Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ETIKOMEDIKOLEGAL PENANGANAN GAWAT DARURAT

Disusun oleh:
Nur Afifah Thohiroh 22010118220204 FK UNDIP
Fathiya Khansa Dianti 22010118220145 FK UNDIP
Anita Carolina 22010118220213 FK UNDIP
Prasityvia Bakti Pratama 22010118220105 FK UNDIP
Racmat Aminullah 1710221081 FK UPN
M. Agung Setiawan 1710221083 FK UPN
Khoirunnisa Adawiyah 1710221082 FK UPN

Dosen Penguji : dr. Ratna Relawati, Sp.FM, M.Si,Med


Residen Pembimbing : dr. Hendrik S. dan dr. Nurul Ummi Rofiah

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RUMAH SAKIT UMUM DOKTER KARIADI SEMARANG
PERIODE 15 APRIL – 11 MEI 2019
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui oleh dosen pembimbing, referat dari:

Nama/NIM:
Nur Afifah Thohiroh 22010118220204 FK UNDIP
Fathiya Khansa Dianti 22010118220145 FK UNDIP
Anita Carolina 22010118220213 FK UNDIP
Prasityvia Bakti Pratama 22010118220105 FK UNDIP
Racmat Aminullah 1710221081 FK UPN
M. Bagus Setiawan 1710221083 FK UPN
Khoirunnisa Adawiyah 1710221082 FK UPN

Fakultas : Kedokteran Umum


Universitas :Universitas Diponegoro, Universitas Pembangunan
Nasional
Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik
Judul : Etikomedikolegal Penanganan Gawat Darurat
Dosen Pembimbing : dr. Ratna Relawati, Sp.FM, M.Si,Med
Residen Pembimbing : dr. Hendrik S. dan dr. Nurul Ummi Rofiah

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Semarang, Mei 2019


Dokter Penguji,

dr. Ratna Relawati, Sp.FM, M.Si,Med

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada TuhanYang Maha Esa yang telah memberikan segala
nikmat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang
berjudul “Etikomedikolegal Penanganan Gawat Darurat”. Adapun penulisan
referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Rumah Sakit Umum Pusat
Dokter Kariadi, Semarang.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepapda dr . Hendrik
S. dan dr. Nurul Ummi Rofiah selaku residen pembimbing dan dr. Ratna Relawati,
Sp.KF, M.Si,Med selaku dosen penguji yang telah membantu dan memberiksan
bimbingan dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis
ucapkan kepada semua pihak yang turut serta membantu penyusunan referat ini
yang tidak mungkin diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak.
Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam
referat ini, penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif bagi perbaikan referat ini. Terima kasih.

Semarang, Mei 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ………………………………………………………. 2


Kata Pengantar ……………………………………………………………. 3
Daftar Isi…………………………………………………………………… 4
BAB I. Pendahuluan……………………………………………………….. 5
1.1 Latar Belakang……………………………………………………... 5
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………..........5
1.3 Tujuan……………………………………………………… ………6
1.3.1 Tujuan Umum……………………………………………………… 6
1.3.2 Tujuan Khusus…………………………………………………....... 6
BAB II. Tinjauan Pustaka………………………………………………….. 8
2.1 Pengertian Gawat Darurat………………………………………......8
2.2 Wewenang Pelayanan Gawat Darurat………….………………….. 9
2.3 Hubungan Dokter – Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat………. 11
2.4 Peraturan UU Pelayananan Gwat Darurat………………………… 12
2.5 Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat…..………....…15
2.6 Alur Pelayanan Gawat Darurat……………..……………………... 16
2.7 Tim Reaksi Cepat dan Code Blue………………………………….. 17
2.8 Kematian di IGD…………………………………………………... 19
2.9 Pembiayaan Pelayanan Gawat Darurat era BPJS…………………. 20
2.10 Aspek bioetika dalam keadaan gawat darurat………………………….21
BAB III. Penutup…………………………………………………………. 26
3.1 Kesimpulan………………………………………………………… 26
3.2 Saran……………………………………………………………….. 26
Daftar Pustaka…………………………………………………………28

BAB I

4
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aspek Medikolegal dalam dunia kedokteran merupakan hal yang penting
dipahami oleh dokter pada praktiknya sehari-hari. Dalam praktik kedokteran, kita
sebagai tenaga medis akan berhadapan dengan segala macam keadaan termasuk
kondisi yang bersifat kegawatdaruratan. Selain itu di kehidupan medis terutama
dalam praktik kedokteran terdapat beberapa aspek seperti etik profesi, disiplin
profesi dan aspek hukum yang sangat luas, dimana beberapa hal-hal tersebut
sering tumpang-tindih pada keadaan tertentu, seperti pada informed consent, wajib
simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dan hal lainnya24.
Gawat darurat adalah kondisi klinik yang memerlukan pelayanan ekstensif
segera dengan rawat inap di rumah sakit dan memerlukan pemeriksaan diagnostik
atau observasi, yang setelahnya mungkin memerlukan atau mungkin tidak
memerlukan rawat inap (The American Hospital Association). Keadaan ini dapat
timbul pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja yang disebabkan oleh
penyakit mendadak atau kecelakaan, bencana alam atau karena peperangan.
Sehingga membutuhkan penanganan segera yang cepat, tepat, bermutu dan
terjangkau22. Menurut UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Gawat
Darurat adalah klinis Pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Permenkes no. 19
tahun tahun 2016 Pelayanan Gawat Darurat adalah tindakan medis yang
dibutuhkan oleh Korban/Pasien Gawat Darurat dalam waktu segera untuk
menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan.
Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan
hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadaan gawat darurat)
maka hubungan dokter dan pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak,
yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai
bantuannya (didapati azas voluntarisme)23. Dalam kondisi non gawat darurat,
pasien berhak untuk melakukan informed consent untuk mendapatkan persetujuan
terhadap apa yang akan dilakukan terhadap dirinya. Akan tetapi, sering kali
ditemui di lapangan, pasien dalam kondisi gawat darurat dan mengalami

5
penurunan kesadaran sehingga sangat tidak mungkin untuk dilakukan informed
consent22. Berdasarkan pasal 45 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak
diperlukan persetujuan tindakan medis (informed consent).
Namun dalam kasus-kasus pasien di IGD banyak pengecualiaan pada
prinsip-prinsip hukum kesehatan terkait dengan aspek medikolegalnya. Dengan
kata lain, Pelayanan Gawat Darurat mempunyai aspek khusus karena
mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang dan penanganannya yang cepat
dan tepat. Oleh karena itu dari segi hukum kesehatan terdapat beberapa
pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa. Dengan demikian, saling
terkaitnya etika, disiplin dan hukum dalam menjalankan praktik kedokteran
sehari-hari, maka penting sekali mengetahui tentang “Etikomedikolegal pada
penanganan kegawatdaruratan”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada pembuatan referat ini adalah
a. Apakah definisi dari gawat darurat?
b. Bagaimana hubungan dokter terhadap pasien dalam keadaan gawat
darurat?
c. Apa saja peraturan perundang-undangan yang berkaitan dalam pelayanan
gawat darurat?
d. Bagaimana hukum dalam pelayanan gawat darurat?
e. Bagaimana alur gawat darurat?
f. Bagaimana peranan tim code blue?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari referat ini adalah mengetahui aspek medikolegal pada
kegawatdaruratan medis.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari referat ini adalah
a. Untuk mengetahui definisi dari gawat darurat.
b. Untuk mengetahui hubungan dokter terhadap pasien dalam keadaan gawat
darurat.
c. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang berkaitan dalam

6
pelayanan gawat darurat.

d. Untuk mengetahui hukum dalam pelayanan gawat darurat.


e. Untuk mengetahui alur gawat darurat.
f. Untuk mengetahui peranan tim code blue.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

7
2.1 Pengertian
a. Kegawat daruratan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadaan sukar (sulit) yang tidak
tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan
penanggulangan segera).1
Menurut UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Gawat Darurat
adalah klinis Pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Memberikan
pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanan2
b. Kode Etik Kedokteran
Seperangkat (tertulis) tentang peraturan-peraturan etika yang memuat amar
(apa yang dibolehkan) dan larangan (apa yang harus dihindari) sebagai pedoman
pragmatis bagi dokter dalam menjalankan profesinya.3
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan
suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan
serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau
menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan
prioritas penanganannya (Kathleen dkk, 2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan
tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan
prioritas penanganan dan sumber daya yang ada. Triage adalah suatu sistem
pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi
klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan
dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan
memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.

8
c. Tidak gawat tidak darurat adalah Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak
memerlukan tindakan gawat. Gejala dan tanda klinis ringan / asimptomatis.
Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainya.
d. Tidak gawat namun darurat adalah keadaan yang tidak mengancam nyawa
tetapi memerlukan tindakan darurat. Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC
dan dapat langsung diberikan terapi definitive. Untuk tindak lanjut dapat ke
poliklinik, misalnya laserasi, fraktur minor / tertutup, sistitis, otitis media dan
lainnya.
e. Gawat dan darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan
oleh gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / pernafasan,
Circulation / sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal /
cacat. (Wijaya, 2010)
f. Gawat namun tidak darurat adalah keadaan mengancam nyawa tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Setelah dilakukan diresusitasi maka
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis. Misalnya ; pasien kanker tahap lanjut,
fraktur, sickle cell dan lainnya.
Pada tahap ini, pasien digolongkan ke dalam 5 kelompok warna.
 Hijau : menunjukkan keadaan tidak gawat dan tidak darurat
 Kuning : menunjukkan keadaan tidak gawat namun darurat
 Merah : menunjukkan keadaan gawat dan darurat
 Putih : menunjukkan keadaan gawat namun tidak darurat
 Hitam : menunjukkan keadaan pasien meninggal dunia.

2.2 Wewenang Pelayanan Gawat Darurat


Pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang
cepat dan tepat untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan
gawat darurat sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat
menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan
penanganan yang tepat. Oleh karena itu, pemerintah membagi wewenang
pelayanan sebagai berikut4 :
1. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level IV sebagai standar minimal
untuk Rumah Sakit Kelas A.
2. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar minimal
untuk Rumah Sakit Kelas B.

9
3. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar minimal
untuk Rumah Sakit Kelas C.
4. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai standar minimal untuk
Rumah Sakit Kelas D.

Tabel 1P di instalasi gawat darurat.8

Tabel Jenis Pelayanan Penanganan Kegawatdaruratan4

Tabel 2. Sumber daya manusia di instalasi gawat darurat.8

10
Level
Kualifikasi Level IV Level III Level II Level I
Tenaga
Dokter Semua - - -
Subspesialis jenis on
call
Dokter Spesialis  4 besar + Bedah, Bedah, -
anestesi obgyn, anak, obgyn,
on site. penyakit anak,
 Dokter dalam on site penyakit
spesialis (dokter dalam on
lain spesialis lain
on call.
call. on call).
Dokter PPDS On site 24 On site 24 - -
jam. jam (Rumah
Sakit
pendidikan).
Dokter Umum On site 24 On site 24 On site 24 On site 24
(+ pelatihan jam. jam. jam. jam.
kegawatdaruratan)
GELS, ATLS,
ACLS, dll
Perawat Kepala Jam Jam kerja/di Jam kerja. Jam kerja.
S1, D-3 kerja/di luar jam
(+ pelatihan luar jam kerja.
kegawatdaruratan) kerja.
Emergency
Nursing, BTLS,
BCLS, dll
Perawat On site 24 On site 24 On site 24 On site 24
(+ pelatihan jam. jam. jam. jam.
Emergency
Nursing)
Non Medis Bagian On site 24 On site 24 On site 24 On site 24
Keuangan Kamtib jam. jam. jam. jam.
(24 jam), Pekarya
(24jam)

2.3 Hubungan Dokter - Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat


Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan
hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat) maka
hubungan dokter – pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu
pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya
(didapati azas voluntarisme). Demikian pula dalam kunjungan berikutnya,

11
kewajiban yang timbul pada dokter berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi
sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam keadaan darurat tidak didasari atas
azas voluntarisme. Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam
keadaan darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak
lain yang melanjutkan pertolongan itu atau korban tidak memerlukan pertolongan
lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihak penolong
dapat digugat karena dianggap mencampuri/ menghalangi kesempatan korban
untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance).5
Menurut KODEKI 2012 pasal 13 menyatakan bahwa “Setiap dokter wajib
melakukan pertolongan darurat, sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila
ia yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.” Seorang
dokter wajib menangani pasien yang ada dalam keadaan gawat darurat sebagai
bentuk tugas kemanusiaan yang dilakukan sesuai dengan standar dan prosedur
yang berlaku. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
dan atau mencegah kecacatan tidak diperlukan Persetujuan Tindakan Kedokteran
atau inform consent. Dokter bisa memberikan penjelasan atas tindakan yang
dilakukan kepada pasien ketika pasien sudah sadar. Sedangkan pada keadaan
dimana pasien didampingi oleh keluarga terdekat, maka persetujuan harus
dimintakan kepada keluarga terdekat (next of kin) dengan urutan sebagai berikut :
suami/isteri yang sah, anak kandung, ayah atau ibu kandung, saudara kandung
atau pengampunya. Demikian juga halnya dalam hal tindakan kedokteran harus
dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik itu untuk
kepentingan masyarakat banyak, maka Persetujuan Tindakan Kedokteran tidak
diperlukan.13
2.4 Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan
Gawat Darurat
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat
darurat adalah :
1. Undang undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat Inap, Rawat Jalan dan Rawat Darurat. Ini membuktikan bahwa

12
rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien
atau penderita dengan arti kata setiap rumah sakit wajib memiliki sarana,
pra sarana dan SDM dalam pengelolaan pelayanan gawat darurat, ini
membuktikan adanya kepastian hukum dalam pelayanan gawat darurat di
rumah sakit.2,6
2. Undang undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 32 Ayat (1)
Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah
maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
Ayat (2) Dalam keadaan darurat Fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang
muka.7
3. Pasal 13 Kode Etik Kedokteran tentang Pertolongan Darurat. Dalam
pasal tersebut disebutkan “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan
darurat sebagai tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bersedia dan lebih mampu memberikannya.3,8,9
4. Pasal 32 tentang kewajiban RS dalam menangani pasien dawat darurat.
Dalam pasal tersebut disebutkan “(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib
memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu.” Dan “ (2) Dalam keadaan
darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta
dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
5. Pasal 58 tentang sanksi terhadap RS maupun tenaga kesehatan yang tidak
menangani pasien gawat darurat. Dalam pasal tersebut disebutkan “(1)
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
Kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya.” Dan “ (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang
dalam keadaan darurat”
6. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat Ketentuan

13
tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah diatur dalam
pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang
dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan.10,11
7. UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan
gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan
tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh
derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur
bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang
merata dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang
terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula
pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat (swasta). Rumah sakit di Indonesia memiliki
kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam
sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan
gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan.12
8. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di
mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. 10
9. Pasal 344 KUHP berkaitan dengan euthanasia aktif maupun pasif di
Indonesia. Perkembangan Euthanasia di Indonesia dianggap sebagai
suatu bentuk tindak pidana, karena merupakan salah satu bentuk
kejahatan terhadap nyawa. Indonesia sebagai negara berasaskan
Pancasila, dengan sila pertamanya “ketuhanan yang maha esa” tidak
mungkin menerima tindakan Euthanasia baik Euthanasia aktif maupun
Euthanasia pasif.

2.5 Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat


Di Amerika Serikat dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam
peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin
tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi
pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan
gawat darurat.5,13 Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter

14
atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama
doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah: 5,14
1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada
harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi
dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir
pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari
tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad
baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah
keterampilan penolong.

Dalam hal pertanggung jawaban hukum, bila pihak pasien menggugat


tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis
atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya
kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). 5
Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu
dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. 13 Jadi,
tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga
kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama
pula.5
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan pasal 53 ayat 212 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus
segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak
didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989). 10
2.6 Alur pelayanan Gawat Darurat
Dalam kondisi gawat darurat, diperlukan sebuah sistem informasi yang
terpadu dan handal untuk bisa digunakan sebagai rujukan bagi penanganan gawat
darurat, maka dikembangkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT).15

15
SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang
terdiri dari unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan
antar Rumah Sakit. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang menekankan
time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat
awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan
sistem komunikasi.15

Dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT),


masyarakat dapat menelpon call center 119 untuk mendapatkan layanan informasi
mengenai rumah sakit mana yang paling siap dalam memberikan layanan
kedaruratan, advis untuk pertolongan pertama dan menggerakan angkutan gawat
darurat ambulan rumah sakit untuk penjempu tan pasien. Petugas call centre
adalah dokter dan perawat yang mempunyai kompetensi gawat darurat. SPGDT
119 bertujuan memberikan pertolongan pertama kasus kegawatdaruratan medis,
memberikan bantuan rujukan ke Rumah Sakit yang tersedia, mengkoordinasikan
pelayanan informasi penanganan medis yang terjadi pada pasien sebelum
mendapatkan pelayanan medis di Rumah Sakit.15

Alur penanganan pada rumah sakit tersebut serupa dengan alur penanganan
di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi. Pada rumah sakit ini, pasien melalui
Triage dikelompokkan berdasarkan tingkat kegawatannya. Setelah itu pasien
dilakukan assessment keperawatan yang meliputi pemasangan gelang identitas
dan penilaian resiko jatuh. Kemudian pasien di-assessment medis oleh asisten
dokter. Disini pasien dijaga privasinya dengan cara menyekat antar pasien
menggunakan tirai dan diberikan selimut. Setelah asisten dokter melakukan
assessment, asisten mendokumentasikan lewat rekam medis, tak lupa melakukan
rekonsiliasi obat. Selanjutnya, asisten dokter melaporkan pasien ke dokter
penanggung jawab pasien (DPJP) yang kemudian akan diverifikasi oleh DPJP.
DPJP akan memberikan instruksi rencana pelayanan apakah pasien tersebut rawat
inap, pulang, membutuhkan perawatan khusus dalam waktu maksimal 2 jam.16

2.8 Tim Reaksi Cepat dan Code Blue


Code Blue adalah suatu kode / isyarat terjadinya kegawatdaruratan
pernapasan dan jantung yang harus segera direspon oleh Tim Medis Reaksi Cepat

16
Code blue. Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue adalah tim yang memiliki
kewenangan dan tugas memberikan pertolongan segera pada pasien, staf dan
semua orang yang berada di lingkungan rumah sakit yang dicurigai mengalami
kegawatdaruratan sebelum dan saat henti napas dan atau henti jantung ( pre arrest
dan arrest ).17
Tim Medis Reaksi Cepat Code blue terdiri dari
a. Dokter ruangan sebagai koordinator Tim
b. Perawat 1 yaitu Katim UGD sebagai anggota
c. Perawat 2 yaitu Katim ICU sebagai anggota
d. Perawat 3 yaitu perawat anestesi di ruang OK sebagai anggota
e. bila Katim di unit tersebut sedang melakukan tindakan emergenci di
unitnya, maka katim dapat menunjuk anggota sebagai penggantinya.
Prosedurnya sebagai berikut17
1. Orang pertama yang menemukan adanya orang dengan kecurigaan ancaman
gangguan napas dan sirkulasi segera melakukan tindakan sebagai berikut :
a. Memastikan diri, lingkungan dan korban aman
Cek respon korban, dengan cara memanggil, menepuk atau memberi
respon nyeri (dengan menekan kuku jari, mencubit daerah tengah dada)
b. Bila tidak ada respon atau respon tidak baik aktifkan code blue dengan
meneriakan kata ”code blue di area....(sebutkan tempat kejadian) atau
menghubungi nomer extensi 0 (operator)
c. Selanjutnya lakukan Bantuan Hidup Dasar sesuai protap resusitasi
jantung paru sampai bantuan Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue tiba
2. Petugas lain yang mendengar atau menerima permintaan mengaktifkan code
blue dengan menghubungi nomer extensi 0 (operator) dan menyampaikan
lokasi kejadian.
3. Operator memanggil Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue melalui pengeras
suara dan alat komunikasi lainnya ke seluruh ruangan, ”mohon perhatian
seluruh Tim, ada code blue di ....... (sebutkan area kejadian)” diulang 3 kali.
4. Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue datang ke lokasi kejadian dengan
membawa defibrilator dan Kit emergency oleh Katim UGD ( kecuali kejadian
di ruang ICU dan kamar operasi).
5. Penanganan dan tanggung jawab pasien diambil alih oleh Tim Medis Reaksi
Cepat Code Blue.

17
6. Setelah melakukan penanganan diputuskan untuk penanganan selanjutnya di
UGD/ICCU/ICU/ruang operasi/rumah sakit lain atau pasien dinyatakan
meninggal.

Gambar Alur Code Blue AHA 2015 17

2.8 Kematian pada Instalasi Gawat Darurat


Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD
(Death on Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-
Saxon digunakan sistem koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak

18
terduga (sudden unexpected death) apapun penyebabnya harus dilaporkan dan
ditangani oleh Coroner atau Medical Examiner. Pejabat tersebut menentukan
tindakan lebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk pemeriksaan lebih
lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan kematian (death
certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner. Pihak rumah sakit
harus menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah
(pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut. 5
Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner
diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak
POLRI yang akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter
yang bertugas di IGD tidak boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan
menyerahkan permasalahannya pada POLRI.5
Peraturan mengenai pelaporan kematian diatur dalam UU No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, dalam pasal tersebut disebutkan
“Setiap penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi
persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”
dan juga diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam
Negeri No. 15 Tahun 2010. Pihak yang berwewenang memberikan surat
keterangan kematian antara lain ; kepala rumah sakit, dokter, paramedis, kepala
desa/kelurahan, dan kepolisian.
Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat keterangan kematian
adalah:
- meninggal pada saat dibawa ke IGD
- meninggal akibat berbagai kekerasan
- meninggal akibat keracunan
- meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan
Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang
cara kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.5
2.9 Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat era BPJS
Peserta BPJS dapat dilayani di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun
fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang bekerjasama maupun yang tidak

19
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Pelayanan harus segera diberikan tanpa
diperlukan surat rujukan. Peserta yang mendapat pelayanan di Fasilitas Kesehatan
yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke Fasilitas
Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat
daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan. Pengecekan
validitas peserta maupun diagnosa penyakit yang termasuk dalam kriteria gawat
darurat menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan tidak
diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta.18

Gambar Alur Pelayanan Gawat Darurat Menggunakan BPJS.18

2.10 Aspek bioetika dalam keadaan gawat darurat


Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang
berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang
biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa
mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum
bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti abortus,

20
euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik,
membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup
kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan
kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula
terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-
masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak
hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi
juga memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan datang.
Kaidah kaidah bioetik merupakah sebuah hukum mutlak bagi seorang dokter.
Seorang dokter wajib mengamalkan prinsip prinsip yang ada dalam kaidah
tersebut, tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi
lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain.
Kondisi seperti ini disebut Prima Facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik
kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang sering
juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, yaitu:
 Beneficence
 Non - Maleficence
 Justice
 Autonomi
2.10.1 Beneficence
Dalam arti bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dokter tersebut harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam
kondisi sehat. Perlakuan terbaik kepada pasien merupakan poin utama dalam
kaidah ini. Kaidah beneficence menegaskan peran dokter untuk menyediakan
kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah positif untuk
memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk. Prinsip prinsip yang
terkandung didalam kaidah ini adalah;
 Mengutamakan Alturisme
 Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia

21
 Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
 Tidak ada pembatasan “goal based”
 Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan suatu keburukannya
 Paternalisme bertanggung jawab/kasih sayang
 Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
 Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
 Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti
yang orang lain inginkan
 Memberi suatu resep berkhasiat namun murah
 Mengembangkan profesi secara terus menerus
 Minimalisasi akibat buruk
Petugas kesehatan memiliki tugas pokok untuk memberi pelayanan yang
terbaik bagi pasien dengan cara mengobati atau mencegah penyakit atau
cedera . Dokter darurat segera tanggap akan penyakit akut dan cedera untuk
mencegah atau meminimalkan rasa sakit dan penderitaan, hilangnya fungsi,
dan hilangnya nyawa. Dalam mengejar tujuan ini, dokter darurat bertindak
untuk kepentingan pasien mereka. Penanganan darurat juga harus
menghormati prinsip kebaikan, oleh karena itu privasi pasien dan kerahasiaan
informasi pasien harus selalu dilindungi.
Dalam kehidupan sehari-hari, pelayanan terhadap pasien gawat darurat
harus dilaksanakan sesegera mungkin, mengingat jiwa pasien mungkin saja
gagal diselamatkan apabila penanganan terlambat. Apabila pasien tidak sadar
dan tidak disertai keluarganya, maka dokter berhak untuk memutuskan
tindakan medik yang akan diambil tanpa persetujuan siapapun, dan didasarkan
pada kebutuhan medis pasien.
2.10. 2 Non-maleficence

Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak


melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang
paling kecil resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya. Pernyataan

22
kuno First, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Non-malficence
mempunyai ciri-ciri:
 Menolong pasien emergensi
 Mengobati pasien yang luka
 Tidak membunuh pasien
 Tidak memandang pasien sebagai objek
 Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien
 Melindungi pasien dari serangan
 Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
 Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
 Menghindari misrepresentasi
 Memberikan semangat hidup
 Tidak melakukan white collar crime
2.10.3 Autonomi
Dalam kaidah ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia.
Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak
menentukan nasib sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara
logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomi bermaksud menghendaki,
menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien demi dirinya
sendiri. Kaidah Autonomi mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut:
 Menghargai hak menentukan nasib sendiri
 Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan
 Berterus terang menghargai privasi
 Menjaga rahasia pasien
 Menghargai rasionalitas pasien
 Melaksanakan Informed Consent
 Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
 Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
 Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan,
termasuk keluarga pasien sendiri

23
 Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
 Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikann pasien
 Mejaga hubungan atau kontrak
2.10.4 Justice
Keadilan atau justice adalah suatu prinsip dimana seorang
dokter wajib memberikan perlakuan sama rata serta adiluntuk kebahagiaan dan
kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik,
agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan
kewarganegaraan tidak boleh mengubah sikap dan pelayanan dokter terhadap
pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri :
 Memberlakukan segala sesuatu secara universal
 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
 Memberikan kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang
sama
 Menghargai hak sehat pasien
 Menghargai hak hukum pasien
 Menghargai hak orang lain
 Menjaga kelompok rentan
 Tidak membedakan pelayanan terhadap pasien atas dasar SARA, status
social, dan sebagainya
 Tidak melakukan penyalahgunaan
 Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien
 Meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya
 Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian secara adil
 Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan
kompeten
 Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah atau tepat
 Menghormati hak populasi yang sama sama rentan penyakit atau
gangguan kesehatan
 Bijak dalam makroalokasi

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gawat Darurat adalah keadaan klinis dimana pasien membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan
lebih lanjut. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai
dengan kemampuan pelayanan. Dalam pelaksanaan pelayanan pada kondisi
gawat darurat, dilakukan traise dimana dibagi menjadi 5 macam yaitu keadaan
tidak gawat dan tidak darurat, keadaan tidak gawat namun darurat, keadaan
gawat dan darurat, keadaan gawat namun tidak darurat, menunjukkan keadaan
pasien meninggal dunia.
Sebelum melakukan tindakan tenaga medis memerlukan inform consent
sebelum melakukan tindakan, namun dalam keadaan gawat darurat di mana
harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak
didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun menurut pasal 11
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989.

3.2 Saran
Dalam menjalankan praktik kedokteran, seluruh tenaga medis perlu lebih
memperhatikan aspek etikmedikolegal terkait profesi pelayanan kesehatan,
terutama pelayanan gawat darurat. Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek
khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu
dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian
yang berbeda dengan keadaan biasa.
Perlunya sosialisasi dan edukasi tentang informed consent kepada pasien
karena dalam pelayanan gawat darurat terkadang sebelum penanganan tidak
memerlukan inform consent, karena prinsip dari pelayanan gawat darurat adalah
menangani kegawatannya terlebih dahulu, agar tidak terjadi masalah dikemudian
hari.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Pembinaan, Tim Penyusun Kamus Pusat. "Kamus Besar Bahasa Indonesia


Online." Balai Pustaka. Depdikbud (2011). Diakses pada 10 Mei 2018.
https://kbbi.web.id/darurat
2. Suryadi, Taufik.2009.Prinsip-Prinsip Etika Dan Hukum Dalam Profesi
Kedokteran. Pertemuan Nasional V JBHKI Dan Workshop III Pendidikan
Bioetika Dan Medikolegal. Medan : Fk Unsyiah
3. Sunggu, A.C.O (2016). Perlindungan Hukum Bagi Dokter Pada Pelayanan
Kegawatdaruratan Di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. Jurnal Idea Hukum, 2(1).
4. Indonesia, Menteri Kesehatan Republik. "Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 856 Tahun 2009 Tentang Standart Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit." Jakarta: Berita Negara Republik
Indonesia (2009).
5. Herkuanto. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat. Majalah
Kedokteran Indonesia. 2007;40. 9.
6. Departemen Kesehatan, R. I. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
7. Departemen Kesehatan Ri (2009).Undang Undang. Republik Indonesi
Nomor 36. Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor, 144.
8. Kedokteran, M. K. E. (2002). Kode Etik Kedokteran Indonesia Dan
Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: IDI, 45.
9. Indonesia, I. D. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta:
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
10. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 Tentang Rumah Sakit
11. Undang-Undang No. 29/ Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
12. Undang-Undang No 23/1992 Tentang Kesehatan
13. Mancini Mr, Gale At. Emergency Care And The Law. Maryland: Aspen
Publication; 1991.
14. Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5.
15. Peraturan Menteri Kesehatan No.19/2016 Tentang Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu

26
16. Tim Penyusun. Pelayanan Gawat Darurat RS Kariadi. diakses tangga 15
Mei 2018. https://vimore.org/watch/DjE_b-j6GF4/pelayanan-pasien-
gawat-darurat-rsup-dr-kariadi/
17. Wardhani, Susilo. Pengelolaan Kasus Gawat Darurat Di Rumah Sakit Citra
Husada. Pangkalan Bun: 2008.
18. Yustisia, T. P. (2014). Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Kesehatan
Dari BPJS. Visimedia.
19. Pinto E Premdas. The Jurisprudence of Emergency Medical Care in
India:an Ethics Perspective. Indian Journal of Medical Ethics Vol II No 4
October-December 2017
20. Neal W Dickert, et al. Confronting Ethical and Regulatory Challenges of
Emergency Care Research With Conscious Patients. Annals of Emergency
Medicine Volume 67, no. 4 : April 2016
21. O’Dwyer Gisele, et al. The current scenario of emergency care policies in
Brazil. BMC Health Services Research. 2015. 13:70
22. Informed Consent pada Pasien dengan Kondisi Gawat Darurat, Jurnal Sain
Med, Vol. 6. No. 1 Juni 2014: 6–10
23. Jurnal Hukum Replik volume 5 No.2, September 2017
24. Sampurna B, Syamsu Z, Dwidja T. Pengantar bagi mahasiswa kedokteran
dan hukum: Bioetik dan hukum kedokteran.Edisi ke-2.Jakarta:2005

27

Anda mungkin juga menyukai