Anda di halaman 1dari 10

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN ANALISIS JURNAL

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL MEI 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

Fatal Strangulation During Consensual BDSM Activity : Three Case


Reports

OLEH :

Adit Metro Putra Prasetya,

S.Ked K1A1 15 153

PEMBIMBING:

dr. Raja Al Fath Widya Iswara, MH, Sp.FM., MHPE

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
PENDAHULUAN

Kematian karena kecelakaan autoerotik sering terjadi dan terjadi


berulang kali dalam pekerjaan kasus forensik. Hal tersebut didefinisikan sebagai
kecelakaan fatal yang disebabkan oleh malfungsi atau efek tak terduga dari
peralatan yang digunakan untuk meningkatkan kenikmatan seksual selama
aktivitas seksual sendirian. Sebagian besar kematian ini terkait dengan
asfiksiofilia, pembatasan pengiriman oksigen yang disengaja ke otak untuk
meningkatkan kenikmatan seksual. Karena perlengkapan biasanya hadir di
tempat kejadian, fetishisme dan parafilia lainnya sering muncul untuk
memainkan peran penting juga. Penyebab kematian paling umum dalam kasus
ini adalah anoksia serebral oleh pencekikan, terutama gantung.1
Banyak laporan kasus yang menjelaskan fenomena ini dan telah
dipublikasikan. Juga diketahui bahwa pencekikan terjadi pada pembunuhan
(motif seksual) dan gantung adalah metode bunuh diri yang paling umum.
Membedakan antara jenis kasus ini bisa sulit, meskipun definisi dan kriteria
yang membantu menentukan cara kematian dapat ditemukan dalam literature.
Sebagai perbandingan, hanya ada sedikit laporan tentang insiden mematikan
terkait dengan BDSM konsensual (singkatan untuk perbudakan dan disiplin,
dominasi). dan kegiatan penyerahan, sadisme dan masokisme) dan kasus kasus ini
tidak sepenuhnya sesuai dengan salah satu kategori yang disebutkan di atas.1
ANALISIS KASUS

JURNAL TEORI
Strangulasi Jeratan adalah salah satu dari tiga jenis strangulasi;
contoh lain strangulasi adalah penggantungan dan cekikan.
Strangulasi adalah tindakan menekan leher yang
menyebabkan keadaan hipoksia otak, tersumbatnya jalan
napas, tersumbatnya aliran darah di leher, atau kombinasi
dua atau tiga hal di atas. Strangulasi yang fatal dapat terjadi
pada kasus kekerasan, kecelakaan, dan penggantungan
dengan keadaan leher tidak patah. Strangulasi tidak harus
menyebabkan kematian; strangulasi terbatas atau terputus
sering dipraktikkan pada asfiksia erotis, olah raga ekstrim,
dan sistem pertahanan diri.2
Waktu yang diperlukan untuk korban menjadi tidak
sadar dari awal strangulasi dilaporkan bervariasi antara 7-14
detik, bila dilakukan secara efektif sampai 1 menit pada
kasus lain, dengan kematian timbul beberapa menit setelah
korban tidak sadar. Refleks sinus karotikus dalam beberapa
kasus dianggap sebagai mekanisme kematian, namun hal itu
masih dalam perdebatan.2
Pada korban meninggal akibat strangulasi pada leher
sering ditemukan bintik pendarahan pada mata, dan bahkan
tanda tersebut dianggap sebagai tanda klasik kematian akibat
asfiksia, namun pada kasus ini bintik pendarahan pada mata
didapatkan pada korban yang masih hidup.2
Pada jurnal dijelaskan :
 Kasus 1 : Korban duduk di sofa, dia diikat ke papan
kayu di belakang kepalanya menggunakan dua tali
sepatu yang saling terkait. Tali sepatu diikatkan ke
bagian belakang tutup kepala, ke kerah atau longgar
di bagian depan leher. Pemeriksaan luar tubuh, petekie
konjungtiva pada kedua mata, perubahan warna pucat
pada wajah dan leher, perubahan warna tipis,
melingkar, kemerahan di bagian depan dan kedua sisi
leher, horizontal di sisi kanan, sedikit naik di kiri sisi
dan abrasi kecil di skrotum ditemukan.
 Kasus 2 : Menurut pria yang masih hidup, rekannya
memasang kerah di lehernya sendiri dan memasang
rantai penghubung dengan carabiner ke kerah di
bagian belakang lehernya. Dia kemudian mengamankan
ujung rantai yang lain ke kail di langit-langit sehingga
kakinya masih menyentuh tanah dan lututnya sedikit
ditekuk. Dia meminta orang lain untuk mencambuknya,
yang dengan enggan dia lakukan selama kira-kira. 15
sampai 20 menit sampai dia menyadari bahwa bibir
pasangannya telah membiru dan dia memiliki busa di
depan mulutnya. Setelah berjuang keras untuk
menjatuhkannya beberapa saat, akhirnya ia berhasil
memotong rantai tersebut dengan tang. Pada
pemeriksaan luar tubuh, terdapat kesan melingkar
paralel dan lecet di sekitar leher dengan celah di
tengkuk. Tanda pengikat sedikit condong ke belakang
di kedua sisi leher dan bentuknya cocok dengan
kerah. Perubahan warna pucat pada wajah dan leher
dan banyak petekie di konjungtiva kedua mata, kulit
di sekitar mata, dan mukosa vestibulum oral terlihat.
 Kasus 3 : Dia mengenakan topeng pengontrol napas
kulit di atas kepalanya dan kertas yang dibasahi
dengan "popper" di depan mulutnya. Setelah itu, dia
mengikatnya ke tiang dalam posisi berdiri dengan
lengan melingkari tiang di belakang punggungnya dan
memborgol pergelangan tangannya. Dia juga
menggunakan tali plastik untuk mengikat kakinya ke
tiang. Dia kemudian meletakkan rantai penghubung
longgar di lehernya, setidaknya sekali di sekitar kolom
dan menempelkannya ke sebuah cincin di ujung atas
kolom dengan carabiner. Dia menyelipkan dildo
melalui lubang di topeng ke dalam mulutnya, setelah
itu dia masih bisa bernapas dan berkomunikasi.
Kemudian menyalakan impuls listrik melalui elektroda
perekat ke penis, skrotum, dan puting menggunakan
perangkat stimulasi listrik bertenaga baterai. Tak lama
setelah itu, kira-kira. 10 menit setelah memulai sesi,
dia "merosot" dan jatuh ke depan. Selama 10 sampai
20 menit, dia gagal mencoba untuk melonggarkan
rantai, mengangkatnya dan meletakkan balok di bawah
kakinya. Pemeriksaan tubuh menunjukkan beberapa
petechiae konjungtiva di kedua mata dan perubahan
warna pucat pada wajah. Pada bagian depan dan
kedua sisi leher terdapat kesan melingkar pada kedua
sisinya sedikit menanjak dengan warna ungu dan
beberapa lecet.
Intoksikasi Keracunan merupakan masuknya suatu zat ke dalam
tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan serta
kematian. Racun masuk ke dalam tubuh melalui berbagai
cara yaitu; 3
1. Ditelan (per oral; ingesti)
Portal entri ini sering dan mudah terjadi namun
bahan asing yang masuk tidak akan mudah mencapai
peredaran darah karena beberapa hal penting yang
terkait pada fungsi saluran gastro intestinal. Di mulut
xenobiotik bercampur dengan ludah yang mengandung
enzim, di dalam lambung xenobiotik yang tidak tahan
asam akan dihancurkan oleh asam lambung, di usus
halus akan bertemu dengan enzim usus halus yang
bersifat basa sehingga xenobiotik asam akan
ternetralisir, dan seterusnya hingga terbuang melalui
usus besar. Proses absorpsi terjadi melalui mukosa
usus, yang selanjutnya mengalir melalui system
sirkulasi darah
2. Terhisap bersama udara pernafasan (inhalasi).

3. Melalui penyuntikan (parenteral; injeksi)

4. Penyerapan melalui kulit (absorpsi)


Pajanan xenobiotik melalui kulit terjadi ketika
xenobiotik mengenai kulit atau terbawa angin hingga
menempel di kulit. Semakin luas area kulit yang
terkena dan semakin lama durasi kontak maka semakin
serius dampak yang akan terjadi. Toksisitas melalui
kulit (acute dermal toxicity) dapat terjadi jika
xenobiotik diabsorpsi kulit, menembus epidermis,
kemudian memasuki kapiler darah dalam kulit,
sehingga terbawa sampai paru-paru dan organ vital
lainnya seperti otak dan otot. Xenobiotik akan segera
diabsorpsi jika kontak melalui kulit atau mata. Absorpsi
ini akan terus berlangsung selama pestisida masih ada
pada kulit. Kecepatan absorpsi berbeda pada tiap
bagian tubuh. Perpindahan residu pestisida akan
menambah potensi keracunan.
Manifestasi utama keracunan adalah gangguan
penglihatan kesukaran bernafas dan hiperaktif
gastrointestinal. Pada keracunan akut gejala-gejala timbul
dalam 30-60 menit dan mencapai puncaknya dalam 2-8jam.
1. Gejala keracunan ringan tampak anoreksia, sakit
kepala, pusing lemah, gelisah, tremor lidah & kelopak
mata, miosis dan penglihata-kabur.
2. Gejala keracunan sedang adalah mual, salivasi,
lakrimas kejang perut, muntah, banyak berkeringat,
nadi lambat dan fasikulas otot-otot.
3. Gejala keracunan berat adalah diare, pupil pinpoint dan
tidak bereaksi, pernapasan sukar, edema paru, sianosis,
kendali sfingter hilang, kejang, koma dan blok jantung.
4. Gejala keracunan kronik organofosfat timbul akibat
penghambatan kolinesterase dan akan menetap selama
2-6 minggu, menyerupai keracunan akut yang ringan.
Tetapi bila terpapar lagi dalam jumlah kecil dapat
timbul gejala yang berat. Untuk golongan karbamat,
ikatan dengan AChE bersifat sementara dan akan
terlepas kembali dalam beberapa jam (reversibel),
sehingga tidak akan timbul keracunan kronik.4
Pada jurnal dijelaskan :
 Kasus 1: Analisis toksikologi menunjukkan bahwa
dominatrix berada di bawah pengaruh kokain selama
insiden tersebut. Tidak ada luka yang relevan
ditemukan di tubuhnya. Dia kemudian dihukum
karena pembunuhan tidak disengaja.
 Kasus 2 : Meskipun sampel darah dan urin pasangan
telah dikumpulkan, atas perintah jaksa, tidak ada tes
toksikologi yang dilakukan. Menurut rekannya, dia
telah minum beberapa gelas anggur bersoda sebelum
kejadian. Pemeriksaan fisiknya tidak menunjukkan
cedera yang relevan. Kematian itu dinyatakan sebagai
kecelakaan oleh pihak berwenang.
 Kasus 3 : Analisis toksikologi dari sampel darah dan
urin menunjukkan bahwa dominatrix tidak berada di
bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol selama
insiden tersebut. Karena kondisi mentalnya, tidak ada
pemeriksaan fisik yang dilakukan. Dia kemudian
dihukum karena pembunuhan tidak disengaja.
Sebab kematian Kematian adalah berhentinya fungsi biologis yang
mempertahankan kehidupan seseorang. Pada dasarnya
kematian disebabkan oleh gagalnya fungsi salah satu dari
tiga pilar kehidupan manusia yaitu gagalnya fungsi otak
(central nervous system) yang ditandai dengan keadaan
koma, gagalnya fungsi jantung (circulatory system) dengan
gejala sinkop, dan gagalnya fungsi paru-paru (respiratory
system) yang menyebabkan asfiksia. Kematian dapat terjadi
perlahan-lahan mengikuti perjalanan penyakit, namun juga
dapat terjadi secara mendadak. Pemeriksaan kematian
mendadak sering dilakukan oleh dokter ahli forensik
mengingat pada kasus kematian mendadak dapat timbul
kecurigaan apakah ada unsur-unsur tindak pidana sehingga
harus diperlakukan sebagai kematian yang tidak wajar
(unnatural)sebelum dapat dibuktikan bahwa kematian
tersebut bersifat wajar (natural)secara ilmiah. Kematian
mendadak sering disamakan dengan kematian wajar yang
tidak terduga (sudden natural unexpected death), yaitu suatu
kematian yang disebabkan oleh karena penyakit alamiah
bukan akibat trauma atau keracunan.5
Ilmu kedokteran telah membuat klasifikasi penyebab
kematian ke dalam empat tipe berdasarkan jenis
penyakit/patologi yang berhubungan dengan efek yang
ditimbulkan pada berbagai organ. Tipe penyebab kematian
merupakan suatu jembatan tanatologi yang menghubungkan
antara penyakit dan penyebab kematian yaitu kemartian tipe
linear, tipe divergen, tipe konvergen dan tipe kompleks. Pada
kematian tipe linear, terdapat hubungan langsung antara
penyebab kematian dengan penyakit dasarnya dengan kata
lain bahwa penyebab kematian seseorang dapat ditentukan
dengan melihat kelainan organ tertentu yang mendasari
misalnya pada seseorang dengan riwayat penyakit jantung
koroner (PJK), terdapat suatu keadaan penebalan dan
penyumbatan arteri koronaria sehingga menyebabkan infark
miokard dan lebih lanjut lagi menimbulkan kematian oleh
karena timbul keadaan komplikasi temponade perikardium.5
Pada kematian tipe divergen, tidak terdapat hubungan
langsung antara penyebab kematian dengan penyakit
dasarnya dengan kata lain seseorang yang memiliki penyakit
kronis yang berat pada suatu organ. Kematian yang
ditimbulkan bukanlah secara langsung oleh karena penyakit
pada suatu organ tersebut tetapi karena berbagai komplikasi
non-organ yang ditimbulkan, contohnya seseorang yang
mengalami keganasan akan timbul gejala sindrom lisis
tumor, kakheksia, anemia, intoksikasi sehingga pada
akhirnya meninggal oleh karena komplikasi non organ
tersebut.5
Kematian tipe konvergen merupakan tipe kematian
yang disebabkan berbagai keadaan patologi pada organ tubuh
akan menyebabkan kerusakan pada satu organ vital sehingga
menyebabkan kematian pada seseorang. Dengan kata lain,
penyakit yang mendasari di berbagai sistem organ
menyebabkan kematian melalui fase patogen akhir yang
umum bagi pe nyakit yang mendasari tersebut, contohnya
pada seseorang dengan riwayat stenosing coronary sclerosis,
ulkus gaster kronik yang disertai perdarahan berulang dan
emfisema yang disert ai dengan bronkitis kronik meninggal
oleh karena komplikasi ber bagai keadaan tersebut
menimbulkan keadaan acute coronary insufisiensi.5
Pada kematian tipe kompleks, kematian timbul oleh
karena kelainan/penyakit pada berbagai organ yang masing-
masingnya menimbulkan berbagai komplikasi yang saling
dapat menimbulkan kematian antara satu dan lainnya,
misalnya seseorang akan dapat meninggal oleh karena
hipertensi yang disertai stenosis arteri basilaris dan emfisema
yang disertai bronkitis kronis.5
Pada jurnal dijelaskan :
 Kasus 1 : Penyebab kematian adalah otak hipoksia
akibat pencekikan. Tanda pengikat di leher tidak dapat
dicocokkan dengan pengikat tertentu sehingga
rekonstruksi yang tepat dari lekukan pencekikan tidak
mungkin dilakukan.
 Kasus 2 : Penyebab kematian dinilai sebagai hipoksia
serebral yang disebabkan oleh pencekikan, sesuai
dengan hukuman gantung. Tidak ada temuan yang
bertentangan dengan pernyataan teman korban.
 Kasus 3 : penyebab kematian adalah hipoksia serebral
yang disebabkan oleh pencekikan, cocok dengan
gantung diri. Tanda pengikat tidak dapat dicocokkan
dengan pengikat tertentu. Itu tidak menggambarkan
struktur rantai penghubung.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bauer, K., Schon, C., Jackowski, C. 2020. Fatal Strangulation During


Consensual BDSM Activity : Three Case Reports. International Journal of
Legal Medicine.
2. Pellondo, TE., Bhima, SK. 2019. Penjeratan dengan Gambaran Bintik
Perdarahan Mata pada Korban Hidup. Majalah Kedokteran UKI 2019 Vol.
XXXV, No.3.
3. Thanos, C.A.A., Tomuka, D., Mall0, N.T.S. 2016. Livor Mortis pada
Keracunan Insektisida Golongan Organofosfat di Kelinci. Jurnal e-Clinic. Vol
4(2): 12-15.
4. Budiyanto A, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta :
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Suryadi, T. 2019. Penentuan Sebab Kematian dalam Visum Et Repertum pada
Kasus Kardiovaskuler. Bagian Imu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Jurnal Averrous Vol.5, No.1.

Anda mungkin juga menyukai