Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena
mempengaruhi sistem urat syaraf dan otot. Gejala tetanus umumnya diawali
dengan kejang otot rahang (Dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut)
bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot
leher, bahu atau punggung, kejang-kejang secara cepat merambat ke otot
perut, lengan atas dan paha.
Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih
terjadi di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.
Tetanus memiliki angka kematian sampai 50%, kematian biasanya terjadi
pada penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika
gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka
prognosisnya buruk. Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih
baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan
sebagai bagian dari vaksin DPT (Difteri, pertusis, tetanus), bagi yang sudah
dewasa sebaiknya menerima booster.
Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan
penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada
anak adalah tetanus neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000
bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi, sedangkan tetanus pada
anak yang lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk
akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi
sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora
clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang
hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Negara berkembang.
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi.
Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka
kematian tetanus neonatorumnya tinggi.

1
Sebagian besar pasien tetanus berusia >3 tahun dan <1 minggu. Dari
seringnya kasus tetanus serta kegawatan yang ditimbulkan, maka sebagai
seorang perawat dituntut untuk mampu mengenali tanda kegawatan dan
mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tetanus?
2. Apa saja etiologinya?
3. Bagaimana klasifikasinya?
4. Bagaimana manifestasi klinisnya?
5. Bagaimana patofiologinya?
6. Bagaimana pathwaynya?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjangnya?
8. Bagaimana penatalaksanaannya?
9. Bagaimana prognosisnya?
10. Bagaimana pencegahannya?
11. Bagaimana pengobatannya?
12. Apa saja rincian terapinya?
13. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi akibat tetanus?
14. Bagaimana asuhan keperawatan tetanus?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tetanus
2. Untuk mengetahui apa saja etiologinya
3. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasinya
4. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinisnya
5. Untuk mengetahui bagaimana patofiologinya
6. Untuk mengetahui bagaimana pathwaynya
7. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjangnya
8. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaannya
9. Untuk mengetahui bagaimana prognosisnya
10. Untuk mengetahui bagaimana pencegahannya
11. Untuk mengetahui bagaimana pengobatannya
12. Untuk mengetahui apa saja rincian terapinya
13. Untuk mengetahui apa saja komplikasi yang dapat terjadi akibat tetanus
14. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan tetanus

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (Spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman
secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (Tetanoplasmin) yang
dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang
belakang, sambungan neuro muscular (Neuro muscular jungtion) dan syaraf
autonom (Sumarmo, 2002).
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman
Clostridium tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan
diikuti kekakuan otot seluruh badan, kekakuan tonus otot massater dan otot-
otot rangka.

3
Penyakit tetanus adalah salah satu infeksi yang berbahaya karena
mempengaruhi sistem urat syaraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa
Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah
penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan
trismus (Lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung
(Opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah
penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani,yang
ditandai dengan gejala kekakuan dan kejang otot (Ritharwan, 2004).

B. Etiologi
Adapun etiologi yang dapat menyebabkan tetanus yaitu sebagai berikut:
1. Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh
genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini
mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (Tetanus spasmin), yang
mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan syaraf perifer setempat.
Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung
oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Faktor
predisposisi: Umur tua atau anak-anak, luka yang dalam dan kotor, belum
terimunisasi.
2. Clastradium tetani adalah kuman berbentuk batang, rangping berukuran 2-
5x0,4-0-0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk dalam golongan
gram positif dan hidup anaerob. Spora dewasamempunyai bagian yang
bergenderang (Drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat
neorotoksik. Toksik ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan
kejang otot daqn syaraf ferefer setempat. Toksin labil pada pemanasan
pada suhu 65 derajat celcius akan hancur dalamwaktu5 menit. Disamping
itu dikenal juga tetanolisin yang bersifat hemolisis yang perannya kurang
berani dalam proses hemolisis.
Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang
dapat masuk melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi
yang tidak dirawat dan tidak dibersihkan dengan baik, caries gigi,
pemotongan tali pusat yang tidak steril, dan penjahitan luka robek yang tidak
steril. Penginfeksian kuman clostridium tetani lebih mudah bila pasien belum
terimunisasi.

4
C. Klasifikasi
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Tetanus Local/Lokalited Tetanus
Biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan
spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam
beberapa minggu dan menghilang.
2. Tetanus General/Generalized Tetanus
Bentuk paling sering, biasanya timbul mendadak dengan kaku
kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung daan sakit kepala merupakan
manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontraksi otot somatic meluas.
Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan
dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh
periode relaksasi.
3. Tetanus Sephal/Cephalic tetanus
Varian tetanus local yang jarang terjadi, masa inkubasi 1-2 hari
terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol
adalah disfungsi syaraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering syaraf otak VII
diikuti tetanus umum.
4. Tetanus Neonatal
Biasanya disebabkan infeksi C. Tetani yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh
proses pertolongan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C. Tetani, maupun kebiasaan menggunakan alat-alat
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan
faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Berdasarkan berat gejala dapat dibedakan menjadi 3 stadium, yaitu:
1. Trismus (3 cm) tanpa kejang torik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila
dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.

D. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari. Timbulnya gejala klinis
biasanya mendadak yang didahului oleh ketegangan otot pada rahang dan
leher, timbul kesukaran membuka mulut, (Trismus) karena spasmus otot

5
masseter, kejang ototini akan berlanjut kekuduk dinding perut dan sepanjang
tulang belakang. Bila serangan toksik sedang sering tampak rimus sardonikus
karena spasmus otot muka dengan gambaran alis tertarik keatasdan sudut
mulut tertarik keluar dankebawah, bibir tertekan kuat pada gigi. Gambaran
umum yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus,
tungkai dalam keadaan ektensi, lengan kaku dan tangan mengapel, biasanya
kesadaran tetap baik.
Secara umum dalam kurun waktu kurang lebih 48 jam penyakit tetanus
menjadi nyata terlihat dengan gambaran klinis sebagai berikut:
1. Tetanus : karena spasmus otot-otot matikatoris (Otot pengunyah)
2. Kaku kuduk sampai epistotonus (Karena ketegangan otot-otot erector
tungkai)
3. Ketegangan otot dinding perut (Perut kaku seperti papan)
4. Kejang tonis teritama bila dirangsang karena toksin yang tendapat di
komus anterior
5. Resus sardonikos karena spasme otot muka (Alis tertarik keatas,sudut
muka tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6. Kerusakan menelan, gelisah ,mudah terrangsang, nyeri kepala, nyeri
anggota badan
7. Spasme yang khas yaitu badan kaku dengan epitotonus, ektrimitas inferior
dalam keadaan ektensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan
laring
9. Panas biasanya tidak terlalu tinggi
10. Biasanya terdapat leukositisis ringan dan kadang-kadang peninggian
tekanan cairan otak

E. Patofisiologi
Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka
yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak,
karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu
luka laserasi yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat luka bakar dan

6
patah tulang yang terbuka juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang
ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh,
memperbanyak diri dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-
reduksi rendah (Eh) tempat jejas yang terinfeksi. Plasmid membawa gena
toksin. Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel vegetative yang mati dan
selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di gabung oleh ikatan
disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan
kemudian diendositosis oleh syaraf motoris, sesudah ia mengalami ia
mengalami pengangkutan akson retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa.
Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis dan selanjutnya masuk
interneuron penghambat spinal. Dimana toksin ini menghalangi pelepasan
neurotransmitter. Toksin tetanus dengan demikian meblokade hambatan
normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di
koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi
maksimalnya, sistem syaraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah
menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin.
Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi
reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah,
nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal
toxin disalurkan ke sel syaraf (Cel body) yang memakan waktu sesuai dengan
panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik
dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam
sumsum belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron ke lekuk
sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada
daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10
hari.

7
F. Pathway

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah
2. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N <
200 mq/dl)
3. BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat
4. Elektrolit : K, Na (Ketidakseimbangan elektrolit merupakan
predisposisi kejang)
5. Kalium (N 3,80 – 5,00 meq/dl)

8
6. Natrium (N 135 – 144 meq/dl)
7. Skull ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya
lesi, teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak
yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.

H. Penatalaksanaan
1. Umum
a. Merawat dan membersihkan luka dengan sebaik-baiknya
b. Diet cukup kalori dan protein (Bentuk makanan tergantung pada
kemampuan membuka mulut dan menelan). Bila ada strismus makanan
dapat diberikan personde atau parenteral
c. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita
d. Oksigen dan pernapasan buatan dan tracheotomy bila perlu
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Obat – obatan
a. Anti Toksin
Tetanus Imun Glubolin (TIG) lebih dianjurkan pemakainnya di
bandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Dosis initial
TIG adalah 5000 U IM (Dosis harian 500 – 6000 U). Apabila tidak ada
TIG diberi ATS dengan dosis 5000 U IM dan 5000 U IV atau
pemberian ATS (Anti tetanus serum) 20.000 U secara IM di dahului
oleh uji kulit dan mata.

b. Tetanus Toksoid
Pemberian tetanus toksoid (TT) yang pertama dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda
degan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM,
pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.

c. Anti Kejang/Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang
kronik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta
komplikasinya. Dengan penggunaan obat-obatan sedasi/muscle

9
relaxans, diharapkan kejang dpat diatasi. Antikonvulsan yang dapat
digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Obat Dosis Efek samping


Diazepam 0,5 – 10 mg/kg Sopor, koma
BB /24 jam IM
Meprobamat 300 – 400 mg/4 Belum diketahui
jam IM
Chlorpromazin 25 – 75 mg /4 Hipotensi
jam IM
Fenobarbital 50 – 100 mg / 4 Depresi nafas
jam IM

I. Prognosis
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan
penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus
pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga
bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka
dapat lebih menurunkan angka kematian.

J. Pencegahan
1. Imunisasi aktif toksoid tetanus, yang diberikan sebagai dapat paad usia
3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3
tahun
2. Bila mendapat luka:
a. Perawatan luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi dan dicuci
dengan H2O2

b. Pemberian ATS 1500 IM secepatnya


c. Tetanus toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat imunisasi
dasar 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
d. Bila luka bertahap berikan pp selama 2-3 hari (50.000 iu/kg BB/hari)

10
K. Pengobatan Tetanus
Berdasarkan patogenesis, prinsip terapi ditujukan pada adanya toksin
yang beredar di sirkulasi darah dan adanya tempat basil di tempat luka.
Adanya stimulus yang diterima syaraf aferen dan adanya serabut motoric
yang menimbulkan spasme kejang (Kendarto, 2001).

L. RincianTerapi
1. Untuk menetralisir toksin, berikan ATS secara IV 100.000-200.000 UI atau
Hyper Tet 3000-6000 UI
2. Disekitar luka berikan ATS 10.000 UI secara IM
3. Setiap hari berikan ATS 10.000 UI secara IM di daerah gluteal sampai
gejala hilang
4. Untuk membunuh basil di tempat luka, injeksikan penisilin 10-20 juta UI
secara IV
5. Untuk mengurangi stimulus, isolasi pasien di tempat tenang dan tertutup;
berikan obat-obat sedative: Luminat®, Largaktil®, Lytiskoksiil®( campuran
Phenergan®, Phetidin/Luminal®, Largaktil® IV; untuk anak-anak obat-
obatan tersebut tidak boleh dicampur, karena terjadi koagulasi. Jadi
pemberian injeksi dilakukan secara terpisah
6. Untuk menghilangkan gejala kejang, berikan muscle relaxan, injeksi
Valium® 10 mg IV setiap hari sampai kejang hilang. Jika terjadi kejang
hebat, diberikan Kurare®untuk melumpuhkan otot-otot yang kejang
7. Luka-luka terbuka pada tetanus boleh dilakukan debridemen selama satu
jam setelah seroterapi (Suntikan ATS) dengan anestesi pentotal, dibersihka
ndengan Perhidrol®, luka tetap dibiarkan terbuka dan jangan dibalut agar
keadaan luka tetap aerob
8. Pemberian makan dengan NGT
9. Jika perlu pada saat sesak lakukan trakeostomi
10. Pasang kateter dower

M. Komplikasi
1. Spasme otot faring

11
2. Asfiksia
3. Ateletaksis
4. Fraktur kompresi
5. Jalan nafas : aspirasi, laringuspasme/obstruksi, obstruksi berkaitan dengan
sedative
6. Respirasi : apnea, hipoksia ,gagal nafas tipe 1 (Atelektasis, aspirasi,
pneumonia), gagal nafas tipe 2 (Spasme laringeal, spasme trunkal
berkepanjangan, sedasi berlebihan) ardsk, komplikasi bantuan ventilasi
berkepanjangan (Seperti pneumonia), komplikasi traneotomi (Seperti
stenosistrachea)
7. Kardiovaskuler : takikardia, hipertensi, iskemiahipotensi, bradikardia
takiaritma, bradiaritma, asistol, gagal jantung
8. Ginjal : gagal ginjal curah tinggi, gagal ginjal oliguria
9. Gastrointestinal : statis gaster, ileus, pendarahan, diare
10. Ruptur tendon akibat spasme

N. Asuhan Keperawatan Tetanus


Pengkajian
1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan kien atau orang tua
membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas
badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
2. Riwayat Penyakit Saat Ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk
mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus di tanya
dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan,
sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian
untuk di lakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya
kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa
yang telah di berikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di
hubungkan dengan toksin tetanus yang mengimplamasi jaringan otak.

12
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsip, dan koma.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah di alami pasien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernah kah pasien mengalami tubuh terluka dan luka
tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkenaa kaleng,
atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan
terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga
luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti
luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang di
koreng dengan benda yang kotor.
4. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang di gunakan pasien juga penting
untuk menilai respon emosi pasien terhadap penyakit yang di deritanya
dan perubahan peran pasien dalam keluarga dan mesyarakat seerta respon
atau pengaruh dalam kehidupan sehari hari baik dalam keluarga atau
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada pasien, yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk
melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (Gangguan citra tubuh). Karena pasien harus menjalani rawat inap
maka apakah keadaan ini memberi dampak pada ststus ekonomi pasien,
karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit.
Pada pengkajian pada pasien anak perlu di perhatikan dampak
hospitalisasi pada anak dan family center. Anak dengan tetanus sangat
rentan terhadap tindakan invasif yang sering dilakukan untuk mengurangi
keluhan, hal ini memberi dampak stress pada anak dan menyababkan anak
kurang kooperatif terhadap tindakan keperwatan dan medis.
Pengkajian psiko-sosial yang terbaik di laksanakan saat obsefasi
anak anak bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak
sering kali tidak mampu mengekspresikan perasaan mereka dan cenderum
memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.
5. Pemeriksaan Fisik

13
Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan pasien,
pemriksaaan fisik sangat berguna untuk mendukung dari pengkajian
anamesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah
dan di hubungkan dengan keluhan keluhan dari pasien.
Pada pasien tetanus biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh
lebih dari normal 38-40 0C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan
proses implamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat
pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan
penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai peninhkatan frekuensi
pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabilisme
umum. TD biasanya normal.
a. B1 (BREATHING)
Inspeksi apakah pasien batuk, prodoksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan
yang sering didapatkan pada pasien tetanus yang disertai adanya
ketidak efektifan bersihan jalan nafas. Palpasi thorak didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi nafas tambahan
seperti ronkhi pada pasien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun.
b. B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok
hipovelemik yang sering terjadi pada pasien tetanus. TD biasnya
normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena adanya
hancurnya eritrosit.
c. B3 (BRAIN)
Pengkajian B3 merupakan pemriksaan fokus dan lebih lengkap di
bandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
d. Tingkat Kesadaran (GCS)
Kesadaran pasien biasanya compos mentis. Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran pasien tetanus mengalami penurunan pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila pasien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran pasien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan.
e. Fungsi Serebri

14
Status mental: obsevasi penampilan pasien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara pasien dan observasi ekspresi wajah dan aktifitas
motorik yang pada pasien tetanus tahap lanjut biasanya status mental
pasien mengalami perubahan.
f. Pemeriksaan Syaraf Kranial
1) Syaraf I. Biasanya pada pasien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan
2) Syaraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
3) Syaraf III, IV, VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, pasien
tetanus mengeluh mengalami fotophobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus
rangsang cahaya perlu di perhatikan perawat untuk memberikan
intervensi menurunkan stimulus cahaya tersebut.
4) Syaraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut
ikan (Ini adalah gejala khas pada tetanus)
5) Syaraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris
6) Syaraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
7) Syaraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut (Trismus)
8) Syaraf XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan
leher (Mendadak)
9) Syaraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada pasikulasi. Indra pengecapan normal.
g. Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan kordinasi pada
tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
h. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periusteum derajat reflek pada respon normal.
i. Gerakan Involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan
tertentu pasien mengalami kejang umum, terutama pada anak yang
tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang
berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
j. Sistem Sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan
raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada

15
perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseftif normal
dan perasaan diskriminatif normal.
k. B4 (BLADER)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan
perpusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin
karena kejang umum. Pada pasien yang sering kejang sebaiknya
pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
l. B5 (BOWEL)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada pasien tetanus menurun karena
anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan)
merupakan tanda khas dari tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan
kesulitan BAB.
m. B6 (BONE)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas pasien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila pasien mengalami
patah tulang terbuka yang memungkinkan por de
entrée kuman Clostridium tetani , sehingga memerlukan perawatan luka
yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada praktur pertibra
pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.
Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1 DS: - Tetanus Kejang
DO:
Proliferasi clostridium
Pasien tampak
tetani ke pembuluh darah
kejang

Toksin dari clostridium


tetani menyebar ke
system saraf di otak
melalui pembuluh darah

Toksin menimbulkan
reaksi di system saraf di
otak dan menyebabkan

16
kejang

2 DS: - Infeksi toksin C.tetani Hipertermi


DO:
a. Muka dan dada
Suhu tubuh meningkat
berkeringan,
suhu akral
hangat
b. Suhu tubuh
39,5oC, nadi 96
kali /menit
takhikardia

3 DS: - Kekakuan otot faring Ketidakefektifan


DO:
pola nafas
a. RR 26x/menit
b. Retraksi dinding Sesak nafas
dada (+)
c. Pernafasan
cuping hidung
(+)
4 DS: - Invasi clostridum tetani Defisit volume
DO:
cairan
a. Mukosa bibir Pelepasan tetanuspasmik
kering dan tetanolir
b. Turgor kulit tidak
Peningkatan aktifitas
elastis
kelenjar keringat

Pengeluaran keringat
atau cairan tubuh
meningkat

Intak (-), tekanan darah


menurun
5 DS: - Kerusakan Gangguan
DO:
muskuluskletal dan mobilitas fisik
a. Terjadi
neuromuscular
peningkatan

17
tonus otot
b. Pergerakan
terbatas
c. Teraba perut
terasa keras
seperti papan
d. Badan tampak
kaku
e. Terlihat sering
terjadi kejang
otot

Diagnosa Keperawatan
1. Kejang berhubungan dengan penyebaran toksik clostridium tetani di syaraf
otak
2. Hipertemi berhubungan dengan efek toksin (Bakterimia)
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu
akibat spasme otot pernafasan
4. Defisit volume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal
neuromuscular
Implementasi
1. Diagnose: kejang berhubungan dengan penyebaran toksic clostridium
tetani di system syaraf di otak
Tujuan : tidak terjadi kejang
Kriteria hasil: frekuensi kejang berkurang,pasien lebih tenang
Intervensi:
a. Anjurkan keluarga agar menahan tubuh pasien saat kejang
R/Agar pasien tidak terjatuh dari tempat tidur saat pasien mengalami
kejang
b. Anjurkan keluarga untuk memasang sendok ke mulut pasien saat pasien
kejang
R/Melindungi pasien agar tidak menggigit lidahnya sendiri saat terjadi
kejang

18
c. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat anti kejang kepada
pasien
R/Obat anti kejang dapat membantu pasien untuk segera lepas dari
masa kejangnya dan menenangkan pasien

2. Diagnose: hipertemi berhubungan dengan efek toksin (Bakterimia)


Tujuan: suhu tubuh normal
Kriteria hasil: suhu tubuh dalam rentang normal, hasil lab sel darah putih
dalam rentang normal (5.000-10.000 mm3)
Intervensi:
a. Anjurkan pasien banyak minum
R/Cairan merupakan kompresi badan dari demam
b. Berikan kompres dingin
R/Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu
tubuh dengan proses konduksi
c. Pantau suhu tiap 2 jam
R/Identifikasi perkembangan gejala ke arah syok
d. Bila ada luka, berikan tindakan aseptic dan antiseptic.
R/Perawatan luka yang benar, mengeliminasi toksin yang masih berada
di sekitar luka
3. Diagnose: ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas
terganggu akibat spasme otot pernafasan
Tujuan: pola nafas teratur daan normal
Kriteria hasil: tidak sesak nafas, RR dalam rentang normal, tidak ada
retraksi dinding dada, dan tidak ada pernafasan cuping hidung
Intervensi:
a. Monitor irama nafas dan RR
R/Adanya kelainan pada pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis
pernafasan, kemampuan dan irama nafas
b. Berikan posisi semi fowler
R/ Posisi semi fowler dapat memberikan rasa nyaman bagi pasien dan
salah satu cara untuk melancarkan jalan nafas
c. Observasi tanda dan gejala sianosis

19
R/Sianosis merupakan tanda ketidakadekuatan perfusi O2 pada jaringan
tubuh perifer

4. Diagnose: defisit volume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak


adekuat
Tujuan: pasien tidak memperlihatkan kekurangan volume cairan Kriteria:
membran mukosa lembab, turgor kulit baik
Intervensi:
a. Kaji intake dan out put setiap 24 jam
R/Memberikan informasi tentang status cairan atau volume sirkulasi
dan kebutuhan penggantian
b. Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran mukosa, dan turgor kulit setiap 24
jam
R/Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
c. Berikan dan pertahankan intake oral dan parenteral sesuai indikasi
(Infus 12 tts/m, NGT 40 cc/4 jam) dan disesuaikan dengan
perkembangan kondisi pasien
R/Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh
d. Monitor berat jenis urine dan pengeluarannya
R/Penurunan keluaran urine pekat dan peningkatan berat jenis urine
diduga dehidras atau peningkatan kebutuhan cairan
e. Pertahankan kepatenan NGT
R/Mempertahankan intake nutrisi untuk kebutuhan tubuh
5. Diagnose: gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
muskuloskeletal neuromuscular
Tujuan: tidak terjadi kontraktir, gangguan integritas kulit, fungsi bowell
dan bladder optimal serta peningkatan kemampuan fisik
Kriteria hasil: skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan
minimal
Intervensi:
a. Review kemampuan fisik dan gangguan yang terjadi

20
R/Mengidentifikasi fungsi dan menentukan pilihan intervensi
b. Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat ketergantungan
R/Tingkat ketergantungan minimal care (Hanya memerlukan bantuan
minimal), partial care (Memerlukan bantuan sebagian), dan total care
(Memerlukan bantuan total dari perawat dan pasien yang memerlukan
pengawasan khusus karena resiko cedera yang tinggi
c. Berikan perubahan posisi yang teratur pada pasien
R/Perubahan posisi teratur dapat mendistribusikan berat badan secara
menyeluruh dan memfasilitasi peredaran darah serta mencegah
dekubitus
Evaluasi
1. Tidak terjadi kejang
2. Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5 ‫ﹾ‬C)
3. Pola nafas kembali efektif
4. Kebutuhan cairan pasien terpenuhi
5. Tidak terjadi gangguan mobilitas fisik

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekauan oto(spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman
clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan
kuman. Penyakit ini tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah resiko
tinggi cakupan imunisasi DPT yang rendah.
Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran
ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora
kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui:
1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka baker
2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3. OMP, caries gigi
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril
5. Penjahitan luka robek yang tidak steril
Kejang dapat terjadi kembali pada saat pasien bila pasien mendapat
rangsangan motorik suara dan cahaya karena rangsangan ini merangsang
syaraf untuk melakukan neurotransmisi untuk keotak dan pada akhirnya
keadaan ini semakin memperberat keadaan anak. Untuk itu pasien perlu
diisolasi dan diberi penerangan atau cahaya yang minimal diruangan isolasi.
(Sudarjat Suraatmaja, 1997 : 26).

B. Saran
Mahasiswa/i harus meningkatkan kembali pengetahuan setra
pemahamannya mengenai asuhan keperawatan penyakit tetanus.

DAFTAR PUSTAKA

22
Nanda, 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis. Yogyakarta:
Mediaction

Fransisca B. Baticaca, 2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan


Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Doenges, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi.3. Jakarta: EGC

23

Anda mungkin juga menyukai