Anda di halaman 1dari 36

INFEKSI BAKTERI

PADA KULIT, SALURAN PERNAPASAN,


DAN GASTROINTESTINAL
I. PENDAHULUAN
Infeksi bakteri bakteri adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme (bakteri) dalam
jaringan tubuh yang menghasilkan tanda dan gejala seperti respon imun.
Tingkat keparahan infeksi tergantung pada :
1. Patogenisitas
2. jumlah mikroorganisme
3. Daya tahan tubuh
Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui :
• Inhalasi
• Ingesti
• Sexsual transmission
• Gigitan serangga atau hewan
• Injeksi
Cara mikroorganisme (bakteri) menyebabkan penyakit:
Agen Infeksi membangun dan merusak jaringan infeksi dalam tiga cara:
1. Mereka dapat kontak atau memasuki sel inang dan langsung menyebabkan
kematian sel.
2. Mereka mungkin melepaskan racun (eksotoksin atau endotoksin) yang merusak
dan membunuh sel-sel, melepaskan enzim yang mendegradasi komponen
jaringan, merusak pembuluh darah, dan menyebabkan nekrosis iskemik.
3. Mereka dapat menginduksi respon seluler host, yang meski ditujukan pada
penginvasi, menyebabkan bertambahnya kerusakan jaringan biasanya dengan
immunemediated mekanisme.
Selama bakteri tumbuh, sel bakteri melepaskan eksotoksin, enzim yang
merusak sel inang, mengubah fungsi atau membunuh sel inang. Enterotoksin adalah
jenis spesifik eksotoksin disekresi oleh bakteri yang menginfeksi saluran gi,
menyebabkan gastroenteritis. Endotoksin yang terkandung di dinding bakteri gram
negatif, dilepaskan selama lisis bakteri.
Perubahan patofisiologi :
• Peradangan
• Merah, panas, nyeri, edema, hilangnya fungsi
• Demam (banyak mikroorganisme tidak dapat bertahan di suatu
lingkungan panas)
• Leucosytosis (neu, eos, baso, lymp, mono)
• Peradangan kronis
• ESR
• Stained smear
Infeksi pernafasan dan gastrointestinal terjadi pada orang sehat dan
disebabkan oleh mikroorganisme virulen relatif yang mampu merusak atau menembus
epitel. Sebaliknya, kebanyakan infeksi kulit pada orang sehat disebabkan oleh
mikroorganisme virulen rendah yang masuk ke kulit melalui situs rusak (luka dan
luka bakar).
II. INFEKSI PADA KULIT
A. SELULITIS
Selulitis adalah suatu penyebaran infeksi bakteri ke dalam kulit dan jaringan di
bawah kulit. Infeksi dapat segera menyebar dan dapat masuk ke dalam pembuluh
getah bening dan aliran darah. Jika hal ini terjadi, infeksi bisa menyebar ke
seluruh tubuh.
Etiologi
Selulitis bisa disebabkan oleh berbagai jenis bakteri yang berbeda, yang paling
sering adalah Streptococcus. Staphylococcus juga bisa menyebabkan selulitis,
tetapi biasanya terbatas di daerah yang lebih sempit. Selulitis paling sering
menyerang wajah dan tungkai bagian bawah.
Pathofisiologi
Bakteri pathogen streptococcus piogenes,
streptococcus grup A dan stapilococcus aureus
Menyerang kulit dan jaringan subkutan
Meluas ke jaringan yang lebih dalam
Menyebar secara sistemik
Terjadi peradangan akut
Eritema local pada kulit oedem kemerahan
Lesi nyeri tekan
Kerusakan integritas kulit gangguan rasa nyeri
Manifestasi klinik
Gejala
kemerahan
nyeri tekan
panas, bengkak, dan tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas
(peau d'orange).
Demam, menggigil, dan sakit kepala (pada kasus-kasus tertentu)
Tanda-tanda
Peningkatan denyut jantung
Tekanan darah menurun
pemeriksan fisik akan ditemukan daerah pembengkakan yang
terlokalisir (edema), kadang ditemukan pembengkakan kelenjar getah
bening.
Pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih
B. IMPETIGO
Impetigo adalah suatu infeksi/peradangan kulit yang terutama disebabkan oleh
bakteri Streptococcus pyogenes, yang dikenal dengan Streptococcus beta
hemolyticus grup A (GABHS). Kadang-kadang disebabkan oleh bakteri lain
seperti Staphylococcus aureus pada isolasi lesi impetigo
Etiologi
Penyebab impetigo adalah bakteri pyogenes yaitu Streptococcus beta hemolyticus
grup A (GABHS), atau terkadang dapat juga disebabkan oleh Streptococcus
aureus.
Pathofisiologi
Streptococcus masuk melalui kulit yang terluka dan melalui transmisi
kontak langsung, setelah infeksi, lesi yang baru mungkin terlihat pada pasien
tanpa adanya kerusakan pada kulit. Bentuk lesi mulai dari makula eritema yang
berukuran 2 – 4 mm. Secara cepat berubah menjadi vesikel atau pustula. Vesikel
dapat pecah spontan dalam beberapa jam atau jika digaruk maka akan
meninggalkan krusta yang tebal, karena proses dibawahnya terus berlangsung
sehingga akan menimbulkan kesan seperti bertumpuk-tumpuk, warnanya
kekuning-kuningan. Karena secara klinik lebih sering dilihat krusta maka disebut
impetigo krustosa. Krusta sukar diangkat, tetapi bila berhasil akan tampak kulit
yang erosif.
Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama
berupa lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang
tampak hipopion. Mula-mula berupa vesikel, lama kelamaan akan membesar
menjadi bula yang sifatnya tidak mudah pecah, karena dindingnya relatif tebal
dari impetigo krustosa. Isinya berupa cairan yang lama kelamaan akan berubah
menjadi keruh karena invasi leukosit dan akan mengendap. Bila pengendapan
terjadi pada bula disebut hipopion yaitu ruangan yang berisi pus yang
mengendap, bila letaknya di punggung, maka akan tampak seperti menggantung.
Manifestasi klinik
Gejala
Gatal, ruam merah yang lembut kulit mengeras/krusta (Honey-colored
crusts), luka yang sulit menyembuh.
Luka merah yang dengan cepat pecah, mengeluarkan sekret/cairan
berwarna kuning encer.
Kulit melepuh berisi cairan.
Dalam bentuk yang lebih serius, menyakitkan cairan atau nanah
penuh luka yang berubah menjadi borok dalam.
mungkin akan dijumpai gejala; demam, diare, dan kelemahan umum.
Tanda-tanda
Leukositosis
Suhu tubuh meningkat
ESR
Pemeriksaan fisik tipe dan lokasi lesi:
Sering terjadi pada wajah (sekitar mulut dan hidung) atau dekat rentan
trauma.
Makula merah ataupapul sebagai lesi awal.
Lesi dengan bula yang ruptur dan tepi dengan krusta.
Lesi dengan krusta berwarna seperti madu.
Vesikel atau bula.
Pustula.
Basah, dangkal, dan ulserasi eritematous.
Lesi satelit.
III. INFEKSI PADA SALURAN PERNAPASAN
A. PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat
Etiologi
Pneumonia yang di dapat dari masyarakat (community acquired pneumonia) dapat
disebabkan oleh Staphylococus pneumonia, Mycoplasma pneumonia, dan
Hemophilus influenza. Sedangkan pneumonia yang didapat di rumah sakit
(nosokomial) disebabkan oleh Klebsiella pneumon dan Staphylococus aureus.
Namun penyebab yang paling sering ialah serangan bakteria
streptococcus pneumoniae, atau pneumokokus.
Pathofisiologi
Umumnya bakteri ini mencapai alveoli melalui percikan mukus atau saliva
(droplet) dan tersering mengenai lobus bagian bawah paru karena adanya efek
gravitasi. Organisme ini setelah mencapai alveoli akan menimbulkan respon yang
khas yang terdiri dari 4 tahap yang berurutan, yaitu :
1. Kongesti (4 s/d 12 jam pertama)
Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang
berdilatasi dan bocor. Serta didapatkan eksudat yang jernih, bakteri dalam
jumlah yang banyak, neutrofil, dan makrofag dalam alveolus.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya)
Paru-paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel darah merah, fibrin
dan lekosit polimorfonuklear mengisi alveoli. Lobus dan lobulus yang terkena
menjadi padat dan tidak mengandung udara, warna menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar. Stadium ini berlangsung sangat singkat.
3. Hepatisasi kelabu (3 s/d 8 hari)
Lobus paru masih tetap padat dan warna merah menjadi tampak kelabu
karena lekosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli dan
permukaan pleura yang terserang melakukan fagositosis terhadap
pneumococcus. Kapiler tidak lagi mengalami kongesti.
4. Resolusi (7 s/d 11 hari)
Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali pada strukturnya semula
Manifestasi Klinik
Gejala
Demam diare
Batuk dahak
malaise
sakit kepala
myalgia
nyeri dada
nyeri abdomen
mual
muntah
Tanda-tanda
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hipertermia, takipnea,
penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, takikardi, sianosis sentral,
hiposekmia, peningkatan jumlah leukosit, perubahan status mental, suara
napas tambahan (rhales/crackles, ronchi, wheezing), penurunan intensitas
suara napas, perkusi yang redup, deviasi trakea dan limfadenopati. Pada
pemerikasaan sputum (dahak), apabila sputum berwarna kuning, hijau,
keperangan atau mungkin mengandung darah (mukus di keluarkan dari paruparu)
Bakteremia dari pneumonia menyebabkan tiga komplikasi yaitu :
meningitis, endokarditis, dan septic arthritis.
B. TUBERKULOSIS
Penyakit infeksi pada jaringan tubuh (paru dan ekstra paru) yang bersifat kronik
dan dapat menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Etiologi
Bakteri penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis.
Patofisiologi
Saat Mycobacterium tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan
segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya
melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat
melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi
jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat).
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant
sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh
yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel
bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam
paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak).
Manifestasi klinik
Gejala umum
Demam
Batuk/ batuk darah lebih dari tiga minggu
Penurunan nafsu makan
Malaise
Gejala khusus
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena,
Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paruparu)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah
demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Tanda-tanda
Pemeriksaan fisik :
Konjungtiva/ kulit pucat, hipertermia, berat badan turun
Lesi yang dicurigai: Bagian apeks paru
Infiltrat, kavitas, penebalan pleura
Lanjut: fibrosis, korpulmonal
Efusi pleura
Apabila pemeriksaan mikroskopik sputum ditemukan Mycobacterium
tuberculosis seseorang tersebut positif terkena tuberculosis. Pemeriksaan
sputum tersebut yang membedakan tuberculosis dengan penyakit infeksi
saluran pernapasan lainnya.
IV. INFEKSI PADA GASTROINTERTINAL
A. SHIGELLOSIS
Shigellosis adalah suatu penyakit peradangan akut oleh kuman genus Shigella spp.
yang menginvasi saluran pencernaan terutama usus sehingga menimbulkan
kerusakan sel-sel mukosa usus tersebut
Etiologi
Shigellosis disebabkan oleh kuman Shigella spp. Kuman ini tergolong genus
Shigella Dibagi 4 kelompok serologik yaitu S.dysenteri (12 serotipe), S.flexnewri
(6 serotipe), S.boydii (18 serotipe) dan S.sonnei (1 serotipe). Di daerah tropis
yang tersering ditemukan ialah S.dysenteri dan S.flexneri, sedangkan S.sonnei
lebih sering dijumpai di daerah sub tropis atau daerah industri.
Patofisiologi
Pemasukan hanya 200 basil Shigella dapat mengakibatkan infeksi dan Shigella
dapat bertahan terhadap keasaman sekresi lambung selama 4 jam. Sesudah masuk
melalui mulut dan mencapai usus, bakteri invasif ini di dalam usus besar
memperbanyak diri. Shigella sebagai penyebab diare mempunyai 3 faktor
virulensi yaitu :
- Dinding polisakarida sebagai antigen halus
- Kemampuan mengadakan invasi enterosit dan proliferasi
- Mengeluarkan toksin sesudah menembus sel
Struktur kimiawi dari dinding sel tubuh bakteri ini dapat berlaku
sebagai antigen O (somatic) adalah sesuatu yang penting dalam proses interaksi
bakteri shigella dengan sel enterosit. Dupont (1972) dan Levine (1973)
mengutarakan bahwa Shigella seperti Salmonella setelah menembus enterosit dan
berkembang didalamnya sehingga menyebabkan kerusakan sel enterosit tersebut.
Peradangan mukosa memerlukan hasil metabolit dari kedua bakteri dan enterosit,
sehingga merangsang proses endositosis sel-sel yang bukan fagositosik untuk
menarik bakteri ke dalam vakuola intrasel, yang mana bakteri akan
memperbanyak diri sehingga menyebabkan sel pecah dan bakteri akan menyebar
ke sekitarnya serta menimbulkan kerusakan mukosa usus. Sifat invasif dan
pembelahan intrasel dari bakteri ini terletak dalam plasmid yang luas dari
kromosom bakteri Shigella.
Invasi bakteri ini mengakibatkan terjadinya infiltrasi sel-sel
polimorfonuklear dan menyebabkan matinya sel-sel epitel tersebut, sehingga
terjadilah tukak-tukak kecil didaerah invasi yang menyebabkan sel-sel darah
merah dan plasma protein keluar dari sel dan masuk ke lumen usus serta akhirnya
ke luar bersama tinja. Shigella juga mengeluarkan toksin (Shiga toksin) yang
bersifat nefrotoksik, sitotoksik (mematikan sel dalam benih sel) dan enterotoksik
(merangsang sekresi usus) sehingga menyebabkan sel epithelium mukosa usus
menjadi nekrosis.
Manifestasi klinik
Gejala:
Diare cair yang banyak bercampur darah dan lendir.
Demam , Nyeri perut,
Dehidrasi sesuai derajatnya
Tanda-tanda :
Hipertermia (42 °C)
Takikardi dan takipneu
Leukopenia
Pemeriksaan mikroskopik tinja ditemukan Shigellosis sp
Penderita dengan kasus ringan gejalanya berlangsung selama 3-5 hari,
kemudian sembuh sempurna. Pada tipe fulminant yang berat, penderita dapat
mengalami kolaps dan mendadak diikuti dengan menggigil, demam tinggi dan
muntah-muntah disusul dengan penurunan temperatur, toksemia yang berat dan
diakhiri dengan kematian penderita.
B. GASTRITIS BAKTERIAL (KRONIS)
Gastritis adalah peradangan lokal atau menyebar pada mukosa lambung, yang
berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan
iritan lain.
Etiologi
Infeksi bakteri Helicobacter pylori yang hidup didalam lapisan mukosa yang
melapisi dinding lambung. Diperkirakan ditularkan melalui jalur oral melalui
makanan atau minuman yangg terkontaminasi oleh bakteri ini.
Patofisiologi
Helicobacter pylori merupakan organisme gram-negatif yang
menghambat bagian cekung yang diproteksi yang diaplikasikan dekat pada epitel
permukaan di bawah barier mukus yang mempunyai pH netral. Organisme ini
menyerang sel permukaan, menyebabkan deskuamasi sel yang dipercepat dan
menimbulkan respon sel radang kronis dan polimorfonuklear pada mukosa gaster.
Respon radang akut dibangkitkan oleh Helicobacter pylori yang
diperantarai komponen komplemen yang dibebaskan melalui pengaktifan jalur
alternatif dan bersifat kemotaktik dengan berat molekul rendah yang dilepaskan
oleh bakteri dan interleukin-8 yang di ekskresi oleh sel epitel, magkrofag, dan sel
endotel. Polimorfonuklear kemudian mengeluarkan protease dan metabolit
oksigen reaktif yang menyebabkan destruksi kelenjar (terjadi atrofi) yang
memberi tanda terhadap penyakit yang terjadi. Disamping ituantibodi anti- H.
pylori IgA, IgG dan IgM diproduksi secara lokal oleh sel plasma yang berperan
pencegahan adhesi bakteri dan opsonisasi tetapi tidak berhasil untuk
mengeliminasi infeksi.
Manifestasi Klinis
Gejala
Demam, sakit kepala dan kejang otot perut.
Tanda-tanda
Hipertemia
Pemeriksaan Darah
Digunakan untuk memeriksa adanya antibodi H. Pylori dalam darah. Tes
darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa Anemia, yang terjadi akibat
pendarahan lambung akibat Gastritis.
Pemeriksaan Pernafasaan
Tes ini dapat menentukan apakah pasien terinfeksi oleh bakteri H. Pylori
atau tidak.
Pemeriksaan Feses
Tes ini memeriksa apakah terdapat H. Pylori dalam feses atau tidak. Hasil
yang positif mengindikasikan terjadi infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan
terhadap adanya darah dalam feses. Hal ini menunjukan adanya
perdarahan pada lambung.
Gejala
Diare
muntah
dehidrasi
kram otot bagian perut
lemah
C. KOLERA
peningkatan jumlah garam Kolera adalah suatu infeksi usus kecil yang disebabkan
oleh bakteri Vibrio cholera.
Etiologi
Infeksi Vibrio cholera.
Pathofisiologi
Toksin kolera atau Cholera toxin (CT) secara biologis sangat aktif meningkatkan
sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B.
Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi
cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus
serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
Manifestasi klinis
Tanda-tanda
Mata cekung
kulit jari-jari tangan menjadi keriput
ketidak seimbangan volume darah dan kekurangan elektrolit
pada feses ditemukan V. cholera
D. DEMAM TYPHOID
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhIi.
Demam tifoid merupakan manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus
yang mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut.
Etiologi
Infeksi Salmonella typhIi.
Pathofisiologi
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri
Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati, limpa, nodus limfe,
dan peyer patches dari ileum. Setelah tertelan, organisme ini melalui traktus
gastrointestinal bagian atas hingga ke usus halus, tempat bakteri ini menginvasi
secara langsung atau berganda sebelum invasi. Sel M yaitu sel epitellial yang
melapisi Peyer’s patches merupakan tempat potensial S.typhii untuk menginvasi
dan sebagai portal transportasi menuju jaringan lympoid sekitar. Setelah penetrasi
ini terjadi, organisme ini menuju ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe
mesenterica. Salmonella dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom, sehingga
dapat bertahan pada follikel lymphoid, nodus lymphoid, hati, dan limpa. Pada
keaadan ini terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada
villi, kelenjar kript, dan lamina propria pada usus halus dan kelenjar lymphe
mesenterica. Pada keadaan tertentu yang dipengaruhi oleh keadaan imun host,
jumlah dan virulensi bakteri, akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus
dan masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang akan
memicu gejala klinis.
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak, yang
dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat
atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus.
Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena,
dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai
membran serosa.
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk
ulkus, maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus.
Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan
penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada penderita demam
tifoid.
Manifestasi Klinis
Gejala
Demam, menggigil, nyeri kepala bagian frontal, malaise, anorexia, nausea,
nyeri abdominal yang tidak terlokalisir, batuk kering, dan myalgia.
Tanda-tanda
Lidah kotor, hepatomegali dan splenomegali , bradikardia , leukopenia,
Thrombositopenia, suhu tubuh meningkat hingga mencapai 390-400C dan
berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu

https://www.academia.edu/people/search?utf8=%E2%9C%93&q=infeksi+bakteri
Karsinoma Nasofaring
22.38.00 THT 1 comment

Keganasan nasofaring banyak terjadi di asia. Sering terjadi kekeliruan dalam mendiagnosis karena gejalanya yang
samar-samar dan sulitnya pemeriksaan nasofaring.(7) Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit
dilakukan, kerena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta
berhubungan dengan bayak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena
letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan sering
menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. (6)

Ada beberapa jenis keganasan yang terdapat di nasofaring yaitu karsinoma sel skuamous, limfoma, keganasan
kelenjar ludah, dan sarcoma. Karsinoma nasofaring termasuk penting dalam skala dunia. Di Cina selatan karsinoma
nasofaring menmepati kedudukan tertinggi yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guan-dong atau
prevalensi 39.84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominant timbulnya krsinoma nasofaring,
sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan
Indonesia. Ditemukan cukup banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang
Eskimo di Alaska, diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dngin
yang menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir meratadi setiap daerah. Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-
rata 60 kasus, Ujung pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Dnpasar 15 kasus, Padang dan Bukit tinggi 11 kasus.
Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor
ganas ini terdapat merata di Indonesia.(6) Salah satu etiologi karsinoma nasofaring adalah disebabkan virus Epstein-
Barr. Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada laki-laki, umur 40 dan 50 tahun, tetapi kadang juga dijumpai pada
anak-anak. 90% adalah karsinoma, sisanya yang terbayak adalah limfoma. Karsinoma nasofaring menyebar secara
local melalui perluasan langsung, secara regional melalui nodul-nodul sekitarnya, dan secara jauh melalui aliran darah.
Metastase jauh ke paru-paru, tulang, dan hepar paling sering terjadi di nasofaring dibandingkan tempat lain di leher
dan kepala.(2)

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia.
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh karsinoma hidung
dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Berdasarkan data laboratorium patologi anatomic tumor ganas nasofaring selalu berada dalamkedudukan lima besar
dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor
kulit.(6)

Definisi

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller
dan atap nasofaring.(5)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40 tahun. Banyak
terdapat pada bangsa Asia terutama orang Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah fosa Rossenmuler. Tumor ini tumbuh
dari epitel yang meliputi jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan tetapi telah menimbulkan metastasis pada
kelenjar limfe regional, biasanya pada leher. (4)

Penyebab karsinoma nasofaring ada berbagai faktor :


- Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, karena pada
semua pasien karsinoma nasofaring didapatkan titer anti virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang
sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang
lain sekalipun.

- Letak geografis berupa ras Mongoloid, Asia Tenggara, Yunani, Afrika Utara seperti Aljazair, Tunisia, Eskimo.
- Jenis kelamin , tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
- Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tetentu, kebiasaan memasak
dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara
kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan
dengan keganasan lain tidak jelas.
- Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging atau ikan) terutama pada musim dingin
menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini.
- Faktor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan
keganasan pada organ tubuh lain.(6)

Patogenesis

Akhir-akhir ini ada beberapa faktor yang dianggap cenderung menimbulkan karsinoma nasofaring walaupun tidak
merupakan penyebabnya sendiri. Dugaan adanya predisposisi genetik disokong oleh berbagai faktor antara lain
tingginya angka kejadian pada orang cina bagian selatan dan dalam pengamatna lebih lanjut angka kejadiannya tetap
lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih jika mereka bermigrasi ke daerah yang predominan orang kulit putih,
setidaknya pada generasi pertama. Jika generasi kedua berinteraksi penuh dengan cara hidup barat (seperti di Hawaii
atu California) resiko terkena karsinoma nasofring menurun, meskipun tidak serendah pada orang kulit putih. Juga
bukti penguat diperoleh dengan pengamatan adanya hubungan langsung antra karsinoma nasofaring dengan HLA-A2
dan kurang dari dua antigen pada lokus B. Perubahan lingkungan yang besar turut berperan.

Faktor lingkungan akan didukung oleh pengamatan cara hidup orang cina bagian selatan. Cara memasak tradisional
sering dilakukan dalam ruangan tertutup dan dengan menggunakan kayu bakar. Pembakaran ini, terutama jika tak
sempurna menyebarkan partikel-partikel besar (5-10 mikrometer) yang dapat tersangkut pada hidung dan nasofaring
dan kemudian tertelan. Jika pembersihan tidak sempurna karena ada penyakit-penyakit hidung, maka penyakit ini akan
menetap lebih lama di nasofaring dan dapat merangsang tumbuhnya tumor. Beberapa laporan menyebutkan hubungan
antara karsinoma nasofaring dengan makan ikan asin dan rendahnya kadar vitamin C sewaktu muda. Hal ini juga biasa
dalam tradisi masakan cinia. Kekurangan vitamin A diduga merubah nitrat menjadi zat karsinogen yaitu nitrosamin.

Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody
virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang asia dan afrika dengan karsinoma nasofaring primermaupun
sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula
terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini
juga terdapat pada pasien Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini
berhubungan dengan karsinoma nasofaring tak berdifrensiasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi yang aktif
(dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam
limfoepitelioma.(1)

Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku diatas, belakang dan lateral. Ke depan berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Demikian juga
penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius dan akan mengganggu pendengaran serta
menimbulkan cairan di telinga tengah. Kearah belakang dinding melengkung ke atas dan ke depan dan terletak di
bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar dari os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-
tempat tersebut. Dibelakang atas torus tubarius terdapat resesus faring atau fosa Rosenmuleri dan tepat di ujung atas
posteriornya terletak foramen laserum. Tumor dapat menjalar kearah intracranial dalam dua arah, masing-masing
menimbulkan gejala neurologik yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fosa
kranii media menyebabkan gangguan saraf otak III, IV, VI, dan kadang-kadang II. Sebaliknya penyebaran ke kelenjar
faring lateral di dan sekitar selubung karotis atau jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan kerusakan saraf
otak ke IX, X, XI dan XII. Saraf otak ke VII dan VIII biasanya jarang terkena.

Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral bermuara kelenjar retrofaring Krause
(kelenjar Rouviere). Terdapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum
melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.
Pembagian daerah nasofaring :
1. Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak.
2. Dinding lateral: termasuk fosa Rosenmuleri
3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.
Catatan: Pinggir orifisium koana termasuk pinggir posterior septum hidung dimasukkan sebagai fosa nasal.(1)

Histopatologi
Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi karsinoma nasofaring jenis sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak
ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85% kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan kuang
dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor campur ganas.
Menggunakan mikroskop electron, Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel
respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dindinga lateral yang ada fosa Rossenmulleri Merupakan lokasi
tersering karsinoma nasofaring dan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan
hanya sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah
yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian geajla-gejala akan muncul sesuai dengan
arah penyebaran. Mungkin meluas melalui lubanga pada sisi yang sama dengan tumor atau mengikis tulang secara
nekrosis tekanan.

Klasifikasi
Sesuai dengan klasifikasi karsinoma nasofaring yang diusulkan WHO tahun 1978. ada tiga jenis bentuk histologik :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan
mikroskop cahaya.
2. Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak
ada difrensiasi skuamosa.
3. Karsinoma tidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang menonjol dan dinding sel tidak tegas;
tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batubata.
Karsinoma limfoepitelioma didapatkan dalam bentuk kedua atau ketiga. Ditandai olah tampak banyak limfosit non
maligna dan secara klinis sesuai karena respon terhadap terapi lebih baik disbanding dengan bentuk lain.

Tahun 1965 Svaboda melaporkan bahwa dari contoh jaringan yang diambil dari 14 pasien Amerika dan Cina dengan
karsinoma nasofaring berdiferensiasi buruk yang diperiksa dengan mikrosko electron, semua menunjukkan adanya
fibrilkeratin. Ini menimbulkan keraguan karena Who Dalam symposium internasionalnya mengenai karsinoma
nasofaring than 1977 mendasarkan klasifikasinya atas hasil pemeriksaan mikroskop cahaya seperti tercantum diats,
diman atidak selalu tampak keratin. Meskipun demikian klasifikasi WHO mengenai tumor nasofaring ini masih tetap
dipakai.(1)
Untuk penetuan stadium dipakai sistim TNM menurut UICC (1992)

NASOFARING
T= Tumor primer
T0- Tidak tampak tumor.
T1- Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
T2 Tumor teradapt pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral / bilateral dan masih dapat digerakkan
N3 Terdapat pembesran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M Metastase jauh
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

STADIUM

Stadium I :

T1 dan N0 dan M0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0
atau T3 dan N0 dan M0

Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1

Gejala dan Tanda

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala
mata, fdan syaraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau
sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena
seringa gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah
mukosa (creeping tumor).

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius
(fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinma
nasofaring.

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa
lobang, dari beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum
akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, shingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa
pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti.

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare,
yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan
bila sudah terjadi demikian biasanya prognosisnya buruk.

Metastase kekelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya
tidak terdapat keluhan lain.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di RRC yaitu tiga bentuk
yang mencurigakan pada naofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan
mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma
nasofaring.(6)

Manifestasi Klinis
Gejala dibagi dalam 4 kelompok
1. Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek, atau sumbatan hidung.
2. Gejala telinga, berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga.
3. Gejala saraf, berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia daerah pipi, neuralgia trigeminal,
paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering tersedak.
4. Gejala atau metastasisi dileher, berupa benjolan di leher.
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters menunjukkan masa jaringan
lunak didaerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa
serebri media. Dapat pula dilakuakn CT-Scan daerah kepala dan leher serta pemeriksaan serologi IgA anti
EA dan IgA anti VCA. Diagnosis pasti dilakukan dengan biopsy dari hidung atau mulut. Pemeriksaan darah
tepi, fungsi hati, ginjal, dsb untuk mendeteksi metastasis.
Pengobatan utama adalah radioterapi. Sebagai tambahan dapat dilakuakn diseksi leher, pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus. Sebagai terapi ajuvan
terbaik dalh kemotrapi dengan kombinasi Cis-Platinum sebagai inti. Diseksi leher radikal dilakukan bila
benjolandi leher tidak menghilang dengan radiasi atau timbul kembali, dengan syarat tumor induknya sudah
hilang.

Differensial Diagnosis

n Angiofibroma Nasofaring.
n Karsinoma adenoid kistik (silindroma).
n Limfoepitelioma
n Plasmasitoma.
n Kista Nasofaring.(1)
n Tumor neurogenik .(4)

Diagnosis
Persoalan diagnostic sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada
tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan. (6)
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah
nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.
Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal, dll dilakukan untuk mendeteksi metastasis. (5)

Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari
hidung atau dari mulut.
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter
yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan
kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan
anestsi topical dengan Xylocain 10%.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah
lateral nasofaring dalam narcosis.(6)

II.9. Penatalaksanaan

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan
pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus.

Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik
sebagai terpai adjuvant (tambahan). Bebagai macam kombinasi diebangkan, yang trbaik sampai saat ini
adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.

Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini sedang dikembangkan
dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian
kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat,
tetapi memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.

Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi
yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien
karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang
pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi.

Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi.

Perawatan paliatif

Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebakan
oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain
menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan
mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur.
Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis
jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa
mual.

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu)
akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang,
paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatastidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan
selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Paisen akhirnya meninggal
dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan
dan terganggunya fungsi alat-lata vital akibat metastasis tumor. (6)

Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang , hati, dan paru dengan gejala rasa nyeri pada tulang, batuk-batuk, dan gangguan
fungsi hati.

KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa
Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40
tahun. Banyak terdapat pada bangsa Asia terutama orang Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah fosa
Rossenmuler. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan
tetapi telah meimblkan metastasis pada kelenjar limfe regional, biasanya pada leher.
Sudah hampir dipastikan disebabkan oleh virus Epstein-Barr. Faktor ras, letak geografis, jenis kelamin
(laki-laki), faktor lingkungan (iritasi bahan kimia, kebiasaan memasak dengan bahan/ bumbu masakan
tertentu, asap sejenis kayu tertentu, dan faktor genetic juga mempengaruhi.

1.Ballenger J. Jacob., 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
ed.13, jilid 1, Binarupa Aksara, Jakarta. pp; 371-396

2. www.crab.org

3. Eugene B. Kern. Et al. 1993. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, EGC,
Jakarta. pp;371-373
4. Kurniawan A. N., 1994. Nasopharynx dan Pharynx dalam Kumpulan kuliah
Patologi, FKUI, 1994, Jakarta.pp;151-152

5. Mansjoer, Arif., et al (eds), 1999. Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid


1, FKUI, Media Aesculapius, Jakarta. pp; 371-396

6. Roezin A., dan Syafril A., 1990. Karsinoma Nasofaring dalam Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher, ed 5, FKUI, Jakara. pp ;
146-159 7. www.utmb.edu

KARSINOMA NASOFARING

KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitelial yang
menutupi permukaan nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama kali dikemukakan oleh
Regaud dan Schmincke pada tahun 1921.1

Gambar 1. Skema karsinoma nasofaring dan metastasisnya ke kelenjar getah bening leher

I. ANATOMI NASOFARING

Gambar 2. Anatomi nasofaring

Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung.
Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata dan akan terbuka pada waktu respirasi. Bagian atap
dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang
belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari
tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang
terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Pada bagian lateral,
berbatasan dengan muara tuba eustachii. Mukosa tuba eustachii tidak datar tetapi menonjol
seperti menara yang disebut torus tubarius. Bagian atas dan samping torus tubarius
merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Di daerah ini
merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.2

II. EPIDEMIOLOGI

Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak
ditemukan di Indonesia (hampir 60%), sisanya tumor ganas hidung dan sinus paranasal
(18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring (cukup rendah).
Prevalensi KNF di Indonesia cukup tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk. Sebagian besar
datang berobat dalam stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi
buruk.3

Catatan dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa KNF menduduki
urutan keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit. Distribusi KNF di
Indonesia hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100
kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung 60 kasus, Makassar 25 kasus, Palembang 25
kasus, Denpasar 15 kasus dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan,
Semarang, Surabaya dan kota-kota lainnya.3

KNF paling banyak dijumpai pada ras mongoloid (cukup tinggi pada penduduk Cina
bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia).3

KNF jarang dijumpai pada anak-anak.1 Insiden meningkat setelah usia 30 tahun dan
mencapai puncaknya pada usia 40-60 tahun. Semua bentuk KNF banyak dijumpai pada
laki-laki dibandingkan perempuan (2,5:1 dan 3:1) dan apa sebabnya belum dapat dijelaskan
secara pasti mungkin terdapat kaitan dengan genetik, kebiasan hidup, pekerjaan, dll.4

III. ETIOLOGI (faktor risiko)

Etiologi karsinoma nasofaring berhubungan dengan virus Ebstein Barr, faktor genetik,
dan faktor lingkungan.

1. Virus Epstein Barr (EBV)


Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA dengan kapsid ikosahedral dan
termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV berhubungan dengan beberapa penyakit
seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis, dan karsinoma nasofaring (EBV-1
dan EBV-2). EBV dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi. Namun,
dapat pula menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi
adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses
keganasan.3,5

2. Genetik

Karsinoma nasofaring bukan termasuk tumor genetik. Namun, karsinoma nasofaring


pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisa
genetik menunjukkan gen HLA (Human Leukocyte Antigen) dan gen pengode enzim
sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan merupakan gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 merupakan enzim yang bertanggungjawab atas
aktivasi metabolik yang terkait nitrosamin dan karsinogen.6

Analisa genetik pada populasi endemik menunjukkan bahwa orang dengan gen HLA-A2,
HLA-B17 dan HLA-Bw26 memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma
nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring
dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Orang-orang dengan HLA A*0207 atau
B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma
nasofaring.6

3. Lingkungan

Ikan asin dan makanan yang diawetkan mengandung sejumlah besar


nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP)
yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.

Merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung
formaldehide dan juga debu kayu/asap kayu bakar kemungkinan dapat mengaktikan
kembali infeksi dari EBV. Resiko untuk menderita KNF pada perokok meningkat 2-6
kali dibandingkan dengan bukan perokok serta ditemukan juga bahwa
menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari
mengurangi frekuensi merokok.
Terdapat juga hubungan antara terjadinya KNF, infeksi EBV, dan penggunaan CHB
(Chinese Herbal Medicine). Beberapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi
dari virus EBV yang laten seperti TPA (Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg
ada di alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk
dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV
di tikus, meningkatnya transformasi cell mediated immunity dari EBV, dan
mempromosikan pembentukan KNF.6

IV. PATOFISIOLOGI

Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Mula-mula, glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan
protein CD21 (reseptor virus) di permukaan limfosit B. Masuknya EBV ke dalam DNA
limfosit B menyebabkan limfosit B menjadi imortal. Namun, mekanisme masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, terdapat
dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring
yaitu CR2 dan PIGR (Polimeris Imunoglobin Receptor).6

Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu

 sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi

 EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal kembali

 terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan transformasi/perubahan sifat sel
menjadi ganas sehingga terbentutlah sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten yaitu
EBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. 6

 Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten.

 Protein transmembran LMP2A dan LMP2B  menghambat sinyal tyrosine kinase yang
dipercaya dapat menghambat siklus litik virus.
 Protein transmembran LMP1 (gen yang paling berperan dalam transformasi sel) menjadi
perantara sinyal TNF (Tumor Necrosi Factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10
yang meningkatkan proliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

V. KLASIFIKASI

Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi keratinizing


squamous cell carcinoma, non keratinizing squamous cell carcinoma terdiri
atas differentiated dan undifferentiated, serta Basaloid Carcinoma.1,2,4

Sedangkan, ketentuan dari WHO tahun 1978, membagi karsinoma nasofaring menjadi 3
yaitu:

1. Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin/intercellular


bridge/keduanya.

2. Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas
(pavement cell pattern)

3. Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal


berukuran besar/sel dengan bentuk spindel, anak inti yang menonjol dan stroma dengan
infiltrasi sel-sel radang limfosit.

VI. HISTOPATOLOGI

1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Gambar 3. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma 6


Pada keratinizing squamous cell carcinoma dijumpai adanya diferensiasi dari sel
squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk
pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel
radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk
poligonal dan bertingkat. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-
sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak
mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.4,5,6
2. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Gambar 4. Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma 6
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma
memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel menunjukkan
batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-
samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti
sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol.4,5,6

3. Undifferentiated Carcinoma

Gambar 5. Undifferentiated carcinoma6

Gambaran undifferentiated carcinoma berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang


tidak berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat sampai oval, vesikular inti, membesar
dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar
belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Sel-sel tumor sering tampak terlihat
tumpang tindih. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang
dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai
lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil,
epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).4,5,6
Terdapat dua bentuk undifferentiated carcinoma yaitu tipe Regauds (terdiri dari
kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat
fibrous dan sel-sel limfosit) dan tipe Schmincke (sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus
dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell
malignant lymphoma). Inti sel tumor berbeda antara karsinoma nasofaring dan large cell
malignant lymphoma. Pada karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan
pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil.
Pada malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak
inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.4,5,6

Gambar 6. Undifferentiated carcinoma tipe Regaud (sel-sel yang membentuk sarang-sarang padat)6

Gambar 7.Undifferentiated carcinoma tipe Schmincke (sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran
syncytial yang difus)6
4. Basaloid Squamous Cell Carcinoma

Gambar 8. Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring. Sel-sel basaloid menunjukkan
festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton

Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous. Sel-sel
basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan
sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa
kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ
atau invasif. Batas antara
komponen basaloid dan squamous jelas.6

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis dilakukan dengan mencari keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF). Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan
berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.7

Tabel 5. Formula Digby15

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi
tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.7
Gejala karsinoma nasofaring antara lain:3

1. Gejala pada hidung

 Epistaksis (keluarnya darah biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali


bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu)

 Pilek yang tidak sembuh

 Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau

2. Gejala pada telinga

 Gangguan pendengaran hantaran

 Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)

 Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii (karena muara tuba eustachii dekat dengan
fosa rosenmulleri) sehingga terjadi tuba oklusi, Tekanan dalam kavum timpani menjadi
menurun sehinga terjadi tinitus. Gejala ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang
paling dini dari karsinoma nasofaring.

3. Gejala pada mata

 Diplopia.

Tumor merayap masuk melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan
N. VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan
keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Bila terkena chiasma
opticus akan menimbulkan kebutaan.

4. Gejala pada saraf kranial

Gejala kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita.
Gejalanya berupa:

 Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan
wajah

 Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial


 Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N.
XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum, faring atau laring, m.
Sternocleidomastoideus, m. Trapezeus.

 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

 Kesukaran pada waktu menelan

 Afoni

5. Metastasis ke khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Pembesaran dari kelenjar getah
bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Metastasis sel-
sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar
getah bening bagian samping (limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat
mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar
menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala
utama yang dikeluhkan oleh pasien.6

2. Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi


posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi.7

3. Pemeriksaan Patologi

Diagnosis pasti KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis
histopatologik. Diagnosis histopatologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil
biopsi cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush),

 Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis

Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi


aspirasi kelenjar getah bening servikalis.7

 Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi melalui
hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan
ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter
nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang di hidung. Demikian
juga dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan
kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca
tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor
akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal
dengan xylocain 10%.6

4. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk melihat massa tumor nasofaring dan massa
tumor yang menginvasi jaringan sekitarnya yaitu dengan menggunakan

 Foto polos

 Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada
nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang,
terutama pada dasar tengkorak.

 Magnetic Resonance Imaging (MRI), lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan


tumor dari peradangan. MRI lebih sensitif dalam mengevaluasi metastasis pada
retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke
sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya.6

5. Serologi

Pemeriksaan serologi IgA anti-EA (early antigen) dan IgA anti-VCA (Viral Capsid
Antigen) untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Pemeriksaan IgA anti-EA biasanya hanya digunakan untuk menentukan
prognosis pengobatan. Virus juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia
dantekhnik PCR.6

VIII. STADIUM

Untuk menentukan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (Union for
International Cancer Control) tahun 2002.3

Tabel 1. T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya3

T Tumor primer

T0 Tidak tampak tumor

T1 Tumor terbatas di nasofaring

T2 Tumor meluas ke jaringan lunak

T2A  Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke


parafaring

T2B  disertai perluasan ke parafaring

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Tabel 2. N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional3

N Pembesaran kelenjar getah bening regional

NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada pembesaran

N1 Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm atau
terletak di dalam fossa supraklavikula

N3A  ukuran lebih dari 6 cm

N3B  di dalam fossa supraklavikula

Tabel 3. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh3

M Metastasis jauh

MX Metastasis jauh tidak dapat


dinilai

Tabel 4. Stadium penyakit3

Stadium 0 T1 N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium T2a N0 M0
IIa

Stadium T1 N1 M0
IIb

T2a N1 M0

T2b N0, N1 M0

Stadium T1 N2 M0
III

T2a, N2 M0
T2b

T3 N2 M0

Stadium T4 N0, N1, N2 M0


IVa
Stadium Semua N3 M0
IVb T

Stadium Semua Semua N M1


IVc T

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, stadium tumor dari nasofaring
diklasifikasikan sebagai berikut : 3

 Tis : Carcinoma in situ

 T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat,
tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

 T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dinding
lateral.

 T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

 T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial (atau
keduanya)

IX. KOMPLIKASI

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas menuju dasar tengkorak melalui foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan N. III, N. IV. N.VI juga menekan N. II yang memberikan kelainan

 Neuralgia trigeminus ( N. V )

Neuralgia rigeminal merupakan suatu nyeri padawajah sesisi yang ditandai dengan rasa
seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

 Ptosis palpebra ( N. III )

 Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan ke arah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan
retripharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N.XI,
N. XII dengan manifestasi gejala antara lain:

 N. IX  kesulitan menalan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan


pengecapan pada sepertiga belakang lidah.

 N . X  h iper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan


respirasi dan saliva.

 N. XI  kelumpuhan/atrofi otot trapezius, otot sternokleidomastoideus serta hemiparese


palatum mole.

 N. XII  hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

 Sindrom horner  kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan


fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat mengalir bersama aliran getah bening atau darah menuju organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring. Dalam penelitian lain, ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat bermetastasis jauh menuju paru-paru (20%), tulang (20%),
hati (10%), otak (4%), ginjal (0.4%), dan tiroid (0.4%).

X. TATALAKSANA

Pengobatan utama bagi pasien KNF adalah radioterapi, namun sebaiknya juga
dikombinasikan dengan kemoterapi. Pemberian tambahan kemoterapi Cis-platinum,
bleomycin, dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan
hasil sementara yang cukup memuaskan.3 Undifferentiated carcinoma lebih radiosensitif
sedangkan non keratinizing squamous cell carcinoma merupakan yang paling tidak
radiosensitif.6 Tatalaksana berdasarkan stadium dibagi menjadi:

 Stadium 1 : radioterapi

 Stadium II dan III : kemoradiasi


 Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi

 Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi3

Salah satu efek samping dari radioterapi adalah mulut akan teras kering yang disebabkan
oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor ketika penyinaran. Cara mengatasinya
adalah menganjurkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman
kemanapun pergi dan makan/mengunyah sesuatu yang rasanya asam sehingga meragsang
keluarnya air liur. Gangguan lain yaitu mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di
daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan, dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.3

Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan apabila terhadap benjolan di leher yang
tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran selesai. Namun,
sebelumnya tumor induk harus sudah hilang (diperiksa radiologi dan serologi) dan tidak
ditemukan adanya metastasis jauh.3

Apabila pasca pengobatan lengkap dan tumor masih tetap ada (residu)/kambuh kembali
(residitif) serta timbul metastasis jauh (seperti ke tulang, paru, hati, otak), pengobatan yang
dapat dilakukukan hanya pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Perawatan paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri,
mengontrol gejala dan memperpanjang usia.3

Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung
dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat
metastasis tumor. 3

XI. PENCEGAHAN

1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikprotein EBV yang dimurnikan
pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.

2. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.


3. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

4. enyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat.

5. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA (screening) secara massal yang
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

XII. PROGNOSIS

Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan angka


bertahan hidup 5 tahun untuk stadium I 98%, stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan
stadium IV A-B 73%. Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing
squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya.6

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%. Prognosis diperburuk
oleh beberapa faktor seperti:

 Stadium yang lebih lanjut

 Usia lebih dari 40 tahun

 Laki-laki daripada perempuan

 Ras Cina

 Adanya pembesaran kelenjar leher

 Adanya kelumpuhan saraf otak dan adanya kerusakan tulang tengkorak

 Adanya metastasis jauh

XIII. BENJOLAN DI LEHER

Benjolan dianggap signifikan apabila telah mencapai ukuran 1,5 cm. Benjolan (masa) di
leher dengan ukuran <1,5 cm hanya membutuhkan observasi rutin kecuali ditemukannya
peningkatan level keganasan. Ketiga penyebab yang dapat menimbulkan benjolan di leher
adalah neoplasma (kanker), masa jinak, dan infeksi.8

1. Benjolan karena kanker

Karakteristiknya adalah nyeri, berbentuk keras, imobile, melekat dengan jaringan


disekitarnya, membesar perlahan.

A: Kanker dari nasofaring, kelenjar parotis

B: Kanker dari kelenjar submandibular, 2/3 anterior lidah, dasar mulut, gum, ataupun
rongga mulut

C: Kanker lidah

D: Kanker nasofaring, scalp poaterior, telinga, tulang temporal, dasar tengkorak

E: Kanker rongga mulut, faring, tonsil, dasar lidah, laring

F: Kanker tiroid, sinus piriformis, esofagus bagian atas, paru

G: Kanker tiroid.8

2. Benjolan karena masa jinak

Berupa masa jinak (non-karsinoma) yang dapat muncul di setiap tempat di leher, meliputi
kista, inflamasi nodus limfa, lipoma, dan sebagainya. Karakteristik masa jinak ini adalah
berbatas tegas, dan dapat digerakkan.

A: Tumor kelenjar parotis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s)

B: Tumor kelenjar parotis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s), glomus jugulare


(paraganglioma)

C: Tumor kelenjar submandibularis (adenoma pleomorfik, tumor Warthin’s)

D: Lymphadenitis

E: Anomali branchial cleft, tumor badan karotis (paraganglioma), schwannoma

F: Kista duktus tiroglossal, laringocele

G: Kista tiroid, goiter.8


3. Benjolan karena infeksi

Infeksi yang sering terjadi di leher diakibatkan limfadenitis (inflamasi kelenjar limfe akibat
infeksi di tempat lain pada daerah kepala dan leher). Jika limfadenitis sangat memburuk,
maka dapat terbentuk akses di leher. Proses infeksi dapat menyebabkan masa ini bersifat
nyeri, merah, hangat.

A: Mastoiditis

B: Parotitis

C: Sialadenitis submandibular

D: Infeksi anomali branchial cleft

E: Infeksi duktus tiroglossus

F: Tiroiditis8

XIV. LIMFADENOPATI (gangguan pada kelenjar limfe)

Penyebab utama limfadenopati yaitu keganasan dan infeksi. Penyebab lain antara lain:

1. Reaktivasi infeksi kronis: misalnya TB

2. Tumor primer berupa tumor hodgkin, non-Hodgkin

3. Tumor sekunder akibat metastasis

4. Autoimun: lupus eritematosa sistemik, artritis rematoid, AIDS

Tiga bentuk limfadenopati adalah:

a. Follicular hyperplasia  infeksi, autoimun, reaksi non-spesifik

b. Paracortical hyperplasia  infeksi virus, penyakit kulit, reaksi non-spesifik

c. Sinus histiocytosis  pada pembersigan dari ekstremitas, lesi inflamasi dankeganasan.9

XV. KESIMPULAN

Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien pada pemicu III (Pak Maman),
kemungkinan pasien menderita karsinoma nasofaring (berdasarkan tanda dan gejala KNF).
Untuk menegakkan diagnosis secara pasti, dibutuhkan pemeriksaan histopatologik
(patologi anatomi) dengan spesimen hasil biopsi dari tumor tersebut. Dan perlu pmeriksaan
penunjang lain seperti radioimaging.

XVI. DAFTAR PUSTAKA

1. Bernand B. Nasopharyngeal Carcinoma Review in Orphanet Journal in Rare Disease.


Biomed Central. 2006.

2. S Leu-Yi, Jhen-Chuan Lee. Carcinoma in the Pharynx: Nasopharynx, Oropharynx and


Hypopharynx. Original Article. J. Chinese Oncol. Soc. Vol 25. 2009: p.102-13.

3. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. hlm.
182-187.

4. Mills SE. Squamous Cell Carcinoma. In: Stenbergs Diagnostic Surgical Pathology. 4th Ed.
Lippicoltt William&Wilkins; 2004: p. 974-7.

5. Bailey BJ MD, Jhonson JT MD. Newlands SD,MD,PhD, MBA. Nasopharyngeal Cancer in


Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th Ed. Volume 2. Philadephia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2001. p.1657- 67.

6. Piasiska H. Profil Penderita Karsinoma Nasofaring di Laboratorium Patologi Anatomi Kota


Medan Tahun 2009 [tesis]. Medan: FK USU; 2010.

7. Tambunan, WG. Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Jakarta: EGC; 1991. p.67-
87.

8. Chang C. Neck Masses (online). Cited 5 Mar 2012 [Updated 30 September 2011]. Available
from: URL http://www.fauquierent.net/neckmass.htm

9. Longmore M,Wilkinson I, Turmezei T,Cheug CK. Oxford Handbook of Clinical Medicine.


7th Ed. United States, New York: Oxford University. p. 179.

Anda mungkin juga menyukai