“ TONSILOFARINGITIS ”
1
BAB I
PENDAHULUAN
Faringitis merupakan salah satu Infeksi Respirasi Akut (IRA) atas yang
banyak terjadi pada anak. Istilah faringitis digunakan untuk menunjukkan semua
infeksi akut pada faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung
hingga 14 hari. Tonsilofaringitis biasa terjadi pada anak, meskipun jarang pada
anak berusia di bawah 1 tahun. Insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya
umur, mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa.
Insidens Tonsilofaringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada
usia di bawah 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dan perempuan.(1)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Gejala yang didapat berupa demam, nyeri tenggorokan,
sakit saat menelan. Pada pemeriksaan bagian tonsil didapatkan pembesaran tonsil
dan hiperemis. Pemeriksaan penunjang sebagai baku emas adalah pemeriksaan
kultur dengan spesimen apusan tenggorokan. Selain itu, dapat pula dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah.(2,3)
Tatalaksana tonsilofaringitis meliputi terapi non-farmakoterapi dan
farmakoterapi. Non-farmakoterapi diberikan edukasi menjaga kesehatan utamanya
rongga mulut, mempertahankan hidrasi, istirahat yang cukup dan perlu
pertimbangan tonsilektomi sebagai tindakan bedah dengan memperhatikan
indikasi bedah. Farmakoterapi berupa pemberian antibiotik yang sesuai, analgesik
dan antipiretik.(2,3)
Perlu mempertimbangkan infeksi bakteri Streptococcus beta hemolitikus
grup A yang dapat menyebabkan komplikasi meningitis, osteomielitis, demam
reumatik, atau glomerulonefritis. Komplikasi lain berupa rhinosinusitis, otitis
media, mastoiditis dan pneumonia.(1,3)
Prognosis baik dengan pemberian terapi yang tepat. Sangat penting
memperhatikan pencegahan penyebaran hematogen yang dapat menimbulkan
komplikasi di organ dan lain dan menyebabkan prognosis buruk.(3)
2
Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk melakukan diagnosis dan
memberikan tatalaksana, agar dapat menurunkan mortalitas anak.
Pada laporan kasus ini, akan dibahas mengenai tonsilofaringitis pada pasien anak
yang dirawat di ruang anak kasuari RS WIRABUANA.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Identitas penderita
Nama penderita : An. M.D
Jenis kelamin : Laki-Laki
Tanggal lahir/Umur : 18 Juni 2008, 9 tahun 2 bulan
Tanggal/jam masuk : 13 Oktober 2017 / 23.00 WITA
ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Demam
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien anak laki-laki umur 9 tahun 2 bulan masuk dengan keluhan demam sejak
±3 hari yang lalu. Panas dirasakan naik-turun, sudah minum paracetamol, panas
hanya turun sebentar kemudian naik lagi, kejang (-), mimisan (-), gusi berdarah (-
). Batuk (+), sejak ± 2 hari yang lalu, berlendir, darah (-), sesak (-), beringus (+),
sakit menelan (+). Pasien juga mengeluhkan muntah (+) sejak tadi pagi ±2 kali
muntah air dan makanan, sakit perut (+), BAB lancar dan BAK lancar.
Anamnesis Makanan:
ASI eksklusif diberikan sampai usia 1 tahun, bubur saring diberikan saat usia 6
bulan sampai 11 bulan, diberikan makanan keluarga saat berusia 1 tahun.
Riwayat persalinan :
Melahirkan secara normal di RS Nasanapura Palu, bayi cukup bulan, BBL : 2700
gr, PB : 45 cm dan langsung menangis
Riwayat Imunisasi :
Imunisasi lengkap
Riwayat Makanan :
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
2. Pengukuran
Tanda vital : Nadi : 100 kali/menit, reguler, kuat angkat
Suhu : 38,8° C
Respirasi : 22 kali/menit
Berat badan : 20 kg
Tinggi badan : 125 cm
CDC : CDC 86%
Status gizi : Gizi Kurang
3. Kulit : Warna : Sawo matang
Pigmentasi : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Turgor : cepat kembali
Kelembaban : cukup
Lapisan lemak : Cukup
Kepala: Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, tebal,
alopesia (-)
Mata : Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Reflek cahaya : (+/+)
Refleks kornea : (+/+)
Pupil : Bulat, isokor
Exophthalmus : (-/-)
6
Cekung : (-/-)
Telinga : Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
Hidung : Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut : Bibir : mukosa bibir basah, tidak hiperemis
Gigi : Tidak ada karies
Gusi : tidak hiperemis
Lidah : Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan
Faring : hiperemis
Tonsil : T3-T3 hiperemis
4. Leher :
Pembesaran kelenjar leher : +/+
Trakea : Di tengah
5. Toraks :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : simetris
Dispnea : tidak ada
Retraksi : Tidak ada
Palpasi : vokal fremitus : kanan=kiri, kesan normal
Perkusi : Sonorseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Bronchovesikuler +/+
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
7
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Suara dasar : BJ 1 dan BJ 2 murni, regular
Bising : tidak ada
6. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : bising usus (+) kesan meningkat
Perkusi : Bunyi : timpani seluruh quadran
Asites : (-)
Palpasi : Nyeri tekan : (-)
Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
7. Ekstremitas : akral hangat, edem tidak ada.
8. Rumple leed : (-)
9. Genitalia : Tidak ada kelainan
Pemeriksaan laboratorium
Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,8 11,7-15,5 g/dl
Leukosit 12,6 3,6-11,0 103/ul
Eritrosit 4,58 3,8-5,2 106/ul
Hematokrit 35,2 35-47 %
Trombosit 244 150-440 103/ul
RESUME
Pasien anak laki-laki umur 9 tahun 2 bulan masuk dengan keluhan demam sejak
±3 hari yang lalu. Panas dirasakan naik-turun, sudah minum paracetamol, panas
hanya turun sebentar kemudian naik lagi, kejang (-), mimisan (-), gusi berdarah (-
). Batuk (+), sejak ±2 hari yang lalu, berlendir, darah (-), sesak (-), beringus (+),
8
sakit menelan (+). Pasien juga mengeluhkan muntah (+) sejak tadi pagi ± 2 kali
muntah air dan makanan, sakit perut (+), BAB lancar dan BAK lancar.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, tampak
sakit sedang, status gizi menggunakan CDC didapatkan CDC 86% gizi kurang.
Pemeriksaan tanda vital didapatkan Nadi 100x/menit, reguler, kuat angkat,
respirasi 22x/menit, suhu 38,8o C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan faring
hiperemis dan tonsil T3-T3 hiperemis, adenopati servical anterior lunak (+).
4 : Antibiotik
Skor validasi streptococcus pada pasien adalah 4, sehingga pasien pada kasus
ini diberikan antibiotik.
DIAGNOSA
Tonsilofaringitis
9
TERAPI
IVFD Ringer Laktat 20 tetes per menit
Paracetamol syrup 4 x 2 cth
Cefadroxyl syrup 2 x 2 cth
GG 70 mg + CTM 2 mg puyer 3 x 1
Inj. Dexamethason 3 mg/IV/8 jam
FOLLOW UP
Tanggal 14/8/2017
S : Panas (↓), batuk (+), beringus (+),muntah (-), mual(-), sakit menelan (+)
O: Tanda vital : Nadi :100 kali/menit, reguler, kuat angkat
Suhu : 36,6° C
Respirasi : 20 kali/menit
FOLLOW UP
Tanggal 15/10/2017
10
S :Panas (-), batuk (+), beringus (+), sakit menelan (-)
Bebas Demam Hari Pertama
O: Tanda vital : Nadi : 94 kali/menit, reguler, kuat angkat
Suhu : 36,6° C
Respirasi : 23 kali/menit
11
BAB III
DISKUSI
13
Bila dijumpai gejala dan tanda berikut, maka kemungkinan besar bukan faringitis
Streptococcus (disebabkan oleh infeksi virus):(2)
- Usia di bawah 3 tahun
- Awitanbertahap
- Kelainan melibatkan beberapa mukosa
- Konjungtivitis, diare, batuk, pilek, suaraserak
- Mengi, ronki di paru
- Eksantem ulseratif
Tanda khas faringitis difteriadalah membrane asimetris, mudah berdarah,
dan berwarna kelabu pada faring. Membrane tersebut dapat meluas dari batas
anterior tonsil hingga palatum mole dan/atau ke uvula. Pada anak diatas umur 2
tahun mulai dengan keluhan nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Gejala-
gejalaini dapat disertai dengan demam setinggi 400C. Beberapa jam sesudah
keluhan awal, tenggorokan dapat menjadi nyeri.(1,2,4)
Pada pasien ini, dari hasil anamnesis diketahui bahwa pasien anak
perempuan berusia 9 tahun, 2 bulan, sehingga berdasarkan usia ini, kemungkinan
tonsilofaringitis yang dialaminya terjadi akibat infeksi bakteri. Selain itu juga
pasien mengeluhkan demam, nyeri tenggorokan saat menelan, mual dan muntah,
semua gejala ini sudah di alami oleh pasien. Daripemeriksaan fisik didapatkan
suhu yang meningkat 38,80C,terdapat tonsil yang membesar T3-T3 dan faring
tampak hiperemis. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pasien
dapat mengarah ke tonsilofaringitis yang disebabkan oleh bakteri.
Sulit untuk membedakan antarafaringitis Streptococcus dan virus hanya
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Baku emas penegakkan diagnosis
faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari pemeriksaan
apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan
untuk menegakan adanya S.pyrogenes. Untuk memaksimalkan akurasi, maka
diambil apusan dari dinding faring posterior dan regio tonsil, lalu diinokulasikan
pada media agar darah domba 5% dan piringan basitrasin diaplikasikan, kemudian
ditunggu selama 24 jam. Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk
mendeteksi antigen Streptococcus grup A (rapid antigen detection test). Metode
14
uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukuptinggi (90-95%)
dan hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini setidaknya
dapat digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur.(1,2)
Pada pasien ini, pemeriksaan kultur tidak dilakukan. Sehingga penyebab
pasti tonsilofaringitis pada pasien ini belum dapat ditentukan, namun dari hasil
pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan adanya leukositosis 12,6x
103/mm3, sehingga dapat dicurigai mengarah ke infeksi bakteri.
Tatalaksana tonsilofaringitis akut meliputi terapi non-farmakologis dan
farmakologis. Untuk terapi non-farmakologis pada pasien diberikan edukasi untuk
istirahat yang cukup, mempertahankan hidrasi yang cukup, dan menjaga
kebersihan rongga mulut agar tidak terjadi infeksi sekunder yang dapat terjadi
akibat menurunnya sistem imun lokal. Selain itu, apabila pasien mengeluhkan
asupan makanan yang berkurang akibat keluhan nyeri menelan, pasien dapat
diedukasi untuk tetap makan makanan dengan konsistensi lunak.
Terapi farmakologis pada pasien ini adalah:
1. Pemberian antibiotik. Pada kasus ini, diberikan antibiotik karena
kemungkinan penyebabnya adalah bakteri karena terjadi peningkatan
leukosit. Menurut IDAI penyebab terbanyak tonsilofaringitisakut pada
anak adalah infeksi Streptococcus hemolyticus grup A. Antibiotik
pilihan pada terapi faringitis akut Streptococcus β-hemolitikus grup A
adalah penisilin V oral 15-30 mg/kg/ hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB
<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB >30 kg). Amoksisilin dapat digunakan
sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, dengan dosis 50
mg/kg/haridibagai 2 selama 6 hari. Pada anak yang alergi penisilin dapat
diberikan eritromisin suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40
mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2, 3, atau 4 kali perhari selam 10 hari.
Pada infeksi berulang perlu dilakukan kultur kembali. Apabila hasil kultur
kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan terapi kedua, dengan
pilihan obat oral klindamisin 20-30 mg/kg/hariselama 10 hari,
amoksisilinklavulanat 40 mg/kg/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10
15
hari atau injeksi benzathine penisilin G intramuscular, dosis tunggal
600.000 IU (BB <30 kg) dan 1.200.000 IU (BB >30 kg). Bila setelah
terapi kedua kultur tetap positif, kemungkinan pasien merupakan pasien
karier, yang memiliki risiko ringan terkena demam reumatik. Golongan
tersebut tidak memerlukan terapi tambahan.(2)
2. Pemberian gargles (obat kumur) dan lozengen (obat hisap), pada anak
dapat diberikan untuk meringankan keluhan nyeri tenggorokan.(2)
3. Apabila terdapat nyeri yang berlebih dan demam dapat diberikan
analgesikdan antipiretik, pada pasien dapat diberikan parasetamol dengan
dosis 10–15 mg/kgBB/kali.(2)
4. Pemberian edukasi. Edukasi yang harus dilakukan meliputi berbagai
aspek dari penyakit tonsilofaringitis itu sendiri. Dari segi penyebab ada
baiknya diberikan penjelasan secara singkat dan jelas mengenai bakteri
penyebab, pola dan mekanisme penularan, dan bagaimana cara mencegah
penularan. Edukasi juga perlu dilakukan mengenai pengobatan pasien
baik yang berupa kausatif dan simptomatik. Antibiotik yang diberikan
oleh dokter harus diminum sesuai dengan dosis dan waktu yang telah
ditentukan (biasanya habis dalam 7-10 hari). Kemungkinan terjadinya
resistensi obat akibat penggunaan antibiotik yang tidak teratur juga harus
dijelaskan kepada pasien. Pengobatan yang bersifat simptomatis juga
harus dijelaskan cara pemakaiannya yaitu dapat dihentikan ketika gejala-
gejala simptomatis sudah hilang atau membaik. Efek samping dari obat
yang diberikan juga harus dijelaskan agar pasien dapat segera kontrol ke
dokter apabila terjadi hal tersebut.
Untuk penanganan tonsilitis, selain pengobatan secara medikamentosa perlu
juga dipertimbangkan untuk dilakukan tonsilektomi jika terjadi tonsilitis rekuren.
Terdapat beberapa indikator klinis yang digunakan, salah satunya adalah kriteria
yang digunakan Children’s Hospital of Pittsburgh study, yaitu :
Ada 7 atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik
pada tahun sebelumnya.
16
Ada 5 atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik
setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya
Ada 3 atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik
setiap tahun selama 3 tahun sebelumnya.(2,3)
American Academy Otolaryngology and Head and Neck Surgery,
menetapkan terdapatnya tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi
dalam setahun sebagai bukti yang cukup untuk melakukan tindakan pembedahan.
Keputusan untuk tonsilektomi harus didasarkan pada gejala dan tanda yang terkait
secara langsung terhadap hipertrofi, obstruksi dan infeksi kronis pada tonsil dan
struktur terkait.
Tonsilektomi seharusnya dihindari pada anak berusia di bawah 3 tahun. Bila
ada infeksi aktif, tonsilektomi harus ditunda hingga 2-3 minggu. Indikasi lainnya
adalah bila terjadi obstructive sleep apnea.(2) Pada pasien ini, tindakan
pembedahan tonsilektomi belum perlu dilakukan, dikarenakan gejala baru
pertama kali dalam setahun dan bersifat akut serta belum menimbulkan efek
obstruksi pada saluran pernafasan.
Selain hal diatas, perlu di edukasikan kepada orang tua mengenai waktu
untuk kontrol kembali jika setelah obat habis, namun keluhan belum membaik
atau memburuk. Komplikasi tonsillitis yang dapat terjadi terkait dengan
Streptococcus β-hemolitikusgrup A adalah demam rematik akut dan
glomerulonephritis akut, dan komplikasi yang lain ialah infeksi peritonsilar,
infeksi retrofaring, infeksi parafaring, sindrom lemierre, obstruksi saluran
pernapasan atas. Komplikasi lainnya adalah demam scarlet, yaitu sekunder
terhadap tonsillitis Streptococcus akut atau faringitis dengan produksi endotoksin
oleh bakteri. Manifestasi termasuk ruam eritematosa, limfadenopati berat dengan
sakit tenggorokan, muntah, sakitkepala, demam, eritema tonsil dan faring,
takikardia, dan eksudat kuning pada tonsil dan faring.(2,5)
Prognosis faringitis virus tergolong baik karena komplikasinya jarang dan
bersifat self limited. Beberapa kasus dapat berlanjut menjadi otitis media purulen
bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik
yang cukup luas. Sedangkan jika akibat bakteri, dapat terjadi perluasan secara
17
langsung atau hematogen. Akibat perluasan langsung dapat berlanjut menjadi
rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau
pneumonia. Penyebaran hematogen dapat mengakibatkan meningitis,
osteomyelitis, atau arthritis septik, sedangkan komplikasi non supuratif berupa
demam rematik dan glomerulonephritis.(2)
Pada pasien ini, prognosisnya baik bila komplikasi tidak muncul.Namun,
risiko komplikasi pada pasien ini muncul tergolong besar karena pada pasien ini
dicurigai infeksi bakteri sebagai penyebab tonsilofaringitis yang memiliki lebih
banyak komplikasi dibandingkan virus sebagai penyebabnya.
18
DAFTAR PUSTAKA
19