Anda di halaman 1dari 9

REFERAT

TULI KARENA OTOTOKSIK

Disusun Oleh :
Mohamad Naufal Yumansyah DK
1102011165

Konsulen Pembimbing
dr. Evi Handayani, Sp. THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi


Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT
RSUD dr. Drajat Prawiranegara Serang
Periode 20 Februari 2017 25 Maret 2017

1
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan
dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin
bertambah. Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga dalam dan mekanisme
pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan vestibular dan pendengaran.
Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau ireversibel. Dari hasil WHO Multi Center
Study pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi
ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3 negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar
(8,4%), dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah
angka cukup tinggi, yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil
Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksankan di
7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran akibat obat ototoksik
sebesar 0,3%.

Tinnitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.


Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat yang telah diketahui secara
umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran adalah golongan aminoglikosida, diuretik,
Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID), agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga
golongan aminoglikosida. Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas
kini sangat sering ditemukan oleh karena penggunaan obat-obatan ototoksis yang semakin
sering. Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan
menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan
penggunaan obat-obatan ototoksik. Dengan mengetahui jenis obat dan mekanisme
ototoksiknya, diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengurangi prevalensi ototoksisitas
di Indonesia.

Mekanisme Ototoksik

Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak struktur
dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur auditori dan/atau
vestibular telinga dalam.(Ballenger) Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik
akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan
yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :

2
1. Degenerasi stria vaskularis
2. Degenerasi sel epitel sensori
3. Degenerasi sel ganglion

Berikut uraian beberapa preparat ototoksik dan mekanisme ototoksiknya.

A. Aminoglikosida

Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas


terhadap koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat
terjadinya akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe
telinga dalam. Akumulasi terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi. Waktu
paruh aminoglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik daripada di dalam
plasma. Sebagian besar ototoksisitas bersifat ireversibel dan terjadi akibat destruksi
progresif sel-sel epitel sensorik. Aminoglikosida dilaporkan menimbulkan kehilangan
pendengaran pada 33% individu yang diterapi dengan obat ini.

Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti melalui
mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk kompleks
aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe
mengaktifkan substansi Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion
radical, hydrogen peroxide, hydroxyl radical, peroxynitrite anion. Substansi-substansi
tersebut mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan membuat
mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c menginisiasi
apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya sel-sel rambut pada organ
korti.

Dengan dosis yang meningkat serta pemajanan yang diperlama, kerusakan


berkembang dari dasar koklea, tempat suara berfrekuensi tinggi di proses, ke apeks,
tempat suara berfrekuensi rendah di proses. Aminoglikosida diduga juga mengganggu
sistem transpor aktif yang penting untuk mempertahankan kesetimbangan ion
pada endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan
diikuti dengan degenerasi saraf pendengaran yang memburuk, sehingga menyebabkan
hilangnya pendengaran secara ireversibel.

Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari organ korti dan sel
rambut vestibular tipe 1. Sel penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti tidak

3
terpengaruhi. Salah satu penyebab yang mungkin dari pernyataan sebelumnya adalah
kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu antioksidan endogen intraselular,
pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu terdapat
gradien level glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada apeks
koklea memiliki kadar glutathione yang lebih tinggi dari sel rambut luar di basis
koklea.

Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel


rambut sensorik yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat.
Penggunaan aminoglikosida secara berulang, yang dalam setiap pemakaiannya
menyebabkan hilangnya sel lebih banyak lagi, dapat menyebabkan ketulian. Oleh
karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya usia, pasien lanjut usia mungkin
lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat dan furosemid
meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba. Walaupun semua
aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula, beberapa
toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin terutama menimbulkan
efek pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama
mempengaruhi fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama
pada keduanya. Selain itu, 75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama
lebih dari 60 hari menunjukkan gejala nistagmus atau ketidakseimbangan postural.

Pasien yang menerima dosis tinggi dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang
sebaiknya dipantau. Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinitus nada
tinggi. Jika pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan pendengaran dapat terjadi
setelah beberapa hari. Suara mendenging ini dapat bertahan selama beberapa hari
hingga 2 minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena persepsi suara dalam rentang
frekuensi tinggi (di luar rentang pembicaraan normal) merupakan yang pertama
hilang, maka individu yang terganggu ini terkadang tidak sadar akan kesulitan ini, dan
tidak akan dapat terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan audiometri. Pasien
kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan pendengaran hingga pada suatu
saat mereka telah kehilangan 30 dB pada frekuensi 3000 Hz-4000 Hz. Monitoring
fungsi pendengaran penting pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal atau pada
pasie yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari dosis normal.
Pendekatan untuk memberikan perlindungan pada telinga akibat penggunaan
aminoglikosida (otoprotection) mencakup

4
(1)upstream protection menggunakan antioksidan, free-radical scavengers, metal
chelators

(2) downstream protection, seperti minoksiklin.

B. Eritromisin

Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang


pendengaran subjektif tinitus yang meniup dan kadang-kadang terjadi vertigo. Pernah
dilaporkan bahwa terjadi : tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah
pemberian intravena dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat
pulih setelah pengobatan dihentikan.

Antibiotik lain seperti Vankomisin, Viomisin, Capreomisin, Minosiklin dapat


mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi
ginjalnya.

C. Loop Diuretics

Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang disebut


loop diuretic karena dapat menghambat reabsorbsi elektrolit-elektrolit dan air pada
cabang naik darir lengkungan Henle. Walaupun diuretik tersebut hanya memberikan
sedikit efek samping tetapi menunjukkan derajat potensi ototoksisitas, terutama bila
diberikan kepada pasien dengan insufisiensi ginjal secara intravena. Biasanya
gangguan pendengaran yang terjadi ringan, tetapi pada kasus-kasus tertentu dapat
menyebabkan tuli permanen.

D. Obat Anti Inflamasi

Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas
adalah obat-obat anti inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-
antipiretik, anti-inflamasi, dan pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui
menghambat metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, ternyata
NSAID juga menghambat derivat non-prostaglandin. NSAID merupakan molekul
anion lipofilik, dan bila pH semakin rendah (daerah inflamasi biasanya pH asam)
maka semakin besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara umum

5
menghambat translokasi anion melewati membran sel, yang berkontribusi pada
munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat meenghambat protein membran
(prestin) dari sel rambut luar koklea memfasilitasi elektromotilitas melalui translokasi
transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga mempengaruhi daya
choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien yang sebelumnya telah
diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea yang normal. Hal ini
menyatakan bahwa efek ototoksisitas obat ini adalah reversibel. Konsentrasi serum
asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan dengan kehilangan pendengaran > 30 dB.
Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi dan
tinitus. Namun apabila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih
kembali dan tinitus menghilang.

E. Obat Anti Malaria

Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.1
Pemberian klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (> 250
mg) untuk mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan
ototoksisitas. Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral, misalnya
pada malaria serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran dan tinitus.
Namun bila pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih kembali dan tinitus
hilang. Klorokuin dan kina dapat melalui plasenta sehingga dapat terjadi tuli
kongenital dan hipoplasia koklea.1 Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan
pendengaran bila digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis
tinggi. Dosis oral kuinin yang fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII
menimbulkan tinitus, berkurangnya ketajaman pendengaran, dan vertigo.

F. Obat Anti Tumor

Gejala yang ditimbulkan CIS platinum, sebagai ototoksisitas adalah tuli


subjektif, tinitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan
keseimbangan. Tuli biasanya bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz dan 8
KHz, kemudian terkena frekuensi yang lebih rendah. Kurang pendengaran biasanya
mengakibatkan menurunnya hasil speech discrimination score. Tinitus biasanya

6
samar-samar. Bila tuli ringan pada penghentian pengobatan pendengaran akan pulih,
tetapi bila tulinya berat biasanya akan bersifat menetap.

G. Obat Tetes Telinga

Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotik golongan aminoglikosida


seperti: Neomisin dan Polimiksin B. Terjadinya ketulian karena obat terseut dapat
menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun membran
tersebut pada manusia lebih tebal 3 kali dibandingkan monyet besar, tetapi dari hasil
penelitian masih dapat ditembus obat-obatan tersebut. Sebetulnya obat tetes telinga
yang mengandung antibiotik aminoglikosida diperuntukkan untuk infeksi telinga luar.

Gejala

Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.


Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar
antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yang menetap, tinitus lama kelamaan tidak
begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.

Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit setelah
penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli
sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya disertai tinitus ringan.
Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan
kina serta tuli akut yang disebabkan oleh loop diuretic dapat pulih kembali dengan
menghentikan pengobatan segera. Tuli ringan juga pernah dilaporkan sebagai akibat
aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya sebagian yang pulih kembali. Kurang
pendengaran yang disebabkan oleh pemberian antibiotika biasanya terjadi setelah 3 atau 4
hari.

Tuli akibat ototoksik dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah pengobatan


selesai. Biasanya tuli bersifat bilateral. Kurang pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik
bersifat sensorineural. Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang

7
tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangka diuretik menghsilkan gambaran
audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Selain itu tidak jarang terdapat pula
gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan
posisi.

Penatalaksanaan

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada waktu
pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam setelah dilakukan
pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera
dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan
lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal, renal,
serta sifat obat itu sendiri juga mempengaruhi kemunculan gejala ototoksik.

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain denga
alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar
membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan
pemasangan implan koklea.

Pencegahan

Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan
menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan
penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara
dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam seperti tinitus,
kurang pendengaran, dan vertigo.Pada pasien yang telah menunjukkan gejala-gejala tersebut
harus dilakukan evaluasi audiologi dan menghentikan pengobatan.

Prognosis

Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan, serta
kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu baik malah mungkin buruk.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan pendengaran


akibat obat ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI,
2012, h. 46 - 49.
2. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall buku
ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007, h.688-689.
3. Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller
D. Drug-induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010, h.1049-1054

Anda mungkin juga menyukai