Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

SLE (Systemic Erithematosus Lupus)

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Yang diampuh oleh :

Disusun Oleh :

Nama : Adillah

Nim : 170711023

Kelas : 17 Keperawatan A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Laporan Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Sistemik Lupus Eritematosus” dengan sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini, saya telah mengalami berbagai hal baik suka
maupun duka. Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan selesai
dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta bimbingan
dari berbagai pihak. Sebagai rasa syukur atas terselesainya maklah ini, maka dengan
tulus saya sampaikan terimakasi kepada pihak-pihak yang turut membantu.
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari masih banyak kekurangan
baik pada teknik penulisan penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan dapat diterapkam dalam, menyelesaikan suatu permasalahan yang berhubungan
dengan judul makalah ini.

Cirebon, 20 Mei 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER ................................................................... Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................. 3

BAB I ........................................................................................................................ 5

1.1 LATAR BELAKANG..................................................................................... 5

1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................ 6

1.3 TUJUAN ......................................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 7

2.1 Definisi ............................................................................................................ 7

2.2 Etiologi ............................................................................................................ 7

2.3 Patofisiologi .................................................................................................... 9

2.4 Manifestasi .................................................................................................... 10

2.5 Klasifikasi.................................................................................................... 133

2.6 Penatalaksanaan Medis ............................................................................... 144

2.7 Pemeriksaan Penunjang............................................................................... 144

2.8 Kompilkasi .................................................................................................. 155

BAB III TINJAUAN


KASUS……………………………………………………………………….…...17

3.1IDENTITASKLIEN…………………………………………………………17

3.2 IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB...……………………….....………18

3.3.PENGKAJIAN……………………………………………………………...18

3
3.4.ANALISADATA……….…………………………………………………..22

3.5.DIAGNOSAKEPERAWATAN……………………………………….........23

3.6.INTERVENSIKEPERAWATAN………………….………………….........24

3.7.IMPLEMENTASIKEPERAWATAN….……………………………….…..26

3.8.EVALUASI…………….............................…………………………….......29

BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 30

4.1 Kesimpulan.................................................................................................... 30

4.2 Saran .............................................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 31

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Systemic Erithematosus Lupus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah
lupus merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi kronik.
Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat sistem kekebalan tubuh salah menyerang
jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi sistem dimana banyak
manifestasi klinik yang didapat penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami
gejala yang berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang
oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah
skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang berat, SLE bisa menyebabkan nefritis,
masalah neurologi, anemia, dan trobositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh prempuan dimana perbandingan antara
prempuan dan laki-laki adalah 10:1. SLE menyerang prempuan pada usia produksi
,puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara
tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah pendirita SLE diamerika
yaitu 1.500.000 orang ( yayasan lupus Indonesia ).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID ( Non-Steroid Anti-
Inflammatory Drugs),obat-obat antimalarial, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi
hormone,immunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoclonal antibody, dan
transplasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.

5
1.2 RUMUSAN MASALAH
a) Apa definisi SLE ?
b) Bagaimana etiologi SLE?
c) Bagaimana patofisologi dari SLE?
d) Apa manifestasi klinis dari SLE ?
e) Apa klasifikasi dari SLE?
f) Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE?
g) Bagaimana evaluasi dari SLE?
h) Bagaimana penatalaksanaan dari SLE?
i) Bagiaman komplikasi dari SLE
j) Bagaimana Asuhan Keperawatan dari SLE

1.3 TUJUAN
a) Tujuan Umum
Mahasiswa mampu sebagai calon perawat yang professional diharapkan
mengerti dan memahami penyakit imunologi SLE, serta mampu memberikan
asuhan keperwatan yang tepat.
b) Tujuan Khusus
Mengetahui anatomi,definisi,etiologi,klasifikasi,manifestasi klinis pemeriksaan
diagnostic, penatalaksaan, komplikasi dan asuhan keperawatan yang tepat.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada
jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut.
Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi
pada derajat yang besar oleh kehamilan ( Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu
penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap
organ tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus
dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung
(Glade,1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang
bercirikan nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan pola
berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar
terhadap IgG dan imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen
yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan
radang ginjal. Sama dengan rematik,SLE juga merupakan penyakit auroimun,tetapi
jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada prempuan. Sebabnya tidak
diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan
sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1
kapsul (tan&kirana,2007)

2.2 Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau
blok jatung congenital.

7
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai kerabatdekat
yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang
berperan antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi peningkatan komplomen yaitu :
Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta gen-gen yang mengode reseptor drl T,
immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE
juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menyadi lambat, obat
banyak terakumulas ditubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing tersebut
(Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung
asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga
dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain intu infeksi virus dan bakteri
juga menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B
limfosit yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai penyebab
SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia
produktif,peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang sedikit
lebih tinggi padaa wanita pascamenoupause yang menggunakan suplementasi
estrogen. Walapun hormone seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE,namun
studi yang dilakukan oleh petri dkk menunjukan bahwa pemberian kontrasepsi
hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit
pada wanita penfderita SLE yang penyakitnya stabil.

8
2.3 Patofisiologi

Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal Faktor Lingkungan

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala

Sistemik Kulit Oral Laboratorium

 Arthritis  Butterfly  Xerostomin  Gangguan


 Serositis rash  Lesi darah
 Ganggua  Discoid Ulserasi  Gangguan
n ginjal rash  Lesi Diskoid imun
 Ganggua  Fotosensi  Lesi Mirip  Antibody
n saraf tivitas lichen antinuklir
plamus (ANA)
 kandidiasis

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet
atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun didalam
tubuh yaitu :
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :

9
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang membentuk
kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan
disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut terlihat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

2.4 Manifestasi
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE
dapat menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada
pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE.
Kedua, efek samping pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka
panjang, harus dibedakan dengan tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan terapi
imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit,dimana
peningkatan berat badan, khusus pada pasien yang diterapi dengan
glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap selanjutnya.

10
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam
yang telah ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan
(exaggerated sunburn), atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah terpajan
sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Fotosensitivitas sering ditemukan
dan dapat terjadi pada semua kelompok ras dan etnis, walapun belum ada studi
mengenai prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang
khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan persambungan hidung yang
membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly ras.
Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas
jaccoud yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan tidak
terbukti secara radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan tulang.
Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau
antimalaris, namun myositis dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan
dan biasannya merupakan gejala yang tumpah tindih.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau
dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau
hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh
karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien
dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan ECG minimal, aritmia
atau perubahan hemodinamik. kan pada sekitar 30% pasien SLE.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi
dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian
lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru
pneumonitis atau alveolitis dan dibuktikan dengan batuk, hemoptysis, serta

11
infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan
alveolus difus dapat timbul atau tanpa pneumonitis akut dan memilik angka
mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus kronik dengan perubahan
fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang
progresif dan prognosis yang buruk.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak
menimbulkan gejala sampai glumerulonefritis membranoproliferatif difus
agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan
minimalis, termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik, sindrom
nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer,
hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan hipertensi,
sedimen eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin dan penurunan
laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan
uremia.
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang
merujuk pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki
manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,
khorea, ataksia, stroke dan myelitis tramsversa. Pada pasien seperti ini diagnosis
dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti
peningkatan kadar protein, pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada
CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan
grisea atau bahkan pada biopsy leptomeningeal dengan bukti inflamasi.
Gambaran alternatis lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor yaitu psikosis.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas
untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan
komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas
berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan atau gastropati terkait

12
glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang,
vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang sering
namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat
disebabkan oleh hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin
rendah dan kadar laktat dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi.
Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan
mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada
penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom
sjogren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optic
atau oklusi arteri atau vena retina.

2.5 Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America
rheumatism association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun 1982
merevisi kreteria untuk klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11
kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)

13
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria
diagnosis SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal), ANA
serositis, Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut)
immunological disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid rash Ann Rheum
Dis 2001.

2.6 Penatalaksanaan Medis


Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan dan
mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid
untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral
tinggil tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius

2.7 Pemeriksaan Penunjang


SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan
berbagai manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi
dikulit, ginjal dan neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas
(ruam) dan remisi. SLE ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan
penanda serologis, khususnya beberapa autoantibodi yang paling sering digunakan
adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi antibody ini juga dapat ditemukan pada
wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antibouble
standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran bermanfaat untuk menilai ruam
pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody antifosfolipidpenting untuk diukur karena

14
meningkatkan resiko pada kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan
secara multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosa.
Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan
adanya peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen
membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko
keguguran. Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif dengan
titer
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody)
berhubungan dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri,
vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan
trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus meliputi
darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE,
CRP, analyses urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang dilakukan
adalah biopsy.

2.8 Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-
sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang
menetap) pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu
mengalami dialysis atau pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling
sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan

15
bias terjadi pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf.
Kejang, pesikosa, sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa
kelainan sistem saraf yang bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan
darah didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli
paru. Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang
melawan faktor pembekuan darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang
berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan
tersebut timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada
jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang
panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

16
BAB III

TINJAUAN KASUS

Kasus

Seorang prempuan bernama Ny.S usia 35 tahun datang ke UGD dengan keluhan merasa
tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya kecil namun
setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah lebar, demam, nyeri dan terasa kaku
seluruh persendian terutama pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik
diperolah ruam pada pipi dengan batas tegas, peradangan pada siku, lesi pada daerah
leher, malaise. Pasien mengatakan terdapat sariawan pada mukosa mulut. Pasien ketika
bertemu dengan orang lain selalu menunduk dan menutupi wajahnya dengan masker.
Tekanan darah 110/80mmHg, RR 20x/mnt, Nadi 90x/mnt Suhu 38,5 ºC, Hb 11 gr/dl,
WBC 15.000/mm.

3.1 IDENTITAS KLIEN


Nama : Ny. S

Umur : 35 thn

Jenis kelamin : Prempuan

Alamat : Jl.TB.Simatupang No.71

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Tanggal masuk RS : 01-01-2019

Tanggal pengkajian : 02-01-2019

17
DX Medis : SLE

3.2 IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB


Nama : Tn. D

Umur : 36 thn

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl.TB.Simatupang No.71

Pendidikan : S 1 tehnik mesin

Pekerjaan : Karyawan swasta

3.3 PENGKAJIAN
 Keluhan utama :
Pasien menggeluh nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan, saat
beraktivitas pasien merasa mudah lelah, pasien merasa demam. Pipi dan
leher memerah serta nyeri pada bagian yang memerah

 Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit
memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya lebarnya kecil namun setelah
satu minggu lebarnya bertambah besar, demam, nyeri dan terasa kaku
seluruh persendian utamanya pada pagi hari dan berkurang nafsu makan
karena sariawan.

 Riwayat Penyakit dahulu :


Tidak ada

 Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada

 Riwayat pekerjaan/ kebiasaan :

18
Pasien seorang ibu rumah tangga

 Riwayat Alergi :
Tidak ada

 Pengkajian Sistem Tubuh :


a. Sistem Pernapasan
 RR 20x/mnt
 Napas dalam terlihat seperti menahan nyeri
b. Sistem Kardiovaskuler
 TD 110/80 mmHg
 Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler,eritematous dan purpur di ujung jari kaki, tangan, siku
serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
dan berlanjut nekrosis.
c. Sistem Persyarafan
Gangguan psikologis

d. Sistem Perkemihan
Tidak ada

e. Sistem Pencernaann
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum

f. Sistem Muskuloskeletal
 Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari
 Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu
yang melintang pangkal hidung serta pipi
g. Sistim Endokrin
Tidak ada

h. Sistim sensori persepsi


Tidak ada

19
i. Sistim integument
SH: 38,5C, demam (+)

j. Sistim imun dan hematologi


 Tes fluorensi untuk menetukan antinuelear antibody (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
 Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
 Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
 Tes sifilis bisa positif palsu pada pemeriksaan SLE
 Pemeriksaan zat antifosfolipid (seperti antikardiolipin antibody)
berhubungan untuk menentukan adanya thrombosis pada
pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus spontan,
bayi meninggal dalam kandungan dan trombositopeni
 HB 11gr/dl
 WBC 15.000/mm

k. Sistim Reproduksi
Tidak ada masalah disistem reproduksi

 Pengkajian Fungsional
 Oksigenasi
RR:20x/mnt

 Cairan dan Elektrolit


terpasang infus RL 20tpm

 Nutrisi
Mual (-), muntah (-)

 Aman dan Nyaman


Kulit memerah pada daerah pipi dan leher

 Eliminasi

20
BAK (-), BAB (-)

 Aktivitas dan Istirahat


Kurang

 Psikososial
Dapat mengalami ketidak percayaan diri akibat dari penyakitnya

 Komunikasi
Terganggu karena sariawan pada mukosa mulut

 Seksual
Tidak ada perubahan

 Nilai dan Keyakinan


Tidak ada pantangan yang berhubungan dengan nilai dengan keyakinan
pasien

 Belajar
Tidak ada kelainan

 Pemeriksaan Penunjang
 Hasil Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Interpretasi
Normal
01-01- Hb 17,3 gr% 13-16 gr%
2019 WBC 5.000-
15.000/mm
10.000/mm

 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Rontgen tidak ada kelainan

21
 Progam Terapi
Terapi medis tgl 01-01-2019 :

 Injeksi Stabixin 2x1gram


 Injeksi medixon 2x 125 mg
 Omeprazol 2x1 ampul
 Vitamin C 2x1 ampul

22
3.4 ANALISA DATA

Data Fokus Etiologi Problem


Ds : Nyeri pada sendi dan Genetic, lingkungan, Nyeri kronis
bagian hormonal, obat tertentu

yang mengalami
Produksi autoimun
kemerahan
berlebihan
Do : pasien terlihat menahan ↓
nyeri Autoimun menyerang
organ tubuh
TD 110/80mmHg, RR

20x/mnt, S 38,5C, N SLE
90x.mnt ↓
Kerusakan jaringan

Nyeri kronis

Genetic, lingkungan,
Ds : Pasien mengeluhkan
hormone, obat tertentu Peningkatan
demam
↓ suhu tubuh
Do : TD 110/80 mmHg Produkasi autoimun
berlebih
RR 20x/mnt

S 38,5 C Autoimun menyerang
orang tubuh
N 90x/mnt

Terjadi reaksi inflamasi

Peningkatan suhu
tubuh

23
3.5 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri kronis berhubungan dengan agen pencedera


2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi

3.6 INTERVENSI KEPERAWATAN

Hari/ Diagnosa Tujuan Dan Intervensi TTD


Tgl/J Keperawa Kriteria Hasil
( NIC)
am tan
NOC

Kamis Nyeri Setelah dilakukan Menejemen nyeri :


/01- kronis tindakan
1. Lakukan pengkajian
01-19/ berhubung keperawatan
nyeri komprehensif
08.00 an dengan selama 1x24 jam
yang meliputi
agen nyeri kronis dapat
lokasi, karakteristik,
pencedera berkurang dengan
onset atau durasi,
kriteria hasil :
frekwensi, kualitas,
Kontrol nyeri intensitas dan faktor
pencetus
a. Mengenal
2. Berikan informasi
kapan nyeri
mengenai nyeri seperti
terjadi
penyebab beberapa
b. Menggamb
lama nyeri dan
arkan faktor
antisipasi dari ketidak
Penyebab
nyamanan nyeri.
c. Menggunak
3. Dorong pasien untuk
an tindakan
memonitor nyeri dan
pencegahan
atau

24
penguranga menangani nyerinya
n nyeri dengan tepat
tanpa 4. Pastikan
anlagesik pemberian
d. Menggunak analgetik
an analgesic dan atau
yang startegi
direkomend nonfarmako
asikan logi.

Setelah dilakukan
tindakan selama 1x
Kamis Peningkat
24 jam suhu tubuh
/ 01- an suhu
normal dengan Fever treatment :
01-19 tubuh
NOC :
11.00 berhubung 1. Monitoring suhu
Thermoregulation
an dengan sesering mungkin
Kriteria hasil :
inflamasi 2. Monitoring warna
a. Suhu tubuh
dan suhu kulit
dalam batas
3. Monitoring
normal
WBC,Hb dan Hct
b. Nadi dan
4. Monitoring intake
RR dalam
output
rentang
5. Beri kompres
normal
pada lipatan paha
c. Tidak ada
dan axila
perubahan
6. Kolaborasi
warna kulit
pemberian
dan tidak
Antipireutik
ada pusing,

25
pasien Cairan intravena
merasa
nyaman Temperature regulation :
1. Monitoring suhu
berkala
2. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi

3.7 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari/ Diagnosa Implementasi Respon TTD


Tgl/J Keperawa
am tan
Kamis Nyeri 1. Melakukan 1. Pasien mampu
/01- kronis pengkajian nyeri menunjukan
01-19/ berhubung komprehensif lokasi nyeri
08.00 an dengan yang meliputi pada sendi yang
agen lokasi, mengalami
pencedera karakteristik, kemerahan
lokasi atau dengan skala
durasi, nyeri 8 menurun
frekwensi, menjadi skla
kualitas, nyeri 3 atau
intensitas dan ringan dengan
faktor pencetus. pencetus pada

26
2. Memberikan saat melakukan
informasi aktifitas.
mengenai nyeri 2. Pasien dapat
seperti mengetahui
penyebab, penanganan
berapa lama nyeri dengan
nyeri dan therapifarmakol
antisifasi dari ogi (analgesic)
ketidak dan
nyamanan nyeri. nofarmakologi
3. Mendorong (tehnik relaksasi
pasien untuk nafas dalam.
memonitor nyeri
dan menangani
nyerinya dengan
tepat.
4. Memastikan
pemberian
analgesik dan
atau strategi
nonfarmakologi
(teknik relaksasi
nafas dalam).

Kamis Peningkat
/ 01- an suhu 1. Memonitoring 1. Suhu 37,8˚C,
01-19 tubuh suhu Akral teraba
11.00 berhubung 2. Memonitoring hangat
an dengan intake output 2. Pasien mampu
inflamasi minum air putih

27
3. Memonitoring 600cc sejak jam
hasil 11.00 dan BAK
laboratorium 2 kali
4. Beri kompres 3. Pasien dapat
pada lipatan mengetahui
paha dan axila kompres di
5. Memberikan lipatan paha dan
cairan intravena axila dan
dan paracetamol tampak
drip terpasang
kompresan
4. Cairan intravena
diberikan dan
paracetamol drip
terpasang
melalui infusan

28
3.8 Evaluasi

Hari/ Diagnosa Evaluasi TTD


Tgl/J Keperawatan
am
Kamis Nyeri kronis S : Pasien mengatakan nyeri sendi dan
/01- berhubungan kemerahan pada lutut berkurang
01-19/ dengan agen
O: Skala nyeri berkurang dari 8 menjadi 3
08.00 pencedera
Pasien tampak riles ditandai dengan
hemodinamik stabil

Pasien dapatmelakukan teknik


relaksasi nafas dalam

A : Lanjut intervensi 3 dan 4

P : Masalah teratasi sebagian

Kamis Peningkatan S : Pasien mengatakan masih sedikit pusing


/ 01- suhu tubuh dan demam
01-19 berhubungan
O: KU lemah Kesadaran Composmentis
11.00 dengan
Suhu 37,8˚C, akral teraba hangat, terpasang
inflamasi
infus RL 20 tpm dengan triway paracetamol
drip

A : Lanjut intervensi treatment regulation

P : Masalah teratasi sebagian

29
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor
10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut.
Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada
derajat yang besar oleh kehamilan ( Elizabeth 2009).

4.2 Saran
Pemahaman mahasiswa keperawatan terhadap bidang ilmu keperawatan medikal
bedah terus di tingkatkan, selain untuk meningkatkan pemahaman yakni sebagai upaya
meningkatkan displin ilmu yang lebih kompeten, berjiwa pengetahuan dan selalu
berfikir kritis terhadap ilmu tersebut.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. NANDA Internasional. 2012. Nursing Diagnosis: definition and classification.


Jakarta: EGC
2. Burn, Catherine E, et all. (20014). Pediatric Primary Care : A Handbook
for Nurse Practitioner. USA : Saunders
3. Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐
Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd
4. Kasjmir, Yoga dkk. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia
5. King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus:
modern strategies for management – a moving target. Best Practice &
Research Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007
doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

31
32

Anda mungkin juga menyukai