oleh
NIM 162310101163
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1
KONSEP DASAR PENYAKIT
Paru-paru merupakan alat pernafasan utama yang terdiri dari 2 rongga. Terletak di
kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah
besarnya dan struktur lainnya yang terletak di dalam mediastinum .
A. Anatomi bagian paru-paru yaitu:
1. Lobus paru-paru
Paru-paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru
kanan mempunyai 3 lobus dan kiri 2 lobus. Setiap lobus tersusun atas lobula.
Jaringan paru-paru elastis, berpori dan di dalam air, paru-paru mengapung
karena udara di dalamnya.
2. Bronkus pulmonaris
Trakea terbelah menjadi 2 bronkus utama. Bronkus ini bercabang lagi
sebelum masuk ke paru-paru. Dalam perjalanannya menjelajahi paru-paru
bronkus bronkus pulmonaris bercabang dan beranting lagi.
3. Bronkiolus
Bronkiolus ialah suatu cabang bronkus yang bermuara di suatu alveoli.
Struktur bronkus tidak mempunyai tulang rawan, silia, dan akhirnya terdiri
dari suatu bersilia yang berbentuk kubus jaringan epitel.
4. Alveolus
Alveoli ialah yang mana suatu pertukaran oksigen dan suatu karbon dioksida
difusi. yang Struktur alveolarnya terdiri dari suatu membran tipis dan ada
banyak kapiler darah. Dalam suatu alveolar rilis darah karbon dioksida ke
udara dan mengambil oksigen dari udara.
5. Pleura
Setiap paru paru dilapisi membrane serosa rangkap dua, yaitu pleura. Pleura
viseralis erat melapisi paru-paru, masuk ke dalam fisura dan memisahkan
lobus 1 dengan yang lainnya. Membran ini kemudian dilipat kembali di
sebelah hilus paru-paru dan membentuk pleura parietalis dan melapisi bagian
dalam dinding dada. Pleura yang melapisi iga-iga adalah pleura kostalis dan
bagian yang menutupi diafragma adalah pleura diafragmatika serta pleura
yang terletak di leher adalah pleura servikalis .
(Pearce, 2015)
B. Fisiologi paru
Fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada
pernafasan melalui paru-paru oksigen masuk dari hidung atau mulut ke trakea
dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan erat dengan darah di dalam
kapiler pulmonaris.
Hanya satu lapisan membrane yaitu membrane alveoli kapiler yang
memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membrane ini dan
dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini
dipompa di dalam arteri ke semua bagian tubuh.
Di dalam paru-paru, karbon dioksida salah satu hasil buangan metabolism,
menembus membrane alveolar kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah
melalui pipa bronkial dan trakea, dinapaskan keluar melalui hidung dan mulut.
(Pearce, 2015)
Proses pertukan O2 dan CO2 di Paru
Pertama oksigen masuk melalui hidung lalu tenggorokan lalu ke laring lalu
faring,trakea dan kemudian masuk di bronkus lalu bronkeolus lalu masuk masuk
ke alveolus, di alveolus terdapat gelembung yang akan diisi oleh udara, setelah
dari alveolus turun ke jantung melalui pembuluh darah vena masuk ke bilik kiri
lalu ke serambi kiri lalu ketika jantung berkontraksi udara akan turun ke bilik
kanan dan ke serambi kanan setelah masuk ke jantung, jantung akan
mengalirkan udara yang masuk tadi ke seluruh tubuh untuk diambil zat yang
berguna bagi tubuh, ketika sudah zat sisa makanan dan CO2 dan uap air akan
naik masuk ke serambi kanan lalu ke bilik kanan lalu ke serambi kiri lalu ke
bilik kiri dan kembali ke alveolus, bronkeolus, bronkus trakea faring, laring dan
ke hidung.
1.2 DEFINISI
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (mycobacterium tuberculosis). Kuman TB sering menyerang paru ,
penularannya dari pasien TB Paru BTA positif melalui percikan dahak. Semakin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, semakin tinggi daya penularan
pasien tersebut. (Kemenkes RI, 2015)
TB resistan/ kebal obat adalah resistansi kuman TB dimana kuman tidak dapat
lagi dibunuh dengan OAT yang sudah digunakan selama ini. Multi drug resistant
TB (MDR TB) adalah resistensi terhadap dua agen anti TB pertama yang paling
poten yaitu isoniazide (INH) dan rifampisin . MDR TB berkembang selama
pengobatan TB ketika mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat.
TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mibacterium tuberculosis resisten
terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya (World Health
Organization, 1997). TB resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi
sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak
pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya
pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu
resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat
(Mc Donald, et al. 2003).
Perjalanan sistemik TB Paru
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
o Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
o Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Pemeriksaan dahak
• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
b) Pemeriksaan Biakan
• Pasien TB anak.
1.3 EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan sebanyak 9.6 juta orang di seluruh dunia pada tahun 2014 telah
terinfeksi TB, 5.4 juta laki-laki, 3.2 juta perempuan dan 1 juta anak-anak. Dari 9,6
juta kasus TB baru pada tahun 2014, 58% berada di Asia Tenggara dan daerah
Pasifik Barat. India, Indonesia dan China memiliki jumlah terbesar kasus TB,
yaitu masing-masing 23%, 10% dan 10% dari total global. Indonesia merupakan
negara dengan prevalensi TB yang cukup tinggi. Menurut laporan WHO pada
tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat kedua dunia dengan jumlah penderita
TB sebesar 429 ribu orang (WHO, 2015).
Perkiraan prevalensi TB MDR di Indonesia pada tahun 2004 adalah sebesar
8,900 kasus. Dua persen kasus TB MDR diperkirakan berasal dari kasus TB baru
dan 14.7% dari kasus TB yang mendapat-kan pengobatan ulang. Berdasarkan
Global Report MDR TB tahun 2010, Indonesia adalah Negara dengan beban TB
MDR no. 8 di dunia dengan perkiraan kasus baru TB MDR 8900 orang per tahun.
(Azwar, 2017)
1.4 ETIOLOGI
Etiologi Tuberkulosis paru (TB paru) adalah bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang yang tahan asam atau sering disebut
sebagai basil tahan asam, intraseluler, dan bersifat aerob. Basil ini berukuran 0,2-
0,5 µm x 2-4 µm, tidak berspora, non motil, serta bersifat fakultatif. Dinding sel
bakteri mengandung glikolipid rantai panjang bersifat mikolik, kaya akan asam,
dan fosfolipoglikan. Kedua komponen ini memproteksi kuman terhadap serangan
sel liposom tubuh dan juga dapat menahan zat pewarna fuchsin setelah
pembilasan asam (pewarna tahan asam).
Diketahui bahwa manusia adalah sebagai inang (host) terhadap pertumbuhan
dan perkembangbiakan basil tersebut.Transmisi organisme ini secara primer
terjadi melalui droplet di udara yang berasal dari individu yang mengidap TB
aktif, atau dalam stadium infeksius TB. Walaupun pernah pula dilaporkan
penularan melalui transdermal dan gastrointestinal. (WHO)
Etiologi TB MDR
Faktor obat
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, et al.
2006):
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat
yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah
dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi,
demikian seterusnya.
4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan”
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat
yang resisten saja.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya
sampai berbulan-bulan.
Faktor pasien
Faktor pasien dalam penelitian ini meliputi ada atau tidaknya PMO, dukungan
keluarga, riwayat kontrol teratur, efek samping OAT, riwayat penyakit penyerta
dan kontak serumah dengan pasien TB.
Faktor dokter
Faktor tentang komunikasi, informasi dan edukasi yang dilakukan oleh dokter
pada pengobatan TB sebelumnya.
1.5 KLASIFIKASI
Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative, Foto toraks abnormal
menunjukkan gambaran tuberculosis, Tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT (non fluoroquinolon) , Ditentukan (dipertimbangkan) oleh
dokter untuk diberi pengobatan OAT.
Kasus Baru : Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
Kasus Kambuh (Relaps) : Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur)
KLASIFIKASI TB MDR
1. Resistensi Primer
Resistensi yang terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak pernah
mendapatkan OAT atau kurang dari 1 bulan
2. Resistensi Inisial
Resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak tahu pasti apakah pasien
sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
3. Resistensi Sekunder
Resistensi yang terjadi pada pasien yang sudah ada riwayat pengobatan
OAT minimal 1 bulan
1.6 PATOFISIOLOGI
Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang menghirup basil
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju
alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan
Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari
paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke
bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru
(lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respons dengan
melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi
fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Infeksi awal biasanya
timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.Interaksi antara
Mycobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal
infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh
makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi
massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut 8 disebut ghon
tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik
yang selanjutnya membentuk materi yang berbentuk seperti keju (necrotizing
caseosa).Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan
kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif
a. Faktor Mikroorganisme
Virulensi kuman menjadi lebih tinggi dengan daya tahan yang tinggi. Keadaan
yang menimbulkan tingginya faktor virulensi ini adalah sifat kuman yang dapat
menginfeksi tubuh pejamu walaupun dalam jumlah yang kecil dan kemampuan
kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat bermutasi sehingga dapat
menahan diri terhadap reaksi peradangan oleh makrofag pada tubuh pejamu.
Kuman Mycobacterium tuberculosis memiliki protein yang dapat menimbulkan
apoptosis makrofag yang seharusnya memfagosit kuman. Hal ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang semakin luas. Kuman ini juga dapat
mensintesis protein dan menimbulkan perubahan struktur kuman sehingga kuman
menjadi lebih resisten terhadap pemberian antibiotik yang sebelumnya sudah
digunakan. (Smith, 2013)
b. Faktor Klinis
Mekanisme terjadinya TB MDR terjadinya akibat faktor penyelenggara
kesehatan, faktor obat dan faktor pasien. Faktor penyelenggara kesehatan antara
lain disebabkan oleh keterlambatan diagnosis, petugas yang kurang terlatih,
pemantauan pengobatan yang tidak sesuai serta adanya fenomena addition
syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal,
jika kegagalan ini terjadi akibat kuman yang telah resisten pada paduan yang
pertama maka penambahan obat ini akan meningkatkan resistensi.
Faktor obat antara lain paduan,dosis dan lama pengobatan yang tidak sesuai, serta
toksisitas dan efek samping yang mungkin terjadi. Faktor pasien yang berperan
dalam TB MDR ini adalah ketidaktaatan pasien dalam mengkonsumsi obat,
ketiadaan PMO (Pengawas Minum Obat), kurangnya pengetahuan pasien
terhadap infeksi tuberkulosis dan adanya gangguan penyerapan obat. Pada
beberapa keadaan TB MDR sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV-AIDS.
(Soepandi, 2010)
Gejala utama pasien Tb paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat disertai dengan darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2011)
Test mantoux adalah suatu cara yang digunakan untuk mendiagnosis TBC. Tes
mantoux itu dilakukan dengan menyuntikan suatu protein yang berasal dari kuman
TBC sebanyak 0,1 ml dengan jarum kecil di bawah lapisan atas kulit lengan bawah
kiri.
Dokter akan memberi tanda batas awal di sekeliling benjolan tersebut menggunakan
spidol, agar dapat diketahui apabila nanti terdapat perubahan ukuran benjolan. 48-72
jam setelah tes Mantoux dilakukan, dokter akan memeriksa kembali benjolan yang
terbentuk untuk melihat adanya perubahan.
Jika tidak muncul pembesaran pada benjolan, maka dapat disimpulkan bahwa hasil
tes Mantoux negatif, atau pasien tidak terpapar kuman TB. Sementara, pada hasil tes
yang menunjukkan penambahan ukuran benjolan sebanyak 5-9 mm dan terlihat ada
peradangan, tes Mantoux dikatakan positif, yaitu pasien sedang atau sudah pernah
terpapar kuman TB. Hasil tes ini memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan adanya infeksi TB.
Untuk memastikan anak terinfeksi kuman TBC atau tidak, akan dilihat indurasinya
setelah 48-72 jam. Indurasi ini ditandai dengan bentuk kemerahan dan benjolan yang
muncul di area sekitar suntikan. Bila nilai indurasinya 0-4 mm, maka dinyatakan
negatif. Bila 5-9 mm dinilai meragukan, sedangkan di atas 10 mm dinyatakan positif.
Setelah hasil Mantoux dinyatakan positif, anak sebaiknya diikutkan pada serangkaian
pemeriksaan lainnya. Salah satunya adalah rontgen yang bertujuan mendeteksi TBC
lebih detail lewat kondisi paru yang tergambar dalam foto rontgen dan dan tes darah.
Tes mantoux dilakukan lebih dulu karena hasil rontgen tidak dapat diandalkan untuk
menentukan adanya infeksi kuman TB. Bercak putih yang mungkin terlihat pada hasil
foto bisa memiliki banyak penyebab. Anak yang sedang menderita batuk pilek pun
kemungkinan memiliki bercak putih di paru. Jadi, tes Mantoux sangat perlu, tak
cukup hanya rontgen paru.
Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48-72 jam, lebih diutamakan pada 72 jam.
Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Bila pasien tidak
kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang.
Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm. Kemungkinan
yang perlu dipikirkan pada anak dengan hasil tersebut:
3. Pemeriksaan Radiologi :
Gambaran thorax menunjukkan adanya lesi berupa infiltrat, fibroinfiltrat/ fibrosis,
konsolidasi/ kalsivikasi, tuberkuloma, dan kavitas.
4. Bronchografi :
Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau
kerusakan paru karena TB.
5. Laboratorium :
· Darah : leukositosis/ leukopenia, LED meningkat
· Sputum : BTA S/P/S, kultur sputum gram sensitivity, sputum media LJ, DST,
Gene- Xpert
· Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)
Saat ini uji kepekaan M.tuberculosis secara tepat ( rapid test ) sudah
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai penampisan.
Metode yang tersedia adalah:
b. Gene Xpert
Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam (Alsagaff,
1995)
1.9 PENATALAKSANAAN
A. FARMAKOLOGI
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya
digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika
alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi
sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative .
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.
Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon
dalam regimennya.
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak
sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam
klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan
efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih
minimal.
Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat
TB yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di
suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri.
c. NON FARMAKOLOGI
Merebaknya strain M. tuberculoisis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis
membuat penanganan TB menjadi semakin sulit dan beban ekonomi yang tinggi.
Kombinasi penyalutan alginat-kitosan merupakan kombinasi yang paling tepat
karena dapat meningkatkan bioavailabilitas dan pelepasan berkelanjutan dari obat
antibakteri. Nanopartikel alginat-kitosan-ekstrak daun kedondong hutan dapat
menghambat sintesis asam mikolat M. tuberculosis, proteasom dan
mengakibatkan lisis dinding sel M. tuberculosis. Ekstrak daun kedondong hutan
mengandung senyawa flavonoid dan triterpenoid yang berfungsi sebagai
antituberkulosis. Flavonoid dapat berikatan dengan situs aktif HadB sehingga
menghambat aktivitas enzim β-hydroxyacyl-ACP dehydratase yang berfungsi
dalam elongasi rantai meromycolic. Selain itu, flavonoid dapat menghambat
proteasom M. tuberculosis yang dalam keadaan dorman. Triterpenoid memiliki
gugus sehingga mampu mengakibatkan lisis dinding sel M. tuberculsosis.
Nanopartikel alginat-kitosan-ekstrak daun kedondong hutan memiliki potensi
sebagai terapi baru untuk TB dan MDR-TB. Belum terdapat penelitian mengenai
kombinasi modalitas ini sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui potensi pasti nanopartikel alginat-kitosan-ekstrak daun kedondong
hutan. (Gitari, 2017)
1.10 CLINICAL PATHWAY
BAB 2
2.1 Pengkajian
a. Data pasien
Usia : anak (1-4 tahun) sampai dewasa
Demografi : banyak ditemukan pada pasien yang tinggal di daerah dengan tingkat
kepdatan tinggi sehingga masuknya cahaya matahari ke dalam rumah sangat minim.
b. Keluhan utama
Keluhan yang sering menyababkan klien meminta bantuan kepada tim kesehatan ada
2:
1. Keluhan respiratoris
Batuk
Keluhan batuk timbul paling awal dan paling sering dikeluhakan oleh pasien.
Perawat harus menanyakan apakah batuk produktif/nonproduktif atau sputum
bercampur daragh
Batuk darah
Perawat harus menanyakan seberapa banyak darah yang dikeluarkan (bercak
darah atau banyak)
Sesak nafas
Sesak nafas dapat terjadi apabila terjadi kerusakan parenki paru atau karena efusi
pleura, pneumothoraks dan anemia.
2. Keluhan sistemis
Demam
Timbul pada sore atau amalm hari dan mirip demam influenza, subfebris, febris
(40-41 ℃) hilang timbul
Anoreksia, berat badan turun, sakit kepalam nyeri otot, dan keringat malam
Keluhan utama disini dapat kita kaji menggunakan PQRST, seperti :
P : Paliatif, yaitu berdasarkan penyebab yang sering menyebabkan keluhan itu mucul
atau terjadi,
Q : Quality, yaitu seperti apa keluhan tersebut dirasakan oleh pasien. Contoh apabila
nyeri, apakah nyerinya seperti ditusuk-tusuk, berdenyut atau seperti terasa terbakar,
R : Regional, yaitu lokasi keluhan pasien tersebut terjadi, apakah lokasinya menyebar
atau hanya pada satu tempat,
S : Scale, yaitu skala dari keluhan tersebut yang dirasakan oleh pasien. Skala
kegawatan disini dapat kita ukur dengan GCS,
T : Time, yaitu waktu biasanya keluhan tersebut datang atau dirasakan oleh pasien
dan juga berapa lama keluhan tersebut terjadi.
c. Riwayat kesehatan
1. Riwayat penyakit sekarang
Data penyebab daripada TB paru yang dialami pasien itu sangat membantu dalam
perencanaan tindakan selanjutnya. Data tersebut dapat diperoleh dengan
mengetahui kronologi dari keluhan yang dirasakan oleh pasien.
2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit diabetes insipidus, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, dan
infeksi saluran kemih.
3. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit tuberculosis dapat muncul karena ada anggota keluarga yang mengalami
tuberkulosis, sehingga anggota keluarga yang lain tertular.
d. Pemeriksaan fisik
1. Kepala
Inspeksi : Rambut hitam, coklat, pirang, berbau.
Palpasi : Mudah rontok, kulit kepala kotor, berbau secara umum menunjukkan
tingkat hygiene seseorang.
2. Sclera dan Conjungtiva
Icterus tampak lebih jelas di sclera disbanding pada kulit. Teknik memeriksa
sclera dengan palpasi menggunakan kedua jari menarik palpebrae, pasien melihat
kebawah radang pada conjungtiva bulbi maupun conjungtiva palpebrae. Keadaan
anemic bias diperiksa pada warna pucat pada conjungtiva palpebrae inferior.
3. Hidung
Inspeksi : Hidung simetris, pada rongga dikaji apakah ada kotoran hidung, polip
atau pembengkakan, Higiene Rongga Mulut, Gigi-Geligi, Lidah, Tonsil dan
Pharynk, Rongga mulut : diperiksa bau mulut, radang mocosa (stomatitis), dan
adanya aphtae, Gigi-geligi : diperiksa adanya makanan, karang gigi, caries, sisa
akar, gigi yang tanggal, perdarahan, abses, benda asing,(gigi palsu), keadaan
gusi, meradang
4. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada distensi Vena jugularis
5. Lidah : kotor/coated, akan ditemui pada keadaan: hygiene mulut yang kurang,
demam thypoid, tidak suka makan, pasien coma, perhatikan pula tipe lidah yang
hipertemik yang dapat ditemui pada pasien typoid fever
6. Dada/ Punggung
a. Inspeksi : kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas (frekuensi,
irama, kedalaman, dan upaya pernafasan/penggunaan otot-otot bantu
pernafasan), warna kulit, lesi, edema, pembengkakan/ penonjolan. Normal:
simetris, bentuk dan postur normal, tidak ada tanda-tanda distress
pernapasan, warna kulit sama dengan warna kulit lain, tidak
ikterik/sianosis, tidak ada pembengkakan/penonjolan/edema
b. Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri, tractile fremitus.
(perawat berdiri dibelakang pasien, instruksikan pasien untuk
mengucapkan angka “tujuh-tujuh” atau “enam-enam” sambil melakukan
perabaan dengan kedua telapak tangan pada punggung pasien). Normal:
integritas kulit baik, tidak ada nyeri tekan/massa/tanda-tanda peradangan,
ekspansi simetris, taktil vremitus cendrung sebelah kanan lebih teraba jelas.
c. Perkusi: paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan satu sisi
dengan satu sisi lain pada tinggi yang sama dengan pola berjenjang sisi ke
sisi). Normal: resonan (“dug dug dug”), jika bagian padat lebih daripada
bagian udara=pekak (“bleg bleg bleg”), jika bagian udara lebih besar dari
bagian padat=hiperesonan (“deng deng deng”), batas jantung=bunyi
rensonan----hilang>>redup.
d. Auskultasi: suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan dengan
menggunakan stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1 dan 2, di atas
manubrium dan di atas trachea). Normal: bunyi napas vesikuler,
bronchovesikuler, brochial, tracheal.
7. Abdomen
a. Inspeksi : pada inspeksi perlu disimak apakah abdomen
membusung/membuncit atau datar saja, tepi perut menonjol atau tidak,
umbilicus menonjol atau tidak, amati apakah ada bayangan vena, amati
juga apakah didaerah abdomen tampak benjolan-benjolan massa. Laporkan
bentuk dan letakknya
b. Auskultasi : mendengar suara peristaltic usus, normal berkisar 5-35 kali per
menit : bunyi peristaltic yang yang keras dan panjang disebut borborygmi,
ditemui pada gastroenteritis atau obstruksi usu pada tahap awal. Peristaltic
yang berkurang ditemui pada ileus paralitik. Apabila setelah 5 menit tidak
terdengar suara peristaltic sama sekali maka kita katakana peristaltic
negative (pada pasien post operasi)
c. Palpasi : sebelum dilakukan palpasi tanyakan terlebih dahulu kepada pasien
apakah daerah yang nyeri apabila ada maka harus dipalpasi terakhir,
palpasi umum terhadap keseluruhan dinding abdomen untuk mengetahui
apakah ada nyeri umum (peritonitis, pancreatitis). Kemudian mencari
dengan perabaan ada atau tidaknya massa/benjolan (tumor). Periksa juga
turgor kullit perut untuk menilai hidrasi pasien. Setelah itu periksalah
dengan tekanan region suprapubika (cystitis), titik MC Burney
(appendicitis), region epigastrica (gastritis), dan region iliaca (adnexitis)
barulah secara khusus kita melakukan palpasi hepar. Palpasi hepar
dilakukan dengan telapak tangan dan jari kanan dimulai dari kuadrant
kanan bawah berangsur-angsur naik mengikuti irama nafas dan cembungan
perut. Rasakan apakah ada pembesaran hepar atau tidak. Hepar membesar
pada keadaan : Malnutrisi Gangguan fungsi hati/radang hati (hepatitis,
thyroid fever, malaria, dengue, tumor hepar) Bendungan karena decomp
cordis.
8. Urogenital:
Eliminasi pada TB terganggu karena asupan serat serat yang kurang karena
adanya rasa mual dan efekk pemberian obat OAT.
9. Ekstremitas:
Ekstremitas normal tidak ada kelumpuhan atau kecacatan, namun pada
keadaan pasien tb tampak lemas,
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (mycobacterium tuberculosis). Sedangkan TB MDR adalah
resistansi kuman TB dimana kuman tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT
yang sudah digunakan selama ini. Multi drug resistant TB (MDR TB) adalah
resistensi terhadap dua agen anti TB pertama yang paling poten yaitu
isoniazide (INH) dan rifampisin . MDR TB dapat terjadi ketika selama
pengobatan TB mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat.Biasanya
karena pemberian obat yang tidak teratur. Maka dari itu perlu dilakukan
pemantauan selama pengobatan . MDR dapat di cegah dengan Pengobatan
TB dengan strategi DOTS berkualitas
5.2 Saran
Pearce, Evelyn. 2015. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Subuh.H.M, dkk. 2015. Buku Saku Pasien TB MDR. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta.
Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds). 2003 Baum’s
Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher,
Boston
Alsagaff, Hood dan Mukti, Abdul. 1995. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. UNAIR
press:
Surabaya.
Alfin, Said. Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR- TB), Sebuah Tinjauan
Kepustakaan. Fakultas Kedokteran. Universitas Syiah Kuala
WHO. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). November 2016 [Cited 2017
15 March]; available from: http://www.who.int/respiratory/copd/