Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan

kedokteran, dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar obat-

obatan ototoksik makin bertambah. Obat-obatan dan zat kimia dapat

mempengaruhi telinga dalam dan mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang

muncul adalah gangguan vestibular dan pendengaran. Efek yang timbul dapat

bersifat reversibel atau ireversibel.

Dari hasil WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk

4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3

negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%).

Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi,

yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei

Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang

dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan

pendengaran akibat obat ototoksik sebesar 0,3%.

Tinnitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama

ototoksisitas. Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat

yang telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran

adalah golongan aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs

(NSAID), agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan aminoglikosida.


Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas kini sangat sering

ditemukan oleh karena penggunaan obat-obatan ototoksis yang semakin sering.

Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka

pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk

mempertimbangkan penggunaan obat-obatan ototoksik. Dengan mengetahui jenis

obat dan mekanisme ototoksiknya, diharapkan menjadi salah satu cara untuk

mengurangi prevalensi ototoksisitas di Indonesia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Ototoksisitas adalah kerusakan koklea atau saraf pendengaran dan organvestibuler

yang berfungsi mengirimkan informasi keseimbangan dan pendengaran dari

labirin ke otak yang disebabkan oleh zat-zat kimia atau toxin (obat-obatan).

Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang terjadi karena

efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang terjadi pada

pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli sensoryneural. Yang dapat

bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau tidak dapat diubah dan permanen.

2. Anatomi

Bagian utama telinga dalam terdiri dari dua yaitu koklea (rumah siput)yang

merupakan dua setengah lingkaran yang berfungsi sebagai organ pendengaran dan

vestibulum yang terdiri dari tiga buah kanalis semirkularis.

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skalatimpani di

sebelah bawah dan skala media diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani

berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang

terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibulidisebut

membran vestibuli sedangkan dasar skala media adalah membran basalis.


Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang

berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran basal melekat

sel-sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti

yang menbentuk organ corti.

3. Mekanisme

Mekanisme dari tuli akibat ototoksik masih belum begitu jelas.

Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apical, yang

diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan
pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-

pasien tertentu tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit

mencapai derajat ringan sedang ( >30 dB hearing level ) pada frekuensi

percakapan. Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan

obat dengan glikosaminoglikan stria vaskularis, yang menyebabkan perubahan

strial dan perubahan sekunder sel-sel rambut. Antibiotik ototoksik menyebabkan

hilangnya pendengaran dengan mengubah proses-proses biokimia yang penting

yang menyebabkan penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa

menyebabkan kematian sel secara tiba-tiba.

Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya sel-

sel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis,

limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea dan vestibuler. Kerusakan vestibuler

juga merupakan efek yang merugikan dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya

menunjukkan nistagmus posisional. Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler

dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan

oleh kerusakan sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan sistem okuler

untuk menjaga horizon yang stabil.

Mekanisme Ototoksik

Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan

terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadi

perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang

ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain adalah :


1. Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada pengguna semua

jenis obat ototoksik.

2. Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan

labirin vestibular, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel rambut luar

lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi

di mulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian

apeks.

3. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi

dari sel epitel sensori.

4. Jenis-jenis obat ototoksik

A. Aminoglikosida

Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas

terhadap koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat

terjadinya akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe

telinga dalam. Akumulasi terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi.

Waktu paruh aminoglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik daripada di

dalam plasma. Sebagian besar ototoksisitas bersifat ireversibel dan terjadi akibat

destruksi progresif sel-sel epitel sensorik. Aminoglikosida dilaporkan

menimbulkan kehilangan pendengaran pada 33% individu yang diterapi dengan

obat ini.
Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti melalui

mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk kompleks

aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe

mengaktifkan substansi Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion

radical, hydrogen peroxide, hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-

substansi tersebut mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan

membuat mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c

menginisiasi apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya sel-sel

rambut pada organ korti.

Dengan dosis yang meningkat serta pemajanan yang diperlama, kerusakan

berkembang dari dasar koklea, tempat suara berfrekuensi tinggi di proses, ke

apeks, tempat suara berfrekuensi rendah di proses. Aminoglikosida diduga juga

mengganggu sistem transpor aktif yang penting untuk mempertahankan

kesetimbangan ion pada endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan

terjadi. Hal ini akan diikuti dengan degenerasi saraf pendengaran yang memburuk,

sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran secara ireversibel.

Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari ordan korti dan

sel rambut vestibular tipe 1. Sel penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti

tidak terpengaruhi. Salah satu penyebab yang mungkin dari pernyataan

sebelumnya adalah kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu antioksidan

endogen intraselular, pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya.

Selain itu terdapat gradien level glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel
rambut luar pada apeks koklea memiliki kadar glutathione yang lebih tinggi dari

sel rambut luar di basis koklea.

Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel

rambut sensorik yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat.

Penggunaan aminoglikosida secara berulang, yang dalam setiap pemakaiannya

menyebabkan hilangnya sel lebih banyak lagi dan dapat menyebabkan ketulian.

Oleh karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya usia, pasien lanjut usia

mungkin lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat dan

furosemid meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba.

Walaupun semua aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun

vestibula, beberapa toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin

terutama menimbulkan efek pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan

neomisin terutama mempengaruhi fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan

pengaruh yang sama pada keduanya. Selain itu, 75% pasien yang menerima 2

gram streptomisin selama lebih dari 60 hari menunjukkan gejala nistagmus atau

ketidakseimbangan postural. Pasien yang menerima dosis tinggi dan/atau

pemakaian amioglikosida jangka panjang sebaiknya dipantau.

Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinitus nada tinggi. Jika

pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan pendengaran dapat terjadi setelah

beberapa hari. Suara mendenging ini dapat bertahan selama beberapa hari hingga

2 minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena persepsi suara dalam rentang

frekuensi tinggi (di luar rentang pembicaraan normal) merupakan yang pertama
hilang, maka individu yang terganggu ini terkadang tidak sadar akan kesulitan ini,

dan tidak akan dapat terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan audiometri.

Pasien kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan pendengaran

hingga pada suatu saat mereka telah kehilangan 30 dB pada frekuensi 3000 Hz-

4000 Hz. Monitoring fungsi pendengaran penting pada pasien yang mengalami

insufisiensi ginjal atau pada pasie yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih

tinggi dari dosis normal.(Balenger)

Pendekatan untuk memberikan perlindungan pada telinga akibat

penggunaan aminoglikosida (otoprotection) mencakup (1) upstream protection

menggunakan antioksidan, free-radical scavengers, metal chelators ; (2)

downstream protection, seperti minoksiklin.

B. Eritromisin

Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya bersifat

bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap

mikroorganisme yang sangat rentan. Laporan ototoksisitas eritromisin pertama

kali dilaporka pada tahun 1972. Gangguan pendengaran sementara merupakan

komplikasi yang mungkin timbul dalam pengobatan menggunakan eritromisin.

Hal ini teramati setelah pemberian intravena eritromisin gluseptat atau laktobionat

dosis tinggi ( 4 gr/hari) atau konsumsi oral eritromisin estolat dosis tinggi.
Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin belum sepenuhnya dimengerti

dan lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui. Beberapa peneliti menyatakan

kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada akhirnya mengganggu

potensial ionik. Peneliti lain menyatakan obat ini mempengaruhi jaras

pendengaran sentral. Faktor resiko untuk terjadinya ototoksisitas eritromisisin

adalah pasien dengan gangguan renal, hepar, dan lanjut usia.

Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang

pendengaran, tinitus subjektif, dan terkadang vertigo. Pernah dilaporkan bahwa

terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian IV

dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah

pengobatan dihentikan. Antibiotika lain seperti Vankomisin, Viomisin,

Minoksiklin dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang

terganggu fungsi ginjalnya.

C. Loop Diuretics

Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang memblok

pompa Na+-K+-2Cl—di bagian asenden tebal ansa Henle, sehingga diuretikini

disebut juga sebagai diuretik loop. Ketiga obat yang tersebut di atas adalah obat

yang paling ototoksik dari golongan diuretik loop. Diuretik digunakan untuk

memodifikasi komposisi dan/atau volume dari cairan tubuh untuk menangani

kondisi seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis dan

sindrom nefrotik. Diuretik loop bekerja pada bagian asending loop of Henle

ginjal. Target kerja dari obat ini adalah protein soldium-potassium-2 chloride
(Na+-K+-2 Cl-) cotransporters. Protein ini ternyata banyak ditemukan pada sel

epitelial dan non-epitelial dan juga terlokalisasi pada stria vaskularis koklea.

Inhibisi dari kerja protein ko-transporter tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari

sel marginal ke ruang intrastrial sehingga menimbulkan edema pada ruang

intrastrial dan juga pada sel penyusun stria vaskularis. Kondisi ini akan

mempengaruhi potensial endokoklea, yang penting untuk mempertahankan

potensial sel rambut dalam batasan yang normal. Akan terjadi penurunan

potensial positif endolimfe. Furosemid dilaporkan memiliki efek langsung pada

motilitas sel rambut luar ( outer hair cell) yang akan menimbulkan disfungsi

sensori.

Diuretik loop dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus, gangguan

pendengaran, ketulian, vertigo, dan rasa penuh pada telinga. Gangguan

pendengaran dan ketulian biasanya bersifat reversibel, tetapi tidak selalu.

Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian intravena secara cepat dan

sangat jarang terjadi pada penggunaan oral, terlebih lagi bila diberikan pada

pasien dengan insufisiensi ginjal. Faktor resiko lainnya adalah pemberian IV

secara cepat (≥ 25 mg/menit). Asam etakrinat menginduksi ototoksisitas lebih

sering dibandingkan diuretik lainnya. Bila bersamaan digunakan bersama

aminoglikosida, dapat memperberat ototoksisitas yang muncul.

Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada pasien

dengan gagal ginjal, waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3 jam. Kadar

plasma > 50 mg/L berkaitan dengan munculnya gangguan pendengaran.


D. Obat antiinflamasi

Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat anti

inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-

inflamasi, dan pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat

metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID

juga menghambat derivat non-prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion

lipofilik, dan bila pH semakin rendah (daerah inflamasi biasanya pH asam) maka

semakin besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara umum

menghambat translokasi anion melewati membran sel, yang berkontribusi pada

munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat meenghambat protein

membran (prestin) dari sel rambut luar koklea memfasilitasi elektromotilitas

melalui translokasi transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga

mempengaruhi daya choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien

yang sebelumnya telah diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea

yang normal. Hal ini menyatakan bahwa efek ototoksisitas obat ini adalah

reversibel.

Konsentrasi serum asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan dengan kehilangan

pendengaran > 30 dB. Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah tuli

sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus. Namun apabila pengobatan dihentikan

pendengaran akan pulih kembali dan tinitus menghilang.

E. Obat Anti Malaria


Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan. Pemberian

klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (> 250 mg)

untuk mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan

ototoksisitas. Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral,

misalnya pada malaria serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran

dan tinitus. Namun bila pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih

kembali dan tinitus hilang. Klorokuin dan kina dapat melalui plasenta sehingga

dapat terjadi tuli kongenital dan hipoplasia koklea.

Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila digunakan

dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang

fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus,

berkurangnya ketajaman pendengaran, dan vertigo.

F. Obat Anti Tumor

Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi tumor

ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala-leher. Seperti banyak agen

neoplastik lain, cisplatin dapat menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan

antara lain ototoksisitas. Efek ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi dan pada

akhirnya menimbulkan ketulian permanen/reversibel. Banyak studi penelitian

menyatakan cisplatin menyebabkan kematian sel rambut yang merupakan organ

sensori penting. Setelah diinjeksi secara sistemik, cisplatin terakumulasi di cairan

telinga dalam dan diabsorbsi oleh sel epitel telinga. Platinated DNA ditemukan
pada sel rambut dan sel-sel penunjang. Pajanan cisplatin juga meningkatkan

Reactive Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut dan menyebabkan

pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. Namun, studi lain menyatakan target primer

cisplatin masih belum jelas, sel rambut ataukah tipe sel epitel sensori telinga lain.

Penelitian sebelumnya menyebutkan terapi cisplatin menginduksi perubahan

struktural pada sel-sel penunjang koklea.

Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa terapi

dengan cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia, dimulai dari

distal/basal ke proksimal/apikal (distal-to-proximal pattern). Pola kerusakan ini

berkaitan erat dengan dimulainya penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi

tinggi terlebih dahulu. Selain itu cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria

vaskularis.

Sejak pertama kali dikenalkan, dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m2 .

Peningkatan pemberian dosis menimbulkan peningkatan kejadian dan derajat

gangguan pendengaran. Dilaporkan bahwa pada pasien yang mendapatkan terapi

cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan pendengaran. Gangguan

pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama kali pada

frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke frekuensi yang lebih

rendah ( 2000 Hz dan 4000 Hz) dapat terjadi bila terapi dilanjutkan. Gejala

ototoksisitas dapat menjadi lebih berat setelah pemberian obat melalui bolus

injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi dengan cara pemberian secara lambat

(slow infusion) dan pembagian dosis. (Balleger).


G. Anti Fungal

Efek ototoksik dari beberapa obat yaitu aminoglikosida, makrolida, diuretik loop,

cisplatin, salisilat, dan kloroquin sudah diketahui secara jelas. Namun terdapat

data yang terbatas mengenai ototoksisitas dari agen antifungal topikal.(CEO)

H. Obat tetes telinga

Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida

seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian oleh karena obat tersebut

dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun

membran tersebut pada manusia lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon

(semacam monyet besar) (± > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat

ditembus obat-obatan tersebut.

Obat tetes telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita infeksi telinga luar.

Beberapa laporan pada literatur menguraikan gejala ototoksisitas muncul setelah

pemberian agen ototopikal pada pasien dengan perforasi membran timpani. Jalur

untuk obat ototopikal melewati telinga tengah ke telinga dalam adalah melewati

tingkap bundar dan menuju perilimfe skala timpani. Membran tingkap bundar

terdiri atas 3 lapisan yang mengandung micropinocytotic vesicles. Vesikel ini

memberikan jalan pada banyak substansi, misalnya elektrolit, peroksidase, dan

albumin. Masuknya substansi tersebut melalui 3 mekanisme yaitu difusi, transpor

inter-epitelial, dan transpor-intraepitelial. Permeabilitas membran tingkap bundar

ditemukan secara eksperimental meningkat 48jam setelah munculnya infeksi

telinga tengah. Selama infeksi kronis (OMSK), membran tingkap bundar menjadi
lebih tebal akibat deposisi dari jaringan ikat dan juga terbentuknya mucosal web.

Hal ini menyebabka membran mejadi kurang permeabel selama inflamasi kronik

berlangsung.

Ototoksisitas dari penggunaan topikal tetes telinga menampakkan derajat yang

bervariasi dalam derajat toksisitas vestibular dan koklea. Contohnya, pada pasien

dengan kadar plasma aminoglikosida yang tinggi (dalam jangka waktu yang

lama), akan terjadi kerusakan vestibulo-koklea. Namun, pada kadar teraupetikya

(kadar plasma normal), pada beberapa pasien aminoglikosida dapat menimbulkan

ototoksisitas Hal ini disebabkan aminoglikosida dapat berada di telinga dalam,

terbebas dari ekresi renal atau metabolisme hepar. Preparat topikal telinga yang

memiliki efek protektif terhadap koklea dan vestibular adalah iron chelator,

salisilat, kortikosteroid, leupeptin, dan asam lipoik alfa.

5. Gejala Ototoksik

Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama

ototoksisitas. Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan

bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yang

menetap, tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.

Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit

setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat

dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya

disertai tinitus ringan. Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat

terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan oleh
loop diuretic dapat pulih kembali dengan menghentikan pengobatan segera. Tuli

ringan juga pernah dilaporkan sebagai akibat aminoglikosida, tetapi biasanya

menetap atau hanya sebagian yang pulih kembali. Kurang pendengaran yang

disebabkan oleh pemberian antibiotika biasanya terjadi setelah 3 atau 4 hari.

Tuli akibat ototoksik dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah

pengobatan selesai. Biasanya tuli bersifat bilateral. Kurang pendengaran akibat

pemakaian obat ototoksik bersifat sensorineural. Antibiotika yang bersifat

ototoksik mempunyai ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada

audiogram, sedangka diuretik menghsilkan gambaran audiogram yang mendatar

atau sedikit menurun. Selain itu tidak jarang terdapat pula gangguan

keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan

posisi.

6. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan Audiologi

Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi.

Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE) mendeteksi

secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik dibandingkan

dengan kovensional Pure-tone threshold testing.

1. Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)

Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian basal

dari koklea. HFA merupakan tes hantaran udara ( air- conduction threshold
testing ) untuk frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA

dapat mendeteksi gangguan pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin.

Oleh karena itu HFA saat ini umum digunakan untuk memonitoring kasus-kasus

ototoksisitas.

High Frequency Audiometry tidak dipengaruhi oleh otitis media. Berbeda dengan

OAE yang hasil pemeriksaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi patologis pada

telinga tengah, misalnya otitis media.

2. Otoacoustic emission (OAE)

Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang dipancarkan

dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut saraf

eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut akan

menginduksi depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan

probe ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan

pengeras suara yang berfungsi untuk memberikan stimulus suara. Mikrofon

berfungsi untuk menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian

stimulus.

Otoacoustic emission dibagi mejadi 2 kelompok, yaitu :

1. Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)

2. Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)

Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul dengan

adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1). Stimulus-frequency


Otoacoustic Emission; 2). Transiently-evoked Otoacoustic Emission (TEOAE);

3). Distortion-product Otoacoustic Emission (DPOAE).

Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE efektif untuk deteksi

dini. DPOAE menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2) dengan frekuensi

tertentu.

3. Pure Tone Audiometry (Audiometri nada murni )

Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran

akibat obat ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi tinggi pada

audiogram.

7. Penatalaksanaan

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada

waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam setelah

dilakukan pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut

harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada

jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan.

Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal, renal, serta sifat

obat itu sendiri juga mempengaruhi kemunculan gejala ototoksik.

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain

dengan alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi

total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin

dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea


8. Pencegahan

Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka

pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk

mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,

memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala

keracunan telinga dalam seperti tinitus, kurang pendengaran, dan vertigo. Pada

pasien yang telah menunjukkan gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi

audiologi dan menghentikan pengobatan.

9. Prognosis

Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan,

serta kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu baik malah

mungkin buruk.
BAB III

KESIMPULAN

Ototoksisitas merupakan efek berbahaya dari obat dan substansi kimia pada organ

pendengaran dan keseimbangan. Penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik

akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang

disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain

degenerasi stria vaskularis, degenerasi sel epitel sensori dan degenerasi sel

ganglion.

Dari hasil WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4

negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%).

Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996

yang dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan

pendengaran akibat obat ototoksik sebesar 0,3%.


Banyak obat dilaporkan memiliki efek ototoksik. Beberapa obat yang paling

sering digunakan dan bersifat ototoksik antara lain aminoglikosida, eritromisin,

diuretik loop, obat anti inflamasi, obat anti malaria, anti tumor, dan obat tetes

telinga. Masing-masing obat ini memiliki mekanisme tersendiri dalam merusak

struktur pendengaran dan keseimbangan. Efek yang timbul dapat bersifat

reversibel atau ireversibel.

Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi.

Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE) mendeteksi

secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik. Tuli yang

diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Apabila ketulian sudah

terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain denga alat bantu dengar,

psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar

membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan

pemasangan implan koklea.

Anda mungkin juga menyukai