Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Kematian adalah berhentinya kehidupan secara permanen fungsi dari organ vital paru,
jantung dan otak sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai oleh berhentinya konsumsi
oksigen. Penentuan kematian dahulu didasarkan pada criteria tradisional namun hanya
berlaku pada kasus biasa, jika pada kasus luar biasa perlu dilakukan penentuan kematian yang
lebih modern. Dalam penentuan kematian, tidak hanya menetukan sebab, cara maupun proses
kematian, namun juga menentukan waktu terjadinya kematian. Dewasa ini penentuan
kematian tidak hanya melakukan pemeriksaan makroskopis, namun juga melakukan
pemeriksaan lainnya yang dapat mendukung diagnosis kematian, diantaranya adalah
pemeriksaan mikroskopis dan pemeriksaan entomologi. Hal ini sangat penting diketahui oleh
tenaga terutama para profesional yang berkecimpung dalam dunia kedokteran kehakiman.
Maka kami mengangkat topik Penentuan waktu Perkiraan Kematian sebagai topik referat
kelompok kami.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana menentukan waktu perkiraan kematian korban?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menentukan waktu perkiraan kematian korban
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengenal ilmu thanatologi
2. Mengenal ilmu entomologi
3. Mengenal ilmu pemeriksaan mikroskopis dan laboratorium forensik
4. Mengetahui perubahan perubahan yang terjadi pada jenazah
5. Menentukan perkiraan waktu kematian korban
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat untuk masyarakat

Dapat membantu penyidik dalam memperkirakan waktu kematian korban di tempat kejadian
perkara.
1.4.2

Manfaat untuk dokter


Menjadi bekal bagi dokter mengetahui cara cara memperkirakan waktu kematian korban
tempat kejadian perkara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi Kematian
Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian
merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ internal tubuh
terhenti. Dikenal beberapa istilah yaitu mati somatis, mati seluler mati serebral dan
mati batang otak.
Jenis kematian ada 3 yaitu :
a. Mati klinis / somatis
- Proses kematian yang hanya dapat dilihat secara mikroskopis karena terjadi
gangguan pada sistem pernafasan, kardiovaskuler, dan persarafan yang bersifat
-

menetap.
Ditandai dengan tidak adanya gerakan, refleks-refleks, EEG mendatar selama

5 menit, serta tidak berfungsinya jantung dan paru-paru.


- Organ organ belum tentu mati, masih bisa dimanfaatkan untuk transplantasi.
- Definisi ini yang sering dianut oleh orang awam.
b. Mati seluler / molekuler
- Proses kematian sel/ jaringan setelah mati klinis. . Proses ini kemudian diikuti
oleh proses autolisis dan pembusukan. Setiap sel tubuh memiliki perbedaan
waktu untuk mengalamikematian sel disebabkan oleh perbedaan metabolisme
-

seluler didalamnya
Waktu kematian tiap jaringan / organ berbeda. Otak merupakan organ yang
paling sensitif yaitu sekitar 3-5 menit. Jaringan otot akan mengalami mati
seluler setelah 4 jam dan kornea masih dapat diambil dalam jangka waktu 6

jam setelah seseorang dinyatakan mati somatis.


Penentuan mati seluler ini terutama penting dalam hal transplantasi organ.
Mati seluler adalag kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat

terhentinya penggunaaan oksigen serta metaboliema normal sel dan jairngan


c. Mati cerebral
-

Yaitu proses kematian yang ditandai dengan tidak berfungsinya otak dan

susunan saraf pusat. Definisi ini adalah definisi yang diakui oleh WHO.
Kerusakan batang otak : pernafasan berhenti namun masih bisa dipertahankan

dengan ventilator.
d. Mati batang otak
mati batang otak dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan dikatakan tidak dapat
hidup kembali

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali secara klinis pada seseorang
melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada mayat. Ini sangat penting
utnuk investigasi suatu kasus kematian dimana perubahan postmortem banyak
memberikan informasi baik mengenai waktu kematian, penyebab maupun mekanisme
kematian1,2
Berikut adalah alur pemeriksaan jenazah forensik, dimana jenazah yang akan
diperiksa akan dilakukan pemeriksaan luar, pemerikdaan dalam serta laboratorium
dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui indormasi mengenai kematiannya.

Gambar 1.1. alur pemeriksan jenazah forensik


II.

Penentuan Waktu Kematian


1. Penentuan Waktu Kematian Berdasarkan Pemeriksaan Makroskopis
2.1.1 Diagnosa Kematian dari Perubahan Cepat
Untuk mendiagnosa perubahan cepat dari kematian digunakan beberapa alat antara
lain stetoskop, lampu senter, palu reflek, EEG, dan ECG. Prinsipnya adalah mendeteksi
traktus respiratorius dan denyut jantung.
Beberapa tes yang dapat digunakan adalah :
a. Tes kardiovaskuler.
1. Magnus test.

Karena jantung berhenti maka sirkulasi juga berhenti. Caranya dengan


mengikat/menutup ujung jari korban dengan karet, lalu dilepaskan, maka tidak
tampak adanya perubahan warna dari pucat menjadi merah.
2. Diaphonos test.
Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan tidak
terlihat ada sirkulasi (warna merah terang).
3. Fluorescin test.
Caranya dengan menyuntikkan zat warna fluorescin maka zat warna fluorescin
akan terlokalisir di tempat suntikan karena tidak ada aliran darah.
4. Tes lilin.
Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi vasodilatasi
(hiperemi) sebagai reaksi terhadap rangsang panas karena sirkulasi tidak ada.
5. EKG dan Stetoskop.
b. Tes pernafasan.
1. Kaca.
Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan di depan hidung atau mulut korban.
2. Bulu-bulu halus.
Tidak terdapat reaksi bersin/ geli ketika bulu-bulu halus diletakkan di depan
hidung korban.
3. Winslow test
Dilakukan pada orang yang pernafasannya agonal (tinggal satu-satu nafasnya)
dengan cara menempatkan cermin di dada korban dan disinari dengan lampu
senter. Bila bernafas maka sinar lampu senter akan ikut bergerak dengan syarat
pemeriksa tidak boleh bergerak. Atau bisa menggunakan baskom berisi air yang
akan bergerak bila ada pergerakan di dada.
4.

Stetoskop.

c. Tes Saraf
1. Memeriksa reflex : reflex kornea
2. EEG
2.1.2 Perubahan-perubahan yang Terjadi Setelah Kematian
Ada 2 fase perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat (late).
Perubahan cepat (early) :
- Tidak adanya gerakan.
- Jantung tidak berdenyut (henti jantung).
- Paru-paru tidak bergerak (henti nafas).
- Kulit dingin dan turgornya menurun.
- Mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak.
- Suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortal lividity).

- Lebam mayat.
Perubahan lambat (late) ;
- Kaku mayat (post mortal rigidity).
- Pembusukan (decomposition).
- Penyabunan (adipocere).
- Mummifikasi.
2.1.2.1 Perubahan Mata
Perubahan mata setelah kematian dapat berupa :
- Hilangnya refleks kornea, refleks konjungtiva, dan refleks cahaya.
- Kornea menjadi pucat / opaque / keruh.
- Kelopak mata biasanya tertutup setelah kematian karena kekakuan primer dari otot
tetapi kekakuan otot biasanya sukar untuk membuat mata menutup menjadi lengkap
sehingga akan tampak sklera, sel debris, mukus dan debu dalam beberapa jam
kematian, menjadi merah kecoklatan dan kemudian menjadi hitam (Taches Noire De
La Sclerotique). Kecepatan kekeruhan dipengaruhi oleh :
Waktu kematian keadaan matanya menutup atau membuka (bila menutup maka
kekeruhan lambat terjadi, tapi bila membuka, maka kekeruhan akan cepat terjadi

akibat kontak dengan luar).


Kelembapan udara (bila lembab maka kekeruhan lambat, bila kering / angin

kencang maka kekeruhan cepat terjadi).


Keadaan korban sebelum mati (bila sakit mata maka kekeruhan akan cepat

terjadi).
Faktor faktor penyebab kematian lainnya seperti :
Apoplaxia (perdarahan karena hipertensi) akan tampak kornea terang
karena terjadi perdarahan retina.
Keracunan sianida dan CO maka kekeruhan akan cepat terjadi.
Kematian kurang dari 1 jam, otot otot mata masih hidup sehingga bisa

ditetesi atropin akan terjadi midriasis pupil.


Tekanan intraokuler tidak ada. Tekanan intraokuler menurun dengan cepat setelah
kematian tergantung dari tekanan darah arteri. Bola mata menjadi lunak dan
cenderung untuk masuk ke dalam fossa orbital. Kekakuan bola mata dapat dengan
mudah ditentukan dengan perabaan. Bila jantung berhenti berdetak, tekanan
menurun sekitar setengah sampai satu jam setelah kematian dan menjadi nol setelah

2 jam setelah kematian.


Kadar kalium yang tinggi karena cairan bola mata keluar (jumlah kalium yang

keluar berhubungan dengan waktu kematian).


Kedudukan pupil. Walaupun iris berespon terhadap kimia beberapa jam setelah
kematian, refleks cahaya menghilang segera saat nukleus batang otak mengalami
iskemik. Iris mengandung jaringan otot yang banyak sehingga kehilangan tonus
dengan cepat dan iris biasanya relaksasi.

Perubahan pembuluh darah retina melalui pemeriksaan ophtalmoskop retina akan


dapat menentukan satu tanda pasti kematian awal. Setelah mati, aliran darah
pembuluh darah retina menjadi segmen seiring dengan tekanan darah yang hilang

menyebabkan aliran darah terbagi menjadi beberapa segmen.


2.1.2.2 Perubahan Kulit
Perubahan yang terjadi pada kulit setelah kematian dapat berupa :
- Kulit menjadi pucat. Karena sirkulasi darah berhenti setelah kematian, darah
merembes keluar dari pembuluh darah kecil sehingga kulit tampak pucat. Kulit
menjadi pucat, bewarna putih abu dan kehilangan elastisitasnya.
Pada kasus kematian berhubungan dengan spasme agonal dan terdapatnya sumbatan
pada pembuluh darah balik karena tekanan pada leher atau karena asfiksia traumatic,
wajah tetap berwarna merah kebiruan selama beberapa saat setelah kematian. Warna
kekuningan pada kulit karena menderita sakit kuning, warna pink kemerahan karena
keracunan HCN atau CO biasanya tetap ada selama beberapa saat setelah kematian.
-

Elastisitas (turgor) kulit menurun sampai menghilang.


Sehingga bisa menetapkan apakah luka pada tubuh korban didapat intravital atau
post mortem, yaitu :

Luka pada intravital akan berbekas dengan ukuran lebih kecil daripada ukuran
senjata, dermis berwarna merah, antara epidermis dan dermis masih ada

perekatnya.
Luka post mortem membekas dengan ukuran lebih besar daripada ukuran

senjata, bahkan menganga, dermis pucat, epidermis lebih mudah mengelupas.


Pada kasus tenggelam, kulit tangan keriput (washer woman hand).
Jika terjadi pada ujung jari saja maka kematian 4 jam yang lalu.
Jika terjadi pada telapak tangan dan seluruh jari maka kematian 24 jam yang

lalu.
Jari tangan yang sudah terlepas digunakan untuk sidik jari.
2.1.2.3 Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis / Post Mortem Cooling)
Penurunan suhu mayat atau algor mortis akan terjadi setelah kematian dan berlanjut
sampai tercapai keadaan dimana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Berdasarkan
penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan berbentuk kurva sigmoid, dimana pada jam
jam penurunan suhu akan berlangsung lambat, demikian pula bila suhu tubuh mayat
telah mendekati suhu tubuh lingkungan.
Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur gradient, yaitu suatu
keadaan dimana telah terdapat perbedaan suhu yang bertahap di antara lapisan lapisan
yang menyusun tubuh, maka penyaluran panas dari bagian dalam tubuh ke permukaan
dapat berjalan dengan lancar.

Kini penentuan suhu rektal kerap kali sangat berguna dalam investigasi kematian yang
mencurigakan, kecuali dimana tampak luar mengindikasikan bahwa tubuh sudah
didinginkan oleh suhu sekitarnya.
Hal ini juga harus dititikberatkan bahwa kegunaan dari perkiraan temperatur ini
menetap pada iklim dengan suhu dingin dan menengah dimana tubuh kehilangan
panasnya secara lama sebagaimana halnya keseimbangan pada temperatur lingkungan,
sedangkan pada daerah tropis, penurunan suhu tubuh post mortem dapat minimal atau
bahkan tidak ada pada iklim yang sangat panas sekali, mayat mungkin dapat menghangat
setelah mati.
Saat mati, setelah waktu yang tidak lama, tubuh mulai kehilangan panasnya.
Temperatur lazim pada tubuh dewasa sehat adalah antara 98,4 derajat Fahrenheit, atau
saat dipastikan melalui mulut adalah sekitar 99 derajat Fahrenheit, dan pada axilla sekitar
97 derajat fahrenheit. Temperatur juga dapat menunjukkan variasi waktu yang berbeda
selama tiap harinya. Temperatur akan lebih rendah pada pagi hari dan akan lebih tinggi
pada sore hari. Latihan akan meningkatkan temperatur tubuh namun ini akan menurun
menjadi normal dalam setengah jam kemudian.
-

Faktor yang mempengaruhi penurunan suhu mayat :


Temperatur dari tubuh saat mati.
Dalam beberapa kasus, seperti kematian karena asfiksia, emboli lemak dan air, heat
stroke, beberapa infeksi, reaksi obat, perdarahan cerebral, atau saat tubuh ditinggalkan
berada di dekat api atau saat tubuh berada dalam bak mandi hangat, maka temperatur
akan meningkat. Sebaliknya penyakit degenerasi seperti cholera, gagal jantung
kongestif, paparan terhadap suhu dingin, perdarahan banyak, maka temperatur akan
menurun.

Perbedaan temperatur tubuh dan lingkungan.


Pada daerah dingin, penurunan suhu paling sedikit 1,5 derajat Fahrenheit per jam dan
pada daerah tropis, penurunan suhu paling sedikit 0,75 derajat Fahrenheit per jam.
Selain itu, didalam air, kehilangan suhu melalui konduksi dan konveksi. Pada kasus
udara, kehilangan suhu dapat melalui konduksi (saat bagian dari badan bersentuhan
dengan tanah atau suatu material), konveksi (evaporasi dari cairan tubuh) dan
sebagian radiasi. Pada kasus yang dikubur, penurunan hanya melalui konduksi.
Disamping itu, penguburan pada tanah berbatu kering akan mempertahankan panas
tubuh lebih lama dibanding terkena udara dan tubuh yang dilempar ke timbunan

sampah atau comberan, suhunya akan lebih cepat turun sedikit dibanding dibiarkan di
udara terbuka. Flora normal atau belatung dapat meningkatkan temperatur tubuh.
-

Keadaan fisik tubuh serta adanya pakaian atau penutup mayat.


Tebalnya jaringan lemak dan jaringan otot serta ketebalan pakaian yang menutupi
tubuh mayat akan mempengaruhi kecepatan penurunan suhu.
Konduksi dan konveksi secara signifikan diturunkan oleh adanya pakaian. Pakaian
yang terbuat dari sutera, wol, atau serat sintetik berperan dalam menurunkan suhu.
Pakaian basah akan mempercepat pendinginan karena terdapat uptake panas untuk
evaporasi.

Ukuran tubuh.
Anak anak dan orang dewasa dengan badan kecil akan mengalami pendinginan yang
lebih cepat daripada orang dewasa yang berukuran lebih besar. Jumlah dari lemak
subkutan dan lemak preperitoneal berperan dalam menentukan cepat lambatnya
proses pendinginan. Tubuh seorang yang kurus akan lebih cepat mendingin karena
luas permukaan tubuhnya yang kecil dan kurangnya lemak.

Aliran udara dan kelembapan.


Udara disekitar tubuh bertindak sebagai medium pemindah suhu. Dalam beberapa
kondisi, udara hangat biasanya menyelimuti permukaan tubuh dengan demikian akan
memblok perubahan temperatur. Pergerakan udara pada permukaan tubuh membawa
udara dingin yang mempunyai kontak langsung pada tubuh yang mendorong
hilangnya panas. Udara yang lembab akan mengalirkan panas lebih cepat dibanding
yang kering.

Post mortem caloricity.


Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati sebagai
pengganti akibat pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses glikogenolisis post
mortem yang berlangsung pada kebanyakan tubuh sesudah mati, dapat memproduksi
kira kira 140 kalori yang akan meningkatkan suhu tubuh temperatur 2 derajat
celcius.

Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu
lingkungan sebesar 70 derajat Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai berikut :
Saat Kematian = 98,6 o F Suhu Rektal
1,5
Secara umum 1,5 o F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C per jam
6 jam pertama, 1 o F jam 6 kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah 12 jam mencapai
suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit). Sedangkan untuk organ organ
dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu lingkungan. Bila tenggelam / dalam air : 6
jam sudah mencapai suhu lingkungan.
2.1.2.4 Lebam Mayat (Livor Mortis / Post Mortem Hypostasis)
Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang cukup jelas.
Biasanya disebut juga post mortem hypostasis, post mortem lividity, post mortem
staining, sugillations, vibices, dan lain lain. Kata hypostasis itu sendiri mengandung
arti kongesti pasif dari sebuah organ atau bagian tubuh.
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh pembuluh darah
kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah. Dengan adanya penghentian
dari sirkulasi darah saat kematian, darah mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini
bertahan sesuai pada area terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau
merah keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal endotel pembuluh darah.
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian somatis atau
segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan. Bercak kecil ini akan
semakin bertambah intens dan secara berangsur angsur akan bergabung selama
beberapa jam kedepan untuk membentuk area yang lebih besar dengan perubahan warna
merah keunguan. Kejadian ini akan lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati
waktu tersebut, tidak akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan.
Sebaliknya, pembentukan livor mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia,
kehilangan darah akut, dan lain lain.
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah. Darah akan
mengalami koagulasi spontan pada semua kasus sudden death dimana otopsi dilakukan
antara 1 jam. Koagulasi spontan ini mungkin akan hilang paling cepat 1,5 jam setelah
mati. Tidak adanya fibrinogen pada darah post mortem akan menyebabkan tidak
terjadinya koagulasi spontan. Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya

bertindak pada fibrin, bukan pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan
dirinya pada bekuan yang baru dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan
bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin dibentuk oleh sel endotel dalam pembuluh
darah.
Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian. Dengan posisi
berbaring terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian posterior bergantung pada
areanya seperti daerah lumbal, posterior abdomen, bagian belakang leher, permukaan
ekstensor dari anggota tubuh atas, dan permukaan fleksor dari anggota tubuh bawah.
Area area ini disebut juga areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri, lebam
akan terjadi pada daerah tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika
penggantungan ini lama, akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang cukup
untuk menyebabkan ruptur kapiler subkutan dan membentuk perdarahan petekiae pada
kulit. Dalam kasus tenggelam, lebam biasa ditemukan pada wajah, bagian atas dada,
tangan, lengan bawah, kaki dan tungkai bawah karena pada saat tubuh mengambang,
bagian perut lebih ringan karena akumulasi gas yang cukup banyak kuat dibanding
melawan kepala atau bahu yang lebih berat. Ekstremitas badan akan menggantung secara
pasif. Jika tubuh mengalami perubahan posisi karena adanya perubahan aliran air, maka
lebam tidak akan terbentuk.
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku mayat. Pertama
tama karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada pembuluh darah menyebabkan
darah berada dalam posisi tubuh terendah dalam beberapa jam setelah kematian.
Kemudian saat darah sudah mulai terkumpul pada bagian bagian tubuh, seiring terjadi
kaku mayat. Sehingga hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh
darahnya karena terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah.
Selain itu dikarenakan bertimbunnya sel sel darah dalam jumlah cukupbanyak sehingga
sulit berpindah lagi.
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung pada tingkat
oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan warna lainnya dapat
mencakup:
- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh
-

carbonmonoksida atau hydrocyanic acid.


Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium chlorate,

potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain lain.


Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.

Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan berada
didekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak pink muda

kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari oxyhemoglobin pada jaringan.


Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena kadar oksi
hemoglobin (HbO2) yang tinggi.

Perbedaan antara lebam mayat dan memar


Saat pembusukan sudah terjadi, perbedaannya akan semakin sulit karena terjadi
hemolisis darah dan difusi pigmen ke dalam jaringan sekitarnya. Saat pembusukan
berlangsung, lebam akan menjadi gelap, berubah menjadi coklat kemudian hijau sebelum
hilang seiring hancurnya sel darah.

Lebam Mayat
Bagian tubuh terbawah
Tidak menimbul
Tegas
Kebiru biruan atau merah

Lokasi
Permukaan
Batas
Warna

keunguan,

warna

Memar
Dimana saja
Bisa menimbul
Tidak tegas
Diawali dengan merah yang

spesifik lama

kelamaan

berubah

pada kematian karena kasus seiring bertambahnya waktu


keracunan
Distensi kapiler vena
Ekstravasasi darah dari kapiler
Bila ditekan akan memucat
Tidak ada efek penekanan
Akan terlihat darah yang Terlihat
perdarahan
pada

Penyebab
Efek penekanan
Bila dipotong

terjebak

antara

pembuluh jaringan

dengan

adanya

darah, tetesan akan perlahan koagulasi atau darah cair yang


lahan
Mikroskopis

Unsur

berasal dari pembuluh yang


darah

ruptur
ditemukan Unsur darah ditemukan diluar

diantara pembuluh darah dan pembuluh darah dan tampak


tidak terdapat peradangan
Tidak ada perubahan

Enzimatik
Kepentingan medicolegal

Memperkirakan

bukti peradangan
Perubahan level dari enzim

pada daerah yang terlibat


waktu Memperkirakan
cedera,

kematian dan posisi saat mati


senjata yang digunakan
Tabel 1. Perbedaan antara lebam mayat dan luka memar
Lebam pada organ dalam
Karena lebam terjadi pada daerah yang mengandung pembuluh darah, maka akan
berpengaruh pada organ organ dalam yang mengandung pembuluh darah juga.

Lokasi

Lebam mayat
Kongesti
Hanya pada organ organ Bisa seluruh atau beberapa
tertentu

bagian dari organ tersebut

Penyebab

Distensi pasif kapiler vena

dipengaruhi oleh patologinya


Berdasarkan
patologi

Bengkak dan oedema


Pada penampang potongan

penyakitnya
Tidak ada
Dapat bermakna
Darah mengalir pelan pelan Keluar cairan,

Hollow viscus

dari kapiler yang terdistensi


dengan darah
Lambung atau usus saat Lambung atau
direntangkan
daerah

akan

dengan

tampak direntangkan

perubahan perubahan

tercampur
usus

saat

akan

tampak

warna

yang

warna dan tanpa perubahan seragam


warna
Tabel 2. Perbedaan antara lebam mayat dengan proses kongesti pada organ dalam

Aspek Medikolegal Pada Pemeriksaan Lebam Mayat


Kegunaan pemeriksaan lebam mayat :
Dapat memperkirakan saat kematian.
Dapat memperkirakan posisi kematian.
Tanda pasti kematian seluler (mati yang terjadi adalah mati seluler).
Mengetahui adanya manipulasi (perubahan pada jenazah).
Dapat mengetahui penyebab kematian.

2.1.2.5 Kaku Mayat (Rigor Mortis / Post Mortem Stiffening)


Disebut juga cadaveric rigidity. Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang
terjadi pada otot yang kadang kadang disertai dengan sedikit pemendekkan serabut
otot, yang terjadi setelah periode pelemasan / relaksasi primer.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai puncaknya setelah 10
12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama 24 jam, dan setelah 24 jam kaku
mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot otot
wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.
Kekakuan pertama ditemukan pada otot otot kecil, bukan karena itu terjadi pertama
kali disana, melainkan karena adanya sendi yang tidak luas, seperti contohnya tulang
rahang yang lebih mudah diimobilisasi.
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat
seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan
energi. Energi ini digunakan untuk memecah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat
ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot
habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi

kaku. Faktor faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik
sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh yang kurus dengan otot otot kecil
dan suhu lingkungan yang tinggi. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian.
Kaku mayat mulai tampak kira kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar
tubuh (otot otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa
kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi
lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang
sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum
terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk
akan terjadi pemendekan otot.
Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :
- Fase pertama
Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal. Tubuh yang mati
akan mampu menggunakan ATP yang sudah tersedia dan ATP tersebut diresintesa dari
cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat yang cepat adalah saat dimana
cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan yang kuat sebelum mati, seperti mati saat
terjadi serangan epilepsi atau spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan
strychnine.
- Fase kedua
Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk saat
konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan lengkap jika berada
dibawah 15%.
- Fase ketiga
Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.
- Fase keempat
Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi lemas.
Salah satu pendapat terjadinya hal ini dikarenakan proses denaturasi dari enzim pada
otot.
Metode yang sering digunakan untuk mengetahui ada tidaknya rigor mortis adalah
dengan melakukan fleksi atau ekstensi pada persendian tersebut. Beberapa subyek,

biasanya bayi, orang sakit, atau orang tua, dapat memberikan kekakuan yang kurang
dapat dinilai, kebanyakan dikarenakan lemahnya otot mereka.
Kaku menyebar ke seluruh otot dalam beberapa kondisi dapat mencapai nilai maksimum
antara 6 12 jam. Kondisi ini tidak berubah sampai massa otot mulai menjalani autolisis,
dimana akan melemas berangsur angsur kembali seperti periode perubahan awal post
mortem. Kekakuan mayat lengkap dapat terjadi antara 18 36 jam.

Rigor Mortis Pada Jaringan Tubuh


Kekakuan juga terjadi pada seluruh jaringan muskular dan organ sama seperti terjadi
pada otot skelet. Kekakuan dapat terjadi tidak sama pada tiap mata, membuat letak pupil
tidak sama, hal ini memastikan bahwa posisi post mortem menjadi indikator yang tidak
dapat dipercaya pada kondisi toksik atau neurologis selama hidup.
Pada jantung, kekakuan menyebabkan kontraksi ventrikel, yang menyerupai pembesaran
ventrikel kiri, hal ini dapat dihindari dengan pengukuran berat total, menilai ukuran
normal jantung kiri, mengukur ketebalan ventrikel, dan yang paling penting dengan
pembedahan dan membandingkan berat kedua ventrikel.
Kekakuan muskulus dartos pada skrotum dapat menghimpit testes dan epididimis,
dimana akan membuat kontraksi serabut otot vesikula seminalis dan prostat
menyebabkan terjadinya ekstrusi semen dari uretra eksterna pada post mortem.
Kekakuan pada muskulus erector pili yang menempel pada folikel rambut dapat
mengakibatkan gambaran dengan elevasi dari folikel rambut (goose flesh appearence).
Proses Biokimiawi yang Terjadi Pada Rigor Mortis
Szent Gyorgi (1947) menemukan bahwa substansi kontraktil essensial pada otot adalah
protein actin dan miosin. Energi ini didapat dengan membagi kompleks fosfat dari ADP
menjadi ATP (Erdos, 1943). Gugus fosfat yang bebas akan membentuk reaksi fosforilasi
yang mengubah glikogen menjadi asam laktat. ADP dibentuk kembali dengan
meresintesa ATP dengan tambahan kreatin fosfat.
Sebagai tambahan untuk persediaan energi, ATP bertanggung jawab terhadap kekenyalan
otot. Asam laktat disaring kembali masuk kedalam peredaran darah dan kembali ke hati
untuk dikonversikan kembali menjadi glikogen. Semua reaksi ini anaerob dan dapat
berlanjut setelah kematian.
Saat hidup, terdapat konsentrasi ATP yang konstan pada jaringan otot, terdapat
keseimbangan antara penggunaan dan resintesis ATP. Saat mati, bagaimanapun reaksi
perubahan ADP menjadi ATP berhenti dan kadar trifosfat berangsur angsur berkurang
dengan akumulasi asam laktat. Sesudah beberapa waktu, bergantung pada temperatur dan

jumlah ATP yang tersisa, aktin dan miosin berikatan, mengakibatkan otot menjadi kaku
sebagai akibat timbulnya kekakuan pada otot (Bate Smith and Bendall, 1947)
Resintesis ATP bergantung pada ketersediaan glikogen, dimana akan dikurangi dengan
adanya aktifitas berat sebelum mati. Secara normal, hal ini muncul pada periode awal
setelah kematian dimana tingkat ATP dipertahankan atau bahkan meningkat sebagai hasil
dari pembebasan fosfat oleh proses glikogenolisis.
Kekakuan dimulai saat konsentrasi ATP turun menjadi 85% dari normal, dan kekakuan
otot akan maksimal saat kadar turun menjadi 15%.
Saat sudah sempurna, kekakuan dipatahkan dengan gerakan memaksa dari anggota
badan atau leher, lalu jika tidak kembali, maka hal ini memudahkan dilakukannya
pekerjaan dalam kamar mayat atau memasukkan ke dalam peti mati. Namun jika
kekakuan tetap terbentuk, maka kekakuan tersebut akan berlanjut pada posisi yang baru
sesuai gerakan terakhir.
Kadang, kekakuan dapat membantu memperlihatkan bahwa tubuh telah dipindahkan
antara saat mati dan saat ditemukan.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya rigor mortis
Sebagai suatu proses kimia, kecepatan dan durasi dari kekakuan dipengaruhi oleh
temperatur. Semakin tinggi suhu lingkungan, akan memperlambat proses ini. Mayat yang
terdapat pada daerah dingin / salju tidak akan mengalami kekakuan bahkan sampai 1
minggu setelah kematian, namun saat mayat tersebut dipindahkan ke tempat yang
hangat, maka dengan cepat akan mengalami kekakuan. Sebaliknya, cuaca panas atau
tropis dapat mempercepat, sehingga kekakuan akan terjadi dalam beberapa jam atau
bahkan kurang. Kekakuan total terbentuk cepat, kemudian akan hilang semenjak hari
pertama terjadinya pembusukan.
Faktor lainnya adalah aktifitas fisik sebelum mati. Ketersediaan glikogen dan ATP dalam
otot adalah elemen terpenting dalam terbentuknya kekakuan. Kerja otot mempengaruhi
interaksi dari substansi tersebut dan dapat mempercepat onset terjadinya kekakuan.
Cadaveric spasme, merupakan bentuk variasi dari kekakuan yang dipercepat.
Kondisi rata rata yang sering dialami pada rigor mortis :
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati tidak
-

sampai 3 jam.
Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 8 jam

lamanya.
Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 36 jam

lamanya.
Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati lebih dari
36 jam.

Faktor yang mempengaruhi onset dan durasi kaku mayat


Temperatur
Nysten (1811) mengatakan bahwa kekakuan bertahan lama di dalam dingin, udara
lembab dibanding udara kering. Hal ini menyebabkan kenapa onset kekakuan berjalan
lambat dan durasinya berjalan lama pada negara dingin atau cuaca dingin sedangkan
onsetnya cepat dan durasi cepat pada cuaca panas. Hal ini dikarenakan perusakan ATP
lebih cepat pada cuaca panas.

Kondisi fisiologis sebelum mati


Berdasarkan observasi, tubuh seseorang yang kurus atau mati karena penyakit akan
melalui proses yang cepat menuju kekakuan, dimana biasanya dengan durasi yang
cepat. Pada kasus orang yang meninggal karena septicemia, kaku mayat terlihat lebih
dini sejak 3 setengah menit pertama dan hilang pada 15 menit sampai 1 jam, saat
pembusukan dimulai. Pada kematian karena asfiksia, perdarahan hebat, apoplexy,
pneumonia, dan penyakit saraf dengan paralisis otot, maka onset akan lebih lama.

Kondisi otot sebelum mati


Onset akan berjalan lambat dan durasi berjalan lama pada kasus dimana otot dalam
kondisi sehat sebelum kondisi mati. Onset akan berjalan cepat jika otot berada dalam
kondisi kelelahan. Pada orang yang mati saat lari, kaku akan terbentuk dengan cepat
pada daerah kaki sebelum menuju ke daerah lainnya.

Pengaruh sistem saraf pusat


Pada saat stres, kaku mayat terjadi karena perubahan kimia yang terjadi pada otot
setelah kematian sebagai bentuk dari aktifitas selular dan enzimatik.

Umur
Kaku biasanya tidak terjadi pada janin yang tidak lebih dari 7 bulan, tapi masih bisa
ditemukan pada bayi yang cukup bulan. Kaku bisa timbul dan menghilang dengan
sangat dini.

Aspek Medikolegal Pada Rigor Mortis


Kegunaan pemeriksaan kaku mayat :

Tanda pasti kematian.


Dapat memperkirakan waktu / saat kematian.
Dapat memperkirakan / melihat adanya tanda tanda manipulasi.
Dapat memperkirakan penyebab (walaupun sulit).
Dapat memperkirakan posisi.
Bentuk - Bentuk dari Kekakuan yang Menyerupai Rigor Mortis
a.
Heat Stiffening
Protein pada otot akan terkoagulasi pada temperatur diatas 149 derajat Fahrenheit
atau 65 derajat celcius. Paparan panas yang kuat seperti terbakar, terekspos listrik
tegangan tinggi, terendam air panas, kekakuan terbentuk lebih kuat dibanding rigor
mortis biasa. Pada otopsi, otot dapat tampak menciut dan tampak karbonisasi ke
permukaan. Dibawahnya terdapat daerah pink kecoklatan (cooked meat), dan jika
proses tidak berlanjut sampai bagian bawahnya, tampak otot merah normal.
Pugilistic attitude pada tubuh yang terbakar, disebabkan karena besarnya daerah otot
fleksor dibanding otot ekstensor, yang mana terjadi pemaksaan daerah anggota
badan ke dalam posisi fleksi dan tulang belakang ke dalam posisi opisthotonus.Heat
stiffening ini tidak dapat dipatahkan dengan menggerakan ke arah sikap ekstensi
seperti halnya pada rigor mortis, dan akan menetap sampai timbulnya pembusukan.
b. Cold Stiffening
Penurunan temperatur pada mayat dibawah 3,5 derajat celcius atau 40 derajat
Fahrenheit akan menghasilkan memadatnya lemak subkutan dan otot. Saat tubuh
dibawa untuk dihangatkan, akan timbul true rigor mortis. Pada lingkungan bersuhu
dingin ekstrim, cairan tubuh juga akan membeku termasuk persendian, sehingga bila
sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. Pada
temperatur yang ekstrim, otot akan mengalami kekakuan yang palsu. Pada udara
yang sangat dingin, saat panas tubuh hilang, otot dapat mengeras karena cairan
tubuh menjadi beku dan memadat, seperti pada daging yang disimpan pada freezer.
Membedakan orang mati karena kedinginan dengan orang yang telah mati sebelum
kedinginan :

Bila orang mati di kutub -> kematian terjadi karena kedinginan. Dingin
membuat suhu tubuhnya menjadi kaku, belum terjadi rigor mortis / kaku
mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh mayat akan lemas dan
kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).

Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang dingin ->
tubuh mayat yang dibuang akan tetap kaku karena udara dingin, tetapi setelah
dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas. Tidak akan terjadi rigor mortis.

c. Cadaveric Spasm
Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang berada
ditengah aktifitas fisik atau emosi yang kuat, yang kemudian menuntun pada
kekakuan post mortem instan yang sedikit kurang dapat dipahami. Hal ini harus
diawali dengan aktifitas saraf motorik, tetapi beberapa alasan mengatakan terdapat
kegagalan relaksasi normal. Fenomena biasanya terjadi hanya pada 1 daerah otot,
contohnya otot fleksor tangan, dibanding seluruh tubuh. sesungguhnya merupakan
kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi
primer. Penyebabnya adakah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang
bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat
sebelum meninggal.
Keuntungannya, kebanyakan penyidik dapat mengetahui saat seseorang diduga mati
dibunuh atau bunuh diri saat melihat tangannya yang menggenggam senjata. Jika
menemukan korban yang tenggelam, atau jatuh dari ketinggian, hal ini memiliki
nilai yang memastikan bahwa orang tersebut masih hidup saat dia jatuh, dengan
demikian hal ini membedakan pada korban post mortem yang dibuang.

Onset

Otot yang terlibat


Intensity
Durasi

Rigor Mortis
Dikarenakan perubahan otot

Cadaveric Spasm
Keadaan lanjut dari kontraksi

sesudah kematian seluler,

otot sesudah mati, dimana otot

didahului dengan primary

dalam kondisi mati seketika

flaccidity
Semua otot dalam tubuh

Otot tertentu, sesuai keadaan

Moderate
12 24 jam

kontraksi saat mati


Sangat kuat
Beberapa jam, sampai
digantikan posisinya oleh

Faktor predisposisi

rigor mortis
Rangsangan, ketakutan,
kelelahan

Mekanisme pembentukan

Penurunan ATP dibawah level

Tidak diketahui

Hubungan medikolegal

kritis
Mengetahui waktu kematian

Mengetahui cara kematian,


bisa karena bunuh diri,

kecelakaan, atau pembunuhan


Tabel 3. Perbedaan antara rigor mortis dengan cadaveric spasm
2.1.2.6 Pembusukan (Decomposition, Putrefaction)
Merupakan tahap akhir pemutusan jaringan tubuh mengakibatkan hancurnya komponen
tubuh organik kompleks menjadi sederhana. Pembusukan merupakan perubahan lebih
lanjut dari mati seluler. Kedua proses ini mengakibatkan dekomposisi seperti di bawah
ini :
a. Autolisis.
Merupakan proses melunaknya jaringan bahkan pada keadaan steril yang
diakibatkan oleh kerja enzim digestif yang dikeluarkan sel setelah kematian dan
dapat dihindari dengan membekukan jaringan. Perubahan autolisis awal dapat
diketahui pada organ parenkim dan kelenjar. Pelunakan dan ruptur perut dan ujung
akhir esofagus dapat terjadi karena adanya asam lambung pada bayi baru lahir
setelah kematian. Pada dewasa juga dapat terlihat.
b. Proses Pembusukan Bakteri.
Merupakan

proses

dominan

pada

proses

pembusukan

dengan

adanya

mikroorganisme, baik aerobik maupun anaerobik. Bakteri pada umumnya terdapat


dalam tubuh, akan memasuki jaringan setelah kematian. Kebanyakan bakteri
terdapat pada usus, terutama Clostridium welchii. Bakteri lainnya dapat ditemukan
pada saluran nafas dan luka terbuka. Pada kasus kematian akibat penyakit infeksi,
pembusukan berlangsung lebih cepat. Karena darah merupakan media yang sangat
baik untuk perkembangan bakteri maka organ yang mendapat banyak suplai darah
dan dekat dengan sumber bakteri akan terdapat lebih banyak bakteri dan mengalami
pembusukan terlebih dahulu.
Bakteri menghasilkan berbagai macam enzim yang berperan pada karbohidrat,
protein, dan lemak, dan hancurnya jaringan. Salah satu enzim yang paling penting
adalah lecithin yang dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang menghidrolisis
lecithin yang terdapat pada seluruh membran sel termasuk sel darah dan berperan
pada pembentukan hemolisis pada darah post mortem. Enzim ini juga berperan
dalam hidrolisis post mortem dan hidrogenasi lemak tubuh.

Aktifitas pembusukan berlangsung optimal pada suhu antara 70 sampai 100 derajat
Fahrenheit dan berkurang pada suhu dibawah 70 derajat Fahrenheit. Oleh sebab itu,
penyebaran awal pembusukan ditentukan oleh dua faktor yaitu sebab kematian dan
lama waktu saat suhu tubuh berada dibawah 70 derajat Fahrenheit.
c. Perubahan Warna.
Pembusukan diikuti dengan hilangnya kaku mayat, tetapi pada suhu yang sangat
tinggi dan kelembapan tinggi, maka pembusukan terjadi sebelum kaku mayat hilang.
Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit dan dinding
perut depan, biasanya terletak pada sebelah kanan fossa iliaca, dimana daerah
tersebut merupakan daerah colon yang mengandung banyak bakteri dan cairan.
Warna ini terbentuk karena perubahan hemoglobin menjadi sulpmethaemoglobin
karena masuknya H2S dari usus ke jaringan. Warna ini biasanya muncul antara 12
18 jam pada keadaan panas dan 1 2 hari pada keadaan dingin dan lebih tampak
pada kulit cerah.
Warna hijau ini akan menyebar ke seluruh dinding perut dan alat kelamin luar,
menyebar ke dada, leher, wajah, lengan, dan kaki. Rangkaian ini disebabkan karena
luasnya distribusi cairan atau darah pada berbagai organ tubuh.
Pada saat yang sama, bakteri yang sebagian besar berasal dari usus, masuk ke
pembuluh darah. Darah didalam pembuluh akan dihemolisis sehingga akan mewarna
pembuluh darah dan jaringan penujang, memberikan gambaran marbled appearence.
Warna ini akan tetap ada sekitar 36 48 jam setelah kematian dan tampak jelas pada
vena superficial perut, bahu dan leher.
d. Pembentukan Gas Pembusukan.
Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang terdiri dari
campuran gas tergantung dari waktu kematian dan lingkungan. Gas ini akan
terkumpul pada usus dalam 12 24 jam setelah kematian dan mengakibatkan perut
membengkak. Dari 24 48 jam setelah kematian, gas terkumpul dalam jaringan,
cavitas sehingga tampak mengubah bentuk dan membengkak. Jaringan subkutan
menjadi emphysematous, dada, skrotum, dan penis, menjadi teregang. Mata dapat
keluar dari kantungnya, lidah terjulur diantara gigi dan bibir menjadi bengkak.
Cairan berbusa atau mukus berwarna kemerahan dapat keluar dari mulut dan hidung.
Perut menjadi sangat teregang dan isi perut dapat keluar dari mulut. Sphincter
relaksasi dan urine serta feses dapat keluar. Anus dan uterus prolaps setelah 2 3
hari.

Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh tersebuh
dapat mengandung cairan berwarna merah, keluar dari pembuluh darah karena
tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk lebih dahulu dibawah permukaan,
dimana jaringan mengandung banyak cairan karena oedema hipostatik. Epidermis
menjadi longgar menghasilkan kantong berisi cairan bening atau merah muda
disebut skin slippage yang terlihat pada hari 2 3.
Antara 3 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan
dihubungkan dengan perubahan pada jaringan lunak yang akan membuat perut
menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau keropos. Kulit pada tangan
dan kaki dapat menjadi glove and stocking. Rambut dan kuku menjadi longgar dan
mudah dicabut.
5 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak menjadi
masa semisolid berwarna hitam yang tebal yang dapat dipisahkan dari tulang dan
terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi lunak.
e. Skeletonisasi.
Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan lingkungan
dari mayat tersebut, apakah terdapat di udara, air, atau terkubur. Pada umumnya
tubuh yang terkena udara mengalami skeletonisasi sekitar 2 4 minggu tetapi dapat
berlangsung lebih cepat bila terdapat binatang seperti semut dan lalat, dapat pula
lebih lama bila tubuh terlindungi contohnya terlindung daun dan disimpan dalam
semak.
Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian tubuh yang satu
dengan yang lain. Terkadang, satu bagian tubuh telah mengalami mumifikasi
sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan pembusukan. Adanya binatang akan
menghancurkan jaringan luna dalam waktu yang singkat dan dalam waktu 24 jam
akan terjadi skeletonisasi.
f. Pembusukan Organ Dalam.
Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun prosesnya
lebih lama dari yang dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan banyak vascular maka
akan membusuk lebih cepat. Warna merah kecoklatan pada bagian dalam aorta dan
pembuluh darah lain muncul pada perubahan awal. Adanya hemolisis dan difusi
darah akan mewarnai sekeliling jaringan atau organ dan merubah warna organ
tersebut menjadi hitam. Organ menjadi lunak ,berminyak, empuk dan kemudian
menjadi masa semiliquid.

Awal
Akhir
Laring dan trakhea
Paru paru
Lambung dan usus
Jantung
Limpa
Ginjal
Omentum dan mesenterium
Oesofagus dan diafragma
Hati
Kandung kencing
Otak
Pembuluh darah
Uterus gravid
Prostat dan uterus
Tabel 4. Susunan perubahan pembusukan pada organ dalam
Keadaan yang mempengaruhi onset dan lama pembusukan :
a. Faktor Eksogen
1. Temperatur atmosfer.
Temperatur atmosfer lingkungan yang tinggi akan mempercepat pembusukan.
Pada umumnya, proses pembusukan berlangsung optimal pada suhu 70 sampai
100 derajat Fahrenheit dan bila temperatur dibawah 70 derajat Fahrenheit, proses
menjadi lebih lambat, walaupun enzim yang diproduksi bakteri terus berlangsung.
Tubuh yang sudah mati dapat diawetkan selama waktu tertentu dalam lemari
pendingin, salju, dan sebagainya. Pada beberapa kondisi (khususnya pada bulan
musim hujan), warna hijau ditemukan pada mayat setelah 6 12 jam post
mortem.
2. Adanya udara dan cahaya.
Udara sangat mempengaruhi temperatur dan kelembapan yang mengakibatkan
seperti hal diatas. Secara tidak langsung, lalat dan serangga biasanya menghindari
bagian tubuh yang terekspos sinar, cenderung meletakan telurnya pada kelopak
mata, lubang hidung, dan sebagainya.
3. Terbenam dalam air.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses dekomposisi. Air yang diam atau
mengalir, air laut atau air berpolusi, suhu air, kedalaman air dan lainnya dapat
mempengaruhi pembusukan.
Pembusukan berlangsung lebih lambat di air dibandingkan di udara. Rumus Casper
menyatakan bahwa waktu pembusukan di udara diberi nilai 1, jika di air bernilai 2,
dan pada mayat yang terkubur bernilai 8.
4. Mengapung diatas air.

Biasanya tergantung dari produksi dan akumulasi gas di jaringan dan rongga
tubuh. Gaya gravitasi cadaver lebih besar dari air maka tubuh akan cenderung
tenggelam sampai adanya cukup gas sehingga membuat tubuh mengapung. Maka
dari itu, pembentukan gas akan membantu tubuh untuk naik ke permukaan air.
Beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, pakaian, kondisi tubuh, musim,
keadaan air dapat mempengaruhi waktu mengapung yang berperan dalam proses
pembusukan dan pembentukan gas.
Penampakan warna dekomposisi pada permukaan tubuh menjadi kacau dimana
tubuh yang terendam dalam air memiliki postur tertentu yaitu kepala dan wajah
terletak lebih rendah dari bagian tubuh lainnya karena kepala lebih berat dan
padat. Bagian batang tubuh berada paling atas dan anggota gerak tergantung
secara pasif pada posisi yang lebih rendah. Posisi ini menyebabkan darah banyak
menuju kepala dan mempercepat pembusukan.
Dekomposisi dalam air
Dekomposisi pada udara
Wajah dan leher
Perut
Dada
Dada
Bahu
Wajah
Lengan
Tungkai
Perut
Bahu
Tungkai
Lengan
Tabel 5. Perbedaan pembusukan dalam air dan pada udara
5. Terkubur dalam tanah.
Pada umumnya tubuh yang terkubur dalam tanah yang dalam akan membusuk
lebih lama daripada tubuh yang terkubur dalam tanah yang dangkal. Pada tubuh
yang terkubur pada tempat yang basah, daerah rawa, tanah liat, maka
pembusukan akan lebih cepat. Pembusukan akan berlangsung lebih lama jika
dikubur di tanah kering, tanah kuburan pada dataran tinggi, atau kuburan yang
dalam. Adanya zat kimia disekitar tubuh, khususnya lemon, akan memperlambat
pembusukan.
Tubuh yang terkubur tanpa pakaian atau kafan pada tanah berpori yang kaya
bahan organik, akan menunjukkan pembusukan yang lebih lama.
Waktu antara saat kematian dengan saat dikuburkan dan lingkungan sekitar tubuh
pada waktu ini akan mempengaruhi proses pembusukan. Semakin lama tubuh
berada di tanah sebelum dikuburkan, maka akan mempercepat pembusukan
khususnya bila tubuh diletakkan pada udara yang hangat.

b. Faktor Endogen
1. Sebab kematian.
Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan berlangsung
lebih lama daripada orang yang meninggal karena sakit. Kematian karena gas
gangren, sumbatan usus, bakteriemia / septikemia, aborsi akan menunjukkan
proses pembusukan yang lebih cepat. Racun yang dapat memperlambat
pembusukan yaitu potassium sianida, barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan
sebagainya. Pada kasus strychnine, terjadi kejang yang lama dan berulang, proses
pembusukan akan dipercepat, dimana terjadi kejang dengan sedikit kelelahan
otot, pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan kronis oleh logam akan
memperlambat pembusukan karena memperlambat efek jaringan. Alkoholik
kronik umumnya akan mempercepat pembusukan.
Jika tubuh terurai saat kematian, anggota gerak akan menunjukkan pembusukan
yang lambat, batang tubuh akan membusuk seperti biasa.
2. Kondisi tubuh.
Kelembapan pada tubuh akan menunjang pembusukan. Cairan pada tubuh
manusia kira kira dua per tiga dari berat badan. Maka dari itu pada tubuh yang
mengandung sedikit cairan seperti rambut, gigi, tulang akan memperlambat
pembusukan. Pada kasus dehidrasi akan memperlambat pembusukan. Tubuh yang
sangat kurus akan lebih lambat membusuk dibandingkan dengan tubuh yang
gemuk karena jumlah cairan pada orang yang kurus lebih sedikit.
3. Pakaian pada tubuh.
Pada tubuh yang terpapar udara, pakaian dapat mempercepat pembusukan dengan
menjaga suhu tubuh tetap hangat. Pakaian yang ketat dapat memperlambat
pembusukan karena menekan bagian tubuh sehingga darah sedikit yang
terkumpul pada daerah yang tertekan.
4. Umur dan jenis kelamin.
Tubuh bayi yang baru lahir akan membusuk lebih lambat karena masih steril. Jika
bayi baru lahir tersebut mengalami trauma selama atau setelah lahir atau sudah
mendapat makanan setelah lahir, maka akan membusuk lebih awal. Tubuh anak
anak membusuk lebih cepat daripada orang tua, dimana pada orang tua akan
membusuk lebih lama karena mengandung cairan lebih sedikit.

Jenis kelamin tidak terlalu berpengaruh. Tubuh wanita memiliki lemak yang lebih
banyak yang akan mempertahankan panas lebih lama, yang akan mempercepat
proses pembusukan.
2.1.2.7 Penyabunan (Saponifikasi)
Dikenal juga sebagai grave wax atau adiposera. Adiposera berasal dari bahasa latin,
adipo untuk lemak dan cera untuk lilin) berwarna utih kelabu setelah meninggal
dikarenakan dekomposisi lemak yang dikarenakan hidrolisis dan hidrogenasi dan lemak
(sel lemak) yang terkumpul di jaringan subkutan yang menyebabkan terbentuknya
lechitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang berpengaruh
terhadap jaringan lemak. Dengan demikian akan terbentuk asam asam lemak bebas
(asam palmitat, stearat, oleat), ph tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat
bakteri untuk pembusukan dengan demikian proses pembusukan oleh bakteri akan
terhenti. Tubuh yang mengalami adiposera akan tampak berwarna putih kelabu,
perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah, keju, amoniak, manis,
tengik, mudah mencair, larut dalam alkohol, panas, eter, dan tidak mudah terbakar, bila
terbakar mengeluarkan nyala kuning dan meleleh pada suhu 200 derajat Fahrenheit.
Faktor faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah :
-

Kelembapan.
Lemak tubuh.

Sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir.


Proses pertama saponifikasi terlihat pada lemak subkutan yang berada pada dagu, buah
dada, bokong, dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut mempunyai lemak lebih
banyak. Namun proses saponifikasi dapat terjadi di semua bagian tubuh yamg terdapat
lemak. Otot menjadi dehidrasi dan menjadi sangat tipis, berwarna keabu abuan. Organ
organ dalam dan paru paru konsistensinya menjadi seperti perkamen. Secara
histologis, makroskopis organ masih dapat dikenali. Walaupun secara mikroskopis sulit
untuk dikenali.
Walaupun dekomposisi lemak dimulai setelah meninggal, namun seringnya pembentukan
saponifikasi bervariasi dari dua minggu atau dua bulan tergantung faktor faktor yang
mendukung seperti temperatur, pembalseman, kondisi penguburan, dan barang barang
sekitar jenazah. Keuntungan adanya adiposera ini :
-

Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat
lama sekali sampai ratusan tahun.

Dapat pula untuk mengetahui sebab sebab kematian jangka waktu dekat seperti

kecelakaan, namun dapat juga digunakan untuk waktu yang lama.


Tempat untuk pembuangan tubuh dapat diketahui.
Tanda tanda positif dari kematian dapat diketahui dari kematian sampai beberapa
minggu atau mungkin beberapa bulan.

Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari asam lemak
bebas namun sekitar empat minggu setelah kematian dapat meningkat sampai 20% dan
setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi 70% bahkan lebih. Pada saat ini adiposera
dapat terlihat dengan jelas berwarna putih keabuan menggantikan jaringan lunak. Pada
awal saponifikasi, dimana belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan
menggunakan analisa asam palmitat.
Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain tergantung dari
letak tubuh dan lingkungan yang bervarias, maka salah satu tubuh dapat menjadi
saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat menjadi mumifikasi atau pembusukan.
2.1.2.8 Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses yang menginhibisi proses pembusukan alami yang memiliki
karakteristik dimana jaringan yang mengalami dehidrasi menjadi kering, berwarna gelap,
dan mengerut. Pengeringan akan menyebabkan tubuh lebih kecil dan ringan. Dilihat dari
sudut forensik, mumifikasi memberikan keuntungan dalam bertahannya bentuk tubuh,
terutama kulit dan beberapa organ dalam, bentuk wajah secara kasar masih dapat
diindentifikasi secara visual. Mumifikasi juga dapat mempreservasi bukti terjadinya jejas
yang menunjukkan kemungkinan sebab kematian. Elliot Smith (1912) menemukan mumi
yang telah berumur kurang lebih 2000 tahun dan masih mampu menunjukkan bahwa
sebab kematian orang itu adalah akibat kekerasan. Luka luka yang ada cocok dengan
luka akibat bacokan kapak atau pedang, tusukan tombak dan pukulan dari pegangan
tombak. Foto kepala menunjukkan korban diserang saat tidur yang disimpulkan Elliot
dari luka pada puncak kepala yang menurutnya tidak mungkin atau sulit dilakukan saat
korban berdiri. Tidak adanya luka pada daerah lain membuat Elliot menyimpulkan
bahwa tidak ada tanda perlawanan.
Karena sifat dari jaringan tubuh yang termumifikasi cenderung keras dan rapuh, maka
untuk dapat memeriksanya potongan kecil jaringan direndam dalam sodium karbonat
atau campuran alkohol, formalin dan sodium carbonate. Pada proses mumifikasi tubuh
yang lebih lengkap, maka untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam, mayat harus
direndam dalam glycerin 15% selama beberapa saat.

Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada mumifikasi adalah identifikasi. Walau
terjadi pengerutan namun struktur wajah, rambut, dan beberapa kekhususan pada tubuh
seperti tato dapat bertahan sampai bertahun tahun. Terperliharanya sebagian dari
anatomi dan topografi jenasah pada proses mumifikasi memungkinkan pemeriksaan
radiologi yang lebih teliti. Dengan pemeriksaan radiologi, jejas- jejas yang mungkin
terlewatkan dalam pemeriksaan mayat dan bedah mayat dapat ditunjukkan dengan jelas
dan dieksplorasi kembali lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan CT scan pada
mumi juga dapat mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit dijangkau, bahkan dengan
pemeriksaan bedah mayat.
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA, baha pada
jenasah yang berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar yang miskin akan inti
sel mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel, namun tulang, akar rambut, organ
dalam dan sisa cairan tubuh yang mengering pada mumi dapat digunakan untuk
pemeriksaan DNA. Yang harus diingat dalam pemanfaatan mumi untuk kepentingan
forensik bahwa pada mumifikasi terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan
artefak pada kulit yang menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah
disekiter leber, dan axilla.
2. Penentuan Waktu Kematian Berdasarkan Pemeriksaan entomologi
2.3

Penentuan Waktu Kematian Secara Entomologi

2.3.1 Definisi
Entomologi forensik atau medikolegal adalah ilmu yang mempelajari serangga yang
berhubungan dengan jasad tubuh. Pada lingkungan yang sesuai serangga akan membentuk
koloni

pada

jasad

tubuh

beberapa saat

setelah kematian. Perkembangan serangga

seiring dengan waktu dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian dengan tepat.1
2.3.2

Karakteristik serangga
Serangga adalah anggota dari kelas insekta hewan tidak bertulang belakang filum

artropoda. Serangga dapat berupa lalat, nyamuk, jengkrik, kecoa, rayap, kumbang, kupukupu, ngengat, semut, tawon dan lebah. Serangga dewasa biasanya dapat dibedakan dari
binatang lainnya

dengan beberapa ciri khas yang jelas. Hampir beberapa di antaranya

ditutupi permukaan luar yang keras disebut exoskeleton, yang terbagi atas kepala, dada,
perut, 3 pasang kaki yang menempel pada dada, 1 pasang antena di kepala, mata yang besar
dan 1 atau 2 pasang sayap.

Serangga dewasa akan menetaskan telur dan serangga yang imatur akan keluar dari
telur dan beberapa kelompok terlihat sangat mirip dengan induknya, kecuali bila berukuran
lebih kecil dan tidak punya sayap. Serangga yang imatur ini disebut nimfa, secara periodik
melepaskan kulitnya dan bertambah besar. Nimfa

melewati fase pergantian kulit dan

menunjukkan semua karakteristik dewasa. Jangkrik, kecoa dan turunan dari beberapa
serangga yang dikenal, tumbuh perlahan-lahan seperti siklus di atas. Tetapi, beberapa
serangga melewati 3 stadium yang berbeda dalam perkembangannya yaitu telur. larva, dan
pupa. Tidak satupun dari stadium ini yang menyerupai bentuk induknya. Larva yang menetas
dari telurnya, umumnya memiliki tubuh yang

lunak dan menyerupai ulat bulu, belatung.

Dalam pertumbuhannya, larva melepaskan kulitnya dan bertambah besar. Pada dasarnya,
larva akan menyelubungi permukaan luar kulitnya menjadi
menjalani stadium perkembangan sebelum dewasa.

kepompong,

yang akan

Stadium ini disebut pupa. Serangga

bentuk dewasa nantinya akan keluar dari pupa tersebut. Kupu-kupu, rayap, lalat, kumbang,
dan beberapa serangga lain berkembang dengan cara ini. Banyak dari spesies serangga yang
penting dalam forensik melewati tahap perkembangan yang terakhir ini.2
2.3.3

Memperkirakan waktu post mortem dengan teknik entomologi


Ahli patologi forensik menggunakan beberapa metode yang lazim digunakan

dalam membuat perkiraan saat kematian adalah pengukuran penurunan suhu tubuh (algor
mortis), interpretasi lebam (livor mortis) dan kaku mayat (rigor mortis), interpretasi proses
dekomposisi,

pengukuran

perubahan

kimia

pada vitreous, interpretasi isi dan

pengosongan lambung. Akan tetapi, parameter medis tersebut


banyak

variabel

lain,

yang sampai

sering

dipengaruhi

oleh

sekarang masih tidak diketahui dengan pasti dan

parameter medis tersebut dinilai sedikit atau bahkan tidak dapat dipergunakan sama sekali
bila lama kematian sudah lebih dari 72 jam. Setelah melewati waktu lebih dari 72 jam, bukti
entomologis merupakan bukti yang paling akurat dan merupakan satu satunya metode yang
tersedia untuk menentukan lama waktu kematian. Walaupun

parameter

medis

sering

digunakan untuk memperkirakan lama kematian yang baru terjadi dalam beberapa
jam, dalam keadaan normal serangga selalu tertarik dengan jasad tubuh segera
setelah kematian, sehingga serangga juga dapat digunakan dalam memperkirakan waktu awal
setelah kematian.3
Aplikasi yang paling sering dilakukan pada entomologi adalah menentukan
waktu kematian, petunjuk adanya manipulasi pergerakan terhadap tubuh

korban,

letak

luka, tanda-tanda penyiksaan, ciri-ciri kriminalitas dan apakah korban menggunakan

obat

obatan

toksikologi

dan

atau

diracun.

sumber

Serangga

juga

materi DNA untuk

dapat digunakan

untuk

analisis

analisa beberapa kasus dari ektoparasit

seperti nyamuk atau kutu.3


2.3.4

Dasar penggunaan serangga sebagai indikator memperkirakan waktu kematian


Tubuh yang membusuk merupakan mikrohabitat yang baik sebagai sumber makanan

bagi beberapa organisme seperti bakteri, jamur, hewan pemakan bangkai. Dalam hal ini
serangga merupakan yang paling dominan. Serangga yang terdapat pada mayat biasanya
menunjukkan spesies tertentu yang hidup pada daerah tertentu. Sebagai contoh, di Hawaii,
terdapat satu spesies yang hanya ada di daerah tersebut, begitu juga di daerah tropis. Namun
dengan perkembangan zaman, perpindahan spesies dapat terjadi dengan mudah. Sehingga
spesies yang awalnya ditemukan di satu daerah, dapat ditemukan juga di daerah lain.
Serangga yang tertarik pada mayat, secara umum dapat dikategorikan menjadi empat
kelompok :
2.3.4.1

Spesies Necrofagus
Ini merupakan spesies yang biasanya memakan jaringan tubuh mayat. Yang termasuk

dalam spesies ini Diptera (Caliiphoridae dan Sarcophagidae) dan Coleoptera (Silphidae dan
Dermestidae). Spesies dalam kelompok ini adalah yang paling

signifikan

untuk

memperkirakan waktu kematian selama stadium awal pembusukan.2


2.3.4.2
Parasit dan predator yang memakan spesies necrofagus
Menurut Smith, kelompok ini adalah kelompok kedua terbanyak yang ditemukan pada
mayat.Yang termasuk kelompok ini adalah Coleoptera (Silphidae, Staphylinidae dan
Histeridae), Diptera (Calliphoridae dan Stratiomyidae) dan parasit Hymenoptera. Larva
Diptera, yang merupakan necrofagus pada awal perkembangannya akan menjadi predator
pada akhir perkembangannya.2
2.3.4.3
Spesies Omnifora
Yang termasuk kategori ini adalah semut, tawon dan beberapa kumbang yang memakan
jaringan tubuh mayat serta serangga tertentu. Dalam jumlah besar mereka dapat menurunkan
waktu pembusukan dengan memakan spesies necrofag.2
2.3.4.4

Spesies lainnya
Kategori ini termasuk spesies yang menggunakan mayat sebagai habitat mereka, seperti

pada kasus Collembola, laba-laba dan kelabang. Kategori ini meliputi Acari pada famili
Acaridae, Lardoglyphidae,Winterschmidtiida, yang memakan jamur yang tumbuh pada
mayat. Dan juga berhubungan dengan Gamasida dan Actinedida, termasuk Macrochelidae,
Parasitidae, Parholaspidae, Cheyletidae dan Raphignathidae yang memakan kelompok

AcarinedanNematoda.2
2.4 Menentukan Lama Kematian
Dalam ilmu kedokteran, memperkiraan saat

kematian

tidak

dapat dilakukan

dengan 1 metode saja, gabungan dari 2 atau lebih metode akan memberikan hasil perkiraan
yang lebih akurat dengan rentang bias yang lebih kecil. Metode
memperkirakan pertumbuhan

dari

yang

pertama

dengan

larva diptera yang merupakan awal dari lalat (blow

flies). Tehnik ini dimulai sejak dari ditaruhnya telur lalat hingga lalat yang pertama
muncul

dari

pupa

dan meninggalkan

jasad,

sehingga

sangat berguna

dalam

hitungan jam hingga berminggu minggu setelah kematian. Metode yang kedua
adalah

dengan berdasarkan prediksi, yaitu banyaknya kolonisasi pada tubuh oleh

serangga.Hal ini dapat digunakan sejak beberapa minggu setelah kematian hingga yang
tersisa hanya tulang tulang. Metode ini tergantung pada umur dari sisa jasad dan jenis
serangga yang ada.3
2.5

Perkembangan Larva Diptera


Lalat akan tertarik pada jasad tubuh segera setelah kematian. Lalat yang pertama kali
tertarik dengan jasad umumnya adalah blow flies (berukuran besar, agak metalik, sering kali
terlihat dekat makanan atau tempat sampah), akan tetapi pada beberapa bagian dari dunia
lalat flesh flies yang terlebih dahulu tertarik dengan jasad. Blow flies tergolong pada family
Calliphoridae, ordo Diptera. Pada

tahun

1958,

ditemukan

13

spesies

dari

Calliphoridae dan Sarcophagidae yang ditemukan pada mayat di Washington. Penelitian ini
menjadi dasar yang digunakan untuk memperkirakan usia belatung yang didapat pada
mayat. Belakangan ini, para peneliti mulai mengulang dan memperbaiki penelitian tentang
siklus perkembangan dan ukuran belatung yang dipengaruhi oleh suhu. Data yang paling
banyak ditemukan dalam forensik adalah
berdarah dingin, sehingga

spesies diptera. Serangga merupakan hewan

temperatur tubuhnya

dipengaruhi

oleh

suhu

sekitar

lingkungan. Ketika suhu lingkungan meningkat, laju pertumbuhan serangga lebih


cepat,

sedangkan

ketika

suhu lingkungan

menurun,

laju

pertumbuhan

serangga

menjadi lebih lambat.


Perkembangan dari serangga dapat diperkirakan, analisis dari serangga paling tua
yang

terdapat

pada

jasad,

disertai

dengan

pengetahuan

mengenai

kondisi

meteorologis dapat digunakan untuk menentukan berapa lama serangga berkoloni di jasad,
sehingga dapat menentukan lama kematian.2

Pada penelitian tentang penguraian, aktivitas lalat biasanya dimulai 10 menit segera
setelah kematian, tapi hal ini tidak selalu sama pada beberapa kasus seperti
tenggelam

dan

mayat

dibungkus,

aktivitas

lalat

bisa

pada

kasus

lebih lambat. Faktor iklim

seperti cuaca yang berawan, turun hujan, dapat menghambat atau menghentikan aktivitas
lalat dewasa. Lalat jantan dan betina memerlukan makanan protein sebelum ovari dan testis
berkembang dan oogenesis dan spermatogenesis terjadi. Blow flies berkembang dimulai dari
telur melalui instar stages 1, instar stages 2, instar stages 3, pupa dan dewasa.
Lalat yang terbang akan hinggap pada mayat dan menetaskan sampai 300 telur dan
sampai 3000 untuk sepanjang hidupnya. Stadium pertama larva akan ditetaskan dari telur.
Pada stadium ini larva sangat rentan dan mudah mengalami kekeringan. Larva tidak dapat
keluar dari kulit yang membungkusnya, sehingga mereka bergantung pada cairan protein
sebagai asupan makanan, karena itu lalat betina akan menaruh telur pada tempat yang
memudahkan akses makanan bagi telur. Luka merupakan sumber protein yang sangat baik,
terutama darah, sehingga luka luka merupakan tempat bertelur yang paling pertama.
Apabila pada jasad tidak ada luka, lalat betina akan menaruh telur di dekat orificium atau
pada lapisan mukosa dikarenakan jaringan tersebut lembab dan lebih mudah dipenetrasi bila
dibandingkan dengan epidermis normal. Daerah wajah umumnya dikolonisasi lebih
dahulu, kemudian daerah genital, hal ini disebabkan karena daerah genital hampir selalu
ditutupi oleh pakaian. Pada kasus kasus pemerkosaan benda benda seperti darah dan
semen akan menarik perhatian lalat dengan cepat.3
Setelah melewati waktu waktu tertentu, dipengaruhi oleh suhu dan jenis spesies,
larva stadium 1 akan melepas kutikula dan mulutnya, dan memasuki instar stage 2
atau larva stadium 2. Larva stadium 2 berukuran lebih besar, lebih bisa bertahan hidup dan
dapat mempenetrasi kulit dengan mengeluarkan enzim proteolitik dan menggunakan
mulutnya yang lebih kuat. Stadium ini adalah waktu bagi larva untuk makan kemudian
berkembang memasuki instar stages 3, meninggalkan kutikula dan mulut yang dipakai
selama stadium 2. Larva stadium tiga memiliki siklus hidup yang lebih panjang dari larva
stadium satu dan dua dan akan bertumbuh menjadi 7-8 kali ukuran awal. Pada instar stage 3
larva menjadi banyak makan dan berkumpul sebagai satu masa yang besar sehingga dapat
menghasilkan panas yang signifikan. Kumpulan larva ini dapat menghabiskan banyak
jaringan dalam waktu yang singkat. Pada stadium ini bagian penyimpanan makanan yang
terletak di

foregut

dapat terlihat dengan warna hitam dan bentuk oval pada jaringan

translusent dari belatung.1


Setelah periode makan yang intensif, instar stage 3 akan memasuki

stadium nonfeeding stage atau wandering stage. Pada stadium ini tidak ditemukan perubahan
fisik, walaupun terjadi perubahan fisiologis pada organ internal, tetapi dapat

ditemukan

perubahan sikap yang signifikan. Ketika larva memasuki nonfeeding stage, larva akan
menjauh dari sumber makanan dan mencari tempat yang sesuai untuk menjadi pupa. Tempat
itu antara lain adalah tanah disekitar, karpet, rambut atau baju dari jasad. Larva mungkin akan
mengubur diri beberapa sentimeter didalam tanah atau merangkak bermeter meter untuk
mendapatkan tempat yang cocok untuk menjadi pupa. Pada stadium ini disebut
dengan prepupa.Pada

akhir

stadium

ini

larva

akan

memendek

dan

menjadi

translusen. Pupasi akan dimulai sejak belatung prepupa mulai berkontraksi. Belatung tidak
akan

mengelupaskan

kutikula

tersebut

kutikula

akan

yang

tumbuh

pada instar

menghilang

sedikit

demi

stage

sedikit

dan

3,

akan

tetapi

serangga

akan

mensekresikan sejumlah substansi kedalam kutikula yang akan membuat warna pupa
menjadi

keras

dan

berwarna

hitam

untuk

membentuk

puparium.

Bagian yang

disebut dengan pupa adalah serangga yang hidup, dengan bagian kantung pupa yang
mengalami pengerasan atau puparium yang berguna sebagai struktur nonvital
membungkus

yang

serangga. Akan tetapi pada umumnya yang dianggap sebagai pupa adalah

bagian puparium dan serangga yang hidup dalamnya, sedangkan kantung pupa yang
ditinggalkan setelah lalat terbang disebut sebagai kantung pupa.3
Didalam

kantung

pupa

yang

mengalami

pengerasan,

serangga

bermetamorfosis atau berubah menjadi lalat dewasa. Pada masa ini, jaringan jaringan
imatur

akan

rusak

dan

akan

digantikan dengan

jaringan

yang

matur. Setelah

selesai lalat dewasa akan merobek ujung kantung pupa dengan memperbesar dan
mengkontraksikan ptilinum (kantung yang berisi darah yang terdapat pada kepala). Bagian
ujung dari kantung pupa atau operkulum akan robek dan membelah menjadi dua bagian.
Lalat dewasa yang baru akan meninggalkan kantung pupa dan robekan operkulum sebagai
bukti bahwa sudah melewati siklus dengan sempurna. Lalat yang baru keluar dari pupa tidak
memiliki warna biru metalik atau kehijauan seperti pada lalat dewasa. Sayap dari lalat baru
keluar terlipat lipat, dengan kaki yang tinggi, kurus, dan lemah, badan berwarna abu abu
dan bagian kepala belum terbentuk sempurna karena adanya ptilinum yang belum mengalami
retraksi. Pada stadium ini lalat sangat mudah dimangsa dan walaupun tidak dapat terbang
lalat tersebut dapat berlari dengan cepat dan akan bersembunyi hingga sayapnya kering dan
dapat terbang. Setelah itu tubuh lalat akan terlihat berwarna hijau metalik. Lalat
yang

terbang

merupakan

tanda

forensik

yang

dewasa

signifikan karena mengindikasikan

bahwa siklus dari lalat blow flies telah lengkap terjadi pada jasad. Lalat yang dapat terbang

tidak dapat digunakan sebagai identifikasi karena tidak bisa dibedakan antara lalat yang baru
datang atau sudah berkembang, tetapi lalat yang baru saja keluar dari pupa dan
belum

dapat

terbang

dapat digunakan

untuk

memperkirakan

waktu

kematian.

Ditemukannya pupa yang kosong juga mengindikasikan bahwa siklus dari lalat pada jasad
telah lengkap.Seluruh

siklus

hidup

dari

lalat

dapat

diprediksi.

Siklus

tersebut

sangat dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, spesies, nutrisi, kelembapan dan lain lain.
Akan tetapi dari semua faktor diatas yang paling berpengaruh adalah temperatur.
Ketika menggunakan perkembangan lalat untuk menentukan waktu kematian perlu
mengetahui beberapa hal antara lain:
2.5.1 Stadium tertua dari blow flies yang berhubungan dengan jasad
Sangatlah penting untuk mengetahui sampai sejauh mana siklus hidup dari lalat yang
sudah terjadi. Seperti halnya temperatur yang mempengaruhi perkembangan serangga,
serangga yang mengalami perkembangan paling depan adalah serangga yang pertama
kali mencapai jasad. Tidak ada gunanya menentukan larva yang berada pada instar
stage 2 bila dapat ditemukan pupa kosong. Pupa yang kosong mengindikasikan bahwa ada
serangga

yang

sudah

menyelesaikan

siklus

hidupnya. Apabila

pada pemeriksaan

didapatkan larva pada stadium instar stage 3 pemeriksa harus memeriksa daerah baju, rambut
dan sekitarnya untuk menentukan apakah sudah ada larva yang memasuki nonfeeding
stage. Apabila ditemukan larva pada nonfeeding stage pemeriksa harus mencari apakah
ada pupa atau tidak. Bila tidak ditemukan pupa maka pemeriksa dapat mengambil
kesimpulan bahwa stadium terdepan yang dialami lalat adalah nonfeeding stage atau
prepupal third instar stage.2
2.5.2 Spesies serangga
Entomologis harus dapat mengidentifikasi spesies dari blow flies. Setiap spesies
memiliki perkembangan siklus yang berbeda beda, akibatnya setiap
dapat

dikenali.

Lalat

dewasa

memiliki

spesies

harus

kriteria diagnostik yang lebih banyak untuk

dibedakan dengan antara yang satu dengan yang lain, sedangkan larva harus dibedakan dari
bagian mulut dan bentuk morfologis lainnya. Pemeriksaan DNA juga dapat digunakan untuk
menentukan spesies serangga terutama pada keadaan seperti larva pada instar stage 1 yang
sulit untuk dibedakan dan bila spesimen mengalami kerusakan.2
2.5.3 Data temperatur

Serangga sangat bergantung pada temperatur, karena itu sangat penting untuk
mengetahui temperatur dilokasi. Biasanya temperatur ditentukan dengan mengambil
data dari Badan Meteorologi Geofisika. Sering terjadi kesalahan dalam menentukan
temperatur di tempat kejadian karena data temperatur yang digunakan terkadang diambil
bukan

dari

lokasi

jasad, sehingga

data

temperatur

yang

diperkirakan

tidak

mencerminkan temperatur yang dialami serangga. Untuk mengatasi hal ini biasanya
digunakan alat perekam temperatur di lokasi yang akan mencatat temperatur selama
2 hingga 3 minggu.2
2.5.4 Data perkembangan
Untuk dapat menentukan umur serangga yang paling tua, entomologi harus
mengetahui kecepatan perkembangan siklus dari spesies serangga yang

berkoloni.

Informasi ini dapat diambil dari literatur yang menerangkan perkembangan siklus
setiap spesies disertai dengan pengaruh temperatur pada perkembangan serangga.
Setelah mendapatkan ke 4 informasi diatas kita dapat menjawab pertanyaan
Dalam kondisi seperti ini, berapa lama waktu yang dibutuhkan spesies ini untuk
mencapai stadium ini. Waktu kematian merupakan salah satu hal yang menjadi pertanyaan
yang biasanya diajukan pada kasus pembunuhan, tetapi sangat sulit untuk dipecahkan.
Entomologi dapat memberikan titik terang untuk permasalahan ini.2
2.6

Penguraian
Banyak penelitian tentang penguraian yang dilakukan di seluruh negara dan kondisi
lingkungan yang berbeda. Mayoritas dari penelitian dilakukan pada daerah tropis dan
subtropis.Penelitian tersebut membagi proses penguraian ke dalam lima stadium. :

2.6.1

Fresh Stage (Stadium awal)


Stadium ini dimulai saat kematian dan berakhir dengan adanya pembengkakan.

Serangga yang pertama kali ditemukan adalah lalat dari famili

Calliphoridae

dan

Sarcophagidae. Betina dewasa akan mencari mayat, kemudian memakan dan menetaskan
telur disekitar mayat,umumnya

dimulai dari

bagian

kepala dan anogenital. Luka

merupakan tempat kedua yang menarik bagi spesies daerah tropis di Hawaii, tetapi juga dapat
menjadi tempat utama.3
2.6.2

Bloated Stage (Stadium Pembengkakan)


Pembusukan merupakan komponen utama dari penguraian, dimulai dari stadium ini. Gas

diproduksi dari aktivitas metabolik oleh bakteri anaerobik yang

menyebabkan

sedikit

pengembangan dari abdomen dan pada akhirnya mayat akan tampak seperti balon.
Temperatur

tubuh

pembusukan

yang meningkat

selama

stadium

ini

mengakibatkan

proses

dan aktivitas metabolik oleh larva Diptera yang memakannya. Calliphoridae

sangat menyukai mayat pada stadium ini. Saat mayat membengkak, cairan dipaksa keluar
dari rongga-rongga tubuh dan meresap ke dalam tanah. Cairan ini berkombinasi dengan
produksi amoniak yang berasal dari aktivitas metabolik larva diptera, menyebabkan
tanah

di

bawah

mayat tersebut menjadi alkalin dan binatang yang tinggal pada tanah

tersebut menjauh.3
2.6.3

Decay Stage (Stadium penghancuran)


Pada stadium ini dimulai dengan pengelupasan kulit, menyebabkan keluarnya

gas dan mayat mulai mengempis. Pada akhir dari stadium ini, larva
menghabiskan

hampir

Sarcophagidae pada

seluruh daging

akhir

mayat. Sedangkan

stadium penghancuran,

telah

pada

Diptera

telah

Calliphoridae

dan

menyelesaikan

stadium

perkembangan mereka dan telah meninggalkan mayat untuk kemudian masuk dalam stadium
pupa.3

2.6.4

Post Decay Stage (Stadium setelah penghancuran)


Adapun sisa yang tertinggal berupa kulit, kartilago dan tulang , Diptera

tidak lagi menjadi spesies yang dominan. Coleoptera mendominasi


stadium ini. Selain dari peningkatan spesies ini, juga terjadi peningkatan parasit dan predator
dari kumbang.3
2.6.5

Skeletal Stage (Stadium skeletal)


Pada stadium ini hanya tertinggal tulang dan rambut, sudah tidak terdapat daging

bangkai dan mulai kembalinya binatang yang tinggal pada tanah di bawah mayat tersebut.
Tidak ada ketentuan lamanya stadium ini, stadium ini dapat ditentukan lamanya dari variasi
binatang normal pada tanah serta kondisi lokal di mana mayat ditemukan.Pada dasarnya,
perkiraan usia dari belatung yang ditemukan pada mayat dapat menunjukan waktu minimal
sejak kematian. Misalnya jika usia belatung diperkirakan lima hari maka kesimpulannya
kematian

seharusnya

telah

terjadi 6 hari, 7 hari atau lebih.

terjadi paling sedikit lima hari tetapi kematian juga dapat

Dasar ilmu forensik entomologi adalah mengukur lama serangga berkoloni pada
jasad, bukan menentukan waktu terjadinya kematian. Telur lalat dapat diletakkan
pada jasad dalam hitungan menit atau 1 hari kemudian jika jasad dalam keadaan terkubur,
terbungkus atau berada pada lokasi dengan temperatur yang rendah sehingga menghambat
kolonisasi

serangga.

Bila

kondisi

dilingkungan memungkinkan untuk terjadinya

kolonisasi segera setelah kematian, terdapat hal hal lain yang dapat mempengaruhi proses
kolonisasi, contohnya pada satu kasus dimana seseorang dibunuh dimusim panas, ketika
siang hari dan ditinggal dalam keadaan berlumuran darah, maka dapat diperkirakan bahwa
serangga akan segera berkoloni dalam hitungan menit pada jasad. Akan tetapi hal itu belum
tentu benar.
Pada kasus kasus tertentu serangga memang menaruh telur pada jasad dalam
hitungan

menit,

dimakan

oleh

memakan

tetapi mayoritas
predator Vespa

semua

telur

yang

dari telur yang pertama

sp. Dalam
diletakkan

jumlah
pada

yang
hari

kali

diletakkan akan

besar Vespa
pertama,

sp. dapat

sehingga

saat

pemeriksaan yang dilakukan pada beberapa hari kemudian hanya akan didapatkan spesimen
dalam usia yang muda. Selain itu terdapat kemungkinan penyimpangan waktu
hari dalam menentukan waktu maksimum setelah kematian ditentukan

sebesar

berdasarkan

serangga yang ditemukan pada jasad. Hal ini dapat menyebabkan kesalahan yang
signifikan.

Sebagai

contoh

pada

satu

kasus seseorang ditemukan 3 hari kemudian

dalam keadaan meninggal, artinya waktu lama minimal kematian yang diperkirakan oleh
entomologisnya adalah 2 hari, hal itu
tepat. Karena

itu

adalah

benar walaupun

tidak

benar benar

menentukan waktu minimal kematian lebih aman dan terjamin oleh

entomologis.
Hal hal yang biasa digunakan sebagai acuan oleh entomologis adalah waktu
minimal kematian dan perkembangan siklus serangga. Beberapa serangga mungkin akan
berkembang lebih lama dari perkiraan karena itu menggunakan waktu minimal kematian
dapat meningkatkan keakuratan.Perkiraan waktu kematian sangat penting untuk kepentingan
investigasi dalam mendukung atau menolak kesaksian. Sebagai contoh pada kasus
ditemukannya

jasad

yang

sudah

mengalami

dekomposisi,

kemudian

seseorang

datang dengan kesaksian bahwa dia baru saja melihat kejadian pembunuhan yang terjadi
pada jasad tersebut; dapat dipastikan bahwa kesaksiannya tidak dapat digunakan.
Pada kasus lain dapat ditemukan dua kesaksian yang subjektif dan sangat bertolak belakang,
dengan menggunakan bukti bukti entomologi yang bersifat objektif maka akan dapat
diketahui kesaksian mana yang benar.2

2.7 Kolonisasi pada Jasad


Jasad

dari

suatu

hewan

atau

manusia

merupakan

sumber

nutrisi

yang

memfasilitasi perubahan ekosistem yang cepat. Dalam hitungan menit atau bahkan
detik

setelah

kematian, serangga (terutama blow flies) akan hinggap di jasad untuk

membentuk koloni. Seiring dengan proses dekomposisi, jasad semakin tidak menarik
bagi

koloni

yang pertama dan menarik serangga lainnya. Perubahan biologis, kimia dan

fisik akan menarik serangga lain dan mengubah komposisi koloni yang akan terus terjadi
hingga tidak ada nutrisi yang dapat digunakan dari jasad. Jenis serangga yang akan
membentuk koloni pada jasad dipengaruhi oleh keadaan

nutrisi

pada

jasad,

keadaan

geografis, habitat, musim, kondisi meteorologis.


Selain itu, juga dapat memperkirakan waktu kematian berdasarkan adanya
fakta

bahwa

serangga

yang

ditemukan

pada

tubuh

akan

berganti

seiring

berjalannya waktu dan terjadinya proses pembusukan. Tidak hanya jenis serangga pada tubuh
mayat saja yang dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian, jika tubuh mayat
terbaring pada tanah untuk beberapa periode waktu, serangga dan hewan tidak bertulang
belakang lainnya yang ada pada tanah di bawah mayat tersebut juga akan berganti. Jumlah
spesies akan berkurang setelah komunitas baru
Pengetahuan

tentang

kejadian

ini

dari

spesies

dapat memungkinkan

para

lain

berkembang.

entomologis

untuk

memperkirakan seberapa lama tubuh terbaring pada lokasi ditemukannya. Benda benda
lain yang dapat digunakan untuk kepentingan entomologis antara lain adalah kulit larva, feses
dan membrana peritropik yang berasal dari Coleoptera : Dermestidae. Membran peritropik
memberi garis pada bagian perut dari serangga dan terbuang bersamaan ketika serangga
tersebut defekasi pada kasus kasus terkadang dapat ditemukan dilokasi sekitar jasad hingga
bertahun tahun.1
2.8 Menentukan Apakah Jasad di Pindahkan
Pada keadaan tertentu, serangga dapat digunakan untuk menentukan hal hal selain
waktu kematian minimal. Salah satunya adalah untuk menentukan apakah setelah
kematian

jasad

dipindahkan

atau

tidak. Tempat

dimana

tubuh korban ditemukan

tidak selalu menunjukkan tempat dia mati, seringnya tubuh dipindahkan dari tempat awal
dari kejadian kriminal.

Sebagai contoh, seseorang dibunuh

jasadnya dipindahkan

ke tempat

suatu

tempat,

kemudian

lain dengan maksud untuk disembunyikan. Segera

setelah kematian, serangga yang berada di tempat itu akan hinggap di luka luka atau di

orifisium yang ada pada jasad dan berkoloni. Ketika jasad tersebut dibawa ke tempat baru
maka serangga serangga dari tempat lokasi pembunuhan terbawa ke tempat baru.
Serangga dan spesies hewan tidak bertulang belakang yang memakan tubuh
korban yang berada di dalam tanah berbeda dengan yang di lingkungan terbuka. Perbedaan
binatang ini juga menjadi dasar untuk menentukkan apakah korban telah dikuburkan sejak
awal kematian atau berada di lingkungan terbuka sebelum dikuburkan.3
2.9 Posisi Luka
Cara kematian berbeda dengan penyebab kematian. Sebagai contoh cara kematian
dengan tikaman atau bacokan, sedangkan penyebab kematian karena kehilangan

darah.

Penyebab kematian menjadi wewenang patologi forensik. Sedangkan ahli entomologi


kadang-kadang dipanggil untuk memberikan pendapat tentang cara kematian, khususnya
pada kasus-kasus dimana tubuh berada pada stadium lanjut pembusukan. Sebagai contoh,
pada tubuh yang dihinggapi belatung luka mungkin akan dimakan belatung sehingga tidak
mungkin mengetahui apa yang

menjadi

penyebab

luka.

Dalam

hal

ini

ahli

kali

hinggap

ke

jasad

dan

entomologis dapat banyak membantu.


Blow

flies adalah

serangga

yang

pertama

menaruh telurnya didekat luka supaya larva pada instar stage 1 mendapatkan nutrisi
yang cukup. Sesudah tubuh mengalami dekomposisi lebih lanjut akan lebih sulit untuk
menentukan ada atau tidaknya luka. Jika luka tersebut tidak mengenai jaringan keras seperti
tulang dan kartilago akan sangat mudah tidak terdeteksi, akan tetapi serangga dapat
mendeteksi adanya luka yang sangat kecil. Lalat betina dapat mendeteksi adanya luka dalam
ukuran yang kecil untuk dapat menaruh telur telurnya, lalat bahkan dapat mendeteksi
adanya

bekas

punksi

vena

yang menggunakan jarum paling kecil dimana tidak dapat

dilihat oleh ahli patologis.


Pada
digunakan

tahap
untuk

dekomposisi

lebih

lanjut,

memperkirakan

posisi

luka,

kolonisasi
akan

dari serangga

tetapi yang

berhak

dapat
untuk

menyatakan posisi lukaluka adalah forensik patologis, sedangkan entomologis berhak untuk
menyatakan bahwa ada pola kolonisasi serangga yang tidak umum yang mungkin
mengindikasikan adanya luka. Sebagai contoh, pada suatu kasus ditemukan
seorang

wanita

yang

jasadnya

ditemukan

adanya

dalam tahap dekomposisi yang lanjut.

Didapatkan pola kolonisasi yang tidak umum berupa lebih banyak kolonisasi pada daerah
dada

dan

pemeriksaan

tangan
lebih

dibandingkan
lanjut dan

dengan kepala.

Atas pernyataan itu

dilakukan

akhirnya ditemukan adanya tanda tanda bekas luka

tusukan benda tajam disekitar dada dan tangan.


Pemeriksaan untuk memeriksa bekas luka berdasarkan kolonisasi serangga harus
dilakukan dengan hati hati. Sebagai contoh, seringkali adanya belatung pada

daerah

genital dianggap sebagai kasus pemerkosaan. Apabila pada pemeriksaan lebih lanjut
ditemukan bahwa serangga yang berkoloni di daerah genitalia adalah yang paling tertua, hal
ini mengindikasikan adanya pemerkosaan (luka atau semen pada daerah genital
mengakibatkan serangga tertarik), tetapi bila pada pemeriksaan lebih lanjut ditemukan bahwa
kolonisasi pada daerah genitalia dan daerah lainnya sama atau bahkan lebih lambat hal itu
menunjukan bahwa kolonisasi yang terjadi adalah normal, tidak mengindikasikan
pemerkosaan.3
2.10 Menghubungkan Tersangka dengan Kejadian
Sebagai contoh, terjadi suatu pemerkosaan pada pertengahan musim panas.
Korban wanita mengaku bahwa pelaku menggunakan topeng ski. Seorang suspek
teridentifikasi

dan

dalam

proses

penggeledahan

rumahnya

didapatkan topeng ski,

suspek mengaku bahwa tidak menggunakannya sejak musim dingin tahun


pemeriksaan
kecacatan

lebih
berupa

lanjut

ditemukan

lekukan dan

pada

didalam

topeng

lekukan

tersebut didapatkan

panas.

Setelah

menunjukan bukti

Pada
sedikit

tersebut didapatkan ulat. Setelah

dilakukan analisis didapatkan bahwa topeng ski tersebut dipastikan


musim

lalu.

digunakan

pada

tersebut suspek mengakui pemerkosaan

tersebut.3
2.11Obat
Serangga yang berkolonisasi pada jasad memakan jaringan jasad sehingga secara
tidak langsung mengkonsumsi substansi yang terdapat pada jasad. Zat zat tersebut dapat
berupa alkohol, racun dan obat. Alkohol adalah produk normal yang
proses

dekomposisi, sehingga

serangga

umumnya

dihasilkan

tidak dipengaruhi oleh adanya

substansi alkohol. Apabila kematian disebabkan oleh racun atau obat,


maksud

terapeutik atau pembunuhan, maka

dari

baik dalam

akan mengakibatkan perkembangan dari

serangga.
Pada kasus pembunuhan dan keracunan jaringan tubuh hampir seluruhnya dimakan
oleh belatung. Belatung mempunyai kemampuan untuk menyimpan jaringan berupa
cairan toksik sehingga dapat digunakan untuk analisa toksikologi. Walaupun tidak seluruh

mayat dimakan oleh belatung, tetapi masih lebih baik melakukan tes pada belatung daripada
pada sisa pembusukan manusia, karena jaringan hidup akan lebih mudah untuk di analisa
toksikologinya daripada tubuh yang sudah membusuk. Analisis serangga untuk menentukan
racun atau obat dapat dilakukan pada larva dan diptera dan coleoptera dewasa dan coleoptera
exuviae. Obat dapat mempengaruhi perkembangan dari serangga, yaitu mempercepat
atau memperlambat perkembangan, karena itu entomologis harus memperhatikan pernyataan
dari ahli toksikologi.2
2.12 Kelalaian Manusia
Pada kasus kasus ditemukan bahwa larva hanya memakan bagian jaringan
sudah

nekrotik,

ganggren dan

jaringan-jaringan

yang

yang

rusak. Sebagai contoh, pada

pengadilan entomologis dapat memberi pernyataan bahwa popok seorang bayi tidak diganti
selama 5 hari karena dalam 4 5 hari pada pemeriksaan didapatkan belatung yang memakan
jaringan jaringan yang sudah rusak.

2.13

Pengumpulan Bukti Entomologis


Sebaiknya

entomologis

bukti

karena

seorang

bukti

entomologis

entomologis

sudah

dikumpulkan
terlatih

oleh seorang

untuk

ahli

mengidentifikasi,

mengumpulkan serangga dan dapat mengetahui mana yang penting dan mana yang tidak
penting.
2.14 Pengumpulan bukti entomologis pada lokasi kejadian
Bukti bukti entomologis yang diambil harus berasal dari lokasi kejadian. Pada suatu
kasus yang besar, setiap sentimeter dari lantai harus diperiksa dengan teliti dan setiap bukti
potensial harus difoto, dibuat sketsanya dan dikumpulkan. Sebelum bukti entomologis
diambil dari lokasi, lingkungan di sekitar lokasi harus diamati dan difoto terlebih dahulu.
Deskripsi hasil juga meliputi:
1. Daerah geografi: kota, desa, alamat jika ada, dsb
2.Tipe Habitat: gurun, hutan, di dalam apartmen, daerah kumuh, padang
rumput dsb.
3. Area : berbatu, pegunungan, atau dataran rendah
4. Tipe vegetasi: tanaman yang ada., jika spesifik dikirim ke botanis
5. Tipe tanah: berpasir, berkerikil, berlumpur, atau artificial (semen, batu-

batuan dsb)
Deskripsi tentang mayat termasuk:
1.Jenis kelamin, berat badan, tinggi badan
2. Ada atau tidaknya pakaian dan deskripsi tentang pakaian.
3. Postur mayat: duduk, berbaring, tengkurap dsb
4. Benda benda di sekitar mayat: terbungkus, tertutup dengan tanaman.
5. Kerusakan fisik: luka terbuka, memar dan daerah kerusakan.
6. Penyebab kematian
7. Stadium pembusukan
8. Serangga yang ditemukan,jika memungkinkan termasuk fotografi lengkap.
Dicatat juga data tentang iklim yang lengkap tiap jam. perkembangan serangga
berupa aktivitas dewasa, termasuk penetasan telur dan perkembangan imatur. Juga
dicatat hal-hal yang aneh ditemukan pada TKP. Jika terdapat konsentrasi belatung,
temperatur

pada

setiap

konsentrasi harus

dihitung

dengan

cara

meletakkan

termometer secara perlahan diatas konsentrasi belatung, kemudian tekan dengan lembut
pada permukaan. Hal ini akan mengakibatkan belatung belatung bergerak disekitar
termometer sehingga mengurangi kemungkinan kerusakan pada jasad.3
Pengumpulan bukti blow flies
Perkembangan blow flies adalah bukti entomologis yang paling penting untuk
menentukan waktu kematian pada hari pertama dan seminggu setelahkematian.
Setiap stadium sangat penting. Berikut adalah ringkasan teknik mengumpulkan bukti
entomologis blow flies.
Telur
Lokasi

: Dekat luka dan orifisium

Koleksi hidup : Simpan setengah dari sampel untuk keperluan identifikasi nanti letak dalam
vial diatas potongan hati sapi dan tutup menggunakan 2 lapis handuk dan ikat menggunakan
karet pengikat. Tulis pada vial tempat dan waktu pengambilan sampel.
Koleksi cadangan

: Simpan setengah sampel pada vial dengan ethanol 75-90%

atau isopropil alkohol 50% dengan segera setelah pengambilan sampel. Tulis pada
vial tempat dan waktu pengambilan sampel.
Catatan

:Kumpulkan sampel secara terpisah dengan cara mengambil dari beberapa

area observasi dan catat waktu menetasnya telur. Telur menjadi bukti yang tidak penting
jika sudah didapatkan belatung.

Feeding larvae
: Pada tubuh, luka atau orifisium

dapat

ditemukan pada konsentrasi belatung dapat

ditemukan diseluruh tubuh.


Koleksi hidup : Sama seperti telur
Koleksi cadangan

:Sama seperti telur, jika memungkinkan, taruh larva pada air panas

dengan cepat sebelum ditaruh pada alkohol.


Catatan

: Ambil sampel sebanyak 100 200, ambil dari beberapa

tempat berbeda dan simpan terpisah, ambil menggunakan forcep tumpul, kuas kecil atau
spatula. Jangan menaruh larva berlebihan pada 1 vial.
Prepupal nonfeeding larvae
Lokasi

: Pada tanah, rambut, baju, benda yang membungkus jasad.

Koleksi hidup

: Sama seperti telur dan feeding larvae.

Koleksi cadangan

: Sama seperti feeding larvae.

Catatan

: Tidak memerlukan makanan

Pupae
Lokasi

: Sama seperti prepupal dan nonfeeding larvae.

Koleksi hidup : Simpan


untuk

mencegah

pada

vial

dengan

sedikit

potongan

handuk

yang lembab

kerusakan, tutup menggunakan handuk kering dan ikat dengan karet

pengikat, tidak perlu memberikan makanan.


: Pupae bewarna coklat gelap dan sering ditemukan jauh dari jasad, seringkali terlihat seperti
bagian dari tanaman. Dapat berukuran

sangat

kecil

dari

milimeter

hingga

sentimeter.
Puparia atau kantung pupa
Lokasi

: Sama seperti pupae dan nonfeeding larvae.

Koleksi hidup

: Tidak ada, kantung pupa tidak hidup

Koleksi cadangan

: Simpan dalam keadaan kering pada vial, gunakan handuk

sebagai bantal untuk puparia dalam vial, tutup menggunakan tutup vial.

1,5

: Kantung pupa menandakan bahwa siklus hidup sudah lengkap.


Blow flies dewasa
: Diseluruh bagian jasad. Ambil menggunakan kuas kecil yang basah.
Koleksi hidup : Simpan pada vial, tidak memerlukan udara.
Koleksi cadangan

: Jangan simpan jika sayap masih terlipat; taruh pada vial

kering dan biarkan mongering, beri tanda sebagai lalat yang baru menetas.
Catatan

: Berguna jika baru saja menetas

Lalat jenis lain


: Diseluruh bagian jasad, mungkin ditemukan pada baju dan

persendian. Gunakan jaring

atau kuas kecil yang basah


Koleksi dewasa

: Dapat disimpan di dalam vial dan tetap hidup tidak

memerlukan udara.
Koleksi imatur: Simpan dan jaga agar tetap hidup dalam vial dengan potongan handuk
basah. Simpan sebagian dalam alkohol. Semua pupa sebaiknya disimpan dalam keadaan
hidup.
: Serangga yang dewasa dan imatur sangat penting

: Dimana saja, dibawah jasad, disekitar jasad atau di baju.


Ambil menggunakan jaring atau kuas kecil yang basah.
Koleksi dewasa

: Dapat disimpan dalam keadaan hidup atau taruh dalam

alkohol.
Koleksi imatur: Simpan

dalam

keadaan

hidup

dengan

handuk basah simpan per

individu karena beetles punya sifat kanibalisme. Simpan sebagian dalam alkohol. Setiap
pupa sebaiknya disimpan dalam keadaan hidup.
: Serangga dewasa dan imatur sangatlah penting, kedua duanya bergerak dengan
cepat. Kulit larva dan kantung pupa sebaiknya juga disimpan.
Sampel tanah
Serangga tanah dan hewan tidak bertulang belakang sebaiknya tidak usah
disingkirkan. Sample tanah dikumpulkan dan dibawa ke laboratotium.
Ambil sebanyak kurang lebih 4 gelas. Taruh pada kaleng yang ukurannya 2 kali dari sampel.
Sampel tanah biasanya diperiksa entomologis di laboratorium.

Protokol pengumpulan specimen entomologi :


Prosedur koleksi
1. Serangga yang terbang
Lebih kurang 10-15 menit daerah sekitar mayat harus dikosongkan, agar dapat
menangkap serangga menggunakan net. Serangga yang sudah ditangkap dimasukkan ke
dalam gelas yang berisi 70-80% etil alkohol atau isopropyl alkohol. Perbandingan isopropyl
alkohol dan air adalah 1:1, Jika tidak serangga akan mengeras dan susah diidentifikasi.
Sebaiknya tidak menggunakan formalin, kecuali jika terdesak. Perlu untuk diketahui tempat
di mana lalat ditemukan, diberi

label,

bagaimana

cara

mengumpulkan,

siapa

yang

mengumpulkan dan waktu pengumpulan.2


2. Serangga yang merayap
Serangga

dikumpulkan

harus

dilabel

berdasarkan

tempat ditemukannya.

Serangga diambil menggunakan forcep atau tangan. Harus menggunakan sarung tangan
setiap waktu. Serangga yang ditangkap ada 2 jenis: serangga dengan badan yang keras,
seperti kumbang

dan

serangga

dengan

badan

lunak.

Tindakan

terhadap serangga

yang berbadan keras dilakukan sama halnya dengan serangga yang terbang. Untuk
yang berbadan lunak perlu perlakuan khusus, karena lebih susah diidentifikasi. Mereka
terdiri dari dewasa dan belum matur. Serangga yang belum matur lebih susah
diidentifikasi, sehingga biasanya mereka dibiarkan terlebih dahulu.
dibagi

menjadi

dua

entomologi, sedangkan

untuk

Serangga ini

kelompok, kelompok yang pertama akan dibunuh dan dianalisa


kelompok

yang

kedua

dibiarkan

hidup

untuk identifikasi

spesies. Serangga yang belum matur umumnya berupa belatung, dibunuh dan dimasukkan
kedalam solusi KAA selama 5-10 menit tergantung ukuran belatung kemudian dipindahkan
ke etil alkohol 70% atau isopropyl alkohol yang ditambah air dengan perbandingan
1:1. Solusi KAA digunakan untuk melepaskan bagian luar permukaan serangga
atau kutikula. . Jika tidak dilakukan, alkohol akan masuk ke dalam tubuh dan
membuat tubuh serangga menjadi hitam dan busuk. Solusi KAA terdiri atas 1 bagian asam
asetat, 1 bagian minyak tanah, 30 bagian etil alkohol 95%. Jika KAA tidak ada, dapat
digunakan air panas76,7 oC selama 2-3 menit dan ditransfer ke etil alkohol 70% untuk
penyimpanan.1

3. Pemberian Label
a. Tanggal pengumpulan
b. Waktu pengumpulan
c. Lokasi ditemukan pada tubuh, sespesifik mungkin.
d. Tempat ditemukan tubuh: di dalam rumah, di semak-semak, di pegunungan
e.Daerah tubuh dimana spesimen ditemukan, jangan bercampur dengan specimen dari daerah
tubuh lain.
f.Nama, alamat, dan nomor telepon dari kolektor.

Myasis
Myasis adalah

suatu

penyakit

yang

disebabkan

masuknya

belatung

ke

jaringan hidup. Beberapa spesies lalat termasuk yang umum ditemukan pada orang
atau binatang hidup. Salah satu manifestasi yang ditemukan sheep-strike. Dimana lalat
meletakkan telurnya pada kulit yang tidak terluka, binatang menjadi lemah dan kematian
pun mulai terjadi. Kemungkinan orang-orang yang menderita myasis akan meninggal
dengan cepat dengan tanda-tanda adanya larva pada tubuh.
2.16 Halangan untuk Forensik Entomologi
2.17.1Temperatur
Seperti yang sudah

disebutkan

sebelumnya

bahwa

temperatur

sangat

mempengaruhi perkembangan, sedangkan pada kenyataannya temperatur dilokasi sangat sulit


untuk ditentukan dengan pasti. Data temperatur dapat diambil pada stasiun cuaca, akan tetapi
akan lebih baik jika dilakukan pencatatan data temperatur pada lokasi secara langsung.
Data

statistik

yang

lengkap

akan mempermudah entomologis

untuk memprediksi

temperatur yang ada di lokasi dengan memperbandingkan data dari stasiun cuaca dan data
dari lokasi.
2.17.2 Musim
Perkembangan serangga dipengaruhi oleh musim. Pada musim musim tertentu
dimana temperaturnya sangat rendah akan menghambat perkembangan.
2.17.3 Eksklusi Serangga

Serangga dapat pergi dari jasad dengan beberapa alasan. Jasad mungkin mengalami
pembekuan sehingga serangga yang sudah berkoloni akan pergi. Pembekuan juga
dapat

mempengaruhi

dekomposisi,

sehingga

akan

mempengaruhi

kolonisasi

serangga.Penguburan juga mempengaruhi kolonisasi serangga hal ini disebabkan karena


kedalaman

dan

jenis

tanah

sangat

mempengaruhi.

Pembungkus

tubuh dapat

membatasi atau menghambat aktivitas serangga. Serangga mungkin akan kesulitan

untuk

mencapai jasad yang dibungkus sehingga akan menambah perkiraan waktu kematian,
tetapi perkembangan pada jasad tetap sama sehingga waktu kematian minimal tetap dapat
diprediksi.
2.17.4 Pelaporan
Laporan entomologis akan sangat berguna untuk kepentingan penyelidikan dan juga
dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan. Laporan yang digunakan untuk

pengadilan

harus dipisahkan dari laporan lainnya agar pembaca dapat memahami dasar-dasar
ilmu mengenai dari entomologi sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan tanpa perlu
mencari literatur lebih lanjut. Laporan sebaiknya dimulai dengan deskripsi singkat mengenai
kejadian, tempat kejadian, korban dan kumpulan sampel yang ditemukan yang berkaitan
dengan entomologi. Pada laporan harus dijelaskan mengenai bagaimana, kapan dan siapa
yang menghubungi ahli entomologi serta bagaimana bukti entomologi tersebut diterima oleh
ahli entomologi. Harus dijelaskan pula mengenai prosedur yang digunakan, data yang
digunakan dan hasil identifikasi dari serangga. Selain itu, di dalam laporan juga harus
terdapat mengenai latar belakang ilmu forensik ilmu entomologi dan harus dapat
menyimpulkan mengenai spesies mana yang terlibat dan bagaimana perkembangan spesies
tersebut sesuai dengan literatur.2
2. Penentuan Waktu Kematian Berdasarkan Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu membuat jelasnya suatu perkasra
kasus dalam menentukan identitad, saat kematian, sebab kematiab. Pemlihina pemeriksaan
penunjang sesuai indikasi kasus dapat dilakukan satu macam pemeriksaan penunjang atau
lebih. Pengambilan sampel, pengiriman dan pemeriksaan barang bukti medis adalah spesifik
untuk masing masing pemeriksaan penunjang.
Laboratorium Forensik mempunyai tugas mendukung suatu komponen penyelidikan
perkara, mengidentifikasikan komponen penyelidikan perkara, diketahui namanya atau
benda, sebab-sebab kematian, diketahui sifat dan tanda-tanda untuk kepentingan pembuktian

A. Macam-macam Pemeriksaan Laboratorium Sederhana dan Pelaksanaannya


1. Pemeriksaan Laboratorium Forensik Darah
Pemeriksaan bercak darah merupakan salah satu pemeriksaan yang paling
sering dilakukan pada laboratorium forensik. Karena darah mudah sekali tercecer
pada hampir semua bentuk tindakan kekerasan, penyelidikan terhadap bercak darah
ini sangat berguna untuk mengungkapkan suatu tindakan kriminil. (1)
Pemeriksaan darah pada forensik sebenarnya bertujuan untuk membantu
identifikasi pemilik darah tersebut.
Sebelum dilakukan pemeriksaan darah yang lebih lengkap, terlebih dahulu kita
harus dapat memastikan apakah bercak berwarna merah itu darah. Oleh sebab itu
perlu dilakukan pemeriksaan guna menentukan :
a. Bercak tersebut benar darah
b. Darah dari manusia atau hewan
c. Golongan darahnya, bila darah tersebut benar dari manusia
Untuk

menjawab pertanyaan

pertanyaan

diatas,

harus

dilakukan

pemeriksaan laboratorium sebagai berikut :


a. Persiapan
Bercak yang menempel pada suatu objek dapat dikerok kemudian
direndam dalam larutan fisiologis, atau langsung direndam dengan larutan
garam fisiologis bila menempel pada pakaian.
b. Pemeriksaan Penyaringan (presumptive test)
Ada banyak tes penyaring yang dapat dilakukan untuk membedakan apakah
bercak tersebut berasal dari darah atau bukan, karena hanya yang hasilnya
positif saja yang dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Prinsip pemeriksaan penyaringan:
H2O2 > H2O + On
Reagen -> perubahan warna (teroksidasi)
Pemeriksaan penyaringan yang biasa dilakukan adalah dengan reaksi
benzidine dan reaksi fenoftalin. Reagen dalam reaksi benzidine adalah larutan
jenuh Kristal Benzidin dalam asetat glacial, sedangkan pada reaksi fenoftalin

digunakan reagen yang dibuat dari Fenolftalein 2g + 100 ml NaOH 20% dan
dipanaskan dengan biji biji zinc sehingga terbentuk fenolftalein yang tidak
berwarna. (1)
Hasil positif menyatakan bahwa bercak tersebut mungkin darah sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan hasil negative pada kedua
reaksi tersebut memastikan bahwa bercak tersebut bukan darah. (2)
c. Pemeriksaan Meyakinkan/Test Konfirmasi Pada Darah (1), (2)
Setelah didapatkan hasil bahwa suatu bercak merah tersebut adalah
darah maka dapat dilakukan pemeriksaan selanjutnya yaitu pemeriksaan
meyakinkan darah berdasarkan terdapatnya pigmen atau kristal hematin
(hemin) dan hemokhromogen.
Terdapat empat jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
memastikan bercak darah tersebut benar berasal dari manusia, yaitu :
1. Cara kimiawi
Terdapat dua macam tes yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa
yang diperiksa itu bercak darah, atas dasar pembentukan kristal-kristal
hemoglobin yang dapat dilihat dengan mata telanjang atau dengan
mikroskopik. Tes tersebut antara lain tes Teichmann dan tes Takayama.
2. Cara serologik
Pemeriksaan serologik berguna untuk menentukan spesies dan
golongan darah. Untuk itu dibutuhkan antisera terhadap protein manusia
(anti human globulin) serta terhadap protein hewan dan juga antisera
terhadap golongan darah tertentu.
Prinsip pemeriksaan adalah suatu reaksi antara antigen (bercak darah)
dengan antibody (antiserum) yang dapat merupakan reaksi presipitasi atau
reaksi aglutinasi.
3. Pemeriksaan Mikroskopik (4)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat morfologi sel darah merah.
Cara pemeriksaan :

Darah yang masih basah atau baru mengering ditaruh pada kaca obyek
kemudian ditambahkan 1 tetes larutan garam faal, dan ditutup dengan kaca
penutup, lihat dibawah mikroskop.
Cara lain, dengan membuat sediaan apus dengan pewarnaan Wright atau
Giemsa.
Hasil :
Pemeriksaan mikroskopik kedua sediaan tersebut hanya dapat menentukan
kelas dan bukan spesies darah tersebut.
Kelas mamalia mempunyai sel darah merah berbentuk cakram dan tidak
berinti, sedangkan kelas lainnya berbentuk oval atau elips dan tidak berinti
Bila terlihat adanya drum stick dalam jumlah lebih dari 0,05%, dapat
dipastikan bahwa darah tersebut berasal dari seorang wanita.
Kelebihan:
Dapat terlihatnya sel sel leukosit berinti banyak. Dapat terlihat
adanya drum stick pada pemeriksaan darah seorang wanita.
Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan setelah suatu bercak merah benar bercak
darah dan benar bercak darah manusia, meliputi :
Penentuan Golongan Darah (1), (4)
American Association of Blood Banks mendefinisikan golongan darah sebagai
kumpulan antigen yang diproduksi oleh alel gen. Bagaimanapun, golongan darah
secara genetic dikontrol dan merupakan karakteristik yang seumur hidup dapat
diperiksa karena berbeda pada tiap individual. Darah yang telah mengering dapat
berada dalam pelbagai tahap kesegaran.
Bercak dengan sel darah merah masih utuh.
Bercak dengan sel darah merah sudah rusak tetapi dengan aglutinin dan antigen
yang masih dapat di deteksi;
Sel darah merah sudah rusak dengan jenis antigen yang masih dapat dideteksi
namun sudah terjadi kerusakan aglutinin.
Sel darah merah sudah rusak dengan antigen dan agglutinin yang juga sudah
tidak dapat dideteksi.
Bila didapatkan sel darah merah dalam keadaan utuh

Penentuan golongan darah dapat dilakukan secara langsung seperti pada penentuan
golongan darah orang hidup, yaitu dengan meneteskan 1 tetes antiserum ke atas 1
tetes darah dan dilihat terjadinya aglutinasi. Aglutinasi yang terjadi pada suatu
antiserum merupakan golongan darah bercak yang diperiksa, contoh bila terjadi
aglutinasi pada antiserum A maka golongan darah bercak darah tersebut adalah A.

Figure1. Penentuan golongan darah ABO cara makroskopik


Bila sel darah merah sudah rusak penentuan golongan darah dapat dilakukan dengan
cara menentukan jenis aglutinin dan antigen. Antigen mempunyai sifat yang jauh
lebih stabil dibandingkan dengan aglutinin. Di antara system-sistem golongan darah,
yang paling lama bertahan adalah antigen dari system golongan darah ABO.
Penentuan jenis antigen dapat dilakukan dengan cara absorpsi inhibisi, absorpsi elusi
atau aglutinasi campuran. Cara yang biasa dilakukan adalah cara absorpsi
elusi dengan prosedur sebagai berikut: (2)
Cara pemeriksaan :
2-3 helai benang yang mengandung bercak kering difiksasi dengan metil alcohol
selama 15 menit. Benang diangkat dan dibiarkan mengering. Selanjutnya dilakukan
penguraian benang tersebut menjadi serat-serat halus dengan menggunakan 2 buah
jarum. Lakukan juga terhadap benang yang tidak mengandung bercak darah sebagai
control negative.

Serat benang dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi. Ke dalam tabung pertama


diteteskan serum anti-A dan kedalam tabung kedua serum anti-B hingga serabut
benang tersebut teredam seluruhnya. Kemudian tabung-tabung tersebut disimpan
dalam lemari pendingin dengan suhu 4 derajat Celcius selama satu malam.
Lakukan pencucian dengan menggunakan larutan garam faal dingin (4 derajat
Celcius) sebanyak 5-6 kali lalu tambahkan 2 tetes suspense 2% sel indicator (sel
daram merah golongan A pada tabung pertama dan golongan B pada tabung kedua),
pusing dengan kecepatan 1000 RPM selama 1 menit. Bila tidak terjadi aglutinasi, cuci
sekali lagi dan kemudian tambahkan 1-2 tetes larutan garam faal dingin. Panaskan
pada suhu 56 derajat Celcius selama 10 menit dan pindahkan eluat ke dalam tabung
lain. Tambahkan 1 tetes suspense sel indicator ke dalam masing-masing tabung,
biarkan selama 5 menit, lalu pusing selama 1 menit pada kecepatan 1000 RPM.
Hasil :
Pembacaan hasil dilakukan secara makroskopik. Bila terjadi aglutinasi berarti darah
mengandung antigen yang sesuai dengan antigen sel indicator.
Pemeriksaan golongan darah juga dapat membantu mengatasi kasus paternitas. Hal ini
berdasarkan Hukum Mendel yang mengatakan bahwa antigen tidak mungkin muncul
pada anak, jika antigen tersebut tidak terdapat pada salah satu atau kedua orang
tuanya. Orang tua yang homozigotik pasti meneruskan gen untuk antigen tersebut
kepada anaknya. (Anak dengan golongan darah O tidak mungkin mempunyai orang
tua yang bergolongan darah AB).
Perlu diingat bahwa Hukum Mendel tetap berdasarkan kemungkinan (probabilitas),
sehingga penentuan ke-ayah-an dari seorang anak tidak dapat dipastikan, namun
sebaliknya kita dapat memastikan seseorang adalah bukan ayah seorang anak
(singkir ayah/paternity exclusion).
Contoh-contoh kasus.
Bayi tertukar.
Dilakukan pemeriksaan sistim golongan darah dari bayi serta kedua orang tuanya.
Table. Kasus bayi tertukar. Penentuan bercasarkan golongan darah ABO.
Bayi I

Bayi II

Pria

AB

Wanita

Jelas bayi II adalah anak dari pasangan I, sedangkan bayi I anak anak pasangan II.
Table. Kasus bayi tertukar. Penentuan berdasarkan golongan darah ABO.
Bayi I

Bayi II

AB

Pria

AB

Wanita

Jelas bayi I adalah anak pasangan I, tidak mungkin sebagai anak pasangan II,
sedangkan bayi II adalah anak dari pasangan II, walaupun pasangan I mungkin saja
mempunyai anak bergolongan darah A.
Ragu ayah (disputed paternity).
Dalam kasus ini siapa saja ayah yang sebenarnya dari seorang anak masih diragukan.
Table. Kasus ragu ayah. Penentuan berdasarkan golongan darah ABO.
Golongan darah
Bayi

B MNS Rhesus +

Ibu

A MNS Rhesus +

Pria I

AB MNS Rhesus +

Pria II

O MS Rhesus +

Pria III

A MNS Rhesus +

Pria I tidak dapat disingkirkan kemungkinan menjadi ayah si anak, sedangkan Pria II
dan III pasti bukan ayah anak tersebut.
Ayah yang curiga si anak bukanlah anaknya yang sejati.
Table. Kasus ragu ayah. Curiga bukan anak yang sejati.
Golongan Darah
Anak

O MNS Rhesus +

Ibu

A MS Rhesus +

Ayah

B MS Rhesus +

Anak tersebut pasti bukan anak dari Ayah tersebut.


Demikian pula kasus-kasus lainnya dapat dibantu penyelesaiannya dengan cara yang
sama seperti diatas.
Bila dicurigai penyebab kematian adalah keracunan maka dapat dilakukan
pemeriksaan darah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan CO (karbon monoksida)(2)
a. Untuk penentuan COHb secara kualitatif dapat dikerjakan uji difusi alkali.
i. Ambil 2 tabung reaksi. Masukkan ke dalam tabung pertama 1-2 tetes
darah korban dan tabung kedua 1-2 tetes darah normal sebagai kontrol.
Encerkan masing-masing darah dengan menambahkan 10 ml air
sehingga warna merah pada kedua tabung kurang lebih sama.
ii. Tambahkan pada masing-masing tabung 5 tetes larutan NaOH 1020%, lalu dikocok. Darah normal segera berubah warna menjadi merah
hijau kecoklatan karena segera terbentuk hematin alkali, sedangkan
darah yang mengandung COHb tidak berubah warnanya untuk
beberapa waktu, tergantung pada konsentrasi COHb, karena COHb
lebih bersifat resisten terhadap pengaruh alkali. COHb dengan kadar
saturasi 20% memberi warna merah muda (pink) yang bertahan selama
beberapa detik, dan setelah 1 menit baru berubah warna menjadi coklat
kehijauan.
iii. Perlu diperhatikan bahwa darah yang dapat digunakan sebagai
kontrol dalam uji dilusi alkali ini haruslah darah dengan Hb yang
normal. Jangan gunakan darah foetus karena dikatakan bahwa darah
foetus juga bersifat resisten terhadap alkali.
b. Dapat pula dilakukan uji formalin (Eachloz-Liebmann).
Darah yang akan diperiksa ditambahkan larutan formalin 40% sama
banyaknya. Bila darah mengandung COHb 25% saturasi maka akan
terbentuk koagulat berwarna merah yang mengendap pada dasar tabung
reaksi. Semakin tinggi kadar COHb, semakin merah warna koagulatnya.

Sedangkan pada darah normal akan terbentuk koagulat yang berwarna


coklat.
c. Cara Gettler-Freimuth (semi-kuantitatif)
2. Pemeriksaan Alkohol(2)
Bau alkohol bukan merupakan diagnosis pasti keracunan. Diagnosis
pasti hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kuantitatif kadar alkohol
darah. Kadar alkohol dari udara ekspirasi dan urin dapat dipakai sebagai
pilihan kedua. Untuk korban meninggal sebagai pilihan kedua dapat diperiksa
kadar alkohol dalam otak, hati, atau organ lain atau cairan tubuh lain seperti
cairan serebrospinalis.
Penentuan kadar alkohol dalam lambung saja tanpa menentukan kadar
alkohol dalam darah hanya menunjukkan bahwa orang tersebut telah minum
alkohol. Pada mayat, alkohol dapat didifusi dari lambung ke jaringan
sekitarnya termasuk ke dalam jantung, sehingga untuk pemeriksaan
toksikologik, diambil darah dari pembuluh darah vena perifer (kubiti atau
femoralis).
Salah satu cara penentuan semikuantitatif kadar alkohol dalam darah
yang cukup sederhana adalah teknik modifikasi mikrodifusi (Conway),
sebagai berikut :
Letakkan 2 ml reagen Antie ke dalam ruang tengah. Reagen Antie
dibuat dengan melarutkan 3,70 gr kalium dikromat ke dalam 150 ml air.
Kemudian tambahkan 280 ml asam sulfat dan terus diaduk. Encerkan dengan
500 ml akuades. Sebarkan 1 ml darah yang akan diperiksa dalam ruang
sebelah luar dan masukkan 1 ml kalium karbonat jenuh dalam ruang sebelah
luar pada sisi berlawanan.
Tutup sel mikrodifusi, goyangkan dengan hati-hati supaya darah
bercampur dengan larutan kalium karbonat. Biarkan terjadi difusi selama 1
jam pada temperatur ruang. Kemudian angkat tutup dan amati perubahan
warna pada reagen Antie.

Warna kuning kenari menunjukkan hasil negatif. Perubahan warna


kuning kehijauan menunjukkan kadar etanol sekitar 80mg %, sedangkan
warna hijau kekuningan sekitar 300mg %.
Kadar alkohol darah yang diperoleh dari pemeriksaan belum
menunjukkan kadar alkohol darah pada saat kejadian. Hasil ini akibat dari
pengambilan darah dilakukan beberapa saat setelah kejadian, sehingga yang
dilakukan adalah perhitungan kadar alkohol darah saat kejadian. Meskipun
kecepatan eliminasi kira-kira 14-15 mg%, namun pada perhitungan harus juga
dipertimbangkan kemungkinan kesalahan pengukuran dan kesalah perkiraan
kecepatan eliminasi. Gruner (1975) menganjurkan angka 10 mg% per jam
digunakan dalam perhitungan. Sebagai contoh, bila ditemukan kadar alkohol
darah 50mg% yang diperiksa 3 jam setelah kejadian, akan memberikan angka
80 mg% pada saat kejadian.
3. Pemeriksaan Insektisida(2)
Untuk pemeriksaan toksikologik insektisida perlu diambil darah,
jaringan hati, limpa, paru-paru dan lemak badan.
Penentuan kadar AchE dalam darah dan plasma dapat dilakukan
dengan cara tintimeter (Edson) dancara paper-strip (Acholest).
2.a. Pemeriksaan Laboratorium Forensik Cairan Mani & Spermatozoa (2), (5)
Cairan mani merupakan cairan agak putih kekuningan, keruh dan berbau khas.
Cairan mani pada saat ejakulasi kental kemudian akibat enzim proteolitik menjadi cair
dalam waktu yang singkat (10 20 menit). Dalam keadaan normal, volume cairan
mani 3 5 ml pada 1 kali ejakulasi dengan pH 7,2 7,6.
Cairan mani mengandung spermatozoa, sel-sel epitel dan sel-sel lain yang
tersuspensi dalam cairan yang disebut plasma seminal yang mengandung spermion
dan beberapa enzim sepertri fosfatase asam. Spermatozoa mempunyai bentuk yang
khas untuk spesies tertentu dengan jumlah yang bervariasi, biasanya antara 60 sampai
120 juta per ml.
Sperma itu sendiri didalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4
5 jam post-coitus; sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 2436 jam post coital dan bila wanitanya mati masih akan dapat ditemukan 7-8 hari

Pemeriksaan cairan mani dapat digunakan untuk membuktikan :


1. Adanya persetubuhan melalui penentuan adanya cairan mani dalam labia minor
atau vagina yang diambil dari forniks posterior
2. Adanya ejakulasi pada persetubuhan atau perbuatan cabul melalui penentuan
adanya cairan mani pada pakaian, seprai, kertas tissue, dsb.
Teknik

Pengambilan

bahan

untuk

pemeriksaan

laboratorium

untuk

pemeriksaan cairan mani dan sel mani dalam lendir vagina, yaitu dengan mengambil
lendir vagina menggunakan pipet pasteur atau diambil dengan ose batang gelas, atau
swab. Bahan diambil dari forniks posterior, bila mungkin dengan spekulum. Pada
anak-anak atau bila selaput darah masih utuh, pengambilan bahan sebaiknya dibatasi
dari vestibulum saja.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi :
1. Penentuan spermatozoa (mikroskopis)
Tujuan : Menentukan adanya sperma
Bahan pemeriksaan : cairan vagina
Metode pemeriksaan :
Tanpa pewarnaan
Untuk melihat motilitas spermatozoa. Pemeriksaan ini paling bermakna
untuk memperkirakan saat terjadinya persetubuhan
Cara pemeriksaan :
Letakkan satu tetes cairan vagina pada kaca objek kemudian ditutup.
Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 500 kali. Perhatikan pergerakkan
spermatozoa
Hasil :
Umumnya disepakati dalam 2 3 jam setelah persetubuhan masih dapat
ditemukan spermatozoa yang bergerak dalam vagina. Haid akan memperpanjang
waktu ini sampai 3 4 jam. Berdasarkan beberapa penelitian, dapat disimpulkan
bahwa spermatozoa masih dapat ditemukan 3 hari, kadang kadang sampai 6 hari
pasca persetubuhan. Pada orang mati, spermatozoa masih dapat ditemukan hingga
2 minggu pasca persetubuhan, bahkan mungkin lebih lama lagi.
Dengan Pewarnaan

Cara pemeriksaan :
Buat sediaan apus dan fiksasi dengan melewatkan gelas sediaan apus
tersebut pada nyala api. Pulas dengan HE, biru metilen atau hijau malakit
Cara pewarnaan yang mudah dan baik untuk kepentingan forensik adalah
pulasan dengan hijau malakit dengan prosedur sebagian berikut :
Buat sediaan apus dari cairan vaginal pada gelas objek, keringkan diudara, dan
fiksasi dengan melewatkan gelas sediaan apus tersebut pada nyala api, warnai
dengan Malachite-green 1% dalam air, tunggu 10-15 menit, cuci dengan air,
warnai dengan larutan Eosin Yellowish 1 %dalam air, tunggu selama 1 menit, cuci
lagi dengan air, keringkan dan periksa dibawah mikroskop.
Hasil :
Keuntungan dengan pulasan ini adalah inti sel epitel dan leukosit tidak
terdiferensiasi, sel epitel berwarna merah muda merata dan leukosit tidak
terwarnai. Kepala spermatozoa tampak merah dan lehernya merah muda, ekornya
berwarna hijau
Bila persetubuhan tidak ditemukan, belum tentu dalam vagina tidak ada
ejakulat karena kemungkinan azoosperma atau pascavasektomi. Bila hal ini
terjadi, maka perlu dilakukan penentuan cairan mani dalam cairan vagina.
2. Penentuan Cairan Mani (kimiawi)
Untuk membuktikan terjadinya ejakulasi pada persetubuhan dari
ditemukan cairan mani dalam sekret vagina, perlu dideteksi adanya zat-zat yang
banyak terdapat dalam cairan mani, yaitu dengan pemeriksaan laboratorium :
a. Reaksi Fosfatase Asam
Merupakan tes penyaring adanya cairan mani, menentukan apakah
bercak tersebut adalah bercak mani atau bukan, sehingga harus selalu
dilakukan pada setiap sampel yang diduga cairan mani sebelum dilakukan
pemeriksaan lain. Reaksi fosfatase asam dilakukan bila pada pemeriksaan
tidak ditemukan sel spermatozoa. Tes ini tidak spesifik, hasil positif semu
dapat terjadi pada feses, air teh, kontrasepsi, sari buah dan tumbuh-tumbuhan.
Dasar reaksi (prinsip) :

Adanya enzim fosfatase asam dalam kadar tinggi yang dihasilkan oleh
kelenjar prostat. Enzim fosfatase asam menghidrolisis natrium alfa naftil
fosfat. Alfa naftol yang telah dibebaskan akan bereaksi dengan brentamin
menghasilkan zat warna azo yang berwarna biru ungu. Bahan pemeriksaan
yang digunakan adalah cairan vaginal.
Hasil :
Bercak yang tidak mengandung enzim fosfatase memberikan warna
serentak dengan intensitas tetap, sedangkan bercak yang mengandung enzim
tersebut memberikan intensitas warna secara berangsur-angsur.
Waktu reaksi 30 detik merupakan indikasi kuat adanya cairan mani.
Bila 30 65 detik, masih perlu dikuatkan dengan pemeriksaan elektroforesis.
Waktu reaksi > 65 detik, belum dapat menyatakan sepenuhnya tidak terdapat
cairan mani karena pernah ditemukan waktu reaksi > 65 detik tetapi
spermatozoa positif.
Enzim fosfatase asam yang terdapat di dalam vagina memberikan
waktu reaksi rata-rata 90 100 detik. Kehamilan, adanya bakteri-bakteri dan
jamur, dapat mempercepat waktu reaksi.
b. Reaksi Florence
Reaksi ini dilakukan bila terdapat azoospermia/tidak ditemukan
spermatozoa atau cara lain untuk menentukan semen tidak dapat dilakukan.
Bila terdapat mani, tampak kristal kolin periodida coklat berbentuk
jarum dengan ujung sering terbelah.
Test ini tidak khas untuk cairan mani karena bahan yang berasal dari
tumbuhan atau binatang akan memperlihatkan kristal yang serupa tetapi hasil
postif pada test ini dapat menentukan kemungkinan terdapat cairan mani dan
hasil negative menentukan kemungkinan lain selain cairan mani.
c. Reaksi Berberio
Reaksi ini dilakukan dan mempunyai arti bila mikroskopik tidak
ditemukan spermatozoa.
Dasar reaksi :
Menentukan adanya spermin dalam semen.

Hasil :
Hasil positif bila, didapatkan kristal spermin pikrat kekuningan
berbentuk jarum dengan ujung tumpul. Kadang-kadang terdapat garis refraksi
yang terletak longitudinal. Kristal mungkin pula berbentuk ovoid.
3. Penentuan Golongan Darah ABO Pada Cairan Mani
Pada individu yang termasuk golongan sekretor (85% dari populasi), substansi
golongan darah dapat dideteksi dalam cairan tubuhnya seperti air liur, sekret vagina,
cairan mani, dan lain-lain. Substansi golongan darah dalam cairan mani jauh lebih
banyak dari pada air liur (2 100 kali). Hanya golongan sekretor saja yang golongan
darahnya dapat ditentukan dalam semen yaitu dilakukan dengan cara absorpsi
inhibisi.
Table. Gambaran substansi golongan darah dalam bahan pemeriksaan yang berasal
dari forniks posterior vagina.
Golongan Darah Wanita
O

AB

Substans
i
sendiri
dalam

A+H

B+H

H*

H*

H*

A+H

A+B

sekret
vagina
Substansi
asing

berasal

dari

A+B

semen
Hasil :
Adanya substansi asing menunjukkan di dalam vagina wanita tersebut
terdapat cairan mani.
4. Pemeriksaan Bercak Mani Pada Pakaian

a. Secara visual
Bercak mani berbatas tegas dan warnanya lebih gelap daripada sekitarnya.
Bercak yang sudah agak tua berwarna kekuningan.
Pada bahan sutera / nilon, batas sering tidak jelas, tetapi selalu lebih gelap
daripada sekitarnya.
Pada tekstil yang tidak menyerap, bercak segar menunjukkan permukaan
mengkilat dan translusen kemudian mengering. Dalam waktu kira-kira 1 bulan
akan berwarna kuning sampai coklat.
Pada tekstil yang menyerap, bercak segar tidak berwarna atau bertepi kelabu
yang berangsur-angsur menguning sampai coklat dalam waktu 1 bulan.
Dibawah sinar ultraviolet, bercak semen menunjukkan flouresensi putih.
Bercak pada sutera buatan atau nilon mungkin tidak berflouresensi.
Flouresensi terlihat jelas pada bercak mani pada bahan yang terbuat dari
serabut katun. Bahan makanan, urin, sekret vagina, dan serbuk deterjen yang
tersisa pada pakaian sering berflouresensi juga.
b. Secara taktil (perabaan)
Bercak mani teraba kaku seperti kanji. Pada tekstil yang tidak menyerap,
bila tidak teraba kaku, masih dapat dikenali dari permukaan bercak yang teraba
kasar.
c. Skrining awal (dengan Reagen fosfatase asam)
Cara pemeriksaan :
Sehelai kertas saring yang telah dibasahi akuades ditempelkan pada bercak
yang dicurigai selama 5 10 menit. Keringkan lalu semprotkan / teteskan dengan
reagen. Bila terlihat bercak ungu, kertas saring diletakkan kembali pada pakaian
sesuai dengan letaknya semula untuk mengetahui letak bercak pada kain.
d. Uji pewarnaan Baecchi
Reagen dapat dibuat dari :
Asam fukhsin 1 % 1 ml
Biru metilen 1 % 1 ml
Asam klorida 1 % 40 ml
Cara Pemeriksaan :

Gunting bercak yang dicurigai sebesar 5 mm x 5 mm pada bagian pusat


bercak. Bahan dipulas dengan reagen Baecchi selama 2 5 menit, dicuci dalam
HCL 1 % dan dilakukan dehidrasi berturut-turut dalam alkohol 70 %, 80 % dan 95
100 % (absolut). Lalu dijernihkan dalam xylol (2x)dan keringkan di antara
kertas saring.
Ambillah 1 2 helai benang dengan jarum.Letakkan pada gelas objek dan
uraikan sampai serabut-serabut saling terpisah. Tutup dengan kaca penutup dan
balsem Kanada. Periksa dengan mikroskop pembesaran 400 x.
Hasil :
Serabut pakaian tidak berwarna, spermatozoa dengan kepala berwarna
merah dan ekor berwarna merah muda terlihat banyak menempel pada serabut
benang.
Pemeriksaan Pria Tersangka (2)
Untuk membuktikan bahwa seorang pria baru saja melakukan persetubuhan
dengan seseorang wanita.
Cara lugol
Kaca objek ditempelkan dan ditekan pada glans penis, terutama pada
bagian kolum, korona serta frenulum, kemudian letakkan dengan spesimen
menghadap kebawah diatas tempat yang berisi larutan ligol dengan tujuan agar
uap yodium akan mewarnai sediaan tersebut. Hasil akan menunjukkan sel-sel
epitel vagina dengan sitoplasma berwarna coklat karena mengandung banyak
glikogen.
Untuk memastikan bahwa sel epitel berasal dari seorang wanita, perlu
ditentukan adanya kromatin seks (barr bodies) pada inti. Dengan pembesaran
besar, perhatikan inti sel epitel yang ditemukan dan cari barr bodies. Ciricirinya adalah menempel erat pada permukaan membran inti dengan diameter
kira-kira 1 yang berbatas jelas dengan tepi tajam dan terletak pada satu
dataran fokus dengan inti.
Kelemahan pemeriksaan ini adalah bila persetubuhan tersebut telah
berlangsung lama atau telah dilakukan pencucian pada alat kelamin pria, maka
pemeriksaan ini tidak akan berguna lagi.

Pada dasarnya pemeriksaan laboratorium forensik pada korban wanita


dewasa dan anak-anak adalah sama, yang membedakan adalah pendekatan
terhadap korban
Pengumpulan barang bukti harus dilakukan jika hubungan seksual
terjadi dalam 72 jam sebelum pemeriksaan fisik.
2.b. Pemeriksaan Laboratorium Forensik Cairan Lainnya
Air Liur (2), (9)
Air liur merupakan cairan yang dihasilkan oleh kelenjar liur. Air liur (saliva)
terdiri dari air, enzim alfa amilase (ptialin), protein, lipid, ion-ion anorganik seperti
tiosianat, klorida dan lain lain.
Dalam bidang kedokteran forensik, pemeriksaan air liur penting untuk kasuskasus dengan jejas gigitan untuk menentukan golongan darah pengigitnya. Golongan
darah penggigit yang termasuk dalam golongan sekretor dapat ditentukan dengan cara
absorpsi inhibisi.
Reagen yang digunakan yaitu anti A dan anti B dapat diperoleh dari
laboratorium transfusi darah PMI, demikian pula dengan anti H. Anti H dapat dibuat
dari biji-biji Ulex europaeus yang digerus dalam mortir. Tiap 1 g biji-bijian
ditambahkan 10 ml salin. Kemudian campuran tadi dikocok dengan mesin pengocok
selam 1 jam dan dipusing selama 5 menit dengan kecepatan 3000 RPM. Cairan
supernatan disaring dan dapat segera dipergunakan.
Untuk pemeriksaan perlu dilakukan kontrol dengan air liur yang telah
diketahui golongan sekretor atau non sekretor.
Cara absorpsi inhibisi :
Basahkan bercak liur dengan 0,5 ml salin, kemudian peras dan tempatkan air
liur atau ekstrak air liur dalam salin tadi ke dalam tabung reaksi, lalu panaskan dalam
air mendidih selama 10 menit. Pusing dan ambil supernatant, bila mau dimpan maka
simpan pada suhu 20 C.
Dalam tabung reaksi 1 vol air liur ditambahkan 1 vol antiserum. Campuran
tersebut didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang untuk proses absopsi.

Selama menunggu, tentukan titer anti A, anti B dan anti H yang digunakan.
Setelah 30 menit berlalu, pada campuran tersebut ditentukan titer anti A, anti B dan
anti H dengan cara yang sama.
SDM yang digunakan adalah suspensi 4 % yang berumur kurang dari 24 jam.
Bandingkan titer antisera yang digunakan dengan titer campuran antiserum + air liur.
Hasil positif bila titer berkurang lebih dari 2 kali.
3.

Pemeriksaan Laboratorium Forensik Rambut (2), (6), (7), (8)


Rambut manusia berbeda dengan rambut hewan pada sifat-sifat lapisan sisik

(kutikula), gambaran korteks dan medula rambut.


Kutikula merupakan lapisan paling luar dari rambut, di bawahnya terletak
korteks yang terdiri dari gabungan serabut-serabut dengan pigmen. Di tempat yang
paling dalam/ tengah, terdapat medula yang mengandung pigmen dalam jumlah
terbanyak.
Rambut manusia memiliki diameter sekitar 50-150 mikron dengan bentuk
kutikula yang pipih, sedangkan rambut hewan memiliki diameter kurang dari 25
mikron atau lebih dari 300 mikron dengan kutikula yang kasar atau menonjol.
Pigmen pada rambut manusia sedikit dan terpisah-pisah sedangkan pada
hewan padat dan tidak terpisah. Perbandingan diameter rambut hewan dengan
diameter rambut manusia, indeks medula rambut manusia adalah 1:3, sedangkan
indeks medula rambut hewan adalah 1:2 atau lebih besar. Pemeriksaan indeks
medula merupakan pemeriksaan terpenting untuk membedakan rambut manusia dari
rambut hewan.
Berdasarkan asal tumbuhnya, rambut manusia dibedakan atas rambut kepala;
alis, bulu mata dan bulu hidung; kumis dan jenggot; rambut badan; rambut ketiak
dan rambut kemaluan. Umumnya tidak terdapat perbedaan yang jelas antara jenisjenis rambut tersebut di atas.
Rambut kepala umumnya kasar, lemas, lurus/ ikal/ keriting dan panjang
dengan penampang melintang yang berbentuk bulat (pada rambut yang lurus), oval
atau elips (pada rambut ikal/ keriting). Alis, bulu mata dan bulu hidung umumnya
relatif kasar, kadang-kadang kaku dan pendek. Rambut kemaluan dan rambut ketiak
lebih kasar sedangkan rambut badan halus dan pendek.

Pemeriksaan mikroskopik rambut utuh akan memperlihatkan akar, bagian


tengah dan ujung yang lengkap. Pada rambut yang tercabut, rambut akan terlihat
utuh disertai dengan jaringan kulit. Sebaliknya rambut yang lepas sendiri
mempunyai akar yang mengerut tanpa jaringan kulit. Rambut yang terpotong benda
tajam, dengan mikroskop terlihat terpotong rata, sedangkan akibat benda tumpul
akan terlihat terputus tidak rata.
Panjang rambut kepala kadang-kadang dapat memberi petunjuk jenis
kelamin. Tetapi untuk menentukan jenis kelamin yang pasti, harus dilakukan
pemeriksaan terhadap sel-sel sarung akar rambut dengan larutan orcein. Pada
rambut wanita dapat ditemukan adanya kromatin seks pada inti sel-sel tersebut.
Perkiraan umur berdasarkan pemeriksaan keadaan pigmen pada rambut
sukar sekali dilakukan. Umumnya dapat dikatakan, bahwa bila usia bertambah maka
rambut akan rontok. Rontoknya rambut pada pria umumnya terjadi pada dekade
kedua atau ketiga, sedangkan pada wanita sering terjadi rontoknya rambut ketiak
dan pertumbuhan rambut pada wajah pada saat menopouse. Rambut ketiak dan
rambut kemaluan akan tumbuh pada usia pubertas.
Rambut, baik rambut kepala ataupun kelamin, merupakan bagian tubuh
manusia yang dapat memberikan banyak informasi bagi kepentingan peradilan,
antara lain tentang :
a. saat korban meninggal dunia
b. sebab kematian
c. jenis kejahatan
d. identitas korban
e. identitas pelaku
f. benda/ senjata yang digunakan
informasi tersebut di atas diperoleh dengan meneliti sifat-sifat gambaran
mikroskopik serta perubahan-perubahan yang terjadi akibat trauma atau racun
tertentu.

Pemeriksaan makroskopik paru.


Paru-paru mungkin masih tersembunyi di belakang kandung jantung
atau telah mengisi rongga dada. Osborn (1953) menemukan pada 75% kasus,

ternyata paru-paru sudah mengisi rongga dada, baik pada bayi yang lahir
hidup maupun lahir mati. Paru-paru berwarna kelabu ungu merata seperti hati,
konsistensi padat, tidak teraba derik udara dan pleura yang longgar (slack
pleura). Berat paru kira-kira 1/70x berat badan.
Uji apung paru.
Uji ini harus dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch
technique), paru-paru tidak disentuh untuk menghindari untuk timbulnya
artefak pada sediaan histopotologi jaringan paru akibat manipulasi berlebihan.
Setelah organ leaher dan dada dikeluarkan dari tubuh, lalu dimasukkan
kedalam air dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Kemudian paru
kiri dan kanan dilepaskan dan dimasukkan kedalam air lagi, dan dilihat apakah
mengapung atau tenggelam. Setelah itu setiap lobus dipisahkan dan di
masukkan ke dalam air dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam. 5
potong kecil dari bagian perifer tiap lobus dimasukkan ke dalam air, dan
diperhatikan apakah mengapung ataukah tenggelam.
Hingga tahap ini, paru bayi yang baru lahir mati masih dapat mengapung oleh
karena kemungkinan adanya gas pembusukan. Bila potongan kecil itu
mengapung, letakkan di antara dua karton dan ditekan (dengan arah tekanan
tegak lurus, jangan bergeser) untuk mengeluarkan gas pembusukan yang
terdapat pada jaringan interstisial paru, lalu masukkan kembali ke dalam air
dan di amati apakah masih mengapung atau tenggelam. Bila masih
mengapung berarti paru tersebut berisi udara residu yang tidak akan keluar.
Kadang-kadang dengan penekanan, dinding alveoli pada bayi yang telah
membusuk akan pecah dan udara residu keluar dan memperlihatkan hasil uji
apung paru negatif.
Uji apung paru harus dilakukan menyeluruh sampai potongan kecil-kecil,
mengingat kemungkinan adanya pernafasan sebagian yang dapat bersifat
buatan (pernafasan buatan) ataupun alamiah, yaitu bayi yang sudah bernafas
walaupun kepala masih dalam vagina.
Hasil negatif belum berarti pasti lahir mati, karena adanya kemungkinan bayi
dilahirkan hidup tapi kemudian berhenti bernafas meskipun jantung masih

berdenyut, sehingga udara dalam alveoli diresopsi. Pada hasil negatif ini,
pemeriksaan histopatologi harus dilakukan untuk memastikan bayi lahir mati
atau hidup. Hasil uji apung paru positif berarti pasti lahir hidup.
Penyebab kematian. Penyebab kematian tersering pada pembunuhan
anak sendiri adalah mati lemas (asfiksia). Cara tersering dilakukan adalah
dengan cara pembekapan, penyumbatan jalan nafas, penjeratan, pencekikan
dan penenggelaman. Kadang-kadang bayi dimasukkan ke dalam lemari, kopor
dan sebagainya. (2)
Lahir hidup dapat diketahui dari perangi paru-paru secara makroskopis
maupun mikroskopis. Secara makroskopis paru-paru anak ayang dilahirkan
hidup akan tampak mengembang dan menutupi kandung jantung, tepintnya
tumpul, warnaya merah ungu dengan gambaran mozaik, lebih berat (1/35 berat
badan, pada yang lahir mati atau belum bernafas berat paru-paru sekitar1/70
berat badan), pada perabaan teraba derik udara atau krepitasi, bila dimasukkan
ke dalam air akan mengapung, bila diiris dan dipijat akan banyak
mengeluarkan darah dan busa. Sedangkan secara mikroskopik akan tamak
jelas adanya pengembangan dari kantung-kantung hawa (alveoli). (7)
Mikroskopik paru-paru.
Setelah paru-paru dikeluarkan dengan teknik tanpa sentuh, dilakukan fiksasi
dengan larutan formalin 10%. Sesudah 12 jam, dibuat irisan-irisan melintang
untuk memungkinkan cairan fiksatif meresap dengan baik ke dalam paru. Setelah
difiksasi selama 48 jam, kemudian dibuat sediaan histopatologi. Biasanya dibuat
pewarnaan HE dan bila paru telah membusuk digunakan pewarnaan Gomori atau
Ladewig.
Tanda khas untuk paru bayi belum pernah bernafas adalah adanya tonjolan
(projection), yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian akan
bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga tampak seperti gada (club-like).
Pada permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi banyak darah.
Tanda khas untuk paru bayi yang belum bernafas yang sudah membusuk,
dengan pewarnaan Gomori atau Ladewig, tampak serabut-serabut retikuler pada
permukaan dinding alveoli berkelok-kelok seperti rambut keriting, sedangkan

pada projection berjalan dibawah kapiler sejajar dengan permukaan projection dan
membentuk gelung-gelung terbuka (open loops). Pada paru bayi baru lahir mati
mungkin juga ditemukan tanda inhalasi cairan amnion yang luas karena asfiksi
intrauterin.
Lahir hidup adalah keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi yang lengkap,
yang setelah pemisahan bernafas atau menunjukkan tanda kehidupan lain, tanpa
mempersoalkan usia gestasi, sudah atau belum tali pusat dipotong dan uri
dilahirkan.
Pada pemeriksaan ditemukan dada sudah mengembang dan diafragma sudah
turun sampai selaiga 4-5, terutama pada bayi yang telah lama hidup.
pemeriksaan paru lainnya adalah : (2)
a. Pemeriksaan diatom :
Alga (ganggang) bersel satu dengan dinding terdiri dari silikat (SiO2)
yang tahan panas dan asam kuat. Diatom ini dapat dijumpai dalam air tawar,
air laut, sungai, air sumur dan udara.
Bila seseorang mati karena tenggelam, maka cairan bersama diatom akan
masuk ke dalam saluran pernapasan atau pencernaan, kemudian diatom akan
masuk ke dalam aliran darah melalui kerusakan dinding kapiler pada waktu
korban masih hidup dan tersebar ke seluruh jaringan.
Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru segar. Bila mayat
telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot
skelet atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa
kurang bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal dari saluran
pencernaan terhadap air minum atau makanan.
b. Pemeriksaan Destruksi (Digesti Asam) Pada Paru
Ambil jaringan paru sebanyak 100 gram, masukkan ke dalam labu
Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai jaringan paru terendam,
diamkan kurang lebih setengah hari agar jaringan hancur. Kemudian
dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam nitrat pekat samapi
terbentuk dan cairan dipusing dalam centrifuge.

Sediment yang terjadi ditambah dengan akuades, pusing kembali dan


hasilnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada
jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau 10-20 per satu
sediaan; atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu.
c. Pemeriksaan Getah Paru
Permukaan paru disiram dengan air bersih, iris bagian perifer, ambil
sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada kaca objek, tutup
dengan kaca penutup dan lihat dengan mikroskop.
Selain diatom dapat pula terlihat ganggang atau tumbuhan jenis lainnya
d. Pemeriksaan Kimia Darah
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar NaCl dalam darah
sehingga dapat diketahui apakah korban meninggal di air tawar atau air asin.
Darah yang diambil adalah darah dari jantung jenazah. Pada peristiwa
tenggelam di air tawar ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung
kanan lebih tinggi dari jantung kiri dan adanya buih serta benda-benda air
pada paru-paru. Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II A. Sedangkan
pada peristiwa tenggelam di air asin terjadi gangguan elektrolit dan ditemukan
adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri lebih tinggi dari
pada jantung kanan dan ditemukan buih serta benda-benda air pada paru-paru.
Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II B (6)
o Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya narkotika
Bahan terpenting yang harus diambil adalah urin (tidak dapat diambil
ginjal), cairan empedu dan jaringan sekitar suntikan.
Isi lambung diambil jika ia menggunakan narkotika per-oral, demikian pula
hapusan mukosa hidung pada cara sniffling. Semprit bekas pakai dan sisa obat
yang ditemukan harus pula dikirim ke laboratorium.
Pada pemakain cara oral, morfin akan cepat dikonjugasi oleh asam
glukoronat dalam sel mukosa usus halus dan hati sehingga bahan sebaiknya
dihidrolisis terlebih dahulu.
Terhadap barang-barang bukti seperti bubuk yang diduga mengandung
morfin, heroin atau narkotika lainnya, dapat dilakukan berbagai pengujian.

Pengujian tersebut hanya dapat dilakukan terhadap benda bukti yang masih berupa
preparat murni atau pada tempat suntikan bila ternyata di tempat tersebut masih
terkumpul narkotika yang belum diserap dan tidak dapat dilakukan terhadap bahan
biologis seperti urin, darah, cairan empedu dan lain-lain.
o Pemeriksaan patologi anatomi, sampel yang diambil diperiksa : jaringan yang
mengalami kelainan dan atau jaringan di sekitar luka. Sampel diawtkan dengan
formaslin 10% kemudaian buat preparat PA untuk selanjutnya diperiksa secara
mikroskopis. Hadil yang didapatka apabila pada sampel akibat trauma ditemukan
sel radang berarti trauma terjadi pasa saat kroabn masih hidup, tetapi apabila
tidak ditemukan sel radang maka trauma terjadi setelah korban meningga.

Pemeriksaan lainnya selain yang dijelaskan diatas dapat dilihat pada gambar
dibawah :

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.

KESIMPULAN
Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian
merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ internal tubuh
terhenti. Dikenal beberapa istilah yaitu mati somatis, mati seluler mati serebral dan
mati batang otak. Seseorang dikatakan tida dapat hidup kembali jika telah mengalami
mati batang otak. Dalam hal ini, ilmu kedokteran forensik dapat berperan dalam
menentukan diagnostik pasti kematian, selain itu juga dapat menentukan sebab
kematian, cara kematian, proses kematian dan waktu terjadinya kematian.
Waktu terjadinya kematian dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa

pemeriksaan, dikarenakan adanya perubahan perubahan yang terjadi pada jenazah


yang dapat di identifikasi melaui pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan luar dan dalam dapat diperiksa melalui proses
autopsi sementara beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung diagnosis
kematian adalah pemeriksaan mikroskopis seperti pemeriksaan laboratorium
sederhana hingga pemeriksaan canggih dengan menggunakan DNA, selain itu juga
dapat dilakukan pemeriksaan lainnya seperti entomologi guna menentukan waktu
kematian.
3.2.
SARAN
Dalam membantu penyidik dalam

memperkirakan saat kematian korban,

sebaiknya dokter lebih teliti dalam memeriksa tanda-tanda pada jenazah serta
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tanda-tanda
penentuan saat kematian korban sehingga range perkiraan saat kematian korban lebih
tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munim Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Binarupa
Aksara. Hal. 54-77

Saukko, P; Knight, B . 2004. The Pathophysiology of Death in Knights Forensic Pathology.


3th edition. Hodder Arnold. Page 52-90
Shepherd, R. 2003. Changes After Death in Simpsons Forensic Medicine. 12th edition.
Arnold. Page 37-48
Vij,K . 2008. Death and Its Medicolegal Aspects (Forensic Thanatology) in Textbook of
Forensic Medicine and Toxicology Principles and Practice. 4th editon. Elsivier. Page 101-133
Vass AA. Decomposition. Microbiology Today 2001 Nov (28):190-2. Available from
: http://www.socgenmicrobiol.org.uk/pubs/micro_today/pdf/110108.pdf.
1.

Erzinclioglu, Z. 2003. Role of and Technique in Forensic Entomology. In : In : Freedy


Richard C.

Handbook of Forensic Pathology second edition. Illionis : College of American

Pathology. p. 747 754.


2. James, Stuart H dan Hordby, Jon J. 2005. Forensic Entomology . In: Sorg,
Marcella K. Forensic Science An Introduction to Scientific and Investigative
Technique second edition. US : CRC Prers. p. 135 164.
3.

Lord, Wayne D, Goff


M.Lee. 2003. Forensic Entomology :
Application
of
Entomological Method to the Investigation of Death. In : Freedy Richard C.
Handbook of Forensic Pathology second edition. Illionis :College of American Pathology. p.
423 432.

Anda mungkin juga menyukai