https://www.academia.edu/people/search?utf8=%E2%9C%93&q=infeksi+bakteri
Karsinoma Nasofaring
22.38.00 THT 1 comment
Keganasan nasofaring banyak terjadi di asia. Sering terjadi kekeliruan dalam mendiagnosis karena gejalanya yang
samar-samar dan sulitnya pemeriksaan nasofaring.(7) Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit
dilakukan, kerena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta
berhubungan dengan bayak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena
letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan sering
menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. (6)
Ada beberapa jenis keganasan yang terdapat di nasofaring yaitu karsinoma sel skuamous, limfoma, keganasan
kelenjar ludah, dan sarcoma. Karsinoma nasofaring termasuk penting dalam skala dunia. Di Cina selatan karsinoma
nasofaring menmepati kedudukan tertinggi yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guan-dong atau
prevalensi 39.84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominant timbulnya krsinoma nasofaring,
sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan
Indonesia. Ditemukan cukup banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang
Eskimo di Alaska, diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dngin
yang menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir meratadi setiap daerah. Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-
rata 60 kasus, Ujung pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Dnpasar 15 kasus, Padang dan Bukit tinggi 11 kasus.
Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor
ganas ini terdapat merata di Indonesia.(6) Salah satu etiologi karsinoma nasofaring adalah disebabkan virus Epstein-
Barr. Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada laki-laki, umur 40 dan 50 tahun, tetapi kadang juga dijumpai pada
anak-anak. 90% adalah karsinoma, sisanya yang terbayak adalah limfoma. Karsinoma nasofaring menyebar secara
local melalui perluasan langsung, secara regional melalui nodul-nodul sekitarnya, dan secara jauh melalui aliran darah.
Metastase jauh ke paru-paru, tulang, dan hepar paling sering terjadi di nasofaring dibandingkan tempat lain di leher
dan kepala.(2)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia.
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh karsinoma hidung
dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Berdasarkan data laboratorium patologi anatomic tumor ganas nasofaring selalu berada dalamkedudukan lima besar
dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor
kulit.(6)
Definisi
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller
dan atap nasofaring.(5)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40 tahun. Banyak
terdapat pada bangsa Asia terutama orang Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah fosa Rossenmuler. Tumor ini tumbuh
dari epitel yang meliputi jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan tetapi telah menimbulkan metastasis pada
kelenjar limfe regional, biasanya pada leher. (4)
- Letak geografis berupa ras Mongoloid, Asia Tenggara, Yunani, Afrika Utara seperti Aljazair, Tunisia, Eskimo.
- Jenis kelamin , tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
- Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tetentu, kebiasaan memasak
dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara
kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan
dengan keganasan lain tidak jelas.
- Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging atau ikan) terutama pada musim dingin
menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini.
- Faktor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan
keganasan pada organ tubuh lain.(6)
Patogenesis
Akhir-akhir ini ada beberapa faktor yang dianggap cenderung menimbulkan karsinoma nasofaring walaupun tidak
merupakan penyebabnya sendiri. Dugaan adanya predisposisi genetik disokong oleh berbagai faktor antara lain
tingginya angka kejadian pada orang cina bagian selatan dan dalam pengamatna lebih lanjut angka kejadiannya tetap
lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih jika mereka bermigrasi ke daerah yang predominan orang kulit putih,
setidaknya pada generasi pertama. Jika generasi kedua berinteraksi penuh dengan cara hidup barat (seperti di Hawaii
atu California) resiko terkena karsinoma nasofring menurun, meskipun tidak serendah pada orang kulit putih. Juga
bukti penguat diperoleh dengan pengamatan adanya hubungan langsung antra karsinoma nasofaring dengan HLA-A2
dan kurang dari dua antigen pada lokus B. Perubahan lingkungan yang besar turut berperan.
Faktor lingkungan akan didukung oleh pengamatan cara hidup orang cina bagian selatan. Cara memasak tradisional
sering dilakukan dalam ruangan tertutup dan dengan menggunakan kayu bakar. Pembakaran ini, terutama jika tak
sempurna menyebarkan partikel-partikel besar (5-10 mikrometer) yang dapat tersangkut pada hidung dan nasofaring
dan kemudian tertelan. Jika pembersihan tidak sempurna karena ada penyakit-penyakit hidung, maka penyakit ini akan
menetap lebih lama di nasofaring dan dapat merangsang tumbuhnya tumor. Beberapa laporan menyebutkan hubungan
antara karsinoma nasofaring dengan makan ikan asin dan rendahnya kadar vitamin C sewaktu muda. Hal ini juga biasa
dalam tradisi masakan cinia. Kekurangan vitamin A diduga merubah nitrat menjadi zat karsinogen yaitu nitrosamin.
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody
virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang asia dan afrika dengan karsinoma nasofaring primermaupun
sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula
terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini
juga terdapat pada pasien Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini
berhubungan dengan karsinoma nasofaring tak berdifrensiasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi yang aktif
(dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam
limfoepitelioma.(1)
Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku diatas, belakang dan lateral. Ke depan berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Demikian juga
penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius dan akan mengganggu pendengaran serta
menimbulkan cairan di telinga tengah. Kearah belakang dinding melengkung ke atas dan ke depan dan terletak di
bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar dari os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-
tempat tersebut. Dibelakang atas torus tubarius terdapat resesus faring atau fosa Rosenmuleri dan tepat di ujung atas
posteriornya terletak foramen laserum. Tumor dapat menjalar kearah intracranial dalam dua arah, masing-masing
menimbulkan gejala neurologik yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fosa
kranii media menyebabkan gangguan saraf otak III, IV, VI, dan kadang-kadang II. Sebaliknya penyebaran ke kelenjar
faring lateral di dan sekitar selubung karotis atau jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan kerusakan saraf
otak ke IX, X, XI dan XII. Saraf otak ke VII dan VIII biasanya jarang terkena.
Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral bermuara kelenjar retrofaring Krause
(kelenjar Rouviere). Terdapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum
melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.
Pembagian daerah nasofaring :
1. Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak.
2. Dinding lateral: termasuk fosa Rosenmuleri
3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.
Catatan: Pinggir orifisium koana termasuk pinggir posterior septum hidung dimasukkan sebagai fosa nasal.(1)
Histopatologi
Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi karsinoma nasofaring jenis sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak
ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85% kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan kuang
dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor campur ganas.
Menggunakan mikroskop electron, Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel
respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dindinga lateral yang ada fosa Rossenmulleri Merupakan lokasi
tersering karsinoma nasofaring dan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan
hanya sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah
yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian geajla-gejala akan muncul sesuai dengan
arah penyebaran. Mungkin meluas melalui lubanga pada sisi yang sama dengan tumor atau mengikis tulang secara
nekrosis tekanan.
Klasifikasi
Sesuai dengan klasifikasi karsinoma nasofaring yang diusulkan WHO tahun 1978. ada tiga jenis bentuk histologik :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan
mikroskop cahaya.
2. Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak
ada difrensiasi skuamosa.
3. Karsinoma tidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang menonjol dan dinding sel tidak tegas;
tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batubata.
Karsinoma limfoepitelioma didapatkan dalam bentuk kedua atau ketiga. Ditandai olah tampak banyak limfosit non
maligna dan secara klinis sesuai karena respon terhadap terapi lebih baik disbanding dengan bentuk lain.
Tahun 1965 Svaboda melaporkan bahwa dari contoh jaringan yang diambil dari 14 pasien Amerika dan Cina dengan
karsinoma nasofaring berdiferensiasi buruk yang diperiksa dengan mikrosko electron, semua menunjukkan adanya
fibrilkeratin. Ini menimbulkan keraguan karena Who Dalam symposium internasionalnya mengenai karsinoma
nasofaring than 1977 mendasarkan klasifikasinya atas hasil pemeriksaan mikroskop cahaya seperti tercantum diats,
diman atidak selalu tampak keratin. Meskipun demikian klasifikasi WHO mengenai tumor nasofaring ini masih tetap
dipakai.(1)
Untuk penetuan stadium dipakai sistim TNM menurut UICC (1992)
NASOFARING
T= Tumor primer
T0- Tidak tampak tumor.
T1- Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
T2 Tumor teradapt pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral / bilateral dan masih dapat digerakkan
N3 Terdapat pembesran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M Metastase jauh
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
STADIUM
Stadium I :
T1 dan N0 dan M0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0
atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala
mata, fdan syaraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau
sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena
seringa gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah
mukosa (creeping tumor).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius
(fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinma
nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa
lobang, dari beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum
akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, shingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa
pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare,
yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan
bila sudah terjadi demikian biasanya prognosisnya buruk.
Metastase kekelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya
tidak terdapat keluhan lain.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di RRC yaitu tiga bentuk
yang mencurigakan pada naofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan
mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma
nasofaring.(6)
Manifestasi Klinis
Gejala dibagi dalam 4 kelompok
1. Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek, atau sumbatan hidung.
2. Gejala telinga, berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga.
3. Gejala saraf, berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia daerah pipi, neuralgia trigeminal,
paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering tersedak.
4. Gejala atau metastasisi dileher, berupa benjolan di leher.
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters menunjukkan masa jaringan
lunak didaerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa
serebri media. Dapat pula dilakuakn CT-Scan daerah kepala dan leher serta pemeriksaan serologi IgA anti
EA dan IgA anti VCA. Diagnosis pasti dilakukan dengan biopsy dari hidung atau mulut. Pemeriksaan darah
tepi, fungsi hati, ginjal, dsb untuk mendeteksi metastasis.
Pengobatan utama adalah radioterapi. Sebagai tambahan dapat dilakuakn diseksi leher, pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus. Sebagai terapi ajuvan
terbaik dalh kemotrapi dengan kombinasi Cis-Platinum sebagai inti. Diseksi leher radikal dilakukan bila
benjolandi leher tidak menghilang dengan radiasi atau timbul kembali, dengan syarat tumor induknya sudah
hilang.
Differensial Diagnosis
n Angiofibroma Nasofaring.
n Karsinoma adenoid kistik (silindroma).
n Limfoepitelioma
n Plasmasitoma.
n Kista Nasofaring.(1)
n Tumor neurogenik .(4)
Diagnosis
Persoalan diagnostic sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada
tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan. (6)
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah
nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.
Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal, dll dilakukan untuk mendeteksi metastasis. (5)
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari
hidung atau dari mulut.
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter
yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan
kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan
anestsi topical dengan Xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah
lateral nasofaring dalam narcosis.(6)
II.9. Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan
pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus.
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik
sebagai terpai adjuvant (tambahan). Bebagai macam kombinasi diebangkan, yang trbaik sampai saat ini
adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini sedang dikembangkan
dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian
kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat,
tetapi memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.
Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi
yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien
karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang
pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi.
Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi.
Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebakan
oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain
menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan
mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur.
Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis
jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa
mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu)
akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang,
paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatastidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan
selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Paisen akhirnya meninggal
dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan
dan terganggunya fungsi alat-lata vital akibat metastasis tumor. (6)
Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang , hati, dan paru dengan gejala rasa nyeri pada tulang, batuk-batuk, dan gangguan
fungsi hati.
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa
Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40
tahun. Banyak terdapat pada bangsa Asia terutama orang Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah fosa
Rossenmuler. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan
tetapi telah meimblkan metastasis pada kelenjar limfe regional, biasanya pada leher.
Sudah hampir dipastikan disebabkan oleh virus Epstein-Barr. Faktor ras, letak geografis, jenis kelamin
(laki-laki), faktor lingkungan (iritasi bahan kimia, kebiasaan memasak dengan bahan/ bumbu masakan
tertentu, asap sejenis kayu tertentu, dan faktor genetic juga mempengaruhi.
1.Ballenger J. Jacob., 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
ed.13, jilid 1, Binarupa Aksara, Jakarta. pp; 371-396
2. www.crab.org
3. Eugene B. Kern. Et al. 1993. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, EGC,
Jakarta. pp;371-373
4. Kurniawan A. N., 1994. Nasopharynx dan Pharynx dalam Kumpulan kuliah
Patologi, FKUI, 1994, Jakarta.pp;151-152
6. Roezin A., dan Syafril A., 1990. Karsinoma Nasofaring dalam Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher, ed 5, FKUI, Jakara. pp ;
146-159 7. www.utmb.edu
KARSINOMA NASOFARING
KARSINOMA NASOFARING
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitelial yang
menutupi permukaan nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama kali dikemukakan oleh
Regaud dan Schmincke pada tahun 1921.1
Gambar 1. Skema karsinoma nasofaring dan metastasisnya ke kelenjar getah bening leher
I. ANATOMI NASOFARING
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung.
Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata dan akan terbuka pada waktu respirasi. Bagian atap
dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang
belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari
tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang
terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Pada bagian lateral,
berbatasan dengan muara tuba eustachii. Mukosa tuba eustachii tidak datar tetapi menonjol
seperti menara yang disebut torus tubarius. Bagian atas dan samping torus tubarius
merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Di daerah ini
merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.2
II. EPIDEMIOLOGI
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak
ditemukan di Indonesia (hampir 60%), sisanya tumor ganas hidung dan sinus paranasal
(18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring (cukup rendah).
Prevalensi KNF di Indonesia cukup tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk. Sebagian besar
datang berobat dalam stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan dan prognosis menjadi
buruk.3
Catatan dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa KNF menduduki
urutan keempat setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit. Distribusi KNF di
Indonesia hampir merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100
kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung 60 kasus, Makassar 25 kasus, Palembang 25
kasus, Denpasar 15 kasus dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan,
Semarang, Surabaya dan kota-kota lainnya.3
KNF paling banyak dijumpai pada ras mongoloid (cukup tinggi pada penduduk Cina
bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia).3
KNF jarang dijumpai pada anak-anak.1 Insiden meningkat setelah usia 30 tahun dan
mencapai puncaknya pada usia 40-60 tahun. Semua bentuk KNF banyak dijumpai pada
laki-laki dibandingkan perempuan (2,5:1 dan 3:1) dan apa sebabnya belum dapat dijelaskan
secara pasti mungkin terdapat kaitan dengan genetik, kebiasan hidup, pekerjaan, dll.4
Etiologi karsinoma nasofaring berhubungan dengan virus Ebstein Barr, faktor genetik,
dan faktor lingkungan.
2. Genetik
Analisa genetik pada populasi endemik menunjukkan bahwa orang dengan gen HLA-A2,
HLA-B17 dan HLA-Bw26 memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma
nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring
dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Orang-orang dengan HLA A*0207 atau
B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma
nasofaring.6
3. Lingkungan
Merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung
formaldehide dan juga debu kayu/asap kayu bakar kemungkinan dapat mengaktikan
kembali infeksi dari EBV. Resiko untuk menderita KNF pada perokok meningkat 2-6
kali dibandingkan dengan bukan perokok serta ditemukan juga bahwa
menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari
mengurangi frekuensi merokok.
Terdapat juga hubungan antara terjadinya KNF, infeksi EBV, dan penggunaan CHB
(Chinese Herbal Medicine). Beberapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi
dari virus EBV yang laten seperti TPA (Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg
ada di alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk
dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV
di tikus, meningkatnya transformasi cell mediated immunity dari EBV, dan
mempromosikan pembentukan KNF.6
IV. PATOFISIOLOGI
Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Mula-mula, glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan
protein CD21 (reseptor virus) di permukaan limfosit B. Masuknya EBV ke dalam DNA
limfosit B menyebabkan limfosit B menjadi imortal. Namun, mekanisme masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, terdapat
dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring
yaitu CR2 dan PIGR (Polimeris Imunoglobin Receptor).6
Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu
sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi
EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal kembali
terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan transformasi/perubahan sifat sel
menjadi ganas sehingga terbentutlah sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten yaitu
EBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. 6
Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang
dipercaya dapat menghambat siklus litik virus.
Protein transmembran LMP1 (gen yang paling berperan dalam transformasi sel) menjadi
perantara sinyal TNF (Tumor Necrosi Factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10
yang meningkatkan proliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.
V. KLASIFIKASI
Sedangkan, ketentuan dari WHO tahun 1978, membagi karsinoma nasofaring menjadi 3
yaitu:
2. Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas
(pavement cell pattern)
VI. HISTOPATOLOGI
3. Undifferentiated Carcinoma
Gambar 6. Undifferentiated carcinoma tipe Regaud (sel-sel yang membentuk sarang-sarang padat)6
Gambar 7.Undifferentiated carcinoma tipe Schmincke (sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran
syncytial yang difus)6
4. Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Gambar 8. Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring. Sel-sel basaloid menunjukkan
festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton
Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous. Sel-sel
basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan
sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa
kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ
atau invasif. Batas antara
komponen basaloid dan squamous jelas.6
VII. DIAGNOSIS
Anamnesis dilakukan dengan mencari keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF). Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan
berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.7
Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi
tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.7
Gejala karsinoma nasofaring antara lain:3
Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii (karena muara tuba eustachii dekat dengan
fosa rosenmulleri) sehingga terjadi tuba oklusi, Tekanan dalam kavum timpani menjadi
menurun sehinga terjadi tinitus. Gejala ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang
paling dini dari karsinoma nasofaring.
Diplopia.
Tumor merayap masuk melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan
N. VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan
keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Bila terkena chiasma
opticus akan menimbulkan kebutaan.
Gejala kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita.
Gejalanya berupa:
Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan
wajah
Afoni
5. Metastasis ke khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Pembesaran dari kelenjar getah
bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Metastasis sel-
sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar
getah bening bagian samping (limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat
mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar
menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala
utama yang dikeluhkan oleh pasien.6
2. Pemeriksaan Nasofaring
3. Pemeriksaan Patologi
Diagnosis pasti KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis
histopatologik. Diagnosis histopatologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil
biopsi cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush),
Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi melalui
hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan
ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter
nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang di hidung. Demikian
juga dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan
kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca
tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor
akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal
dengan xylocain 10%.6
4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk melihat massa tumor nasofaring dan massa
tumor yang menginvasi jaringan sekitarnya yaitu dengan menggunakan
Foto polos
Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada
nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang,
terutama pada dasar tengkorak.
5. Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti-EA (early antigen) dan IgA anti-VCA (Viral Capsid
Antigen) untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Pemeriksaan IgA anti-EA biasanya hanya digunakan untuk menentukan
prognosis pengobatan. Virus juga dapat dideteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia
dantekhnik PCR.6
VIII. STADIUM
Untuk menentukan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (Union for
International Cancer Control) tahun 2002.3
T Tumor primer
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator
N1 Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm atau
terletak di dalam fossa supraklavikula
M Metastasis jauh
Stadium 0 T1 N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium T2a N0 M0
IIa
Stadium T1 N1 M0
IIb
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium T1 N2 M0
III
T2a, N2 M0
T2b
T3 N2 M0
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, stadium tumor dari nasofaring
diklasifikasikan sebagai berikut : 3
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat,
tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dinding
lateral.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial (atau
keduanya)
IX. KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas menuju dasar tengkorak melalui foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan N. III, N. IV. N.VI juga menekan N. II yang memberikan kelainan
Neuralgia trigeminus ( N. V )
Neuralgia rigeminal merupakan suatu nyeri padawajah sesisi yang ditandai dengan rasa
seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan ke arah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan
retripharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N.XI,
N. XII dengan manifestasi gejala antara lain:
3. Sel-sel kanker dapat mengalir bersama aliran getah bening atau darah menuju organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring. Dalam penelitian lain, ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat bermetastasis jauh menuju paru-paru (20%), tulang (20%),
hati (10%), otak (4%), ginjal (0.4%), dan tiroid (0.4%).
X. TATALAKSANA
Pengobatan utama bagi pasien KNF adalah radioterapi, namun sebaiknya juga
dikombinasikan dengan kemoterapi. Pemberian tambahan kemoterapi Cis-platinum,
bleomycin, dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan
hasil sementara yang cukup memuaskan.3 Undifferentiated carcinoma lebih radiosensitif
sedangkan non keratinizing squamous cell carcinoma merupakan yang paling tidak
radiosensitif.6 Tatalaksana berdasarkan stadium dibagi menjadi:
Stadium 1 : radioterapi
Salah satu efek samping dari radioterapi adalah mulut akan teras kering yang disebabkan
oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor ketika penyinaran. Cara mengatasinya
adalah menganjurkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman
kemanapun pergi dan makan/mengunyah sesuatu yang rasanya asam sehingga meragsang
keluarnya air liur. Gangguan lain yaitu mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di
daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan, dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.3
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan apabila terhadap benjolan di leher yang
tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran selesai. Namun,
sebelumnya tumor induk harus sudah hilang (diperiksa radiologi dan serologi) dan tidak
ditemukan adanya metastasis jauh.3
Apabila pasca pengobatan lengkap dan tumor masih tetap ada (residu)/kambuh kembali
(residitif) serta timbul metastasis jauh (seperti ke tulang, paru, hati, otak), pengobatan yang
dapat dilakukukan hanya pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Perawatan paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri,
mengontrol gejala dan memperpanjang usia.3
Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung
dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat
metastasis tumor. 3
XI. PENCEGAHAN
1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikprotein EBV yang dimurnikan
pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.
5. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA (screening) secara massal yang
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
XII. PROGNOSIS
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%. Prognosis diperburuk
oleh beberapa faktor seperti:
Ras Cina
Benjolan dianggap signifikan apabila telah mencapai ukuran 1,5 cm. Benjolan (masa) di
leher dengan ukuran <1,5 cm hanya membutuhkan observasi rutin kecuali ditemukannya
peningkatan level keganasan. Ketiga penyebab yang dapat menimbulkan benjolan di leher
adalah neoplasma (kanker), masa jinak, dan infeksi.8
B: Kanker dari kelenjar submandibular, 2/3 anterior lidah, dasar mulut, gum, ataupun
rongga mulut
C: Kanker lidah
G: Kanker tiroid.8
Berupa masa jinak (non-karsinoma) yang dapat muncul di setiap tempat di leher, meliputi
kista, inflamasi nodus limfa, lipoma, dan sebagainya. Karakteristik masa jinak ini adalah
berbatas tegas, dan dapat digerakkan.
D: Lymphadenitis
Infeksi yang sering terjadi di leher diakibatkan limfadenitis (inflamasi kelenjar limfe akibat
infeksi di tempat lain pada daerah kepala dan leher). Jika limfadenitis sangat memburuk,
maka dapat terbentuk akses di leher. Proses infeksi dapat menyebabkan masa ini bersifat
nyeri, merah, hangat.
A: Mastoiditis
B: Parotitis
C: Sialadenitis submandibular
F: Tiroiditis8
Penyebab utama limfadenopati yaitu keganasan dan infeksi. Penyebab lain antara lain:
XV. KESIMPULAN
Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien pada pemicu III (Pak Maman),
kemungkinan pasien menderita karsinoma nasofaring (berdasarkan tanda dan gejala KNF).
Untuk menegakkan diagnosis secara pasti, dibutuhkan pemeriksaan histopatologik
(patologi anatomi) dengan spesimen hasil biopsi dari tumor tersebut. Dan perlu pmeriksaan
penunjang lain seperti radioimaging.
3. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. hlm.
182-187.
4. Mills SE. Squamous Cell Carcinoma. In: Stenbergs Diagnostic Surgical Pathology. 4th Ed.
Lippicoltt William&Wilkins; 2004: p. 974-7.
7. Tambunan, WG. Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Jakarta: EGC; 1991. p.67-
87.
8. Chang C. Neck Masses (online). Cited 5 Mar 2012 [Updated 30 September 2011]. Available
from: URL http://www.fauquierent.net/neckmass.htm