Anda di halaman 1dari 25

LI. 1.

Mampu Memahami dan Menjelaskan Perubahan-perubahan pada Mayat


Kematian manusia berdasarkan dua dimensi yaitu kematian seluler (seluler death) akibat
ketiadaan oksigen dan kematian manusia sebagai individu (somatic death). Kematian individu
dapat didefinisikan secara sederhana sebagai terhentinya kehidupan secara permanen (permanent
cessation of life) atau dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai
organ vital yaitu paru-paru, jantung dan otak sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai oleh
berhentinya konsumsi oksigen. Sebagai akibat berhentinya konsumsi oksigen ke seluruh jaringan
tubuh maka sel-sel sebagai elemen terkecil pembentuk manusia akan mengalami kematian,
dimulai dari sel- sel paling rendah daya tahannya terhadap ketiadaan oksigen.

KLASIFIKASI
Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi
(jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada masa dini
kematian inilah, pemulaian resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem organ
vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberi terapi optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan
resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan
proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah
kira-kira 1 jam tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru dan hati yang menjadi nekrotik
selama beberapa jam atau hari. Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau
kronik yang berat, denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika tidak
hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut
sehingga tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada kematian
normal seperti ini tidak bertujuan dan tidak berarti.
Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja pompa jantung pada
organisme yang utuh atau hampir utuh.Henti jantung yang terus berlangsung sesudah jantung
pertama kali berhenti mengakibatkan kematian dalam beberapa menit. Dengan perkataan lain,
hasil akhir henti jantung yang berlangsung lebih lama adalah mati mendadak (sudden death).
Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila telah ada asistol listrik
membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30 menit, walaupun telah
dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal.
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum,
terutama neokorteks.Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan
nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah dan batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan kerusakan otak
berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai
elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa refleks yang utuh.Ini harus dibedakan dari mati
serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua refleks
saraf otak dan upaya nafas spontan.Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.

Menurut pernyataan IDI 1988,seseorang dinyatakan mati bila


a) fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau
b) telah terbukti terjadi MBO.Secara klasis dokter menyatakan mati berdasarkan butir a
tersebut dan ini dapat dilakukan di mana saja, di dalam atau di luar rumah sakit.Bahwa fungsi
spontan nafas dan jantung telah berhenti secara pasti, dapat diketahui setelah kita mencoba
melakukan resusitasi darurat. Pada resusitasi darurat, di mana kita tidak mungkin menentukan
MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila
1) terdapat tanda-tanda mati jantung atau
2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai resusitasi, pasien
tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks muntah (gag reflex) serta pupil

0
tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik, di bawah pengaruh
barbiturat atau anestesia umum.
Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem
kehidupan diatas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan
kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati
suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik, dan tenggelam.

Kriteria diagnostik penentuan kematian:


1. Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando atau perintah, dan
sebagainya)
2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada dibawah
pengaruh obat-obatan curare.
3. Tidak ada reflek pupil
4. Tidak ada reflek kornea
5. Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan
6. Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotracheal didorong ke dalam
7. Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan ke dalam
lubang telinga
8. Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama walaupun
pCO2 sudah melampaui wilayah ambang rangsangan napas (50 torr)
Tes klinik ini baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam setelah onset koma serta apneu dan harus
diulangi lagi paling cepat sesudah 2 jam dari tes yang pertama. Sedangkan tes konfirmasi dengan
EEG dan angiografi hanya dilakukan jika tes klinik memberikan hasil yang meragukan atau jika
ada kekhawatiran akan adanya tuntutan di kemudian hari.

Tanda Kematian dibagi menjadi 2:


A. Tanda kematian tidak pasti
1. Berhentinya sistem pernafasan dan sistem sirkulasi.
Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru
berhenti selama 10 menit, namun dalam prakteknya seringkali terjadi kesalahan
diagnosis sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dengan cara mengamati selama waktu
tertentu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mendengarkannya melalui stetoscope pada
daerah precordial dan larynx dimana denyut jantung dan suara nafas dapat dengan mudah
terdengar.
Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut setelah nafas terhenti, selain
disebabkan ketahanan hidup sel tanpa oksigen yang berbeda-beda dapat juga disebabkan
depresi pusat sirkulasi darah yang tidak adekwat, denyut nadi yang menghilang merupakan
indikasi bahwa pada otak terjadi hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging
dimana jantung masih berdenyut selama 15 menit walaupun korban sudah diturunkan dari
tiang gantungan.
2. Kulit yang pucat
Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya sirkulasi darah
sehingga darah yang berada di kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke
bagian yang lebih rendah sehingga warna kulit muka tampak menjadi lebih pucat. Akan
tetapi ini bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya. Kadang-kadang kematian
dihubungkan dengan spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan. Pada mayat yang
mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya karbon
monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat
3. Relaksasi otot

1
Pada saat kematian sampai beberapa saat sesudah kematian , otot-otot polos akan
mengalami relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium ini
disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang turun kebawah yang menyebabkan mulut
terbuka, dada menjadi kolap dan bila tidak ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh
kebawah. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga orang
mati tampak lebih muda dari umur sebenarnya, sedangkan relaksasi pada otot polos
akan mengakibatkan iris dan sfincter ani akan mengalami dilatasi. Oleh karena itu bila
menemukan anus yang mengalami dilatasi harus hati-hati menyimpulkan sebagai akibat
hubungan seksual perani/anus corong.
4. Perubahan pada mata
Perubahan pada mata meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang
menyebabkan kornea menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil yang negatif.
Knight mengatakan hilangnya reflek cahaya pada kornea ini disebabkan karena
kegagalan kelenjar lakrimal untuk membasahi bola mata. Kekeruhan pada kornea akan
timbul beberapa jam setelah kematian tergantung dari posisi kelopak mata. Akan tetapi
Marshall mengatakan kornea akan tetap menjadi keruh tanpa dipengaruhi apakah kelopak
mata terbuka atau tertutup. Walaupun sering ditemui kelopak mata tertutup secara tidak
komplit, ini terjadi oleh karena kekakuan otot-otot kelopak mata. Kekeruhan pada lapisan
dalam kornea ini tidak dapat dihilangkan atau diubah kembali walaupun digunakan air
untuk membasahinya.
Bila kelopak mata tetap terbuka sclera yang ada disekitar kornea akan mengalami
kekeringan dan berubah menjadi kuning dalam beberapa jam yang kemudian berubah
menjadi coklat kehitaman. Area yang berubah warna ini berbentuk trianguler dengan
basis pada perifer kornea dan puncaknya di epikantus. Area ini disebut’taches noires de la
sclerotiques’ yang pertama kali digambarkan oleh Somner pada tahun 1833.
Knight mengatakan iris masih bereaksi dengan stimulasi kimia sampai 4 jam sesudah
kematian somatik, tetapi reflek cahaya segera hilang bersamaan dengan iskemik pada
batang otak. Pupil biasanya pada posisi mid midriasis yang disebabkan oleh karena
relaksasi dari muskulus pupilaris walaupun ada sebagian ahli yang menganggap ini sebagai
proses rigor mortis. Diameter pupil sering dihubungkan dengan sebab kematian seperti lesi
di otak atau intoksikasi obat seperti keracunan morphin dimana sewaktu hidup pupil
menunjukan kontraksi. Akan tetapi Price (1963) memeriksa mata dari 1000 mayat dan
menyimpulkan bahwa keadaan pupil tidak berhubungan dengan sebab kematian, dan
kematian menyebabkan pupil menjadi dilatasi atau cadaveric position.
Setelah kematian tekanan intra okuler akan turun, tekanan intra okuler yang turun ini
mudah menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil kehilangan bentuk sirkuler
setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak sama,pupil dapat berkontraksi dengan
diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil
mempunyai sifat tidak tergantung dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan
sampai 3 mm.
Nicati (1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata posmortem
dimana tekanan normal pada bola mata pada waktu hidup adalah 14g -25g akan tetapi
begitu sirkulasi terhenti maka penurunan tekanan bola mata menjadi sangat rendah (tidak
sampai mencapai 12g) dan dalam waktu 30 menit akan berkurang menjadi 3g yang
kemudian menjadi nol setelah 2 jam kematian. Penurunan tekanan bola mata ini pernah
dicoba untuk menentukan perkiraan saat kematian.
Kervokian (1961) berusaha menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada
retina 15 jam pertama setelah kematian dimana kornea dapat dipertahankan dalam keadaan
baik dengan menggunakan air atau larutan garam fisiologis yang kemudian dilakukan
pemeriksaan dengan optalmoskop. Pemeriksaan ini tidaklah mudah, ternyata pemeriksaan

2
retina pada mayat jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan orang hidup. Dan perubahan
warna yang terjadi pada retina dicoba dihubungkan dengan perkiraan saat kematian.
Dengan berhentinya aliran darah maka pembuluh darah retina akan mengalami perubahan
yang disebut segmentasi atau ‘trucking’ dan ini terjadi dalam 15 menit pertama setelah
kematian. Pada pemeriksaan dalam 2 jam pertama setelah kematian, dapat dilihat retina
tampak pucat dan daerah sekitar fundus tampak kuning, demikian pula daerah sekitar
makula. Sekitar 6 jam batas fundus menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi
pada pembuluh darah, dengan latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan.
Gambaran ini mencapai seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12 jam diskus
hanya dapat dilihat sebagai titik yang terlokalisasi dengan sisa-sisa pembuluh darah
yang bersegmentasi hingga pada akhirnya diskus dan pembuluh darah retina
menghilang yang ada hanya makula yang berwarna coklat gelap. Beberapa pengamat
menggambarkan perubahan dini posmortem yang terjadi pada retina mempunyai arti yang
kecil untuk dihubungkan dengan perkiraan saat mati. Sedangkan Tomlin ( 1967)
beranggapan bahwa segmentasi pada retina lebih berindikasi pada kematian serebral
daripada penghentian sirkulasi.
Wroblewski dan Ellis (1970) mempelajari perubahan mata pada 300 mayat dimana
tidak hanya perubahan yang terjadi pada retina tetapi juga perubahan yang terjadi pada
kornea juga dicatat. Mereka telah memeriksa 204 fundus dari subjek dan 115 diantaranya
terdapat segmentasi atau ‘trucking’ pada satu atau kedua mata setelah satu jam posmortem
dan negatif pada 89 lainnya. Bagian yang paling sulit pada pemeriksaan ini adalah
kekeruhan kornea yang terjadi dalam 75% pasien dalam 2 jam setelah kematian. Akhirnya
mereka menyimpulkan bahwa segmentasi merupakan perubahan posmortem yang alami
daripada menghubungkannya dengan perkiraan saat kematian.
B. Tanda Kematian Pasti
1. Lebam Mayat
Lebam Mayat disebut juga Post Mortem Lividity, Post Mortem Suggilation,
Hypostasis, Livor Mortis, Stainning. Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan
sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah
mencapai capillary bed dimana pembuluh–pembuluh darah kecil afferent dan efferent saling
berhubungan. Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh
vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ke
tempat–tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa gravitasi lebih
banyak mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnya juga mengalir ke bagian
terendah yang memberikan kontribusi pada pembentukan gelembung–gelembung di kulit
pada awal proses pembusukan.
Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai perubahan
warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpulan darah terjadi secara pasif maka
tempat–tempat di mana mendapat tekanan lokal akan menyebabkan tertekannya pembuluh
darah di daerah tersebut sehingga meniadakan terjadinya lebam mayat yang mengakibatkan
kulit di daerah tersebut berwarna lebih pucat.
Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian,
Dimana setelah terbentuk hypostasis yang menetap dalam waktu 10–12 jam ternyata akan
memberikan lebam mayat pada sisi yang berlawanan setelah dilakukan reposisi pada tubuh
dari pronasi ke supinasi (interpostmorchange).
Lebam mayat ini biasanya berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya
bercak-bercak yang berwarna keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah
kematian dimana bercak-bercak ini intensitasnya menjadi meningkat dan kemudian
bergabung menjadi satu dalam beberapa jam kemudian, dimana fenomena ini menjadi

3
komplet dalam waktu kurang lebih 8–12 jam, pada waktu ini dapat dikatakan lebam
mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan oleh karena
terjadinya perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah
akibat tertimbunnya sel–sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses hemolisa sel-
sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan demikian penekanan
pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8-12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya
lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat memberi indikasi bahwa suatu lebam belum
terfiksasi secara sempurna. Setelah empat jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan
dan butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah
akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga
menyebabkan warna lebam mayat akan menetap serta tidak hilang jika ditekan dengan
ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi dilakukan setelah 12
jam dari kematiannya maka lebam mayat baru tidak akan timbul pada posisi terendah,
karena darah sudah mengalami koagulasi.
Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relatif. Perubahan
lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian, bila telah terbentuk
lebam primer kemudian dilakukan perubahan posisi maka akan terjadi lebam sekunder pada
posisi yang berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang ganda ini adalah penting untuk
menunjukan telah terjadi manipulasi posisi pada tubuh. Akan tetapi waktu yang pasti
untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah tidak pasti, Polson mengatakan “ untuk
menunjukan tubuh sudah diubah dalam waktu 8 sampai 12 jam”, sedangkan Camps
memberi patokan kurang lebih 10 jam.
Akan tetapi pada kematian wajarpun darah dapat menjadi permanent incoagulable
oleh karena adanya aktifitas fibrinolisin yang dilepas kedalam aliran darah selama
proses kematian. Sumber dari fibrinolisin ini tidak diketahui tetapi kemungkinan
berasal dari endothelium pembuluh darah, dan permukaan serosa dari pleura. Aktifitas
fibrinolisin ini nyata sekali pada kapiler-kapiler yang berisi darah. Darah selalu
ditemukan cair dalam venule dan kapiler, dan ini yang bertanggung jawab terhadap
lebam mayat.
Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan pengendapan
darah pada pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah
kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie (tardieu`s spot) dan purpura yang kadang-
kadang berwarna gelap yang mempunyai diameter dari satu sampai beberapa milimeter,
biasanya memerlukan waktu 18 sampai 24 jam untuk terbentuknya dan sering diartikan
bahwa pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini sering terjadi pada asphyxia atau
kematian yang terjadinya lambat.

4
Tabel 1. Perbedaan lebam mayat dan memar

2. Kaku Mayat (Rigor Mortis)


Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-
kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah periode
pelemasan/ relaksasi primer. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kimiawi pada
protein yang terdapat pada serabut-serabut otot. Menurut Szen-Gyorgyi di dalam
pembentukan kaku mayat peranan ATP adalah sangat penting. Seperti diketahui bahwa
serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin dan myosin, dimana kedua jenis
protein ini bersama dengan ATP membentuk suatu masa yang lentur dan dapat
berkontraksi (gambar I). Bila kadar ATP menurun, maka akan terjadi pada perubahan
pada akto-miosin, diamana sifat lentur dan kemampuan untuk berkontraksi menghilang
sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi kaku dan tidak dapat berkontraksi.
Oleh karena kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot itu berbeda-beda,
sehingga sewaktu terjadinya pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada
saat terjadinya kematian somatic, dimana energi tersebut digunakan untuk resintesa ATP,
akan menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Keadaan tersebut dapat
menerangkan mengapa kaku mayat akan mulai nampak pada jaringan otot yang jumlah
serabut ototnya sedikit. Atas dasar itulah mengapa pada kematian karena infeksi,
konvulsi kelelahan fisik serta keadaan suhu keliling yang tinggi akan dapat mempercepat
terbentuknya kaku mayat, demikian pula pada mereka yang keadaan gizinya jelek akan
lebih cepat terjadi kaku mayat bila dibandingkan dengan korban yang mempunyai tubuh
yang baik.
Secara biokimiawi saat relaksasi primer, pH protoplasma sel otot masih alkalis.
Perubahan alkalis menjadi asam terjadi 2-6 jam kemudian karena adanya perubahan
biokimia, yaitu glikogen menjadi asam sarkolaktik / fosfor. Perubahan protoplasma
menjadi asam menyebabkan otot menjadi kaku (rigor). Relaksasi sekunder terjadi setelah
ada perubahan biokimia, yaitu asam berubah menjadi alkalis kembali saat terjadi
pembusukan.

5
Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot (gambar II), baik otot lurik maupun otot
polos. Dan bila terjadi pada otot rangka, maka akan didapatkan suatu kekakuan yang
mirip atau menyerupai papan sehingga dibutuhkan cukup tenaga untuk dapat melawan
kekakuan tersebut , bila hal ini terjadi otot dapat putus sehingga daerah tersebut tidak
mungkin lagi terjadi kaku mayat.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya
setelah 10-12 jam pos mortem, keadaan ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24
jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari
otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.
Adanya kejanggalan dari postur pada mayat dimana kaku mayat telah terbentuk
dengan posisi sewaktu mayat ditemukan, dapat menjadi petunjuk bahwa pada tubuh
korban telah dipindahkan setelah mati. Ini mungkin dimaksudkan untuk menutupi sebab
kematian atau cara kematian yang sebenarnya.

Gambar 1. Kaku mayat pada lebngan


Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat :
a) Kondisi otot
 Persediaan glikogen
Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi
tubuh sehat sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan lama, juga pada orang
yang sebelum mati banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan lambat.
 Gizi
Pada mayat dengan kondisi gizi jelek saat mati, kaku mayat akan cepat terjadi.
 Kegiatan Otot
Pada orang yang melakukan kegiatan otot sebelum meninggal maka kaku mayat
akan terjadi lebih cepat.
b) Usia
 Pada orang tua dan anak-anak lebih cepat dan tidak berlangsung lama.
 Pada bayi premature tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada bayi cukup
bulan.
c) Keadaan Lingkungan
 Keadaan kering lebih lambat dari pada panas dan lembab
 Pada mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lama.
 Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi pada suhu
rendah kaku mayat lebih lambat dan lama.
 Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10oC, kekakuan yang terjadi
pembekuan atau cold stiffening.
d) Cara Kematian
 Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kuku mayat lebih cepat terjadi dan
berlangsung tidak lama.
 Pada mati mendadak, kaku mayat terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama.

6
Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat)
 Kurang dari 3 – 4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis
 Lebih dari 3 – 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis
 Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian
 Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam
 Rigor mortis menghilang 24 – 36 jam post mortem

Terdapat kekakuan pada pada mayat yang menyerupai kaku mayat :


- Cadaveric spasme (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada
saat kematian dan menetap. Cadaveric spasme sesungguhnya merupakan kaku mayat
yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer.
Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat
pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum
meninggal.
Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya.
Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam,
tangan yang menggenggam pada kasus bunuh diri.
- Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot
berwarna merah muda, kaku, tepi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada
korban mati terbakar. Pada saat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga
menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic
attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup,
intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
- Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin (dibawah 3,5oC atau
40oF), sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan
jaringan lemak subkutan dan otot, bila cairan sendi yang membeku menyebabkan sendi
tidak dapat digerakan. Bila sendi di bengkokkan secara paksa maka akan terdengar
suara es pecah. Dan mayat yang kaku ini akan menjadi lemas kembali bila diletakkan
ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan terjadi dalam waktu yang sangat
singkat.
3. Pembusukan Atau Decompositio
Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection. Pembusukan adalah
proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis dan
aktivitas mikroorganisme, terutama Clostridium welchii.
Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril
melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-
organ yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada
organ-organ yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pankreas akan mengalami
autolisis lebih cepat dari pada jantung. Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh
mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam
kandungan proses autolisis ini tetap terjadi. Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari
pengaruh enzim yang dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena adalah nukleoprotein
yang terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian dinding sel akan
mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak dan mencair.
Pada mayat yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh pengaruh suhu yang
rendah maka proses autolisis ini akan dihambat demikian juga pada suhu tinggi enzim-
enzim yang terdapat pada sel akan mengalami kerusakan sehingga proses ini akan

7
terhambat.
Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan hilang,
bakteri yang secara normal dihambat oleh jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan
tubuh melalui pembuluh darah, dimana darah merupakan media yang terbaik bagi bakteri
untuk berkembang biak. Bakteri ini menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan darah
yang terjadi sebelum dan sesudah mati, pencairan trombus atau emboli, perusakan
jaringan-jaringan dan pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang sering menyebabkan
destruktif ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama adalah Cl. welchii.
Bakteri ini berkembang biak dengan cepat sekali menuju ke jaringan ikat dinding perut yang
menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini terjadi oleh karena reaksi antara H2S
(gas pembusukan yang terjadi dalam usus besar) dengan Hb menjadi Sulf-Meth-Hb.
Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati berupa
warna kehijauan pada dinding abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka
kanan dimana isinya lebih cair, mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya yang lebih
superfisial. Perubahan warna ini secara bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen
sampai ke dada dan bau busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat
pada permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar merupakan organ yang langsung
kontak dengan kolon transversum. Pada saat Cl.welchii mulai tumbuh pada satu organ
parenchim, maka sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami disintegrasi dan
nukleusnya akan dirusak sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi
lepas sehingga jaringan kehilangan strukturnya.
Bakteri ini kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang biak
didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang kemudian mewarnai dinding pembuluh
darah dan jaringan sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang
mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah superfisial tanpa
merusak dinding pembuluh darahnya sehingga pembuluh darah beserta cabang-cabangnya
tampak lebih jelas seperti pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent mark) yang
sering disebut marbling. Bakteri pembusukan ini banyak terdapat dalam intestinal dan
paru, maka gambaran marbling ini jelas terlihat pada bahu,dada bagian atas, abdomen
bagian bawah dan paha.
Secara mikroskopis bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan
dimana bakteri tersebut banyak memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas
yang tadinya kecil dapat cepat membesar menyerupai honey combed appearance. Lesi ini
dapat dilihat pertama kali pada hati . Kemudian permukaan lapisan atas epidermis dapat
dengan mudah dilepaskan dengan jaringan yang ada dibawahnya dan ini disebut ‘skin
slippage’. Skin slippage ini menyebabkan identifikasi melalui sidik jari sulit dilakukan.
Pembentukan gas yang terjadi antara epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-
bula yang bening, fragil, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang berbau busuk.
Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi secara penuh di dalam bula. Bula dapat menjadi
sedemikian besarnya menyerupai pendulum yang berukuran 5 – 7,5 cm dan bila pecah
meninggalkan daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini disebabkan
oleh karena pecahnya sel-sel lemak subkutan sehingga cairan lemak keluar ke lapisan
dermis oleh karena tekanan gas pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku,
rambut kepala, aksila dan pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya
desintegrasi pada akar rambut.
Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung udara
mengisi hampir seluruh jaringan subkutan. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding
tubuh akan menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan pembengkakan
tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam sikap pugilistic attitude.
Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat

8
menggembung, bibir menonjol seperti “frog-like-fashion”, Kedua bola mata keluar, lidah
terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya.
Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang
tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati.
Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas pembusukan yang
terjadi didalam cavum abdominal menyebabkan pengeluaran udara dan cairan
pembusukan yang berasal dari trakea dan bronkus terdorong keluar, bersama-sama
dengan cairan darah yang keluar melalui mulut dan hidung. Cairan pembusukan dapat
ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan dengan hematotorak dan biasanya
cairan pembusukan ini tidak lebih dari 200 cc.
Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal yang
meningkat. Pada wanita uterus dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir dari uterus
yang pregnan. Pada anak-anak adanya gas pembusukan dalam tengkorak dan otak
menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi mudah terlepas.
Organ-organ dalam mempunyai kecepatan pembusukan yang berbeda-beda. Jaringan
intestinal,medula adrenal dan pancreas akan mengalami autolisis dalam beberapa jam
setelah kematian. Organ-organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa merupakan
organ yang cepat mengalami pembusukan. Perubahan warna pada dinding lambung
terutama di fundus dapat dilihat dalam 24 jam pertama setelah kematian. Difusi cairan
dari kandung empedu kejaringan sekitarnya menyebabkan perubahan warna pada jaringan
sekitarnya menjadi coklat kehijauan. Pada hati dapat dilihat gambaran honey combs
appearance, limpa menjadi sangat lunak dan mudah robek, dan otak menjadi lunak.
Pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah pembentukan granula- granula milliary
atau ‘milliary plaques’ yang berukuran kecil dengan diameter 1-3 mm yang terdapat pada
permukaan serosa yang terletak pada endotelial dari tubuh seperti pleura, peritoneum,
pericardium dan endocardium.

Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu:


1. Early : Organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medula
adrenal, pankreas, otak, lien, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah
2. Moderate : Organ dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal,
diafragma, lambung, otot polos dan otot lurik.
3. Late : Uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap
pembusukan karena memiliki struktur yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu
jaringan fibrousa.

Pada orang yang mengalami obesitas, lemak-lemak tubuh terutama perirenal, omentum
dan mesenterium dapat mencair menjadi cairan kuning yang transluscent yang mengisi
rongga badan diantara organ yang dapat menyebabkan autopsi lebih sulit dilakukan.
Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang peranan penting dalam proses
pembusukan sesudah mati. Beberapa jam setelah kematian lalat akan hinggap di badan dan
meletakkan telur-telurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan telinga. Biasanya
jarang pada daerah genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat lalat lebih sering meletakkan
telur-telurnya pada luka tersebut, sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah
genitoanal ini maka dapat dicurigai adanya kekerasan seksual sebelum kematian. Telur-
telur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva ini mengeluarkan
enzim proteolitik yang dapat mempercepat penghancuran jaringan pada tubuh. Larva lalat
dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian. Berguna untuk
memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian
dapat kita perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab kematian

9
karena racun dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva lalat.
Insekta tidak hanya penting dalam proses pembusukan tetapi meraka juga memberi
informasi penting yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat dipergunakan
untuk memperkirakan saat kematian, memberi petunjuk bahwa tubuh mayat telah
dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, memberi tanda pada badan bagian mana
yang mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam pemeriksaan toksikologi bila
jaringan untuk specimen standart juga sudah mengalami pembusukan.
Aktifitas pembusukan sangat optimal pada temperatur berkisar antara 70°- 100°F (21,1-
37,8°C) aktifitas ini dihambat bila suhu berada dibawah 50°F(10°C) atau pada suhu diatas
100°F (lebih dari 37,8°C). Bila mayat diletakkan pada suhu hangat dan lembab maka
proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat. Sebaliknya bila mayat diletakkan pada
suhu dingin maka proses pembusukan akan berlangsung lebih lambat. Pada mayat yang
gemuk proses pembusukan berlangsung lebih cepat dari pada mayat yang kurus.
Pembusukan berlangsung lebih cepat karena kelebihan lemak akan menghambat hilangnya
panas tubuh dan pada mayat yang gemuk memiliki darah yang lebih banyak, yang
merupakan media yang baik untuk perkembangbiakkan organisme pembusukan.
Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat menghambat pertumbuhan
bakteri disamping pada tubuh bayi yang baru lahir memang terdapat sedikit bakteri
sehingga proses pembusukan berlangsung lebih lambat. Proses pembusukan juga dapat
dipercepat dengan adanya septikemia yang terjadi sebelum kematian seperti peritonitis
fekalis, aborsi septik, dan infeksi paru. Disini gas pembusukan dapat terjadi walaupun
kulit masih terasa hangat.

Secara garis besar terdapat 17 tanda pembusukan pada jenazah, yaitu :


1. Wajah membengkak.
2. Bibir membengkak.
3. Mata menonjol.
4. Lidah terjulur.
5. Lubang hidung keluar darah.
6. Lubang mulut keluar darah.
7. Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan partus (gravid).
8. Badan gembung.
9. Bulla atau kulit ari terkelupas.
10. Aborescent pattern / morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan.
11. Pembuluh darah bawah kulit melebar.
12. Dinding perut pecah.
13. Skrotum atau vulva membengkak.
14. Kuku terlepas.
15. Rambut terlepas.
16. Organ dalam membusuk.
17. Larva lalat.
Pembusukan dipengaruhi oleh beberapa faktor interinsik diatas, selain itu juga
dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik antara lain kelembaban udara dan medium di mana
mayat berada. Semakin lembab udara di sekeliling mayat maka pembusukan lebih cepat
berlangsung, sedangkan pembusukan pada medium udara lebih cepat dibandingkan
medium air dan pembusukan pada medium air lebih cepat dibandingkan pada medium
tanah.
Pada keadaan tertentu tanda-tanda pembusukan tersebut tidak dijumpai, namun yang

10
ditemui adalah modifikasi pembusukan. Jenis-jenis modifikasi pembusukan antara lain.
a. Mumifikasi
Mumifikasi dapat terjadi karena proses dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga
terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan. Proses
mumufikasi terjadi bila keadaan disekitar mayat kering, kelembaban rendah, suhunya
tinggi dan tidak ada kontaminasi dengan bakteri. Terjadinya beberapa bulan sesudah
mati dengan tanda-tanda sebagai berikut mayat menjadi kecil, kering, mengkerut atau
melisut, warna coklat kehitaman, kulit melekat erat dengan tulang di bawahnya, tidak
berbau, dan keadaan anatominya masih utuh.
b. Saponifikasi
Saponifikasi dapat terjadi pada mayat yang berada di dalamsuasana hangat, lembab
atau basah. Terjadi karena proses hidrolisis dari lemak menjadi asam lemak.
Selanjutnya asam lemak yang tak jenuh akan mengalami dehidrogenisasi menjadi
asam lemak jenuh dan kemudian bereaksi dengan alkali menjadi sabun yang tak larut.
Terbentuk pertama kali pada lemak superfisial bentuk bercak, di pipi, di payudara,
bokong bagian tubuh atau ekstremitas. Terjadinya saponikasi memerlukan waktu
beberapa bulan dan dapat terjadi pada setiap jaringan tubuh yang berlemak dengan
tanda-tanda berwarna keputihan dan berbau tengik seperti minyak kelapa.
4. Penurunan suhu tubuh mayat/algor mortis
Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energi. Kalor dan
energi ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber energi seperti glukosa, lemak,
dan protein. Sumber energi utama yang digunakan adalah glukosa. Satu molekul glukosa
dapat menghasilkan energi sebanyak 36 ATP yang nantinya digunakan sebagai sumber
energi dalam berbagai hal seperti transport ion, kontraksi otot dan lain-lain. Energi
sebanyak 36 ATP hanya menyusun sekitar 38% dari total energi yang dihasilkan dari satu
molekul glukosa. Sisanya sebesar 62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan
sebagai kalor atau panas.
Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh
akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh
adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Proses penurunan suhu pada mayat
ini biasa disebut algor mortis. Algor mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat
kita temukan pada mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem.
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk
sigmoid. Hal ini disebabkan ada 2 faktor, yaitu :
1. Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat,
yakni karena masih adanya proses glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan
di otot dan hepar (gambar II.2).
2. Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu
mencapai tangga suhu.
Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu penurunan
menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika dirata-rata maka
penurunan suhu tersebut antara 0,9 sampai 1 derajat celcius atau sekitar 1,5 derajat
Fahrenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai dari 37 derajat Celcius atau
98,4 derajat Fahrenheit sehingga dengan dapat dirumuskan cara untuk memperkirakan
berapa jam mayat telah mati dengan rumus (98,4oF - suhu rectal oF) : 1,5oF. Pengukuran
dilakukan per rectal dengan menggunakan thermometer kimia (long chemical
thermometer).

11
Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:
a. Faktor internal
- Suhu tubuh saat mati
Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati dengan suhu tubuh
tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan mengakibatkan penurunan suhu
tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan, pada hypothermia tingkat penurunannya
menjadi sebaliknya.
- Keadaan tubuh mayat
Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu tubuh
mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi lebih cepat.
b. Faktor Eksternal
- Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat
terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di tubuh mayat
dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.
- Keadaan udara di sekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini
disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik. Selain itu, Aliran
udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat
- Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air merupakan
konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas dari tubuh
mayat.
- Pakaian mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat.
Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau lingkungan
lebih mudah.
 Entomologi Forensik
Entomologi forensik merupakan salah satu cabang dari sains forensik yang memberikan
informasi mengenai serangga yang digunakan untuk menarik kesimpulan ketika melakukan
investigasi yang berhubungan dengan kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan dengan
manusia atau satwa (Gaensslen, 2009; Gennard, 2007).
Dalam kasus entomologi forensik, Gomes et al. (2006) menyatakan bahwa lalat merupakan
invertebrata primer yang mendekomposisi komponen organik pada hewan termasuk juga
mayat manusia. Pada saat lalat mengambil materi organik yang ada di dalam tubuh mayat,
maka lalat tersebut akan memindahkan telur yang akan berkembang menjadi larva dan pupa
(Sukontason et al., 2007). Adanya berbagai perubahan dari berbagai jenis lalat dan serangga
lain akan menimbulkan suatu komunitas dalam mayat yang secara ekologi dan evolusi akan
terjadi proses kompetisi, predasi, seleksi, penyebaran dan kepunahan lokal dalam tubuh
mayat tersebut (Hangeveld, 1989).
Amendt et al. (2004a) menyebutkan bahwa ada empat kategori secara ekologi untuk
mengidentifikasi suatu komunitas pada bangkai/mayat, antara lain:
1. Adanya spesies necrophagous yang memakan bangkai/mayat.
2. Adanya predator dan parasit pada terhadap spesies necrophagous yang memakan
serangga atau golongan Arthropoda yang lain. Terkadang juga ditemukan spesies
Schizophagous, yakni spesies yang hadir untuk memakan pada saat pertama kali,
namun akan menjadi predator pada tahap larva.
3. Adanya spesies omnivora seperti semut, lebah, dan beberapa jenis kumbang yang
memakan baik pada bangkai maupun pada koloni serangga yang ada.

12
4. Adanya spesies lain seperti laba-laba yang menggunakan bangkai/mayat untuk tempat
tinggalnya.
1. Tahapan Dekomposisi
Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik, yakni faktor abiotik
yang meliputi parameter fisik seperti temperatur, kelembaban, dan lain-lain. Menurut Gennard
(2007) dan Goff (2003), tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain:
Tahap1: fresh stage, tahapan dimulai pada saat kematian dan ditandai adanya tanda
penggelembungan pada tubuh. Serangga yang pertama kali datang adalah lalat dari famili
Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina akan meletakkan telurnya di daerah yang
terbuka seperti daerah kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).
Tahap 2: bloated stage, merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas yang
dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan penggelembungan pada
pada perut mayat. Selanjutnya suhu internal naik selama tahapan ini sebagai akibat dari
aktivitas bakteri pembusuk dan aktivitas metabolime dari larva lalat. Lalat dari famili
Calliphoridae sangat tertarik pada mayat selama tahapan ini. Kemudian selama mengembang
akibat adanya gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan meresap
ke dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa seperti amonia yang dihasilkan oleh
aktivitas metabolisme dari larva lalat sehingga akan menyebabkan tanah di bawah mayat itu
untuk menjadi alkali (basa) dan fauna tanah menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.
Tahap 3: decay stage, tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan mengakibatkan gas
keluar dari tubuh. Larva lalat membentuk gerombolan yang besar pada mayat. Meskipun
beberapa serangga predator, seperti kumbang, tawon, dan semut, pada tahap bloated stage,
serangga necrophagous dan predator dapat diamati dalam jumlah besar menjelang tahapan ini
berakhir. Pada akhir tahap ini, lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae telah
menyelesaikan perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayat untuk menjadi pupa. Pada
akhir tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan tubuh pada mayat.
Tahap 4: postdecay stage, pada tahap ini sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan usus
sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan
mengering. Indikator pada tahap ini adalah hadirnya kumbang dan berkurangnya dominansi
lalat di dalam tubuh mayat.

Tahap 5: skeletal stage, pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut. Tahapan ini
tidak jelas serangga apa saja yang hadir. Pada kasus tertentu, kumbang dari famili Nitidulidae
terkadang ditemukan. Tubuh mayat sudah mengalami akhir dari dekomposisi.
2. Estimasi Waktu Kematian
Ahli entomologi forensik sering memeriksa bukti serangga pada mayat manusia dan
menetukan berapa lama serangga tersebut berada di mayat. Periode waktu tersebut di
interpretasikan dalam postmortem interval (PMI) atau waktu sejak kematian. Analsis PMI
terbagi menjadi dua, yakni precolonization interval (pre-CI) dan postcolonization
interval(post-CI).
Adapun penjelasan masing-masing interval tertera pada Gambar 4 (Tomberlin et al., 2011).

13
Tabel 2. Fase entomologikal pada proses dekomposisi vertebrata (Tomberlin et al., 2011).

Pada Gambar tersebut menggambarkan periode kolonisasi dan aktivitas serangga pada mayat.
Adapun perubahan-perubahan pada mayat manusia setelah mengalami kematian disajikan pada
Tabel 1. Pola-pola peruabahan pada Tabel 1 dapat digunakan untuk mengetahui estimasi waktu
kematian pada manusia. Selain itu, untuk waktu kematian berdasarkan perkembangan serangga
disajikan pada Gambar 5. Contoh pada Gambar 5 tersebut adalah menentukan waktu kematian
berdasarkan siklus hidup serangga Protophormia terraenovae.

Tabel 3. Perubahan mayat berdasarkan waktu kematian

Gambar 2. Kurva pertumbuhan Protophormia terraenovae mulai dari larva, pupa, dan
dewasa (adult) pada suhu 15, 20, 25, 30and 35°C (Amendt et al., 2004a).

14
Untuk mengukur waktu kematian dapat digunakan suhu yang dibutuhkan oleh serangga
untuk hidup. Serangga merupakan hewan poikilotermik atau hewan yang suhu tubuh dan
aktivitas metabolismenya dipengaruhi oleh lingkungan. Serangga menggunakan energi panas
(thermal unit) untuk pertumbuhan dan perkembangnya. Sehingga kebutuhan energi selama
masa hidupnya dapat dikalkulasi. Thermal unit disebut juga hari derajat (degree days – °D )
yang mana nilai °D dapat ditambahkan bersamaan yang akan menghasilkan nilai accumulated
degree days (ADD). Jika periode thermal unit pendek maka bisa digunakan accumulated
degree hours (ADH). Dari peristiwa tersebut, maka waktu kematian dpat dihitung dengan
menggunakan rumus:
ADH= Waktu(hours) × (temperatur - temperatur basal)
ADD= Waktu(days) × (temperatur - temperatur basal)

Waktu yang digunakan adalah waktu tahapan perkembangan serangga yang dapat diketahui
dari literatur yang sudah ada. Sementara temperatur yang digunakan adalah temperatur
lingkungan yang bisa diperoleh melalui stasium badan meteorologi. Sementara temperatur
basal adalah temperatur fisiologi terendah yang setiap serangga memiliki nilai temperatur
yang berbeda- beda
Sebagai contoh ditemukan larva instar III dari spesies Calliphora vicina yang periode
waktunya selama 68 jam. Kemudian suhu lingkungan adalah 26,7°C dan tempertur basalnya
adalah 2°C. Sehingga akan diperoleh nilai:
ADH = 68 × (26,7 – 2) = 1679,6
ADD =1679,6/24 = 7
Dari perhitungan tersebut dapat diperkirakan waktu kematiannya adalah 7 hari (Gennard,
2007).

LI.2.Mampu Memahami dan Menjelaskan Investigasi Pemerkosaan


1. Kronologis Pemeriksaan Kasus Kejahatan Seksual:
a. Informed consent
b. Anamnesa Pasien :
I. Umum :
 Umur, tempat/tanggal lahir, status perkawinan, siklus haid
 Penyakit kelamin/penyakit kandungan/penyakit lain
 Apa pernah bersetubuh
 Kapan persetubuhan terakhir
 Apakah memakai kondom

II. Khusus:
 Waktu kejadian, tanggal, jam, tempat kejadian
 Apakah korban melawan
 Apakah korban pingsan
 Apa ada penetrasi dan ejakulasi
 Apa setelah kejadian korban mencuci, mandi, atau ganti pakaian
III. Memeriksa pakaian
 Robekan
 Kancing putus
 Bercak darah

15
 Air mani
 Lumpur
 Rapi atau tidak
IV. Memeriksa tubuh korban
 Umum
 Penampilan
 Keadaan emosional
 Tanda bekas hilang kesadaran
 Tanda needle mark
 Tanda kekerasan
 Tanda perkembangan alat kelamin sekunder, pupil, reflex cahaya, TB, BB, TD,
keadaan jantung, paru, abdomen
 Adakah trace evidence pada tubuh korban
 Khusus
 Rambut kemaluan yang saling melekat karena air mani mengering  gunting
 Bercak air mani  kerok/swab
 Vulva  tanda kekerasan
 Introitus vagina
 Selaput dara  tentukan orifisium  perawan = 2,5cm ; persetubuhan = 9cm
 Frenulum labiorum pudenda
 Vagina dan cervix
V. Pemeriksaan Laboratorium
 Tes Penyaring cairan mani  Tes fosfatase asam, visual/taktil, UV
 Tes Penentu cairan mani  Berberio, Florence, Puranen
 Tes Penentu spermatozoa  Sediaan langsung, Malascheet Green, Baechii
 Tes toksikologi (urin,darah)
 Tes kehamilan
 Tes kuman Gonorrhea

2. Pemeriksaan laboratoriun pada kasus kejahatan seksual


Pemeriksaan cairan mani
Semen merupakan cairan agak kental, berwarna putih kekuningan, keruh dan berbau khas.
Dapat mengandung/ tidak mengandung spermatozoa (pada azospermia). Mengandung
spermatozoa, sel-sel epitel, dan sel-sel lain yang tersuspensi dalam cairan yang disebut plasma
seminal yang mengandung spermin dan beberapa enzim seperti fosfatase asam. Karena
kekhasan kandungan zat ini, zat ini dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu cairan
atau bercak adalah sperma atua bukan.

Bahan yang diambil dari tubuh korban:


Cairan mani dalam vagina untuk membuktikan adanya persetubuhan. Swab dilakukan
dengan bantuan spekulum. Dengan cotton but dilakukan swab pada forniks posterior vagina
dan permukaan mulut rahim.

Penentuan ada/ tidaknya spermatozoa


Tanpa pewarnaan
 Untuk melihat apakah ada spermatozoa yang masih bergerak

16
 Umumnya, dalam 2-3 jam setelah persetubuhan masih dapat ditemukan spermatozoa yang
bergerak dalam vagina. Haid akan memperpanjang sampai 3-4 jam
 Cara pemeriksaan: satu tetes lendir vagina diletakan pada kaca obyek, dilihat dengan
pembesaran 500 x serta kondensor diturunkan. Perhatikan gerakan sperma.
Spermatozoa dapat ditemukan 3-6 hari pasca persetubuhan

Dengan pewarnaan
 Dibuat sediaan apus dan difiksasi dengan melewatkan gelas sediaan apus tersebut pada nyala
api. Pulas dengan HE, methy lene blue atau malachite green
 Malachite green adalalh cara yang mudah dan baik digunakan.
 Warnai dengan larutan malachite green 1% selama 10-15 menit, lalu cuci dengan air
mengalir dan setelah itu lakukakn counterstain dengan Eosin Yellowish 1% selama 1
menit, terakir cuci lagi dengan air
 Terlihat gambaran sperma: kepala (merah), leher( merah muda), ekor (hijau)

 Penentuan cairan mani (kimiawi)


Reaksi fosfatase asam
 Mendeteksi adanya enzim Fosfatase asam dalam bercak/ cairan
 Merupakan reaksi penyaring ada/ tidaknya mani, sehingga kharus dikonfirmasi ulang lagi
dengan menggunakan tes penentu
 Cara pemeriksaan : Bahan yang dicurigai ditempelkan pada kertas saringang telah terlebih
dahulu dibasahi dengan akuades selama beberapa menit. Kemudian kertas saring diangkat
dan disemprotkan dengan reagens.
(+)  timbul warna ungu dalam waktu ± 30 detik
(+) palsu dapat ditemukan pada feses, air teh, kontraseptik, sari buah dan tumbuh-
tumbuhan.

Reaksi Berberio
 Dasar reaksi: menentukan adanya spermin dalam semen
 Merupakan reaksi penentu ada/ tidaknya mani
 Reagen yang digunakan larutan asam pikrat jenuh
(+)  kristal spermin pikrat yang kekuning-kuningan berbentuk jarum dengan ujung tumpul,
kadang-kadang terdapat garis refraksi yang terletak longitudinal

Reakssi florence
 Dasar reaksi adalah untuk menentukan ada/ tidaknya kholin.
 Cara pemeriksaan: Ekstrak diletakan pada kaca obyek, biarkan mengering, tutup dengan
kaca penutup. Reagen dialirkan dengan pipet dibawah kaca penutup.
(+)  kristal kholin-periodida berwarna cokelat, berbentuk jarum dengan ujung sering
terbelah.
(+) palsu  ekstrak jaringan berbagai organ (putih telur, ekstrak seranggga) akan memberikan
warna serupa.

 Pemeriksa bercak mani pada pakaian


Visual
Bercak manu berbatas tegas, dan lebih gelap dari sekitarnya, bercak yang sudah agak tua
berwarna agak kekuning-kuningan. Pada bahan tekstil yang tidak menyerap, bercak yang segar
akan menunjukkan permukaan mengkilap dan translusen, kemudian akan mengering.
 Dengan bantuan sinar Ultraviolet bercak semen akan menunjukkan warna putih

17
 Dengan bantuan lampu wood: dapat ditemukan bercak putih pada kulit/ tubuh
 Taktil
 Bercak mani terasa memberi kesan kaku seperti kanji

Pewarnaan baecchi
 Untuk mengetahui adanya spermatozoa pada bercak kain
 Dengan jarum diambil 1-2 helai benang, leyakkan pada gelas obyek dan diuraikan sampai
serabut-serabut saling terpisah. Tutup dengan gelas tutup dan balsem kanada, periksa
dengan mikroskop pembesaran 400 kali. Serabut pakaian tidak mengambil warna,
spermatozoa dengan kepala berwarna merah dan ekor merah muda terlihat banyak
menempel pada selaput benang.

 Pemeriksaan pria tersangka


Cara lugol
 Kaca obyek ditempelkan dan ditekankan pada glans penis, terutama pada bagian kolom,
korona serta frenulum
 Kemudian letakkan dengan spesimen menghadap ke bawah dengan specimen menghadap
ke bawah dia atas tempat yang berisi larutan lugol dengan tujuan agar uap iodium akan
mewarnai sediaan tersebut. Hasik + menunjukan sel-sel epitel vagina dengan sitoplasma
berwarna cokelat karena mengandung banyak glikogen.
 Untuk memastikan bahwa sel epitel berasal dari seorang wanita, perlu ditentukan adanya
kromatin seks (barr body).

 Pemeriksaan DNA
Pada tahun 1980, Alec Jeffreys dengan teknologi DNA berhasil mendemonstrasikan bahwa
DNA memiliki bagian-bagian pengulangan (sekuen) yang bervariasi. Hal ini dinamakan
polimorfisme, yang dapat digunakan sebagai sarana identifikasi spesifik (individual) dari
seseorang. Perbedaan sidik DNA setiap orang atau individu layaknya sidik jari, sidik DNA ini
juga bisa dibaca. Tidak seperti sidik jari pada ujung jari seseorang yang dapat diubah dengan
operasi, sidik DNA tidak dapat dirubah oleh siapapun dan dengan alat apapun. Bahkan, sidik
DNA mempunyai kesamaan pada setiap sel, jaringan dan organ pada setiap individu. Oleh
karena itu sidik DNA menjadi suatu metode identifikasi yang sangat akurat (Lutfig and Richey,
2000).
Hanya sekitar 3 juta basa DNA yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Para ahli
menggunakan daerah yang berbeda ini untuk menghasilkan profil DNA dari seseorang individu,
menggunakan sampel dari darah, tulang, rambut atau jaringan tubuh yang lain. Pada kasus
kriminal, biasanya melibatkan sampel dari barang bukti dan tersangka, mengekstrak DNAnya,
dan menganalisanya untuk melihat suatu daerah khusus pada DNA (marker). Para ilmuwan telah
menemukan marker di dalam sampel DNA dengan mendesain sepotong kecil DNA (probe) yang
masing-masing akan mencari dan berikatan dengan sekuen DNA pasangan/komplementernya
pada sampel DNA. Satu seri probe akan berikatan dengan DNA sampel dan menghasilkan pola
yang berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Para ahli forensik membandingkan
profil DNA ini untuk menentukan apakah sampel dari tersangka cocok dengan sampel pada
bukti. Marker sendiri biasanya tidak bersifat khusus untuk setiap individu, jika dua sampel DNA
mirip pada empat atau lima daerah, sampel tersebut mungkin berasal dari individu yang sama.
jika profil sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut bukan pemilik DNA yang ditemukan
pada lokasi kriminalitas. Jika pola yang ditemukan sama, tersangka tersebut kemungkinan
memiliki DNA pada sampel bukti (Marks dkk, 1996).
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti sel. DNA yang
paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan DNA
18
dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat berubah
seiring dengan perkawinan keturunannya. Kasus-kasus kriminal, penggunaan kedua tes DNA di
atas, bergantung pada barang bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Seperti jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel yang terdapat
dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel dalam bibir ada yang
tertinggal di puntung rokok. Epitel ini masih menggandung unsur DNA yang dapat dilacak.
Misalnya dalam kasus korban ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang sulit dikenali
diambil sekuens genetikanya. Bentuk sidik DNA berupa garis-garis yang mirip seperti bar-code
di kemasan makanan atau minuman. Membandingkan kode garis-garis DNA, antara 30 sampai 1
00 sekuens rantai kode genetika, dengan DNA anggota keluarga terdekatnya, biasanya ayah atau
saudara kandungnya, maka identifikasi korban forensik atau kecelakaan yang hancur masih
dapat dilacak. Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah
kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel di dalamnya. Jika di TKP ditemukan satu
helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria
tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut
terdapat DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel (Lutfig and Richey,
2000).
Teknologi DNA memiliki keunggulan mencolok dalam hal potensi diskriminasinya dan
sensitifitasnya maka tes sidik DNA menjadi pilihan dalam penyelidikan kasus-kasus forensik
dibanding teknologi konvensional seperti serologi dan elektroforesis. Kedua tes ini hanya
mampu menganalisis perbedaan ekspresi protein dan membutuhkan sampel dengan jumlah
relatif besar. Tes sidik DNA sebaliknya hanya membutuhkan sampel yang relatif sedikit. Metode
Southern Blots misalnya sudah mampu menedeteksi loki polimorfisme dengan materi DNA
sekecil 60 nanogram, sedangkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) hanya memerlukan
DNA sejumlah beberapa nanogram saja. Pada kasus kriminal dengan jumlah sampel barang
bukti yang diambil di TKP sangat kecil dan kemungkinan mengalami degradasi maka metode
yang cocok dan sensitif adalah PCR (Marks dkk. 1996).

A. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)


RFLP adalah salah satu aplikasi analisis DNA asli pada penelitian forensik. Dengan
perkembangan dan adanya teknik analisis DNA yang lebih baru dan lebih efisien, RFLP tidak
lagi digunakan karena membutuhkan sampel DNA yang relatif banyak. Selain itu sampel yang
bisanya diperoleh juga biasanya sudah terdegradasi oleh faktor lingkungan, seperti kotoran atau
jamur, tidak dapat digunakan untuk RFLP. RFLP merupakan teknik sidik DNA berdasarkan
deteksi fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Awalnya DNA diisolasi dari sampel yang
kemudian dipotong dengan enzim khusus restriction endonuclease. Enzim ini memotong DNA
pada pola sekuen tertentu yang disebut restriction endonuclease recognition site (sisi yang
dikenali oleh enzim restriksi). Ada atau tidaknya sisi yang dikenali ini di dalam sampel DNA
menghasilkan fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Selanjutnya potongan fragmen
tersebut akan dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 0,5%. Fragmen DNA kemudian
dipindahkan dan difiksasi pada pada membran nilon dan dihibridisasi spesifik dengan pelacak
(probe) DNA berlabel radioaktif yang akan berikatan dengan sekuen DNA komplementernya
pada sampel. Metode ini akhirnya muncullah pita-pita yang unik untuk setiap individu (Marks
dkk., 1996).
Keberhasilan metode ini sangat tergantung pada isolasi sejumlah DNA tanpa terdegradasi.
Pada persidangan kasus kriminal, hal ini bisa menjadi suatu masalah jika jumlah DNA sangat
sedikit dan kualitasnya rendah. Ini terlihat dari hasil pita-pita sidik DNA yang tidak tajam.
Jumlah pita sidik DNA yang dapat dianalisis sangat penting karena jika jumlah pitanya
berkurang akibat terdegradasi secara statistik menurunkan taraf kepercayaan. Semakin banyak
pita yang cocok akan semakin meyakinkan. Oleh karena itu pada kasus ini dapat digunakan

19
teknik sidik DNA dengan memperkuat (mengamplifikasi) daerah spesifik pada DNA yang
disebut mikrosatelit dengan satuan pengulangan yang dinamakan Simple Tandem Repeat (STR).
Analisis dengan PCR pada daerah STR tersebut dapat mengatasi masalah tersebut. Teknik ini
dapat menghasilkan data dalam waktu singkat dan sangat cocok untuk otomatisasi (Yeni Hartati
dan Iman Maksum, 2004).

B. Analisis Polymerase chain reaction (PCR)


Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk membuat jutaan kopi DNA dari sampel
biologis. Amplifikasi DNA dengan menggunakan PCR menyebabkan analisis DNA pada sampel
biologis hanya membutuhkan sedikit sampel dan dapat diperoleh dari sampel yang halus seperti
rambut. Kemampuan PCR untuk mengamplifikasi sejumlah kecil DNA memungkinkan untuk
menganalisa sampel yang sudah terdegradasi sekalipun. Namun, tetap saja harus dicegah
kontaminasi dengan materi biologis yang lain selama melakukan identifikasi, koleksi dan
menyiapkan sampelnya (Marks dkk., 1996). Tes DNA dilakukan dengan cara mengambil DNA
dari kromosom sel tubuh (autosom) yang mengandung area STR (short tandem repeats), suatu
area ini tidak memberi kode untuk melakukan sesuatu. STR inilah yang bersifat unik karena
berbeda pada setiap orang. Perbedaannya terletak pada urutan pasang basa yang dihasilkan dan
urutan pengulangan STR. Pola STR ini diwariskan dari orang tua.Aplikasi teknik ini misalnya
pada tes DNA untuk paternalitas (pembuktian anak kandung) yaitu tes DNA untuk membuktikan
apakah seorang anak benar-benar adalah anak kandung dari sepasang suami dan istri. Cara
memeriksa tes DNA dilakukan dengan cara mengambil STR dari anak. Selanjutnya, di
laboratorium akan dianalisa urutan untaian STR ini apakah urutannya sama dengan seseorang
yang dijadikan pola dari seorang anak. Urutan tidak hanya satu-satunya karena pemeriksaan
dilanjutkan dengan melihat nomor kromosom. Misalnya, hasil pemeriksaan seorang anak
ditemukan bahwa pada kromosom nomor 3 memiliki urutan kode AGACT dengan pengulangan
2 kali. Bila ayah atau ibu yang mengaku orang tua kandungnya juga memiliki pengulangan sama
pada nomor kromosom yang sama, maka dapat disimpulkan antara 2 orang itu memiliki
hubungan keluarga. Seseorang dapat dikatakan memiliki hubungan darah jika memiliki urutan
dan pengulangan setidaknya pada 16 STR yang sama dengan kelurga kandungnya, maka kedua
orang yang dicek memiliki ikatan saudara kandung atau hubungan darah yang dekat. Jumlah ini
cukup kecil dibandingkan dengan keseluruhan ikatan spiral DNA dalam tubuh kita yang
berjumlah miliaran. Sementara itu, Federal Bureau of Investigation (FBI) menggunakan satu set
dari 13 daerah STR khusus untuk CODIS. CODIS merupakan program software yang
mengoperasikan database dari profil DNA local, daerah dan nasional dari tersangka, bukti tindak
kriminalitas yang belum selesai kasusnya dan orang hilang. Kemungkinan bahwa dua individu
mempunyai 13 loci yang sama pada profil DNAnya adalah sangat jarang (Yeni Hartati dan
Maksum, 2004).

C. Analisis Mitochondrial DNA


Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk menentukan DNA di sampel
yang tidak dapat dianalisa dengan menggunakan RFLP atau STR. Jika DNA pada inti sel
(nukleus) harus diekstrak dari sampel untuk dianalisis dengan menggunakan RFLP, PCR, dan
STR; maka tes sidik DNA dapat dilakukan dengan menggunakan ekstrak DNA dari organela sel
yang lain, yaitu mitokondria. Contohnya pada sampel biologis yang sudah berumur tua sehingga
tidak memiliki materi nukleus, seperti rambut, tulang dan gigi, maka karena sampel tersebut
tidak dapat dianalisa dengan STR dan RFLP, sampel tersebut dapat dianalisa dengan
menggunakan mtDNA. Pada investigasi kasus yang sudah sangat lama tidak terselesaikan
penggunaan mtDNA sangatlah dibutuhkan (Marks dkk., 1996). Semua ibu memiliki DNA
mitokondria yang sama dengan anak perempuannya karena mitokondria pada masing-masing
embrio yang baru berasal dari sel telur ibunya. Sperma ayah hanya berkontribusi memberikan

20
DNA inti sel (nukleus). Membandingkan profil mtDNA dari seseorang yang tidak teridentifikasi
dengan profil seseorang yang kemungkinan adalah ibunya merupakan teknik yang penting dalam
investigasi orang hilang atau temuan kerangka yang sudah berusia puluhan tahun (Lutfig and
Richey, 2000).
DNA mitokondria sangat baik untuk digunakan sebagai alat untuk analisis DNA, karena
mempunyai 3 sifat penting, yaitu DNA ini mempunyai copy number yang tinggi sekitar 1000-
10.000 dan berada di dalam sel yang tidak mempunyai inti seperti sel darah merah atau eritrosit.
DNA mitokondria dapat digunakan untuk analisa meskipun jumlah sampel yang ditemukan
terbatas, mudah terdegradasi dan pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
analisa terhadap DNA inti. Kedua, DNA mitokondria manusia diturunkan secara maternal,
sehingga setiap individu pada garis keturunan ibu yang sama memiliki tipe DNA mitokondria
yang identik. Karakteristik DNA mitokondria ini dapat digunakan untuk penyelidikan kasus
orang hilang atau menentukan identitas seseorang dengan membandingkan DNA mitokondria
korban terhadap DNA mitokondria saudaranya yang segaris keturunan ibu. Ketiga, DNA
mitokondria mempunyai laju polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar 5-10 kali
lebih cepat dari DNA inti. D-loop merupakan daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme
tertinggi dalam DNA mitokondria dimana terdapat dua daerah hipervariabel dengan tingkat
variasi terbesar antara individu-individu yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Karena
itu, dalam penentuan identitas seseorang atau studi forensik dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan daerah D-loop DNA mitokondria saja (Yeni Hartati dan Maksum, 2004)
LI. 3.Mampu Memahami dan Menjelaskan Hukum Pembunuhan dalam Islam
Pembunuhan adalah kegiatan/perbuatan menghilangkan nyawa seseorang baik sengaja
maupun tidak sengaja dengan menggunakan alat mematikan maupun tidak. Membunuh
merupakan perbutan yang dilarang ajaran islam. Karena manusia mempunyai hak hidup yang
harus dilindungi dan dihormati, oleh karena itu membunuh dalam ajaran islam dosa besar, seperti
firman Allah SWT :

"Dan janganlah kamu membunuh terhadap jiwa yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan
suatu alasan yang benar". ( Qs. al-Isra : 33).

Pembunuhan ada beberaa macam, yaitu :


1. Pembunuhan sengaja
Pembunuh dapat dikatagorikan sebagai pembunuhan sengaja jika memenuhi syaratnya, yaitu
: ada aktivitas membunuh dan ada niat membunuh. Contoh pembunuhan sengaja :
membunuh direncanakan, dll.
2. Pembunuhan seperti sengaja
Syarat pembunuhan ini adalah ada aktivitas membunuh tapi tidak ada niat membunuh,
contoh : A dan B berkelahi di lantai 50, si B mendorong A sampai dia jatuh dari lantai 50.
3. Pembunuhan tidak disengaja
Syaratnya adalah tidak ada aktivitas membunuh (manusia) dan tidak ada pula niat
membunuh, contoh : saat kita berburu kita sudah dapatkan sasarannya, saat kita menembak
ternyata senjata yang kita tembakan meleset sehingga mengenai orang yang ada di
sebelahnya
Hukuman untuk tiga jenis pembunuhan ini tentu ada dan semuanya sudah diatur oleh islam.
Sanksi-sanksi itu adalah qisos, diyat mugholadoh, diyat  mukhofafah dan tentunya dalam tigs
jenis ini berbeda hukumannya.

21
a) A. Qisos (dengan cara dibunuh kembali) diberikan kepada pembunuh sengaja tapi jika
keluarga korban memaafkan diganti dengan diyat mugholadoh (denda berat), terdapat dalam
surat QS. Al-Baqarah :179
b) Diyat mugholadoh untuk pembunuh seperti sengaja dan pembunuh sengaja (jika dimaafkan
keluarga korban) jumlah diyat mugholadoh yang kita bayarkan sudah diatur oleh Islam dan
bisa diangsur selama tiga bulan ,tedapat dalam dalil yang berbunyi :
"Dan dalam melaksanakan hukum tersalah dan seperti sengaja  kalau dengan cambuk dan
tongkat ialah seratus ekor unta, empat puluh diantaranya yang sedang buntung"
(dikeluarkan oleh Abu Daud, an-Nasai dan Ibnu majah) rincianya seperti berikut :
- 30 ekor unta betina berumur 3-4 tahun (hiqqah)
- 30 ekor unta betina berunur 4-5 tahun (jadz'ah)
- 40 ekor unta betina yang sedang mengandung (khilfah)
c) Diyat mukhofafah (denda ringan) untuk pembunuh tidak sengaja sama seperti diyat
mugholadoh yang sudah diatur jumlah dendanya, yaitu 100 ekor unta tapi berbeda pada
jenisnya, berikut rinciannya :
- 20 ekor unta hiqqah
- 20 ekor unta jadz'ah
- 20ekor anak unta betina
- 20ekor anak unta jantan,dan
- 20ekor unta jantan berumur 2-3 tahaun
Diyat bagi orang yang membuat kerusakan atau memotong anggota tubuh orang lain
mendapatkan sanksi berupa diyat mukhofafah, lihat rinciannya :
- Wajib membayar diyat penuh jika yang dia potong anggota tubuh berpasangan, seperti :
dua tangan, dua kaki, dll.
- Wajib membayar setengah diyat jika yang dia potong salah satu dari pasangan anggota
tubuh, seperti satu tangan, satu kaki, dll.
Islam melarang umatnya membunuh seseorang manusia atau seekor binatang sekalipun, kalau
itu tidak berdasarkan kebenaran hukumnya. Dalam Islam orang-orang yang halal darah atau
boleh dibunuh karena perintah hukum dengan prosedurnya adalah orang-orang murtad, yaitu
orang-orang Islam yang berpindah agama dari Islam ke agama lainnya, sesuai dengan hadis
Rasulullah saw: Man baddala diynuhu faqtuluwhu (barangsiapa yang menukar agamanya maka
bunuhlah dia). Ketentuan ini dilakukan setelah orang murtad itu diajak kembali ke agama Islam
selama batas waktu tiga hari, kalau selama itu dia tidak juga sadar baru dihadapkan ke
pengadilan.
Yang halal darah juga adalah pembunuh, bagi dia berlaku hukum qishash yakni diberlakukan
hukuman balik oleh yang berhak atau negara melalui petugasnya.
Penzina muhshan (yang sudah kawin) adalah satu pihak yang halal darah juga dalam Islam
melalui eksekusi rajam, mengingat jelek dan bahayanya perbuatan dia yang sudah kawin tetapi
masih berzina juga. Semua pihak yang halal darah tersebut harus dieksekusi mengikut prosedur
yang telah ada dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang yang tidak punya otaritas baginya.
Selain dari tiga pihak tersebut dengan ketentuan dan prosedurnya masing-masing tidak boleh
dibunuh, sebagaimana firman Allah swt: “...wala taqtulun nafsal latiy harramallahu illa bilhaq...”
(...jangan membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran...) (QS. al-
An’am: 151). Larangan ini berlaku umum untuk semua nyawa baik manusia maupun hewan,
kecuali yang dihalalkan Allah sebagaimana terhadap tiga model manusia di atas tadi atau hewan
nakal yang mengganggu manusia dan hewan yang disembelih dengan nama Allah.
Allah memberi perumpamaan terhadap seorang pembunuh adalah: “...barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.

22
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya...” (QS. Al-Maidah: 32).

23
DAFTAR PUSTAKA
Bernard Knight.2004.Forensic Phatology: 3rd edition.
Budiyanto.1997. Ilmu Kedokteran Forensik.
DiMaio.2001Forensic Phatology:2nd edition. Florida
Kartika Ratna Pertiwi dan Paramita Cahyaningrum. 2012. Hereditas Manusia Buku Satu. Buku
ajar mata kuliah Genetika. Jurdik Biologi FMIPA UNY
Luftig, M. A. and Richey S. 2000. DNA and Forensic Science. New England Law Review .Vol.
35:3 Marks, D.B.,
Marks, A.D., Smith, C.M. 1996. Basic Medical Biochemistry. Williams & Wilkins. Baltimore
Yeni W. Hartati, Iman P. Maksum. 2004. Amplifikasi 0,4 Kb Daerah D-Loop DNa
Mitokondria Dari Sel Epitel Rongga Mulut Untuk Keperluan Forensik. Jurusan Kimia, FMIPA,
Universitas Padjadjaran. Hasil Penelitian. Tidak dipublikasi

http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/3034.html

24

Anda mungkin juga menyukai