Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

PENATALAKSANAAN SEPSIS ET CAUSA GANGREN ILEUM DI ICU

Oleh :
Sandhi Wirya Andrayuga, S.Ked
K1B1 20 050

PEMBIMBING
dr. Munandar Marsuki, Sp.An

PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Sandhi Wirya Andrayuga, S.Ked

NIM : K1B1 20 050

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Laporan Kasus : Penatalaksanaan Sepsis Et Causa Gangren Ileum di ICU

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik pada
Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2022

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Munandar Marsuki, Sp.An

2
PENATALAKSANAAN SEPSIS ET CAUSA GANGREN ILEUM DI ICU
Sandhi Wirya Andrayuga, Munandar Marsuki

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi

respons tubuh terhadap infeksi.1 Sepsis memengaruhi 750.000 pasien setiap tahun

di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kematian pada pasien sakit

kritis. Sebanyak 210.000 orang meninggal setiap tahun karena sepsis dan sekitar

15% pasien sepsis menjadi syok sepsis. Sekitar 10% akhirnya masuk ICU dengan

angka kematian lebih dari 50%.1

Syok septik adalah respon serius terhadap infeksi yang melibatkan sirkulasi

dan kelainan metabolik seluler, hal ini memiliki efek substansial pada morbiditas

dan mortalitas. Pedoman dari surviving sepsis campaign (SSC) menyebabkan

penurunan kejadian sepsis, namun syok sepsis masih menyumbangkan 62% kasus

syok dengan angka kematian di rumah sakit lebih besar dari 40%. Intensive Care

Unit (ICU) bedah, infeksi intraabdominal adalah penyebab sepsis yang paling

umum dengan tingkat kematian 10,5% di seluruh dunia. Mortalitas terkait syok

sepsis menurun, namun laju disfungsi organ tetap tinggi.2

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase

60% sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi

sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk

yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau

endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membrane terluar

3
dari bakteri gram negative. LPS akan merangsang peradangan jaringan, demam,

dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung

jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci,

Streptococci, dan bakteri gram positif, lainnya jarang menyebabkan sepsis,

dengan angka kejadian 20% sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur

oportunistik, virus (Dengue dan Herpes), atau protozoa (Falciparum malariae)

dilaporkan dapat menyebabkan sepsis walaupun jarang.

Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok

septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70%

isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif

saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur

lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat

mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses

tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.2

Peritonitis adalah inflamasi terlokalisasi atau generalisata di dalam kavum

peritonium yang umumnya disebabkan oleh bakteri atau jamur, namun dapat juga

disebabkan oleh zat noninfeksi seperti kandungan gaster atau isi empedu.

Peritonitis akibat infeksi diklasifikasikan atas primer, sekunder, atau tersier.

Peritonitis ini diklasifikasikan berdasar atas integritas anatomi kavum abdominal.3

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Definisi Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa

yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi.

Disfungsi organ dinyatakan sebagai perubahan akut pada total skor

Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2 poin sebagai konsekuensi

dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak

diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan

dengan risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit

umum dengan kecurigaan adanya infeksi.3 SIRS yang terdapat dalam

definisi sepsis terdahulu dianggap tidak bisa dijadikan dasar diagnosis

karena respon inflamasi tersebut bisa hanya menggambarkan respon host

yang normal dan adaptif. Bahkan pasien dengan disfungsi organ ringan

kondisinya dapat memburuk lebih jauh, menandakan bahwa sepsis

merupakan suatu kondisi yang serius dan membutuhkan intervensi yang

cepat dan tepat. Dalam definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah

dihilangkan, hal ini bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa

diberi penanganan yang tepat sesegera mungkin.1

Pasien dengan curiga adanya infeksi yang diprediksi menjalani

perawatan di ICU dalam jangka waktu lama atau diprediksi meninggal di

rumah sakit selain dengan menggunakan skor SOFA, dapat secara cepat

diidentifikasi dengan quick SOFA (qSOFA), yang terdiri dari :1

a. Terganggunya status kesadaran

5
b. Tekanan darah sistolik <100 mmHg

c. Laju pernafasan >22 x/menit

Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana

abnormalitas metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien

cukup berat sehingga dapat meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok

sepsis dapat diidentifikasi berdasarkan adanya sepsis yang disertai hipotensi

persisten yang membutuhkan vasopresor untuk menjaga agar MAP >65

mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) walaupun telah

diberi resusitasi yang adekuat.1

2.1.2. Epidemiologi Sepsis

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian

di Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis.

Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika

Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk

penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali

lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per

100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat. 16

Di Indonesia pada 1996, sejumlah 4.774 pasien dibawa ke rumah

sakit pendidikan di Surabaya dan 504 pasien terdiagnosa mengalami sepsis,

dengan rasio kematian 70.2%. Pada sebuah studi di salah satu rumah sakit

pendidikan di Yogyakarta, ada 631 kasus sepsis pada 2007, dengan rasio

kematian sebesar 48.96%.16

6
Etiologi Sepsis

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan

persentase 60% sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk

dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan

mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah

lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks

merupakan komponen utama membrane terluar dari bakteri gram negative.

LPS akan merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada

penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab

terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci,

Streptococci, dan bakteri gram positif, lainnya jarang menyebabkan sepsis,

dengan angka kejadian 20% sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu

jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes), atau protozoa (Falciparum

malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis walaupun jarang.

Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70%

kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif,

terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram

positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau

mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan

serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik,

tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak

dapat diakses oleh kultur.16,17

7
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya

populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat

bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di

antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid

atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan

ventilasi mekanis.17

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.

Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru,

saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan

dengan sepsis yaitu:

a. Infeksi paru-paru (pneumonia)

b. Flu (influenza)

c. Appendiksitis

d. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

e. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter

telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

g. Infeksi pasca operasi

h. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada

satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.18

2.1.3. Patofisiologi Sepsis

Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan

dari sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi.

8
Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh

kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat yang berjauhan

dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi

dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab

infeksi.19

a. Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan

perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh

komponen membran luar organisme gram negatif (misalnya,

lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif

(misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan

komponen parasit.

Gambar 1 Gambaran Klinis Sepsis (dikutip dari kepustakaan 19)


Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan

kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk

9
meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh

mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang

dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB

(NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-

inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1).

TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators,

termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan

fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang

menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini

menyebabkan produksi molekul adhesi pada Sepsis leads to organ

failure and death via a cascade of inflammation and coagulation.

Activated protein C (APC) blocks the cascade at several points. A

formulation of recombinant human APC has been approved for

treating sepsis. IL-1, interleukin 1; TNF-α, tumor necrosis factor α. 12

sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan

cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil.

Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO),

vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan

mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang

terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi

trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular.

Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat dalam arti

10
meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja

vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi

yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan

gangguan fungsi organ dan kematian. 19,20

b. Tahapan perkembangan sepsis

Sepsis berkembang dalam tiga tahap:

1. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau

abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan

perawatan rumah sakit.

2. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah

mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal,

paru-paru atau hati.

3. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan

darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ

vital tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Jika tidak diobati,

sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok septik

dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan

kematian.

2.1.4. Faktor Risiko

Faktor risiko sepsis meliputi :

a. Usia

Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih

baik dibandingkan usia tua.19 Orang kulit hitam memiliki kemungkinan

11
peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif

mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45

sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian

Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia

lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis

di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa

dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan

kulit putih untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan

dengan sepsis di semua kelompok umur. 19

Gambar 2 Angka kematian akibat sepsis berdasarkan umur pada ras


tertentu (dikutip dari kepustakaan 16)

b. Jenis kelamin

Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang

berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok

ras/ etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian

terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar,

12
sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi

kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya

7%. 19

c. Ras

Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit

hitam dan terendah di antara orang Asia. 19

d. Penyakit komorbid

Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan

tubuh (gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan

alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan

komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang

lebih berat.23

e. Genetik

Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa

polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding

protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki

berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis

dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak

menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator

penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes

genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang

tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.23

f. Terapi kortikosteroid

13
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan

kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan

dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik

merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid kronis

meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti

Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang

dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi

mengakibatkan sepsis.24,25

g. Kemoterapi

Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat

membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh

cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima

kemoterapi beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah

putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh

terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum

setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap

infeksi dapat menjadi serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al.,

sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien kanker

neutropenia. 26-27

h. Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan

mortalitas pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry

Wang, Russell Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada

14
tahap stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian

sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis

di masa depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian

Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada

mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini

berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan

diabetes. 28-29

2.1.6 Manifestasi klinis

Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang

ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic

inflammatory response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat,

syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome

(MODS).30

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik

(yaitu demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi

hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik

atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta

peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik

hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih

dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran

pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah

ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.19

15
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah

kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini

mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia

dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,

dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti

pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium)

atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan

penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan

usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat

mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan

sekurangkurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto

toraks dan urinalisis.19

Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin

berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama

perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya

ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status

mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena

perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium,

tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan

kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.

Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis

yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium

16
didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan

klinis.19

2.1.7. Diagnosis

Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan

konfirmasi mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau

apus gram dari buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan

mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal

sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur

dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan organisme.

Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan

tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah,

profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang

menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan

pemantauan secara intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral,

tekanan darah, dan cardiac output. 31

Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk

mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau

hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas,

tandatanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang

tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok

septik, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik

yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium,

17
faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan

sepsis.20

Pada sepsis awal hasil laboratorium yang ditemukan adanya

leukositosis, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat

terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan dohle,

atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi yang menimbulkan alkalosis

respiratorius, hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksien. Lipid serum

meningkat.20

Pada sepsis tahap selanjutnya dapat dijumpai trombositopenia yang

semakin memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penurunan

fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukan DIC. Azotemia dan

hiperbilirubin lebih dominan. Aminotransferase meningkat, hipoksemia

yang tidak dapat dikoreksi dengan oksigen 100%, hiperglikemia dibetik

menimbulkan ketoasidosis yang memmperburuk hipotensi.20

18
Tabel 1. Indikator laboratorium untuk sepsis (dikutip dari kepustakaan 18)

2.1.8. Surviving Sepsis Campaign Care Bundles

Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur

menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for

Management of Severe Sepsis and Septic Shock 2012 :

19
Gambar 3 Tata cara pengelolaan pasien (dikutip dari kepustakaan 3)

2.1.9. Manajemen dan Tatalaksana (Early goal directed therapy)

Manajemen sepsis berat harus dilakukan sesegera mungkin dalam

periode emas (golden hours) selama 6 jam pertama. Secara ringkas ,

strategi terapi sepsis berat mencakup 3 hal yakni resusitasi awal dan

kontrol infeksi, terapi dukungan hemodinamik, serta terapi suportif

lainnya. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut

1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg. 2) Tekanan arterial rata-rata

(MAP) ≥65 mmHg. 3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%. 4)

Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan

oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).16

2.1.10. Tiga Kategori Untuk Memperbaiki Hemodinamik Pada Sepsis

Kategori tersebut yaitu :

a. Terapi cairan Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan

diffuse capillary leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi

cairan merupakn tindakan utama.

20
b. Terapi vasopressor Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output

(arterial pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial:

nor epinephrine, dopamine, epinephrine, phenylephrine.

c. Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien

syok septik mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium

yang dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan

pasien mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan

inotropic: dobutamine, dopamine, dan epinephrine.32

2.1.11. Komplikasi

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi

komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:

a. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi

respirasi akut (acute respiratory distress syndrome)

Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama

pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu

pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan

menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi

dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus

sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah

terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang

konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya

tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin

21
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi

cairan.

b. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi

diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat

yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk

mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai

spiral umpan balik dimana kedua sistem 25 diaktifkan secara konstan

dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar

faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan

seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi

akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis

berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.

c. Gagal jantung

Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik,

dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja

langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri

koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan,

yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark

miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan

demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering

menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati

bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.

22
d. Gangguan fungsi hati

Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus

kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali

fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien

mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang

lama. 33

e. Gagal ginjal

Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama

terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan

sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika

gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi

yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal

(misalnya hemodialisis) diindikasikan.

f. Sindroma disfungsi multiorgan

Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi

diperlukan untuk mempertahankan homeostasis.



Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh

infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi

jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.



Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons

peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau

ARDS pada keadaan urosepsis.19

23
BAB III
IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Fabius
Umur : 32 tahun

Tanggal Lahir : 03 Juli 1989

Jenis Kelamin : Laki-laki

Berat Badan : 56 Kg

Tinggi Badan : 158 cm

Alamat : Tongkuno Selatan

Agama : Khatolik

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Status Pernikahan : Menikah

Tanggal Masuk : 31 Januari 2022

RM : 59 49 56

B. ANAMNESIS (Alloanamnesis pada saudara pasien)

1. Keluhan Utama : Nyeri perut sejak 5 hari yang lalu

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien laki-laki usia 32 di rawat di ICU RSU Bahteramas dengan

keluhan nyeri perut yang dirasakan terus-menerus sejak 5 hari yang lalu,

Batuk (-), Sesak (+), mual dan muntah > 5 kali, riwayat demam (+) sejak 5

hari yang lalu hingga kemarin. BAB belum pernah +/- seminggu dan BAK

dalam batas normal.

Riwayat operasi sebelumnya : belum pernah melakukan operasi

24
Riwayat alergi makanan dan obat : tidak memiliki riwayat alergi
makanan dan obat
Riwayat penyakit penyerta : tidak memiliki penyakit penyerta

C. PEMERIKSAAN FISIK DI ICU


Keadaan Umum
Keadaan Umum Sakit Berat
Kesadaran Apatis
Tanda Vital Tekanan Darah : 132/76 mmHG
Nadi : 120 x/menit (Reguler, Kuat
Angkat)
Pernapasan : 32 x/menit
Suhu : 35,8 oC
VAS : 9/10
GCS : 12 (E4V2M6)

Status Generalis

Kulit Berwarna coklat sawo matang,


Kepala
Rambut Normocepal

Berwarna hitam, tidak mudah tercabut.

Mata Konjungtiva anemis(-), sklera ikterik (-), Exopthalmus (-/-),


edema palpebra -/-, Gerakan bola mata dalam batas normal,
Hidung
Epitaksis (-) rinorhea (-)
Telinga
Mulut Otorrhea (-) nyeri tekan mastoid (-)
Bibir pucat (+) bibir kering (+) perdarahan gusi (-)

Leher Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid
(-)

Thoraks Inspeksi
Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan. Retraksi sela

25
iga (+)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus dalam batas normal
Perkusi
Sonor kiri = kanan
Auskultasi
vesikular (+/+), Stridor (-/-), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi
Ictus kordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan pada linea parasternal dextra, batas
jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
BJ I dan II murni regular, murmur (-)
Abdomen Inspeksi
Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi
Peristaltik usus (+) (5 kali dalam 1 menit) kesan kurang
Palpasi
Nyeri tekan (+), Pembesaran lien (-) Pembesaran hepar (-)
Ballotemen ginjal (-).
Perkusi
Tympani (+)
Ekstremitas -ekstremitas atas nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-), teraba hangat
-ekstremitas bawah nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-), teraba
dingin

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Kimia Darah dan Elektrolit (31-01-2022)

26
Parameter Nilai Rujukan Satuan

SGOT 26 <31 U/L


SGPT 17 <31 U/L
Creatinin 0,9 0,5-1,0 mg/dL
Ureum 19 15-40 mg/dL
Glukosa Darah Sewaktu 131 70-180 mg/dl

Darah Rutin (31-01-2022)

Parameter Nilai Rujukan Satuan

WBC 9,13 4.0-10.0 103/uL


RBC 5,85 4.00-6,00 106/uL
HGB 16,7 12.0-16.0 g/Dl
HCT 48,3 37.0-48.0 %
MCV 82,6 80.0-97.0 fL
MCH 28,5 26.5-33.0 Pg
MCHC 34,6 31.5-35.0 g/dL
PLT 157 150-400 103/uL

2. Foto USG (31 Januari 2022)


USG Abdomen

27
Gambar 4 USG Abdomen

Kesan :

- Tanda-tanda meteorismus dengan fecal material yang banyak.

E. RESUME

Pasien laki-laki usia 32 tahun dirawat di ICU RSU Bahteramas dengan

keluhan nyeri perut yang dirasakan terus-menerus sejak 5 hari yang lalu,

Batuk (-), Sesak (+), mual dan muntah > 5 kali, riwayat demam (+). BAB

belum pernah +/- seminggu dan BAK dalam batas normal.

Riwayat operasi sebelumnya : belum pernah melakukan operasi

Riwayat alergi makanan dan obat : tidak memiliki riwayat alergi

makanan dan obat

Riwayat penyakit penyerta : tidak memiliki penyakit penyerta

Pemeriksaan fisis didapatkan Tekanan Darah : 132/76 mmHG, nadi :

120x/menit (regular, kuat angkat) , pernapasan : 32x/menit, suhu : 35,8 oC

retraksi sela iga (+), suara napas vesikuler (+/+) dan tidak terdapat suara

28
napas tambahan. Pemeriksaan foto USG abdomen didapatkan tanda-tanda

meteorismus dengan fecal material yang banyak.

F. DIAGNOSIS

Peritonitis Generalisata + Sepsis Intraabdominal

G. RENCANA PEMBEDAHAN

Laparatomi

H. ASSESMEN ANESTESI

ASA PS 3

I. RENCANA ANESTESI

GETA (General Endotracheal Anesthesia)

J. PENANGANAN

PERJALANAN PENYAKIT DI ICU

Tanggal S O A P

04-02- Pasien masuk Kesadaran: Peritonitis IVFD RL/ 31 tpm/


2022, ICU dengan Apatis Generalisata 24 jam
18.00 keluhan nyeri TD: 132/76 dengan sepsis Inj. Ketorolac 1
WITA perut, mual, Nadi: 120 Intraabdomen amp/ IV/ 6 jam
dan muntah x/menit Inj. Ondansentron 1
sebanyak 5x, Respirasi: amp/ IV/ 6 jam
riwayat 32x/menit Metronidazole 500
demam (+). Suhu: 35,8°C mg/ Drips IV/ 8
Kepala : jam
Normochepal Oksigen 4 Lpm per
Leher : nasal kanul
pembesaran

29
KGB (-)
Thoraks : cor
 BJ I-II reg
G (-) M (-)
Pulmo : Rh -/-
Wh -/-
Abdomen :
tampak
cembung, Bu
(+) kesan
menurun
Ekstermitas :
akral dingin

Hb : 16.7 gr%
Ht : 48.3%
Trombosit :
157 /mm3
Leukosit :
5.85 /mm3

SGOT : 26
SGPT : 17
Kreatinin : 0,9
Ureum : 19
GDS : 131

30
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien Tn. F laki-laki usia 32 tahun dirawat di ICU RSU Bahteramas

dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan terus-menerus sejak 5 hari yang lalu,

Batuk (-), Sesak (+), mual dan muntah > 5 kali dalam sehari, riwayat demam (+).

BAB belum pernah +/- seminggu. Pasien dikonsulkan ke poli bedah digestiv

dengan diagnosis Peritonitis Generalisata dan direncanakan operasi laparatomi.

Manajemen anestesi yang harus diperhatikan selama prosedur laparatomi

dimulai dari penilaian praoperasi. Status kesehatan umum setiap pasien harus

dievaluasi. Pasien dengan penyakit kardiorespirasi memerlukan pemeriksaan

tambahan. Untuk membantu dalam penilaian risiko, American Society of

Anesthesiologists (ASA) dibedakan menjadi :4

1. ASA PS 1 : Pasien normal sehat, tidak merokok, tidak ada atau penggunaan

alkohol minimal

2. ASA PS 2 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan. Penyakit ringan

dengan tanpa batasan fungsional. Contohnya perokok hingga saat ini, pengguna

alkohol, kehamilan, obesitas (30 < BMI < 40), Diabetes Melitus, Hipertensi

yang terkontrol dengan baik, penyakit paru-paru ringan

3. ASA PS 3 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat. Keterbatasan

fungsional, satu atau lebih penyakit sedang hingga berat. Contohnya Diabetes

Melitus atau Hipertensi yang tidak terkontrol, PPOK, obesitas (BMI ≥ 40),

hepatitis aktif, ketergantungan atau penyalahgunaan alkohol, menggunakan

implan alat pacu jantung implan, pengurangan fraksi ejeksi sedang, End Stage

31
Renal Disease yang menjalani dialysis secara rutin, Post Conceptual Age bayi

prematur < 60 minggu, riwayat Miokard Infark (> 3 bulan), Cerebrovascular

Accident, Transient Ischemic Attack, atau Coronary Artery Disease/stent

4. ASA PS 4 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik parah yang merupakan

ancaman terhadap kehidupan. Contohnya Miokard Infark baru (< 3 bulan),

Cerebrovascular Accident, Transient Ischemic Attack, atau Coronary Artery

Disease/stent, Iskemia Jantung berkelanjutan atau disfungsi katup berat,

pengurangan fraksi ejeksi yang berat, sepsis, Disseminated Intravascular

Coagulation, Acute Respiratory Distress Syndrome, atau End Stage Renal

Disease yang tidak menjalani dialisis secara teratur

5. ASA PS 5 : Seorang pasien yang hampir meninggal dan diperkirakan tidak

akan bertahan hidup tanpa operasi. Contohnya ruptur aneurisma perut / toraks,

trauma masif, perdarahan intrakranial dengan efek massa, iskemik bowel

dengan gangguan jantung yang signifikan atau disfungsi multipel organ/

disfungi sistem.

6. ASA PS 6 : Seorang pasien yang dinyatakan mati batang otak dan organnya

diambil untuk tujuan donor

Penambahan "E" yang menunjukkan operasi darurat. Darurat didefinisikan

sebagai ketika terdapat keterlambatan dalam perawatan pasien akan menyebabkan

peningkatan yang signifikan pada ancaman terhadap kehidupan atau bagian tubuh.

Pada kasus ini pasien dikategorikan dalam kategori status fisik ASA PS 3

yaitu pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat. Status fisik

ini dapat dilihat dari diagnosis pasien yaitu peritonitis generalisata. Berdasarkan

32
anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien terdapat distress napas berupa retraksi

sela iga (+), takipneu dengan RR 32 kali/menit, dan nyeri perut (+). Hasil foto

USG Abdomen didapatkan kesan Tampak tanda-tanda meteorismus dengan fecal

material yang banyak.

Peritonitis adalah inflamasi terlokalisasi atau generalisata di dalam kavum

peritonium yang umumnya disebabkan oleh bakteri atau jamur, namun dapat juga

disebabkan oleh zat noninfeksi seperti kandungan gaster atau isi empedu.

Gangguan hemodinamik pada peritonitis memiliki beberapa dampak.

Hipovolemia menurunkan volume ekstraseluler akibat pergeseran massif cairan ke

dalam kavum peritonium dan menyebabkan penurunan cardiac index, peningkatan

resistensi vascular perifer, dan peningkatan konsumsi oksigen di perifer. Inilah

alasan dilakukan resusitasi sebelum tindakan apapun seperti pada kasus ini.

Setelah diresusitasi dilakukan laparatomi dan ditemukan gangren di sepanjang

ileum yang kemudian direseksi dan dilakukan anastomosis dan ileostomy selama

3 jam. Pascaoperasi pasien ditransfer ke ICU dan dirawat di ICU selama 1 hari

dan di pindahkan ke ruang perawatan bedah. Syok sepsis merupakan komplikasi

yang sering ditemukan pada peritonitis generalisata dengan akibat gagal organ

ganda (MOF/ multiple organ failure) dan kadang kematian.

Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului oleh

tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia, takipnea,

leukositosis) dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah dan tampak

kebingungan. Pada Tn. F terdapat takikardi dengan denyut nadi 120 kali/menit

dan takipneu dengan frekuensi napas 32 kali/menit. Tempat infeksi yang paling

33
sering adalah paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak

dan sistem saraf pusat, sedangkan pada Tn. F tempat infeksinya adalah pada

traktus digestivus, Gejala sepsis Tn. tidak terlalu diperberat oleh berbagai faktor

seperti usia lanjut, diabetes, kanker, dan gagal organ utama yang sering diikuti

dengan syok.1

Tanda-tanda klinis yang dapat dinilai untuk mempertimbangkan sepsis

dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak

jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-tanda vasodilatasi perifer, shock dan

perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik

yang menunjukkan syok septik, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi

vaskuler sistemik yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji

laboratorium, faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan

sepsis. 20

Dalam mendiagnosis sepsis, diperlukan anamnesa dan pemeriksaan yang

menyeluruh. Pasien dengan curiga adanya infeksi yang diprediksi menjalani

perawatan di ICU dalam jangka waktu lama atau diprediksi meninggal di rumah

sakit selain dengan menggunakan skor SOFA, dapat secara cepat diidentifikasi

dengan quick SOFA (qSOFA), yang terdiri dari :

1. Laju Pernapasan ≥ 22 kali/menit

2. Perubahan kesadaran (Skor Glasgow Coma Scale ≤13)

3. Tekanan darah sistolik ≤100mmHg

Pada pasien ini ditemukan gangguan status kesadaran GCS : 12 (E4 V2

M6), peningkatan laju pernafasan 32 kali/menit, peningkatan denyut nadi 120

34
kali/menit, sehingga di dapatkan skor qSOFA yaitu 2 yang selanjutnya akan

dilakukan penilaian skor SOFA untuk menegakan diagnosis sepsis pada pasien

ini.

Pada pasien ini di dapatkan GCS = 12 (E4V2M6) sehingga skor SOFA yang di

dapatkan adalah 2.

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien

langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan fokus

infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah terjadi disfungsi organ.1

1. Perbaikan hemodinamik harus segera dilakukan seperti airway, breathing

circulation.

Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis, yaitu : 6

a. Terapi cairan

• Karena sepsis dapat menyebabkan syok disertai demam,

venadilatasi dan diffuse capillary leackage

35
• inadequate preload sehingga terapi cairan merupakan tindakan

utama

b. Terapi vasopresor

Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure

dan perfusi organ tidak adekuat) dapat diberikan vasopresor potensial

seperti norepinefrin, dopamine, epinefrin dan phenylephrine.

c. Terapi inotropik

Bila resusitasi cairan adekuat tetapi kontraktilitas miokard masih

mengalami gangguan dimana kebanyakan pasien akan mengalami

cardiac output yang turun sehingga diperlukan inotropik seperti

dobutamin, dopamine dan epinefrin.

2. Ventilasi Mekanik

Terapi ventilasi dilakukan dengan strategi proteksi paru untuk

memperbaiki oksigenasi, ventilasi, serta mengurangi kebutuhan oksigen

pasien (termasuk menghindari kelelahan otot pernapasan). Pada Tn. F

tidak dilakukan ventilasi mekanik akan tetapi pemberian oksigen 4 liter

per menit per nasal kanul pada Tn. F bertujuan untuk memperbaiki

oksigenasi dan memenuhi kebutuhan oksigen pasien.

3. Antibiotik

Sesuai jenis kuman atau tergantung suspek tempat infeksinya.35

pemberian antibiotik berupa metronidazole pada Tn. F sudah sesuai

berdasarkan penggunaan metronidazole yang efektif pada saluran cerna.

4. Fokus infeksi awal harus diobati

36
Hilangkan benda asing yang menjadi sumber infeksi. Angkat organ

yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang menjadi gangrene,

bila perlu dikonsultasikan ke bidang terkait seperti spesialis bedah, THT

dll.35 Tn. F menjalani operasi laparatomi dan dilakukan reseksi pada

gangren ileum sebagai salah satu penanganan source control.

5. Terapi suportif, mencangkup :5

a) Pemberian elektrolit dan nutrisi

b) Terapi suportif untuk koreksi fungsi ginjal

c) Koreksi albumin apabila terjadi hipoalbumin

d) Regulasi ketat gula darah

e) Heparin sesuai indikasi

f) Proteksi mukosa lambung dengan AH-2 atau PPI

g) Transfuse komponen darah bila diperlukan

h) Kortikosteroid dosis rendah (masih kontroversial)

i) Recombinant Human Activted Protein C :

Merupakan antikoagulan yang menurut hasil uji klinis Phase III

menunjukkan drotrecogin alfa yang dapat menurunkan resiko relative

kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut yang terkait

sebesar 19,4% yang dikenal dengan nama zovant.6

37
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Pada pasien Tn. F dengan diagnosis peritonitis Generalisata,

memiliki indikasi untuk dirawat di ICU dengan severe sepsis/ syok sepsis.

Penggunaan SOFA score maupun q-SOFA dapat digunakan untuk

mengetahui seberapa berat keadaan pasien. Penatalaksanaan awal dari

pasien syok sepsis Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma

langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia.

Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi untuk mencapai hal

tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan terapi dapat

ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :

1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat

2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Marik PE,Taeb AM. SIRS, qSOFA and new sepsis definition. J Thorac
Dis. 2017;9(4):943-5. Doi:10.21037/td.2017.03.125

2. Kopitko C, Medve L, Gondos T. The value of combined hemodynamic,

respiratory and intra-abdominal pressure monitoring in predicting acute

kidney injury after major intraabdominal surgeries. Ren Fail.

2019;41(1):150–8.

3. Xu Z, Cheng B, Fu S, Liu X, Xie G, Li Z, dkk. Coagulative biomarker on

admission to the ICU predict acute kidney injury and mortality in patients

with septic shock caused by intra-abdominal infection. Infect Drug Resist.

2019;12:2755–64.Singh, R. K., Saini, A. M., Goel, N., Bisht, D., & Seth,

A. 2015. Major laparoscopic surgery under regional anesthesia: A

prospective feasibility study. medical journal armed forces india, 71(2),

126-131

4. Hurwitz, E., Simon, M., Vinta, S.R. 2017. Adding Examples to the ASA-

Physical Status Classification Improves Correct Assignment to Patiens.

Anesthesiology. Vol 126(4).

5. Donmez, T., Erdem, V. M., Uzman, S., Yildirim, D., Avaroglu, H.,

Ferahman, S., & Sunamak, O. 2017. Laparoscopic cholecystectomy under

spinal-epidural anesthesia vs. general anaesthesia: a prospective

randomised study. Annals of surgical treatment and research, 92(3), 136-

142

39
6. Zeng Z, Tay WC, Saito T, Thinn KK, Liu EH.2018. Difficult Airway

Management during Anesthesia: A Review of the Incidence and Solutions.

J Anaesthesiol Crit Care. Vol 1 No.1:5

7. Sonavdekar, S., & Nayak, M. 2016. Predictors of difficult airway:

preoperative assessment. Journal of Evolution of Medical and Dental

Sciences, 5(36), 2163-2169.

8. Dinata, D. A. 2013. Waktu Pulih Sadar pada Pasien Pediatrik yang

Menjalani Anestesi Umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Jurnal Anestesi Perioperatif. Vol. 3(1), No: 100-8.

9. Lafferty KA. What is the LEMON law for airway assessment prior to

rapid sequence intubation (RSI)? [Internet]. Medscape. 2020 [cited 2021

Nov 18]. p. 1–3. Available from:

https://www.medscape.com/answers/80222- 155654/what-is-the-lemon-

law-for-airway-assessment-prior-to-rapidsequence-intubation-rsi

10. Amornyotin, S. 2013. Anesthetic consideration for laparoscopic surgery.

International journal of anesthesiology & research vol : 1 (1).

11. Susiyadi, Riyanto R. 2016. Pemberian Petidin dan Fentanyl Sebagai

Premedikasi Anestesi Terhadap Perubahan Tekanan Darah Di RSUD Prof

DR Margono Soekarjo. Sainteks. XIII(2):49–55

12. Smith G, D’Cruz JR, Rondeau B, Goldman J. 2021. General Anesthesia

for Surgeons [Internet]. StatPearls Publishing.[cited 2021 Nov 26].p.1–9.

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493199/#_NB

K493199_pubdet_

40
13. Arvianti, Oktaliansah E, Surahman E. 2017. Perbadingan Antara

Sevofluran dan Profopol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia

Target Controlled Infusion Terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan

Pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara. J Anestesi Periopratif. Vol

5(1):24–31.

14. Jafari, A., Gharaei, B., Kamranmanesh, M. R., Aghamohammadi, H.,

Nobahar, M. R., Poorzamany, M., ... & Solhpour, A. 2013. Wire

reinforced endotracheal tube compared with Parker Flex-Tip tube for oral

fiberoptic intubation: a randomized clinical trial. Minerva

anestesiologica, 80(3), 324-329.

15. Soenarjo., Jatmiko,D,H. 2013. Anastesiologi. Ed. 2. Bagian Anestesiologi

Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip/Rsup Dr. Kariadi

Semarang. Semarang.

16. Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed.

PhiladelphiaUSA: Saunders Elsevier; 2009. p. 644-9

17. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, et al. Harrison Manual

Kedokteran. Indonesia:Karisma Publising Group; 2009. p. 99-104 15.

Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia:

Binarupa Aksara Publisher; 2012

18. National health service United Kingdom. Sepsis [Internet]. [cited 2014 feb

7]. Available from:

http://www.nhs.uk/Conditions/Bloodpoisoning/Pages/Causes.aspx

41
19. Melamed A, Sorvillo FJ. The burden of sepsis-associated mortality in the

United States from 1999 to 2005: an analysis of multiple-cause-of-death

data. Crit Care 2009, 13:R28

20. LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis.

[internet]. [updated 2013; cited 2014 Feb 7]. Available from:

http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/

infectious-disease/sepsis/

21. Burdette SD. Systemic inflammatory response syndrome [Internet].

[updated 2014; cited 2014 Feb 7]. Available from: Medscape

22. Esper AM, Moss M, Lewish CA, Nisbet R, Mannino DM, Martin GS.

Therole of infection and comorbidity: Factors that influence disparities in

sepsis. Crit Care Med 2006, 34:2576-82

23. Hubacek JA, Strüber F, Fröhlich D, Book M, Wetegrove S, Ritter M,

Rothe G, Schmitz G. Gene variants of the bactericidal/permeability

increasing protein and lipopolysacchraride binding protein in sepsis

patients: gender-specific genetic predisposition to sepsis. Crit Care Med

2001, 29:557-61

24. Klein NC, Go CH, Cunha BA. Infections associated with steroid use.

Infect Dis Clin North Am. 2001 Jun;15(2):423-32

25. Poll TVD. Immunotherapy of sepsis. The Lancet Infectious Diseases. 2001

Oct;1(3):165-74

42
26. National health service United Kingdom. Chemotherapy [Internet]. [cited

2014 feb 18]. Available from:

http://www.nhs.uk/conditions/chemotherapy/Pages/Definition.aspx

27. Penack O, Buchheidt D, Christopeit M, et al. Management of sepsis in

neutropenic patients: guidelines from the infectious diseases working party

of the German Society of Hematology and Oncology. Ann Oncol. 2010.

Available from : Oxford Journals

28. Henry W, Russell G, Suzanne J, et al. Obesity and risk of sepsis. Society

of Critical Care Medicine and Lippincott Williams & Wilkins. 2012.

Available from:

http://journals.lww.com/ccmjournal/Abstract/2012/12001/735___Obesity_

and_Risk_of_Sepsis.697.aspx

29. Kuperman EF, Showalter JW, Lehman EB, et al. The impact of obesity

onsepsis mortality: a retrospective review. BMC Infectious Diseases.

2013. 13:377. Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-

2334/13/377

30. Prayogo et al. : Hubungan antara Faktor Risiko Sepsis Obstetri dengan

Kejadian Sepsis Berat dan Syok Sepsis. Journal Unair [internet]. 2011

[cited 2014 Feb]; 19(3). Available from:

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/1109%20Budhy%20%28P

%29%20%20Format%20MOG.pdf

31. Garna HH. Buku ajar divisi infeksi dan penyakit tropis Universitas

Padjajaran. Jakarta: Sagung Seto. 2012

43
32. Leksana E. SIRS, sepsis, keseimbangan asam-basa, shock, dan terapi

cairan. Semarang: SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Dr.

Kariadi/Fak. Kedokteran Universitas Diponegoro. 2006

33. Centers for Disease Control and Prevention. Preventing infections in


cancer patients [internet]. [cited 2014 Feb 18]. Available from:
http://www.cdc.gov/cancer/preventinfections/

34. Machado NO. Gangrene of Large Bowel Due to Volvulus


Etiopathogenesis, Management and Outcome. 2014.

35. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid
recognition and institution of therapy are crucial. Postgraduate Med.
2002;3:50-9.

44

Anda mungkin juga menyukai