Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

TETANUS

DISUSUN OLEH:
dr. Edwin

PENDAMPING:
dr. I Ketut Sukrata
dr. I Wayan Nadi

PEMBIMBING:
dr. Bhaskoro Adi Widie Nugroho, Sp.S

DALAM RANGKA MENJALANI


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
DI RSUD KLUNGKUNG
PROVINSI BALI
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
2.1 Definisi ...............................................................................................2
2.2 Etiologi ...............................................................................................2
2.3 Epidemiologi.......................................................................................3
2.4 Patofisiologis ......................................................................................4
2.5 Gejala Klinis .......................................................................................5
2.5.1 Tetanus lokal .......................................................................................6
2.5.2 Tetanus sefalik ....................................................................................6
2.5.3 Tetanus general ...................................................................................7
2.6 Diagnosis ............................................................................................9
2.7 Diagnosis banding ............................................................................12
2.8 Komplikasi ........................................................................................14
2.9 Penatalaksanaan ................................................................................15
2.9.1 Membuang sumber tetanospasmin ...................................................15
2.9.2 Netralisasi toksin yang tidak terikat .................................................16
2.9.3 Pengobatan suportif ..........................................................................16
2.10 Prognosis...........................................................................................20
BAB 3 LAPORAN KASUS .................................................................................21
3.1 Identitas.............................................................................................21
3.2 Riwayat Medis ..................................................................................21
3.3 Status Generalis ................................................................................22
3.4 Pemeriksaan Fisik .............................................................................22
3.5 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................24
3.6 Diagnosis ..........................................................................................25
3.7 Penatalaksanaan ................................................................................25
3.8 Follow Up .........................................................................................25
BAB 4 PEMBAHASAN .......................................................................................28
BAB 5 KESIMPULAN ........................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................32

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,
juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit
(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.1 Di
negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah
kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus.2
Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per
tahun.1 Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus
tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian
retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus
dengan mortalitas 47%.2
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi
tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas
terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster
jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program
imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini
di negara sedang berkembang.2

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik
dan berat.1,2 Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau
kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher)
dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat luka
ataupun kecelakaan sebelumnya.2

2.2 Etiologi
C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan
kotoran binatang.2,3 Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora,
memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat.
Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan
bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen
flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama.
Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan
baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air
mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu
121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau
bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita
tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. 3
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan
melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat
mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg).2

2
Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drumstick” pada bagian
bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetani dibentuk.
(dengan pembesaran mikroskop 3000x).2

2.3 Epidemiologi
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan
publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh
dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka
kematian 300.000-500.000 per tahun.2
Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang,
dengan penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan
akut.4 Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan
ventilator), membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli
sangat berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus.3,4
Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006 mengemukakan bahwa Case
Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-53%.3
Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin
buruknya sistem kardiovaskuler paska tetanus (40%), pneumonia (15%), dan
kegagalan pernapasan akut (45%).20Health Care Associated Pneumonia (HCAP)
dalam beberapa penelitian dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi,
penelitian terbaru oleh Huynh et al (2011), posisi semi terlentang atau terlentang
tidak memberi perbedaan yang bermakna terhadap terjadinya pneumonia pada
pasien tetanus.5 Angka mortalitas penyakit tetanus di negara maju cukup tinggi
bagi kelompok yang mempunyai risiko tinggi terhadap kematian akibat penyakit
3
ini. Infark miokard menjadi konsekuensi dari disfungsi saraf otonom dan
berperan besar terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di populasi usia
lanjut.4

2.4 Patofisiologis
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai
lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium
tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri
tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka
tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus,
mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui
ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau
setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini
berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan
berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggung jawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.1-3
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat.4,5
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular
junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara
transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport
secara retrograd menuju sistem saraf pusat.1,3
Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent endopeptidase memecah
vesicle-associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu
ikatan peptide tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid

4
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat,gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.1,3,5

2.5 Gejala Klinis


Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi.3 Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode
onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan
prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari)
menunjukkan makin berat penyakitnya.2,5
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot,
lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang
tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku
leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia.
Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot
yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan
tidak simetris.2,3
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring
dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan

5
respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang
melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa.3,7
Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah
penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat
spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan
aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan
dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi
sampai beberapa minggu lagi.1,7
Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi
klinisnya. 3,4.

2.5.1 Tetanus lokal


Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan tetanus
lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di
sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan
selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat
berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan
jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1%. 2,4,5.

2.5.2 Tetanus sefalik


Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar
6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot
nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah
otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva,
wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari
setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling sering),
disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III.
Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas yang
dilaporkan tinggi, yaitu 15-30%. 2,4,5

6
Gambar 2. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan
tetanus sefalik.
Sumber: Cook, 2001

2.5.3 Tetanus general


Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus
general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat
spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher,
kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4°C di
atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak
menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-
otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan
seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi
tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan. 4
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh
merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara
intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa
detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat
periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan
kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai
stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan
mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara,
cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu
spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat

7
spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan
manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam
nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien
usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat
menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke
hipotensi serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung. 4
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita
mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3
minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang
sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak
diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi
dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular
junction yang baru. 4,5

(a) (b)

(c)
Gambar 3. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita
tetanus yang menangis akibat kontraksi otot yang nyeri. Sumber: Cook,
2001

8
2.6 Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula,
dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan
ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang
involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan
singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan
bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan
sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif). Pemeriksaan
darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat
sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan
konfirmasi.2-5
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan
penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah
skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus
bertindak sebagai penentu prognosis. 3,4
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan
didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut
dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b)
skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.

9
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus
Parameter Nilai
Masa inkubasi < 48 jam 5
2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1
Lokasi infeksi Internal dan umbilikal 5
Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1
Status Tidak ada 10
imunisasi Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus) 8
> 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0
Faktor Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10
pemberat Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1
Sumber: Farrar et al, 2000

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan
menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering
2,4
digunakan. Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring
Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia. 2,4

10
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
(ringan) distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga
(sedang) sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia
ringan.
Grade III A Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
(berat) memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.
Grade III B Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat
(sangat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan
berat) takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia,
salah satunya dapat menjadi persisten.
Sumber: Cottle, 2011

Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia


Grade I Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
(ringan) pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga
(sedang) sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia
ringan.
Grade III Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
(berat) memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit, keringat
berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat
(sangat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (>
berat) 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90
mmHg), atau hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.
Sumber: Udwadia, 1992.

11
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di
Dakar, Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar
dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama. 4

Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus


Faktor Prognostik Skor 1 Skor 0
Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak
diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Tempat masuk Umbilikus, luka bakar, Penyebab lain dan
uterus, fraktur terbuka, penyebab yang tidak
luka operasi, injeksi diketahui
intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Takikardia Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit
Sumber: Ogunrin, 2003.

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai


berikut:
 Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
 Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
 Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
 Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

2.7 Diagnosis banding


Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus.
Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat
menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan
pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan

12
spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada
trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan
melibatkan otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani
hipokalsemia harus dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme
karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan kadar kalsium serum dapat
mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi terhadap fenotiazin dapat
menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang tidak ditemukan
pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada keracunan
striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan
pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin trismus muncul lebih lambat
3,10
serta tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus. Berbagai
kelainan yang merupakan diagnosis banding tetanus dirangkum dalam tabel 5.

Tabel 5. Diagnosis banding tetanus


Penyakit Gambaran Diferensial
INFEKSI
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan
kesadaran, cairan serebrospinal abnormal.
Polio Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
spasme orofaring.
Lesi orofaring Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh
tubuh tidak ada.
Peritonitis Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.
KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
hipokalsemia.
Keracunan striknin Relaksasi komplit diantara spasme.
Reaksi fenotiazin Distonia, menunjukkan respon dengan
difenhidramin.

13
PENYAKIT SISTEM SARAF
PUSAT
Status epileptikus Penurunan kesadaran.
Perdarahan atau tumor (SOL) Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara
spasme.
KELAINAN
MUSKULOSKELETAL
Trauma Hanya lokal.
Sumber: Ritarwan, 2004

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas
sehingga pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator.2
Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan karena komplikasinya.2,6
Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang
spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal
ginjal akut.2
Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang
berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang
didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat bermasalah
pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan
komplikasi akhir yang umum dari tetanus, ditemukan pada 50% -70% dari kasus
diotopsi.3
Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom
karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini
meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan
bradikardi.2 Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala
tersebut sangat bisa diandalkan. Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala
spasme otot dan disfungsi otonom. Berbagai komplikasi akibat tetanus
dirangkum dalam tabel 6.

14
Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus
Sistem organ Komplikasi
Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya
pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.
Sumber: Ang, 2003

2.9 Penatalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan
penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan aringan telah
habis dimetabolisme.2-5,6

2.9.1 Membuang sumber tetanospasmin


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.2,3
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk
tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di
Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole
efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua
dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari,

15
jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari
(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif
C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6
jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus.

2.9.2 Netralisasi toksin yang tidak terikat


Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.
Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis
tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan
diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap immunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS
dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuscular dan
50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit
intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.2,3
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi
immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari
tetanus tidak memiliki kekebalan.4,5

2.9.3 Pengobatan suportif


Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang
telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di
ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang.7,8

16
Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena
harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai
penuntun terapi.5 Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot,
spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu
respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang
sering.1
Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada
opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.6
Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot
respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.3
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil
kemungkinannya mengalami spasme otot.5 Diazepam efektif mengatasi spasme
dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera
dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg
per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk
anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus
neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan
spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari
dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui
pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik
bila tidak dijumpai spasme pontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak
koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan.2,3,7
Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya
phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat
menguntungkan pasien dengan gangguan otonom.1,3
Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan
diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari.

17
Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi
sampai 50-150 mg bagi dewasa.5,6
Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai
tambahan sedasi benzodiazepine. Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan
benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent
positive-pressure ventilation (IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat
pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasi didapatkan dari laporan kasus.
Pancuronium harus dihindari karena efek samping simpatomimetik.1 Atracurium
dapat sebagai pilihan. Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada
jantung.3,5
Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3
minggu sampai spasme mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada
pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%.1 Infeksi nosokomial umum terjadi karena
lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab penting
kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti,
fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif
mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom.3,5,8
Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan
fatality ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan
demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard
serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian.7
Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang
kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari
setelah onset spasme otot.6,7
Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh
kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada
miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi
dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest,
dikatakan karena kerusakan langsung nucleus vagus oleh toksin tetanus.3,6,7
Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan
obat-obat dengan waktu paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi

18
dalam sebagai terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar,
morphine, dan/atau chlorpromazine.1
Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme
dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg) IV dilanjutkan 1 sampai
3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi
serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor reflek
patella.7
Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang
tidak membaik dengan penambahan volume intravaskular membutuhkan
inotropik.1 Atropin dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada
keadaan bradikardia.3 Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara
universal untuk instabilitas otonom.3
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas
simpatis berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat
diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia,
gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya
tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis.3,8
Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam
jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme
protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein.5,7
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus
pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas
sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan
perhatian khusus pada risiko aspirasi.5,7
Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga
banyak digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko
thromboemboli dan perdarahan harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus
diberikan jika digunakan pelumpuh otot.5,7
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang menjadi
penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju
metabolisme akibat pireksia, dan aktivitas muskular, serta masa kritis yang

19
berkepanjangan. Oleh karena itu, mutrisi harus diberikan sedini mungkin. Terapi
wicara untuk menelan juga sedini mungkin dilakukan. Komplikasi infeksi akibat
masa kritis berkepanjangan mencakup pneumonia berkaitan dengan ventilator
umum terjadi pada tetanus. Melindungi jalan napas pada tahap awal penyakit dan
mencegah aspirasi dan sepsis merupakan langkah logis untuk mengurangi risiko
ini. Pencegahan komplikasi respirasi mencakup perawatan mulut secara cermat,
fisioterapi dada, dan penghisapan trakeal secara teratur karena ekskresi saliva dan
bronkial sangat meningkat. Sedasi yang adekuat penting sebelum melakukan
intervensi pada pasien dengan risiko spasme tidak terkontrol dan gangguan
otonomik serta keseimbangan antara fisioterapi dan sedasi mungkin sulit dicapai.
Pemberian cairan juga harus adekuat. Pemberian heparin atau antikoagulan
lainnya penting untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih, dan
GIT harus selalu dimonitor. Perdarahan GIT dan ulkus decubitus harus dicegah
dan infeksi sekunder harus diatasi. Pentingnya bantuan psikologis juga tidak dapat
diabaikan.

2.10 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain
yang menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang
digunakan untuk menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu
prognostik. Sistem skoring yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar,
Udwadia, dan Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-
negara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan
morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun.10

20
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Tn. IKS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 38 Tahun
Alamat : Cegong
Agama : Hindu
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Dirawat : 29 Mei 2019

3.2 Riwayat Medis


 Keluhan Utama
Kaku seluruh tubuh
 Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang laki-laki 38 tahun datang ke IGD RSUD Klungkung dengan
keluhan kaku pada seluruh tubuh secara tiba-tiba sejak 2 jam SMRS.
Keluhan kaku dirasakan terutama di wajah, leher, kedua kaki dan kedua
tangan. Pasien tidak bisa membuka mulutnya. Keluhan disertai dengan
demam sejak 4 hari SMRS, demam dirasakan terus menerus, suhu tidak
diperiksa di rumah. Pasien sulit makan dan minum karena tidak bisa
membuka mulut. Keluhan kejang, sesak nafas, mual, dan muntah
disangkal. Riwayat pernah mengalami luka-luka saat bekerja dan tidak
diobati disangkal. Riwayat korek kuping, sakit gigi, dan tertusuk paku
disangkal.

21
 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa, hipertensi, diabetes mellitus, asma, kejang,
jantung, dan alergi makanan dan obat pada pasien disangkal. Riwayat
Immunisasi tetanus dalam jangka waktu 10 tahun tidak ada
 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa, hipertensi, diabetes mellitus, asma, jantung, dan
alergi obat pada keluarga disangkal.

3.3 Status Generalis


 Keadaan umum : sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan darah : 150/100 mmHg
 Nadi : 80 x/menit, regular, isi cukup
 Pernapasan : 20 x/menit, regular
 Suhu : 38,7°C
 Sp02 : 96%

3.4 Pemeriksaan Fisik


 Kepala
Normocephal, wajah rhisus sardonikus (-)
 Mata
Konjungtiva pucat (-/-), palpebra edema (-/-), cekung (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+3mm/+3mm), reflek cahaya (+/+)
 Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
 Mulut
Trismus (+), bibir sianosis (-), mukosa basah (+), hygiene cavum oris
kesan buruk
 Telinga
Bentuk normotia, secret (-), liang ke-2 telinga lapang, serumen (+) di
kedua telinga

22
 Leher
Kaku leher (+), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP tidak meningkat,
pembesaran limfonodi (-)
 Paru
 Inspeksi : bentuk dada normal, statis dan dinamis kanan-kiri
simetris, pelebaran sela iga (-), retraksi sela iga (-),
sternum ditengah, sifat pernapasan abdomino-thorakal,
 Palpasi : stem fremitus kanan-kiri dan depan-belakang sama kuat,
gerakan dinding dada simetris, benjolan (-)
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru, batas paru kanan dan
hepar di ICS V
 Auskultasi : pernafasan vesikuler, rhonchi (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung
 Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba pada linea axillaris anterior
sinistra ICS V, thrill (-), heave (-), lift (-)
 Perkusi : redup,
batas atas jantung di ICS II parasternal line sinistra,
batas kanan jantung sejajar ICS IV sternal line dextra,
batas kiri jantung di ICS V anterior axillaris line sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, peristalsis tidak terlihat
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani diseluruh kuadran, nyeri ketok CVA (-)
 Palpasi : defans muscular (+), supel, nyeri tekan (+), hepar dan lien
tidak teraba
 Punggung
Opistotonus (-)

23
 Ekstremitas
Superior et inferior: spastik, keadaan ekstensi pada tangan kiri dan tangan
kanan, tonus meningkat, cogwheel (rigiditas) sde, akral hangat (+),
CRT<2 detik, edema (-), sianosis (-), luka (-)
 Pemeriksaan Neurologis
 Rangsang Meningeal: Kaku Kuduk, Laseque, Kernig dan Brudzinski
sulit dievaluasi
 Saraf Kranial: Sulit Dievaluasi
 Refleks Patologis
 Hoffman Tromner: -/-
 Babinski: -/-
 Chovstek sign: -/-
 Tes Spatula sde

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Leukosit (103/uL) 11,46 4.6 – 10.2
Eritrosit (103/uL) 4.63 3.80 – 6.50
Hemoglobin (g/dL) 13,1 11.5 – 18.0
Hematokrit (%) 38,4 37 – 54
MCV (fL) 82,9 80 – 100
MCH (pg) 28,3 27 – 32
MCHC (%) 34,1 31 – 36
RDW-CV (%) 13,1 11.5 – 14.5
Trombosit (103/uL) 464 150 – 400
MPV (fL) 9,5 7.8 – 11.0
Lymp% (%) 36,5 20 – 40
MID% (%) 9.2 1.7 – 9.3
Gran% (%) 51 77 – 100
Lymp# (103/uL) 4,18 0.60 – 5.20

24
MID# (103/uL) 0,83 0.10 – 0.60
Gran# (103/uL) 11 2.0 – 6.5
Natrium (Na) 135 135 – 145
Kalium (K) 3,6 3,5 – 5,0
Clorida (Cl) 94 95 - 105

3.6 Diagnosis
Tetanus Grade II menurut Ablett Score

3.7 Penatalaksanaan
 Pasien rawat inap ruang isolasi
 IVFD D5% dgn diazepam 60 mg 12 tpm makro
 Inj Tetagam 3000 unit IM di ke 4 ekstremitas
 Inj Ceftriaxon 1 gr /12 jam IV
 Inj Metronidazole 500 mg /8 jam IV
 Paracetamil 500 mg /8 jam

3.8 Follow Up
30/05/2019
S O A P
Kaku tubuh GCS : E4V5M6 Tetanus gr II Tx Lanjut
sudah mulai Kes : CM Luminal 3x60 mg
berkurang TD : 110/70
Os sudah bisa Hr : 104x
membuka mulut Rr : 20x
+- 2 cm dan T : 38,9 ºC
sudah bisa Trismus : (+) 2 jari
berbicara tangan
Demam H+5

25
31/05/2019
S O A P
Os mengeluh GCS : E4V5M6 Tetanus gr I Tx Lanjut
lemas (+) Kes : CM
Kaku (-) TD : 100/60
Membuka bulut Hr : 80x
(+) Rr : 20x
Os sudah bisa T : 39,2 ºC
berbicara dan Trismus : (+) 2
sudah bisa makan jari
Demam H+6

01/06/2019
S O A P
Lemas (+) GCS : E4V5M6 Tetanus Grade I Tx Lanjut
Demam (-) Kes : CM
Makan minum (+) TD : 120/80
Hr : 80x
Rr : 20x
T : 36 ºC
Trismus : (-) 3
jari

02/06/2019
S O A P
Lemas (+) GCS : E4V5M6 Tetanus Grade I Tx Lanjut
Demam (-) Kes : CM
Makan minum (+) TD : 120/70
Os sudah mulai Hr : 80x
bisa jalan dengan Rr : 20x
bantuan T : 36 ºC

26
03/06/2019
S O A P
Lemas (+) GCS : E4V5M6 Tetanus Grade I Tx Lanjut
Kes : CM Usul Antibiotik
TD : 130/80 Stop  besok
Hr : 96x
Rr : 20x
T : 36 ºC

04/06/2019
S O A P
Lemas (+) GCS : E4V5M6 Tetanus RL 12 tpm
Kes : CM Ceftriaxone stop
TD : 110/70 Metronidazole
Hr : 84x stop
Rr : 20x Diazepam 2x5
T : 36,1 ºC mg P.O
Luminal 3x60 mg
P.O
BPL besok bila
px stabil

27
BAB 4
PEMBAHASAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik
dan berat. Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin
buruknya sistem kardiovaskuler paska tetanus (40%), pneumonia (15%), dan
kegagalan pernapasan akut (45%)
Pasien TN. IKS laki-laki 38 tahun datang ke IGD RSUD Klungkung
dengan keluhan kaku pada seluruh tubuh dan tidak bisa membuka mulut secara
tiba-tiba sejak 2 jam SMRS. Pada pasien penderita tetanus keluhan seperti kaku
pada seluruh tubuh dan tidak bisa membuka mulut sangat umum ditemukan.
Keluhan seperti ini harus dipastikan lagi dengan anamnesis yang lengkap, riwayat
luka dan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan diagnostic untuk memastikan
diagnosis kerja pada pasien ini
Pasien TN. IKS dengan keluhan kaku pada seluruh tubuh dan tidak bisa
membuka mulut. Dari anamnesis yang didapat diketahui pasien memiliki gejala
khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Kekakuan pada
otot merupakan keluhan utama pada penyakit tetanus. Keluhan kaku pada otot ini
dapat terjadi karena toksin tetanospasmin mempengaruhi jalur inhibisi dengna
cara menghambat penglepasan GABA. Pada saat interneuron menghambat motor
neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks
motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan
peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba. Gejala
awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur
neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk
rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-
otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus pada wajah
namun pada pasien ini tidak ditemukan ciri khas risus sardonicus. Gejala
opistotonus juga tidak ditemukan pada pasien ini. Riwayat sosial ekonomi pasien
bekerja sebagai buruh bangunan. Dari penampilan kesan perawatan diri buruk.

28
Keluhan pasien juga disertai dengan demam sejak 4 hari SMRS, demam
dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluh sulit makan dan minum karena
tidak bisa membuka mulut. Keluhan tambahan pasien semakin mengarah
diagnosis kerja tetanus
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis,
namun keadaan umum lemah dengan tekanan darah 150/100mmHg dan nadi
80x/menit. Penting untuk mencari tahu sumber infeksi (port d’entrée) atau
masuknya kuman ke dalam tubuh melalui luka terbuka, tetapi pada pasien TN.
IKS tidak ditemukan adanya luka terbuka pada ekstremitasnya. Pada pemeriksaan
telinga juga tidak ditemukan adanya secret yg keluar namun d temukan serumen
pada kedua telinga. Pada pemeriksaan kuku juga tidak ditemukan adanya infeksi
pada kuku tangan maupun kaki. Pada pemeriksaan gigi oral hygiene buruk dan
didapatkan banyak karies dentis. Pada pemeriksaan leher ditemukan kaku pada
leher. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan defans muscular yang menandakan
adanya kontraksi di otot abdomen. Dari pemeriksaan neurologis pemeriksaan tes
spatula sulit di evaluasi karena mulut pasien tidak dapat dibuka sama sekali.
Pada pemeriksan penunjang didapatkan adanya peningkatan sel darah putih
sedikit dari nilai normal, tetapi bukan penanda utama untuk membantu
menegakan diagnosis tetanus.
Penatalaksanaan tetanus ada tiga sasaran yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan
penunjang suportif. Penatalaksanaan pertama untuk membuang sumber
tetanospasmin pada pasien ini diberikan metronidazole 500 mg setiap 8 jam.
Pemberian metronidazole untuk mengeradikasi bakteri dengan mengurangi
jumlah kuman C. tetani bentuk vegetative. Penatalaksanaan kedua dengan
menetralisasi toksin yang tidak terikat dengan diberikan human tetanus
immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total
3.000 IU di ke empat ekstremitas. Penatalaksanaan ketiga terdiri dari terapi
suportif sampai efek toksin yang telah terikat habis. Pasien dirawat di ruangan
gelap dan tenang untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang
dipresipitasi stimulus ekstrinsik. Pasien diberikan infus d5% di campur diazepam
60 mg IV yang efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat

29
kortikal. Pasien diberikan phenobarbital 60 mg per 8 jam oral untuk memberikan
tambahan efek sedasi dan menguntungkan pasien dengan gangguan otonom.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
mendukung diagnosis kerja tetanus. Pasien kemudian dirawat selama 3 hari dan
diperbolehkan pulang karena sudah tidak ada keluhan.

30
BAB 5
KESIMPULAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin


yang dihasilkan oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang
periodik dan berat. Toksin yang menyebabkan neurotoksin adalah tetanospasmin.
Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah
kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun
Untuk menegakan diagnosis tetanus dibutuhkan anamnesis untuk
mengetahui riwayat luka pasien dan pemeriksana fisik yang cermat. Gejala yang
biasanya muncul adalah rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom.
Prinsip penanganan ada 3 sasaran untuk menetralisir toksin. Tetanus dapat
dicegah melalui pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid, higiene persalinan
yang baik, dan manajemen perawatan luka yang adekuat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. 2005. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; p.1401-4.
2. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
2003. Management and prevention of tetanus. Niger J Paed.;13(3):139-54.
3. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. 2001. Tetanus: a review of the
literature. Br J Anaesth.;87(3):477-87.
4. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. 2002. Tetanus. Neurol India;50:398-407.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Editor : Harsono. 2007. Buku
Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
6. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. 2000.
Neurological aspects of tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry; 69:292-301.
7. Torbey MT, Suarez JI, Geocadin R. 2004. Less common causes of
quadriparesis and respiratory failure. In: Suarez JI, editor. Critical care
neurology and neurosurgery. 1st ed. New Jersey: Humana Press.p.493-5.
8. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. 2008. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin
and Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot
Williams & Wilkins; p.1140-1.
9. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati
S, (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI; 2007.

32

Anda mungkin juga menyukai