumah sakit serta institusi
penampungan anak. Setelah hari ke 7-8 dari masa inkubasi, maka jumlah antibodi yang
diberikan harus ditingkatkan untuk mendapatkan derajat perlindungan yang diharapkan7.
Kontraindikasi vaksin : reaksi anafilaksis terhadap neomisin atau gelatin, kehamilan,
imunodefisiensi (keganasan hematologi atau tumor padat, imunodefisiensi kongenital,
terapi imunosupresan jangka panjang, infeksi HIV dengan imunosupresi berat2.
3.1.13 Prognosis
Biasanya campak sembuh dalam 7-10 hari setelah timbul ruam. Bila ada penyulit
infeksi sekunder/malnutrisi berat, maka penyakit menjadi berat. Kematian disebabkan
karena penyulit (pneumonia dan ensefalitis)2
4.1 Malaria
Di Indonesia, malaria sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Angka kesakitan malaria masih cukup tinggi, terutama di luar Jawa dan
Bali, oleh karena di daerah tersebut terdapat campuran penduduk yang berasal dari
daerah endemis dan non endemis malaria. Pada daerah-daerah tersebut masih sering
terjadi wabah malaria yang menimbulkan banyak kematian. Malaria merupakan
penyakit infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh Plasmodium, ditandai
dengan gejala demam rekuren, anemia dan hepatoslenomegali.8
4.1.1 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia,
Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum
merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat
spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu Plasmodium falciparum yang
menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria
tertian, Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan Plamodium
ovale yang menyebabkan malaria ovale.

4.1.2 Siklus hidup


Gambar 1. Siklus hidup plasmodium
Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni (siklus seksual) yang terjadi
pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus aseksual) yang terdapat pada manusia. Siklus ini
dimulai dari siklus sporogoni yaitu ketika nyamuk mengisap darah manusia yang terinfeksi
malaria yang mengandung plasmodium pada stadium gametosit (8). Setelah itu gametosit
akan membelah menjadi mikrogametosit (jantan) dan makrogametosit (betina) (9).
Keduanya mengadakan fertilisasi menghasilkan ookinet (10). Ookinet masuk ke lambung
nyamuk membentuk ookista (11). Ookista ini akan
membentuk ribuan sprozoit yang nantinya akan pecah (12) dan sprozoit keluar dari
ookista. Sporozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, salah satunya di kelenjar
ludah nyamuk. Dengan ini siklus sporogoni telah selesai.
Siklus   skizogoni  terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik   dan   siklus   eritrositik.
Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat. Sporozoit akan masuk kedalam tubuh
manusia melewati luka tusuk nyamuk (1). Sporozoit akan mengikuti aliran darah menuju
ke hati, sehingga menginfeksi sel hati (2) dan akan matang menjadi skizon (3). Siklus ini
disebut siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium   falciparum  dan Plasmodium   malariae
hanya mempunyai satu siklus eksoeritrositik, sedangkan Plasmodium   vivax  dan
Plasmodium   ovale  mempunyai bentuk hipnozoit (fase dormant) sehingga siklus
eksoeritrositik dapat berulang. Selanjutnya, skizon akan pecah (4) mengeluarkan merozoit
(5) yang akan masuk ke aliran darah sehingga menginfeksi eritrosit dan di mulailah siklus
eritrositik. Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi tropozoit belum matang lalu
matang dan membentuk skizon lagi yang pecah dan menjadi merozoit lagi (6). Diantara
bentuk tropozoit tersebut ada yang menjadi gametosit (7) dan gametosit inilah yang
nantinya akan dihisap lagi oleh nyamuk. Begitu seterusnya akan berulang-ulang terus.
Gametosit tidak menjadi penyebab terjadinya gangguan klinik pada  penderita malaria,
sehingga penderita dapat menjadi sumber penularan malaria tanpa diketahui (karier
malaria).11,12

Jumlah merozoit
Lama siklus Diameter skizon matur
Spesies dalam skizon
eksoeritrositik (hari) eksoeritrositik (μm)
eksoeritrositik
Plasmodium
5-7 60 30.000
falciparum
Plasmodium
6-8
vivax 45
10.000

Plasmodium
9 60 15.000
ovale

Plasmodium 55 15.000
14-16
malariae

Plasmodium Plasmodium
Plasmodium
Lamanya daur falciparum Plasmodium ovale malariae
vivax

9-10 hari 15-16 hari


Masa prepaten 11-13 hari 10-14 hari

9-14 hari 18-40 hari


Masa inkubasi 12-17 hari 16-18 hari

48 jam 72 jam
Daur eritrositik 48 jam 50 jam
Merozoit
20-30 hari 18-24 hari 8-14 hari 8-10 hari
skizon
Tabel 3. Lamanya siklus eritrositik.
4.1.3 Morfologi Parasit
Morfologi dari Plasmodium falciparum secara mikroskopis yaitu sebagai berikut :12
Tropozoit mudaBerbentuk cincin, terdapat dua buah kromatin, bentuk marginal, sel
darah merah tidak membesar, tampak sebagian sitoplasma parasit berada di bagian tepi dari
eritrosit ( bentuk accole atau form appliqué). Pada bentuk tropozoit lanjut mengandung
bintik-bintik Maurer (Maurer dots).
Gambar 2. Bentuk tropozoit muda Plasmodium falciparum.
SkizonPigmen menggumpal di tengah, skizon muda berinti < 8 dan skizon tua berinti
8-24.

Gambar 3. Bentuk skizon Plasmodium falciparum.


MakrogametositBerbentuk pisang langsing, inti padat di tengah, pigmen mengelilingi
inti, sitoplasma biru kelabu.
Gambar 4. Bentuk makrogametosit Plasmodium falciparum.
MikrogametositBerbentuk pisang gemuk, inti tidak padat, pigmen mengelilingi inti,
sitoplasma biru pucat kemerahan.
Gambar 5. Bentuk mikrogametosit Plasmodium falciparum.
Parasit malaria mempunyai predileksi untuk sel darah merah tertentu. Plasmodium vivax
dan Plasmodium ovale mempunyai afinitas
terhadap retikulosit, Plasmodium falciparum tidak pandang umur sel, dan Plasmodium
malariae mengutamakan sel-sel tua.11,12
4.1.4 Vektor Malaria
Nyamuk Anopheles adalah vektor siklik satu-satunya dari malaria manusia. Dari
sekitar 400 spesies Anopheles, hanya sekitar 70 spesies yang menjadi vektor malaria. Tiap
spesies mempunyai sifat dan perilaku yang berbeda-beda. Berikut beberapa contoh yang
banyak ditemukan di beberapa pulau di Indonesia :11,13
← Di Jawa dan Bali : 1. Anopheles sundaicus : tempat perindukan di rawa,
sepanjang pantai berair asin atau air tawar campur air asin terutama yang banyak
mengandung alga. Termasuk night biter (pukul 20-24), tempat istirahat di luar dan dalam
rumah, mampu terbang 5 km dari perindukan. 2. Anopheles aconitus : tempat perindukan
di sawah, saluran irigasi dan anak sungai di pedalaman, terlebih air yang mengandung
jerami busuk. Termasuk day biter dan tempat istirahatnya di rumah, kandang atau semak.
← Di Irian Jaya :
← 1. Anopheles farauti : menyukai air tawar dan air payau. Tempat perindukan di tepi sungai,
rawa, genangan hujan, kolam.
← Termasuk night biter mengisap darah malam hari dan dini hari.
2. Anopheles punctulatus : tempat perindukan di genangan air, tepisungai. Termasuk night
biter.
← Di Kalimantan :
← 1. Anopheles balabacensis : tidak memilih tempat perindukan seperti, air di tanah bekas
injakan kaki, kolam, sungai kecil.
← Di Sumatera :
← 1. Anopheles barbirostris : di tempat berair yang banyak ditumbuhi tanaman, baik sekitar
rumah maupun sawah. Termasuk day biter. Di dalam tubuh nyamuk Anopheles betina,
dapat hidup lebih dari satu spesies Plasmodium secara bersamaan sehingga dapat
menyebabkan terjadinya infeksi campuran (mixed infection).9
←   Cara   infeksi  Penyakit malaria dapat ditularkan dengan dua cara, yaitu cara alamiah,
contohnya melaluiu gigitan nyamuk dan non alamiah, misalnya tranfusi darah maupun
malaria dari ibu ke bayinya. Sedangkan menurut Garcia dan Bruckner (1996) terdapat
beberapa penyebab yang mengakibatkan terjadinya infeksi Plasmodium.13

1. Gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi.


2. Transfusi darah dari donor penderita.
3. Penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi.
4. Infeksi import
5. Infeksi kongenital.

4.1.5 Epidemiologi Malaria


Malaria termasuk penyakit kosmopolit yang tersebar sangat luas di seluruh dunia, baik di

o
daerah tropis, subtropics maupun daerah beriklim dingin. Malaria ditemukan pada 64 LU

o
(Archangel di Rusia) sampai 32 LS (Cordoba di Argentina), dari daerah ketinggian 2666
m sampai daerah 433 m dibawah permukaan air laut (Laut Mati). Diantara garis lintang
dan bujur, terdapat daerah yang bebas malaria, yaitu Pasifik Tengah dan Selatan (Hawaii,
Selandia Baru). Keadaan ini dikarenakan tidak ada vektor di tempat bebas malaria tersebut,
sehingga siklus hidup parasit tidak dapat berlangsung.
Suatu daerah dikatakan endemis malaria jika secara konstan angka kejadian malaria dapat
diketahui serta penularan secara alami berlangsung sepanjang tahun. Peningkatan
perjalanan udara internasional dan resistensi terhadap obat antimalaria dapat meningkatkan

10,11,13
kasus malaria impor pada turis, pelancong dan imigran.

Menurut WHO (1963), malaria di suatu daerah ditemukan dari beberapa kasus, kasus
autokhton yaitu kasus malaria pada suatu daerah yang terbatas. Kasus indigen, yaitu kasus
malaria yang secara alami terdapat pada suatu daerah. Kasus impor, yaitu didapatnya kasus
malaria di luar daerah yang biasa dan masuk dari luar daerah. Kasus introdus, kasus
malaria yang terbukti terbatas pada suatu daerah dan diperoleh dari malaria impor. Kasus
sporadik, yaitu merupakan kasus autokhton yang terbatas pada sedikit daerah tapi tersebar.
Kasus Indus, didapatnya infeksi secara parenteral misalnya, melalui jarum suntik dan
transfusi darah.10
Klasifikasi dari epidemiologi malaria menggunakan parameter ukur spleen rate (angka
limpa) atau parasite rate (angka parasit), yaitu sebagai berikut :
← Hipoendemik : spleen rate atau parasite rate 0-10%
← Mesoendemik : spleen rate atau parasite rate 10-50%Hiperendemik : spleen rate
atau parasite rate 50-75%, dewasa biasanya lebih tinggi
← Holoendemik : spleen rate atau parasite rate > 75%, dewasa biasanya rendah.

← 2.4 Patologi dan Gejala Klinis 
← Gejala penyakit malaria dipengaruhi oleh daya pertahanan tubuh penderita. Waktu
terjadinya infeksi pertama kali hingga timbulnya penyakit disebut sebagai masa inkubasi,
sedangkan waktu antara terjadinya infeksi hingga ditemukannya parasit malaria didalam
darah disebut periode prapaten. Keluhan yang biasanya muncul sebelum gejala demam
adalah gejala prodromal, seperti sakit kepala, lesu, nyeri tulang (arthralgia), anoreksia
(hilang nafsu makan), perut tidak enak, diare ringan dan kadang merasa dingin di

10,11
pungung.

4.1.6. Manifestasi Klinis


Keluhan utama yang khas pada malaria disebut “trias malaria” yang terdiri dari 3 stadium
yaitu :
Stadium menggigil Pasien merasa kedinginan yang dingin sekali, sehingga menggigil.
Nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari tangan biru, kulit kering dan pucat. Biasanya pada
anak didapatkan kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam.
1. Stadium puncak demamPasien yang semula merasakan kedinginan berubah menjadi

o
panas sekali. Suhu tubuh naik hingga 41 C sehingga menyebabkan pasien
kehausan. Muka kemerahan, kulit kering dan panas seperti terbakar, sakit kepala
makin hebat, mual dan muntah, nadi berdenyut keras. Stadium ini berlangsung 2
sampai 6 jam.
2. Stadium berkeringatPasien berkeringat banyak sampai basah, suhu turun drastis bahkan
mencapai dibawah ambang normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan
saat bangun merasa lemah tapi sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam.
Pemeriksaan fisik yang ditemukan lainnya yang merupakan gejala
khas malaria adalah adanya splenomegali, hepatomegali dan anemia. Anemia terjadi bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
← Sel darah merah yang lisis karena siklus hidup parasit
← Hancurnya eritrosit baik yang terinfeksi ataupun tidak di dalam
limpa

← Hancurnya eritrosit oleh autoimun


← Pembentukan heme berkurang
← Produksi eritrosit oleh sumsum tulang juga berkurang
← Fragilitas dari eritrosit meningkat Gejala yang biasanya muncul
pada malaria falciparum ringan sama dengan malaria lainnya, seperti demam, sakit

10,11
kepala, kelemahan, nyeri tulang, anoreksia, perut tidak enak.

Malaria BeratMenurut WHO, malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh
infeksi Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax aseksual dengan satu atau lebih
komplikasi, akan tetapi Plasmodium vivax jarang ditemukan pada kasus ini. sebagai
berikut :
1. Malaria cerebral Terjadi akibat adanya kelainan otak yang menyebabkan terjadinya
gejala penurunan kesadaran sampai koma, GCS (Glasgow Coma Scale) < 11, atau
lebih dari 30 menit setelah serangan kejang yang tidak disebabkan oleh penyakit
lain.
2. Anemia BeratHb < 5 gr% atau hematokrit < 15% pada hitung parasit > 10.000/μL, bila
anemianya hipokromik/mikrositik dengan mengenyampingkan adanya anemia
defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya.
3. Gagal ginjal akutUrin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau < 12 ml/kgBB pada anak
setelah dilakukan rehidrasi, dan kreatinin > 3 mg%.
4. Edema paru / ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome).
5. Hipoglikemi (gula darah < 40 mg%).
6. Syok Tekanan sistolik < 70 mmHg disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur
0
kulit-mukosa > 1 C.

7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus atau disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2x24 jam setelah pendinginan pada hipertemia.
9. Asidemia (pH < 7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat < 15 mmol/L).
10. Makroskopik hemoglobinuri (blackwater fever) oleh karena infeksi pada malaria
akut (bukan karena obat anti malaria).
11. Diagnosis post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh
kapiler pada jaringan otak.Selain itu juga terdapat beberapa keadaan yang
digolongkan dalam
malaria berat, yaitu :1. Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15) atau dalam keadaan
delirium
dan somnolen.2. Kelemahan otot (tidak bisa duduk/berjalan) tanpa kelainan neurologik.

3. Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria.
0
4. Ikterik (bilirubin > 3 mg%).5. Hiperpireksia (temperatur rectal > 40 C) pada
dewasa/anak.33

4.1.7 Pemeriksaan Laboratorium


Untuk menegakkan diagnosis malaria dapat dilakukan beberapa pemeriksaan, antara lain:
1. Pemeriksaan mikroskopis
Darah
Terdapat dua sediaan untuk pemeriksaan mikroskopis darah, yaitu sediaan darah hapus
tebal dan sediaan darah hapus tipis. Pada pemeriksaan ini bisa melihat jenis plasmodium
dan stadium- stadiumnya. Pemeriksaan ini banyak dan sering dilakukan karena dapat
dilakukan puskesmas, lapangan maupun rumah sakit.
Untuk melihat kepadatan parasit, ada dua metode yang digunakan yaitu semi-kuantitatif
dan kuantitatif. Metode yang biasa digunakan adalah metode semi-kuantitatif dengan
rincian sebagai berikut :(-) : SDr negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)(+) : SDr
positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB) (++) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100
parasit dalam 100 LPB) (+++) : SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB) (++
++) : SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
Sedangkan untuk metode kuantitatif, pada SDr tebal menghitung jumlah parasit/200

12
leukosit dan SDr tipis penghitungannya adalah jumlah parasit/1000 eritrosit.

Pulasan Intradermal ( Intradermal Smears )Penelitian di Cina belum lama ini,


memperlihatkan bahwa pulasan
dari darah intradermal lebih banyak mengandung stadium matur/matang dari Plasmodium
falciparum daripada pulasan darah perifer. Penemuan ini bisa menjadi pertimbangan untuk
mendiagnosis malaria berat dengan lebih baik dan akurat. Pulasan ini hasilnya dapat positif
atau dapat juga terlihat pigmen yang mengandung leukosit setelah dinyatakan negatif pada
pulasan darah perifer. Untuk uji kesensitifitasannya, pulasan intradermal sebanding dengan

13
pulasan darah dari sumsum tulang yang lebih sensitif dari pulasan darah perifer.

2. Tes Diagnostik Cepat ( Rapid Diagnostic Test )Metode ini untuk mendeteksi adanya
antigen malaria dengan cara
imunokromatografi. Tes ini dapat dengan cepat didapatkan hasilnya, namun lemah dalam
hal spesifitas dan sensitifitas. Tes ini biasanya digunakan pada KLB (Kejadian Luar Biasa)

12
yang membutuhkan hasil yang cepat di lapangan supaya cepat untuk ditanggulangi.

Selain pemeriksaan-pemeriksaan diatas juga terdapat pemeriksaan penunjang lainnya. Pada


malaria berat/malaria falciparum, terdapat beberapa indikator laboratorium, antara lain :
Biokimia
Hipoglokemia : Hiperlaktasemia : Asidosis :
Serum kreatinin : Total bilirubin : Enzim hati :
Enzim otot :
Asam urat :
← Hematologi Leukosit : Koagulopati :
← Parasitologi Hiperparasitemia :
< 2.2 mmol/L> 5 mmol/LpH arteri < 7.3Vena plasma HCO3 < 15 mmol/L > 265 μmol/L

> 50 μmol/LSGOT > 3 diatas normalSGPT > 3 diatas normal, 5-Nukleotidase ↑ CPK ↑
Myoglobin ↑> 600 μmol/L
> 12000 /μLplatelet < 50000/μL Fibrinogen < 200 mg/dL
> 100000/μL – peningkatan mortalitas
12
>500000/μL – mortalitas tinggi > 20% parasit yang mengandung tropozoit dan skizon.

4.1.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadi Infeksi Plasmodium


Selain faktor manusia dan vektor dari malaria, juga terdapat faktor lain, seperti :
← Faktor nutrisiApabila seorang penderita malaria juga mengalami
malnutrisi, imunitas akan menurun, sehingga malaria jadi lebih berat.
← Faktor lingkunganTransmisi dipengaruhi oleh iklim :
o
← a. Paling baik pada suhu 20-30 C.

b. Kelembapan udara yang lebih dari 60% (umur nyamuk > panjang).c. Musim hujan
(breeding site >, kelembapan >).d. Pada keadaan hujan deras malaria berkurang, karena
larva dan
jumlahnya berkurang karena terbawa oleh air.12
4.1.9. Komplikasi Penyakit Malaria
Penyakit malaria dapat mengakibatkan beberapa komplikasi, diantaranya adalah :13
- Gagal ginjal
- Malaria cerebral
- Anemia hemolitik
- Black water fever
- Algid malaria
- Dehidrasi dan gangguan elektrolit
- Edema paru
← 4.1.10 Pencegahan Malaria
← Pencegahan ditujukan untuk orang yang tinggal di daerah endemis
maupun yang ingin pergi ke daerah endemis :
← 1. Pengendalian vektor
← - Bisa menggunakan larvasida untuk memberantas jentik-jentik.
- Semprot insektisida untuk membasmi nyamuk dewasa.
- Penggunaan pembunuh serangga yang mengandung DEET (10-35%) atau
picaridin 7%.
2. Proteksi personal/Personal ProtectionAdalah suatu tindakan yang dapat melindungi
orang terhadap
infeksi, seperti :
← Menghindari gigitan nyamuk pada waktu puncak nyamuk
mengisap (petang dan matahari terbenam).
← Penggunaan jala bed (kelambu) yang direndam insektisida
sebelumnya, kawat nyamuk, penolak serangga.
← Memakai baju yang cocok dan tertutup.
← Penggunaan obat-obat profilaksis jika ingin bepergian ke

11,13
daerah endemis. 3. Vaksin Malaria Parasit malaria mempunyai siklus hidup
yang komplek, sehingga vaksin berbeda-beda untuk setiap stadium, seperti :
← Stadium aseksual eksoeritrositik Cara kerjanya menghambat terjadinya
gejala klinis maupun transmisi penyakit di daerah endemis. Contohnya,
circumsporozoite protein (CSP), Thrombospondin-related adhesion protein
(TRAP), Liver stage antigen (LSA).
← Stadium aseksual eritrositikCara kerjanya menghambat
terjadinya infeksi parasit terhadap eritrosit, mengeliminasi parasit dalam eritrosit
dan mencegah terjadinya sekuesterasi parasit di kapiler organ dalam sehingga dapat
mencegah terjadinya malaria berat. Contohnya, merozoite surface protein (MSP),
ring infected erythrocyte surface antigen (RESA), apical membraneantigen-1
(AMA-1).
← Stadium seksual
Cara kerjanya menghambat atau mengurangi transmisi malaria di suatu daerah. Contohnya,
Pfs 28 dan Pfs 25.

Penatalaksanaan

Pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan dan berat

A. Malaria ringan

1. Klorokuin bisa di berikan total 25mg/kgBB selama 3 hari dengan perincian sebagai

berikut: hari pertama 10mg/kgBB, 6 jam kemudian 10mg/kgBB dan 5mg/kgBB. Atau hari

I dan II masing-masing 10mg/kgBB dan hari ketiga 5mg/kgBB. Pada malaria tropika
ditambahkan primakuin 0,75mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria tersiana ditambahkan

primakuin 0,25mg/kgBB/hari, 14 hari.

2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari IV masih demam atau hari VIII masih

dijumpai parasite dalam darah maka diberikan

a. Kina sulfat 30mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis selama 7 hari atau

b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5mg/kgbb

3. Bila dijumpai dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII

masih dijumpai parasite maka diberikan

a. tetrasiklin HCl 50mg/kgbb/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila

sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2a atau

b. tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2b. Dosis

kina dan fansidar sesuai butir 2a dan 2b hanya pada umur 8 tahun atau lebih.
5.1 Dengue Haemorrhagic Fever(Demam Berdarah Dengue)
5.1. DEFINISI
Menurut Kemenkes RI, Demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti, yang ditandai
dengan demam 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan, trombositopenia <100.000/mm3,
serta adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan perubahan nilai hematocrit >20%
dari nilai normal.15

5.2. EPIDEMIOLOGI
Menurut data Ditjen PP dan PL Depkes RI, penyakit demam berdarah dengue telah
terjadi peningkatan persebaran kasus secara signifikan di Indonesia dalam 40 tahun trakhir.
Peningkatan persebaran kasus terjadi dari endemis demam berdarah dengue yang hanya
terjadi pada 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) provinsi dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu, jumlah kasus demam berdarah dengue juga
meningkat dari hanya 58 kasus pada tahun 1968 hingga 158.912 kasus pada tahun 2009.15
Pada tahun 2009, provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan angka insiden
demam berdarah dengue tertinggi sebanyak 313 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan
nusa tenggara timur merupakan provinsi dengan angka insiden demam berdarah dengue
terendah sebanyak 8 kasus per 100.000 penduduk. Terdapat 11 provinsi termasuk dalam
daerah resiko tinggi (Angka insiden > 55 kasus per 100.000 penduduk.
Menurut WHO, Angka kematian pada dengue mengalami penurunan dari tahun
1966 hingga 2012. Pada tahun 1966 Angka kematian dengue mencapai CRP 42%. Pada
tahun 1975 angka kematian mengalami penurunan hingga CRP menjadi 8%. Pada tahun
2011 Angka kematian mengalami penurunan menjadi CRP 0,87%.15
Grafik 3.2.1 Epidemiologi angka kematian yang mengalami penurunan signfikan dalam
waktu 40 tahun16

Pada tahun 2014, jumlah penderita demam berdarah dengue telah dilaporkan
sebanyak 100.347 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang (IR/Angka
kesakitan= 39,8 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,9%). Dibandingkan
tahun 2013 dengan kasus sebanyak 112.511 serta IR 45,85 terjadi penurunan kasus pada
tahun 2014. Target Renstra Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun
2014 sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk, dengan demikian Indonesia telah mencapai
target Renstra 2014.15

5.3. ETIOLOGI
Virus dengue merupakan genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae mengandung
single strand RNA. Tedapat empat jenis serotipe virus dengue yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3
dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibody serotipe terhadap
pasien yang bersangkutan. Akan tetapi, antibodi serotipe tersebut tidak memberikan
perlindungan terhadap serotipe yang lain. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes.
Aedes aegypty merupakan vektor epidemik paling utama selain Aedes albopictus. Pada
aedes albopictus, infeksi tersebut dapat menghasilkan infeksi yang asimptomatik, demam
dengue, demam berdarah dengue bahkan dengue shock syndrome (DSS).15

Tabel 3.3.1 Etiologi tipe virus dengue16


5.4. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue yaitu
”antibody dependent enhancement” (ADE). Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit
nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme
yaitu :5

- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc
dan masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum
tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai
sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen),
sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan
mengaktivasi faktor koagulasi.

Hipotesis ini menjelaskan bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua
kalinya dengan serotipe virus dengue heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain sehingga membentuk kompleks antigen antibody. Kemudian antibodi
heterolog berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit atau makrofag sehingga
mengalami replikasi. Reaksi terhadap infeksi tersebut, memicu sekresi mediator vasoaktif
sehingga terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan syok. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe
virus dengue yang berlainan pada penderita demam berdarah dengue, respons antibodi
anamnestik mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit untuk menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue.16
Gambar Patofisiologi terjadinya syok pada demam berdarah dengue

Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi akibat jumlah virus yang meningkat. Hal tersebut mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi sehingga mengaktifkan sistem komplemen
berupa aktivasi C3 dan C5. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan permeabilitas dinding
pembuluh darah meningkat dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Perembesan plasma dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa
seperti efusi pleura atau asites. Syok yang tidak ditangani segera dapat menyebabkan
terjadinya asidosis dan anoksia.

Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue dapat mengalami perubahan


genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi tidak hanya
mengaktivasi sistem komplemen, melainkan menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit sehingga mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin di phosphat) dan trombosit melekat satu sama lain. Hal ini
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III, mengakibatkan koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata) yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.17

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit. Selain itu,
aktivasi koagulasi menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin dan memicu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel
kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.18
Tabel Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD

5.5. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis yang dapat terjadi pada infeksi virus dengue ada 4 jenis berupa
undifferentiated fever, demam dengue klasik, demam berdarah dengue (dengue
hemorrhagic fever), maupun dengue shock syndrome (DSS).16

Gambar 3.5.1 Manifestasi demam dengue

Demam yang tidak terdiferensiasi merupakan demam yang disebabkan oleh infeksi
virus dengue, khususnya bila infeksi pertama kali terjadi (infeksi dengue primer). Pada
keadaan ini demam tidak dapat dibedakan dengan demam akibat infeksi virus lainnya.
Ruam makulopapular dapat muncul menyertai demam ataupun pada saat demam mulai
menurun. Gejala lain yang sering menyertai berupa gejala pada sistem respirasi dan
gastrointestinal.

Demam dengue merupakan suatu kondisi demam akut, yang kadang-kadang


memiliki pola bifasik dan disertai sakit kepala hebat, mialgia, athralgia, ruam di kulit,
leukopenia dan trombositopenia. Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan yang tidak khas
seperti perdarahan gastrointestinal, hipermenore, dan epistaksis masif.

Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah
15 tahun pada area hiperendemik, dan berkaitan dengan infeksi dengue berulang. Ciri
demam berdarah dengue berupa demam tinggi onset akut dengan gejala dan tanda yang
mirip dengan demam dengue di fase awal. Pada DBD dapat dijumpai adanya kelainan
dalam perdarahan misalnya, uji tourniquet (rumple leed) positif, petekiae, lebam-lebam
serta perdarahan saluran cerna pada kasus yang lebih berat. Di akhir fase demam, terdapat
ancaman terjadinya syok hipovolemik (sindroma syok dengue) akibat adanya kebocoran
plasma.17,18

Munculnya tanda-tanda peringatan (warning signs) seperti muntah persisten, nyeri


abdomen, letargi, gelisah, mudah marah, serta oliguria merupakan hal yang penting untuk
segera ditindaklanjuti dalam rangka mencegah syok. Trombositopenia serta peningkatan
hematocrit atau hemokonsentrasi merupakan gambaran yang selalu ditemui sebelum
turunnya demam atau onset dari syok.

Sindroma dengue expanded merupakan suatu manifestasi pada demam berdarah


dengue maupun demam dengue dimana terdapat keterlibatan organ-organ seperti hati,
ginjal, otak dan jantung yang memiliki kaitan dengan infeksi dengue, namun tidak terdapat
bukti adanya kebocoran plasma. Hal ini dapat disebabkan oleh koinfeksi, komorbiditas,
ataupun komplikasi dari syok yang berkepanjangan.6-8

5.5.1 Gambaran klinis


Demam dengue
Gejala konstitusional demam dengue tidak spesifik, berupa sakit kepala, nyeri
punggung dan malaise. Onset demam dengue memiliki kekhasan berupa demam yang naik
secara tiba-tiba dengan peningkatan suhu yang tajam (39 oC – 40oC), pola bifasik, dan
berlangsung selama 2-7 hari. Selain itu itu, dapat muncul nyeri retroorbital terutama saat
menggerakkan bola mata atau menekan bola mata, fotofobia, nyeri kepala, nyeri
punggung, nyeri otot dan nyeri tulang atau persendian. Gejala lainnya yang sering muncul
adalah anoreksia dan perubahan sensasi rasa lidah, konstipasi, nyeri kolik abdomen, dan
nyeri tenggorokan.
Ruam kemerahan yang difus atau menyeluruh, muncul pada muka, leher, serta dada
dalam 2-3 hari pertama. Ruam yang timbul berupa lesi makulopapular atau rubelliformis
pada hari ketiga dan keempat. Di akhir periode demam, atau segera setelah suhu tubuh
mulai menurun, ruam yang difus tersebut akan menghilang, dan kelompok-kelompok
petekie lokal akan muncul di lokasi seperti punggung kaki, kaki, telapak tangan serta
lengan. Ruam yang mengalami penyembuhan ini memiliki karakteristik berupa petechiae
tersebar diantara area sekelilingnya yang pucat dan disekitar kulit yang normal. Rasa gatal
pada ruam juga dapat dijumpai.
Manifestasi perdarahan berupa perdarahan pada kulit sebagai uji tourniquet positif
dan dapat disertai petekie. Pendarahan lain seperti epistaksis masif, hipermenorrhea dan
perdarahan gastrointestinal jarang terjadi pada demam dengue yang diperberat dengan
trombositopenia. Pemeriksaan laboratorium demam dengue episode akut dapat ditemukan
jumlah leukosit yang normal pada awal demam. Kemudian, dapat terjadi leukopenia
dengan menurunnya neutrofil dan berlangsung selama periode demam. Jumlah trombosit
dapat normal atau terjadi Trombositopenia ringan (100 000-150 000 sel / mm3).
Trombositopenia yang berat (<50 000 sel / mm3) jarang terjadi pada demam dengue.
Peningkatan hematokrit dapat terjadi akibat dehidrasi yang berhubungan dengan demam
tinggi, muntah, anoreksia dan asupan oral yang buruk. Biokimia Serum biasanya normal
namun nilai enzim-enzim hati dan SGOT dapat meningkat.

Demam berdarah dengue 17,18


Gejala pada demam berdarah dengue berupa demam yang tinggi, perdarahan, dapat
disertai hepatomegali, dan terdapat gangguan sirkulasi hingga terjadi syok. Pemeriksaan
penunjang yang khas pada pasien demam dengue berdarah secara umum adalah
ditemukannya trombositopenia sedang hingga berat bersamaan dengan peningkatan nilai
hematokrit >20% atau penurunan hematokrit <20% jika setelah diberi terapi cairan.
Perbedaan utama antara demam berdarah dengue dengan demam dengue adalah adanya
gangguan hemostasis dan kebocoran plasma.
Perjalanan klinis demam berdarah dengue terdiri dari 3 fase yaitu fase demam,
kritis, dan fase penyembuhan. Perjalanan klinis demam berdarah dengue diawali dengan
kenaikan suhu secara mendadak, ruam kemerahan, serta gejala demam dengue lainnya
seperti pada wajah seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi.
Beberapa pasien DBD mengeluh sakit tenggorokan yang sejalan dengan ditemukannya
injeksi faringeal pada pemeriksaan. Keluhannya lainnya berupa nyeri epigastrium, nyeri
pada area sub-kosta kanan, dan nyeri pada seluruh regio abdomen. Suhu biasanya tinggi
dan berlanjut selama 2-7 hari, pola demam bifasik, dan suhu bisa mencapai 40 ° C.
Tes tourniquet positif, yang ditandai dengan adanya ≥10 petekie per inci persegi,
merupakan fenomena perdarahan yang paling sering dan dapat dijumpai pada awal fase
demam. Mudah memar dan pendarahan di titik pungsi vena sering dijumpai pada banyak
kasus. Ptekie halus tersebar di ekstremitas, aksila, wajah serta palatum lunak dapat dilihat
selama fase awal demam. Ruam ptekie konfluen, ukuran kecil, bulat dapat terlihat di area
kulit yang normal pada fase pemulihan seperti pada demam dengue. Ruam makulopapular
atau rubelliformi dapat dijumpai di awal atau di akhir perjalanan penyakit. Epistaksis dan
perdarahan gusi tidak begitu sering dijumpai. Perdarahan gastrointestinal ringan kadang-
kadang dapat dijumpai. Hematuria jarang dijumpai. Hati biasanya teraba di awal fase
demam, bervariasi mulai dari 2-4 cm di bawah margin kosta kanan. Ukuran hati tidak
berkorelasi dengan keparahan penyakit, tetapi hepatomegali merupakan tanda yang lebih
sering muncul pada kasus syok. Nyeri pada hepar dapat muncul. Perlu diketahui bahwa
temuan hepatomegali sangat bergantung pada pemeriksa.
Pada fase kritis demam berdarah dengue, yaitu periode kebocoran plasma, dimulai
saat transisi dari fase febris ke fase afebris. Pasien dengan peningkatan permeabilitas
kapiler memiliki gejala berupa warning signs akibat adanya kebocoran plasma. Warning
signs terjadi pada awal fase kritis. Keadaan pasien menjadi memburuk, pada saat suhu
turun menjadi 37,5 – 38oC atau lebih rendah turunnya. Leukopenia yang progresif yang
diikuti dengan penurunan nilai trombosit akan menghasilkan kebocoran plasma. Periode
kebocoran plasma terjadi dalam 24-48 jam setelah melewati fase demam. Derajat
kebocoran plasma bervariasi, peningkatan kadar hematokrit berpengaruh terhadap tekanan
darah dan volume nadi. Bukti kebocoran plasma, efusi pleura dan ascites dapat ditemui
setelah diberikan terapi pengganti cairan, namun, sering tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan fisik terutama pada fase awal kebocoran plasma atau jika kasusnya ringan.
Peningkatan hematokrit 20% atau penurunan hematokrit 20% setelah diberikan terapi
cairan juga merupakan tanda kebocoran plasma yang khas. Derajat hemokonsentrasi diatas
nilai basal menandakan keparahan kebocoran plasma. Kadar hematokrit penting pada
kasus ini karena merupakan signal kebutuhan untuk mengatur terapi pengganti cairan yang
diberikan. Foto X-ray lateral dekubitus dada dapat menunjukkan efusi pleura, terutama di
sisi kanan, merupakan temuan yang sring dijumpai. Tingkat efusi pleura berkorelasi positif
dengan tingkat keparahan penyakit. USG dapat digunakan untuk mendeteksi efusi pleura
dan asites. Edema kandung empedu sering ditemukan sebelum terjadi kebocoran plasma.
Komplikasi dari kebocoran plasma dapat terjadinya syok hipovolemik. Kebocoran plasma
akan semakin terdeteksi sejalan dengan progresivitas penyakit atau setelah terapi cairan.
Saat mendekati fase akhir dari demam, atau pada saat demam sudah hilang, antara
hari ketiga hingga ketujuh setelah onset demam, akan muncul tanda-tanda kegagalan
sirkulasi. Kulit menjadi dingin, sianosis kulit sekitar mulut, nadi cepat dan lemah,
perubahan kesadaran dimana pasien terlihat letargi dan gelisah, hal ini dapat berpindah
secara cepat kepada kondisi syok. Nyeri abdomen akut adalah keluhan yang paling sering
sesaat sebelum pasien syok.
Setelah pasien bertahan pada fase kritis yang berlangsung 24-48 jam, reabsorbsi
kompartmen cairan ekstraseluler dimulai dalam 48-72 jam. Pada fase penyembuhan
ditandai dengan keadaan umum pasien baik, nafsu makan kembali membaik, gejala
gastrointestinal menghilang, stabilnya status hemodinamik, dan diuresis membaik. Tanda-
tanda tersebut merupakan indikasi untuk menghentikan terapi pengganti cairan. Hal lain
yang dapat ditemukan pada penyembuhan berupa sinus bradikardi atau aritmia, serta
karakteristik demam dengue berupa adanya ruam ptekie. Akibat hemodilusi, kadar
hematokrit dapat menurun atau stabil. Kadar leukosit mulai meningkat, namun kadar
trombosit akan meningkat lebih lambat dibandingkan leukosit. Distres pernapasan akibat
efusi pleura dan asites, edema pulmonal, dan gagal jantung dapat terjadi jika terjadi
kelebihan atau overload terapi pengganti cairan. Penyembuhan pada pasien demam
berdarah dengue baik yang disertai atau tidak disertai syok berlangsung cepat dan tidak
diduga. Pada kasus dengan profound syok, setelah syok diatasi dengan pengobatan yang
adekuat, proses penyembuhan terjadi dalam 2-3 hari. Sedangkan pada pasien prolonged
syok dengan kegagalan multiorgan akan membutuhkan pengobatan tertentu dan waktu
penyembuhan yang lebih lama. Pada kelompok keadaan syok berat ini, angka kematian
termasuk tinggi.
Grafik perjalanan penyakit pada demam berdarah dengue

Dengue shock syndrome

Dengue shock syndrome (DSS) merupakan bentuk syok hipovolemik yang terjadi
akibat permeabilitas kapiler yang continue dan kebocoran plasma. Hal ini biasanya terjadi
pada hari ke-4 dan ke-5 (antara hari 3-8). Dan disertai dengan tanda warning signs. Pasien
yang tidak mendapat terapi cairan, secara cepat dapat berkembang menjadi syok. Dengue
shock syndrome terlihat sebagai fisiologi yang terus berlanjut, berkembang menjadi
asimptomatik kebocoran kapiler menjadi syok terkompensasi, dan terus berkembang
menjadi syok hipotensi, dan akhirnya berkembang menjadi cardiac arrest. Ciri dari syok
adalah jarak tekanan darah yang sempit yaitu kurang dari 20 mmHg dengan peningkatan
TD diastolik misalnya 100/90, atau hipotensi. Tanda-tanda berkurangnya perfusi jaringan
adalah waktu pengisian kapiler yang memanjang (> 3 detik), kulit dingin dan basah disertai
gelisah

Pada awal terjadinya syok, mekanisme kompensasi untuk mengatur tekanan darah
sistol tetap normal dengan takikardi, takipneu (takipneu tanpa peningkatan usaha),
vasokontriksi perifer dengan penurunkan perfusi kulit (akral dingin, capillary refill > 2
detik, dan lemahnya volume nadi perifer). Resistensi perifer vascular meningkat, tekanan
diastol meningkat mendekati tekanan sistol, dan tekanan nadi (perbedaan antara tekanan
sistol dan diastol) menyempit. Pasien syok yang harus dapat dikompensasi jika tekanan
sistol dalam batas normal dan tekanan nadi < 20 mmhg pada anak (100/85 mmhg) atau
terdapat tanda perfusi kapiler yang buruk (akral dingin, capillary refill > 2detik, atau
takikardi). Kompensasi asidosis metabolic diobservasi jika ph normal dengan kadar CO2
rendah dan kadar bikarbonat rendah. Pasien yang syoknya terkompensasi masih sadar.

Syok hipovolemik yang buruk ditandai dengan peningkatan takikardi dan


vasokontriksi perifer. Selain itu, terdapat akral dingin, sianosis, tangan menjadi lembab,
basah. Pada keadaan ini, napas menjadi cepat dan dalam sebagai kompensasi terhadap
asidosis metabolik (kussmaul). Kemudian, akan muncul syok yang tidak terkompensasi
(dekompensasi) berupa tekanan darah sistol dan diastol menurun secara cepat dan
mendadak dan pasien menjadi mengalami hipotensi atau syok dekompensasi. Pada
keadaan ini, nadi diperifer menghilang sedangkan nadi sentral (femoral) teraba lemah.
Tanda utamanya adalah perubahan status mental pasien akibat perfusi ke otak berkurang.
Pasien menjadi sangat lelah, cape, dan bingung. Kejang dan agitasi dapat terjadi disertai
kelelahan. Disisi lain, pada anak dan dewasa muda status mental mereka tetap membaik
pada profound shock.

Prolonged hypotensive shock dan hipoksia menyebabkan terjadinya asidosis


metabolik dan kegagalan berbagai organ. Perlu beberapa jam untuk pasien berkembang
dari warning signs menuju hipotensi syok, akan tetapi hanya beberapa menit dari hipotensi
syok menjadi henti jantung dan kolaps kardiopulmonal. Kondisi syok akan semakin parah
jika terdapat yakni asidosis metabolik, gangguan elektrolit, kegagalan multiorgan,
perdarahan masif dari beberapa organ, dan disseminated intravascular coagulation (DIC).
Gagal ginjal dan hati serta ensefalopati sering terlihat pada syok. Perdarahan intrakranial
jarang dijumpai dan bisa terjadi di akhir perjalanan penyakit. Pasien dengan syok yang
berkepanjangan dan tidak tertangani memiliki prognosis buruk dan mortalitas yang
tinggi.17,18
Perbedaan sirkulasi yang stabil, syok terkompensasi, dan syok hipotensi

5.6. DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam


dengue. Kriteria diagnosis demam berdarah dengue harus mencakup semua gejala dan
tanda yaitu terdapat demam onset akut yang berlangsung 2-7 hari, manifestasi perdarahan
satu diantara uji tourniquet (+), ptekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, atau saluran
cerna, Trombositopenia < 100.000 sel/ mm3, serta terdapat minimal satu bukti objektif
adanya kebocoran plasma berupa peningkatan kadar hematokrit >20% dari baseline atau
penurunan hematokrit setelah diberi terapi cairan atau pada masa pemulihan, atau terdapat
asites, efusi pleura, hipoproteinemia atau hipoalbuminemia. Sedangkan untuk kriteria
diagnosis demam dengue ada dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel Kriteria diagnosis demam dengue

Tabel kriteria diagnosis demam berdarah dengue

Kriteria diagnosis dengue shock syndrome


Pembagian derajat DBD menurut WHO 1975 dan 1986 ialah :

- Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi


perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
- Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
- Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab
dan penderita gelisah.
- Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diperiksa.8,9

Tabel 3.6.4 klasifikasi derajat demam berdarah dengue berdasarkan WHO tahun 19757,9
Klasifikasi derajat demam dengue berdasarkan WHO tahun 2011

5.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG14,15,16

Pengujian Algoritma untuk Demam Berdarah:


1. PCR
DENV dapat dideteksi dalam darah (serum) dari pasien selama kurang lebih 5 hari
pertama gejala. Saat ini, beberapa tes PCR yang digunakan untuk mendeteksi genom
virus dalam serum. Selain itu, virus dapat diisolasi dan diurutkan untuk karakterisasi
tambahan. Real time tes RT-PCR telah dikembangkan dan otomatis; namun tidak
satupun dari tes ini belum tersedia secara komersial. Karena antibodi terdeteksi
kemudian, RT-PCR telah menjadi alat utama untuk mendeteksi virus pada awal
perjalanan penyakit. tes saat ini adalah antara 80-90% sensitif, dan banyak lagi yang
95% tertentu. Hasil PCR positif adalah bukti yang pasti infeksi saat ini dan biasanya
menegaskan serotipe menginfeksi juga. Namun, hasil negatif ditafsirkan sebagai "tak
tentu". Pasien yang menerima hasil negatif sebelum 5 hari sakit biasanya diminta untuk
menyerahkan sampel serum kedua untuk konfirmasi serologis setelah hari ke-5 dari
penyakit (melenguh).

2. MAC ELISA
IgM capture ELISA antibodi (MAC-ELISA) Format ini paling sering digunakan di
laboratorium diagnostik dan komersial yang tersedia kit diagnostik. Uji ini berdasarkan
pada menangkap antibodi IgM manusia di piring microtiter menggunakan antibodi
anti-manusia-IgM diikuti dengan penambahan antigen spesifik virus dengue (DENV1-
4). Antigen yang digunakan untuk pengujian ini berasal dari protein amplop virus.
Salah satu keterbatasan pengujian ini adalah reaktivitas silang antara flaviviruses
beredar lainnya. Keterbatasan ini harus dipertimbangkan ketika bekerja di daerah-
daerah di mana beberapa flaviviruses co-beredar. Deteksi IgM tidak berguna untuk
penentuan dengue serotipe karena reaktivitas silang antibodi.

3. IgG ELISA
IgG ELISA digunakan untuk mendeteksi infeksi dengue masa lalu menggunakan
antigen virus sama dengan MAC ELISA. pengujian ini berkorelasi dengan uji
hemaglutinasi (HI) yang sebelumnya digunakan. Secara umum IgG ELISA lacks
kekhususan dalam kelompok Flavivirus serocomplex. Primer versus infeksi dengue
sekunder dapat ditentukan dengan menggunakan algoritma sederhana. Sampel dengan
IgG negatif pada fase akut dan IgG positif dalam tahap penyembuhan dari infeksi
adalah infeksi dengue primer. Sampel dengan IgG positif pada fase akut dan
peningkatan 4 kali lipat IgG titer pada fase penyembuhan (dengan setidaknya interval 7
hari antara dua sampel) adalah infeksi dengue sekunder.
4. NS1 ELISA
The non-struktural protein 1 (NS1) dari genom virus dengue telah terbukti berguna
sebagai alat untuk diagnosis infeksi dengue akut. antigen Dengue NS1 telah terdeteksi
dalam serum pasien yang terinfeksi DENV sedini 1 hari pasca timbulnya gejala (DPO),
dan sampai 18 DPO. The NS1 ELISA antigen berdasarkan assay tersedia secara
komersial untuk DENV dan banyak peneliti telah mengevaluasi pengujian ini untuk
sensitivitas dan spesifisitas. The NS1 assay juga dapat berguna untuk diagnosa
diferensial antara flaviviruses karena kekhususan pengujian tersebut.

3.7.1 Gambar grafik perbedaan serologi virus DBD pada infeksi primer dan sekunder

3.8. PENATALAKSANAAN14,17,18
Tatalaksana demam berdarah dengue berdasarkan keadaan umum pasien, gejala
klinis. diagnosis, pemeriksaan penunjang, dan derajat keparahan penyakit demam berdarah
dengue yang diderita oleh pasien. Terapi yang diberikan dimulai dari observasi keadaan
pasien, rawat inap, terapi simptomatik, terapi cairan, serta terapi terhadap komplikasi yang
muncul pada pasien.

Indikasi cairan intravena jika didapatkan pasien tidak bisa diberi asupan oral yang
memadai atau muntah, Ht terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah
diberikan, serta adanya ancaman munculnya syok.
Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:
- Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia < 6 bulan
lebih tepat
menggunakan natrium klorida 0,45%.
- Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti dekstran 40 atau
larutan starch
dapat digunakan jika kebocoran plasma masif, dan tidak ada respon dengan pemberian
kristaloid
dalam jumlah yang optimal (seperti yang direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik
seperti
plasma dan hemaccel kemungkinan tidak efektif.
- Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan untuk sekedar
mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
- Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam bagi
mereka
dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi terapi cairan intravena bisa
lebih lama
namun tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini karena pasien yang tidak syok baru saja
memasuki
fase kebocoran plasma sementara pasien yang sudah syok, kebocoran plasma berlangsung
dalam
durasi yang lebih panjang hingga terapi intravena dimulai.
- Pada pasien obesitas, yang digunakan sebagai panduan untuk menghitung volume cairan
adalah
berat badan ideal
Algoritma tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

kebutuhan terapi kecepatan cairan pada anak

Edukasi yang diberikan kepada pasien demam berdarah dengue meliputi :


- Tirah baring yang adekuat

- Kompres panas

- Minum sesuai dengan kebutuhan seperti minum susu, jus buah, oral rehidration solution,

dengan catatan bahwa minum air biasa dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektroli

- Minum paracetamol 3-4x sehari sesuai dengan berat-badan pasien jika demam > 38oC

- Mencari sumber jentik nyamuk disekitar rumah dan hilangkan segera

- Hindari penggunaan asam salisilat, asam mefenamat, ibuproven, dan obat NSAID lainnya

- Antibiotik tidak diperlukan

- Jika terdapat tanda-tanda perdarahan, muntah, tidak mau minum, nyeri perut berat,
kejang,

akral dingin, sulit bernapas, tidak buang air kecil dalam 4-6 jam segera berobat ke rumah

sakit6,

kebutuhan cairan anak dalam sehari berdasarkan berat badan


indikasi rawat inap pasien demam berdarah dengue

Pada demam berdarah dengue grade I dan II secara umum, masukan cairan (oral +
IV) bertujuan untuk pemeliharaan (untuk sehari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersama-
sama), yang diberikan dalam 48 jam. Misalnya, pada anak dengan berat badan 20 kg,
defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan adalah 1500 ml untuk satu
hari. Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2.500 ml. Pada pasien non-syok, jumlah cairan
ini akan diberikan dalam 48 jam pertama. Pada demam berdarah dengue grade III telah
terjadi Dengue shock syndrome (DDS) sehingga pada sebagian besar kasus perlu
diberikan terapi cairan. Pemberian cairan 10 ml/kg (pada anak-anak) atau 300-500 ml
(pada orang dewasa) dalam 1 jam atau bila perlu secara bolus. Resusitasi cairan awal
pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar cepat mengembalikan tekanan darah.
Pemantauan laboratorium dan keterlibatan organ harus segera mungkin dilakukan dan
diketahui. Bahkan hipotensi yang ringan pun harus segera ditangani secara agresif.dengan
diberikan 10 ml/kg cairan bolus dalam waktu 10 sampai 15 menit. Jika tekanan darah
berhasil diperbaiki, cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan sebagaimana penanganan
pada derajat III. Jika syok tidak tertangani setelah pemberian 10 ml/kg pertama, ulangi
bolus 10 ml/kg kedua sementara hasil laboratorium harus dikejar dan dikoreksi segera
mungkin. Transfusi darah merupakan langkah berikutnya yang harus segera dikerjakan
(setelah menilai HCT praresusitasi).
Dengue tanpa warning sign
pada kondisi tertentu

Algoritma tatalaksana cairan pada pasien syok terkompensasi

Berdasarkan berbagai studi secara acak didapatkan bahwa pemberian cairan


pengganti sebagai resusitasi pada anak yang mengalami dengue shock syndrome, tidak
terdapat keuntungan yang bermakna pada penggunaan cairan kristaloid dan koloid. Akan
tetapi, pemberian cairan koloid lebih diprioritaskan jika tekanan darah harus diperbaiki
secara cepat, terutama pada pasien dengan tekanan nadi rendah yang < 10 mmhg. Koloid
telah diteliti dapat memperbaiki index kardiak dan menurunkan kadar hematokrit secara
cepat dibandingkan dengan kristaloid pada pasien syok

Kristaloid atau 0,9% salin hipertonik pada osmolaritas 308 mosm/l dan
mengandung kadar sodium dan klorida yang tinggi (154 mmol/ each). Kadar normal
plasma chloride antara 95 – 105 mmol/L. Saline cocok untuk resusitasi, namun pemberian
0,9% saline berulang dapat menyebabkan asidosis hiperkloramik. Asidosis hiperkloramik
akan memicu asidosis laktat pada syok yang berkepanjangan. Jika kadar serum klorida
melebihi normal, disarankan untuk menggunakan ringer laktat. Ringer laktat memiliki
kadar yang rendah pada sodium (131 mmol/L) dan klorida (115 mmol/L), serta memiliki
osmolaritas 273 mmol/L. Tidak dapat digunakan pada pasien hyponatremia berat untuk
keperluan resusitasi cairan. Akan tetapi, dapat diberikan pada pasien yang telah
menggunakan saline 0,9% serta memiliki kadar clorida yang melebihi normal. Ringer
laktat tidak dapat digunakan pada pasien dengan kegagalan fungsi hepar dan pada pasien
yang menggunakan metformin karena dapat menganggu metabolism laktat. Koloid
terdapat 3 jenis, diantaranya adalah dextran, gelatin, dan hydroxyethyl starch. Masalah
terhadap penggunaan koloid adalah pengaruhnya terhadap koagulasi. Dextran dapat
mengikat factor VIII kompleks dan menganggu proses koagulasi. Dari seluruh koloid,
gelatin memiliki efek yang minim terhadap koagulasi, namun resiko terhadap reaksi alergi
tinggi. Dextran 40 dan koloid starch dapat berpotensi kerusakan osmotic ginjal pada pasien
hipovolemik. Akan tetapi, jika dengan kristaloid tidak terdapat hemodinamik yang stabil
dan kadar hematocrit tetap tinggi, maka gunakan koloid karena lebih efektif untuk
menurunkan kadar hematocrit. Pada saat kadar hematokrit turun dan hemodinamik pasien
meningkat, hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perbaikan volume sirkulasi

Tabel Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD

Sedangkan pasien boleh dirawat jalan atau pulang jika memenuhi semua kriteria dibawah
ini: 17
- Tidak ada demam dalam 48 jam
- Perbaikan status klinik pasien seperti keadaan umum, nafsu makan baik, status
hemodinamik,
pengeluaran urin, dan tidak ada respirasi distress
- Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar trombosit yang cenderung meningkat,
hematocrit stabil tanpa cairan intraven
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila
terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit
maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih
menandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat.
Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).

Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah
terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat
penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga
kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang
awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu
diberikan transfusi.

5.9 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus demam berdarah dengue adalah overload
cairan, kelainan ginjal, ensefalopati dengue, asidosis metabolik, edema pulmonal, dan
disseminated intravascular coagulation (DIC), respirasi distress, dan gagal jantung. Akibat
kelebihan cairan sesudah tidak adanya kebocoran plasma, dapat menyebabkan terjadinya
edema paru dan gagal jantung. Kelainan metabolik dapat terjadi akibat ketidakseimbangan
elektrolit seperti hipokalsemia, hyponatremia, hipoglikemik, maupun hiperglikemik. Selain
dapat menyebabkan terjadi asidosis metabolik, kelainan tersebut dapat menyebabkan
timbulnya ensefalopati.
5.10 PENCEGAHAN

Pencegahan terhadap demam berdarah dengue dapat dilakukan dengan cara


melakukan pemberantasan sarang nyamuk, fogging focus dan foging masal, penyuluhan,
perorangan, atau kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, dan kemitraan
untuk sosialisasi penanggulangan demam berdarah dengue.17
Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan cara melakukan metode 3 M (menguras,
Menutup dan Menyingkirkan tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap
keluarga, 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan, dan ABJ
(angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%. Foging Focus dan Foging Masal dilakukan
dengan cara 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1 minggu dan 2 siklus
diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka waktu 1 bulan, serta obat yang dipakai :
Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan Swing Fog.
Penyelidikan Epidemiologi juga berguna dalam pencegahan yang dilakukan
petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah menerima laporan kasus.
Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus.
6.1 TUBERKULOSIS

DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.19

Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak
<15 tahun.(2) Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang
signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test
tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup
droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler
pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa
normal atau hanya terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan
limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan
sakit TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran
kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.19

6.2 EPIDEMIOLOGI

Penyakit tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan di dunia maupun di


Indonesia. Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis,
dan setiap tahunnya sekitar 9 juta orang menderita penyait TB, yang sekitar 2 juta
meninggal. Dari 9 juta kasus TB, sekitar 1 juta (11%) terjadi pada anak-anak (di bawah
usia 15 tahun).20

Proposi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2010
adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tanun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada
tahun 2013, 7,16% pada tahun 2014 dan 9% pada tahun 2015. Proporsi tersebut bervariasi
tiap antar provinsi, dari 1,2% sampai 17,3%. Variasi proporsi ini mungkin menunjukan
endemisitas yang berbeda antar provinsi, tetapi bisa juga karena perbedaan kualitas
diagnosis TB anak pada tiap provinsi.(4)

Sistem pencatatan dan pelaporan TB anak di indonesia belum sempurna, yang ada
umumnya hanya mencakup penderita yang datang ke fasilitas kesehatan. (3) Berdasar
informasi dari fasilitas kesehatan diperkirakan angka kesembuhan sebesar 87 % tetapi Case
Detection Rate (CDR) masih rendah yaitu 32 % pada tahun 2003.5 Tahun 2007 angka
penemuan case detection rate (CDR) di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau hanya
mencapai 49,3%, sedangkan target penemuan kasus TB adalah sebesar 70%. 5 Angka ini
menunjukkan bahwa masih banyak penderita TB BTA positif yang belum terjaring dan
menjalani pengobatan. Di Kabupaten Kuantan Singingi, jumlah kasus TB anak selalu
mengalami peningkatan dari 45 kasus (0,14%) tahun 2005, 98 kasus (0,28%) tahun 2006
menjadi 130 kasus (0,37%) pada tahun 2007, dengan case fatality rate (CFR) sebesar
2,31%. Data kasus TB anak pada tahun 2008 berjumlah 143 kasus.

6.3 ETIOLOGI

Penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ada pada


droplet nuclei yang terhirup. Mycobacterium Tuberculosis merupakan bakteri yang
menyebabkan penyakit TB. Secara umum sifat mycobacterium tuberculosis adalah
berbentuk batang lurus dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron, bersifat tahan
asam dengan pewarnaan Zhiel Neelsen, dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant,
tertidur lama.23

TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika


penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau
basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah
kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat
menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari
populasi dunia sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum
tentu menjadi sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-
tahun dengan membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal Bila sistem
kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar.
21

6.4 PATOFISIOLOGI

Kuman mycobakterium TB dalam percik droplet (droplet nuclei) terinhalasi, karena


ukuran kuman TB yang sangat kecil (<5 μm) kuman terinhalasi dapat mencapai alveolus. 23
Setelah terinhalasi sebagian kuman TB dapat dihancurkan oleh mekanisme imunologis
nonspesifik, dimana kuman di fagosit oleh makrofag alveolus. Akan tetapi, sebagian
kuman TB tidak dapat dihancurkan dan akan terus berkembang biak di dalam makrofag
yang pada akhirnya menyebabkan lisis makrofag.(3) Selanjutnya kuman TB akan
membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon. Dari fokus primer
Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu
kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena.. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.

Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks


primer (primary complex). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi, selama 2−12
minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103., yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular.20

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi, dan
imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Jika sistem imun
seseorang berfungsi dengan baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Tetapi sebagian kecil kuman TB tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik.21 Pada saat imunitas selular terbentuk, fokus
primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk
fibrosis atau klasifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapulasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.21

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.21
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk
ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.22
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis.19 Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,
ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak
aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.20
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak
bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Kuman TB akan menyebar keseluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam
pembuluh darah akan tersangkut diujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat
tersebut.21
Respon imun yang terjadi pada infeksi TB terdiri dari respon imun alamiah dan
imun adaptif yang bekerja saling melengkapi. Kekebalan alamiah melibatkan fagositosis,
pengenalan imun, produksi sitokin, serta mekanisme efektor. Makrofag mampu
menghambat pertumbuhan kuman TB melalui proses fagositosis, sedangkan imunitas
seluler melalui proses presentasi antigen dan peran limfosit T. Sitokin proinflamasi (Terdiri
dari TNF- α, IL-12 dan IFNγ ) yang berperan dalam terjadinya migrasi sel-sel leukosit ke
tempat kuman TB berada. Sel makrofag dan dendritik yang terinfeksi akan memproduksi
IL-12 yang merupakan sitokin penting untuk mengeliminasi kuman TB, selain itu IL-12
akan meregulasi sistem imun mengarah ke respon Th1 sehingga mampu memproduksi
IFNγ yang akan menekan produksi IL-10 dan IL-14 (sitokin inflamasi) yang memiliki
kemampuan menekan produksi IFNγ dan menekan aktifitas makrofag. Sel T yang juga
diproduksi makrofag akan memproduksi tumor necrosis factor –α (TNF –α) yang akan
mempengaruhi terbentuknya granuloma, dan dapat membatasi atau menekan pertumbuhan
kuman TB.21

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis.


1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara seporadik. Kuman TB kemudian
membentuk fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus
ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Komplek primer terdiri dari fokus primer, limfangitis dan limfadenitis regional
3. TB primer adalah masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen,
terbentuknya kompleks primer dan imunitas seluler spesifik, hingga pasien
mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.
4. Sakit TB disebut TB pasca primer karena mekanismenya bisa melalui proses
reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau rekatifasi (infeksi sekunder) oleh kuman
TB dari luar (eksogen)

Gambar 2. Perjalanan munculnya manifestasi TB di berbagai organ di penelitian


Wallgren.

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Pada awal terjadinya infeksi
TB dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodusum. Uji tuberkulin biasanya
positif dalam waktu 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Tuberkulosis
milier dan meningitis TB dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 12
bulan setelah infeksi TB. Tuberkulosis pleura dapat tejadi dalam 3-6 bulan pertama setelah
terinfeksi TB. Tuberkulosis tulang dapat terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
dalam tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal dapat terjadi lebih lama yaitu 5-25 tahun
setelah infeksi TB primer. Perjalanan munculnya manifestasi TB di berbagai organ di
penelitian Wallgren yang disusun dalam kalender kejadian TB di berbagai organ.

6.5MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum atau nonspesifik yang muncul ialah 23
1. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, demam
umumnya tidak tinggi.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang
4. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik. atau gagal tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
6. Diare presisten atau menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare
7. Keringat malam disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
Gejala klinis pada organ yang terkena TB:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran
KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan
kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
- Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
- Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
- Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
- Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan
di daerah panggul.
- Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
- Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi
ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
- Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
- Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
6.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Uji tuberkulin

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada


anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji
tuberkulin/mantoux test. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji
tuberkulin adalah lebih dari 90%. Semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin
semakin kurang spesifik. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian
atas lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified Protein
Derivate) 5 IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

Uji tuberkulin positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi
buruk. Selain itu, jika dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)
berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi
M. tuberculosis. Dapat disimpulkan bahwa uji tuberkulin positif menunjukkan adanya
infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. (3). Namun, uji tuberkulin dapat
negatif palsu pada anak TBC berat dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat,
pemberian imunosupresif, dll). Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh
berbagai keadaan sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin
walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TBC. Uji tuberkulin positif palsu dapat juga
ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah. Demikian juga uji
tuberkulin negatif palsu, bisa didapatkan karena penyimpanan tuberkulin yang tidak
baik sehingga potensinya menurun.21

2. Radiologis

pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB,
kecuali gambaran TB milier. Paling mungkin jika ditemukan infiltrat dengan
pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Secara umum, gambaran
radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut(3)

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya


selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma

3. Patologi Anatomik

Pemeriksaan patologi anatomik dapat menunjukkan gambaran granuloma yang


ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di
tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant
cell (sel datia Langerhans). Diagnostik histopatologik dapat ditegakkan dengan
menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langerhans.

4. Serologi

Bahan pemeriksaan yang digunakan berupa darah, sputum, cairan bronkus, cairan
pleura, dan CCS. Pada awalnya pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan
antara infeksi TB dan sakit TB, namun hingga saat ini belum memenuhi harapan
tersebut, dan pemeriksaan tersebut masih dalam taraf penelitian.

5. Mikrobilologis

Dengan ditemukannya kuman M. tuberculosis dari kultur merupakan diagnostik


TBC yang positif. Pemeriksaan imi sulit dilakukan pada anak yang lebih muda karena
sulitnya mendapatkan spesimen berupa seputum, sebagai gantinya dilakukan bilas
lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut.19

6. Laboratorium, Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan LED yang meninggi(3)


7.

6.7 PENEGAKAN DIAGNOSIS


Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan hanya dari anamnesis, pemeriksaan fisis atau
pemeriksaan penunjang tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Karena
sulitnya menegakkan diagnosis TBC pada anak, banyak usaha membuat pedoman
diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik. Misalnya pedoman yang dibuat oleh
WHO, Stegen and Jones, dan UKK Pulmonologi PP IDAI.

Petunjuk WHO untuk diagnosis TBC pada anak19

1. Dicurigai TBC ( suspected TBC)


a. Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TBC dengan BTA positif
b. Anak dengan:
 keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan
 berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi yang tidak
membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit pernafasan
 pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit
2. Mungkin TBC ( probable TBC )
Anak yang di curigai tuberkulosis ditambah:
 Uji tuberculin positif ( 10 mm atau lebih )
 Foto roentgen paru sugestif TBC
 Pemeriksaan histopatologis biopsy sugestif TBC
 Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT
3. Pasti TBC (confirmed TBC )
Ditemukan basil TBC pada pemeriksaan langsung atau biakan.
Tabel 1. Sistem skoring diagnosis TB anak.
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA (+)
keluarga
BTA tidak jelas
Uji Tuberkulin Negative Positif (≥
10mm atau
≥5mm
padkeadaan
imunosupresi)
Berat badan / BB/TB <90% Klinis gizi
keadaan gizi BB/U <80% buruk
BB/TB <70%
BB/U <60%
Demam tanpa ≥2 minggu
sebab jelas
Batuk ≥3 minggu
Pembesaran ≥1 cm
KGB colli, Jumlah >1
axilla, inguinal Tidak nyeri
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto rontgen N / tidak Infiltrat Kalsifikasi
jelas Pembesaran + infiltrat
KGB Pembesaran
Konsolidasi KGB +
segmental/lobar infiltrat
Atelektasis
Keterangan :

- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

- Bila dijumpai gabaran milier atau skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

- Berat badan dinilai saat pasien datang.


- Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.

- Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi rekasi cepat BCG (<7 hari) harus
dievaluasi dengan sistem skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik

- Diagnosis kerja TB anak di tegakan bila jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)

- Pasien usia bawah lima tahun (balita) yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk
evaluasi lebih lanjut
6.8 TATALAKSANA TUBERKULOSIS

Tatalaksana TB pada anak ialah dengan medikamentosa, penataan gizi, dan


lingkungan sekitarnya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan
kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum
obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan terhadap
jadwal pemberian obat. Setatus gizi pada anak dengan TB dapat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak
dengan TB. Untuk itu penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi dan lingkar
lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle
wasting. Pemberian makanan tambahan diberikan selama pengobatan, jika tidak
memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat di
atasi. ASI tetap diberikan jika anak masih menyusui. Medikamentosa25

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan


profilaksis (pencegahan), pengobatan terdiri dari dua tahap, yaitu tahap intensif dengan
menggunakan kombinasi obat bakterisida untuk membunuh basil yang tumbuh dengan
cepat dan fase lanjutan dengan menggunakan lebih sedikit obat untuk membunuh bakteri
yang tumbuh lebih lambat. Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang
terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).25

Prinsip pengobatan TB anak(7)

- OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler
- Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan

- Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

1. Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal
3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit. Diberikan Rifampisin, INH dan Pirazinamid untuk menghancurkan
populasi BTA yang membelah cepat.

2. Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan


bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan,
OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum
obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. diberikan
Rifampisin dan INH. Untuk eliminasi sisa BTA yang dormant

- Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.

- Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal
prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama.
Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan.

- Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah21

1. Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR

2. Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR

2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan


Isoniazid
Rifampisin
Pirazinami
d

Etambutol
Streptomis
in
Prednison

Gambar 3 Panduan Obat Anti Tuberkulosis.

Obat TB utama (first line) yang digunakan saat ini adalah Isoniazid (INH),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), etambutol (E) dan streptomisin (S). pilihan kedua
(second line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,
ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, kinamycin, amikacin, dan
capreomycin, yang digunakan jika terjadi multi drug resusisten (MDR).26

1. Isoniazid (INH)

INH bersifat bakterisid, dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik
terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat
berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal,
cairan pleura, cairan ascites, jaringan kaseosa. Selain itu, angka timbulnya reaksi
simpang sangat rendah. Dosis harian yang biasa diberikan 5-15 mg/kg/hari (dosis
maksimal 300 mg/hari), diberikan satu kali pemberian, sediaan dalam bentuk tablet 100
mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup sediannya 100mg/5ml, penggunaaan dalam
bentuk sirup tidak di anjurkan, karena biasanya tidak stabil.

INH mempunyai dua efek toksik utama hepatotoksik dan neuritis perifer, jarang
terjadi pada anak tetapi frekuensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia,
lebih mungkin terjadi pada remaja atau anak dengan TB berat. Sebagian besar anak
yang menggunakan INH mengalami peningkatan transaminase darah yang tidak terlalu
tinggi dalam 2 bulan pertama, pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama,
karna akan menurun sendiri tanpa penghentian obat dan jarang menimbukan
hepatotoksisitas pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan. Pemberian INH tidak
dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih dari lima kali harga normal atau
tiga kali disertai ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah dan
nyeri perut.25

Neuritis perifer timbul sebagai akibat inhibisi kompetitif pada metabolisme


piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH, tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang sering terjadi adalah mati rasa atau kesemutan
pada tangan dan kaki. Penambahan piridoksin diberikan pada anak remaja dengan diet
yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi,
serta bayi yang hanya minum ASI. Piridoksin diberikan satu kali sehari 25-50 mg atau
10 mg piridoksin setiap 100 gram INH.21

2. Rifampisin

Bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan,
dapat membunuh kuman semi dorman yang tidak dapat dibunuh oleh INH. (7)
Diabsorpsi baik melalui saluran gastrointestinal pada saat perut kosong, 1 jam sebelum
makan (karena makanan menghambat bioavabilitas rifampisin) dan kadar puncak
serum tercapai pada 2 jam. Diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/
hari (dosis maksimal 600 mg/hari), dengan dosis satu kali pemberian perhari. Sediaan
rifampisin dalam bentuk kapsul 150 mg, 300mg dan 450 mg.

Jika pemberian Rifampisin bersama dengan INH, maka salah satu dosis dari obat
diatas harus dikurangi menjadi ½ dosis agar tidak mengganggu fungsi hepar
(hepatotoksik). Bila di berikan secara bersamaan makan dosis rifampisin tidak boleh
melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis INH 10mg/kgBB/hari.

Rifampisin didistribusikan secara luas ke dalam jaringan tubuh termasuk cairan


serebrospinal dan diekskresi melalui traktus biliaris. Efek yang kurang menyenangkan
pada pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum dan air mata
menjadi oranye kemerahan.

Efek samping yang umum terjadi adalah nyeri kepala, mengantuk, fatigue, rasa
gatal dikulit (dengan atau tanpa rash), gangguan gastrointestinal (muntah dan mual),
anoreksia, diare, hiperbilirubinemia, dan hepatotoksisitas (ikterus/ hepatitis) yang
biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Selain
itu, rifampisin juga dapat membuat kontrasepsi oral tidak efektif dan dapat berinteraksi
dengan beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid, dll.19

3. Pirazinamid

Kerja dari pirazinamid adalah membunuh M. tuberculosis secara intraseluler pada


suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak, sehingga
pirazinamid diberikan pada fase intensif.(1) Pirazinamid tidak mempunyai efek pada
basil tuberkulosis di ekstraseluler. Penetrasi baik terhadap jaringan dan cairan tubuh
termasuk sistem saraf pusat, cairan serebrospinal. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada
pemakaian dosis tinggi tetapi jarang pada dosis normal.21

Pirazinamid dapat mengakibatkan meningkatnya asam urat serum. Diberikan secara


oral, dosis 15-30 mg/kgBB/hari (dosis maksimal 2 gram/hari) tersedia dalam bentuk
tablet 500 mg, pemberian dapat diberikan bersama dengan makanan dan di gerus.

4. Etambutol

Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik dan bakterisid. Selain itu, etambutol


tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Dosisnya
15-20 mg/kgBB/hari (maksimum 1,25 g/hari dengan dosis tunggal). Tersedia dalam
bentuk tablet 250mg dan 500mg.26

Etambutol tidak digunakan secara rutin pada anak-anak di bawah usia 8 tahun
karena dapat menyebabkan neuritis optik yang dapat menyebabkan kebutaan
ireversibel jika tidak dihentikan pemakaiannya saat masalah visual terjadi selain itu
dapat terjadi buta warna merah-hijau sehingga penggunaannya dihindari pada anak
yang belum bisa diperiksa tajam penglihatannya.(5) Namun, karena toksisitas terkait
dengan dosis dan durasi terapi, EMB dapat digunakan dengan aman pada dosis yang
dianjurkan untuk pengobatan awal dua bulan. Etambutol dapat digunakan pada anak
dengan TBC berat dan kecurigaan TBC resisten obat jika obat-obat lainnya tidak
tersedia atau tidak dapat digunakan.

5. Streptomisin
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ektraseluler pada keadaan
basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin
jarang digunakan dalam pengobatan TBC, tetapi penggunaannya penting dalam
pengobatan TBC yang resisten obat.26

Dapat diberikan secara intramuskular 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari.


Sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput
otak yang tidak meradang. Berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi
melalui ginjal. Toksisitas utama pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdenging dan pusing.

Tabel 2. Dosis Obat Antituberkulosis (OAT)

Nama obat Dosis harian Dosis Efek samping


(mg/kgBB/hari) maksimal
(mg/hari)
Isoniazid 5-15 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin 10-20 600 Gastrointestinal. Reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Nuritis optik,ketajaman
penglihatan berkurang, buta warna
hijau-merah, hipersensitivitas,
gasrointestinal
Streptomisin 14-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Keterangan :

- Bila INH dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi


10mg/kgBB/hari

- Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin
- Rifampisin di absorpsi dengan melalui sistem gastrointestinal pada saat perut
kosong (1 jam sebelum makan)

Tabel 3. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya.

Jenis Fase intensif Fase lanjut Prednison Lama

Tb ringan 2HRZ 4HR - 6 Bulan

Efusi pleura 2 minggu dosis penuh-


kemudian tappering off

TB BTA positif 2HRZE -

TB paru dengan 2HRZ+E atau 7-10HR 4 mgg dosis penuh- 9-12


tanda-tanda S kemudian tappering off bulan
kerusakan luas

TB milier

TB + destroyed
lung

Meningitis TB 10HR 4 mgg dosis penuh 12 bulan


kemudian tappering off

Peritonitis TB 2 mgg dosis penuh


kemudian tappering off

Perikarditis TB 2 mgg dosis penuh


kemudian tappering off

Skeletal TB -

Keterangan :
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial (sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar), meningitis TB, dan peritonitis
TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2 mg/kg BB/hari sampai 4 mg/
kgBB/hari pada kasus sakit berat, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah
60 mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini
untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Terapi Kombinasi (FDC= Fixed Dose Combination)

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC= Fixed Dose Combination) Untuk
mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan
OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien
untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu
rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg dalam satu paket.

Tabel 4 Dosis kombinasi pada TB anak.26

2 BULAN TIAP HARI 4 BULAN TIAP HARI


BERAT BADAN (KG)
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:

 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


 Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah:
Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep
1. Meningkatkan keteraturan pasien minum obat
2. Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga mengurangi
resistensi terhadap obat TB.
3. Mempermudah dan mempercepat pengawasan menelan obat shingga dapat
mengurangi beban kerja.

4. Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.

Pemantauan Hasil Pengobatan

Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pada fase intensif pasien TB anak kontrol
tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping
obat. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan
penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis.
Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, respon
pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat
badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan
baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon
pengobatan kurang atau tidak baik yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan BB
maka pengobatan TB tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak
ada perbaikn. kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment atau resisten
terhadap OAT, Pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap atau kekonsultan respirologi
anak, bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan yang terbatas.22

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier perlu
diulang setelah 1 bulan untuk mengevaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura
TB pengulangan foto toraks dilakukan setelah 2 minggu.21

Setelah pemberian obat selama 6-12 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks,
pada foto toraks ulangan pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.
Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai.26

Pemantauan efek samping obat

Pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada anak dengan


penyakit paru yang berat, seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk serta pasien
yang memerlukan dosis isoniazid dan rifampisin lebih besar daripada dosis yang
dianjurkan. Pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin pada penyakit
yang tidak berat dan dosis yang diberikan tidak melebihi anjuran . Salah satu efek samping
yang mendapatkan perhatian khusus adalah terjadinya hepatotoksik, yang ditandai dengan
peninkatan serum glutamic oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan serum glutamic-Piruvat
Transaminase (SGPT) hingga ≥5 kali tanpa gejala atau ≥3 kali batas normal (40U/l) atau
peningkatan SGOT/SGPT berapapun disertai gejala seperti mual,muntah,anoreksia,ikterus,
peningkatan bilirubin total >1,2 mg/dl. Hepatotoksik biasanya terjadi dalam 2 bulan
pertama pengobatan, oleh karena itu diperlukan pemantauan cukup sering (misalnya 2
minggu) dalam 2 bulan pertama, dan selanjutnya dapat lebih jarang.

Tata laksana efek samping obat

Efek samping yang cukup sering muncul karena penggunaan isoniazid dan
rifampisin adalah hepatotoksisitas, neuritis perifer, ruam dan gatal. 25 Hepatotoksisitas
jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hari dan
dosis Rifampisin 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi.

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.


Anak dengan gangguan fungsi hati ringan tidak membutuhkan terapi. Beberapa pendapat
para ahli bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) atau
<5 kali nilai normal, bukan merupakan indikasi pengehentian OAT, dan dapat mengalami
resolusi sepontan tanpa penyesuaian terapi. Jika terjadi peningkatan enzim transaminase
lebih atau sama dengan 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan
gejala seperti ikterus atau hepatomegal maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar
enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan
kembali apabila nilai laboratorium normal. Untuk berikutnya pemberian obat TB dengan
dosis lebih keci, kemudia isoniazid dan rifampisin dosis dinaikan secara bertahap, karena
hepatotoksisitas dapat timbul kembali bila pemberian dosis terapi berikutnya langsung
secara penuh (full-dose). Selain itu harus dilakukan pemantauan klinis dan tetap
memonitoring kadar enzim hati, serta konsultasi ke ahli hepatologi diperlukan untuk
tatalaksana lebih lanjut.

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan


piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin
B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin
10 mg/ hari direkomendasikan diberikan pada7)

• bayi yang mendapat ASI eksklusif,


• pasien gizi buruk,
• anak dengan HIV positif.

Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur25

Ketidak patuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi
dan dapat meningkatkan risiko TB resisten obat. Sikap selanjutnya untuk penanganan
bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama
menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus.

1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.

2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB,lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

3. Dan pasien perlu dirujuk utuk penanganan selanjutnya.

3.8.7 Pengobatan Ulang TB anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan
keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar- benar menderita TB.
Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi
dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan
untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.26

Penatalaksanaan Tuberkulosis Multi-drug Resistance

MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat di seluruh wilayah di


dunia. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan eddon dkk yang dilakukan di Afrika
Selatan, 111 anak-anak dengan TB-MDR (usia rata-rata Dari 50 bulan). Dari jumlah
tersebut, 91 (82%) memiliki hasil pengobatan yang baik (67% dengan rejimen MDR-TB
dan 3,3% dengan obat lini pertama) dengan angka kematian 12% . Aditama YT. Petunjuk Teknis Manajemen
TB Anak ; 2013. hlm. 1–15

Tabel . Dosis obat TB lini kedua untuk bayi dan anak-anak.27

Nama obat Dosis

Ethionamide 15-20 mg/Kg/Bakula Z, Napiorkowska A, Kamiriski M,


Auqustynowicz K, Zwolska Z, at all. Second-line anti-
tuberculosis drug resistance and its genetic determinants
in multidrug-resistant Mycobacterium tuberculosis clinical
isolates. J Microbiol Immunol Infect. 2016;49( h (max
1000mg/hari) oral dosis tunggal
Cycloserine 10–20 mg/kg/24 h (max 1000 mg/hari) oral dosis tunggal
Steptomycin 20–40 mg/kg/24 h (max 1.0 g/day) i.m. artau i.v dosis tunggal
Capreomycin 15–30 mg/kg/24 h (max 1000 mg) oral dosis tunggal
Amikacin and 15–30 mg/kg/24 h (max 1.0 g/day) im atau iv dosis tunggal
Kanamycin
Ofloxacin 15–20 mg/kg/24 h (max 800 mg) oral dosis tunggal
Levofloxacin 7.5–10 mg/kg/24 h (max 500 mg) oral dosis tunggal
Moxifloxacin 7.5–10 mg/kg/24 h (max 500 mg) oral dosis tunggal
Ciprofloxacin 20–30 mg/kg/24 h (max 1.5 g) oral dosis tunggal
Nonmedikamentosa21

1. Pendekatan DOTS

Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan minum obat adalah dengan
melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment),
directly observed treatment shortcourse adalah strategi yang telah direkomendasi oleh
WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB dan telah dilaksanakan
diindonesia sejak tahun 1995.

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang
bertanggung jawab mengawasi pasien menelan obat, disebut sebagai PMO (pengawas
menelan obat). Syarat menjadi PMO adalah dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, tempat tinggalnya dekat dengan pasien, bersedia
membantu pasien dengan sukarela, bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan. 7
Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, tokoh
masyarakat, guru sekolah atau petugas unit kesehatan sekolah yang sudah dilatih
strategi DOTS, dimana tugas PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat
secara teratur dampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau
berobat teratur, memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala tersangka TB segera memeriksakan diri keunit pelayanan
kesehatan. Karena hasil yang terpenting dalam penatalaksanaan TB adalah keteraturan
menelan obat, karena bebrapa minggu setelah mendapatkan pengobatan pasien TB
menunjukan pernaikan kebanyakan dari mereka merasa sembuh dan tidak melanjutkan
pengobatan, untuk itu dibentuk program DOTS.

2. Lacak Sumber Penularan

Jika anak dengan TB, maka harus dicari sumber penular yang menyebabkan anak
tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa menderita TB aktif dan
terdapat kontak erat dengan anak tersebut. sehingga perlu dilakukan pelacakan secara
sentripetal dan sentrifugal, sentripetal dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA
sputum, bila telah ditemukan sumbernya, perlu dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu
mencari anak lain sekitarnya yang mungkin tertular, dengan cara uji tuberkulin.

Jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak sekitarnya atau yang kontak
erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (sentrifugal). Pelacakan tersebut
dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu
tuberkulin.

3. Edukasi keluarga pasien

a. Edukasi ditunjukan kepada pasien dan keluarga pasien agar mengetahui mengenai
apa itu Tuberkulosis.

b. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada anak tidak
menular kepada orang di sekitarnya.

c. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.

d. Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan selain pengobatan secara


medikamentosa diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan
asupan makanan, vitamin dan makronutrien.
6.9 PENCEGAHAN

1. Imunisasi BCG

Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05
ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan
(penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menganggu
struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG
berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak
pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi. .

Dilaporkan manfaat BCG oleh beberapa peneliti antara 0-80%. BCG efektif
terutama untuk mencegah milier, meningitis dan spondilitis TBC pada anak. BCG
memberikan perlindungan terhadap milier TBC, meningitis TBC, TBC tulang dan
sendi, dan kavitas sedikitnya 75%. BCG ulangan tidak dianjurkan mengingat
efektivitas perlindungannya hanya 40%, sekitar 70% TBC berat mempunyai parut
BCG. BCG relatif aman, jarang ada efek samping serius, yang sering ditemukan
ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supurativa) dengan insiden 0,1-1%.
Kontraindikasi pemberian munisasi BCG: defisiensi imun, infeksi berat, luka bakar.27

2. Kemoprofilaksis

Terdapat dua kemoprofilaksis, yaitu:

a. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TBC pada


anak, diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA
sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). diberikan INH
dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari, dosis tunggal, obat dihentikan jika sumber
kontak sudah tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi (setelah uji
tuberkulin ulangan).

Kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit. Diberikan
pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif,
klinis, dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia
balita, menderita morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama
(sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TBC baru, konversi uji tuberkulin
dalam waktu kurang dari 12 bulan.

3.3 Demam Tifoid

Demam tifoid atau demam enterik merupakan penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh infeksi Salmonella enterica serotype Typhi. Pada beberapa kasus
dikenal pula demam paratiofid, merupakan jenis yang lebih ringan, disebabkan oleh
S.Paratyphi A, S.Paratyphi B (Schotmulleri), dan S.Paratyphi C (Hirschfeldii).28

Manifestasi klinis pada penyakit ini adalah demam tinggi (>38ºC) selama 7-14 hari
dengan rentang 3-30 hari. Demam disertai berbagai gejala gastrointestinal seperti nyeri
perut, diare, konstipasi, maupun mual dan muntah.16 Sebagai salah satu penyakit infeksi
yang endemis di negara‐negara berkembang, maka dari itu demam tifoid berkaitan
erat dengan kondisi sanitasi tempat tinggal maupun hygiene makanan yang
dikonsumsi, lingkungan yang kumuh, kurangnya kebersihan tempat makan umum (rumah
makan, restoran), serta perilaku makan makanan yang dibeli di pinggir jalan.29,30

Angka rata-rata kesakitan demam tifoid di Indonesia mencapai 500/100.000


penduduk dengan angka kematian antara 0,6–5%. Berdasarkan RISKESDAS yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid
Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5-14 tahun
(1,9%), Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-anak (0-18 tahun ; WHO)
merupakan populasi penderita demam tifoid terbanyak di Indonesia.

Pendekatan diagnosis demam tifoid di Indonesia adalah meliputi diagnosis klinis


(anamnesis dan pemeriksaan fisik) untuk mendapatkan sindroma klinis dan
pemeriksaan penunjang untuk menentukan definisi kasus. Case definition dari demam
tifoid berdasarkan guideline World Health Organization (WHO), confirmed case bila
pasien demam (>38ºC) selama minimal 3 hari dengan hasil kultur darah, bone
marrow atau cairan usus yang positif Salmonella Typhi. Probable case pada kasus demam
tersebut didapatkan positif serodiagnostik maupun deteksi antigen tanpa
dilakukan isolasi bakteri.

Kompetensi dokter umum dalam penatalaksanaan demam tifoid adalah 4A yaitu


mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan
tuntas. Penatalaksanaan demam tifoid yang tepat dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat komplikasi yang ditimbulkan.

3.3.1. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian demam tifoid antara
lain tidak mencuci tangan sebelum makan, makan/jajan diluar minimal seminggu sekali,
makan di penjaja makanan pinggir jalan, kualitas air dan lingkungan tinggal yang buruk,
tidak memakai air dari PDAM, dan selokan rumah yang tidak tertutup.30,31

3.3.2. Manifestasi klinis

Demam tifoid merupakan penyakit demam yang sering ditemukan di negara


berkembang. Pemberian antibiotik menyebabkan perubahan gejala klinis demam tifoid
sehingga gejala demam klasik yang meningkat secara perlahan seperti stepladder dan
toksisitas jarang ditemukan. Namun resistensi antimikroba sering menyebabkan gejala
penyakit menjadi berat dan terjadi komplikasi.

Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan gejala klinis
infeksi, yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba yang tepat, pemilihan
antimikroba, umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi strain bakteri, jumlah kuantitas
inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor dari status imun pejamu.

Setelah seorang terinfeksi S. typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14


(kisaran 3-60) hari. Awitan bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Pasien pada
umumnya datang ke RS menjelang akhir minggu pertama setelah terjadi gejala demam,
gejala mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan
mialgia. Lidah kotor, nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan splenomegali sering
ditemukan. Bradikardia relative dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid, namun
bukan gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya. Demam akan
meningkat secara progresif dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan menetap
(39-40 derajat celsius). Beberapa rose spot, lesi makulopapular dengan diameter sekitar 2-4
mm, dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada abdomen dan dada.
Dikutip dari : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p3.

3.3.3. Patofisiologi Demam Tifoid

Bakteri Salmonella (termasuk serotype Typhi maupun Paratyphi) memasuki tubuh


inang melalui rute fekal--‐oral menuju lokasi infeksi pada usus halus (ileum).5 Pada usus
halus pars ileum ini didapatkan kumpulan limfonoduli submukosa yang memperantarai
sistem imunologi mukosa dikenal sebagai Plak Peyeri. Port d’entrée bakteri ke dalam tubuh
adalah melalui sel Mkifrofold (sel M) yang merupakan struktur khusus pada permukaan Plak
Peyeri, berfungsi menyaring antigen yang akan memasuki plak peyeri. Penelitian pada subjek
sukarelawan didapatkan dosis infeksi (infecting dose) sekitar 105-106 organisme dengan
Salmonella yang ditangkap oleh sel M akan mentranslokasikannya ke basal sel, lokasi dimana
makrofag yang merupakan Sel Penyaji Antigen berada. Makrofag akan memfagosit
Salmonella untuk dihancurkan dan dikelola antigennya, disajikan pada Sel T helper maupun
Sel B spesifik.28,29
Salmonella memiliki mekanisme evasi fagositik yang baik, yaitu dengan
menggagalkan fusi fagosom dengan lisosom. Bakteri yang survive tersebut akan
menggandakan diri dan menginfeksi makrofag‐makrofag, dan ikut terbawa ke nodus
limfatik mesenterium, dan keluar ke aliran darah menyebabkan bacteremia primer. Setelah
itu, Salmonella memasuki organ retikuloendotelial seperti sumsum tulang, hepar dan lien
dan bereplikasi kembali di dalam makrofag organ-organ tersebut sehingga terjadi aktivasi
jaringan limfoid maupun makrofag, menyebabkan hepatomegaly dan splenomegali.
Manifestasi klinisnya adalah gejala nyeri perut akibat pendesakan organomegali, mual dan
muntah sebagai manifestasi hepatomegaly yang mendesak saluran pencernaan. Pasca
organomegali, bakteri kembali memasuki aliran darah menyebabkan bacteremia sekunder
yang mengawali munculnya gejala demam akibat dilepaskannya endotoksin ke peredaran
darah, menginduksi pirogen endogen yang mempengaruhi temperature set di hypothalamus
sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh30-31

Salmonella yang berada di dalam hepar akan diekskresikan melalui sistem bilier,
dan mengikuti siklus enterohepatik, sehingga terjadi reinfeksi kembali. Pada Plak Peyer
terjadi fokus‐fokus infeksi Salmonella di sepanjang ileum, menyebabkan nekrosis. Apabila
nekrosis ini menembus tunika serosa maka akan terjadi perforasi ileum yang dapat
berakibat peritonitis.34

Seseorang dikatakan karier bakteri kronik apabila didapatkan ekskresi Salmonella


Typhi di feses atau urin (atau hasil positif kultur cairan empedu atau duodenum) selama
lebih dari satu tahun setelah onset demam tifoid akut. Karier kronik merupakan sekuele
pasien‐pasien yang tidak mendapatkan pengobatan adekuat, sehingga sisa bakteri masih
bertahan di dalam kandung empedu.

3.3.4. Pemeriksaan Penunjang Demam Tifoid

a. Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit yang
rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah
leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-
25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan
koagulasi intravacular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun
gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan37

b.Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi


dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satu satunya pemeriksaan penunjang
di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur
dengan menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O meningkat
di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.34

Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena beberapa


faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, endemisitas penyakit tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan
riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas
antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan
positif demam tifoid.23Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%,
dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh
karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan
dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan
preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.
Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali,
terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer
aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium
tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan
terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid. Pemeriksaan Widal
pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh
karena beberapa alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer
dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang
terhadap non-Salmonella lain, dan kurangnya kemampuan reprodusibilitas hasil
pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk aglutinin Salmonella seperti
pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.
c. Pemeriksaan Serologi terhadap Spesimen Darah

Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex yang
mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua dekade
ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang.11 Antigen dipisahkan dari
berbagai struktur subselular organisme antara lain: liposakarida (LPS), outer membrane
protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian
yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir
100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi
IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex) R dan IgM terhadap S.typhi
(Typhidot) R memiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar 70%dan 80%.11 Pemeriksaan
serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit dengan membandingkan
warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat.
Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus
tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan,
sedangkan IgG sampai 6 bulan.
Dikutip dari : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p5.

d.

Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan


waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul
dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari. 12 In-
flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13
Pemeriksaan nested polymerase chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat
digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan
pemeriksaan diagnostik cepat

yang menjanjikan.28 Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari

S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen
darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).

e. Pemeriksaan Serologi dari Spesimen Urin

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup D


Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%,
namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan sensitivitas 95%.15 Pemeriksaan
ELISA menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d
flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas
tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9
kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%). Spesifisitas untuk Vi
lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan untuk menunjang
diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu pertama sejak timbulnya demam.

f.Pemeriksaan Antibodi IgA dari Spesimen Saliva

Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari lipopolisakarida S.typhi


dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus

demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%,

100%, 9,1% dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima

perjalanan penyakit demam tifoid.

3.3.5. Tatalaksana Demam Tifoid

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana
umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotic sebagai
pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan
kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier
salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis
bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.

Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral
ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi
darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan
dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi,
tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di
rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit
tersebut.

Tatalaksana antibiotik

Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di
negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan
ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan
demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa,
dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin,
siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat
ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan
dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR).
S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada tahun 1970,
kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimethoprim
sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah
memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas
pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun
alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi

yang membutuhkan pengobatan parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2.36
Dikutip dari : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p10.

Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama kasus demam
tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan sebagai obat alternatif atau
obat pilihan atau lini kedua karena obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya
untuk pengobatan demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa
kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata
hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah.
Dibandingkan dengan antibiotic yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih
cepat bila digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan
penurunan demam oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada anak.
Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa
anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi

terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini
adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa
digunakan untuk mengobati karier S. typhi.

Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat demam tifoid,


walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah kloramfenikol. Umumnya
digunakan pada penderita demam tifoid dengan lekopenia yang tidak mungkin diberikan
kloramfenikol, atau yang resisten terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat
pada amoksisilin dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila dibandingkan
dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan Amoksisilin-Asam
klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian amoksisilin oral selama 14
hari sama efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid yang
resisten terhadap kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah 5 hari pengobatan.28

Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan


kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan amoksisilin, TMP-
SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol.

Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid
tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada kasus demam tifoid dengan
kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan sebagai terapi lini kedua atau
alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat
ini selain sebagai terapi alternative untuk kasus demam tifoid yang MDR juga angka
kekambuhan demam tifoidnya yang rendah. Obat ini bekerja dengan menginhibisi
pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit
yang berasal dari sel THP-1.

Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7

hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun pada anak
dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip dengan bila digunakan kloramfenikol.
Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap
kuinolon. Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif
mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.29

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau sefotaksim


diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat
antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap obat
sefalosporin generasi ini. Bahkan untuk beberapa kasus yang resisten terhadap
fluorokuinolon, obat seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik
bila digunakan sebagai terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim.
Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7
hari, kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson
dihentikan.30

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon, termasuk


siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin merupakan obat pilihan yang
optimal untuk pengobatan demam tifoid, khususnya pada dewasa dan anak di beberapa
negara. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah, membuat obat
ini banyak digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini
telah banyak ditemukan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon.28

Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat ini yang dapat
merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga disebagian besar negara di dunia,
obat ini tidak digunakan sebagai obat demam tifoid, sementara di sebagian lain hanya
digunakan pada kasus-kasus berat atau kasus yang dicurigai resisten terhadap
kloramfenikol. Sedangkan sebagian negara lainnya menganggap obat ini tetap bisa
digunakan dengan mempertimbangkan rasio keuntungan dan resikonya.

Dikutip dari : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII,


Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p1
BAB IV

ANALISIS KASUS

KASUS 1

An. RMA / Morbili

Terapi yang diberikan Analisis Terapi

1. IVFD KaEN 1B Untuk perawatan cairan dan nutrisi pengganti


3cc/kgBB/jam
2. Ambroxol 3x15 mg Untuk mengobati batuk berdahak pada pasien,
sebagai mukolitik agar mempermudah
pengeluaran sputum

3. Salbutamol 3 x 1,5mg Untuk mengobati batuk pada pasien, sebagai


bronkodilator

4. Vit A 200.000 Ul Untuk meningkatkan daya tahan tubuh

5. Paracetamol 3x100mg Untuk menjaga suhu tubuh tetap dibawah 40o C

6. Zink 1x1 Untuk mengobati BAB cair yang terdapat pada


pasien, sebagai pelindung u saluran cerna,
membantu absorbsi cairan pada saluran cerna

Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini adalah cairan rumatan berupa
KaEN 1B 3cc/kgbb, pada pasien didapatkan adanya batuk nerdahak sehingga
diberikan mukolitik dan bronkodilator untuk mempermudah pengelaran sputum.
Pemberian vitamin A dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang
meningkatkan respons antibodi terhadap virus campak. Diberikan juga obat-
obatan simtomatik seperti paracetamol untuk meredakan suhu agar tetap dibawah
40o C, zinc diberikan pada pasien karena adanya bab cair, zinc berfungsi sebagai
pelindung mukosa saluran cerna, membantu penyerapan cairan serta
memperpendek durasi dan frekuensi diare.
KASUS 2

An. B / Malaria

Terapi yang diberikan Analisis Terapi


1. IVFD Kaen 1B Untuk perawatan cairan dan nutrisi pengganti
3cc/kgBB/jam
2. Clanexy syrup 2x250mg Untuk mengobati infeksi

3. DHP 1X1 tab Pengobatan malaria P. falciparum dan atau P.


Vivax

4. Primakuin 1x3/4 tab Tambahan untuk terapi P. vivax dan P. ovale


dan gametosidal pada malaria falciparum

Berdasarkan atas aktivitasnya, obat anti malaria dapat dibagi menjadi :

← Gametosida : untuk membunuh bentuk seksual plasmodium


(misalnya klorokuin, kuinin dan primakuin).
← Sporontosida : untuk menghambat ookista (misalnya primakuin,
kloroguanid).
← Skozintisida : untuk memberantas bentuk skizon jaringan dan
hipnozoit (misalnya primakuin dan pirimetamin).
Skizontisida darah : untuk membunuh skizon yang berada di dalam darah
(misalnya klorokuin, kuinin, meflokuin, halofantrin, pirimetamin, sulfadoksin,
sulfon dan tetrasiklin)

Pada pasien diberikan DHP sebgai danti malaria dan primakuin 1x3/4 tab sesuai
dengan temuan hasil pemeriksaan penunjang yaitu P. falciparum stadium schizon

KASUS 3

An. M / DHF Grade II

Terapi yang diberikan Analisis Terapi

1. IVFD Assering Untuk memenuhi kebutuhan cairan akibat


3cc/kgBB/jam adanya kebocoran plasma dan mencegah
terjadinya syok

2. Inj ranitidine 2x25 mg Untuk mengurangi produksi asam lambung


sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluhati

3. Paracetamol 3x150mg Untuk menjaga suhu tubuh tetap dibawah 40o C

4. Inj Metilprednisolone 16 Sebagai imunosupresif untuk mencegah syok


mg
5. Thrombocyte concentrate Transfusi karena kadar trombosit pasien sangat
2 x 150 mg rendah

Pengobatan DBD adalah berfokus pada ketepatan dalam penggantian


volume sehingga dapat menghindari terjadinya syok. Pengganti volume dapat
menggunakan kristaloid maupun koloid, pada pasien ini dipilih pemberian cairan
Asering yang indikasinya adalah untuk keadaan shock maupun dehidrasi. Pada
pasien ini didapatkan kadar trombosit yang sangat rendah sehingg diberikan
pemberian transfusi darah yaitu thrombocyte concentrate. Pada pasien juga
diberikan pengobatan simtomatik yaitu pemberian paracetamol, ranitidine.
Metilprednisolone diberikan sebagai imunosupresan untuk mencegah terjadinya
fase syok, karena dipercaya dapat menghambat penghancuran trombosit dalam
sistem retikuloendotelial dan mengurangi pembentukan antibodi terhadap
trombosit, serta mempunyai efek stabilisasi kapiler yang dapat mengurangi
perdarahan.

KASUS 4

An. IA / TB Paru

Terapi yang diberikan Analisis Terapi

2. IVFD Kaen 1B Untuk perawatan cairan dan nutrisi pengganti


3cc/kgBB/jam
2. FDC 1x2 tab Untuk mengobati TB Paru

3 Triamsinolon p.o 3x1mg Sebagai anti inflamasi


4. Salbutamol p.o 3x0.75mg Untuk mengobati batuk pada pasien, sebagai
bronkodilator

5. PRC 2x125cc Untuk koreksi Hb yang rendah pada pasien

Fixed-dose combination (FDC) merupakan terapi untuk TB yang dibuat dalam 1


tablet yang berisi 4 obat yaitu 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400mg
Pirazinamid, 275 mg Etambutol. Obat simtomatik juga diberikan untuk
menangani batuk kering yang ada pada pasien yaitu pemberian salbutamol dan
triamsinolon. Pemberian PRC untuk mengkoreksi Hb pasien yang rendah.

KASUS 5

An. A / Demam Tifoid

Terapi yang diberikan Analisis Terapi

1. IVFD Asering Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang


3cc/kgBB/jam
2. Inj. Ondansentron 1x4mg Untuk mengurangi produksi asam lambung

3. Inj Cefotaximee 4x2gr Untuk mengobati beberapa kondisi akibat


infeksi bakteri

4. Inj Gentamycin 1x200mg Untuk mengobati beberapa kondisi akibat


infeksi bakteri

5. Paracetamol 3x500mg Untuk menjaga suhu tubuh tetap dibawah 40o C

Tatalaksana yang diberikan yakni berupa tatalaksana umum berupa rawat inap,
pemantauan regulasi suhu, pengawasan diet makanan, pengoreksian cairan yang
hilang, serta simptomatik seperti antipiretik dan pemberian PPI. Tatalaksana
spesifik pada diagnosis kerja demam tifoid pada dasarnya ialah antibiotik oleh
karena pathogen yang mendasarinya ialah bakteri Salmonella Thypii. Antibiotic
yang dipilih adalah sefalosporin generasi ke 3 yaitu cefotaxime

DAFTAR PUSTAKA

1. Herry Garna, Alex Chaerulfatah, Azhali MS, Djatnika Setiabudi,. Morbili


(Campak, Rubeola, Measles). Dalam : ed. Herry Garna, Heda Melinda D.
Nataprawira.Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III.
2005. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD : Bandung. p 234-236.
2. Brooks, Geo F., Butel, Janet S., Morse Stephen A. Mikrobiologi Kedokteran.
Edisi I. Terjemahan. 2005.Salemba Medika : Jakarta.
3. Soedarmo S, Garna H, Hadinegoro S, Satari HI. Infeksi dan pediatri topis.
Edisi 2. IDAI.2015.h109-21.
4. Halim RG. Campak pada Anak. CDK Journal.2016;43(3):186-9.
5. Allam MF. Measles Vaccination. J PREV MED HYG. 2009;50:201-5.
6. Furuse Y, Suzuki A, Oshitani H. Origin of measles virus: divergence from
rinderpest virus between the 11th and 12th centuries. Virology Journal. 2010;
7:52-5.
7. Lagunes L, Solbes ASC, Campins M, Rello J. Measles and respiratory
failure : Case Report and review of the last European Outbreaks. Asian Pac J
Trop Dis 2015; 5(8): 669-672.
8. Furuse Y, Suzuki A, Oshitani H. Origin of measles virus: divergence from
rinderpest virus between the 11th and 12th centuries. Virology Journal. 2010;
7:52-5.
9. Suriadi G. epidemiologi malaria: epidemiologi, patogenesa, manifestasi
klinik dan penanganan malaria, EGC, 2000:1-16.
10. Tambayong EH: patobiologi malaria. EGC 2000: 54-117.
11. Price RN, Tjitra E, Guerra CA et all: vivax malaria. Negleted and not benign.
Am J Trop Med Hyg. 2007:79-87.
12. TangPukdee N, Duangdee C, Wilairatana P et all: Malaria diagnosis : a brief
review. Karean J Parasitologi 2009,47(2):93-102.
13. World health organization (WHO). guidelines for the treatment of malaria.
Ganeva: WHO 2010.
14. Sam SS, et al. Review of Dengue Hemorrhagic Fever Fatal Cases Seen
Among Adults: A Retrospective Study. PLOS Neglect Tropic Disease.
2013;7:1.
15. Achmadi, Umar Fahmi, dkk. Jendela Epidemiologi volume 2 : Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan RI, 2010.p.1-4.
16. World Health Organization. National Guidelines for Clinical Management of
Dengue Fever. New Delhi World Health Organization, 2015.p.6-21.
17. Hadinegoro SR, dkk. Update Management of Infectious Disease and
Gastrointestinal Disorders : New Dengue Case Classification. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIII. Balai Penerbit FKUI,
2012.p.16-50.
18. Sellahewa KH. Pathogenesis of Dengue Hemorrhagic Fever and Its Impact
on Case Management. ISRN Infect Disease J. 2013;2013:1-6.
19. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of
tuberculosis in children.WHO.2014
20. Hatzenbuehler L. Tuberculosus (mycobacterium tuberculosis). Dalam Nelson
Textbook of Pediatric, Elsevier: Canada; 2016
21. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional
tuberkulosis anak. Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia 2014.
22. Kementrian kesehatan republik indonesia. Petunjuk teknis manajemen dan
tatalaksana TB pada anak. jakarta : Direktorat pencegahan dan pengendalian
penyakit. 2016
23. Barry CE, Boshoff HI, Dartois V, Dick T, Ehrt S, Flynn J, Schnappinger D,
Wilkinson RJ, Young D. The spectrum of latent tuberculosis: rethinking the
biology and intervention strategies. Nat Rev Microbiol. 2009;7:845–855
24. Graham SM. Treatment of paediatric TB: revised WHO guidelines. Pediatr
Respir Rev. 2011;78:443–448
25. Petunjuk Teknis Manajemen Tuberkulosis Anak. Direktorat Jenderal
Pengendalian Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2013
26. Bakula Z, Napiorkowska A, Kamiriski M, Auqustynowicz K, Zwolska Z, at
all. Second-line anti-tuberculosis drug resistance and its genetic
determinants in multidrug-resistant Mycobacterium tuberculosis clinical
isolates. J Microbiol Immunol Infect. 2016;49
27. Duke T , Kelly J, Weber M, Mike H. Hospital Care for Children in
Developing Countries: Clinical Guidelines and the Need for Evidence.2016

28. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J
Med.2002; 347:1770‐1782.
29. Bhutta ZA Enteric Fever (Typhoid Fever) in Nelson Textbook of Pediatrics
19th Edition. 2012. Elsevier: 954-58.
30. Gasem MH, Dolmans WM, Keuter M, Djokomoeljanto RR. Poor food
hygiene and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang, Indonesia.
Trop Med Int Health. 2001;6(6):484-90
31. Volaard AM, Ali S, van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, et al. Risk
factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta Indonesia. J Am Med
Assoc. 2004;291:2607‐15.
32. Jong EC Enteric Fever in Netter’s Infectious Diseases. Philadelphia. Elsevier
Saunders: 2012;394‐98.
33. Monack DM, Mueller A, Falkow S. Persistent bacterial infections: the
interface of the pathogen and the host immune system. Nat Rev Microbiol
2004;(2):747‐65.
34. Mastroeni P, Grant A, Restif O,Maskell D. A dynamic view of the spread and
intracellular distribution of Salmonella enterica. Nat Rev Microbiol 2009;
(7):73‐80.
35. Escobedo GG, Marshall JM, Gunn JS. Chronic and acute infection of the
gallbladder by Salmonella Typhi: understanding the carrier state. Nat Rev
Microbiol 2011;(9):9‐14.
36. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever.
BMJ. 2006;333:78-82.
37. Soedarmo S, Garna H, Hadinegoro S, Satari HI. Infeksi dan pediatri topis.
Edisi 2. IDAI.2015.h109-21.

Anda mungkin juga menyukai