Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

GIGITAN ULAR (SNAKE BITE)


(Pembimbing : Wirmando, Ns, M.Kep)

OLEH :
RINDANI CLAURITA TOBAN
(NS2014901124)

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STELLA MARIS MAKASSAR
2020
GIGITAN ULAR

A. LAPORAN PENDAHULUAN
1. Defenisi
Gigitan ular atau snake bite dapat disebabkan oleh ular berbisa dan ular
tidak berbisa. Gigitan ular berbisa mempunyai akibat yang beragam mulai dari
luka yang sederhana sampai dengan mengancam nyawa dan menyebabkan
kematian, korban yang terkena gigitan ular berbisa harus segera mendapatkan
pertolongan yang cepat dan tepat jika tidak segera diberikan pertolongan maka
akan berakibat fatal bagi korban yang terkena gigitan ular (BC & TLS, 2008
dalam Ningrum, Agustina, & Santoso, 2018).
Gigitan ular merupakan suatu luka yang ditimbulkan oleh gigitan ular yang
berasal dari dua buah taringnya yg sangat tajam dan berbisa. Gigitan ular
sering terjadi umunya di bagian tangan dan kaki manusia, jika salah dalam
mengantisipasi gigitan ular dapat mengancam jiwa dan menimbulkan kematian
(Bawaskar dan Bawaskar, 2015 dalam Putra, 2019).
Gigitan ular dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lokal, nekrosis
sel perdarahan dalam, hilangnya fungsi dari otot, pembengkakan, tekanan
darah turun, kerusakan pada kornea, iritasi dan bengkak pada daerah uvea,
dan pecahnya sel darah merah (Pratama & Oktafany, 2017).

2. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan
Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan
pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap
dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae
tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam. Daya toksik bisa ular
yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang
dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel
darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan
hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat,
seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh,
ialah melalui pembuluh limfe.
c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat gigitan.
f. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
g. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran biasa
(Muqta, 2016).

3. Klasifikasi
Penelitian Pratama & Oktafany (2017) menjelaskan tanda dan gejala
pada gigitan ular dapat di bagi kedalam 4 skala berdasarkan derajat berat pada
sebuah gigitan ular berbisa yaitu :
Tabel :
Derajat gigitan Ular
Derajat Tanda dan Gejala
1 Terdapat tanda bekas gigitan/ taring, tidak ada edem, tidak nyeri,
Minor tidak ada gejala sistemik, tidak ada koagulopat
2 Terdapat tanda bekas gigitan/taring, edem lokal, tidak ada gejala
(Moderate) sistemik, tidak ada koagulopat
3 Terapat tanda bekas gigitan, edem regional (2 segmen dari
(Severe) ekstremitas), nyeri tidak teratasi dengan analgesik, tiada ada tanda
sistemik, terdapat tanda koagulopati
4 Terdapat tanda bekas gigitan, edem yang luas terdapat tanda
(Major) sistemik (muntah, sakit kepala, nyeri pada perut dan dada, syok),
trombosis sistemik

Pada umumnya gigitan ular ini terjadi pada derajat 2 (moderate) dan
derajat 4 (major). Pada derajat 2 = gejala lokal (moderate) biasanya terjadi
pada luka bekas gigitan ular berbisa berubah warna menjadi kemerahan,
bengkak, terdapat pendarahan, terasa seperti terbakar, nyeri,ekimosis dan
kesemutan. Sedangkan di derajat 4 = gejala sistemik (major) ini yang harus
diwaspadai antara lain seperti gangguan pengelihatan (kabur atau buram),
gejala neurologis (sakit kepala, pusing), gejala pada kardiovaskuler (berdetak
kencang atau keras, hipotensi), gejala sistem pencernaan (terasa mual-mual,
muntah-muntah), dan gejala lainnya yang muncul seperti kelemahan otot,
hipersallivasi, serta demam.

4. Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein.
Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan
usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.
Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein
yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh
darah, sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen
peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada
tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil reaksi
yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya
Larginine esterase menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan
rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya
keringat yang banyak setelah terjadi gigitan.
Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan.
Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah
merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino
acid esterase menyebabkan terjadi KID. Pada kasus yang berat bisa ular dapat
menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi bahkan dapat terjadi
amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili Crotalidae/Viperidae bersifat
sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran vaskular dan terjadi
koagulopati. Komponen dari bisa ular jenis ini mempunyai dampak hampir pada
semua sistem organ. Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama
bersifat sangat neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang
memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular di
dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam
jaringan tubuh (Jaya & Panji, 2016).

5. Jenis-jenis ular berbisa


a. Elapidae
1) Bungarus candidus (ular weling)
Jenis ular ini berada di habitat seperti disungai dekat dengan
pemukiman, sawah dan area rawa-rawa, ular ini tidak beraktifitas
disiang hari. Pada siang hari ular ini lebih banyak bersembunyi
dilubang-lubang bekas tikus, dan lebih banyak beraktifitas dimalam
hari (nocturnal) dengan mencari makan. Ular ini memiliki jenis bisa
neurotoxin, jenis bisa yang dapat menyerang pada system persyarafan
pernapasan sehingga orang/organisme tidak dapat mengambil oksigen
2) Bungarus vasciatus (ular welang)
Jenis ular ini merupakan ular yang ciri habitatnya hampir sama dengan
ular weling yang berada diarea rawa-rawa, persawahan dan sungai
yang dekat dengan permukiman warga, aktivitasnya juga sama pada
malam hari untuk berburu mangsa. Ular ini memiliki jenis bisa
neorutoxin, jenis bisa yang dapat menyerang pada system persyarafan
pernapasan sehinggan orang/organisme tidak dapat mengambil
oksigen.

3) Naja spuatatrix (ular sendok jawa)


Jenis ular ini merupakan ular berbisa yang sangat berbahaya dan
mematikan. Habitat ular kobra jawa ini biasanya diatas tanah
(terrestrial) dan aktif dimalam hari, makanan ular kobra jawa meliputi
ular kecil, tikus sawah, kodok dan kadal. Ular kobra jawa ini memiliki
jenis bisa neurotoxin, jenis bisa yang dapat menyerang pada system
persyarafan pernapasan sehingga orang/organisme tidak dapat
mengambil oksigen.

4) Ophiophagus Hannah (ular anang/king kobra)


Jenis ular ini adalah jenis ular berbisa terpanjang didunia. Ular ini juga
mempunyai bisa yang sangat mematikan dan mempunyai sifat yang
sangat agresif, habitat yang paling disukai yaitu didaerah dataran
rendah, rawa-rawa, semak belukar, hutan pegunungan, lahan
pertanian, perkebunan, persawahan dan lingkungan pemukiman. Ular
jenis ini mempunyai kebiasaan bersembunyi dibawah lindungan
semak-semak yang sangat padat, ular ini juga memangsa jenis ular
berbisa lainnya dan memakan daging tikus mati. Jenis bisa yang
dimiliki oleh ular ini yaitu neurotoxin, jenis bisa yang dapat menyerang
pada system persyarafan pernapasan sehinggan orang/organisme
tidak dapat mengambil oksigen.

b. Viperidae
1) Calloselasma rodhostoma (ular tanah)
Jenis ular ini merupakan ular dengan kategori predator penyergap,
kamuflase dan hanya melingkar dan tidak bergerak diatas tanah untuk
menunggu mangsa yang lewat. Ular ini mempunyai habitat disemak-
semak hutan belukar, kebanyakan ditemukan diarea pemukiman
warga dan diarea pertanian yang lembab. Ular ini juga jarang aktif
disiang hari, jenis ular tanah aktif mencari mangsa pada petang hari.
Jenis bisa yang dimiliki oleh ular tanah ini hemotoxin, jenis bisa yang
banyak mengandung anti-koagulan sehingga dapat menyebabkan
darah tidak bisa membeku.
2) Daboia siamensis (ular bandotan puspa)
Jenis ular ini merupakan ular yang habitatnya berada diladang rumput
yang terbuka, semak-semak belukar, hutan sekunder, hutan
perkebunan dan dekat peternakan dimana terdapat banyak populasi
tikus. Ular ini juga bisa memanjat pohon pendek dan lebih menyukai
keadaan lingkungan dengan tekstur tanah yang datar dan udara
kering. Ular ini sangat tidak menyukai habitat hutan lebat dan lembab,
untuk makanan ular ini sendiri lebih suka memakan hewan pengerat
seperti tikus, tupai, kucing kecil, kadal dan kodok. Jenis bisa yang
dimiliki oleh ular tanah ini hemotoxin, jenis bisa yang banyak
mengandung anti-koagulan sehingga dapat menyebabkan darah tidak
bisa membeku.

3) Trimeresurus (ular hijau)

Ular ini merupakan ular yang aktif dimalam hari dan tidak begitu lincah.
Ular ini sering dijumpai diatas ranting-ranting pohon atau diatas lantai
hutan seperti diatas rumput yang tebal. Ular ini juga bisa bergerak
cepat dan lincah apabila kehidupannya mulai terusik dan terancam
habitat yang paling disukai oleh ular hijau ini disemak-semak belukar
dan dipohon bamboo yang sangat dekat dengan sungai. Makanan dari
ular ini yang paling utama meliputi kodok, kadal, burung dan mamalia
kecil lainnya. Ular hijau ini memiliki jenis hemotoksin dimana jenis bisa
ini bisa merusak system peredaran darah dimana bisa ular ini banyak
mengandung anti koagulan sehingga darah tidak bisa membeku.
Yudha dkk, (2013) dalam Putra, (2019).

6. Manifestasi Klinis
a. Gigitan dari family elapidae
1) Dapat menyebabkan efek local yang timbul seperti sakit ringan serta
tidak adanya pembengkakan dan kerusakan pada daerah gigitan ular
2) Pada jenis ular kobra asia dan afrika memberikan gambaran sakit yang
sangat berat jika terkena gigitan ular tersebut, semburan ular kobra
dapat berdampak sangat fatal jika mengenai mata akan menimbulkan
efek seperti sakit yang berdenyut, bengkak pada sekitar area mulut,
kemudian mengalami kekakuan pada kelopak mata.
3) Setelah gejala local muncul selanjutnya akan diikuti oleh gejala sistemik
yang muncul setelah 15 menit gigitan ular yang menimbulkan dampak
seperti paralisis pada urat- urat wajah, lidah, bibir, dan tenggorokan
sehingga korban gigitan ular tersebut sulit untuk berbicara, sulit
menelan, kelopak mata menurn, pandangan mata kabur, mati rasa pada
daerah sekitar mulut, sakit kepala, mual muntah dan mengalami
kelemasan otot.
4) Selanjutnya korban gigitan ular dapat mengalami paralisis otot
pernapasan yang dapat menyebabkan sulit untuk bernapas, mengalami
nyeri abdomen yang sangat hebat, penurunan tekanan darah, denyut
nadi terasa melambat, dan dapat menimbulkan penurunan kesadaran.
Kondisi terburuk korban keracunan bisa ular ini akan mengalami gejala
neurotoksik dan mengalami kematian.
b. Gigitan dari family viperidae
1) Dapat menimbulkan efek local dalam kurun waktu 15 menit setelah
gigitan yang menimbulkan bengkak dan rasa sakit pada daerah dekat
gigitan, kemudian menyebar keseluruh anggota badan.
2) Setelah itu berlanjut pada gejala sistemik yang akan timbul dalam waktu
5 menit dan bisa juga setelah beberapa jam setelah gigitan yang
berdampak seperti diare, berkeringat, muntah, perdarahan pada bekas
gigitan ular, terdapat darah dalam muntahan, tinja, urin dan hidung yang
mengeluarkan darah. Perdarahan yang terjadi diakibatkan dari
kegagalan dari faal dalam hal membekukan darah, kemudian keesokan
harinya korban akan mengalami kerusakan jaringan, kerusakan ginjal,
mengalami memar, melepuh dan edema diparu disertai dengan tekanan
darah menurun kemudian denyut nadi meningkat.
3) Keracunan berat dengan bisa ular dengan dari family viperidae dapat
dilihat dari timbulnya bengkak di lutut dan siku dalam kurun waktu 2 jam
dan bisa juga ditandai dengan pendarahan yang sangat hebat pada
korban gigitan.
Setiati dkk, (2014) dalam Putra, (2019).

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan yang diperlukan adalah
pemeriksaan darah lengkap, meliputio leukosit, trombosit, haemoglobin,
hematokrit, dan hitungan jenis leukosit. Faal hemostatis (prothrombin time,
activated parteril thromboplastin time, international normalized ratio), cross
match, serum elektrolit,faal ginjal, urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan
analisis gas darah
b. Foto toraks untuk melihat apakah ada edema pulmoner
c. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertingal
(Jaya & Panji, 2016).

8. Penatalaksanaan
Menurut Rini & dkk, (2019) dalam Putra, (2019), Prinsip penanganan
pada korban gigitan ular : Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular,
Menetralkan bisa, Mengobati komplikasi.
a. Pertolongan pertama:
Pertolongan pertama, pastikan daerah disekitar aman dan ular telah pergi
segera cari pertolongan medis, jangan tinggalkan korban. Selanjutnya
lakukan prinsip RIGT, yaitu:
1) R (Reassure): yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan
korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga
racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh.
2) I (Immobilisation): Janagn menggerakan korban, perintahakan
korban untuk tidak berjalan atau berlari. Jika dalam waktu 30 menit
pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan pada
daerah sekitar gigitan (tangan dan kaki)
3) G (Get): bawah korban ke rumah sakit segera dan seaman mungkin.
4) T (Tell the doctor): Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul pada korban
b. Penatalaksanaan selanjutnya
1) Insisi luka pada 1 jam pertama setelah di gigit akan mengurangi
toksin 50%.
2) IVFD RL 16-20 tpm
3) Penisilin prokain (pp) 1 juta unit pagi dan sore
4) ATS profilaksis 1500 IU
5) ABU 2 flacon dalam NaCl diberiksan per drip dalam waktu 30- 40
menit.
6) Heparin 20.000 unit per 24 jam
7) Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik,
tambah 2 flacon lagi. ABU maksimal diberikan 300cc (1 flacon=10cc)
8) Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau
hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV
9) Kalai perlu dilakukan hemodialise
10) Bila diathese hemorhagi membaik, transfuse komponen.
11) Observasi pasien minimal 1 kali 24 jam.
c. Pemberian ABU (Anti Bisa Ular)
Pemerian abu berdasarkan derajat parish
Derajat Parish Pemberian ABU
0-1 Tidak perlu
2 5-20 cc (1-2 ampul)
3-4 40-100cc (4-10 ampul)
Tabel :
Klasifikasi derajat parish
Derajat
Ciri
Parish
1. Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam pasca gigitan
0
2. Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
1. Bekas gigitan 2 taring
I 2. Bengkak dengan diameter 1-5 cm
3. Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
1. Sama dengan derajat 1
II 2. Petechie, ekimosis
3. Nyeri hebat dalam 12 jam
1. Sama dengan derajat I dan II
III 2. Syok dan distress napas, ekimosis seluruh
tubuh
IV Sangat cepat memburuk

Menurut Setyohadi dkk, (2011) Putra, (2019) adapun penatalaksanaan


korban gigitan ular di IGD yaitu pertama adalah mengidentifikasi ular yang
menggigit korban bisa dengan foto atau saksi yang melihat kronologi kejadian
gigitan ular, apabila mungkin ular yang menggigit korban dibawa ke IGD yang
berguna untuk diidentifikasi lebih lanjut. Kemudian apabila korban tidak
diketahui jenis ular yang menggigit maka korban harus dirawat inap yang
berguna untuk mengobservasi ketat keadaan korban gigitan ular. Tindakan
yang dilakukan di IGD yang pertama yaitu :
a. Melakukan immobilisasi dengan pembidaian dan menggunakan elastic
bandage
b. Setelah itu bebaskan jalan napas korban dan patenkan jalan napas korban,
terutama pada gigitan ular dengan kandungan bisa neurotoxin yang dapat
menimbulkan dampak paralisis.
c. Kemudian mengambil sampel darah korban guna untuk dilakukan
pemeriksaan darah lengkap, meliputi pemeriksaan faal hemostasis (PPT,
PTT, INR dan 20 menit WBCT) tiap 6 jam sekali. Selanjutnya melakukan
pemeriksaan EKG yang berguna untuk melihat adanya kelainan fungsi
jantung, beri tanda jika terdapat luas pembengkakan jaringan tiap 2 jam.
Untuk indikasi pemberian serum antibisa ular (SABU) meliputi pemeriksaan
koagulopati, trombopeni, INR >1.2, 20 menit WBCT, neurotoxin (ptosis,
paralisis), hemoglobinuria dan terdapat limfadenitis di system limfatik
regional bekas dari gigitan ular. Sedangkan untuk terapi supotifnya sendiri
seperti cairan, neostigmine atropine, hingga penggunaan ventilator
dikhususkan untuk korban yang mengalami gagal napas.
d. Penatalaksanaan terapi non farmakologi ini bertujuan untuk memperlambat
penyerapan bisa, mempertahankan angka hidup korban dan menghindari
terjadinya komplikasi pada korban gigtan sebelum sampai kerumah sakit.
Kemudian selama perjalanan menuju rumah sakit upaya selanjutnya yaitu
mengimobilisasi bagian anggota tubuh yang tergigit dengan cara membidai
agar tidak terjadi kontraksi pada otot yang dapat menimbulkan peningkatan
penyerapan bisa kealiran darah dan getah bening.
Penelitian Warrell, (2010) menjelaskan, bahwa mendapatkan panduan
dari WHO dalam penangan sebuah gigitan ular di asia tenggara yaitu:
a. Penanganan dasar
Bantuan dasar pada gigitan ular berbisa harus segera diperiksa sebelum
korban dibawa kerumah sakit atau tenaga medis terdekat. Hal ini bisa
dilakukan dengan mandiri atau dengan orang yang lain yang mampu.
Metode tradisional yang popular ini sering kali tidak bermanfaat dan
sangat membahayakan, metode ini meliputi sebuah tindakan insisi local,
usaha untuk mengeluarkan bisa dengan cara dihisap, mengikat pada atas
bagian gigitan secara erat dengan tali atau torniquest, menggunakan
bahan kimiawi atau topical, mengompres dengan sebuah es batu pada
bagian luka. Prinsip utama dalam melakukan bantuan dasar pada sebuah
gigitan ular berbisa yaitu memperlambat sistemik absorbs bisa,
mencegah dan menyelamatkan korban gigitan ular dari komplikasi
sebelum mendapatkan penanganan dari tenaga medis atau rumah sakit.
Setelah itu memantau simtom awal bisa yang membahayakan dan
mengatur transportasi korban ketempat penyedia pelayanan kesehatan
dan ditujuan utama tidak membahayakan korban tersebut. Penghisapan
darah dari luka gigitan ular atau ekstraksi tidak menjadi pengobatan yang
efektif untuk mengeluarkan bisa dari dalam tubuh, karena hanya akan
berhasil membuang cairan darah tanpa mengeluarkan bisa.
b. Transportasi ke rumah sakit
Korban dalam hal ini harus segera dibawah kerumah sakit dengan
keadaan yang aman dan nyaman. Pada saat perjalanan kerumah sakit
korban sebisa mungkin mengurangi pergerakan otot didekat area gigitan
ular untuk mengurangi atau meminimalisir penyebaran bisa dan
peningkatan absorbs sistemik bisa. Posisikan korban dalam keadaan
terlentang jika tidak mengalami mual muntah.
c. Penilaian klinis dan resusitasi segera
Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan segera dalam penanganan
korban gigitan ular berbisa, serta penggunaan oksigen dan pemasangan
akses intravena. Selanjutnya dengan melakukan pendekatan ABCD,
system persyarafan, eksposure, dan mengontrol lingkungan.
d. Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies
Pada riwayat gigitan ular, progesi simtom, tanda local serta sistemik
sangat penting. Adanya ptunjuk yang menandakan korban gigitan ular
dengan evenomasi berat, pemeriksaan fisik diarea gigitan ular, secara
umum serta tanda evonomasi neurotoxik (paralisis bulbar, pernapasan),
rabdiomilisis menyeluruh pada korban harus diperhatikan. Dapat
dilakukan diagnosis spesies ular apabila dibawa untuk diidentifikasi lebih
lanjut. Identifikasi lebih lanjut juga bisa dilakukan tanpa adanya ular
dengan melihat keadaan korban, bentuk gigitan ular ditubuh korban
dengan gejala klinis.
e. Pengobatan antivenom
Antivenom adalah pengobatan antidotum spesifik terhadap bisa ular,
perlu atau tidak dalam pemberian antivenom dalam penanganan korban
gigitan ular. Dikarenakan pemberian antivenom ini harus banyak
dipertimbangkan selain harga yang lumayan mahal, susah didapatkan
dan resiko reaksinya harus sangat dipertimbangkan.
Pemberian antivenom dilakukan jika keadaan korban gigitan ular
mengalami satu atau lebih tanda-tanda, sbb:
1) Envenomasi sistemik
a) Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous
(klinis), trombositopenia (>100.000), koagulopati (20 WBCT dan
tes lain seperti PT),
b) Tanda neurotoxic: optalmoplegia eksternal, ptosis, paralisis (klinis).
c) Abnormal kardiovaskular: abnormal EKG, syok, hipotensi dan
aritmia (klinis).
d) GGA: peningkatan urea darah/kreatinin (lab), anuria/oliguria
(klinis).
e) Myoglobin-uria/haemoglobin: dipstick urine, urin berwarna coklat
gelap (klinis), hemolisisintravaskular atau rabdomiolisis
menyeluruh (hiperkalemia dan nyeri otot) (lab).
2) Envenomasi local
a) Terdapat pembengkakan local dalam kurun waktu 48 jam pertama.
b) Pembengkakan cepat dalam beberapa jam setelah gigitan
ular pada area tubuh yang tergigit.
c) Didapati pembesaran kelenjar getah bening yang
mendrainase pada area tergigit
Ada dua cara dalam pemberian antivenom pada korban gigitan ular yaitu:
1) Memberikan antivenin melalui injeksi intravena secara lambat (tidak
lebih dari 2 ml/menit)
2) Diberikan melalui infus dengan cara dilarutkan sekitar 5-10 ml cairan
isotonic per kg berat badan (missal 250-500 ml cairan isotonic atau
dextrose 5% pada rang dewasa) serta diinfus dengan kecepatan
konstan diatas 1 jam
Pemberian antivenom melalui intravena pada korban gigitan ular harus
dipantau dengan ketat selama 1 jam, sehingga reaksi anafilaksis
antivenom dapat dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin.
Pemberian dosis antivenom mengacu pada pedoman schwrtz dan way:
1) Derajat I: tidak memerlukan penggunaan antivenom, mengevaluasi
hingga 12 jam, bila ada tanda peningkatan derajat maka diberikan
antivenom.
2) Derajat II: diberikan antivenom 3-4 vial
3) Derajat III: diberikan antivenom 5-15 vial
4) Derajat IV: diberikan tambahan antivenom 6-8 vial
Reaksi yang dapat ditimbulkan setelah pemberian antivenom pada
korban gigitan ular yaitu sbb:
1) Reaksi anfilaksis awal: reaksi ini timbul dalam waktu kurang lebih 10-
180 menit setelah pemberian antivenom, korban gigitan ular mulai
merasakan gatal-gatal, uritkaria, demam, muntah, kolik abdomen,
diare, nausea, batuk kering, takikardi dan minoritas korban dapat
mengalami anafilaksis berat seperti angio edema, hipotensi,
bronchospasme.
2) Reaksi pirogenik (endotoksin): reaksi ini timbul dalam kurun waktu
kurang lebih 1-2 jam setelah pemberian obat antibisa, gejala yang
ditimbulkan meliputi demam, hipotensi, kekakuan dan vasodilatasi,
reaksi ini ditimbulkan karena kontaminasi pirogen selama proses
produksi antibisa (antivenom).
3) Reaksi terlambat: reaksi ini timbul dalam kurun waktu kurang lebih 1-
12 hari setelah pemberian obat, gejala yang ditimbulkan pada reaksi ini
meliputi uritkaria, miyalgia, limfadenopati, atralgia, multipleks
mononeuritis, pembengkakan periaartikular, proteinuria, dengan
nefritis imun kompleks dan sangat jarang terjadi ensefalopati.

Korban gigitan ular dengan geala reaksi awal jarang mengalami


keterlambatan reaksi bila diberi penanganan obat antihistamin dan
kortikosteroid.
Pemantauan antivenom dapat dilakukan setelah diberikan secara
adekuat kepada korban gigitan ular. Umumnya dengan melihat
perkembangan baik korban, sakit kepala, nausea dan nyeri menyeluruh
berkurang dengan cepat. Perdarahan sistemik spotaneus berhenti dalam
kurun waktu 15-30 menit sedangkan koagulabilitas darah kembali normal
dalam kurun waktu 3-9 jam. Kemudia TD meningkat dalam kurun waktu
30-60 menit pertama dan aritmia kembali membaik. Sedangka pada
evonomasi neuroksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) biasanya dapat
dijumpai perbaikan kondisi kobran gigitan ular dalam kurun waktu 30
menit setelah diberikan obat antibisa untuk evenomasi pada toksin
persinaptik tdak berespon (ular laut). Dalam menentukan kelanjutan
pemberian obat antibisa (antivenom) dapat dilihat dari kriteria seperti
inkoaglabilitas darah menetap atau timbul dalam kurun waktu 6 jam dan
memburuknya tanda-tanda neurotoksik setelah 12 jam.
f. Penanganan tambahan
Antivenom dapat mencegah progesi envenomasi, memberikan
kesembuhan korban gigitan ular dan dapat menetralkan bisa yang
bersirkulasi bebas di dalam tubuh korban. Tetapi pada proses ini
memerlukan waktu dan pada korban gigitan ular dengan envenomasi
berat memerlukan sistem pendukung kehidupan seperti pengobatan
ventilator , syok, dialisis ginjal hingga kerusakan berat organ dan jaringan
mendapat waktu untuk penyembuhannya.
g. Penanganan daerah gigitan ular
Untuk mengantisipasi terjadinya infeksi bakteri pada luka gigitan ular
dapat diberikan antibiotic spectrum luas seperti amoksisilin, sefalosporin
yang tambah dosis tunggal gentamisin dan ditambah metronidazole, bila
dijumpai adanya infeksi bakteri sekunder maka dapat diberikan profilaksis
tetanus.

9. Komplikasi
a. Syok hipovolemik
b. Kematian
c. gagal napas
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi nama pasien (inisial), umur, jenis kelamin, tanggal/jam MRS,
tanggal/jam pengkajian, diagnose medis
b. Pengkajian primer
1) Airway: kaji adanya sumbatan di jalan napas pasien, apakah sumbatan
parsial atau total. Dan jangan lupa kaji suara napas pasien (gurgling,
snoring, stridor). Biasanya pada pasien dengan gigitan ular akan
mengalami penurunan kesadaran karena efek dari toksik bisa ular
tersebut, sehingga kepatenan jalan napas perlu diperhatikan untuk
menghindari lidah jatuh kebelakang dan menimbulkan suara snoring
sehingga menimbulkan sesak pada pasien.
2) Breathing: kaji apakah pasien bernapas, sesak, hitung frekuensi
pernapasan, kedalaman pernapasa, irama pernapasan, distress
pernapasan, ekspansi paru, saturasi oksigen, suara napas, dan suara
napas tambahan. Biasanya pada pasien dengan gigitan ular berbisa
akan mengalami paralisis respiratorik dan udem pada saluran
pernapasan karena efek neurotoksik dari bisa ular. Sehingga biasanya
pasien akan sukar untuk bernapas, ada distress pernapasan, saturasi
oksigen menurun.
3) Circulation: biasanya pada pasien dengan gigitan ular berbisa akan
mengalami hipotensi, perdarahan hebat, nadi melambat, sianosis,
CRT>2 detik, akral dingin, pucat, bengkak (local dan sistemik), bibir
kebiruan, ekimosi, mual muntah. Hal ini dikarenakan adanya efek
hemotoksik dari bisa ular yang dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah sehingga terjadi perdarahan yang hebat.
4) Disability: biasanya pasien dengan gigitan ular berbisa akan
mengalami penurunan kesadaran, pupil berdilatasi, kelemahan,
paralisis, kekakuan, pandangan kabur, sakit kepala karena efek dari
bisa ular yang manggungu system persyarafan di tubuh.
5) Eksposure: biasanya pasien dengan gigitan ular berbisa akan
mengalami gejala inflamasi yaitu kemerahan, kehangatan, edema, dan
nyeri pada area sekitar gigitan dan kadang akan berlanjut kegejala
sistemik.
6) Folley chateter: pemasangan kateter untuk mengetahui kebutuhan
cairan pada pasien. Umumnya akan ditemukan warna urin merah
gelap karena adanya myoglobulinuria akibat dari rabdiomiolisis yang
larut kedalam urin.
7) Gastric tube: untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, pemberian obat,
mengurangis distensi abdomen.
8) Heart monitor: biasanya pasien dengan gigitan ular berbisa akan
mengalami aritmia, hipotensi, dan syok
c. Pengkajian sekunder
Menurut Wintoko & dkk, 2020 dalam Putra, (2019) pengkajian sekunder
meliputi pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki. Untuk pengkajian ini
disesuaikan dengan kondisi pasien. Vital sign: denyut nadi dan perbedaan
tekanan darah saat duduk dan berdiri untuk melihat adaya postural drop.
Kulit dan membrane mukosa: ptekie, purpura, ekimosis dan perdarahan.
Hidung: epikstasis. Abdomen: nyeri tekan abdomen sebagai tanda
perdarahan intraabdomen atau retroperitoneal. Neurologis: kelemahan,
kekakuan, paralisis. Gejala berupa nyeri seluruh tubuh dan warna urin yang
gelap merupakan indikasi kuat terjadinya rabdomiolisis.

2. Diagnosa Keperawatan
I. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d dispnea,
penggunaan otot bantu pernapasan, pola napas abnormal,
saturasi oksigen menurun (D.0005)
II. Penurunan curah jantung b.d kontraktilitas d.d
bradikardia/takikardia, ortopnea, (D.0008)

III. Nyeri akut b.d agen cedera fisiologis d.d mengeluh nyeri, tampak
meringis, frekuensi nadi meningkat (D.0077)
IV. Hipertermi b.d respon trauma d.d suhu tubuh diatas nilai
normal, kulit merah, kulit terasa hangat (D.0130)
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018)
3. Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA KEPERAWATAN SLKI SIKI


I. Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen Jalan Napas (I.01011)
b.d hambatan upaya 1x6 jam diharapkan Pola napas (L.01001) Observasi
napas d.d dispnea, membaik, dengan kriteria hasil:  Monitor pola napas (frekuensi,
penggunaan otot bantu a. Penggunaan otot bantu napas menurun (tarikan kedalaman, usaha napas)
pernapasan, pola napas dinding dada berkurang atau tidak ada)  Monitor bunyi napas tambahan (snoring)
abnormal, saturasi b. Frekuensi napas membaik (16-20 x/i)  Monitor saturasi oksigen
oksigen menurun
c. Kedalaman napas (Kembali normal) Terapeutik
(D.0005)
d. Saturasi oksigen meningkat (>95%)  Posisikan semi fowler
 Berikan oksigen
 Pertahankan kepatenan jalan napas
 Lakukan pemasangan OPA

Kolaborasi
 Pemberian anti bisa ular
II. Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Perawatan Jantung (I.02075)
b.d kontraktilitas d.d 1x6 jam diharapkan curah jantung (L.02008) Observasi
bradikardia/takikardia, meningkat, dengan kriteria hasil:  Identifikasi tanda/gejala primer penurunan
ortopnea, (D.0008) a. Bradikardia menurun (Rentang Normal 60- curah jantung (meliputi dyspnea,
100x/menit) kelelahan, edema, ortopnea, paroxysmal
b. Takikardia menurun (Rentang Normal 60- nocturnal dyspnea, peningkatan CVP)
100x/menit)  Identifikasi tanda/gejala sekunder
penurunah curah jantung (meliputi
peningkatan berat badan, hepatomegaly,
distensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi
basah,oliguria, batuk, kulit pucat)
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan
ortostatik, jika perlu)
 hari pada waktu yang sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis.
Intensias, lokasi, radiasi, durasi, presivitasi
yang mengurangi nyeri
 Monitor EKG
 Monitor aritmia (kelainan irama dan
frekuensi jantung)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis.
Elektrolit, enzim jantung, BNP, NTpro-
BNP)
Teraupetik
 Posisikan pasien semi-fowler
 Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika
perlu
III. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen nyeri (I.08238)
cedera fisiologis d.d 1x6 jam diharapkan Tingkat nyeri (L.08066) Observasi
mengeluh nyeri, tampak menurun, dengan kriteria hasil:  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
meringis, frekuensi nadi a. Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas neri
meningkat (D.0077)
b. Meringis menurun (dari skala berat ke ringan)  Identifikasi respon nyeri nonverbal
Kolaborasi
c. Frekuensi nadi membaik (60-100 x/i)
 Kolaborasi pemberian analgesik
IV. Hipertermi b.d respon Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen hipertermi (I.15506)
trauma d.d suhu tubuh 1x6 jam diharapkan Termoregulasi (L.14134) Observasi
diatas nilai normal, kulit membaik, dengan kriteria hasil:  Monitor suhu tubuh
merah, kulit terasa a. Kulit merah meningkat Terapeutik
hangat (D.0130) b. Suhu tubuh membaik (36,50C-37,50C)  Berikan oksigen
c. Suhu kulit membaik (kehangatan berkurang) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan,
antipiuretik, antibiotik
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018; Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018)
DAFTAR PUSTAKA

Jaya, A. G. P. S., & Panji, I. P. A. S. (2016). Tata laksana gigitan ular yang disertai
sindrom kompartemen di ruang terapi intensif. Medicina, 47(2), 188–193.
https://doi.org/10.15562/medicina.v47i2.90
Muqta, U. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Gigitan Ular Berbisa.
Ningrum, E. K., Agustina, D. M., & Santoso, B. R. (2018). Tingkat Pengethauan
Perawat tentang Gigitan Ular Di Ruang Unit Gawat Darurat, 6–10.
Pratama, G. Y., & Oktafany. (2017). Gigitan Ular pada Regio Manus Sinistra. J
Medula Unila, 1(1), 33–37. https://doi.org/10.20542/0131-2227-2016-60-11-58-
70
Putra, D. D. K. (2019). Gambaran kasus kejadian gigitan ular di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Perifer di Jember (Retrospective study tahun 2016-2017).
Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas
Jember.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Edisi
1). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Edisi
1). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Edisi 1).
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai