Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

TINEA PEDIS

PENYUSUN :
NUR AFIYAT, S.Ked
K1B1 20 061

PEMBIMBING :
dr. Shinta N. Barnas, M.Kes., Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN


KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Nur Afiyat, S.Ked

NIM : K1B120061

Judul : Tinea Pedis

Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada

Desember 2021.

Kendari, Desember 2021

Pembimbing

dr. Shinta N. Barnas, M.Kes., Sp.KK


Tinea Pedis
Nur Afiyat, Shinta N. Barnas

A. Pendahuluan
Kulit merupakan organ yang terletak di sisi terluar tubuh manusia dan
menjadi organ yang mendapat pengamatan secara terus menerus baik oleh
diri sendiri maupun orang lain. Di Indonesia yang menjadi penyebab
penyakit kulit biasanya akibat infeksi bakteri, jamur, virus, parasit yang
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal sehingga sering memberikan perbedaan
gambaran klinis penyakit kulit seperti faktor iklim, kebiasaan dan
lingkungan. Infeksi penyakit oleh jamur dapat ditemukan hampir di seluruh
daerah Indonesia karena merupakan wilayah yang baik untuk pertumbuhan
jamur. Iklim dan kondisi geogafis di Indonesia memudahkan pertumbuhan
jamur sehingga menyebabkan banyaknya kasus infeksi jamur.1
Penyakit kulit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita ini
disebut dengan dermatofitosis.2 Dermatofitosis merupakan penyakit pada
jaringan yang mengandung zat tanduk misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita. 1
Dermatofitosis disebut juga dengan tinea dan memiliki variasi sesuai dengan
lokasi anatominya seperti tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis
dan tinea korporis.2
Tinea pedis atau ringworm of the foot adalah infeksi dermatofita pada
kaki, terutama pada sela jari dan telapak kaki. Tinea pedis merupakan
infeksi jamur yang paling sering terjadi dan penyebab adalah Trichopyton
Rubrum yang memberikan kelainan menahun.3
B. Definisi
Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela
jari dan telapak kali dan paling sering dilihat adalah interdigitalis antara jari
IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.4
Tinea pedis atau yang lebih dikenal dengan kutu air adalah penyakit
akibat infeksi jamur dermatofita yang mengenai kulit pada jari-jari kaki,
telapak kaki, dan bagian lateral kaki. 5
C. Epidemiologi
Indonesia sebagai negara tropis menjadi lahan subur tumbuhnya jamur
khususnya jamur Trichophyton Rubrum. Trichophyton Rubrum adalah salah
satu spesies jamur yang menyebabkan banyak penyakit. Penyakit-penyakit
akibat jamur ini sering menginfeksi masyarakat. Trichophyton Rubrum
menyerang jaringan kulit dan menyebabkan beberapa infeksi kulit antara
lain adalah tinea pedis.6
Tinea pedis lebih sering menginfeksi laki-laki daripada perempuan,
dan angka insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, dan jarang
sekali ditemukan pada anak-anak. Diperkirakan 15% dari total penduduk di
Inggris mengalami tinea pedis, di Italia dengan prevalensi 25% (722 orang),
dan di China dengan prevalensi 27% (1014 orang). Kejadian dermatofitosis
di Indonesia pada rentang tahun 2002-2004 mengalami peningkatan
prevalensi sebanyak 14,4%. Prevalensi tinea pedis berdasarkan data statistik
RSP di Indonesia seperti RS. Dr. Soetomo, RSCM, RS. Dr. Hasan Sadikin,
RS. Dr. Sardjito didapatkan peningkatan sebesar 16%.7
D. Etiologi
Tinea pedis penyebab tersering oleh Trichopyton Rubrum,
Trychophyton Mentagrophytes dan Epidermophyton Floccosum.
Trichopyton Rubrum menimbulkan lesi hiperkeratolitik dan kering
menyerupai bentuk sepatu sandal (moccasin like) pada kaki, Trychophyton
Mentagrophytes seringkali menimbulkan lesi yang vesikuler dan lebih
meradang.8
Gambar 1. Trichophyton Rubrum
Gambaran koloni Trichophyton Rubrum yaitu berwarna putih
bertumpuk ditengah dan maroon pada tepinya berwarna merah ceri pada
PDA. Gambaran mikroskopik yaitu beberapa mikrokonidia berbentuk air
mata sedikit makrokonidia berbentuk pensil.9

Gambar 2. Trichophyton Mentagrophytes.


Gambaran koloni Tricophyton Mentagrophytes yaitu putih hingga
krem dengan permukaan seperti tumpukan kapas pada PDA tidak muncul
pigmen. Pada gambaran mikroskopik mikrokonidia yang bergerombol
seperti buah anggur, bentuk cerutu yang jarang terkadang hifa spiral.9
Gambar 3. Epidermaphyton Floccosum.
Gambaran koloni Epedermaphyton Floccosum seperti bulu datar
dengan lipatan central dan berwarna kuning kehijauan, kuning kecoklatan.
Gambaran mikroskopik tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan
tebal. Makrokonidia berbentuk ganda.9
E. Patofisiologi
Infeksi dermatofita disebabkan oleh arthrospora atau konidia yang
bereproduksi secara aseksual. Suhu tinggi, basa pH dan hiperhidrosis
memfasilitasi infeksi pada organisme ini. Faktor pejamu yang dapat
meningkatkan infeksi ini termasuk kulit yang rusak, maserasi kulit dan
imunosupresi. Namun, Pseudomonas aeruginosa, transferin sel pembunuh
alami dan monosit CD14-positif menghambat invasi jamur. Infeksi
dermatofita yang paling umum adalah karena tidak adanya sebum, yang
sekresi penghambatan alami; sebum tidak ada di daerah plantar karena tidak
adanya kelenjar sebasea. Dermatofit melepaskan berbagai enzim (misalnya
keratinase, metalloprotease, sistein dioksigenase dan protease serin),
menghasilkan lipase dan menyerang superfisial keratin.10
Keratinosit tidak hanya merupakan penghalang fisik terhadap
dermatofita tetapi juga berperan dalam kekebalan reaksi kulit. Mereka
mengekspresikan pengenalan pola reseptor, seperti reseptor Toll (TLRs) dan
dektin-1, yang mempromosikan pelepasan berbagai proinflamasi sitokin dan
faktor kemotaktik dan menyebabkan reaksin inflamasi, seperti kemerahan
dan pembengkakan. Keratinosit juga melepaskan peptida antimikroba,
termasuk defensin, cathelicidins dan psoriasin, yang mencegah jamur invasi.
Pelepasan beta-defensin menurun pada pasien dengan dermatitis atopik,
yang sering menyebabkan infeksi dermatofita. Infeksi dermatofita dianggap
jarang terjadi pada pasien psoriasis. Faktor kemotaktik merekrut neutrofil
dan monosit (makrofag), yang merupakan fagosit inflamasi yang menelan
dermatofit dan melepaskan sitokin. Mereka juga menghasilkan spesies
oksigen reaktif (ROS), seperti superoksida, hidrogen peroksida dan
hidroksil. 10

Gambar 4. Patogenesis Tinea Pedis.10


Adheren. Jamur superfisial harus mengatasi beberapa hambatan agar
artrokonidia, elemen infeksius, dapat menempel pada jaringan yang
mengalami keratinisasi. Mereka harus menahan efek sinar ultraviolet,
variasi suhu dan kelembaban, persaingan dari flora normal, dan sphingosin
yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh
kelenjar sebasea bersifat fungistatik, terutama yang memiliki panjang rantai
7, 9, 11, dan 13. Adanya asam lemak ini pada anak-anak pascapubertas
dapat menjelaskan penurunan dramatis pada infeksi tinea kapitis setelah
pubertas.11
Penetration. Setelah perlekatan, spora harus berkecambah dan
menembus stratum korneum lebih cepat daripada deskuamasi. Penetrasi
dilakukan dengan sekresi proteinase, lipase, dan enzim mucinolitik, yang
juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor penting dalam patogenesis
tinea pedis. Mannan jamur di dinding sel dermatofit juga dapat menurunkan
tingkat proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul setelah lapisan
epidermis yang lebih dalam tercapai, termasuk kompetisi untuk besi oleh
transferin tak jenuh dan kemungkinan penghambatan pertumbuhan jamur
oleh progesteron.11
Development Of Host Response. Tingkat inflamasi dipengaruhi baik
oleh status imun pasien maupun oleh organisme yang terlibat. Deteksi
kekebalan dan kemotaksis sel inflamasi dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan faktor kemotaktik dengan berat
molekul rendah seperti yang dihasilkan oleh bakteri lainnya mengaktifkan
komplemen melalui jalur alternatif, menciptakan faktor kemotaktik yang
diturunkan dari komplemen. Pembentukan antibodi tampaknya tidak
protektif pada infeksi dermatofit, karena pasien dengan infeksi yang meluas
mungkin memiliki titer antibodi yang meningkat. Sebagai alternatif, tipe IV
atau hipersensitivitas tipe tertunda (DTH), memainkan peran penting dalam
memerangi dermatofitosis. Dengan imunitas seluler dipertahankan oleh
sekresi interferon dari limfosit T-helper tipe 1. Pada pasien tanpa pajanan
dermatofit sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi minimal, dan
tes kulit trichophytin negatif. Infeksi menghasilkan eritema dan skala
ringan, akibat peningkatan pergantian keratinosit. Diduga antigen
dermatofit kemudian diproses oleh sel Langerhans epidermis dan
dipresentasikan di kelenjar getah bening.11
Patogenesis infeksi dermatofit melibatkan kompleks interaksi antara
pejamu, agen dan lingkungan. Faktor-faktor yang menjadi predisposisi
infeksi semacam itu adalah: penyakit yang mendasari seperti diabetes
mellitus, limfoma, status immunocompromised, atau sindrom Cushing, usia
yang lebih tua. Beberapa area tubuh yang rentan terhadap perkembangan
infeksi dermatofit seperti area intertriginosa di mana keringat berlebih,
maserasi, dan pH basa mendukung pertumbuhan jamur. Setelah inokulasi ke
dalam kulit inang, kondisi yang sesuai mendukung infeksi untuk
berkembang melalui kepatuhan diikuti oleh penetrasi yang dimediasi oleh
protease, serin-subtilisin dan fungolysin, yang menyebabkan pencernaan
jaringan keratin menjadi oligopeptida atau asam amino dan juga bertindak
sebagai rangsangan imunogenik yang kuat. Selain itu, mannan diproduksi
oleh T. rubrum menyebabkan penghambatan limfosit. Gangguan fungsi sel
Th17 menyebabkan penurunan produksi interleukin-17 (IL-17), IL-22
menghasilkan persistensi infeksi, serin-subtilisin, dan fungolysin, yang
menyebabkan pencernaan jaringan keratin menjadi oligopeptida atau asam
amino dan juga bertindak sebagai rangsangan imunogenik yang kuat.12
F. Gejala Klinis
Tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut
mempunyai morfologi khas. Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas
tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorfi). Bagian tepi
lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah
sehingga kepustakaan lama menyebutkannya sebagai eczema marginatum
yang mencerminkan deskripsi klinis lesi dermatofitosis. Gambaran klinis
dermatofitosis yang bervariasi tidak hanya bergantung pada spesies
penyebab dan sistem imun pejamu namun juga pada adanya keterlibatan
folikel rambut. Bergantung pada berat ringannya reaksi radang dapat dilihat
berbagai macam lesi kulit.4
Tinea pedis ialah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari
dan telapak kaki. Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk
interdigitalis. Di antara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik
halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari. Kelainan ini dapat
meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh
karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek klinis
maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini
dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah
diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun
dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada
suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri
sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan dapat pula terjadi
erisipelas, yang disertai gejala-gejala umum.4
Bentuk lain ialah yang disebut moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik;
eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Bersifat
kronik dan sering resisten pada pengobatan. Di bagian tepi lesi dapat pula
dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. 4
Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-
kadang bula. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian
meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. lsi vesikel berupa cairan jernih
yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang
berbentuk lingkaran yang disebut koleret. lnfeksi sekunder oleh bakteri
dapat terjadi juga pada bentuk ini. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel.
Untuk menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk
diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak. Tinea pedis banyak
terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari banyak bersepatu
tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki
yang selalu atau sering basah. Penderita biasanya orang dewasa. Tinea
manum adalah dermatofitosis pada tangan. Klinis tampak bentuk
hiperkeratosis dan penebalan lipat. Semua bentuk kelainan di kaki dapat
terjadi pula pada tangan. 4
Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai
mengeluh gatal dan nyeri karena terjadi nfeksi sekunder dan peradangan.
Dikenal empat bentuk klinis yang sering dijumpai, yaitu:
1. Tipe Interdigitalis (Intertriginous Kronik) merupakan bentuk tinea pedis
yang paling umum. Terdapat erosi dan eritema pada kulit interdigital dan
subdigital, terutama disisi lateral jari ketiga, keempat dan kelima.
Umumnya, infeksi menyebar pada sekitar bagian dalam dari kaki, dan
jarang menyebar ke punggung kaki. Adanya oklusi dan koinfeksi dari
bakteri lain akan menyebabkan maserasi interdigitalis, pruritus dan bau.8

Gambar 5. Tinea pedis tipe Interdigitalis8


2. Tipe kronik Hiperkerototik (Moccasin) biasanya bilateral. Terdapat lesi
pada sebagian atau seluruh telapak kaki, bagian lateral dan medial kaki.
Trychophyton rubrum merupakan pathogen utama. Ciri lain tinea pedis
kronik hiperkeratotik adalah adanya vesikel yang cepat sembuh dengan
diameter kurang dari 2 mm dan eritema yang bervariasi.8

Gambar 6. Tinea pedis tipe Moccasin8


3. Tipe Vesikobulosa. Tinea pedis tipe vesikobulosa umumnya disebabkan
oleh Trychophyton interdigitale (Trychophyton mentagrophytes),
memiliki wujud kelainan kulit seperti vesikel dengan diameter lebih dari
3 mm, vesikopustula, atau bulla pada telapak kaki dan area periplantar.
Tipe ini jarang ditemukan pada anak-anak namun apabila terjadi,
biasanya disebabkan oleh Trychophyton rubrum.8
4. Tipe Akut Ulseratif. Tinea pedis yang diakibatkan kombinasi
Trychophyton interdigitale dan koinfeksi bakteri gram negatif. Temuan
klinis yang didapat adalah vesikopustula dan ulserasi purulen pada
telapak kaki. Tipe vesikobulosa dan akut ulseratif sering menimbulkan
reaksi baik yang menyebar ditangan ataupun di lateral kaki.8

Gambar 7. Tinea pedis tipe Vesikobulosa8


G. Diagnosis
Tinea pedis dapat didiagnosis melalui metode klinis. Salah satu metode
adalah melalui pemeriksaan fisik, yang biasanya mengacu pada presentasi
penskalaan dan maserasi dari ruang interdigital paling lateral, meluas ke
medial. Infeksi muncul dengan pola tipe kering, yang terlihat dan termasuk
hiperkeratosis plantar dan bagian lateral kaki. Ini adalah pola presentasi fisik
yang paling umum dari infeksi tinea pedis. Pola yang kurang umum diamati
sebagai vesikel kecil dan lepuh yang muncul pada dasar eritematosa pada
permukaan plantar kaki.12
Metode diagnosis lainnya meliputi pemeriksaan dengan lampu Wood,
pemeriksaan mikroskopis langsung, dan kultur jamur. Meskipun lampu
Wood's dapat digunakan, belum tentu sensitif dalam mendeteksi dermatofit,
karena tidak berfluoresensi. Alasan utama untuk menggunakan tes ini
mungkin untuk membedakan tinea dari eritrasma (infeksi kulit superfisial
yang menyebabkan bercak coklat, kulit bersisik) yang disebabkan oleh
Corynebacterium minutissimum. 12
Metode lain mungkin pengumpulan jaringan keratin untuk pemeriksaan
mikologi. Sampel dibiakkan pada agar dan hasilnya dapat diharapkan setelah
dua minggu. Bahkan jika hasil dari pemeriksaan mikroskopis mungkin
negatif, dokter masih dapat meresepkan pengobatan untuk tinea pedis, jika
presentasi fisik penyakit ini jelas atau meyakinkan sampel dari area aktif di
mana lesi dicurigai sebagai tinea pedis. Kerokan kulit idealnya harus
dikumpulkan dari tepi yang terangkat. Pemeriksaan mikroskopis langsung
merupakan salah satu teknik yang dapat dilakukan. Tes ini mudah dan cepat,
serta sangat spesifik dan sensitif untuk identifikasi dermatofit. Metode
alternatif identifikasi termasuk penggunaan strip uji dermatofit dan
melakukan kultur jamur. 12
1. Pemeriksaan Fisik
a. Tipe Interdigitalis (Intertriginous Kronik)
Terdapat skuama, maserasi dan eritema pada daerah interdigital dan
subdigital, terutama pada tiga jari lateral. Umumnya, infeksi menyebar
ketelapak kaki yang berdekatan dengan dorsum pedis. Adanya oklusi
dan koinfeksi dari bakteri lain akan menyebabkan maserasi, pruritus
dan malador.13
b. Tipe Hiperkeratotik Kronik
Klinis tampak skuama difus atau setempat, bilateral, pada kulit yang
tebal (telapak kaki, lateral, dan medial kaki), dikenal sebagai moccasin-
type. Dapat timbul sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolerat
dengan diameter kurang dari 2 mm.13
c. Tipe Vesikobulosa
Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter lebih dari 3 mm,
vesikopustul, atau pada kulit tipis telapak kaki dan periplantar.13

d. Tipe Ulseratif Akut


Terjadi koinfeksi dengan bakteri gram negative menyebabkan
vesikopustul dan daerah luas dengan ulserasi purulen pada permukaan
plantar. Sering diikuti selulitis, limfangitis, dan demam.13
2. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan langsung sediaan basah
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas,
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH 20%. Setelah sediaan
dicampur dengan KOH ditunggu selam 15-20 menit. Untuk
mempercepet proses pelarutan dapat dilakukan proses pemanasan
sediaan basah diatas api kecil. Bila terjadi penguapan, maka akan
terbentuk kristal KOH sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai.
Untuk melihat elemen jamur yang lebih nyata dapat ditambahkan zat
warna pada sediaan KOH misalnya tinta Parker superchroom blue
black. Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet
(atrospora) pada kelainan kulit lama dan/ atau sudah diobati. 4
2. Pemeriksaan dengan pembiakan
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies
jamur pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis
pada media buatan. Pada agar sabouraud dapat ditambahkan antibiotik
(kloramfenikol) atau klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk
menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.4
3. Histopatologi
Histopalogi dapat digunakan dalam diagnosis granuloma
Majocchi di mana pemeriksaan KOH skala di permukaan mungkin lebih
sering menjadi negatif. Jika ada, hifa mungkin dihargai di stratum
korneum pada hematoxylin dan eosin pewarnaan. Noda khusus yang
paling sering digunakan adalah pewarnaan periodic acid-Schiff dan
Gomori methanamine silver yang membantu untuk sorot hifa.14
4. Dermoscopy
Rambut yang sedikit melengkung, rambut patah poros, dan
pencukur rambut pembuka botol telah digambarkan sebagai penanda
dermoskopik tinea capitis. Rusak dan distrofik rambut juga terlihat.
Namun, pada tinea corporis, keterlibatan rambut vellus seperti yang
terlihat pada dermoskopi merupakan indikator sistemik terapi. 14
5. Polymerase Chain Reaction dan Nucleic Acid Sequence Based
Amplification
Uniplex PCR untuk deteksi dermatofit langsung secara klinis
sampel: PCR untuk deteksi langsung dermatofit dalam skala kulit
tersedia sebagai uji PCR-ELISA yang secara terpisah mengidentifikasi
banyak dermatofita. Dalam studi percontohan, sensitivitas dan
spesifisitas dari tes dibandingkan dengan budaya adalah 80,1% dan
80,6% Multiplex PCR untuk deteksi jamur pada dermatofita: Tes PCR
multipleks yang tersedia secara komersial memungkinkan amplifikasi
simultan dari 21 patogen dermatomikosis dengan deteksi DNA
berikutnya dengan menggunakan gel agarosa elektroforesis.14
H. Tata Laksana
1. Medikamentosa
Berbagai agen tradisional tanpa antimikroba spesifik fungsinya
masih digunakan, termasuk salep Whitfield dan Cat Castellani (larutan
Carbol fuchsin). Kemanjuran dari persiapan ini belum dihitung dengan
baik. Lesi yang menutupi area permukaan tubuh yang besar gagal untuk
membersihkan dengan pengobatan berulang menggunakan topikal yang
berbeda agen harus dipertimbangkan untuk terapi sistemik. Ada belum
ada studi banding yang pasti tentang kombinasi sistemik dan topikal
versus monoterapi dengan pengobatan antijamur sistemik.14
Tersedia bermacam pengobatan topikal maupun sistemik untuk
berbagai tipe dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi dermatofit ke
dalam folikel rambut, maka infeksi yang mengenai daerah berambut
memerlukan pengobatan oral. Griseofulvin dalam bentuk fine particle
dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g
untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kgbb. Diberikan 1-2 kali sehari,
lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit
dan imunitas penderita. Efek samping griseofulvin berupa sefalgia,
dizziness, dan insomnia. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat
menggangu fungsi hepar. Obat peroral yang juga efektif untuk
dermatofitosis yaitu ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada kasus-
kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan 200 mg/hari selama
10 hari sampai 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol
merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.4
Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai fungsi
hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari 10 hari, dapat diberikan
obat triazol yaitu itrakonazol. Pemberian obat ini cukup 2 x 100-200 mg
sehari dalam kapsul selama 3 hari. Hasil pemberian intrakonazol dosis
denyut sama dengan pemberian terbinafin 250 mg sehari selama 3 bulan.
Terbinafin yang bersifat fungisidal dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5-250 mg sehari
bergantung pada berat badan. Efek samping terbinafin dapat berupa
gangguan pengecapan meskipun presentasinya kecil. Rasa pengecapan
hilang sebagian atau seluruhnya beberapa minggu setalah konsumsi obat
dan bersifat sementara.4
Tinea pedis berhasil diobati dengan antijamur topikal pada 70%
hingga 75% pasien dibandingkan dengan 20% hingga 30% menggunakan
plasebo. Minyak pohon teh kemungkinan tidak efektif. Terbinafine
topikal dapat menghasilkan peningkatan absolut 2% hingga 8% lebih
banyak pasien yang sembuh daripada yang lain topikal. Kebanyakan
pasien dirawat selama 1 minggu dengan terbinafine dan 4 sampai 6
minggu dengan azoles (seperti klotrimazol).15
2. Non medikamentosa
Pasien harus didorong untuk memakai pakaian yang longgar terbuat dari
bahan katun atau sintetis yang dirancang untuk menyerap kelembapan
jauh dari permukaan. Kaus kaki harus memiliki sifat yang serupa. Area
yang mungkin terinfeksi harus dikeringkan sepenuhnya sebelum ditutup
dengan pakaian. Pasien juga harus disarankan untuk menghindari
berjalan tanpa alas kaki dan berbagi pakaian.18
a. Menjaga kebersihan diri
b. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat
c. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat.
d. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang
rentan terinfeksi jamur
e. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah
mandi.
f. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang
lain. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi
g. Skrining keluarga
h. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya
direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau
menggunakan disinfektan lain.11
I. Diagnosis banding
1. Eritrsama
Eritrasma adalah infeksi kulit superfisial, ditandai oleh makula
eritematosa hingga kecokelatan, berbatas tegas, didaerah lipatan
(intertriginosa) atau berbentuk fisura dengan maserasi putih disela-sela
jari. Faktor predisposisi adalah iklim yang lembab dan hangat, higene
yang buruk, hiperhidrosis, obesitas, diabetes melitus, usia lanjut, dan
keadaan imunosupresi.4
Gambar 8. maserasi di antara jari-jari kaki karena erythrasma. 10
2. Impetigo Bullous
Impetigo bullous adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus dan sering terdapat pada anak dan orang dewasa.
Kelainan kulit berupa eritem, bula, dan bula hipopion. Kadang-kadang
waktu penderita berobat, vesikel/bula telah memacah sehingga yang
tampak hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa.4

Gambar 9. pada pasien dengan lesi vesiculobullous erosif pada


tumit karena impetigo bulosa. 10
3. Pitiriasis Rubra Pilaris
Pitiriasis rubra piliaris merupakan penyakit yang berbentuk
eritroskuamous dengan karakteristik papul folikuler keratolitik yang
progresif membentuk plak atau bahkan eritroderma disertai dengan
keratoderma palmoplantar. Penyebabnya belum diketahui. Umumnya,
penyakit ini tidak didapatkan keluhan kecuali gatal pada beberapa kasus.
Karakteristik pitiriasis rubra pilaris adalah papul folikuler yang
penyebarannya membentuk plak kekuningan berskuama dan membentuk
hyperkeratosis pada plantar padat berkonfluens.4

Gambar 10. Pitiriasis rubra piliaris. 11


4. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis
kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik.
Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis kontak iritan
merupakan reaksi peradangan non-imunologik, yaitu kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses pengenalan/sensitisasi.
Sebaliknya, dermatitis alergik terjadi pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap satu bahan penyebab/ allergen.4
Gambar 11. pasien dengan dermatitis kontak yang menyerupai
tinea pedis vesikular10
J. Prognosis
Jenis infeksi tinea pedis dan kondisi yang mendasarinya (misalnya,
imunosupresi, diabetes) mempengaruhi prognosis, namun dengan
pengobatan yang tepat prognosis umumnya baik. Tinea pedis tidak
berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang signifikan.16
Daftar Pustaka

1. Sondakh, C., Pandaleke, T., Mawu, F. 2016. Profil Dermatofitosis di Poliklinik


Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-
Desember 2013. Jurnal e-Clinik (eCl) Vol.4, Januari-Janu 2016: 1-7.
2. Husni,H., Asri, E., Gustia, R. 2018. Identifikasi Dermatofita pada Sisir
Tukang Pangkas di Kelurahan Jati Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas
Vol. 7: 331-335. FK Unad Padang
3. Hadi, S. 2020. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tinea Pdis pada
Mahasiswa Tamta di Resimen Induk Kodam VII Wirabuana Makassar. UMI
Medical Journal Vol. 5, Juni 2020: 12-19.
4. Menaldi, S.L.S.W., Bramono, K., Wresti, I. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta. Page 109-116
5. Farihatun, A., Nurmalasari, A., Hayati, E., Sumirah, M., Setiawan, D.,
Wahlanto, P. 2018. Identifikasi Jamur Penyebab Tinea Pedis pada Kaki
Penyadap Karet Di PTPN VIII Cikupa Desa Cikupa Kecamatan Banjar Sari
Kabupaten Ciamis Tahun 2017. Meditory Vol. 6, Juni: 56-60.
6. Nurhayati E, Kuswiyanto K, Pilo K. 2017. Pengaruh Ekstrak Bunga
Cengkeh (Syzygium Aromaticum) terhadap Zona Hambat Jamur
Tricophyton Rubrum. J Lab Khatulistiwa. Vol.1, November: 26–7.
7. Thevany, Natalia, D., Zakiah, M. 2018.Uji Resistensi Penyebab Tinea Pedis
pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pontianak terhadap Ketokonazol.
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa Vol. 4, Januari: 579-587.
8. Zuhrina, T. 2021. Perilaku Atlet Unit Pelaksana Teknik Kebakatan Olahraga
Provinsi Sumetra Utara dalam Menjaga Hygiene Kaki terhadap Kejadian
Tinea Pedis Tahun 2020. Skripsi. Program Studi Pendidikan dan Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumetra Udara. Medan.
9. Kurniati, Rosita C. 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol. 20, Desember: 243–250.
10. Ilkit, M., Durdu, M. 2014. Tinea pedis: Etiologi dan Epidemiology Global
Jamur Secara Umum. Jurnal Critical Review In Microbiology. Page 5-6.
11. Makola, N.F., et all. 2018. Managing Athlete’s Foot. Journal South African
Family Practice. Vol. 60 (5): 37-41.
12. Sahoo, A.K., Mahajan, R. 2016. Management of tinea corporis, tinea cruris,
and tinea pedis: A comprehensive review. Jurnal Of Indian Dermatology.
Vol. 7, Maret-April: 78-80.
13. Perhimpunan Dokter Spesialis penyait Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI). 2017. Panduan Praktis Klinik: Dermatofitosis. p:51-55
14. Wolff, K., et all. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. Ed.
Seventh. United States. Page 1807.
15. Thomas, B., Falk, J., Allan, G.M. 2021. Topical Management Of Tinea
Pedis. Journal Of Canadian Family Physician.Vol. 67, January: 30.
16. Schawartz R. 2021. Tinea Pedis
https://emedicine.medscape.com/article/1091252-overview.

Anda mungkin juga menyukai