Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah ( yang
menonjol / cembung ) yang ditandai dengan kemerahan pada kulit dan
telangiektasis disertai episode peradangan yang memunculkan erupsi, papul,
pustul, dan edema.1
Rosasea adalah penyakit yang sangat umum. Lebih banyak ditemukan
pada orang yang berkulit cerah dibandingkan yang berkulit gelap, walaupun hal
ini sering terjadi pada semua jenis kulit termasuk pada orang kulit hitam dan
mungkin saja lebih terlihat pada mereka sebagai kulit yang pucat. 2 Di negara barat
lebih sering pada mereka yang bertaraf sosio ekonomi rendah. Rosasea sering
diderita pada umur 30 40an, namun dapat pula pada remaja dan maupun orang
tua. Umumnya wanita lebih sering terkena dari pria.1
Etiologi rosasea tak diketahui. Ada berbagai hipotesis faktor penyebab; 1.
Makanan, 2. Psikis, 3. Obat obatan, 4. Infeksi, 5. Musim, 6. Immunologi, 7.
Lainnya.1

Makanan : alkohol merupakan penyebab rosasea yang


diutarakan sejak zaman Shakespare dan pernah ditulis
dalam salah satu bukunya. Konstipasi, diare, penyakit
gastrointestinal dan bahkan penyakit kelenjar empedu
telah pula dianggap sebagai faktor penyebab.

Psikis

Obat : adanya peningkatan berdanin yang dilepas oleh


adrenalin

pada

saat

kemerahan

kulit

flushing

menimbulkan dugaan adanya peran berbagai obat, baik


sebagai penyebab maupun yang dapat digunakan
sebagai terapi rosasea.

Infeksi : Demodex folliculorum dahulu dianggap


berperan pada etiologi rosasea, namun akhir akhir ini
mulai ditinggalkan.

Musim : peran musim panas atau musim dingin


termasuk di dalamnya peran sinar ultraviolet matahari
yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah
1

kulit penyebab eritema persisten masih terus diselidiki


karena belum jelas dan bertentangan hasilnya.

Imunologis : dari lapisan dermo epidermal penderita


rosasea ditemukan

adanya

immunoglobulin

oleh

beberapa peneliti, sedang di kolagen kapiler ditemukan


antibodi antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga
ada dugaan faktor imunologi pada rosasea

Lainnya : defisiensi vitamin, hormonal, dan sebore


pernah disangka berperan pada etiologi rosasea namun
tidak dapat dibuktikan

Patogenesis rosasea disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang


persisten, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan respon abnormal
vasomotor terhadap berbagai macam stimulasi. Estimasi berat penyakit ini pada
dasarnya dilihat dari evaluasi gejala klinik. Perkembangan tehnik pencitraan
diikuti oleh visualisasi pembuluh darah yang lebih baik dapat digunakan sebagai
pendekatan berat tidaknya penyakit, perjalanan penyakit, dan respon terhadap
pengobatan. Dermoskopi meningkatkan pentingnya taksiran terhadap lesi kulit
dalam ilmu penyakit kulit secara umum, dimana dermoskopi meningkatkan
gambaran visualisasi pembuluh darah dan variasi warna yang sulit dinilai dari
mata telanjang.3

BAB II
DIAGNOSIS
2

A. Klasifikasi
National Rosacea Society ( NRS ) membagi rosasea menjadi beberapa
subtipe yang terdiri dari eritematotelangiektasis, papulopustular, fimatosa,
subtipe okular. Hal ini mewakili tanda dan gejala rosacea dari kelompok
yang paling sering ditemukan. Subtipe serupa dengan klasifikasi tingkatan
pertama

rosasea

yang

Eritematotelangiektasis

dirancang

oleh

Plewig

and

Kligman.

mirip dengan Plewig Kligman

stage I,

papulopustular dengan Plewig Kligman stage II, dan phymatous dengan


Plewig Kligman stage III. Sebaliknya, klasifikasi NRS menyatakan
progresivitas dari rosasea melalui tingkatan ( dari subtipe yang satu ke yang
lain ) tidak terjadi, tapi subtipe dapat terjadi pada waktu yang bersamaan
pada individu yang sama. Sistem pengelompokan sementara juga tergabung
dalam NRS untuk mensandarisasi gejala klinis rosasea. Untuk menilai
tingkat keparahan rosasea harus dipertimbangkan untuk menambahkan
faktor psikologi, sosial, dampak penyakit ini terhadap pekerjaan, dan respon
individu terhadap pengobatan.4
B. Gejala Klinis4-6

Rosasea eritematotelangiektasis termasuk individu individu yang


memliki kecenderungan kulitnya untuk menjadi merah, disertai
dengan latar belakang eritem wajah yang persisten, dan biasanya
telangiektasis. Pasien tersebut biasanya memiliki fototipe kulit I
atau II. Definisi klinis dari rosasea eritematotelangiektasis dapat
membuktikan keraguan, karena tumpang tindih dengan temuan
kulit dari kerusakan aktinik kronis pada orang berkulit putih
( dermatoheliosis ). Pasien dengan dermatoheliosis dapat juga
memiliki kulit wajah yang termolabil, dan mungkin mengalami
kemerahan, terutama dengan perubahan suhu lingkungan. Selain
itu, individu yang memiliki keluhan kulit merah sebagai satu
satunya gejala tidak dapat dikatakan memiliki pra rosasea,
melainkan harus diteliti dulu penyebab kemerahannya.

Gambar 1. Rosasea eritematotelangiektasis, eritema sentrofasial yang difus


disertai dengan multipel terlangiektasis6

Gambar 2. Rosasea eritematotelangiektasis, eritema persisten pada medial dan


lateral pipi, tidak ada telangiektasis dapat diindikasikan penyakit ringan (grade 1)5

Rosasea

papulopustular

ditandai

dengan

beberapa

erupsi

sentrofacial, kecil (< 3 mm), berbentuk konveks, papul eritem,


beberapa diantaranya memiliki seropustul. Lesi ini dapat muncul
secara tunggal atau kumpulan. Pasien mungkin mengeluh sedikit
nyeri atau gatal pada lesi, tetapi secara umum tekanan sosial karena
adanya erupsi jauh melebihi gejala fisik. Tiap satu lesi dari rosasea
akan mereda sekitar 2 minggu kemudian menjadi jerawat yang
eritem, yang secara bertahap memudar, dan tidak meninggalkan
bekas atau skar. Beberapa lesi memudar, dan yang lainnya muncul.
Lingkaran eritem dapat mengelilingi lesi inflamasi yang lebih besar
dan pembuluh darah kecil yang telangiektasis dapat terlihat dalam
lingkaran ini. Pada kulit yang sudah parah, biasanya terlihat sedikit
skuama dan krusta. Hal ini dapat dibedakan dengan dermatitis
seboroik, yang dapat menyertai papulopustular rosasea yaitu

ditandai dengan berminyak, skuama kekuningan, dan terdapat di


lipatan wajah atau alis

Gambar 3. Rosasea papulopustular, lesi inflamasi multipel (papul dan pustul) 6

Gambar 4. Rosasea papulopustular sedang ke berat, ada telangiektasis, eritem,


papul, dan pustul. Selain itu di permukaan kulit juga terdapat skuama, dan krusta
yang merupakan tanda penyakit yang berat5

Rosasea granulomatosa, granuloma biasanya diamati pada rosasea,


dan tidak terbatas pada daerah centrofacial. Lesi biasanya keras,
merah-coklat dengan papula kuning yang ditemukan dalam
distribusi simetris.7

Gambar 5. Rosasea granulomatosa7

Rosasea fimatosa, bentuk terbanyak dari rosasea ini adalah


rinofima yang menggambarkan hipetrofi kelenjar sebasea di
hidung. Rinofima biasanya terlihat pada pasien dengan ciri lain
dari rosasea, tetapi dapat juga terjadi pada pasien dengan akne
vulgaris, kadang kadang itu karena kerusakan aktinik kronik atau
mungkin secara de novo. Secara spesifik, rinofima tidak mewakili
tahap akhir rosasea karena banyak pasien hanya memiliki penyakit
yang ringan atau tidak ada rosasea sebelumnya. Pasien laki laki
yang dominan terkena rinofima, dan telangiektasis pada pembuluh
darah hidung bagian distal merupakan faktor predisposisi dari
perkembangan selanjutnya dari perubahan hipertrofi rinofima.
Tanda klinis awal dari rinofima adalah munculnya dilatasi pori
pori (folikel patulosa) pada bagian distal hidung. Pada kasus berat
rinofima, ada hipertrofi jaringan lunak dengan distorsi hidung,
gemuk, pertumbuhan nodular bertambah besar.

Gambar 6. Rinofima, pembuluh darah telangiektasis yang berbelok belok


pada aspek distal hidung ikut berdistribusi memberikan tampilan hiperemis,
heperemis ini merupakan factor predisposisi yang kemudian menjadi hipertrofi
pada rinofima.5

Gambar 7. Rinofima, folikel yang terbuka dan menonjol atau folikel pustulosa
sebagai bukti awal dari pembengkakan kelenjar rinofima5

Gambar 8. Rinofima, distorsi jaringan hidung karena hipertrofi nodular kelenjar


sebasea5

fima
Rinofima

Gambaran Klinis
Terlihat jelas adanya dilatasi folikel
patulosa pada ujung distal hidung
Ketika ditandai, dapat melemahkan
diagnosis deformitas pada hidung
Jarang terjadi, yang terlibat biasanya pusat

Gnatofima

dagu
Dapat menimbulkan pembengkakan yang
Otofima

asimetris
Biasanya mengeinai setengah dari bagian

Mentofima

bawah helix dan lobus telinga


Chusion like, kesan swelling pada dahi

Blefarofima

bagian tengah
Kelopak mata bengkak
Biasanya dilihat sebagai komponen dari
rosasea edematosa tetapi dapat disertai
dengan papulopustular yang berat atau
rosasea okular
Tabel 1. Tipe dari rosasea fimatosa5

Rosasea okular dapat terjadi tanpa disertai


perubahan kulit (dalam kasus ini sulit untuk
membuat diagnosis dengan pasti) atau dapat
dilihat pada pasien dengan salah satu subtipe
7

rosasea.

Mereka

dengan

rosasea

eritematotelangiektasis dan papulopustular


lebih rentan terkena radang pada mata,
sampai 50% pasien terkena. Gejala yang
muncul biasanya dengan keluhan yang tidak
spesifik seperti gatal, mata berair, mata
kering, sensai berpasir, pengerasan kulit
kelopak mata, dan ketidakmampuan untuk
memakai lensa kontak, serta sering ada bintil
di

mata.

Namun,

pasien

tidak

akan

memberitahu keluhan ini kecuali ditanyakan.


Tanda klinis dari rosasea okular beragam dan
kurang spesifik. Mungkin ada ketombe
berbentuk kerucut di basal silia atau ketombe
skala ringan pada pada margin kelopak mata.
Penyakit

yang

bermanifestasi
terkadang

lebih

aktif

sebagai

kelopak

biasanya

blefaritis,

mata

bengkak

dan
dan

penarikan konjungtiva, yang selanjutnya


membuat mata merah. Kista biasanya timbul
dari kelenjar meibom (chalazia) dan berada
di

permukaan

pembengkakan

kulit
yang

tarsal
keras,

dengan
sementara

hordeolum mirip, tetapi pembengkakannya


lunak dan pasien lebih sering menyebut
sebagai bintil. Penyakit okular yang berat
( keratitis, neovaskularisasi kornea, uveitis,
skleritis, dan iritis ) untungnya jarang terlihat
pada pasien dengan rosasea.

Gambar 9. Rosasea okular berat, disertai blefaritis, konjungtivitis, dan keratitis4

Gambar 10. Rosasea okular, terlihat ketombe berbentuk kerucut terlihat di dasar
bulumata pada kelopak mata bawah, ada juga blefaritis pada kelopak mata
bawah dan penarikan konjungtiva.5

Gambar 11. Rosasea okular, ditandai dengan penarikan konjungtiva dengan


mata merah, disertai ektropion5

A. Pemeriksaan penunjang7

Histopatologi

Rosasea eritomatotelangiektasis, kapiler dan


venul terlihat membesar dan melebar pada
dermis bagian atas biasanya memiliki bentuk
yang aneh, tungau Demodex biasanya ada, udem
9

pada bagian atas dermis, berbagai derajat


inflamasi limfositik, spongiosis (secara umum,
tidak spesifik untuk rosasea), dan tidak terdapat
perubahan pada dermio epidermal junction.

Gambar 12. Biopsi rosasea eritematotelangiektasis, menunjukkan dilatasi pembuluh


superfisial dengan sel-sel endotel yang menonjol dan edema dari dermis atas. Yang
juga menunjukkan spongiosis dan limfosit eksositosis dalam epidermis.

Gambar 13. Berbentuk aneh, venul dan kapiler membesar pada biopsi rosasea
vaskuler

Gambar 14. Kasus rosasea eritematotelangiektasis (ETR) dengan Demodex.

Rosasea

papulopustular,

inflamasi

yang

mencolok pada bagian superficial dan dalam


10

disertai berbagai macam infiltrat dan eosinofil


ditambah sel plasma, tungau Demodex biasanya
ada,

secara

umum

terdapat

spongiosis,

eksositosis, dan folikulitis akut, solar elastosis,


tidak

ada

unsur

penahan

seperti

kista

infundibular pada kulit.

Gambar 15. Biops rosasea papulopustular (PPR) dengan kumpulan besar neutrofil di
samping folikel di sebelah kiri, edema superfisial, radang limfositik padat dan
pembuluh darah melebar

Gambar 16. Kumpulan neutrofil di superfisial, puing-puing eosinofilik dan


infundibulum yang pecah pada gambaran biopsi rosasea pustulosa.

11

Gambar 17. Biopsi dengan pustul yang menonjol

Gambar 18. Pustule dengan kumpulan neutrofil dan Demodex terletak di luar folikel

Rosasea granulomatosa, granuloma besar di


lapisan superfisial dan tengah dermis disertai
ruang kosong ditengah dan bisa juga menjadi
pagar, elastolitik, atau menyebar, terdapat tungau
Demodex dan kadang kadang sisa sisa
tungau, dan tidak ada kaseasi.

Gambar 19. Rosasea granulomatosa

Rinofima ditandai dengan peningkatan volume


kelenjar sebasea dan fibrosis. Lobulus sebasea
yang sangat besar, seperti hiperplasia sebasea
senilis,

tetapi

struktur

kelenjar

normal.

Infundibulum membesar dan penuh dengan


keratin

pipih,

puing-puing

eosinofilik

dan

mikroorganisme. Tungau Demodex yang umum.


Pembesaran

infundibulum

dikaitkan

dengan

pembentukan kista epidermal yang bisa pecah


12

dan menyebabkan peradangan. Peradangan selalu


hadir, tetapi pada umumnya kurang mencolok
daripada di PPR. Infiltrat ini terutama limfosit
dan neutrofil sekitar infundibulum membesar.
Granuloma kecil mungkin juga ada.

Gambar 20. Pembesaran kelenjar sebasea dan fibrosis perifer pada biopsi rinofima
(hipertrofi rosasea)

Gambar 21. Biopsi rhinopyma dengan ruang kistik besar

Gambar 22. Rinofima dengan fibrosis dan pembuluh melebar di bagian atas

13

A. Diagnosis Banding2, 4

Akne vulgaris

Akne vulgaris mempengaruhi kelompok usia yang lebih muda dan


sering memiliki distribusi yang luas di wajah, leher, punggung, dan
dada, sedangkan rosacea jarang terjadi di daerah selain wajah.
Gambaran khas akne vulgaris yaitu tidak memiliki kemerahan,
sementara rosasea tidak memiliki komedo

Gambar 23. Papula inflamasi, sel sel inflamasi yang akut dan kronik mengelilingi dan
menginfiltrasi folikel, yang memperlihatkan hiperkeratosis infundibular

Gambar 24. Keterlibatan dada dan punggung dapat meluas dan parah. Komplikasi dari
jerawat yang berat adalah jaringan parut

Dermatitis perioral

Lesi utama dermatitis perioral adalah papula eritematosa berkelompok


dan berlainan, vesikel, dan pustula. Lesi sering simetris tetapi mungkin
unilateral dan muncul di perioral, perinasal, dan / atau daerah
periokular. Latar Belakang eritema dan / atau skuama mungkin ada.
Varian granulomatosa dermatitis perioral muncul dengan papul kecil
berwarna seperti kulit, eritematosa, atau berwarna kuning-coklat,
14

beberapa dengan kumpulan. Selain itu, lesi telah dilaporkan muncul


pada telinga, leher, kulit kepala, punggung, labia majora, dan
ekstremitas. Kadang-kadang, sensasi terbakar atau gatal dilaporkan, dan
intoleransi untuk pelembab dan produk topikal lain dijelaskan. Dalam
beberapa kasus dermatitis perioral granulomatosa, blepharitis atau
konjungtivitis telah dilaporkan. Temuan sistemik dan limfadenopati
regional tidak ada.

Gambar 25. Perioral dermatitis granulomatosa

A. Komplikasi2

Limfedema. Ini merupakan komplikasi yang relatif jarang


dari rosacea, yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari
wajah dan telinga. Saat ini mungkin lebih dikenal sebagai
leonine facies. Pola karakteristik lymfedema pada bagian
atas wajah berkembang sebagai komplikasi kronis rosacea
yang telah dikenal sebagai edema kronis wajah bagian atas
disertai eritematosa atau Morbihans disease. Kulit sekitar
orbita

sering

terkena,

sehingga

mengakibatkan

pembengkakan kelopak mata yang berat dan kadangkadang ektropion.

Keterlibatan mata. Komplikasi oftalmologi sering terjadi,


meskipun perkiraan prevalensi bervariasi dari 6% menjadi
lebih dari 50% pasien dengan rosacea meskipun
patogenesis masih belum dipahami dengan baik. Ini
termasuk sensasi butiran atau iritabilitas mata, sering
disertai dengan kemerahan yang terlihat pada konjungtiva.
Blepharitis, episkleritis, kalasion dan hordeolum juga
15

umum. Rosacea keratitis adalah komplikasi yang lebih


serius dan sangat umum, terjadi pada 5% pasien termasuk
anak-anak. Konjungtivitis, keratitis, dan komplikasi lain
tampaknya menjadi penyebab sekunder yang mengurangi
sekresi air mata dan disfungsi kelenjar Meibomian,
sehingga produksi air mata yang tidak stabil. Rosacea
okular dapat dilihat secara terpisah atau terjadi sebelum
timbulnya kelianan kulit, terutama pada anak-anak.
Kondisi ini mungkin unilateral atau asimetris.

BAB III
PENATALAKSANAAN
16

Penatalaksanaannya dapat diberikan secara topikal, sistemik, dan lainnya.


Untuk pengobatan secara topikal dapat diberikan eritromisin 0.5 2.0% dalam
bentuk salep, metronidazol 0.75% gel atau krim 2% efektif untuk lesi papul dan
pustul, imidasol sendiri atau dengan ketokonasol atau sulfur 2 5% dapat dicoba,
isotretinoin krim 0.2% juga bermanfaat, anti parasit untuk membunuh D.
Follikulorum, misalnya lindane, krotamiton, atau bensoil bensoat, dan
kortikosteroid kekuatan rendah ( krim hidrokortison 1% ) hanya dianjurkan pada
stadium berat. Untuk pengobatan sistemik dapat diberikan tetrasiklin, eritromisin,
doksisiklin, minosiklin, dengan dosis sama dengan dosis akne vulgaris beradang
memberikan hasil yang baik karena efek anti mikroba dan anti inflamasinya, dosis
kemudian diturunkan bila lesi membaik. Isotretinoin (13 cis retinoat) 0.5
1.0/kgBB sehari dapat digunakan kecuali bila ada rosasea pada mata.
Penggunaanya harus diamati secara ketat. Metronidazol 2 x 500mg/hari efektif
baim stadium awal maupun lanjut. Terapi lainnya dapat diberikan sunblock
dengan SPF 15 atau lebih dianjurkan dipakai penderita untuk menahan sinar UVA
dan UVB. Diet rokok, alkohol, kopi, pedas dapat dilakukan untuk mengurangi
rangsangan eritem. Bedah kulit, dermabrasi untuk rinofima dan bedah listrik
untuk telangiektasis. Rujukan oftalmologi harus dibuat untuk pasien dengan gejala
okular. Untuk blepharitis ringan, hati-hati menggunakan natrium sulfacetamide /
sulfur pembersih dapat digunakan sekali untuk dua kali sehari sebagai terapi awal.
Sodium sulfacetamide 10% salep mata juga efektif untuk mengendalikan
blepharitis. Ketika manajemen topikal tidak memadai, tetrasiklin oral umumnya
efektif1, 4

BAB IV
PROGNOSIS
Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode akut.
Namun adapula yang remisi secara spontan. Durasi penyakit dan hasil akhir yang
sangat bervariasi dan sulit diprediksi. Ketika berlanjut, rosacea biasanya hanya
17

berfluktuasi saja. Pada laki-laki dan perempuan lebih jarang, kegigihan rosacea
dapat menyebabkan penebalan kronis dan indurasi wajah (leonine facies) dan
rinofima. Keterlibatan mata biasanya ringan dan reversibel, meskipun kadangkadang keratitis mata dapat menyebabkan jaringan parut yang parah dan bahkan
perforasi

kornea.

Kebanyakan

gejala

rosacea

biasanya

dapat

berhasil

dikendalikan.1, 2

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6 ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2010.
Cox N. Rooks Textbook of Dermatology. 8 ed. Oxford: Blackwell; 2010.
Lallas A. Correspondence. International Journal of Dermatology 2013;1:1 - 3.
Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, Wolff K. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine. 8 ed: The McGraw-Hill; 2012.
Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer J. Dermatology. 3 ed. China: Elsevier; 2012.
Del Rosso J. Consensus Recommendations From the American Acne & Rosacea Society
on the Management of Rosacea, Part 1: A Status Report on the Disease State, General
Measures, and Adjunctive Skin Care. Drug Therapy Topics 2013 November;92:234 - 240.
Cribier B. Rosacea under the microscope: characteristic histological findings. Journal of
the European Academy of Dermatology and Venereology 2013;27:1336 - 1343.

18

Anda mungkin juga menyukai