Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai


sistem retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu.
Disebabkan terutama oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan
menular melalui jalur fecal-oral. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk
terutama di negara-negara berkembang.[1,2,3]
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang cenderung
meningkat pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah.
Etiologi utama di Indonesia adalah 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh
Salmonella enterica subspecies enterica serovar typhi (S. typhi) dan sisanya
disebabkan oleh Salmonella enterica subspecies enterica serovar paratyphi A (S.
Partyphi A). 91 % kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per
100,000 penduduk. Penyakit demam tifoid termasuk penyakit menular yang
tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.[2,3,4,5]
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, mulai dari gejala yang ringan
sekali hingga tidak terdiagnosis, dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid),
sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gejala klinis demam
tifoid pada anak cenderung tidak khas. Makin muda umur anak, gejala klinis
demam tifoid makin tidak khas. Umumnya perjalanan penyakit berlangsung
dalam jangka waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu. Beberapa
gejala klinis demam tifoid antara lain demam terus-menerus, gangguan saluran
pencernaan, gangguan kesadaran, hepatosplenomegali, bradikardia relatif dan
gejala lain.[6]
Salmonella enterica serotipe typhi, sebagai penyebab demam tifoid
merupakan basil Gram negatif. Penyebaran Salmonella ke dalam makanan atau
minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang

1
air besar maupun setelah berkemih. Lalat bisa menyebarkan bakteri secara
langsung dari tinja ke makanan (oro-fecal). Masa inkubasi dalam tubuh penderita
selama 7-14 hari. Selama masa inkubasi tersebut mungkin akan ditemukan gejala
prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak
bersemangat. Kemudian, menyusul gejala klinis seperti demam, gangguan
pencernaan, dan gangguan kesadaran.[4,7]
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu
tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian
antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya
tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga
ditujukan kepada penderita karier Salmonella typhi. Pencegahan pada anak berupa
pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah non endemik
ke daerah yang endemik demam tifoid.[8]
Prognosis pasien demam tifoid tergantung pada umur anak, kondisi
kesehatan sebelum sakit, serotipe Salmonella dan komplikasi yang terjadi.
Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan
perforasi, sekitar 5% penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini.
Komplikasi lain yang jarang antara lain, miokarditis, pneumonia, pankreatitis,
infeksi ginjal atau kandung kemih, meningitis, serta timbulnya masalah psikiatri
seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis. Pada Negara maju, angka
kematian adalah <1%, sedangkan di Negara berkembang bisa >10%.[6,9]

2
BAB II
KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M.F
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/Usia : 11 tahun
Alamat : Jl. Hasanudin
Agama : Islam
Waktu Masuk : Senin, 11 Desember 2017
Tempat Pemeriksaan : Ruang Perawatan Catelia RSUD Undata, Palu

B. ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS & ALLOANAMNESIS)


a. Keluhan Utama
Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien anak laki-laki usia 11 tahun masuk ke RS dengan
keluhan demam. Demam dirasakan sejak ± 5 hari sebelum masuk RS,
demam terus-menerus, dan biasanya memberat pada sore hingga
malam hari, demam turun bila diberikan obat penurun demam, setelah
itu demam timbul kembali. Keluhan disertai sakit perut terutama di
area ulu hati, pasien juga merasa sakit kepala serta badan terasa lemas.
Pasien mengalami muntah sebanyak 3 kali sejak demam, berisi sisa
makanan, warna putih, volume sedikit, setiap makan pasien merasa
mual dan terkadang muntah. Pasien juga mengeluhkan susah buang air
besar, terakhir buang air besar ± 2 hari sebelum masuk RS, dengan
konsistensi biasa. Pasien menyangkal adanya batuk, flu, sesak, nyeri
menelan, mimisan, perdarahan gusi, maupun kejang. Pasien tidak
berkeringat dingin dan tidak menggigil, serta tidak ada riwayat

3
berpergian 2 minggu terakhir. Keinginan minum pasien biasa dan
buang air kecil lancar.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien pernah menderita demam ± 5 bulan yang lalu, Tidak ada
riwayat kejang sebelumnya, tidak ada riwayat campak. Ibu pasien
menyangkal adanya riwayat alergi pada pasien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Di lingkungan keluarga pasien saat ini, tidak ada keluhan serupa
dan mengelak adanya anggota keluarga yang menderita sakit serupa
serta menyangkal adanya riwayat DBD, malaria, DM, asma, maupun
hipertensi.
e. Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial-ekonomi menengah.
f. Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan
Pasien seorang anak yang aktif dan memiliki kebiasaan bermain
diluar lingkungan rumah. Pasien juga memiliki kebiasaan jajan
sembarangan. Pasien tinggal di lingkungan rumah yang padat.
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Pasien lahir secara spontan di Rumah sakit, cukup bulan, dan
dibantu oleh dokter. Berat badan lahir 2900 gram, panjang badan 45
cm. Selama kehamilan, ibu pasien tidak menderita sakit ataupun
masalah lainnya.
h. Kemampuan dan Kepandaian Bayi
Tumbuh dan kembang anak sesuai dengan usianya, dan saat ini
anak tidak mengalami keterlambatan atau gangguan tumbuh dan
kembang.
i. Anamnesis Makanan
Pasien mendapatkan ASI mulai dari usia 0 hingga 3 bulan,
dilanjutkan PASI (susu formula pada saat usia 3 bulan – 2 tahun),
bubur saring mulai diberikan pada usia ± 5-6 bulan. Diberikan

4
makanan keluarga dimulai usia ± 1,5 tahun. Saat ini, pasien makan-
makanan olahan rumah, pasien menyukai sayur.
j. Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 34 kg
Tinggi Badan : 140 cm
Status Gizi : CDC BB/TB 91 % gizi Baik
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Denyut Nadi : 84 ×/menit, kuat angkat, irama reguler
Respirasi : 28 ×/menit, pola pernapasan reguler
Suhu axilla : 38,5 0C
1. Kulit:
Warna : Sawo matang
Efloresensi : Tidak ditemukan
Sianosis : Tidak ada
Turgor : Segera kembali
Kelembaban : Cukup
Lapisan lemak : Cukup
Rumple leed : (-)
2. Kepala:
Bentuk : Normocephalus
Rambut : Warna hitam, tampak kering, tidak mudah
dicabut, tebal, alopecia (-)
3. Mata:
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)

5
Refleks cahaya : RCL (+/+) / RCTL (+/+)
Refleks kornea : (+/+)
Pupil : Bulat, isokor
Exophthalmus : (-/-)
Cekung : (-/-)
4. Hidung:
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Rhinorrhea : tidak ada
5. Mulut:
Bau : tidak sedap
Bibir : Kering, sianosis (-), stomatitis (-)
Gigi : Tidak ditemukan karies
Gusi : Tidak ditemukan adanya perdarahan
6. Lidah:
Tremor : (-)
Kotor : (+)
Warna : Tepi lidah tampak hiperemis
7. Telinga:
Sekret : Tidak ditemukan
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada
8. Leher:
Kelenjar getah bening : Pembesaran (- /-), nyeri tekan (-)
Kelenjar Tiroid : Pembesaran (-), nyeri tekan (-)
Trake a : posisi central
Kaku Kuduk : (-)
Faring : Hiperemis (-)
Tonsil : T1-T1

6
9. Toraks:
a. Dinding Dada/Paru:
Inspeks : Ekspansi paru simetris bilateral kanan = kiri,
tampak retraksi (-), jejas (-), bentuk normochest,
jenis pernapasan thoraco-abdominal, pola
pernapasan kesan normal.
Palpasi : Ekspansi dada simetris, vocal fremitus simetris
kanan = kiri, nyeri tekan (-).
Perkusi : Sonor di semua lapang paru
Auskultasi : Bronchovesicular (+/+)
Suara napas tambahan Ronkhi (-/-), Whezzing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V arah medial
linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas atas: SIC II linea midclavicularis dextra et
parasternalis sinistra
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan: SIC V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler, bunyi
tambahan: murmur (-), gallop (-).

10. Abdomen:
Inspeksi : Tampak cembung
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen, dullness (+)
pada area hepar & lien. Asites (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), distensi (-),
meteorismus (-).
Hati : Teraba
Lien : Tidak teraba

7
Ginjal : Tidak teraba
11. Anggota Gerak:
a. Ekstremitas superior: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
b. Ekstremitas inferior: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
12. Genitalia: Dalam batas normal
+/+
13. Otot-Otot: Eutrofi +/+ , kesan normal
++/++ −/−
14. Refleks: Fisiologis ( ), patologis ( )
++/++ −/−

8
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rabu, 11/12/2017
Hasil Rujukan Satuan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.3 13.2 – 17.3 g/dl
Leukosit 2.10 3.8 – 10.6 103/uL
Eritrosit 4.71 4.4 – 5.9 106/uL
Trombosit 240 150 – 450 103/uL
Hematokrit 37 40 – 52 %
MCV 78.6 80-100 fl
MCH 26.1 26-36 Pg
MCHC 33.2 32-36 %

Serologi
Skor 4-10 :
positif
Semakin tinggi
skornya, maka
Positif
Ig M anti Salmonella semakin kuat
(+4)
indikasi
terjadinya infeksi
bakteri
salmonella Thypi

9
E. RESUME
Pasien anak laki-laki usia 11 tahun masuk ke RS dengan keluhan
febris. Febris dirasakan sejak ± 5 hari sebelum masuk RS, febris
continuous/remittent, memberat pada sore hingga malam hari. Keluhan
Disertai epigastric pain, cephalgia,malaise, nausea, dan vomiting 3 kali.
Konstipasi sejak ± 2 hari sebelum masuk RS. Pasien menyangkal adanya
batuk, flu, sesak, nyeri menelan, mimisan, perdarahan gusi, maupun
kejang. Pasien tidak berkeringat dingin dan tidak menggigil, serta tidak
ada riwayat berpergian 2 minggu terakhir. Keinginan minum pasien biasa
dan buang air kecil lancar. Riwayat demam ± 5 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran composmentis, tekanan
darah 100/60 mmHg, denyut nadi 84×/menit kuat angkat, 28 ×/menit, suhu
axilla 38,50C, mulut berbau tidak sedap, bibir kering, rambut kering, coated
tongue dengan tepi lidah tampak hiperemis, thorax: dbn, abdomen: nyeri
tekan epigastrium (+) dan hepatomegaly. Hasil pemeriksaan laboratorium
hematologi rutin menunjukkan leukosit 2.10 ×103/uL, hemoglobin 12,3 g/dl,
dan hematocrit 37 %. Hasil serologi – Ig M anti Salmonella Positif (+4).

10
F. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Demam tifoid

G. TERAPI
Non-Medikamentosa
- Tirah baring
- Diet yang cukup dan bergizi serta terjaga higienitasnya
- Menjaga higienitas personal
Medikamentosa
- IVFD Ringer Lactat 20 gtt/m
- Chloramphenicol 4× 500 mg
- Paracetamol 4× 2 cth (bila demam)
- Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)

H. ALTERNATIF PEMERIKSAAN
- Kultur Salmonella

11
I. FOLLOW UP
Hari/Tanggal: Selasa, 12 Desember 2017
S Demam hari ke-6, naik turun
Muntah (+) 3 kali, berisi makanan tadi malam
Sakit perut (-), sakit kepala (-), batuk (-), flu (-)
BAB (-)
BAK lancar
O Keadaan Umum: Sakit Sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Denyut Nadi : 100 x/menit, kuat angkat
Respirasi : 22 x/menit
Suhu Tubuh : 38,2 C
Berat Badan : 34 kg
Tinggi Badan : 140 cm
Status Gizi : CDC BB/TB 91 % gizi Baik
Paru
- Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral
- Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi : Bronchovesicular +/+, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V
arah medial linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas: SIC II linea midclavicularis
dextra et parasternalis sinistra.
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis
sinistra.
Batas kanan: SIC V linea parasternalis
dextra.
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler,
bunyi tambahan: murmur (-), gallop (-).
Abdomen
- Inspeksi : Tampak cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen,
dullness (+) pada area hepar & lien.
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+) ,
meteorismus (-). Organomegaly (+)
Pemeriksaan Lain
- Lidah kotor : (+)
- Ekstremitas : Akral hangat
- Turgor : Kembali segera

12
Hasil Laboratorium:
DR: 11/12/2017
HB : 12.3 g/dL
WBC : 2.10 ×103/uL
RBC : 4.71 ×106/uL
PLT : 240 ×103/uL
HCT : 37 %
Ig M anti Salmonella : 11/12/2017
Positif (+4).
A Demam Tifoid
P  IVFD Ringer Lactat 20 gtt/m
 Chloramphenicol 4× 500 mg
 Paracetamol 4× 2 cth (bila demam)
 Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)

Hari/Tanggal: Rabu, 13 Desember 2017


S Demam hari ke-7, naik turun
Muntah (+) 1 kali, warna putih, tadi malam hingga tadi
subuh
Sakit perut (+), sakit kepala (-), batuk (-), flu (-)
BAB biasa
BAK lancar
O Keadaan Umum: Sakit Sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Denyut Nadi : 104 x/menit, kuat angkat
Respirasi : 36 x/menit
Suhu Tubuh : 37,8 C
Berat Badan : 34 kg
Tinggi Badan : 140 cm
Status Gizi : CDC BB/TB 91 % gizi Baik
Paru
- Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral
Palpasi : Vocal Fremitus kanan =
kiri
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi : Bronchovesicular +/+, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V
arah medial linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas: SIC II linea midclavicularis
dextra et parasternalis sinistra.
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis

13
sinistra.
Batas kanan: SIC V linea parasternalis
dextra.
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler,
bunyi tambahan: murmur (-), gallop (-).
Abdomen
- Inspeksi : Tampak cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen,
dullness (+) pada area hepar & lie
- Palpasi : Nyeri tekan (+), meteorismus (-).
Organomegaly (+)
Pemeriksaan Lain
- Lidah kotor : (+)
- Ekstremitas : Akral hangat
- Turgor : Kembali segera
Hasil Laboratorium:
DR: 11/12/2017
HB : 12.3 g/dL
WBC : 2.10 ×103/uL
RBC : 4.71 ×106/uL
PLT : 240 ×103/uL
HCT : 37 %
Ig M anti Salmonella: 11/12/2017
Positif (+4)
A Demam Tifoid
P  IVFD Ringer Lactat 20 gtt/m
 Chloramphenicol 4 × 500 mg
 Paracetamol 4 × 2 cth (bila demam)
 Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)

Hari/Tanggal: Kamis, 14 Desember 2017


S Demam (-) , Bebas demam hari ke-1
mual (+), sakit kepala (-),
Muntah (-), Sakit perut (-), sakit kepala (-), batuk (-), flu
(-)
BAB biasa
BAK lancar
O Keadaan Umum: Sakit Sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Denyut Nadi : 84 x/menit, kuat angkat
Respirasi : 28 x/menit
Suhu Tubuh : 35,6 C
Berat Badan : 34 kg

14
Tinggi Badan : 140 cm
Status Gizi : CDC 79 % gizi kurang
Paru
- Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral
- Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi : Bronchovesicular +/+, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V
arah medial linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas: SIC II linea midclavicularis
dextra et parasternalis sinistra.
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis
sinistra.
Batas kanan: SIC V linea parasternalis
dextra.
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler,
bunyi tambahan: murmur (-), gallop (-).
Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar, kesan normal
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen,
dullness (+) pada area hepar & lien.
- Palpasi : Nyeri tekan (-), meteorismus (-).
Organomegaly (-)
Pemeriksaan Lain
- Lidah kotor :( )
- Ekstremitas : Akral hangat
- Turgor : Kembali segera
Hasil Laboratorium:
DR: 11/12/2017
HB : 12.3 g/dL
WBC : 2.10 ×103/uL
RBC : 4.71 ×106/uL
PLT : 240 ×103/uL
HCT : 37 %
Ig M anti Salmonella: 11/12/2017
Positif (+4).
A Demam Tifoid
P  IVFD Ringer Lactat 20 gtt/m
 Chloramphenicol 4 × 500 mg
 Paracetamol 4 × 2 cth (bila demam)

15
 Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)
Hari/Tanggal: Jumat, 15 Desember 2017
S Demam (-), Bebas demam hari ke-2
mual (-), sakit kepala (-),
Muntah (-), Sakit perut (-), sakit kepala (-), batuk (-), flu
(-)
BAB biasa
BAK lancar
O Keadaan Umum: Sakit Sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Denyut Nadi : 110 x/menit, kuat angkat
Respirasi : 30 x/menit
Suhu Tubuh : 36,6 C
Berat Badan : 34 kg
Tinggi Badan : 140 cm
Status Gizi : CDC BB/TB 91 % gizi Baik
Paru
- Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral
- Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi : Bronchovesicular +/+, Ronkhi -/-,
Wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V
arah medial linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas: SIC II linea midclavicularis
dextra et parasternalis sinistra.
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis
sinistra.
Batas kanan: SIC V linea parasternalis
dextra.
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler,
bunyi tambahan: murmur (-), gallop (-).

Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar, kesan normal
- Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen,
dullness (+) pada area hepar & lien.

- Palpasi : Nyeri tekan (-), meteorismus (-).


Organomegaly (-)
Pemeriksaan Lain
- Lidah kotor : (-)

16
- Ekstremitas : Akral hangat
- Turgor : Kembali segera
Hasil Laboratorium:
DR: 11/12/2017
HB : 12.3 g/dL
WBC : 2.10 ×103/uL
RBC : 4.71 ×106/uL
PLT : 240 ×103/uL
HCT : 37 %
Ig M anti Salmonella: 11/12/2017
Positif (+4)
A Demam Tifoid
P  Chloramphenicol 4 × 500 mg
 Paracetamol 4 × 2 cth (bila demam)
 Ranitidine 2×1/2 tab (75mg)
 Boleh pulang

17
BAB III
DISKUSI KASUS

Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever, Eberth disease) adalah


penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosecal) dengan gejala
demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan
bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.[1]
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C.
Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding
dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri ini termasuk bakteri Gram
negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang, berkapsul,
dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H, dan Vi. Pada
minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit
demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan
bakteri untuk konfirmasi.[5,10]
Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin penderita
demam tifoid dan mereka yang diketahui sebagai carrier (pembawa) demam
tifoid. Pada beberapa Negara berkembang yang masih menjadi daerah endemik
demam tifoid, kasus yang terjadi umumnya disebabkan oleh pencemaran air
minum dan sanitasi yang buruk. Setelah bakteri sampai ke lambung, maka mula-
mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya
suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa
faktor yang menentukan apakah bakteri dapat melewati barier asam lambung,
yaitu (1) jumlah bakteri yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.[5,6]
Masa inkubasi demam tifoid bervariasi tergantung pada besarnya jumlah
bakteri yang menginfeksi dan kekebalan/daya tahan tubuh penderita. Menurut J.

18
Chin masa inkubasi berlangsung antara 3 hari sampai 1 bulan, dengan rata-rata 8-
14 hari. Sedangkan menurut Jenkins dan Gillespie menyebutkan sejak masuknya
S. typhi sampai menunjukkan gejala penyakit antara 3 sampai 56 hari dengan rata-
rata 10 sampai 20 hari. Cammie F Laser menyebutkan masa inkubasi berlangsung
antara 3 sampai dengan 21 hari. Sedangkan pada anak periode inkubasi demam
tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari.[2,10]
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-
109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung (pH
<2) dapat menghambat multiplikasi Salmonella. Sebagian bakteri yang tidak mati
akan mencapai usus halus tepatnya di ileum dan jejenum yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh
berusaha menghanyutkan bakteri keluar dengan usaha pertahanan tubuh non
spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri
anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan bakteri dengan pembentukan
asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila bakteri
berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka bakteri akan
melekat pada permukaan usus. Pada dasasrnya, apabila respon imunitas
(Imunoglobulin A) usus kurang baik, maka bakteri akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M), selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria bakteri
berkembang biak dan ditelan oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Bakteri dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag, kemudian dibawa ke Plaque’s
Peyeri di ileum distal.[2,5]
Tahapan selanjutnya, bakteri akan menuju kelenjar getah bening
mesenterika. Melalui ductus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag
masuk ke dalam sirkulasi darah mengakibatkan bakteremia pertama yang tidak
menimbulkan gejala. Kemudian, menyebar ke organ bakteri akan masuk kedalam
organ–organ system retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa
sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Di organ-
organ ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid, setelah melalui waktu tertentu (periode inkubasi) yang
lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun penjamu,

19
maka S. typhi akan keluar dari habitatnya. Dari sini bakteri akan masuk ke dalam
sirkulasi darah, sehingga terjadi bakteremia kedua yang simptomatis
(menimbulkan gejala klinis). Disamping itu bakteri yang ada didalam hepar akan
masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu bakteri
tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus
halus. Sebagian bakteri ini akan dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi
bakteri akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak pada
mukosa diatas plaque peyeri yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan
perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.[1]
Pada masa bakteremia bakteri mengeluarkan endotoksin yang susunan
kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat
berperan membantu proses radang lokal dimana bakteri ini berkembang biak
yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi
pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.
Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada
usus.[1,4,5]
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu
step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4
demam terus turun secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Pada kasus demam
sudah tinggi, demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti
kesadaran berkabut atau delirum atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai
apatis sampai koma.[2] Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan pada demam
tifoid, yaitu :[5]
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh

20
cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur
turun dan normal kembali pada akhir minggu III.[5]
2. Gangguan saluran cerna
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah-pecah
(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue), ujung
dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung
(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan
tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.[5]
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam,
dapat berupa apatis sampai somnolen.[5]
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang
tenggorokan, gejala gastrointestinal bervariasi, pasien dapat mengeluhkan
diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare. Pada
sebagian pasien, lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedangkan tepi
dan ujungnya tampak kemerahan. Adapun, bradikardi relatif jarang
dijumpai pada anak.[2]
Diagnosis demam tifoid pada kasus ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
hasil anamnesis, ditemukan febris, dirasakan sejak ± 5 hari sebelum masuk
RS, febris continuous/remittent, memberat pada sore hingga malam
hari, turun dengan antipiretik. Disertai epigastric pain, cephalgia, malaise,
dan vomiting 3 kali. Konstipasi sejak ± 2 hari sebelum masuk RS. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran compos mentis, denyut nadi
84×/menit kuat angkat, 28 ×/menit, suhu axilla 38,50C, mulut berbau
tidak sedap, bibir kering, rambut kering, coated tongue dengan tepi
lidah tampak hiperemis, abdomen: nyeri tekan epigastrium (+) dan

21
hepatomegaly, Temuan-temuan ini telah sesuai dengan teori menyangkut
gambaran klinis demam tifoid yang telah diuraikan sebelumnya.
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan
dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh
karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang
pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan
darah tepi, bakteriologis dan serologis, serta pemeriksaan kuman secara
molekuler.[1,3,5,13]
Pada kasus ini, hasil pemeriksaan laboratorium hematologi rutin
menunjukkan leukopenia yaitu 2.10 ×103/uL, hematocrit menurun yaitu 37
%, Hemoglobin menurun 12,3 g/dl, trombosit normal 240 ×103/uL ,
begitupun Eritrosit normal 4,71 ×106/uL. Hasil serologi – Ig M anti
salmonella postif +4 . Teorinya, pada penderita demam tifoid dapat
dijumpai anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat,
mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau
sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah
tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi
dugaan kuat diagnosis demam tifoid.[14]
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit,
maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang
pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada

22
beberapa faktor. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80%
atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan
volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri
dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya
waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.[14]
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji
serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji
Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4)
metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan
dipstik.[14]
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran
berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum. Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990)

23
mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada
titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai
prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam
tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara
lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti
status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis
atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.[14]
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas
serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk
mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline
titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-
anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya
(1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89%
penderita.[14]
Penatalaksaan penderita dengan demam tifoid yang secara garis besar
ada 3 bagian yaitu:[5]
a) Perawatan
b) Diet
c) Medikamentosa
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas,
tetapi tidak harus tirah baring sempurna. Mobilisasi dilakukan sewajarnya,

24
sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan
kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta
tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil
dan buang air besar perlu mendapat perhatian.[1,4]
Dahulu penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan
penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai
dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita
semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama.[1,5]
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar
sesuai dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas
maupun kuantitas ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan
disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun
mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose,
menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan
kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.[1,5]
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain,
Kloramfenikol, Tiamfenikol, Cotrimoxazol, Ampisilin, Amoksisilin,
Seftriakson, Sefiksim.[1,8]
Komplikasi demam tifoid dikelompokkan adalah komplikasi
neuropsikiatrik; gastrointestinal (perdarahan dan perforasi usus); sepsis dan
syok sepsis; kelainan hematologik seperti anemia hemolitik dan koagulopati
intravaskular diseminata (KID); kelainan jantung seperti miokarditis dan
endokarditis; serta infeksi lain seperti meningitis, pneumonia, hepatitis,
nefritis, kolesistitis, artritis septik dan sebagainya. Komplikasi dapat terjadi
baik pada saat pertama dirawat atau terjadi selama perawatan. Komplikasi
yang secara nyata ditimbulkan oleh sebab lain seperti alergi obat dan akibat
prosedur tindakan yang diberikan tidak dicatat sebagai komplikasi demam
tifoid.[15]

Penyulit pada demam tifoid, dapat dibagi menjadi:[16]

25
- Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun,
nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun
sampai menghilang, defance musculaire positif, dan pekak hati menghilang.
- Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia,
syok septik, pielonefritis, endocarditis, osteomyelitis, dll.
Pemantauan terapi dapat dilakukan dengan mengevaluasi demam melalui
monitor suhu, apabila pada hari ke-4-5 setelah pengobatan demam tidak reda,
maka harus segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain,
resistensi S. typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan
diagnosis. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai
komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.[16]
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan
kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.[1,5]

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidabutar S, Satari HI. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak:
Kloramfenikol atau Seftriakson?. Sari Pediatri. 2010; 11 (6): 434-439.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Infeksi Dan Penyakit Tropis. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Hal 367-75.
3. Rampengan TH. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. Hal 46-62.
4. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi 1.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004. Hal 91-4.
5. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: 2007. Hal. 1186-1190.
6. Bambang WT. Kajian Faktor Pengaruh Terhadap Penyakit Demam Tifoid
pada Balita Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2009; 12 (4).
7. Syamsul A. Hubungan Tingkat Demam dengan Hasil Pemeriksaan
Hematologi pada Penderita Demam Tifoid. Lecturer of Histology
Departement Medical Faculty Lambung Mangkurat University.
8. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2012.
9. Widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Demam. Jakarta:
Sagung Seto; 2011.
10. Lubis R. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Penderita yang
Dirawat di RSUD dr. Soetomo Surabaya. Tesis; 2008.
11. Tumbelaka AR. Typhoid Fever in Children. Division of Infectious Diseases
& Tropical Pediatrics, Department of Child Health FMUI – Cipto
Mangunkusumo General Hospital. Jakarta: 2010.
12. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K M, Setiati S. In: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta: InternaPublishing;
2010.

27
13. Tumbelaka AR. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid Pada Anak. Simposium
Infeksi-Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa
Timur. Malang: IDAI Jawa Timur; 2005.
14. Prasetyo RV, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak.
Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2005; 1-11.
15. Setiabudi D, Madiapermana K. Demam Tifoid pada Anak Usia di bawah 5
Tahun di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung. Sari
Pediatri. 2009; 7 (1): 9-14.
16. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED (editor). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.

28

Anda mungkin juga menyukai