Anda di halaman 1dari 35

TANATOLOGI

2.1 Definisi Tanatologi


Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan perubahan yang
terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang mempengaruhinya. Tanatologi merupakan
ilmu paling dasar dan paling penting dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam
hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum).

2.2 Jenis-Jenis Kematian


Jenis kematian ada 3 yaitu :
a. Mati klinis (somatic death)
Dalam somatic death fungsi pernapasan dan peredaran darah telah berhenti,
sehingga terjadi anoksia yang lengkap dan menyeluruh dalam jaringan-jaringan.
Akibatnya proses aerobik dalam sel-sel berhenti, sedangkan proses anaerobik masih
berlangsung.
Beberapa jaringan masih dapat hidup terus selama beberapa waktu, misalnya:
 Sel-sel saraf masih hidup selama 5 menit setelah orang meninggal.
 Jaringan otot dalam waktu 3 jam setelah orang meninggal masih dapat dirangsang
secara mekanik maupun elektrik.
 Pemberian atropin dalam waktu 4 jam setelah orang meninggal masih dapat
menimbulkan midriasis.
Tanda-tanda kematian yang dapat diperiksa dalam somatic death, yaitu hilangnya
pergerakan dan sensibilitas, berhentinya pernapasan, dan berhentinya denyut jantung dan
peredaran darah. Hilangnya sensibilitas dapat dipastikan dengan Elektro Enchepalografy.
Berhentinya pernapasan dapat diperiksan dengan cara:
 Tes kardiovaskuler.
1. Ausculatory
Dengan stetoscop pada daerah precordial dan didengarkan terus-menerus selama 5
sampai 10 menit.
2. Magnus test.
Karena jantung berhenti maka sirkulasi juga berhenti. Caranya dengan
mengikat/menutup ujung jari korban dengan karet, lalu dilepaskan, maka tidak
tampak adanya perubahan warna pucat menjadi merah.
3. Diaphonos test.
Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan tidak terlihat ada
sirkulasi (warna merah terang).
4. Icard test.
Caranya dengan menyuntikkan subkutan larutan icard, yang terdiri dari:
 Fluorescin 1 gram
 Na biocarbonas 1 gram
 Aquadest ad 8 cc
Bila sirkulasi masih ada, maka daerah sekitar akan berwarna kuning kehijauan.
5. Tes lilin.
Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi vasodilatasi (hiperemi)
sebagai reaksi terhadap rangsang panas karena sirkulasi tidak ada.
6. Arteri radialis incisi
Bila sirkulasi masih ada, maka darah akan keluar secara pulsasi.
7. EKG.
 Tes pernafasan.
1. Ausculatory
Dengan stetoskop didaerah larynx dan didengarkan terus menerus selama 5 menit
sampai 10 menit.
2. Mirror test
Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan di depan hidung atau mulut korban.
3. Bulu-bulu halus.
Tidak terdapat reaksi bersin/ geli ketika bulu-bulu halus diletakkan di depan hidung
korban.
4. Winslow test
Dilakukan pada orang yang pernafasannya agonal (tinggal satu-satu nafasnya)
dengan cara menempatkan cermin di dada korban dan disinari dengan lampu senter.
Bila bernafas maka sinar lampu senter akan ikut bergerak dengan syarat pemeriksa
tidak boleh bergerak. Atau bisa menggunakan baskom berisi air yang akan bergerak
bila ada pergerakan di dada.
 Tes Saraf
1. Memeriksa reflex : reflex kornea
2. EEG

b. Mati seluler / molekuler


- Proses kematian sel/ jaringan setelah mati klinis.
- Waktu kematian tiap jaringan / organ berbeda. Otak merupakan organ yang paling
sensitif yaitu sekitar 3-5 menit. Jaringan otot akan mengalami mati seluler setelah 4
jam dan kornea masih dapat diambil dalam jangka waktu 6 jam setelah seseorang
dinyatakan mati somatis.
- Penentuan mati seluler ini terutama penting dalam transplantasi organ.

c. Mati cerebral
- Yaitu proses kematian yang ditandai dengan tidak berfungsinya otak dan susunan
saraf pusat. (WHO)
- Kerusakan batang otak : pernafasan berhenti namun masih bisa dipertahankan
dengan ventilator.

2.3 Manfaat Tanatologi


Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menetapkan :
a. Mengetahui tanda- tanda kematian.
b. Mengetahui perkiraan saat kematian.
c. Membedakan perubahan-perubahan post mortem dengan kelainan-kelainan yang terjadi
pada ante mortem.
Oleh karena itu pada tahun 1968 telah dicetuskan Declaration Of Sydney yang
berisi:
 Penentuan seseorang telah meninggal harus berdasarkan atas pemeriksaan klinis,
dan bila perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratoris.
 Apabila hendak dilakukan transplantasi jaringan, maka penentuan bahwa seseorang
telah meninggal harus dilakukan oleh dua orang dokter atau lebih, dan dokter ini
bukanlah dokter yang akan mengerjakan transplantasi nanti.

2.4 Perubahan-perubahan yang Terjadi Setelah Kematian dan faktor – faktor yang
mempengaruhi
Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat. Hal ini
dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau lingkungan lebih
mudah.
Ada 2 fase perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat (late).
Perubahan cepat (early) :
- Tidak adanya gerakan.
- Jantung tidak berdenyut (henti jantung).
- Paru-paru tidak bergerak (henti nafas).
- Kulit dingin dan turgornya menurun.
- Mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak.
- Suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortal lividity).
- Lebam mayat.
Perubahan lambat (late) ;
- Kaku mayat (post mortal rigidity).
- Pembusukan (decomposition).
- Penyabunan (sapponifikasi).
- Pengeringan (mummifikasi)

I. Perubahan Kulit Muka


Perubahan paska kematian yang dapat terlihat adalah perubahan yang terjadi pada

kulit muka. Perubahan kulit muka terjadi akibat berhentinya sirkulasi darah maka darah

yang berada pada kapiler dan venula di bawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang

lebih rendah sehingga warna raut muka nampak menjadi lebih pucat. Pada mayat dari

orang yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya

keracunan karbon monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan

tidak cepat menjadi pucat.1

II. Relaksasi Otot

a. Relaksasi primer

Pada saat mati sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos akan mengalami

relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium itu disebut relaksasi

primer.1 Relaksasi perimortal didapatkan 2 – 3 jam setelah kematian. Sel-sel jaringan otot

masih hidup. Peristaltik usus positif atau masih bergerak. Leukosit darah masih bergerak.

Pupil masih bereaksi. Pada fase ini otot sudah tidak memiliki rangsangan dari sistem

saraf pusat. Akibat tidak adanya impuls listrik dari sistem saraf pusat maka tidak ada lagi

koordinasi otot-otot tubuh yang selalu berusaha menjaga keseimbangan dalam segala

posisi tubuh. Jutaan sel serabut otot yang selalu berada dalam keadaan siaga dengan

selalu menjaga posisi kontraksi dan relaksasi yang serasi sehingga kestabilan tubuh selalu

terjaga dalam segala posisi tersebut hilang dengan tidak berfungsinya sistem saraf. Akibat

dari peristiwa ini adalah terjadi relaksasi pada seluruh otot tubuh yang tampak sebagai

relaksasi primer.2 Sehingga tampak rahang bawah akan melorot menyebabkan mulut

terbuka, dada kolap dan bila tidak ada yang menyangga anggota tubuh akan jatuh ke

bawah. Relaksasi yang terjadi pada otot-otot muka akan mengesankan lebih muda dari
umur yang sebenarnya, sedang relaksasi pada otot polos akan mengakibatkan iris dan

spingter ani mengalami dilatasi. Oleh sebab itu jika ditemukan dilatasi pada anus, harus

hati-hati untuk menyimpulkan sebagai akibat hubungan seksual per ani. Pada fase ini

kematian sel belum terjadi sempurna. Korban masih dalam pengertian mati somatik. 1

b. Relaksasi sekunder

Rigor mortis menghilang secara bertahap sesuai urutan timbulnya. Relaksasi

sekunder ini terjadi karena mulai terjadi lisis dari sel-sel otot akibat proses pembusukan.

Hancurnya sel otot, jaringan otot membuat tulang-tulang tidak lagi dipertahankan

posisinya, kecuali akan dijatuhkann posisinya karena adanya gaya berat otot dan tulang

akibat daya tarik grafitasi.

III. Perubahan pada mata

Perubahan pada mata yaitu kurangnya daya lihat atau adanya dominasi pada

insensitivie cornea dan tetap sifatnya. Refleksi daya liat ini akan berkurang dengan

segera seperti brainstem nucle sehingga menimbulkan kerusakan ischaemic. Biji atau

manik mata tidak reaktif. Biji mata biasanya berefleksi terhadap posisi netral dari otot biji

mata, kemudian akan berubah sebagai hasil dari kekakuan pada mayat, maka hal ini tidak

secara signifikan sebagai simbol diagnostik dari luka pada otak atau intoksisasi obat-

obatan atau narkotika. Selaput pelangi merespon stimulasi kimia selama beberapa jam

setelah kematian. Dalam penambahannya terhadap ukuran tetap, biji mata akan mengecil

dan membentuk lingkaran setelah kematian sebagai suatu hasil dari relaksasi. Dan ini

biasanya mudah untuk membedakan dari ketidakteraturan yang disebabkan oleh ante

mortem abnormality dari biji mata atau kelopak mata. Ketegangan pada mata menurun

secara cepat seperti tekanan arterial. Kelopak mata biasanya tertutup tetapi secara umum
tidak sempurna, kegagalan otot akan menghasilkan oklusi penuh dan ini akan terjadi

penyingkapan.

Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea akan

berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea

(taches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi pada lapisan terluar dapat

dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih

dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi

sejak kira-kira 6 jam pasca mati.

Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-

kira 10-12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas.

Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil pada

penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya mati.

Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca mati.

Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus

optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam

lagi.

Selama dua jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus

menjadi kuning. Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi leih gelap.

Pada saat itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar

belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati

menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat.2

Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan pembuluh pembuluh

besar yang mengalami segmentasi dapat dilihat dengan latar belakang kuning-kelabu.
Dalam waktu 7-10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat

kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi

beberapa segmen pembluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan

lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja yang tampak

berwarna coklat gelap.3

Table 1: Factors to consider when interpreting post-mortem results 3


IV. Penurunan Suhu Tubuh

Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energy. Kalor

dan energy ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber energy seperti glukosa,

lemak, dan protein. Sumber energi utama yang digunakan adalah glukosa. Satu molekul

glukosa dapat menghasilkan energy sebanyak 36 ATP yang nantinya digunakan sebagai

sumber energy dalam berbagai hal seperti transport ion, kontraksi otot dan lain-lain.

Energy sebanyak 36 ATP hanya menyusun sekitar 38% dari total energy yang dihasilkan

dari satu molekul glukosa (gambar II.1). Sisanya sebesar 62% energy yang dihasilkan

inilah yang dilepaskan sebagai kalor atau panas.5


Gambar II.1. Metabolisme Glukosa 5

Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga

suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini

disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Proses penurunan

suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor mortis merupakan salah satu

perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah berada pada fase lanjut post

mortem 1,6.

Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk

sigmoid. Hal ini disebabkan ada 2 faktor, yaitu :


1. Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih adanya

proses glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan di otot dan hepar

(gambar II.2).

2. Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu.

Gambar II.3. Glikogenolisis5

Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu penurunan

menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika dirata-rata

maka penurunan suhu tersebut antara 0,9 sampai 1 derajat celcius atau sekitar 1,5 derajat

Fahrenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai dari 37 derajat Celcius

atau 98,4 derajat Fahrenheit sehingga dengan dapat dirumuskan cara untuk

memperkirakan berapa jam mayat telah mati dengan rumus (98,4oF - suhu rectal oF) :
1,5oF. Pengukuran dilakukan per rectal dengan menggunakan thermometer kimia (long

chemical thermometer). 1,6

Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:
1,6
1. Faktor internal

a. Suhu tubuh saat mati

Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati dengan suhu

tubuh tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan mengakibatkan

penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan, pada hypothermia tingkat

penurunannya menjadi sebaliknya.

b. Keadaan tubuh mayat

Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu

tubuh mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi

lebih cepat.

2. Faktor Eksternal 1,6

a. Suhu medium

Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat

terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di tubuh mayat

dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.

b. Keadaan udara di sekitarnya

Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini

disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik. Selain

itu, Aliran udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat

c. Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air

merupakan konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas

dari tubuh mayat.

d. Pakaian mayat

V. Lebam Mayat

Lebam Mayat disebut juga Post Mortem Lividity, Post Mortem Suggilation,

Hypostasis, Livor Mortis, Stainning. Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan

sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah

mencapai capillary bed dimana pembuluh–pembuluh darah kecil afferent dan efferent

saling berhubungan. Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam

pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke

bawah, ke tempat–tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa gravitasi

lebih banyak mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnya juga mengalir ke

bagian terendah yang memberikan kontribusi pada pembentukan gelembung–gelembung

di kulit pada awal proses pembusukan.

Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai

perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpulan darah terjadi secara pasif

maka tempat–tempat di mana mendapat tekanan lokal akan menyebabkan tertekannya

pembuluh darah di daerah tersebut sehingga meniadakan terjadinya lebam mayat yang

mengakibatkan kulit di daerah tersebut berwarna lebih pucat. 6

Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian,

Dimana setelah terbentuk hypostasis yang menetap dalam waktu 10–12 jam ternyata akan
memberikan lebam mayat pada sisi yang berlawanan setelah dilakukan reposisi pada

tubuh dari pronasi ke supinasi (interpostmorchange). 6

Lebam mayat ini biasanya berkembang secara bertahap dan dimulai dengan

timbulnya bercak-bercak yang berwarna keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam

sesudah kematian dimana bercak-bercak ini intensitasnya menjadi meningkat dan

kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa jam kemudian, dimana fenomena ini

menjadi komplet dalam waktu kurang lebih 8–12 jam, pada waktu ini dapat dikatakan

lebam mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan oleh

karena terjadinya perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh

darah akibat tertimbunnya sel–sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses

hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan demikian

penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8-12 jam tidak akan menghilang.

Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat memberi indikasi bahwa suatu

lebam belum terfiksasi secara sempurna.6 setelah empat jam,kapiler-kapiler akan

mengalami kerusakan dan butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari

pecahan darah merah akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di

sekitarnya sehingga menyebabkan warna lebam mayat akan menetap serta tidak hilang

jika ditekan dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi

dilakukan setelah 12 jam dari kematiannya maka lebam mayat baru tidak akan timbul

pada posisi terendah, karena darah sudah mengalami koagulasi. 1

Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relatif. Perubahan

lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian, bila telah terbentuk

lebam primer kemudian dilakukan perubahan posisi maka akan terjadi lebam sekunder
pada posisi yang berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang ganda ini adalah penting

untuk menunjukan telah terjadi manipulasi posisi pada tubuh. Akan tetapi waktu yang

pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah tidak pasti, Polson mengatakan “

untuk menunjukan tubuh sudah diubah dalam waktu 8 sampai 12 jam”, sedangkan Camps

memberi patokan kurang lebih 10 jam. 6

Akan tetapi pada kematian wajarpun darah dapat menjadi permanent incoagulable

oleh karena adanya aktifitas fibrinolisin yang dilepas kedalam aliran darah selama proses

kematian. Sumber dari fibrinolisin ini tidak diketahui tetapi kemungkinan berasal dari

endothelium pembuluh darah, dan permukaan serosa dari pleura. Aktifitas fibrinolisin ini

nyata sekali pada kapiler-kapiler yang berisi darah. Darah selalu ditemukan cair dalam

venule dan kapiler, dan ini yang bertanggung jawab terhadap lebam mayat.6

Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan

pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan pecahnya

pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie (tardieu`s spot) dan

purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang mempunyai diameter dari satu sampai

beberapa milimeter, biasanya memerlukan waktu 18 sampai 24 jam untuk terbentuknya

dan sering diartikan bahwa pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini sering terjadi

pada asphyxia atau kematian yang terjadinya lambat. 6

VI. Kaku Mayat (Rigor Mortis)

Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang

kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah

periode pelemasan/ relaksasi primer. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan
kimiawi pada protein yang terdapat pada serabut-serabut otot. Menurut Szen-Gyorgyi di

dalam pembentukan kaku mayat peranan ATP adalah sangat penting. Seperti diketahui

bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin dan myosin, dimana kedua

jenis protein ini bersama dengan ATP membentuk suatu masa yang lentur dan dapat

berkontraksi (gambar II.3). Bila kadar ATP menurun, maka akan terjadi pada perubahan

pada akto-miosin, diamana sifat lentur dan kemampuan untuk berkontraksi menghilang

sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi kaku dan tidak dapat berkontraksi.7,8

Gambar II.3. Kontraksi otot

Oleh karena kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot itu berbeda-beda,

sehingga sewaktu terjadinya pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada

saat terjadinya kematian somatic, dimana energy tersebut digunakan untuk resintesa ATP,

akan menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Keadaan tersebut

dapat menerangkan mengapa kaku mayat akan mulai nampak pada jaringan otot yang
jumlah serabut ototnya sedikit. Atas dasar itulah mengapa pada kematian karena infeksi,

konvulsi kelelahan fisik serta keadaan suhu keliling yang tinggi akan dapat mempercepat

terbentuknya kaku mayat, demikian pula pada mereka yang keadaan gizinya jelek akan

lebih cepat terjadi kaku mayat bila dibandingkan dengan korban yang mempunyai tubuh

yang baik.7

Secara biokimiawi saat relaksasi primer, pH protoplasma sel otot masih alkalis.

Perubahan alkalis menjadi asam terjadi 2-6 jam kemudian karena adanya perubahan

biokimia, yaitu glikogen menjadi asam sarkolaktik / fosfor. Perubahan protoplasma

menjadi asam menyebabkan otot menjadi kaku (rigor). Relaksasi sekunder terjadi setelah

ada perubahan biokimia, yaitu asam berubah menjadi alkalis kembali saat terjadi

pembusukan.6

Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot (gambar II.4), baik otot lurik maupun

otot polos. Dan bila terjadi pada otot rangka, maka akan didapatkan suatu kekakuan yang

mirip atau menyerupai papan sehingga dibutuhkan cukup tenaga untuk dapat melawan

kekakuan tersebut , bila hal ini terjadi otot dapat putus sehingga daerah tersebut tidak

mungkin lagi terjadi kaku mayat.7

Gambar II.4. Kaku mayat pada lengan dan leher


Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya

setelah 10-12 jam pos mortem, keadaan ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24

jam kaku mayat mulai menghilang sesuai denga n urutan terjadinya, yaitu dimulai dari

otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.7

Adanya kejanggalan dari postur pada mayat dimana kaku mayat telah terbentuk

dengan posisi sewaktu mayat ditemukan, dapat menjadi petunjuk bahwa pada tubuh

korban telah dipindahkan setelah mati. Ini mungkin dimaksudkan untuk menutupi sebab

kematian atau cara kematian yang sebenarnya.7

Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat :

a. Kondisi otot

- Persediaan glikogen

Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi tubuh

sehat sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan lama, juga pada orang

yang sebelum mati banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan lambat.1

- Gizi

Pada mayat dengan kondisi gizi jelek saat mati, kaku mayat akan cepat terjadi.

- Kegiatan Otot

Pada orang yang melakukan kegiatan otot sebelum meninggal maka kaku mayat

akan terjadi lebih cepat.2,11

b. Usia

- Pada orang tua dan anak-anak lebih cepat dan tidak berlangsung lama.

- Pada bayi premature tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada bayi cukup

bulan.11
c. Keadaan Lingkungan

- Keadaan kering lebih lambat dari pada panas dan lembab

- Pada mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung

lama.

- Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi pada

suhu rendah kaku mayat lebih lambat dan lama.

- Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10oC, kekakuan yang terjadi

pembekuan atau cold stiffening.2

d. Cara Kematian

- Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kuku mayat lebih cepat terjadi dan

berlangsung tidak lama.

- Pada mati mendadak, kaku mayat terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih

lama.

Terdapat kekakuan pada pada mayat yang menyerupai kaku mayat :

- Cadaveric spasme (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang

terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasme sesungguhnya

merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului

oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen

dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi

yang hebat sesaat sebelum meninggal. 6,11

Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya.

Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus

tenggelam, tangan yang menggenggam pada kasus bunuh diri.


- Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas.

Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tepi rapuh (mudah robek). Keadaan ini

dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada saat stiffening serabut-serabut

ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan lutut,

membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak

memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau

cara kematian.6,11

- Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin (dibawah 3,5oC

atau 40oF), sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi,

pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, bila cairan sendi yang membeku

menyebabkan sendi tidak dapat digerakan. Bila sendi di bengkokkan secara paksa

maka akan terdengar suara es pecah. Dan mayat yang kaku ini akan menjadi

lemas kembali bila diletakkan ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan

terjadi dalam waktu yang sangat singkat.6,11

Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat)

 Kurang dari 3 – 4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis

 Lebih dari 3 – 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis

 Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian

 Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam

 Rigor mortis menghilang 24 – 36 jam post mortem

VII. Pembusukan Atau Modifikasinya


Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection. Pembusukan

adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses

autolisis dan aktivitas mikroorganisme, terutama Clostridium welchii12.

Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan

steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga

organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autilisis lebih

cepat daripada organ-organ yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pankreas

akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada jantung. Proses autolisis ini tidak

dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril misalnya

mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini tetap terjadi. Proses auotolisis terjadi

sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang

terkena adalah nukleoprotein yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu

sitoplasmanya, kemudian dinding sel akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya

jaringan akan menjadi lunak dan mencair12.

Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh pengaruh

suhu yang rendah maka proses autolisis ini akan dihambat demikian juga pada suhu

tinggi enzim-enzim yang terdapat pada sel akan mengalami kerusakan sehingga proses

ini akan terhambat.

Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan

hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh jaringan tubuh akan segera masuk ke

jaringan tubuh melalui pembuluh darah, dimana darah merupakan media yang terbaik

bagi bakteri untuk berkembang biak. Bakteri ini menyebabkan hemolisa, pencairan

bekuan darah yang terjadi sebelum dan sesudah mati, pencairan trombus atau emboli,
perusakan jaringan-jaringan dan pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang sering

menyebabkan destruktif ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama

adalah Cl. welchii. Bakteri ini berkembang biak dengan cepat sekali menuju ke

jaringan ikat dinding perut yang menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini

terjadi oleh karena reaksi antara H2S (gas pembusukan yang terjadi dalam usus besar)

dengan Hb menjadi Sulf-Meth-Hb. Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat

kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada dinding abdomen

bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka kanan dimana isinya lebih cair,

mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya yang lebih superfisial. Perubahan

warna ini secara bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada

dan bau busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada

permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar merupakan organ yang langsung

kontak dengan kolon transversum. Pada saat Cl.welchii mulai tumbuh pada satu organ

parenchim, maka sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami disintegrasi dan

nukleusnya akan dirusak sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel

menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan strukturnya12.

Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang biak

didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang kemudian mewarnai dinding pembuluh

darah dan jaringan sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang

mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah superfisial

tanpa merusak dinding pembuluh darahnya sehingga pembuluh darah beserta cabang-

cabangnya tampak lebih jelas seperti pohon gundul (arborescent pattern atau

arborescent mark) yang sering disebut marbling. Bakteri pembusukan ini banyak
terdapat dalam intestinal dan paru, maka gambaran marbling ini jelas terlihat pada

bahu,dada bagian atas, abdomen bagian bawah dan paha12.

Secara mikroskopis bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga

jaringan dimana bakteri tersebut banyak memproduksi gelembung gas. Ukuran

gelembung gas yang tadinya kecil dapat cepat membesar menyerupai honey combed

appearance. Lesi ini dapat dilihat pertama kali pada hati . Kemudian permukaan

lapisan atas epidermis dapat dengan mudah dilepaskan dengan jaringan yang

ada dibawahnya dan ini disebut ‘skin slippage’. Skin slippage ini menyebabkan

identifikasi melalui sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi antara

epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-bula yang bening, fragil, yang

dapat berisi cairan coklat kemerahan yang berbau busuk. Cairan ini kadang-kadang

tidak mengisi secara penuh di dalam bula. Bula dapat menjadi sedemikian besarnya

menyerupai pendulum yang berukuran 5 – 7,5 cm dan bila pecah meninggalkan daerah

yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini disebabkan oleh karena

pecahnya sel-sel lemak subkutan sehingga cairan lemak keluar ke lapisan dermis oleh

karena tekanan gas pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku, rambut

kepala, aksila dan pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya

desintegrasi pada akar rambut12.

Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung

udara mengisi hampir seluruh jaringan subkutan. Gas yang terdapat di dalam jaringan

dinding tubuh akan menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan

pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam sikap pugilistic

attitude12.
Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat

menggembung, bibir menonjol seperti “frog-like-fashion”, Kedua bola mata keluar,

lidah terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh

keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat

badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah

mati12.

Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas pembusukan

yang terjadi didalam cavum abdominal menyebabkan pengeluaran udara dan cairan

pembusukan yang berasal dari trakea dan bronkus terdorong keluar, bersama-sama

dengan cairan darah yang keluar melalui mulut dan hidung. Cairan pembusukan dapat

ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan dengan hematotorak dan

biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc12.

Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal

yang meningkat. Pada wanita uterus dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir dari

uterus yang pregnan. Pada anak-anak adanya gas pembusukan dalam tengkorak dan

otak menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi mudah terlepas12.

Organ-organ dalam mempunyai kecepatan pembusukan yang berbeda-beda.

Jaringan intestinal,medula adrenal dan pancreas akan mengalami autolisis dalam

beberapa jam setelah kematian. Organ-organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa

merupakan organ yang cepat mengalami pembusukan. Perubahan warna pada dinding

lambung terutama di fundus dapat dilihat dalam 24 jam pertama setelah kematian.

Difusi cairan dari kandung empedu kejaringan sekitarnya menyebabkan perubahan

warna pada jaringan sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat dilihat
gambaran honey combs appearance, limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek,

dan otak menjadi lunak12.

Pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah pembentukan granula-granula

milliary atau ‘milliary plaques’ yang berukuran kecil dengan diameter 1-3 mm yang

terdapat pada permukaan serosa yang terletak pada endotelial dari tubuh seperti pleura,

peritoneum, pericardium dan endocardium12.

Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu:

1. Early : Organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medula

adrenal, pankreas, otak, lien, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah

2. Moderate : Organ dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung,

ginjal, diafragma, lambung, otot polos dan otot lurik.

3. Late : Uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap

pembusukan karena memiliki struktur yang berbeda dengan jaringan yang lain

yaitu jaringan fibrousa.9

Pada orang yang mengalami obesitas, lemak-lemak tubuh terutama perirenal,

omentum dan mesenterium dapat mencair menjadi cairan kuning yang transluscent

yang mengisi rongga badan diantara organ yang dapat menyebabkan autopsi lebih sulit

dilakukan12.

Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang peranan penting dalam

proses pembusukan sesudah mati. Beberapa jam setelah kematian lalat akan hinggap

di badan dan meletakkan telur-telurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan

telinga. Biasanya jarang pada daerah genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat lalat

lebih sering meletakkan telur-telurnya pada luka tersebut, sehingga bila ada telur atau
larva lalat didaerah genitoanal ini maka dapat dicurigai adanya kekerasan seksual

sebelum kematian. Telur-telur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24

jam. Larva ini mengeluarkan enzim proteolitik yang dapat mempercepat penghancuran

jaringan pada tubuh. Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam

pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian

karena keracunan. Saat kematian dapat kita perkirakan dengan cara mengukur panjang

larva lalat. Penyebab kematian karena racun dapat kita ketahui dengan cara

mengidentifikasi racun dalam larva lalat 9.

Insekta tidak hanya penting dalam proses pembusukan tetapi meraka juga

memberi informasi penting yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat

dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian, memberi petunjuk bahwa tubuh

mayat telah dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, memberi tanda pada badan

bagian mana yang mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam pemeriksaan

toksikologi bila jaringan untuk specimen standart juga sudah mengalami

pembusukan12.

Aktifitas pembusukan sangat optimal pada temperatur berkisar antara 70°-

100°F (21,1-37,8°C) aktifitas ini dihambat bila suhu berada dibawah 50°F(10°C) atau

pada suhu diatas 100°F (lebih dari 37,8°C). Bila mayat diletakkan pada suhu hangat

dan lembab maka proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Sebaliknya bila

mayat diletakkan pada suhu dingin maka proses pembusukan akan berlangsung lebih

lambat. Pada mayat yang gemuk proses pembusukan berlangsung lebih cepat dari pada

mayat yang kurus. Pembusukan berlangsung lebih cepat karena kelebihan lemak akan

menghambat hilangnya panas tubuh dan pada mayat yang gemuk memiliki darah yang
lebih banyak, yang merupakan media yang baik untuk perkembangbiakkan organisme

pembusukan12.

Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat menghambat

pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi yang baru lahir memang terdapat

sedikit bakteri sehingga proses pembusukan berlangsung lebih lambat. Proses

pembusukan juga dapat dipercepat dengan adanya septikemia yang terjadi sebelum

kematian seperti peritonitis fekalis, aborsi septik, dan infeksi paru. Disini gas

pembusukan dapat terjadi walaupun kulit masih terasa hangat.12

Secara garis besar terdapat 17 tanda pembusukan pada jenazah, yaitu 9:

1. Wajah membengkak.

2. Bibir membengkak.

3. Mata menonjol.

4. Lidah terjulur.

5. Lubang hidung keluar darah.

6. Lubang mulut keluar darah.

7. Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan partus (gravid).

8. Badan gembung.

9. Bulla atau kulit ari terkelupas.

10. Aborescent pattern / morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan.

11. Pembuluh darah bawah kulit melebar.

12. Dinding perut pecah.

13. Skrotum atau vulva membengkak.

14. Kuku terlepas.


15. Rambut terlepas.

16. Organ dalam membusuk.

17. Larva lalat9.

Pembusukan dipengaruhi oleh beberapa faktor interinsik diatas, selain itu juga

dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik antara lain kelembaban udara dan medium di mana

mayat berada. Semakin lembab udara di sekeliling mayat maka pembusukan lebih

cepat berlangsung, sedangkan pembusukan pada medium udara lebih cepat

dibandingkan medium air dan pembusukan pada medium air lebih cepat dibandingkan

pada medium tanah 14.

Pada keadaan tertentu tanda-tanda pembusukan tersebut tidak dijumpai, namun

yang ditemui adalah modifikasi pembusukan. Jenis-jenis modifikasi pembusukan

antara lain14.

a. Mumifikasi

Mumifikasi dapat terjadi karena proses dehidrasi jaringan yang cukup cepat

sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan

pembusukan. Proses mumufikasi terjadi bila keadaan disekitar mayat kering,

kelembaban rendah, suhunya tinggi dan tidak ada kontaminasi dengan bakteri.

Terjadinya beberapa bulan sesudah mati dengan tanda-tanda sebagai berikut mayat

menjadi kecil, kering, mengkerut atau melisut, warna coklat kehitaman, kulit

melekat erat dengan tulang di bawahnya, tidak berbau, dan keadaan anatominya

masih utuh 14,10.

b. Saponifikasi
Saponifikasi dapat terjadi pada mayat yang berada di dalamsuasana hangat,

lembab atau basah. Terjadi karena proses hidrolisis dari lemak menjadi asam lemak.

Selanjutnya asam lemak yang tak jenuh akan mengalami dehidrogenisasi menjadi

asam lemak jenuh dan kemudian bereaksi dengan alkali menjadi sabun yang tak

larut. Terbentuk pertama kali pada lemak superfisial bentuk bercak, di pipi, di

payudara, bokong bagian tubuh atau ekstremitas. Terjadinya saponikasi

memerlukan waktu beberapa bulan dan dapat terjadi pada setiap jaringan tubuh

yang berlemak dengan tanda-tanda berwarna keputihan dan berbau tengik seperti

minyak kelapa14,10.

VIII. Biokimiawi Darah

Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis

darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa

hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta

gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh

selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum

kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemkan perubahan dalam darah yang

dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.2

IX. Cairan serebrospinal ( CSS )

Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14% menunjukkan kematian belum

lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg% menunjukkan kematian
belum 24 jam, kadar protein kurang dari 5 mg% dan 10mg% masing-masing

menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam.2

X. Perubahan pada Lambung

Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat

digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat

mati. Namun, keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat

keputusan. Ditemukannya makanan tetentu (pisang, kulit tomat, biji-bijian) dalam

lambung dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal

telah makan makanan tersebut.2

XI. Reaksi Peri mortal

Pada saat terjadi kematian, di dalam tubuh masih terdapat sel dan jaringan yang

masih sempat melanjutkan beberapa aktivitas, misalnya sel yang sedang bermitosis

masih dapat menyelesaikan pembelahannya. Tetapi kemudian segala kegiatan yang

terjadi pada sel dan jaringan akan terhenti sama sekali. Pengetahuan ini penting dalam

transplantasi organ, dengan adanya kemajuan dibidang transplantasi organ tubuh, maka

muncullah definisi mati seluler (mati molekuler) yaitu kematian organ atau jaringan

tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. 2

Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga

kematian seluler pada tiap organ atau jaringan terjadi secara tidak bersamaan. Sebagai

contoh:

a) Susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam waktu 4 menit


b) Otot masih dapat dirangsang dengan listrik sampai kira-kira 2 jam pasca mati, dan

mengalami mati seluler setelah 4 jam

c) Dilatasi pupil masih dapat terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan

sulfas atropin 1 % atau fisostigmin 0,5% akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam

pasca mati.

d) Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara

penyuntikan subkutan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%

e) Spermatozoa masih bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis

f) Kornea masih dapat ditransplantasikan

g) Darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.

Keadaan tersebut diatas pada mayat dimana masih dapat menghasilkan

gambaran intravital disebut reaksi peri mortal dan pertamakali didiskusikan pada tahun

1963 oleh Schleyer. 2

Selama ada oksigen yang mempertahankan kehidupan seseorang. Sel-sel dalam

tubuh akan menjadi sehat, metabolisme berjalan normal serta fungsi

lokomotorik berjalan terus. Terdapatnya Oksigen juga akan memperbaiki kerusakan sel

yang disebabkan oleh organisme dan invasi bakteri pembusukan dapat dihambat. Bila

seseorang meninggal dunia maka siklus oksigen akan terhenti , tubuh akan mengalami

berbagai perubahan jaringan yang disebut perubahan awal kematian atau tanda

kematian tidak pasti. Susunan saraf pusat akan mengalami kemunduran dengan cepat

yang akan menyebabkan perubahan pada tubuh menjadi insensibel, reflek cahaya dan

reflek kornea hilang, aliran darah, gerakan nafas berhenti, kulit pucat dan otot

mengalami relaksasi. Setelah beberapa waktu akan timbul perubahan pasca mati yang
memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai

tanda pasti kematian berupa lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu tubuh

pembusukan, mumifikasi dan adiposera. 2

Yang dimaksud dengan reaksi peri mortal yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat

pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang

hidup. Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya

rangsang listrik masih dapat menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90 – 120 menit

pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60 – 90 menit pasca

mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1

jam pasca mati. 2

XII. Pertumbuhan Rambut

Pengetahuan mengenai rata-rata tumbuh rambut muka memberi petunjuk

dalam membuat perkiraan kapan saat cukur terakhir. Sejak rambut berhenti

pertumbuhannya pada saat kematian maka panjang dari jenggot mayat mungkin dapat

menjadi pemikiran tentang lamanya waktu antara kematian dan cukur terakhir.

Gonzales dkk, pada tahun 1954 mengatakan rata-rata pertumbuhan rambut adalah

0,4mm/ hari, sedangkan Balthazard seperti yang kutip oleh Derobert dan Le breton

tahun 1951 mengatakan rata-rata pertumbuhan rambut adalah 0,5 mm / hari, dan

menurut Glaister pada tahun 1973 adalah 1–3 mm / minggu, akan tetapi pada tiap-tiap

individu mempunyai perbedaan dalam rata-rata pertumbuhan dalam area yang sama,

juga variasi rata-rata dari satu tempat ke tempat lain di muka dan juga berbeda dari

satu individu ke individu yang lain. Selain itu variasi musim atau iklim mempengaruhi
metabolisme dari tubuh itu sendiri. Pada pria rata-rata pertumbuhan rambut pipi adalah

0,25 mm/ hari dalam bulan agustus–oktober di antartica, akan tetapi pada temperatur

iklim di Lautan Pasifik dalam bulan April adalah 0,325 mm.11

Pertumbuhan panjang jenggot diukur dengan mencukur mayat, dan

meletakkannya diantara slide dan gelas objek yang kemudian diukur dibawah

mikroskop. 80 persent dari rambut-rambut ini akan menunjukkan panjang yang sama.

Observasi terhadap pertumbuhan rambut jenggot dalam menentukan saat mati

harus dilakukan dalam 24 jam pertama sesudah kematian karena sesudah ini kulit

akan mengkerut dan ini akan menyebabkan rambut akan lebih menonjol diatas

permukaan dalam 48 jam setelah kematian, fenomena ini yang sering dikira bahwa

rambut masih terus tumbuh setelah kematian. 11

XIII. Pertumbuhan Kuku

Pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm perhari dapat digunakan

untuk memperkirakan saat kematian bia dapat diketahui saat terakhir yang

berangkutan memotong kuku.2

XIV. Kematian Seluler

Kematian seluler / kematian molekuler adalah berhentinya aktivitas sistem

jaringan, sel, dan molekuler tubuh, sehingga terjadi kematian organ atau jaringan

tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis.

Perubahan post mortem merupakan hasil dari degradasi jaringan yang

berkaitan dengan adanya pengeluaran enzim lisosomal proteolitik dari sel tersebut.
Proses ini terjadi secara langsung setelah kematian dan biasanya diikuti dengan

kematian jaringan ataupun organ yang disebut dengan proses autolisis. Autolisis

adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui

proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ

yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autilisis lebih cepat daripada

organ-organ yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pankreas akan mengalami

autolisis lebih cepat dari pada jantung. Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh

mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam

kandungan proses autolisis ini tetap terjadi. Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari

pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena adalah

nukleoprotein yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian

dinding sel akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi

lunak dan mencair. Autolisis yang terjadi setelah kematian di pengaruhi oleh faktor-

faktor host, yang disertai dengan adanya faktor dari luar antara lain, bakteri.

Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh pengaruh

suhu yang rendah maka proses autolisis ini akan dihambat demikian juga pada suhu

tinggi enzim-enzim yang terdapat pada sel akan mengalami kerusakan sehingga proses

ini akan terhambat.

Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga

terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan, hal ini

penting dalam transplantasi organ. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa

susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam empat menit, otot masih dapat

dirangsang (listrik) sampai kira-kira dua jam paska mati dan mengalami mati seluler
setelah empat jam, dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1 persen

atau penyuntikan sulfas atropin 1 persen kedalam kamera okuli anterior, pemberian

pilokarpin 1 persen atau fisostigmin 0,5 persen akan mengakibatkan miosis hingga 20

jam setelah mati. Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam paska mati

dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2 persen atau asetil kolin 20 persen,

spermatozoa masih dapat bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis, kornea

masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai

enam jam pasca-mati.

Anda mungkin juga menyukai