Anda di halaman 1dari 43

SEMINAR ASUHAN KEPERAWATAN

HIV/AID

Disusun Oleh :

Kelompok

 Ari Lesmana  Rahma Danil Putra


 Gabrila Intan Permatasari  Tri Handayani
 M. Fathurrochman Habibi  Ummi Mayadah

Dosen Pembimbing :

Ns. Abdu Rahim Kamil MSc

PROGRAM STUDI PROFESI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


2020-2021
2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji syukur Alhamdulillah penyusun mengucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan ramhat karunia dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul HIV/AID. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan
Medikal Bedah yang dibimbing oleh Ns. Abdu Rahim Kamil MSc

Pada kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada:


1. Ns. Abdu Rahim Kamil MSc Selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
2. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini. Sehingga ini terselesaikan
tepat pada waktunya.
Oleh karna itu, kami sadar dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan kami
mohon maaf, dan meminta kepada ibu memberikan kritik dan saran untuk perbaikan selanjutnya.
Sekian dari kami, semoga ini sesuai dengan apa yang diharapkan dan bermanfaat bagi
pembacanya.
Wasalammua’laikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Jakarta, 12 November 2020

Kelompok

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB I ANATOMI FISIOLOGI

A. Anatomi .....................................................................................................................
B. Fisiologi ....................................................................................................................

BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi ......................................................................................................................
B. Struktur Virus HIV ....................................................................................................
C. Siklus Hidup HIV ......................................................................................................
D. Factor Penyebab HIV/AID ........................................................................................
E. Tanda dan Gejala ......................................................................................................
F. Pathway .....................................................................................................................
G. Komplikasi HIV/AID ................................................................................................
H. Pemeriksaan Labolatorium .......................................................................................

BAB III PEMBAHAAN ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan ...........................................................................................


B. Diagnose Keperawatan .............................................................................................
C. Intervensi Keperawatan .............................................................................................

BAB IV JURNAL PENELITIAN KASUS

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................................
B. Saran ..........................................................................................................................

ii
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN JURNAL

iii
BAB I

ANATOMI FISIOLOGI

A. Definisi HIV/AID
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang
sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya
seperti makrofag dan limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan
suatu kondisi immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita
Selekta, 2014).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti terdiri
atas untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan ditranskripkan
kedalam DNA pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem imun
disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi kebanyakan penderita
kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis (Corwin, 2009).
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit
akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).

B. Klasifikasi

a. Fase 1

Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan
terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah.
Pada fase ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami
gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

b. Fase 2

Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah
positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang
lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari
dan sembuh sendiri).
c. Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS. Gejala –
gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare
4
terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh – sembuh,
nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang.
Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
d. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat
berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan
infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru yang menyebabkan radang paru –
paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma
kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan infeksi
otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala (Hasdianah & Dewi, 2014).

C. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari
sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated Virus
(LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell
Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA)
menjadi asam
deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu (Nurrarif & Hardhi, 2015).
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari,
berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh,
dan manifestasi neurologis.

D. Kelompok Resiko
Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai berikut:
a. Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian
b. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang untuk
kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks

5
c. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki
d. Narapidana
e. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi
f. Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko seperti kekerasan
seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi
HIV tanpa pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks (Ernawati,
2016).

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah
a. Lelaki homoseksual atau biseks
b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
c. Orang yang ketagihan obat intravena
d. Partner seks dari penderita AIDS
e. Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).

E. Anatomi

6
Virus HIV yang menyebabkan AIDS ini menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Yang
dimaksud dengan sistem kekebalan adalah suatu sistem dalam tubuh yang berfungsi untuk
melindungi tubuh dari masuknya bakteri atau virus yang bertujuan menyerang sel,
menyerang pertahan tubuh. Organ dimana sistem kekebalan tubuh berada disebut lymphoid,
memiliki peran utama dalam mengembangkan lymphocytes (sel darah putih) yang secara
spesifik berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan virus, yang disebut sebagai T cells,
yang terbagi dalam beberapa sel (Sarafino, 2006), yaitu:
a. Killer T cells (sel CD-8), secara langsung menyerang dan menghancurkan sel asing, sel
kanker, dan sel tubuh yang telah diserang oleh antigen (substansi yang memicu respon
kekebalan tubuh), seperti virus.
b. Memory T cells, bekerja diawal infeksi dengan cara mengingatkan tubuh akan adanya
hal asing yang masuk ke dalam tubuh.
c. Delayed-hypersensitivity T cell, berfungsi untuk menunda reaksi kekebalan tubuh, dan
juga memproduksi substansi protein (lymphokines) yang memicu T cells lainnya untuk
tubuh, memproduksi dan menyerang antigen.
d. Helper T cells (sel CD-4), berfungsi untuk menstimulasi sel darah putih untuk
diproduksi dan menyerang virus.
e. Suppressor T cells, berfungsi untuk secara perlahan-perlahan menghentikan proses
kerja sel dan kekebalan.

Sel dalam tubuh individu yang diserang oleh HIV adalah limfosit Helper T-cell atau
yang disebut juga sebagai limfosit CD-4, yang fungsinya dalam kekebalan tubuh adalah
untuk mengatur dan bekerja sama dengan komponen sistem kekebalan yang lain. Bila
jumlah dan fungsi CD-4 berkurang maka sistem kekebalan individu yang bersangkutan
akan rusak sehingga mudah dimasuki dan diserang oleh berbagai kuman penyakit. Segera
setelah terinfeksi maka jumlah CD-4 berkurang sedikit demi sedikit secara bertahap
7
meskipun ada masa yang disebut sebagai window periode, yaitu periode yang tidak
menunjukan gejala apapun, yang berlangsung sejak masuknya virus hingga individu
dinyatakan positif terpapar HIV. Gambaran klinik yang berat, yang mencerminkan kriteria
AIDS, baru timbul sesudah jumlah CD-4 kurang dari 200/mm3 dalam darah. (yayasan
spiritia, 2006).

Secara ringkas perjalanan infeksi HIV dapat dijelaskan dalam tiga fase, yaitu: (1) Fase
Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut); (2) Fase Infeksi Laten; (3) Fase Infeksi Kronis.

a. Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut)


Keadaan ini disebut juga infeksi primer HIV. Sindroma akut yang terkait dengan
infeksi primer HIV ini ditandai oleh proses replikasi yang menghasilkan virus-virus
baru (virion) dalam jumlah yang besar. Virus yang dihasilkan dapat terdeteksi dalam
darah dalam waktu sekitar tiga minggu setelah terjadinya infeksi. Pada periode ini
protein virus dan virus yang infeksius dapat dideteksi dalam plasma dan juga cairan
serebrospinal, jumlah virion di dalam plasma dapat mencapai 106 hingga 107 per
mililiter plasma. Viremia oleh karena replikasi virus dalam jumlah yang besar akan
memicu timbulnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang mirip infeksi
mononukleosis akut yakni antara lain: demam, limfadenopati, bercak pada kulit,
faringitis, malaise, dan mual muntah, yang timbul sekitar 3–6 minggu setelah infeksi.
Pada fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan sel limfosit T-CD4 yang signifikan
sekitar 2–8 minggu pertama infeksi primer HIV, dan kemudian terjadi kenaikan
limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih
diatas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah enam minggu
terinfeksi HIV.
b. Fase Infeksi Laten
Setelah terjadi infeksi primer HIV akan timbul respons imun spesifik tubuh terhadap
virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan perlawanan yang kuat terhadap
virus sehingga sebagian besar virus hilang dari sirkulasi sistemik. Sesudah terjadi
peningkatan respons imun seluler, akan terjadi peningkatan antibodi sebagai respons
imun humoral. Selama periode terjadinya respons imun yang kuat, lebih dari 10 milyar
HIV baru dihasilkan tiap harinya, namun dengan cepat virus-virus tersebut dihancurkan
oleh sistem imun tubuh dan hanya memiliki waktu paruh sekitar 5–6 jam. Meskipun di
dalam darah dapat dideteksi partikel virus hingga 108 per ml darah, akan tetapi jumlah
partikel virus yang infeksius hanya didapatkan dalam jumlah yang lebih sedikit, hal ini

8
menunjukkan bahwa sejumlah besar virus telah berhasil dihancurkan. Pembentukan
respons imun spesifik terhadap HIV menyebabkan virus dapat dikendalikan, jumlah
virus dalam darah menurun dan perjalanan infeksi mulai memasuki fase laten. Namun
demikian sebagian virus masih menetap di dalam tubuh, meskipun jarang ditemukan di
dalam plasma, virus terutama terakumulasi di dalam kelenjar limfe, terperangkap di
dalam sel dendritik folikuler, dan masih terus mengadakan replikasi. Sehingga
penurunan limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit.
Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm.

Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase infeksi primer, akan
mencapai jumlah pada titik tertentu atau mencapai suatu "set point" selama fase laten.
Set point ini dapat memprediksi onset waktu terjadinya penyakit AIDS. Dengan jumlah
virus kurang dari 1000 kopi/ml darah, penyakit AIDS kemungkinan akan terjadi dengan
periode laten lebih dari 10 tahun. Sedangkan jika jumlah virus kurang dari 200 kopi/ml,
infeksi HIV tidak mengarah menjadi penyakit AIDS. Sebagian besar pasien dengan
jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml, mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4
yang lebih cepat dan mengalami perkembangan menjadi penyakit AIDS dalam kurun
waktu kurang dari 10 tahun. Sejumlah pasien yang belum mendapatkan terapi memiliki
jumlah virus antara 10.000 hingga 100.000 kopi/ml pada fase infeksi laten. Pada fase
ini pasien umumnya belum menunjukkan gejala klinis atau asimtomatis. Fase laten
berlangsung sekitar 8–10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV.
c. Fase Infeksi Kronis
Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus
yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler serta sel limfosit T-
CD4 yang menjadi target utama dari virus HIV oleh karena banyaknya jumlah virus.
Fungsi kelenjar limfa sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus
dicurahkan ke dalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara
berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. respons imun tidak mampu mengatasi jumlah
virion yang sangat besar. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun hingga dibawah 200
sel/mm3, jumlah virus meningkat dengan cepat sedangkan respons imun semakin
tertekan sehingga pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder
yang dapat disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan infeksi
semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Setelah terjadi AIDS pasien jarang
bertahan hidup lebih dari dua tahun tanpa intervensi terapi. Infeksi sekunder yang

9
sering menyertai antara lain: pneumonia yang disebabkan Pneumocytis carinii,
tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi
virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis esofagus, kandidiasis trakea,
kandidiasis bronkhus atau paru serta infeksi jamur jenis lain misalnya histoplasmosis
dan koksidiodomikosis. Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu,
kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma Kaposi's.
Selain tiga fase tersebut di atas, pada perjalanan infeksi HIV terdapat periode masa
jendela atau "window period" yaitu, periode saat pemeriksaan tes antibodi terhadap
HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien
yang terinfeksi HIV dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup
terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium oleh karena kadarnya belum memadai.
Periode ini dapat berlangsung selama enam bulan sebelum terjadi serokonversi yang
positif, meskipun antibodi terhadap HIV dapat mulai terdeteksi 3–6 minggu hingga 12
minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada
periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang
lain.

F. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring
pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus
menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS
berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang
spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan
ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi
pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun
hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik).
Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi
hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014).

Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel - sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa
dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler

10
makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto & Made Ari, 2013).
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah
sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar
200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini,
gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).

G. Manifestasi Kelinis
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:
a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung
antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya
b. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem imun
atau kekebalan
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa
diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral
yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi.
Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder
(Soedarto, 2009).

Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi
menurut WHO:

a. Stadium 1 (asimtomatis)
1) Asimtomatis
2) Limfadenopati generalisata
b. Stadium 2 (ringan)
1) Penurunan berat badan < 10%
2) Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis,
ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritic
3) Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir
4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
c. Stadium 3 (lanjut)

a. Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas

b. Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan

c. Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan

d. Kandidiasis oral persisten

e. Oral hairy leukoplakia


11
f. Tuberculosis paru

g. Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi tulang/sendi,


meningitis, bacteremia

h. Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut

i. Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×10 9/L) tanpa sebab
jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas
d. Stadium 4 (berat)

1) HIV wasting syndrome

2) Pneumonia akibat pneumocystis carinii

3) Pneumonia bakterial berat rekuren

4) Toksoplasmosis serebral

5) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan

6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening

7) Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral

8) Leukoensefalopati multifocal progresif

9) Mikosis endemic diseminata

10) Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus

11) Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru

12) Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren

13) Tuberculosis ekstrapulmonal

14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV,
kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma
serviks invasive, leismaniasis atipik diseminata

15) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis
(Kapita Selekta, 2014).

e. Cara Penularan
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti
12
darah, semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya seseorang

tergantung pada status imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia serta jenis kelamin
merupakan faktor risiko. Seseorang akan berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar
darah dengan orang yang terinfeksi, pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama
pada pengguna narkoba, hubungan seksual (Corwin, 2009).

Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti
darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air mata, dan urin
(sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat didalam air mata dan keringat. Pria
yang sudah disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria
yang tidak disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui:

a. Ibu hamil
1) Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)
2) Angka transmisi mencapai 20-50%
3) Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga
4) Laporan lain menyatakan risiko penularan malalui ASI adalah 11-29%
5) Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian pada
duakelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi
dan kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya,
melaporkan bahwa angka penularan HIV pada bayi yang belum disusui adalah
14% (yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan
persalinan), dan angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya
disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari
ibunya selama 6-15 bulan.
b. Jarum suntik
1) Prevalensi 5-10%
2) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena
penyalahgunaan obat
3) Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa, pengguna
obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali
53%.
c. Transfusi darah
1) Risiko penularan sebesar 90%
2) Prevalensi 3-5%

13
d. Hubungan seksual
1) Prevalensi 70-80%
2) Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim
3) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini dengan
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kondom,
maka penularan melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh
penularan melalui jalur penasun (pengguna narkoba suntik) (Widoyono, 2011).
f. Pencegahan Penularan
a. Secara umum
b. Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu:
A : Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi,
terutama seks pranikah
B : Be faithful – saling setia
C : Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar D: Drugs –
menolak penggunaan NAPZA
D : Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama
g. Untuk pengguna Napza
Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti
menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama.
h. Untuk remaja
Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari penggunaan obat-
obatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung
percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku
yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab
(Hasdianah & Dewi, 2014).

14
BAB II

KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) yaitu virus yang merusak system kekebalan tubuh
manusia.
Hiv memiliki 2 jenis virus yaitu hiv1-2, Virus ini termasuk dalam famili Retriviridae, dan
genus lentivrus.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan hilangnya kekebalan tubuh
terhadap berbagai penyait yang disebabkan dari sekelompok virus yang dikenal sebagai
retrovirus sehingga menimbulkan infeksi opportunistik yang berat dan sulit disembuhkan.
B. Struktur Virus HIV
Struktur virus HIV-1 terdiri atas inti 2 untaian RNA tunggal yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu/inang, lapisan
envelop luar terdiri dari lemak dan glikoprotein (gp120). Kapsid adalah lapisan protein
pembungkus material genetik, unit-unit pembentuk kapsid disebut dengan kapsomer.
Matriks adalah lapisan protein yang terdapat di luar kapsid.

15
Reverse transcriptase adalah enzim yang akan digunakan untuk memproses RNA
membentuk DNA.
Antigen p24 adalah core antigen virus Hiv, atau pertanda dini adanya infeksi HIV sebelum
terjadi serokonversi sintesis antibodi terhadap Hiv-1.
Gen envelop sering bermutasi hal tersebut menyebabkakn perubahan jumlah CD4⁺, fungsi
sel T terganggu terlihat in vivo (gagal memberikan respons terhadap antigen recall) dan uji
invitro, aktivasi sel B menimbulkan Hipergamaglobulinemia, antibodi yang dapat
menetralkan gp120 dan gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah proses penyakit kerane
kecepatan mutrasi virus yang tinggi.

C. Siklus Hidup HIV


Berawal dari virus menginfeksi sel dengan menggunakan gp120 yang mengikat sel CD4⁺
dan reseptor kemokin (CXCR4 & CCR5) dari sel inang. Setelah virus berkaitan dengan
reseptor sel, membran virus bersatu dengan membran sel pejamu(manusia) lalu virus masuk
ke sitoplasma. Disini envelop virus filepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas
sehingga terjadi copy DNA dari RNA virus di sintesis oleh enzim transkiptase, lalu DNA
Virus bersatu dengan DNA pejamu yang terintegrasi disebut provirus. Provirus diaktifkan
sehingga diproduksi RNA dan protein virus dan terbentuk virus baru. Provirus dapat tetap
laten dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau bertahun-tahun, sehingga tersembunyi
sistem imun pejamu bahkan dari terapi antivirus.

16
D. Faktor Penyebab HIV/AID
1. Tingginya penyalahgunaan obat bius
2. Merajalelanya praktek homoseksualitas dan PSK
3. Rendahnya penggunaan kondom
4. Penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan berulang-ulang dipakai
5. Donor daha yang tidak melalui screening bebas HIV
6. Mobilitas penduduk
7. Lemahnya pengetahuan masyarakat tentang HIV
8. Ibu hamil yang positif HIV dan ibu yang sedang menyusui

E. Tanda dan Gejala


1. Penurunan Berat badan dengan cepat lebih dari 10% tanpa ada alasan yang jelas dalam
1 bulan.
2. Demam hilang timbul dan flu yang tidak kunjung sembuh setelah diberikan obat
antipiretika.
3. Diare yang tak kunjung sembuh selama 1 bulan.
4. Cepat merasa lelah.
5. Pembesaran kelenjar di leher
6. Bintik-bintik berwarna keungu-unguan yang tidak biasa

17
F. Pathway

18
G. Komplikasi HIV/AID
1. Respiratory
Pneumonnia Pneumocystis carinii. Gejala napas yang pendek, sesak napas (dispne),
batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi oportunis, seperti
yang disebabkan oleh microbacterium avum intacelluler (MAI), sitomegalovarius
(CMV) dan legionella. M.tuberculosis yang berkaitan dengan HIV cenderung terjadi
diantara para pemakai obat bius IV dan kelompok lain dengan prevalensi infeksi
tuberculosis yang sebelumnya sudah tinggi. Penyakit TB cenderung terjadi secara dini
dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya mendahuluidiagnosis AIDS. Penyakit TB
yang terjadi kemudian dalam perjalan infeksi HIV ditandai dengan tidak terdapatnya
respon tes kulit tuberculinkarena sistem kekebalan yang sudah terganggu tidak mampu
lagi bereaksi terhadap anti gen TB.
2. Gastrointestinal
Penyakit AIDS mencakup hilangnya selera makan, mual, vomitus, kandidiasis oral serta
esofagus, dan diare kronis. Pada sebagian kasus gejala gastrointestinal dapat
berhubungan dengan efek langsung HIV pada sel-sel yang melapisi intestinum.
3. Kanker
Sarkoma kaposi yaitu kelainan malignitas yang berkaitan dengan HIV yang paling
sering ditemukan, merupakan penyakti yang melibatkan lapisan endotel pembuluh darah
dan limfe. Penyakit sarkoma kaposi ini secara khas ditemukan sebagai lesi kulit
dibagian ekstremitas bawah pada laki-laki berusia lanjutketurunan eropa timur.
19
4. Neurologik
Komplikasi neurologik meliputi funsi saraf sentral, perifer dan autonom. Gangguan
fungsi neurologik dapat terjadi akibat efek langsung infeksi HIV. Manifestasi dini
mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi
progresif, pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. Stadium lanjut mencakup
gangguan kognitif global, kelambatan respons verbal, gangguan efektif seperti
pandangan yang kosong, hiperrefleksi paraparesis spastic, halusinasi, neurologic,
inkontinesia, serangan kejang, mutisme dan kematian.

H. Penularan HIV/AID
Virus HIV menular melalui empat cara penularan yaitu : hubungan seksual, penularan
secara vertikal, melalui alat kesehatan terkontaminasi, serta melalui darah dan transplantasi
organ.
- Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS secara vaginal, anal, oral dengan
penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung: air mani, cairan vagina. Darah mengenai selaput lendir vagina, penis,
dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran
darah (Kasper dkk, 2015).
- Ibu terhadap bayi. Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero,
selama persalinan, atau melalui ASI (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2012; WHO, 2017).
- Transfusi Darah kemungkinan penularan melaluidarah dan produk darah yang
tercemarvirus HIV sangatlah besar, yaitu lebih besar 90%. Oleh karena itu, untuk
mencegah agar darah bebas dari HIV dan virus lainnya, calon pendonor darah dan
darah yang tersedia harus diperiksa terlebih dahulu.
- Berbagi jarum atau infus yang tercemar. Pemakaian ulang atau berbagi jarum dan
infuse sangat berisikomenularkan HIV. Resiko penularan ini dapat dikurangi dengan
menggunakan jarum atau infuse baru atau sekalai pakai. Selain itu, penularan juga
dapat dicegah dengan mensterilisasi jarum atau infuse sebelum digunakan.
- Kemungkinan penularan virus HIV melalui ciuman bibir sangatlah kecil. Akan tetapi
resiko ini akan meningkat tajam jika terdapat luka disekitar bibir atau didalam rongga
dalam mulut .
- Penularan melalui tindik dan tato sangat mungkin terjadi, terutama jika jarum yang
digunakan tercemar virus HIV, tidak steril, serta dipakai bersama-sama. Selain itu,

20
segala jenis pemotongan yang menggunakan benda tidak steril seperti pisau cukur atau
pisau juga dapat menularkan HIV.
- Virus HIV tidak dapat menular melalui udara, makanan, minuman, ataupun sentuhan.
Virus ini cepat mati jika berada diluar tubuh.

I. Pemeriksaan Labolatorium
 Serologis/deteksi antibodi: rapid tes, ELISA, Western Blot (untuk konfirmasi )
 Deteksi virus: RT- PCR, antigen p24
 Indikasi:
 Pasien secara klinis curiga AIDS
 Orang dengan risiko tinggi
 Pasien infeksi menular seksual
 Ibu hamil di antenatal care (PMTCT )
 Pasangan seks atau anak dari pasien positif HIV
 Perhatikan negatif palsu karena periode jendela
Pada risiko tinggi, tes perlu diulang 3 bulan kemudian, dan seterusnya tiap 3 bulan.
 Hati-hati positif palsu terutama pada pasien yang asimptomatik.
Pemeriksaan serologi harus dikonfirmasi dengan western blot, atau setidaknya harus
dengan strategi 3 test dengan metode berbeda yang melibatkan ELISA

BAB III
PEMBAHASAN ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS HIV

21
Seorang wanita berusia 42 tahun dengan AIDS datang ke RS dengan keluhan merasa lemas dan
mudah lelah. Klien mengatakan sudah beberapa minggu merasakan tubuhnya lemas dan kelelahan.
Klien juga mengatakan terasa mual dan nafsu makan berkurang dan adanya penurunan berat badan
karena pakaiannya kebesaran. Selain itu klien melaporkan keluhan demam yang tidak menentu,
tiba-tiba naik dan kemudian turun setelah beberapa saat. Klien juga mengeluhkan adanya diare dan
sering BAK. Klien terlalu lemas untuk bangkit dari tempat tidur dan dibawa ke RS oleh
keluarganya. Suami dan anak perempuannya telah meninggal karena AIDS. Sehari-hari klien
bekerja menjadi penjual baju bekas tapi sudah dalam setahun terakhir lebih banyak tinggal dirumah
karena penyakitnya. Klien saat ini hanya mengandalkan bantuan dari tetangga dan saudaranya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Klien membantah memiliki kebiasaan merokok atau
minum minuman beralkohol. pasien didiagnosa HIV positif 2 tahun yang lalu, dan mendapat terapi
ARV first line sejak 2 bulan yang lalu. AIDS (CD4 count terakhir: 150 cells/µL) adanya riwayat
kandidiasis oral.Hasil pemeriksaan fisik Pasien berbaring dengan tenang di Kasur, suhu 38.1˚C, HR
113x/menit, BP 90/55 mmHg, RR 18x/menit, BB 35 kg, TB 152 cm. Terdapat alopcecia,
konjungtiva anemis, dan glossitis. Kulit kering dan bersisik. Hasil pemeriksaan penunjang Hb 8,2
g/dl,Hematokrit 24,2%,Limposit 11,8%.

A. Pengkajian
Tanggal pengkajian : Selasa, 06 Oktober 2020
Jam : 09.05 WIB
1. Biodata
a. Identitas Klien
Nama : Ny. W
Umur : 42 Tahun
No.Rekam Medis : 499193
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : Tamat SMP
Alamat : Sumatra Barat
Tanggal masuk : 05 – 10 – 2020
Tanggal Pengkajian : 06 – 10 – 2020
Diagnosa Medis : AIDS

b. Identitas penanggung Jawab


22
Nama :Ny. M
Umur : 32 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pedagang
Hub.Keluarga : Adik Kandung

c. Riwayat Keperawatan
- Alasan Masuk Rumah Sakit
Klien Masuk Rumah Sakit Islam melalui IGD pada tanggal 5 Oktober 2020 dengan
keluhan merasa lemas dan lelah dengan demam yang tidak menentu. Klien
mengeluhkan adanya diare meskipun tidak sering dan sering BAK.

- Riwayat Kesehatan Sekarang


Saat dilakukan pengkajian tanggal 6 oktober 2020 klien mengatakan sudah
beberapa minggu merasa lemas dan mudah lelah, klien mengatakan mual dan
napsu makan berkurang dan adanya penurunan berat badan, makan klien selama di
rumah sakit hanya 2 sendok makan, mutah(-) Mual (+), nyeri pada perut
tekan(+).klien mengatakan dia tidak mampu untuk beraktivitas dan dibantu oleh
tetangga atau keluarganya, klien mengalami penurunan berat badan 5 kg , klien
tampak pucat BAB 4 kali dengan konsistensi cair sejak 1 hari saat pengkajian dan
BAK sering.selama dirawat di rumah sakit klien tidak tampak menghabiskan porsi
makannnya, hanya 2 sendok makan, klien tampak lemah dan letih, klien tampak
susah untuk beraktivitas secara mandiri, kline tampak kurus,mulut klien tampak
ada glositis dan kering, klien tampak tebaring.

- Riwayat Kesehatan dahulu


Keluarga klien mengatakan 2 tahun lalu didiagnosa HIV positif dan mendapat
terapi ART First line sejak 2 bulan yang lalu, dan adanya riwayat kandidiasis oral.
- Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga mengatakan suami dan anak perempuannya telah meninggal karena
AIDS dan keluarga mengatakan tidak ada mengalami riwayat penyakit yang sama
dengan yang diderita klien dan tidak memiliki penyakit keturunan.

d. Pemeriksaan Fisik

23
Kesadaran : Composmentis
GCS : 13 ( E4 M5 V4)
BB sehat : 35 Kg
BB Sakit : 30 Kg
TB : 152 cm
Tanda-tanda Vital :
Tekanan Darah : 90/55
Nadi : 113 x/Menit
Temperatur : 38,1 ˚C
Pernafasan : 18x /Menit

a. Kepala
Rambut klien tampak kotor, berminyak,tidak ada ketombe, rambut
beruban,rambut tampak kering dan mulai rontok dan bau tidak sedap
b. Mata
Mata terlihat simetris , konjungtiva anemis, pupil isokor,sklera ikterik, mata
tampak cekung , Reflek cahaya(+/+)
c. Telinga
Telinga tampak simetris kiri dan kanan, tidak ada nyeri tekan, pendengaran
baik,tidak ada pembesaran disekitar telinga, tidak ada odema dan tidak ada
pendarahan sekitar telinga.
d. Hidung
Lubang hidung simetris kiri dan kanan, tidak ada lecetan di daerah hidung,lubang
hidung tampak bersih dan tidak ada secret dan penciuman masih bagus dan
normal.
e. Mulut dan gigi
Rongga Mulut tampak kotor ,mukosa bibir kering, gigi tidak lengkap, lidah klien
kotor, tongsil tidak ada peradangan dan adanya glositis.
f. Leher
Simetris kiri dan kanan dan tidak ada pembesaran kelenje tiroid
g. Thorax
Paru-Paru
I : Terlihat simetris kiri dan kanan(Ekspansi dinding dada) frekuensi
pernafasan 18X/Menit

24
P : Traktil premitus melemah dibagian paru kanan dan kiri
P : Bunyi Sonor
A : Bunyi nafas Whezing
Jantung
I :Tidak terlihat pembengkakan, ikterus kordis tidak terlihat
P : Tidak ada nyeri tekan, iktus teraba
P : terdengar buyi redup
A : Irama Teratur (BJ 1 Lup, BJ2 Dup)
h. Abdomen
I : Tidak ada pembesaran
A : bising usus 18x/menit
P :Nyeri Tekan pada epigastrium
P : Bunyi Normal(tympani)
i. Punggung
I : Tidak ada lesi, dan lecet
P : Tidak ada pembengkakan
j. Ekstermitas
Atas : simetris kiri dan kanan, ada mengalami kelemahan,ada otot pada
lengan kanan klien
Bawah :Simetris kiri dan kanan mengalami kelemahan, ada otot pada kaki
kanan klien.

Kekuatan otot :

4444 4444

4444 4444

k. Integument
Warna kulit sao matang, tugor kulit kering bersisisk

e. Hasil Pemeriksaan Penunjang


a. Serologi
25
No Pemeriksaan Hasil
1. Anti HCV Non Reaktif
2. HbsAg 14,21 Positif
3. TPHA Non Reaktif
4. VDLR Negatif
5. Anti HbsAg Non Reaktif
b. Imunoserologi

No Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


1. Anti Toxoplasma igG Negatif Negatif IU/mL
2. Anti-CMV igG Positif 247,4 Negatif AU/ml

c. Hematologi

No Nama Pemeriksaan Hasil Rujukan


1. LED (Laju Endap darah ) 1 Jam 102 mm P<10mm
d. Labor Biologi

No Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


.
1. Hemoglobin 8,2 g/dl P: 13.0-16.0
W: 12.0-14.0
2. RBC 2.92 10^6/uL P:4.5-5.5
W:4.0-5.5
3. Hematokrit 24.2 % P:40.0-48.0
4. Mcv 82.0 fL
5. Mch 27.8 pG
6. Mchc 33.9 g/dl
7. Rdw-cd 38.5 fL
8. Rdw-cv 13.5 %
9. Wbc 6.85 10^3/uL 5.0-10.0
10. Eo 1.5 % 1-3
11. Basofil 0.0 % 0-3
12. Neutrofil 81.0 % 50-70
13. Lymph 11.8 % 20-40
14. Monosit 5.7 % 2-8
e. CT-Scan
Hasil CT-Scan dalam batas normal dan tidak ditemukan kelainan
f. USG
Dari hasil pemeriksaan USG menunjukkan Hematomegali Non Spesifik

f. Riwayat Alergi
Klien mengatakan tidak ada mengalami alergi makanan atau obat-obatan.
26
g. Analisa Data

27
No
Data Problem Etiologi
.
1. Ds: Ketidak Mual dan tidak nafsu
- Klien mengtakan badan seimbangan nutrisi makan

terasa letih dan lemas kurang dari


- Klien mengatakan tidak ada kebutuhan tubuh
nafsu makan dan mual
Do:
- Klien tampak letih dan
lemas
- Berat badan klien turun 5 kg
dan saat sehat 35 kg dan saat
sakit 30 kg
- Klien tampak kurus
- Mulut klien tampak kering
dan adanya glositis
- Hb 8.2
- Tekanan Darah: 90/55
- Nadi : 113 x/Menit
- Temperatur : 38,1 ˚C
- Pernafasan : 18x /Menit
- TB : 152 cm
- Konjungtiva Anemis

A TB : 152 cm
Antropometri BB Sebelum Sakit :
35 kg
BB Setelah Sakit :
30 kg
LILA : 22 cm
IMT : 18,3
BB Ideal : kg
B Hb: 8,2 g/dL
Biokimia Albumin: 43u/l
mg/dL
ALT: 43 u/l %
AST: 150 u/l mmol/l
Glukosa : 110/Mg/dl
C Rambut rontok,
Clinic Sign turgor kurang
elastis, mukosa 28
mulut kering,
konjungtiva anemis,
h. Diagnose Keperawatan
1. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual dah tidak nafsu
makan
2. Deficit Volume cairan b.d Kehilangan cairan Aktif
3. Resiko perluasan Infeksi b.d Imuno Supresi

i. Intervensi keperawatan

No Diagosa Intervensi Rasional

1 Ketidakseimbangan nutrisi : 1. Kaji status 1. Membantu


kurang dari kebutuhan tubu nutrisi klien mengkaji
berhubungan dengan kesulitan meliputi ABCD keadaan klien
menelan, kehilangan nafsu dan tanda tanda
makan, lesi oral atau esofagus. vital. 2. Memantau
Tujuan : setelah dilakukan tidak 2. Identifikasi perubahan
keperawatan selama ....x24 jam, perubahan berat berat badan
badan terakhir
29
masalah dapat teratasi 3. Mengukur
Kriteria Hasil : 3. Monitor intake tingkat nutrisi
- Adanya peningkatan dan output yang masuk
berat badan sesuai makanan 4. Membantu
dengan tujuan klien makan
- Berat badan ideal 4. Bantu klien
sesuai dengan tinggi makan jika
badan tidak mampu 5. Meningkatkan

- Tidak ada tanda-tanda nafsu makan

mal nutrisi 5. Anjurkan klien


untuk makan
- Klien tidak lemah
sedikit tapi
- Konjungtiva tidak
sering
anemis

- Nafsu makan 6. Berikan Diet sesuai


meningkat perawatan oral dengan kebutuhan
setiap hari klien

Kolaborasi:
Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk diet yang
tepat bagi klien
2. Setelah dilakukan asuhan Manajemen
keperawatan selama … x 24 jam Cairan
diharapkan ketidakseimbangan
1) Monitor status
cairan tidak terjadi dengan kriteria
hidrasi
hasil :
(frekuensi
a. Mempertahankan urine output
nadi, kekuatan
sesuai dengan usia dan berat
nadi, akral,
badan, BJ urine normal dan
CRT, turgor
Hematokrit normal
kulit, mukosa
b. Tekanan darah, nadi, suhu
bibir, tekanan
tubuh dalam batas normal
darah)
c. Tidak ada tanda-tanda

30
dehidrasi seperti elastisitas
turgor kulit baik, membran 2) Monitor hasil
mukosa lembab dan tidak ada pemeriksaan
rasa haus yang berlebihan laboratorium
(hematocrit,
Na, K, Cl,
berat jenis
urin, BUN)
3) Berikan
asupan cairan
sesuai
kebutuhan
4) Berikan cairan
intravena, jika
perlu
5) kolaborasikan
pemberian
cairan infus
Nacl 0,9%
melalui
intravena

3. Setelah dilakukan asuhan Pencegahan


keperawatan selama … x 24 jam Infeksi
diharapkan infeksi tidak terjadi
1) Monitor
dengan kriteria hasil :
ada/tidaknya
a. Klien bebas dari tanda dan atau awitan
gejala infeksi demam,
b. Mendeskripsikan proses menggigil,
penularan penyakit, factor diaforesis,

31
yang mempengaruhi penularan perubahan
serta penatalaksanaannya tingkat
c. Menunjukkan kemampuan kesadaran
untuk mencegah timbulnya 2) Batasi jumlah
infeksi pengunjung
d. Jumlah leukosit dalam batas 3) Berikan
normal lingkungan
e. Menunjukkan perilaku hidup bersih dengan
sehat ventilasi yang
baik
4) Pertahankan
tindakan
kewaspadaan
steril untuk
prosedur
invasif (mis.,
pemasangan
slang IV dan
perawatan
rutin, kateter
urin,
trakeostomi,
pengisapan
pulmunal, dll).
Beri perawatan
di tempat
terpasangnya
alat dan
tingkatkan
pelepasan alat
sejak dini
5) Jelaskan tanda
dan gejala
infeksi

32
6) Kolaborasikan
pemberian
antimikrobal
yang tepat:
antibiotik
seperti
(penisilin,
cefotaxime,
vankomisim);
antivirus (mis.,
asiklovir atau
gansiklovir);
antijamur
seperti
flukonazol,
ketonazol dan
mikonazol

Kolaborasikan
pemberian nutrisi
seimbang,
termasuk vitamin
dan mineral renik,
menggunakan rute
pemberian makan
yang tepat

33
BAB IV

JURNAL PENELITIAN KASUS

Kualitas Hidup Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) Ditinjau dari
Kepatuhan Minum Obat Antiretroviral (ARV)
Triani Banna 1*), Inggerid A. Manoppo2

1, 2
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Papua Sorong
1 2
e-mail: 3anibanna@gmail.com *); inggridagnes87@gmail.com

ARTICLE INFO ABSTRACT


Jumlah penderita HIV dan AIDS makin meningkat dari tahun ke
tahun. Penyakit ini memberi dampak buruk bagi penderitanya,
baik secara fisik maupun psikososial, dan yang terburuk adalah
Keyword: kualitas hidup yang rendah. Kepatuhan terhadap terapi anti
Kualitas hidup retroviral (ARV) dianggap sebagai faktor yang yang mungkin
Antiretroviral berhubungan dengan kualitas hidup pasien HIV dan AIDS.
HIV/AIDS Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan
ODHA kepatuhan minum obat ARV dengan kualitas hid p pasien HIV
dan AIDS. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan rancangan cross sectional. Populasi penelitian
*) corresponding author adalah pasien HIV dan AIDS yang aktif mengkonsumsi obat ARV
di Kota Sorong. Sampel penelitian sebanyak 51 orang yang
diambil dengan teknik accidental sampling sesuai kriteria inklusi
dan eksklusi. Penelitian dilakukan pada April 2018. Hasil uji
spearman menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan dengan
arah positif antara kepatuhan minum obat ARV dengan kualitas
34
hidup ODHA, dan dapat berkomitmen dalam menjalankan program yang sudah ada,
sangat kuat (p = memberikan edukasi secara kontinu tentang pentingnya
0,000 ; dengan nilai r menjalankan ARV, serta lebih dapat merangkul ODHA melalui
= 0,764). Petugas kegiatan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).
kesehatan diharapkan
This is an open access article under the CC–BY-SA license.

PENDAHULUAN
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan virus Human Immunodeficiency
Virus (HIV) yang melemahkan sistem imunitas, membuat tubuh tidak mampu untuk sembuh
dari penyakit oportunistik dan mengarah ke kematian (Niniek, 2011). Kasus ini telah
mengakibatkan kematian 25 juta orang serta menginfeksi lebih dari 40 juta orang lainnya.

Website: http://wellness.journalpress.id/index.php/wellness/
Email: wellness.buletin@gmail.com

35
Wellness and Healthy Magazine, 1(1), Februari 2019, – 2
Triani Banna, Inggerid A. Manoppo

Berdasarkan laporan global, pada tahun 2016 jumlah penderita HIV mencapai 36,7 juta orang
yang terdiri dari 34,5 juta orang dewasa (laki-laki 48% dan wanita 51%) dan anak-anak yang
kurang dari 15 tahun sebanyak 5%. Penyebaran HIV dan AIDS diseluruh dunia termasuk
Indonesia berkembang sangat pesat. Pada tahun 2017, jumlah penderita HIV mencapai 36,9
juta orang yang terdiri dari 35,1 juta orang dewasa dan 1,8 juta adalah anak berusia kurang dari
15 tahun.Data dari WHO menunjukkan bahwa tahun 2017 ODHA yang menerima terapi ARV
berjumlah 21,7 juta orang (Global Report UNAIDS, 2016).
Data dari Global Report UNAIDS melaporkan bahwa jumlah kumulatif orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA) di Indonesia dari tahun 1987 sampai 2016 sebanyak 319.048 kasus. Jumlah
tersebut terdiri dari penderita HIV sebanyak 232.323 kasus dan AIDS sebanyak 86.725 kasus
yang tersebar di 34 provinsi dengan 507 kabupaten/kota di Indonesia. Jumlah infeksi HIV
tertinggi yaitu DKI Jakarta (45.355), Jawa Timur (31.429), Papua (24.725), Jawa Barat
(23.145), dan Jawa Tengah (16.867), (Depkes, 2016).
Provinsi Papua Barat menduduki urutan ke dua belas dari 34 Propinsi di Indonesia dengan
presentase kumulatif 20% (Kemenkes, 2014). Sedangkan data jumlah kasus HIV dan AIDS
Kota Sorong sejak tahun 2004 sampai Juni 2017 sebanyak 1.697 orang kasus HIV dan 752
kasus AIDS, dan data kumulatif orang yang meniggal dunia akibat HIV dan AIDS sebanyak
310 orang (Data Dinas Kesehatan Kota Sorong, 2017).
Jumlah kasus yang terus meningkat setiap tahunnya membuat perlu diupayakan peningkatan
kapasitas pelayanan komprehensif dan berkesinambungan (LKB) terintegrasi yang
dikembangkan menggunakan 6 pilar di tingkat Kabupaten/Kota (Kemenkes, 2012). LKB juga
memberikan dukungan baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial ODHA selama
perawatan dan pengobatan antiretroviral (ARV) untuk mengurangi atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya., baik masalah fisik, psikologis, dan sosial. Masalah-masalah
ini sering kali tidak dihadapi oleh ODHA saja namun juga oleh keluarga dan kerabat dekatnya
sehingga berpengaruh terhadap kualitas hidup ODHA (Kemenkes RI, 2012).
Ketersediaan obat ARV dan konseling kepatuhan merupakan masalah esensial dalam LKB.
Bagi ODHA, terapi ARV bukan hanya merupakan komponen utama dalam layanan medis,
namun merupakan harapan untuk tetap hidup secara normal. Terapi ARV membantu untuk
memulihkan imunitas sehingga kuat untuk mengurangi kemungkinan IO, meningkatkan
kualitas hidup, serta mengurangi kesakitan dan kematian terkait HIV (Kemenkes, 2012).
Data laporan bulanan perawatan HIV dan antiretroviral (LBPHA) Puskesmas Remu Kota
Sorong data kumulatif dari tahun 2007 sampai bulan Januari Tahun 2018, pasien yang HIV
positif yang masuk layanan voluntery conseling testing (VCT) sebanyak 293 orang, kemudian
memenuhi syarat medis untuk ARV sebanyak 115 orang, sedangkan yang sudah memulai
pengobatan sebanyak 49 orang, dari 49 orang yang pernah memulai diantaranya 23 orang yang
lolos follow up atau menghentikan pengobatan ARV dan 26 orang lainnya masih aktif dengan
kepatuhan yang bervariasi. Data laporan bulanan perawatan HIV dan antiretroviral (LBPHA)
Puskesmas Malawei Kota Sorong data kumulatif dari tahun 2008 sampai bulan Januari Tahun
2018, pasien yang HIV positif yang masuk layanan voluntery conseling testing (VCT)
sebanyak 291 orang, kemudian memenuhi syarat medis untuk ARV sebanyak 144 orang,
sedangkan yang sudah memulai pengobatan sebanyak 127 orang, dari 127 orang yang pernah
memulai diantaranya 72 orang yang lolos follow up atau menghentikan pengobatan ARV dan
55 orang lainnya masih aktif dengan kepatuhan yang bervariasi.
Sampai saat ini masalah yang sering terjadi di layanan VCT pada beberapa puskesmas di Kota
Sorong adalah ketidakpatuhan minum obat ARV secara teratur dan tepat dosis. Hal ini dapat
mempercepat progresivitas perjalanan penyakit secara bermakna, sehingga dapat terjadi

Kualitas Hidup Orang Dengan HIV DAN AIDS (ODHA) Ditinjau dari Kepatuhan Minum Obat Antiretroviral (ARV)
penurunan berat badan diakibatkan oleh IO, yang dideteksi melalui pemantauan status gizi
ODHA. Pengukuran kepatuhan ARV dan status gizi dapat menjadi perhatian khusus bagi medis
dan para medis dalam keberhasilan penatalaksanaan terapi dan diet yang bisa mempengaruhi
kualitas hidup ODHA. HAsil pemantauan yang didapatkan melalui LBPHA dan ikthisar
perawatan follow up terhadap 104 ODHA menunjukkan kepatuhan dan berat badan pasien
yang berbeda-beda.

METODE
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional. Penelitian dilakukan
di layanan VCT Puskesmas Remu dan Puskesmas malawei Kota Sorong pada bulan April
2018. Populasi penelitian adalah penderita positif HIV dan AIDS yang menjalani pengobatan
ARV, dengan sampel berjumlah 51 orang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Sampel
diambil secara probablity sampling dengan menggunakan teknik simple random sampling,
dengan memeperhatikan dan menerapkan prinsip etika penelitian (Polit & Beck, 2007)
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah ikhtisar keperawatan, terdiri dari 2 lembar dengan 9 domain. Domain terdiri dari data
identitas pasien, riwayat pribadi, riwayat keluarga, riwayat terapi anti retroviral, pemeriksaan
klinis dan laboratorium, pengobatan Tb selama perawatan HIV, akhir follow up, dan terakhir
follow up perawatan pasien (Kemenkes, 2012). Pengukuran kualitas hidup menggunakan
WHOQOL HIV BREF bahasa Indonesia. Kuesioner terdiri dari 31 item pertanyaan yang
meliputi 2 pertanyaan tentang kualitas hidup dan kesehatan secara umum dan sisanya
mencakup 7 domain yaitu fisik, psikologis, kemandirian, sosial, lingkungan, spiritual dan
kesehatan umum.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian yang menunjukkan karakteristik responden dan gambaran variabel penelitian
dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1
Karakteristik Responden
Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
Umur
18 – 25 15 29.4
26 - 55 36 70.6
Jenis Kelamin
Laki-laki 18 35.3
Perempuan 33 64.7
Status Pernikahan
Belum menikah 16 31.4
Menikah 25 49
Cerai 10 19.6
Pendidikan
Tidak sekolah 2 4
SD 6 11.7
SMP 10 19.6
SMA 29 56.9
Perguruan Tinggi 4 7.8
Kepatuhan Minum Obat
Patuh 39 76.5
Cukup patuh 6 11.8
Tidak patuh 6 11.8
Kualitas Hidup
Kurang 4 7.8
Cukup 6 11.8
Baik 41 80.4

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa responden pada penelitian ini lebih banyak
yang berusia 26 – 55 tahun (70.6%), berjenis kelamin perempuan (70.6%), menikah (49%),
berpendidikan SMA (56.9%). Sedangkan bila dilihat berdasarkan variabel penelitian dapat
diketahui bahwa responden yang patuh minum obat ARV lebih banyak pada kriteria patuh
(76.5%), dan didominasi oleh responden dengan kualitas hidup baik (80.4%). Hubungan antar
variabel disajikan pada tabel 2 berikut:
Tabel 2
Hubungan Kepatuhan Minum obat ARV dengan Kualitas Hidup Pasien HIV dan AIDS
Kualitas Hidup Total
Kepatuhan Minum Obat
Kurang Cukup Baik
ARV
n % n % n % n %
Patuh 0 0 1 2 38 74,5 39 76,5
Kurang patuh 1 2 4 7,8 1 2 6 11,8
Tidak patuh 3 5,9 1 2 2 3,9 6 11,8
Total 4 7,8 6 11,8 41 80,4 51 100
r = 0,764 p = 0,001

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden terbanyak pada kriteria patuh dengan kualitas hidup
baik sebanyak 38 responden (74,5%), responden patuh dengan kualitas hidup cukup sebanyak 1
responden (2%), dan tidak ada (0%) responden yang patuh dengan kualitas hidup kurang.
Untuk kriteria kurang patuh responden terbanyak memiliki kriteria kurang patuh dengan
kualitas hidup cukup sebanyak 4 responden (7,8%) dibandingkan dengan responden kurang
patuh dengan kualitas hidup baik sebanyak 1 responden (2%), dan responden kurang patuh
dengan kualitas hidup kurang sebanyak 1 responden (2%). Kemudian untuk kriteria tidak patuh
dengan resoponden terbanyak memiliki criteria tidak patuh dengan kualitas hidup kurang
sebanyak 3 responden (5,9%) dibandingkan dengan responden tidak patuh dengan kualitas
hidup baik sebanyak 2 responden (3,9%), dan responden tidak patuh dengan kualitas hidup
cukup sebanyak 1 responden (2%).
Hasil uji statistik dengan menggunakan spearman rank diperoleh nilai p = 0,000 < α = 0,1
dengan demikian ada hubungan signifikan antara variabel kepatuhan minum obat ARV dengan
kualitas hidup ODHA di Puskesmas Remu dan Puskesmas Malawei Kota Sorong. Nilai korelasi
spearman menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi hubungan sangat
kuat dan searah (r = 0,76I) (Riadi, 2014).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang, et al., (2014) bahwa ada
hubungan yang signifikan dengan kepatuhan ART dalam bidang kesehatan fisik (p=0,005) dan
pernyataannya yang menyatakan kepatuhan ARV adalah faktor positif dalam kualitas hidup
ODHA, khususnya dalam bidang kesehatan fisik karena kepatuhan ARV mempengaruhi
imunitas, mengendalikan viral load dan menunda progresi penyakit. Penelitian lain dari
Syarifuddin (2015) juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
kepatuhan menjalankan terapi ARV dengan kualitas hidup ODHA. Ketidakpatuhan terhadap
terapi akan memberikan waktu kepada virus bereplikasi sehingga menyebabkan penurunan
CD4 dan akan terjadi resisten dalam tubuh ODHA sehingga kualitas hidup menjadi buruk pula.
Menurut Djoerban (2010), keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien
yang membaik setelah terapi, salah satunya dengan deteksi infeksi oppurtunistik tidak terjadi.
Ukuran jumlah sel CD4 menjadi prediktor terkuat terjadinya komplikasi HIV, namun jumlah
CD4 di bawah 100 sel/mm3 menunjukkan resiko signifikan untuk terjadinya HIV yang
progresif, selain itu juga uji viral load merupakan cara yang informatif dan sensitif untuk
mengidentifikasikan keberhasilan terapi.
Menurut Kaplan (2010), kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis
dari dokter yang mengobatinya, semakin tinggi tingkat kepatuhan maka dimungkinkan angka
CD4 akan meningkat dan viral load akan menjadi baik, hal ini dapat meningkatkan derajat
kesehatan dan kualitas hidup ODHA.
Pada tabel 2 dapat dilihat juga bahwa ada responden yang tidak patuh dalam menjalani terapi
dan kualitas hidupnya kurang (5,9%). Hal ini dapat terjadi karena keterlambatan
pengambilan obat sesuai tanggal kembali pada kartu berobat. Kejadian seperti ini dapat
dikarenakan kondisi fisik pasien yang lemah. Gambaran tersebut dapat terlihat jika tenaga
kesehatan menganalisa lebih dalam pada domain-domain kualitas hidup. Penyebab yang juga
paling sering yang menjadi kendala adalah tempat tinggal yang jauh dari tempat layanan. Ini
mengakibatkan pasien mengambil obat secara rutin walaupun tidak sesuai jadwal yang sudah
ditentukan.
Hubungan kepatuhan dengan kualitas hidup dapat juga dilihat pada tabel 2 dijelaskan bahwa
ada 38 responden (37,5%) dengan kriteria patuh dengan kualitas hidup baik, ini
membuktikan bahwa semakin tinggi kepatuhan menjalankan terapi ARV maka kualitas hidup
ODHA akan semakin baik, semakin tinggi kepatuhan maka semakin tinggi pula nilai CD4
dan nilai viral load akan semakin membaik. CD4 dan viral load sangat disarankan dalam
melengkapi analisis.

SIMPULAN DAN SARAN


Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan antara kepatuhan minum obat ARV
dengan kualitas hidup pasien HIV dan AIDS. Makin patuh seorang pasien akan baik baik
pula kualitas hidupnya. Disarankan kepada petugas kesehatan untuk terus memberikan
dukungan pada pasien, serta berkomitmen dalam menjalankan program yang sudah ada,
memberikan edukasi secara kontinu tentang pentingnya menjalankan ARV, serta lebih dapat
merangkul ODHA melalui kegiatan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen Garna & dkk. Edisi ke-11 cetakan ke 2 2001, Imunnologi Dasar, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Nur, Miftachun. 2019, Get to know more about HIV/AID, Jakarta

Djoerban Z, Djauzi S. 2009. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.

Editor: SUdoyo AW, SetyohadiB, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Puat Penerbitan

IPD FAKUI.

Nasronudin. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang. Surabaya:

Airlangga.

Rampengan dan Laurentz. 1995. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua. EGC:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai