Anda di halaman 1dari 29

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN JANUARI 2020

NAPKIN ECZEMA

OLEH:

DISUSUN OLEH:

Muhammad Hazim Hazlami Bin Haron C014182172


Muhammad Syafiq Izuddin Bin Azman C014182173
Muhammad Rusydi Bin Ropli C014182175
Ade Nusraya C014182153
Nurul Shafinaz Izlin Binti Mat Mukti C014182176
Husna Nabila Binti Mohd Hisam C014182213

Residen Pembimbing
dr. Anita Indah

Dosen Pembimbing
dr. Muhlis, Sp.KK, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Nama:
1. Muhammad Hazim Hazlami Bin Haron C014182172
2. Muhammad Syafiq Izuddin Bin Azman C014182173
3. Muhammad Rusydi Bin Ropli C014182175
4. Ade Nusraya C014182153
5. Nurul Shafinaz Izlin Binti Mat Mukti C014182176
6. Husna Nabila Binti Mohd Hisam C014182213

Judul Referat: Napkin Eczema

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2020

Pembimbing Supervisor Pembimbing Residen

dr. Muhlis, Sp.KK, M.Kes dr. Anita Indah

ii
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................1

BAB 2. PEMBAHASAN .........................................................................................2

2.1 Definisi ...........................................................................................................2

2.2 Anatomi ..........................................................................................................2

2.3 Fisiologi ..........................................................................................................5

2.4 Epidemiologi ..................................................................................................6

2.5 Etiopatofisiologi .............................................................................................7

2.6 Gejala klinis ....................................................................................................9

2.7 Efloresensi ....................................................................................................10

2.8 Diagnosis ......................................................................................................10

2.9 Diagnois Banding .........................................................................................14

2.10 Penatalaksanaan ..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Ruam popok (diaper rash, napkin dermatitis, nappy rash) atau diaper

dermatitis secara umum digunakan untuk mendiskripsikan beberapa kerusakan

dan peradangan kulit pada daerah sekitar popok (diaper). Laporan mengenai

insidensi dan umur terjadinya serangan sangat bervariasi, berhubungan dengan

perbedaan penggunaan diaper, toilet training, kebersihan, dan usia anak.

Prevalensi ruam popok pada bayi berkisar antara 7-35% dan dapat terjadi pada

awal usia satu minggu. Insidensi meningkat tiga kali lipat pada kejadian diare. Di

daerah Indonesia laporan mengenai angka kejadian ruam popok khususnya pada

bayi baru lahir yang akurat belum tersedia.1

Dermatitis popok adalah masalah kulit yang biasa terjadi pada bayi baru

lahir. Terdapat banyak faktor yang mengkontribusi terhadap perkembanan diaper

dermatitis. Paparan kelembapan yang berkepanjangan dapat menghasilkan

peningkatan kerusakan gesekan. penurunan fungsi pertahanan, dan meningkatan

reaktivitas terhadap iritan. Faktor-faktor etiologi yang saling terkait termasuk

kontak dengan urin dan feses, ,enzim proteolitik dan lipolitik feses, peningkatan

pH kulit , dan superinfeksi dengan candida. Lebih jarang, superinfeksi bakteri

dapat mempersulit dermatitis popok.2

Ruam popok sering membuat bayi tidak nyama. Rasa gatal, perih, risih

dan kadang terasa sakit menyebabkan bayi gelisah dan rewel. Pengetahuan

tentang faktor-faktor resiko ruam popok diperlukan untuk dapat meminimalkan

atau menangani masalah ruam popok.1

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Dermatitis popok, atau ruam popok, adalah istilah tidak spesifik yang

digunakan untuk mendeskripsikan salah satu dari berbagai reaksi peradangan kulit

di area popok, termasuk bokong, area perianal, alat kelamin, paha dalam dan

pinggang. Dermatitis popok adalah erupsi kulit inflamasi yang paling umum

dalam area popok pada bayi dan balita. Meskipun jarang menyebabkan masalah

untuk jangka waktu yang lama, namun ia masih menyebabkan kesulitan besar

bagi bayi dan orang tua. Kulit popok terpapar pada gesekan, hidrasi berlebihan,

pH bervariasi, dan kontak terus-menerus dengan urin dan feses, yang keduanya

sangat mengiritasi kulit.3

2.2 Anatomi

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1.5m2 dengan berat kira-

kira15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta

2
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis

dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga

bergantungan pada lokasi tubuh.

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu:

2.2.1 Lapisan epidermis

2.2.2 Lapisan dermis

2.2.3 Lapisan subkutis

Lapisan epidermis terdiri atas: stratum korneum, stratum lusidium, stratum

granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.

2.2.1.1 Stratum Korneum

Lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel

gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah

menjadi keratin (zat tanduk).

2.2.1.2 Stratum lusidium

Terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-

sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi

protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di

telapak tangan dan kaki.

2.2.1.3 Stratum granulosum

Merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir

kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas

keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum

granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki.

3
2.2.1.4 Stratum spinosum

Juga disebut sebagai pickle cell layer terdiri atas beberapa lapis sel

yang berbentuk polygonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya

proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung

glikogen, dan inti terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke

permukaan makin gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum

spinosumterdapat jembatan-jembatan antar sel (intercellular bridges)

yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan

antar jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang

disebut nodulus Bizzozero. Diantara sel-sel spinosum terdapat pula sel

Langerhans.

2.2.1.5 Stratum basale

Terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal

pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade).

Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Lapisan

ini terdiri atas dua jenis sel yaitu:

2.2.1.5.1 Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma

basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan

yang lain oleh jembatan antar sel.

2.2.1.5.2 Sel pembentuk melanin (melanosit) merupakan sel-sel

berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap,

dan mengandungi butir pigmen (melanosomes).

Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal

daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastisitik dan fibrosa padat

4
dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi

menjadi dua bagian yakni:

2.2.3.1 Par papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

2.2.3.2 Pars retikulare, yaitu bagian bawahnya yang menonjol kea rah

subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya

serabut kolagen, elastin, dan retikulin.

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar

berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar,

dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah.4

2.3 Fisiologi Kulit

Fungsi utama kulit ialah proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi pengaturan

suhu tubuh, pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D dan keratinisasi.5

1. Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau

mekanis misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi seperti zat yang

bersifat iritan, radiasi, sengatan, sinar ultraviolet, infeksi. Hal ini karena adanya

bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang.

Melanosit membantu melindungi terhadap pajanan sinar matahari dengan

mengadakan tanning. Proteksi kimiawi terjadi karena stratum korneum

impermeable terhadap pelbagai zat kimia dan air, di samping itu terdapat lapisan

keasaman kulit yang melindungi kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman

5
terbentuk dari hasil ekskresi keringat dan sebum. Ph kulit melindungi terhadap

infeksi bakteri.

2. Fungsi absorpsi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal nipisnya

kulit, kelembapan, hidrasi, metabolisme dan jenis vehikulum.

3. Fungsi ekskresi. Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi

atau sisa metabolisme dlam tubh berupa Nacl, urea, asam urat dan amonia.

4. Fungsi persepsi. Hujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

5. Fungsi pengaturan suhu. Kulit melakukan peran ini melalui cara mengeluarkan

keringat dan kontraksi otot dan pembuluh darah kulit.

6. Fungsi pembentukan pigmen oleh sel pembentuk pigmen (melanosit).

7. Fungsi keratinisasi, proses ini berlangsung normal 14-21 hari dan memberi

perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.

8. Fungsi pembentukan vitamin D.

2.4 Epidemiologi

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada

tahun 2009 prevalensi iritasi kulit (ruampopok) pada bayi cukup tinggi. Sebanyak

25% dari 6.840.507.000 bayi yang lahir didunia kebanyakan menderita iritasi kulit

(ruam popok) akibat penggunaan popok. Angka terbanyak ditemukan pada usia 6-

12 bulan. Departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum

Pusat Nasional dr. Ahori menyebutkan bahwa10-20% Diaperdermatitis dijumpai

6
pada praktek spesialis anak di Amerika. Sedangkan prevalensi pada bayi berkisar

antara 7-35%, dengan angka terbanyak padausia 9-12 bulan. Insiden ruam popok

Di Indonesia mencapai 7-35%, yang menimpa bayi laki-laki dan perempuan

berusia dibawah tiga tahun (Andi, 2012). Pemerintah memperkirakan jumlah anak

balita (bawah lima tahun) Indonesia mencapai 10% dari populasi penduduk. Jika

jumlah penduduknya 220-240 juta jiwa, maka setidaknya ada 22 juta balita di

Indonesia, dan 1/3 dari jumlah bayi di Indonesia mengalami ruam popok

(Hidayat, 2011). Setelah dilakukan studi pendahuluan di BPM Yuni Hermanto,

SST.,M.Kes, di dapatkan data sebanyak dari 10 bayi semuanya menggunakan

popok, sebanyak 5 orang (50%) mengalami ruam popok, 1 orang (10%) kadang–

kadang mengalami ruam popok, 3 orang (30%) sering mengalami ruam popok,

dan 1 orang (10%) yang tidak pernah mengalami ruam popok. 6

2.5 Etiopatofisiologi

Dermatitis popok bukan hanya reaksi terhadap iritan tunggal tetapi

merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor, di antaranya adalah kontak

jangka panjang kulit dengan urin dan feses. Faktor lain basah yang berlebihan

pada popok, pH tinggi, peningkatan aktivitas enzimatik, dan gesekan, yang

semuanya sampai batas tertentu menyebabkan gangguan pada fungsi barier

epidermis. Perbedaan antara epidermis bayi dan dewasa, yang termasuk

keratinosit yang lebih kecil, struktur microrelief yang lebih dalam, stratum

corneum yang lebih tipis, proliferasi sel yang lebih besar, dan organisasi serat

kolagen yang berbeda dalam dermis. Matriks lipid ekstraseluler dari stratum

korneum bertindak sebagai penghalang mencegah kehilangan air dan masuknya

7
zat hidrofilik termasuk air, sedangkan corneocytes (diferensiasi keratinosit)

memberikan perlindungan mekanis dari luar lingkungan. Basah yang

berkepanjangan di area popok menyebabkan maserasi stratum korneum.

Melemahnya integritas fisiknya membuat stratum korneum lebih rentan terhadap

tekanan mekanis seperti gesekan (mis. oleh popok), bahan kimia dan enzim, serta

infeksi mikroba. Stratum korneum lebih tipis dan kurang protektif pada bayi

prematur bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan, membuatnya lebih rentan

terhadap infeksi, serta toksisitas sistemik dari penyerapan zat topikal yang

diterapkan pada kulit. Pada bayi yang lahir antara 30 dan 32 minggu usia

kehamilan, fungsi barrier kulit berkembang hanya 2-4 minggu setelah kelahiran,

sehingga bayi prematur rentan terhadap dermatitis popok.3

PH asam di area popok membantu mikrobiota sehat di wilayah ini, yang

sangat penting untuknya perlindungan antimikroba bawaan terhadap invasi oleh

bakteri dan ragi patogen, serta memainkan peran penting dalam pengembangan

kekebalan bawaan. Urine dan tinja adalah kontaminan utama area popok. Urine

dapat memiliki pH berkisar antara 4,6 hingga 8, dan tinja biasanya memiliki pH

lebih tinggi 6,5-7,5, sedangkan pH normal bokong adalah sekitar 5,5,19,28 Oleh

karena itu, paparan kulit terhadap campuran urin dan feses berkontribusi terhadap

peningkatan pH di area popok menjadi lebih banyak nilai alkali (> 7). Kenaikan

ini menyebabkan peningkatan aktivitas protease tinja, lipase, dan urease,

semuanya yang sangat mengiritasi kulit. Peningkatan aktivitas lipase dan protease

tinja juga bisa terjadi karena percepatan transit gastrointestinal. Oleh karena itu

lebih tinggi tingkat prevalensi dermatitis popok diamati pada bayi yang

mengalami diare dalam 48 jam sebelumnya. Selanjutnya, urease tinja yang

8
dihasilkan oleh berbagai bakteri feses mengkatalisasi pemecahan urea menjadi

amonia, yang pada gilirannya berkontribusi untuk peningkatan pH kulit. Efek

positif dari menyusui dalam pencegahan dermatitis popok mungkin terkait dengan

tinja bayi yang disusui memiliki pH yang jauh lebih rendah, protease lebih

rendahdan aktivitas lipase, serta konten urease yang lebih rendah dibandingkan

dengan bayi yang diberi susu formula.3

Selain itu, berbagai faktor dapat memengaruhi kerentanan terhadap dermatitis

popok atau dapat memperburuk dermatitis begitu muncul. Ini termasuk:

penggantian popok yang jarang, penggunaan antibiotik spektrum luas dalam bayi,

perawatan kulit yang buruk di area popok, penggunaan cairan sabun untuk

membersihkan kulit, dan penggunaan bedak peradangan di area popok.3

2.6 Gejala klinis

Pada kasus napkin eczema, pada kulit bayi, bisa didapatkan bercak makula
eritematus pada anogenital, skrotum dan penis pada laki-laki, labia dan vagina
pada perempuan, yang biasanya ditutupi dengan popok yang semakin lama
semakin membesar dan bisa meluas sampai lipatan peha. Pada beberapa kasus
juga dapat disertai dengan erosi pada kulit bayi.3
Makula adalah kelainan kulit berbatas tegas beruapa perubahan warna semata-
mata, makula eritematus adalah perubahan warna kulit yang lebih kemerah-
merahan akibat dari proses peradangan.4 Erosi adalah kelainan kulit yang
disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui stratum basal.4
Proses peradangan yang terjadi juga akan menyebabkan rasa tidak nyaman pada
bayi, sehingga bayi menjadi lebih rawan dan bersikap ‘irritable’.3

9
2.8 Diagnosis

A. Anamnesis7

Beberapa pertanyaan yang dapat membantu penegakan diagnosis

yaitu:

1) Berapa lama terjadi dermatitis popok? Usia awitan rata-rata

dermatitis popok iritan biasanya antara 9 dan 12 bulan. Jika ada

lesi kulit hadir sebelum atau setelah waktu ini, mungkin ada

alasan lain terjadinya peradangan.

2) Daerah mana yang terutama terlibat? Peradangan pada permukaan

cembung yang bersentuhan dengan popok (medial paha antara

lain, genitalia seperti labia majora dan skrotum, dan perut bagian

bawah) mengacu pada dermatitis popok.

3) Apakah bayi menunjukkan temuan lain dari gangguan inflamasi,

seperti dermatitis atopik, psoriasis, atau eksim seboroik? Apakah

ada riwayat keluarga dengan penyakit ini?

10
4) Apakah pembersihan dilakukan rutin? Apakah orang tua /

pengasuh menggunakan sabun atau tisu bayi? Seberapa sering

bayi dimandikan?

5) Popok mana dan krim emolien apa yang digunakan (sekali pakai

atau kain)? Adakah petunjuk untuk dermatitis kontak alergi akibat

agen popok (zat karet, pewarna) atau karena krim emolien

(pewangi, pengawet)?

6) Apakah ada konteks temporal untuk menyapih atau pengenalan

makanan baru?

7) Apakah bayi menderita gastroenteritis atau penyakit usus lainnya

yang berhubungan dengan diare?

8) Apakah anak minum antibiotik atau obat lain yang berhubungan

dengan diare?

9) Apakah lesi kulit disertai rasa sakit atau pruritus?

B. Pemeriksaan Fisik8

Pada dermatitis kontak iritan terdapat eritema pada sisi cembung

pinggul, mons pubis, skrotum, dan bagian bawah perut, yang

sebagian besar bersentuhan dengan popok. Lipatan kulit biasanya

tidak terpengaruh. Pada tahap awal, terdiri dari eritema, maserasi

ringan, dan edema; perkembangan lesi meningkatkan maserasi. Erosi

dan ulserasi dapat terjadi pada stadium lanjut. Pada tahap ini, infeksi

sekunder akibat Candida albicans dan bakteri dapat berkembang.

Papula dan pustula dapat dilihat di luar tepi area eritematosa; yaitu

11
lesi satelit. Bentuk lain dari dermatitis kontak iritan terletak di tepi

popok dapat dilihat. Pada tipe ini, lesi asimetris penting untuk

diagnosis yang benar. Selain itu, kondisi klinis yang jarang dari

dermatitis iritan primer digambarkan memiliki lesi herpetiform. Pada

tipe ini, vesikel dan pustula terjadi setelah erosi.

Dermatitis popok erosi Jacquet ditandai dengan nodul eritematosa

erosif mirip kawah. Ini lebih sering terjadi pada anak-anak dengan

diare kronis. Bentuk klinis penyakit yang parah adalah granuloma

gluteale infantum. Kondisi klinis ini jarang dan ditandai dengan

nodul ungu-coklat di area popok. Nodul ini tidak menunjukkan

gejala dan terutama menetap di bagian dalam paha, daerah perianal,

dan bagian bawah perut.

C. Pemeriksaan Penunjang9

Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk menegakkan atau

mengkonfirmasi diagnosis yang dicurigai. Analisis darah dan urin

dapat dijadikan sebagai skrining, termasuk jumlah sel darah lengkap,

dan tes fungsi hati dan ginjal. Skrining juga dapat dilakukan pada

individu ketika suatu kondisi tertentu dicurigai. Proses skrining

meliputi:

- Pengukuran level serum zinc, tryptase, biotin dan aktivitas

biotinidase, ammonia;

- Analisis asam organik pada plasma dan/atau urin;

12
- Tes serologis sifilis (rapid plasma reagin [RPR] atau Venereal

Disease Research Laboratory [VDRL] tests) pada serum

- polymerase chain reaction (PCR) untuk sifilis, human papilloma

virus (HPV), herpes simplex virus (HSV), human

immunodeficiency virus (HIV) dan enterovirus.

Evaluasi lain meliputi:

- Kultur lesi kulit untuk Staphylococcus aureus atau Streptococcus

Group A

- Preparat Potassium hydroxide dan/atau kultur jamur dari kerokan

kulit untuk candida

- Pemeriksaan mikroskopis kerokan dari lesi linier pada skabies

yang dicurigai

- Tzank smear pada bula atau pustula; sel raksasa berinti banyak

menunjukkan infeksi virus seperti herpes simpleks

- Mikroskop dark-field untuk visualisasi langsung Treponema

pallidum

- Patch test epidermis

2.9 Diferensial Diagnosis

A. Dermatitis Kontak7

Dermatitis kontak sebagian besar bersifat iritasi, meskipun

dermatitis kontak alergi juga terjadi pada bayi, dan telah

dikaitkan dengan zat pewarna, pengawet, pengemulsi, pewangi,

perekat, dan akselerator karet. Konstruksi popok sekali pakai

13
modern menghindari bahan-bahan ini, alih-alih memanfaatkan

polimer inert biologis yang umumnya bersentuhan dengan kulit.

Dermatitis kontak iritan secara klinis ditandai oleh

eritema, papula, dan penskalaan di area kontak dengan popok.

Ini adalah cembung kulit, termasuk bokong, sisi dalam celana

ketat, mons pubis, dan genitalia (labia, skrotum) (Gambar 3 dan

4).

Gambar 3
Dermatitis popok iritan klasik, yang melibatkan cembung kulit genitoanal

Gambar 4
Dermatitis kontak iritan

14
Dermatitis kontak alergi popok kontak melibatkan seluruh area, termasuk lipatan
(Gambar 5 dan 6).

Gambar 5
Eksim kontak alergi pada lipatan dan cembungnya kulit
akibat pemakaian salep calendula

Gambar 6
Dermatitis kontak alergi

Diagnosis banding dermatitis kontak adalah psoriasis dan eksim

seboroik, yang biasanya melibatkan area popok. Sedangkan

untuk eksim atopik, lesi jarang muncul di daerah popok untuk

sebagian besar bayi dengan diagnosis ini.

15
Dalam sejarah baru-baru ini, prevalensi dan tingkat keparahan

dermatitis kontak telah menurun dengan penggunaan popok

sekali pakai, yang telah dirancang untuk menjadi superabsorben

dan untuk membantu mencegah hiperhidrasi kulit.

B. Psoriasis Infantil7

Area popok adalah tempat predileksi khas psoriasis

infantil, yang dapat dipicu oleh Streptokokus beta hemolitik

grup-A faringitis atau oleh dermatitis streptokokus perianal.

Psoriasis infantil menunjukkan plak merah berbatas tegas

dengan keterlibatan daerah lipatan yang khas (Gambar 7A, B).

Untuk mendiagnosis psoriasis dengan benar, perlu mencari lesi

psoriatik di tempat predileksi lain, termasuk kulit kepala,

umbilikus, kanal pendengaran eksternal, daerah periaurikular,

dan lipatan perianal (Gambar 8).

Gambar 7A & B. Psoriasis pada bayi, terutama melibatkan bagian


lipatan dengan plak eritema berbatas tegas, hanya menunjukkan
skuama diskret karena hidrasi

16
Gambar 8. Psoriasis pada bayi
esi pada area popok, (B) Lesi bentuk psoriasis eksudatif

Gambar 9. Acrodermatitis enteropathica

C. Infeksi Candida7

Diagnosis infeksi Candida tidak jarang dalam perjalanan dermatitis


popok. Plak eritematosa dan bersisik yang secara klinis melibatkan
lipatan dengan papula satelit dan pustula adalah karakteristik umum11
(Gambar 10 dan 11). Seringkali, anak-anak diobati dengan antibiotik
sistemik, dan karena mungkin ada penyakit lain yang menyebabkan
pustula, persiapan kalium hidroksida (KOH) harus digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis dermatitis popok candida dan memandu
pengobatan dengan tepat.12 Penyakit ini merespons secara efisien
terhadap topikal. terapi antijamur.

17
Gambar 10 Dermatitis popok dengan pustula satelit dan papula yang
mencerminkan infeksi Candida albicans

Gambar 11 Infeksi Kandida

2.10 Tatalaksana

2.10.1 Non farmakologis

a. Perawatan kulit – mandi dan pembersihan10

Kebersihan yang baik diperlukan untuk mencegah

kerusakan pertahanan kulit. Memandikan bayi dapat dilakukan

tanpa membahayakan bayi, asalkan sesuai prosedur keselamatan

dasar. Mandi lebih baik daripada menyeka. Pembersih cair

18
bebas sabun diformulasikan dengan tepat untuk kulit bayi baru

lahir dan bayi yang dapat digunakan untuk mandi, sebagaimana

terdapat bukti klinis yang mendukung efektifitas emolien dalam

meningkatkan fungsi pertahanan kulit dan mencegah dermatitis

popok. Formulasi cairan pembersih atau emolien yang ideal

harus pH netral atau asam, dan hanya mengandung bahan-bahan

yang disetujui untuk bayi oleh regulator, seperti the U.S. Food

and Drug Administration atau the European Medicines Agency.

b. Tisu basah10

Sejumlah penelitian dalam literatur saat ini telah

membandingkan efek kapas dan air dibandingkan tisu basah

pada parameter klinis kulit dan fungsi pertahanan kulit. Visscher

et al membandingkan dua tisu popok dengan kain dan air (n =

131 neonatus di unit perawatan intensif neonatal); eritema

perineum dan transepidermal water loss (TEWL) secara

signifikan lebih rendah untuk kedua tisu dibandingkan dengan

kain dan air. Garcia Bartels dkk membandingkan tisu bayi

dengan kapas dan air dalam sebuah penelitian di 44 bayi baru

lahir yang cukup bulan; TEWL yang lebih rendah secara

signifikan ditemukan di area bokong dalam kelompok yang

menggunakan tisu bayi dibandingkan dengan air. Kursus

fisiologis untuk hidrasi stratum korneum (SCH) dan pH kulit di

daerah popok dan non-popok dan kondisi kulit yang sebanding

serta kolonisasi mikroba diamati pada kedua kelompok.

19
Data yang tersedia menunjukkan bahwa tisu bayi tidak

membahayakan atau mengganggu pematangan penghalang kulit

fisiologis.

Saat ini, banyak tisu bayi dengan formulasi berbeda

tersedia secara komersial. Penggunaan buffer pH dalam tisu bayi

khususnya penting untuk menetralkan urin alkali dan menjaga

sedikit keasaman kulit pada area popok.

Selain itu, tisu harus bebas dari iritasi potensial seperti

alkohol, wewangian yang tidak alergi, minyak atsiri, sabun,

surfaktan yang tidak optimal, dan deterjen yang keras (misalnya,

sodium lauryl sulfate). Dokter harus mengetahui dermatitis

kontak alergi pada anak-anak sehubungan dengan zat yang

digunakan dalam tisu basah, seperti pengawet

methylisothiazolinone (MI), methylchloroisothiazolinone (MCI),

bronopol (2-bromo-2-nitropropane-1,3-diol), dan iodopropynyl

butylcarbamate - karena tisu basah dapat memberikan

lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan mikroba, tisu tersebut

harus mengandung pengawet yang tepat dan dapat ditoleransi

dengan baik.

c. Penggunaan pelembab/emolien topikal0

Perawatan kulit telah terbukti mempengaruhi fungsi

pertahanan kulit. Emolien penghalang pada popok saat ini

banyak digunakan di negara maju untuk pencegahan dan

pengobatan lini pertama dermatitis popok. Krim penghalang

20
dapat melindungi kulit area popok dengan melapisi permukaan

kulit dan dengan memasok lipid yang dapat menembus ruang

interselular stratum corneum, sehingga mencegah paparan

kelembaban dan iritasi dan berkontribusi pada perbaikan stratum

korneum. Emolien yang diformulasikan dengan tepat dapat

digunakan untuk mendukung fungsi pertahanan kulit, asal

diaplikasikan secara tipis di daerah popok untuk menghindari

penyumbatan dan terperangkap pada lipatan sehingga

menyebabkan disregulasi penguapan dan kolonisasi mikroba.

Setidaknya dua kali seminggu aplikasi emolien harus

dipertimbangkan pada kulit bayi yang sehat. Berbagai formulasi

tersedia untuk tujuan ini, yang mengandung seng oksida,

petrolatum, minyak hati ikan kod, dimetikon, lanolin,

dekspantenol, dan larutan Burow, campuran aluminium asetat

dalam air.

Selain itu, dimasukkannya emolien pada lembar atas

popok dapat membantu mengurangi timbulnya eritema dan ruam

popok.

d. Teknologi popok10

Desain dan cara kerja popok telah meningkat terutama

selama beberapa dekade terakhir yang menyebabkan penurunan

prevalensi dan keparahan dermatitis popok. Memanfaatkan

berbagai teknologi popok yang tersedia untuk meningkatkan

absorbansi dan mengurangi iritasi dan bocor dapat berkontribusi

21
untuk mencegah dermatitis popok dan memperingan gejala bila

kondisi sudah terjadi. Polimer superabsorben, seperti cross-

linked natrium poliakrilat, dalam inti popok membentuk gel

ketika bersentuhan dengan urin sehingga mengurangi

overhidrasi dan gesekan kulit dan membantu menormalkan pH

kulit. Mereka memiliki kapasitas untuk menyerap berkali-kali

beratnya dalam cairan.

Selain itu, popok sekali pakai superabsorben modern

memiliki karakteristik lebih lanjut, seperti lembaran atas untuk

menyerap urin dan tinja cair dan lapisan akuisisi tepat di bawah

lembaran atas untuk menyebarkan urin secara lateral dan

menariknya ke inti superabsorben. Lembar belakang luar yang

breathable terdiri dari membran mikro memungkinkan fluks uap

kelembaban sambil mencegah kebocoran dan dengan demikian

mengurangi overhidrasi dan oklusi kulit. Bahan dengan daya

regang tinggi untuk kenyamanan dan mengurangi gesekan.

Lapisan permukaan penghalang emolien yang ditransfer

ke kulit selama pemakaian popok normal dapat mencegah

kerusakan pelindung kulit ketika kulit terpapar iritasi.

2.10.2 Farmakologis10

Bentuk dermatitis popok yang berat memerlukan perhatian

medis dengan evaluasi yang cermat untuk penyebab iritasi lain di

daerah ini, seperti dermatitis kontak alergi, infeksi jamur atau bakteri

dengan perawatan yang sesuai berikutnya.

22
Emolien penghalang topikal atau obat-obatan dengan potensi

iritan atau alergi (misalnya, mengandung pewangi dan pengawet

yang tidak alergi) harus dihindari. Produk yang mengandung asam

borat, kapur barus, fenol, benzokain, dan salisilat juga harus

dihindari karena potensi toksisitas sistemik dan / atau

methemoglobinemia.

Kortikosteroid potensi rendah hingga sedang dapat

dipertimbangkan selama durasi yang sangat terbatas untuk

mengurangi peradangan, iritasi, dan ketidaknyamanan terkait karena

dermatitis persisten yang parah didasarkan pada usia bayi dan

keparahan dermatitis popok, karena dapat terjadi efek samping lokal

seperti atrofi kulit, striae, dan takifilaksis. Selain itu, penyerapan

steroid poten sistemik meningkat pada lipatan terutama di bawah

kondisi yang oklusif, dapat menyebabkan penekanan poros

hipotalamus-hipofisis-adrenal, sindrom Cushing, keterlambatan

pertumbuhan, dan efek samping lainnya pada pasien anak.

Peningkatan rasio luas permukaan kulit dengan berat badan

dibandingkan dengan orang dewasa juga merupakan faktor penting

yang harus dipertimbangkan untuk aplikasi topikal perawatan medis.

Orang tua harus dilatih dalam menggunakan jumlah yang tepat per

dosis dan area tubuh menggunakan konsep ujung jari. Bila

digunakan dengan tepat, steroid potensi rendah hingga sedang untuk

jangka waktu terbatas aman dan efektif dan efek sampingnya jarang

terjadi. Idealnya, terapi steroid topikal di area popok harus dibatasi

23
(maksimum satu minggu) dan diikuti oleh jeda steroid dan

penggunaan emolien secara terus menerus dan langkah-langkah

pencegahan lebih lanjut.

Dalam kasus infeksi Candida, agen antijamur topikal seperti

nistatin, clotrimazole, miconazole, ketoconazole, atau ciclopirox

dapat diterapkan pada area popok dengan setiap pergantian popok.

Kombinasi dengan kortikosteroid topikal ringan dapat dianggap

mengurangi peradangan pada kasus yang lebih parah. Relapsnya

dermatitis popok setelah pengobatan dapat dikaitkan dengan

rekolonisasi dari lokasi reservoir, infeksi bakteri yang terjadi

bersamaan, dan kadang-kadang, resistensi terhadap agen antijamur.

Dalam kasus infeksi bakteri sekunder, peptida antimikroba

topikal atau antibiotik topikal atau oral mungkin diperlukan. Dalam

bentuk terlokalisasi dan ringan, pengobatan dengan mupirocin

topikal diterapkan dua kali sehari selama 5-7 hari mungkin cukup.

Antibiotik oral diindikasikan untuk infeksi yang lebih parah, seperti

dermatitis streptokokus perianal. Vitamin A topikal terkandung

dalam banyak persiapan yang tersedia untuk pengobatan dermatitis

popok, meskipun tidak ada bukti yang cukup yang mendukung atau

menyangkal penggunaan persiapan vitamin A topikal untuk

mencegah atau mengobati dermatitis popok. Uji coba terkontrol acak

lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah vitamin A topikal

berkhasiat dalam mengobati atau mencegah dermatitis popok.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Anik R, Yeni. R, Tuti N, 2018. Faktor Yang Berhubungan Dengan Ruam

Popok Pada Bayi Baru Lahir. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: 59.

2. Sewon Kang, Masayuki A, Anna L, Alexander H, David J; 2019.

Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition. Mc Graw Hill Education; 1775.

3. Maja S, Uros M, Natasa M; 2017; Diagnosis and Management Of Diaper

Dermatitis in Infants With Emphasis On Skin Microbiota In The Diaper

Area; International Journal of Dermatology; 1.

4. Adhi D, Mochtar H; 2011. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin; edisi

Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;3.

5. Prof dr.dr Adhi Djuandha Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed 6, 2010

6. Heri Nur Cahyonto, Perawatan perianal dengan minyak zaitun terhadap

derajat ruam popok bayi, Jurnal penelitian Kesehatan Suara Forkes, Vol 9,

No.1 Januari 2018

7. Holst, F. R. 2018. Differential Diagnoses of Diaper Dermatitis. Pediatric

Dermatology, 35, s10–s18.

8. Tuzun, Y., Wolf, R., Baglam, S., Engin, B. 2015. Diaper (Napkin)
Dermatitis: A Fold (Intertriginous) Dermatosis. Clinics in Dermatology,
doi: 10.1016/j.clindermatol.2015.04.012.

9. Gysel, D.V. 2016. Infections and skin diseases mimicking diaper


dermatitis. International Journal of Dermatology, 55, 10-13.

10. Peytavi, U.B., Kanti, V. 2018. Prevention and Treatment of Diaper


Dermatitis. Wiley Pediatric Dermatology, 35, s19-s23.

25

Anda mungkin juga menyukai