Anda di halaman 1dari 26

WRAP UP SKENARIO 1

LUMPUH SETELAH OPERASI

KELOMPOK A-2
Ketua : Muhammad Alarik Yuwana S. 1102018176
Sekretaris : Rivaldo 1102018144
Anggota : Achmad Akmal Arrafi 1102018114
Anggita Novanti Arbi Sagala 1102018029
Femi Aldini 1102018026
Desi Hiratna 1102018076
Muhammad Rafi Abiwarsa 1102018116
Muhammad Ridho Alfitrah 1102018125
Monica Tri Mulanda 1102018136
  
 

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2019/2020
Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta, 10510
Telp. 021 4244574 Fax: 021 424454
DAFTAR ISI

Skenario ...................................................................................................................................3
Identifikasi Kata Sulit ..............................................................................................................4
Pertanyaan dan Jawaban ..........................................................................................................5
Hipotesis ..................................................................................................................................7
Sasaran Belajar .........................................................................................................................8
LO 1 Memahami dan Menjelaskan Informed Consent.............................................................9
1.1 Definisi.................................................................................................................9
1.2 Tujuan dan Manfaat.............................................................................................9
1.3 Jenis......................................................................................................................10
1.4 Isi..........................................................................................................................10
LO 2 Memahami dan Menjelaskan Malpraktek Menurut Kedokteran.....................................12
2.2 Definisi.................................................................................................................12
2.3 Jenis......................................................................................................................12
2.4 Kriteria.................................................................................................................14
2.5 Resiko Medis.......................................................................................................15
LO 3 Memahami dan Menjelaskan Alur Hukum Apabila Seorang Dokter Diduga Melakukan
Malpraktek................................................................................................................................16
LO 4 Memahami dan Menjelaskan Malpraktek Menurut Sudut Pandang Islam......................22
Daftar Pustaka...........................................................................................................................25
Skenario

Lumpuh Setelah Operasi

Seorang dokter dilaporkan istri korban atas dugaan malpraktik yang dilakukan dokter
tersebut terhadap suaminya Tn. K (42 tahun). Istri Tn. K mengatakan, suaminya melakukan
operasi tulang belakang atas indikasi syaraf terjepit dua bulan yang lalu. Usai dilakukan
operasi, keadaan Tn. K malah semakin memburuk hingga mengalami kelumpuhan pada
kedua kakinya. Menurut penjelasan sang dokter, dirinya sudah melakukan tindakan medis
sesuai prosedur yang benar dan sebelumnya dia juga sudah melakukan informed consent. Dia
mengatakan, bahwa yang terjadi pada Tn. K merupakan suatu risiko medis.
Dengan didampingi pengacara, istri korban melaporkan kejadian ini ke pihak
kepolisian. Sebelumnya, istri dan keluarga korban telah mengunjungi tokoh agama setempat
untuk meminta pendapat terkait masalah ini dalam Islam. Pihak manajemen RS tempat dokter
tersebut praktek diminta untuk memberikan rekam medis korban untuk dipelajari.
Rencananya dari rekam medis tersebut, akan diijadikan sebagai bahan laporan.
Pengacara menuliskan dasar gugatannya berdasarkan : 1.Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 4.UU
No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; 5.Kode Etik Kedokteran; 6.UU No.8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kata Sulit
1. Informed Consent : persetujuan tindakan kedokteran yg diberikan pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yg akan dilakukan terhadap pasien tersebut
2. Malpraktek : kesalahan yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan
profesinya dgn sesuai standar profesi dan operasional, suatu tindakan medis buruk
dokter atau tenaga kesehatan dlm hubungannya dgn pasien
3. Kelumpuhan : kondisi ketika satu atau beberapa bagian tubuh tidak dapat digerakkan
4. Rekam medis : berkas yg berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yg telah diberikan kpd
pasien
5. Hukum pidana : hukum yg mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap
kepentingan umum perbuatan yg diancam dengan hukuman yg merupakan suatu
siksaan atau penderitaan
6. Hukum perdata : ketentuan yg mengatur hak-hak dan kepentingan individu dlm
masyarakat
7. Kode etik kedokteran : kumpulan norma untuk menuntun dokter di Indonesia selaku
kelompok profesi berpraktek di masyarakat
8. Resiko medis : dlm tindakan medis ada kemungkinan resiko tinggi yg terjadi dan tdk
sesuai harapan pasien setelah melakukan pengobatan atau operasi yg dilakukan oleh
dokter dan ketidakmengertian pasien terhadap resiko yg dihadapinya dan dapat
diajukan tuntutan
9. Gugatan : suatu tuntutan hak yg diajukan oleh penggugat kpd tergugat melalui
pengadilan
Pertanyaan
1. Apa tujuan dari informed consent ?
2. Bagaimana hukum mal praktek menurut islam ?
3. Apa saja jenis-jenis malpraktek ?
4. Apa saja upaya mencegah malpraktek ?
5. Apa kriteria dokter dikatakan malpraktek ?
6. Apa dampak malpraktek bagi dokter yg dituntut ?
7. Bagaimana bentuk perlindungan hukum untuk seorang dokter ?
8. Apa saja contoh malpraktek dalam dunia kesehatan ?
9. Apa manfaat dari informed consent ?
10. Bagaimana hukuman untuk seorang dokter yang melakukan malpraktek ?
11. Apa saja bentuk-bentuk informed consent ?
12. Apa tujuan dari rekam medis ?
13. Apa manfaat dari rekam medis ?

Jawaban
1. Agar pasien dapat informasi yg cukup untuk mengambil keputusan atas terapi yg akan
dilaksanakan yg berarti juga mengambil keputusan Bersama
2. Hukumnya haram, tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan org lain
3. Mal praktek medik : bentuk kelalaian professional yg menyebabkan terjadinya luka
berat pada pasien sebagai akibat langsung dr perbuatan atau pembiaran dari dokter
4. Memberikan informed consent yg jelas dan detail terhadap pasien, melakukan
tindakan
sesuai SOP, menjaga sikap etik kedokteran dan memiliki ilmu yg mendalam
5. Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran, memenuhi unsur kelalaian berat,
tindakan yg menimbulkan akibat yg serius dan fatal
6. Bisa dihukum dengan penjara, denda, pencabutan izin praktek, atau dikembalikan ke
kampusnya
7. Adanya indikasi medis, bertindak secara hati-hati dan teliti, cara bekerja sesuai
standar
profesi, sudah ada informed consent
8. Aborsi, kelalaian saat operasi, melakukan tindakan diluar kompetensi
9. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yg dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien, memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yg tdk terduga
dan bersifat negative
10. Hukuman yg diberikan berupa pelanggaran etik oleh majelis kehormatan etik
kedokteran,pelanggaran hukum yg selanjutnya ditindak lanjuti oleh polisi, terjerat
pasal
359 KUHP tentang dihukum 1-5 tahun penjara, terjerat pasal 360 KUHP tentang
mengakibatkan cacat permanen atau luka dihukum 9 bulan atau denda Rp.
300.000.000
11. - Implied constructive consent : tindakan yg biasa dilakukan atau yg telah
dimengerti
Oleh masyarakat umum
- Implied emergency consent : perlunya tindakan segera utk menyelamatkan pasien
sementara pasien dan keluarga tdk dapat membuat persetujuan
- Expressed consent : dinyatakan lisan ataupun tertulis bila yg dilakukan melebihi
prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa
12. Untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam upaya peningkatan pelayanan
kesehatan
13. Bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan menganalisis
penyakit
serta merencanakan pengobatan perawatan dan tindakan medis yg harus diberikan kpd
pasien
Hipotesis

 Informed consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan pasien


atau keluarga terdekatnya setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut dengan tujuan
agar pasien dapat informasi yang cukup untuk mengambil keputusan atas terapi
yang akan dilaksanakan yang berarti juga mengambil keputusan bersama
 Malpraktik adalah kesalahan yang dilakukan tenaga kesehatan dalam
melaksanakan
profesinya dgn sesuai standar profesi dan operasional, suatu tindakan medis buruk
dokter atau tenaga kesehatan dlm hubungannya dgn pasien. Contohnya aborsi,
kelalaian saat operasi, melakukan tindakan diluar kompetensi
 Menurut pandangan islam malpraktik hukumnya haram, karena tidak boleh
memudharatkan diri sendiri dan orang lain
Sasaran belajar

LO 1. Memahami dan menjelaskan Informed Consent


1.1 Definisi
1.2 Tujuan dan manfaat
1.3 Jenis
1.4 Isi
LO 2. Memahami dan menjelaskan Malpraktek menurut kedokteran
1.1 Definisi
1.2 Jenis
1.3 Kriteria
1.4 Resiko medis
LO 3. Memahami dan menjelaskan Alur hukum apabila seorang dokter diduga
melakukan malpraktek
LO 4. Memahami dan menjelaskan malpraktek menurut sudut pandang islam
LO 1. Memahami dan menjelaskan Informed Consent
1.1 Definisi
Informed consent atau persetujuan medik adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
sesuai dengan pasal 1 (a) Permenkes RI Nomor 585/MEN.KES/PER/X/1989 Di mana
pasal 1 (a) menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik (informed consent) adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

1.2 Tujuan dan manfaat


Fungsi dan Tujuan Informed Consent Fungsi dari Informed Consent adalah :
1. Promosi dari hak otonomi perorangan;
2. Proteksi dari pasien dan subyek;
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi
terhadap diri sendiri;
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai social
dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.

Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi tiga, yaitu:
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian).
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
c. Yang bertujuan untuk terapi.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :


1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien;
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga
dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan
bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

1.3 Jenis
Informed consent harus dilakukan setiap kali akan melakukan tindakan medis,
sekecil apapun tindakan tersebut. Menurut depertemen kesehatan (2002), informed
consent dibagi menjadi 2 bentuk :
1. Implied consent
Yaitu persetujuan yang dinyatakan tidak langsung. Contohnya: saat akan
mengukur tekanan darah ibu, ia hanya mendekati si ibu dengan membawa
sfingmomanometer tanpa mengatakan apapun dan si ibu langsung menggulung
lengan bajunya (meskipun tidak mengatakan apapun, sikap ibu menunjukkan
bahwa ia tidak keberatan terhadap tindakan yang akan dilakukan bidan).
2.    Express Consent
Express consent yaitu persetujuan yang dinyatakan dalam bentuk tulisan atau
secara verbal. Sekalipun persetujuan secara tersirat dapat diberikan, namun
sangat bijaksana bila persetujuan pasien dinyatakan dalam bentuk tertulis karena
hal ini dapat menjadi bukti yang lebih kuat dimasa mendatang. Contoh,
persetujuan untuk pelaksanaan operasi caesar

1.4 Isi
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien /
keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan
dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga
dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang
akan dilaksanakan dan alternative terapi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan
oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang
paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk
tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.

Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan
beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan
yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan
atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya
dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran


dilaksanakan
adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No
290 /
Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).

Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan


tindakan kedokteran adalah :
a. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak
untuk menyelamatkan jiwa.
b. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya.Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

LO 2. Memahami dan menjelaskan Malpraktek menurut kedokteran

1.1 Definisi
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti“ pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati
dan merawat pasien,

1.2 Jenis
Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum
dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice)
dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice).
a. Malpraktek Etik
Yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan
yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis,
prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu
malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice)
dan malpraktek administratif (administrative malpractice).

1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)


Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh
tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Dalam malpraktek
perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh
kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila
yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan
tersebut termasuk dalam malpraktek pidana.12 Contoh dari malpraktek
perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata
meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa
ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk
mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang
dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif
yang berkepanjangan terhadap pasien.

2. Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami
cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam
melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat
tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional),tenaga medis tidak
melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada
orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak
benar. Contoh : melakukan aborsi tanpa tindakan medis
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis. Contoh :
Kurang hati-hatinya perawat dalam memasang infus yang menyebabkan
tangan pasien membengkak karena terinfeksi
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang
hati- hati.Contoh : seorang bayi berumur 3 bulan yang jarinya terpotong pada
saat perawat akan melepas bidai yang dipergunakan untuk memfiksasi infus
3. Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga
kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang
berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek,
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya,
menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan
praktek tanpa membuat catatan medik.

1.3 Kriteria
Kriteria dimana suatu kejadian praktek kedokteran dikatakan sebagai malpraktik:
1. Kegagalan dokter untuk melakukan tatalaksana sesuai standar terhadap pasien
2. Kurangnya keterampilan dokter
3. Adanya faktor pengabaian dari dokter
4. Adanya cidera yang merupakan akibat langsung salah satu dari ketiga faktor tersebut
1.4 Resiko medis

Hubungan dokter-pasien
Transaksi Terapeutik

Persetujuan Tindakan Medik

Timbulnya cacat atau


kematian

Pembuktian

1. Sesuai standar pelayana medik 1. Tidak sesuai standar pelayana


2. Ada upaya medik
antisipasi/pencegahan 2. Tidak ada upaya
3. Bukan kelalaian atau Kesalahan antisipasi/pencegahan
4. Ada upaya penanggulangan 3. Terdapat kelalaian atau Kesalahan
yang telah disiapkan 4. Tidak ada upaya penanggulangan
5. Terjadi contribury negliencec yang telah disiapkan
5. Tidak terjadi contribury neglience

Ada alasan pembenar dan pemaaf Tidak ada alasan pembenar dan pemaaf

Resiko Medis Malpraktek

LO 3. Memahami dan menjelaskan Alur hukum apabila seorang dokter diduga


melakukan malpraktek
Dasar-dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum terhadap dokter dalam
menjalankan profesi kedokteran apabila terjadi dugaan malpraktek terdapat dalam Pasal 50
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran3, pasal 27 ayat (1) dan
pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan4. Perlindungan hukum
tersebut tidak seperti konsep perlindungan ilmu exact yang selalu dapat terukur.
Profesi kedokteran menurut Hipocrates merupakan gabungan atau perpaduan antara
pengetahuan dan seni (science and art). Seperti dalam melakukan diagnosis merupakan seni
tersendiri bagi dokter, karena setelah mendengar keluhan pasien, dokter akan melakukan
imajinasi dan melakukan pengamatan seksama terhadap pasiennya. Pengetahuan atau teori-
teori kedokteran serta pengalamannya yang telah diterimanya selama ini menjadi dasar
melakukan diagnose terhadap penyakit pasien, diharapkan diagnosisnya mendekati kebenara.
Pada asasnya hubungan hukum antara dokter dan pasien bertumpu pada dua dasar hak
asasi manusia yang dijamin dalam dokumen maupun konvensi internasional. Kedua macam
hak tersebut adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan
hak atas informasi (the right to information). Kedua hak dasar tersebut bertolak dari hak atas
perawatan Kesehatan (the right to health care) yang merupakan hak asasi individu (individual
human rights). Dokumen internasional yang menjamin kedua hak tersebut adalah The
Universal Declaration of Human Right tahun 1948, dan The United Nations International
Covenant on Civil Political right tahun 19666
Dalam praktek upaya masyarakat atau seseorang untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan merupakan hak seseorang untuk menentukan hidupnya sehingga menginginkan
pelayanan yang baik dari para dokter. Dilain pihak para dokter mempunyai keterbatasan
untuk memeberikan pelayanan kepada masyarakat atau seseorang untuk mendapatkan
kesehatan yang lebih baik keterbatasan dokter itu ada banyak factor baik kemampuan ilmu
pengetahuan maupun keterampilannya. dalam posisi seperti itu maka para dokter dapat
dipandang oleh masyarakat melakukan pelanggaran-pelanggaran padahal dokter memiliki
keterbatasan seperti yang diatas
Dewasa ini praktek kedokteran Kembali menjadi sasaran kritikan dari pelbagai
kalangan masyarakat. Secara humanistik, dokter sebagai manusia biasa tentunya tidak lepas
dari kelalaian dan kealpaan. Kelalaian yang terjadi pada saat melakukan tugas profesinya
inilah yang dapat mengakibatkan malpraktik medis. Sementara dalam masyarakat terdapat
pula orang yang beritikad kurang baik, yang sengaja menarik dokter untuk berpekara.
Keadaan tersebut dipersulit dengan pengalaman malpraktik yang dikaburkan dengan apa
yang disebut dengan resiko medik, sehingga tidak jarang seorang dokter yang telah bekerja
dengan sangat professional, telah sesuai dengan standar profesi medik, standar pelayanan
medis, serta Standar Operating Procedure (SOP) masih dituntut dengan tuduhan telah
melakukan malpraktik.
Untuk itu diperlukan adanya perlindungan hukum bagi profesi dokter, sehingga semua
warga negara termasuk dokter memiliki kedudukan yang sama dimata hukum. Apabila terjadi
permasalahan malpraktik maupun resiko medis dilakukan penyelesaian menurut hukum
karena hukum tidak memihak salah satu pihak yang dalam hal ini adalah dokter dan atau
pasien. Sesuai dengan Pasal 27 Ayat 1 warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tersebut
mengandung maksud bahwa semua warga negara berhak atas perlindungan hukum atas diri,
pribadi, jiwa, kehormatan, dan harta bendanya, Permasalahan malpraktek di Indonesia dapat
ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar
peradilan).
Menurut M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir dalam bukunya Etika Kedokteran dan
Hukum Kesehatan, malpraktik berarti kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.
Sedangkan menurut J. Guwandi dalam bukunya Hukum Medik disimpulkan bahwa
Malpraktik adalah:
1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan.
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban
(negligence).
3. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menurut J. Guwandi di dalam buku Syahrul Machmud yang berjudul Penegakan
Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktik,
malpraktik medis dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) melakukan
yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dengan perkataan lain, malpraktik
dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis,
melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar, dan
sebagainya.
2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya
menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit
pasien bertambah berat dan kemudian meninggal dunia (abandonment).
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir menjelaskan bahwa salah diagnosis atau terlambat
diagnosis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi yang sudah ketinggalan
zaman, kesalahan teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis obat, salah metode tes
atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan pasien, kegagalan
komunikasi dan kegagalan peralatan dapat dikatakan sebagai malpraktik.
Hal terpenting terkait permasalahan yang menimpa kakak Anda adalah perbuatan
dokter dari Sumbawa Besar (NTB) untuk dapat dikatakan sebagai malpraktik harus
dibuktikan terlebih dahulu oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(“MKDKI”). Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran:
“Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang
untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi”.

Langkah hukum yang dapat kakak Anda tempuh adalah sebagai berikut:
Pertama, kakak Anda dapat melakukan mediasi dengan dokter dari Sumbawa Besar
(NTB) yang memberikan obat tetes mata yang menyebabkan buta mata sebelah kanan.
Kedua, kakak Anda dapat membuat pengaduan secara tertulis kepada Ketua MKDKI
bahwa akibat tindakan dokter dari Sumbawa Besar (NTB) yang memberikan obat tetes mata
tersebut, mata kakak Anda timbul warna putih seperti kapas dan tidak lama kemudian kakak
Anda tidak dapat melihat (buta sebelah kanan).
Pengaduan tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:
1. Identitas pengadu;
2. Nama dan alamat tempat praktik dokter/dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan;
3. Alasan pengaduan.
Ketiga, kakak Anda dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan
oleh dokter dari Sumbawa Besar (NTB) kepada pihak Kepolisian dan/atau kakak Anda dapat
menggugat kerugian secara perdata ke pengadilan. Ini karena setiap orang berhak menuntut
ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.[4] Serta pengaduan kepada MKDKI tidak menghilangkan hak setiap orang
untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau
menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia juga telah mengeluarkan Putusan Nomor
14/PUU-XII/2014 yang pada pertimbangannya mengatakan bahwa ketentuan pelaporan
secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-
hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi
yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien
manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin
profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien .

Hak dan Kewajiban Dokter


Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat melawan hukum
dengan tujuan perawatan yang sifatnya konkrit, dan dilakukan sesuai dengan aturan-aturan
yang berlaku di dalam bidang ilmu kedokteran.Sesuai dengan Undang-Undang-Undang
Praktek Kedokteran Pasal 50, hak dokter:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar
profesi dan standar prosedur operasional.
b. Memberikan pelayanan menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.
c. Memperolah informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
Pada pasal tersebut yang dimaksud mengenai standard profesi ialah Batasan
kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Dan yang dimaksud dengan standard prosedur
operasional ialah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Hak – hak dokter sebagai pengemban profesi
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujurjujurnya dari
pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
b. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanannya yang diberikan kepada
pasien.
c. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya.
d. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan
yang diberikannya.
e. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien ataupun keluarganya.
Selain Hak-hak dokter diatas, dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ia
laksanakan sesuai dengan tanggung jawab profesionalis. Jika diperhatikan Kode Etik
Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 1983, di dalamnya terkandung beberapa kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi:
a) Kewajiban umum
b) Kewajiban terhadap penderita
c) Kewajiban terhadap teman sejawatnya
d) Kewajiban terhadap diri sendiri.
Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Harmien Hadiati
Koeswaji dalam bukunya Dr Bahder Johan mengatakan bahwa secara pokok kewajiban
dokter dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki secara
adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjanjikan menghasilkan satu hasil
tertentu, karena apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh
mungkin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dokter wajib
berusaha dengan hati-hati dan kesungguhan menjalankan tugasnya.
2. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi dan bukan
dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila
pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya.
3. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dokter ini dalam hal
perjanjian perawatan menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan kewajiban
pasien.
Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 51, kewajiban dokter dalam
melaksanakan praktek kedokteran :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien
b. merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih
baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien tersebut meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi
Sepanjang diketahui di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, penulis hanya dapat menemui dua buah pasal yang berkaitan dengan kewajiban
dokter, yakni Pasal 50 dan Pasal 53 ayat (2). Pasal 50 menyatakan bahwa tenaga Kesehatan
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang
keahlian atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Dari perumusan pasal
tersebut dapat diketahui adanya kewajiban dokter sebagai salah satu unsur tenaga Kesehatan
untuk bekerja atau melakukan kegiatan kesehatan yang sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya saja. Pasal 53 ayat (2) menyebutkan tenaga kesehatan dalam melaksanakan
tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan mematuhi hak pasien. Artinya
bahwa standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
melaksanakan profesi secara baik. Tenaga Kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti
dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien.
Kode etik kedokteran mengandung tuntutan agar Dokter menjalankan profesinya
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Malahan tugas dokter tidak terbatas pada
pekerjaan kuratif dan preventif saja, karena dokter harus ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan
sosial dan kemanusiaan. Atas hal tersebut jika motivasi seseorang dokter dalam bekerja
karena uang dan kedudukan, dokter tersebut dapat digolongkan dalam motivasi rendah. Jika
dokter cenderung untuk bekerja sedikit dengan hasil banyak, dokter tersebut akan tergelincir
untuk melanggar kode etik dan sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya berdasarkan pada
keinginan untuk memenuhi prestasi, tanggung jawab dan tantangan dari tugas itu sendiri,
akan mudah baginya untuk menghayati dan mengamalkan kode etik dan sumpahnya.
Disamping itu dia senantiasa akan melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi, serta
meningkatkan ketrampilannya sehingga kemampuan untuk melaksanakan tugasnya tidak
perlu disangsikan lagi.

LO 4. Memahami dan menjelaskan malpraktek menurut sudut pandang islam

Bentuk-bentuk malpraktek

Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggungjawab secara profesi bisa


digolongkan sebagai berikut:

1. Tidak punya keahlian ( jahil ).


Yang dimaksudkan disini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki
keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki
sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di
bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek disinggung oleh Nabi -shallallah
'alaihi wasallam- dalam sabda beliau:

“Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggungjawab”

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang,
sehingga paru ulama sepakat bahwa pelakunya ( mutathabbib) harus bertanggungjawab jika
timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.

2. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah ( mukhalafatul ushul al-'ilmiyyah).

Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku
dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh
dokter saat menjalani profesi kedokteran. 

Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan
tidak menyalahinya.Imam asy-Syafi'i –misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang
untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua
meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan
biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia
tidak bertanggungjawab. Sebaliknya jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia
bertanggungjawab." Bahkan hal ini adalah kesepakatan para ulama semuanya, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnul Qayyim.

Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran
prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang
pelik.

3. Ketidaksengajaan ( khatha' ).

Ketidaksengajaan adalah sesuatu yang orang tidak punya maksud di dalamnya.Misalnya


tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap
akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena
ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).

4. Sengaja menimbulkan bahaya ( I'tida' ).

Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja.Ini adalah bentuk malpraktek yang
paling buruk.Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini,
sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi
ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati
orang.Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin
juga mengetahui kesengajaan ini melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya
malpraktek yang sangat jelas.Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan
pasien atau keluarganya. 

Pembuktian malpraktek

Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan.Demikian pula, tuduhan


malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari
pelakunya.Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam.Jika tuduhan
langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka
meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat
manusia.Sebaliknya jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang
terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.

Seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut: 

1. Pengakuan pelaku malpraktek ( iqrar ).

Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia
lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.

2. Kesaksian ( syahadah ).

Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang
adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang
tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat
wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kepantasan saksi, hendaknya
hakim juga memperhatikan ada tidaknya tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan
malpraktek dari dirinya ). 

3. Catatan medis.

Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa
menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

Bentuk tanggung jawab malpraktek

Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul
pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qishash.

Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja


menimbulkan bahaya ( I'tida' ), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya,
dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya.
Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-
Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja."

2. Dhaman (tanggung jawab materiil berupa ganti rugi atau diyat).

Bentuk tanggungjawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:

a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan
tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan
tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin
dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

3. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zir berlaku untuk dua
bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan
tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.

b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.


Daftar Pustaka

 Chadha,P.Vijay.1995.Ilmu Forensik dan Toksikologi.Jakarta:Widya Medika Indonesia.


 Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC
.1998
 National Cancer Institute. A Guide to Understanding Informed Consent. Available
at:www.cancer.gov/ClinicalTrials
 World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing
Countries, 2006
 http://eprints.undip.ac.id/44650/3/Hamim_Tohari_22010110110013_Bab2KTI.pdf
 http://rekamkesehatan.wordpress.com/2009/02/25/definisi-dan-isi-rekam-medis-sesuai-
permenkes-no-269menkesperiii2008/
 http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent

Anda mungkin juga menyukai