Anda di halaman 1dari 4

STREPTOMISIN SEBAGAI PENCETUS VERTIGO

Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai


tinitus dan hilangnya pendengaran. Obat-obat itu antara lain aminoglikosid,
diuretik Loop ,antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau antineoplasitik
yang mengandung platina.

Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin;


sedangkan kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik.
Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain
sulfonamid,asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin. Terapi berupa
penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik, penggunaan obat supresan
vestibuler tidakdianjurkan karena jusrtru menghambat pemulihan fungsi
vestibluer.

Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat


menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo.

PATOFISIOLOGI

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan


tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang
sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat.

Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan


hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya
akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan
proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang
berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa
nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan
vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi
kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih
menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga
jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan
polagerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom.
Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi
mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

5. Teori neurohumoral

Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori


serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

6. Teori Sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan


neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan
stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),
peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf
simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat
menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat
di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi
gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi
aktivitas susunan saraf parasimpatis.

PATOGENESIS

Mekanisme dari tuli akibat ototoksik masih belum begitu jelas.


Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apical, yang diikuti
oleh sel rambut dalam. Hal ini menyebabkan gangguan pendengaran
frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-pasien
tertentu tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit
mencapai derajat ringan sedang ( >30 dB hearing level ) pada frekuensi
percakapan.
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan obat den
gan glikosaminoglikan stria vaskularis, yang menyebabkan perubahan stria
dan perubahan sekunder sel-sel rambut. Antibiotik ototoksik
menyebabkan hilangnya pendengaran dengan mengubah proses-proses
biokimia yang penting yang menyebabkan penyimpangan metabolik dari sel
rambut dan bisa menyebabkan kematian sel secara tiba-tiba.

Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah


hilangnya sel-sel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler
pada stria vaskularis, limbus spiralis dan sel-sel rambut koklea vestibuler.
Kerusakan vestibuler juga merupakan efek yang merugikan
dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya menunjukkan nistagmus posision
al. Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia yang disebabkan oleh kerusakan
sistem vestibuler bilateral adalah ketidakmampuan sistem okuler untuk
menjaga horizon yang stabil.

Streptomisin

Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang


mengandung 1 atau 5 gr dengan dosis 20 mg/kgBB secara IM, maksimum
1gr/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi diturunkan
menajadi 2-3kali seminggu. Dosis ini harus dikurangi untuk penderita usia
lanjut, anak-anak, orang dewasa badannya kecil dan gangguan fungsi ginjal
serta memperhatikan cara pemberian dan cara penyuntikan tergantung dari
jenis dan lokasi infeksi.

Suntikan IM merupakan cara yang paling sering dikerjakan. Total


sehari berkisar 1-2 gr (15-25 mg/kgBB), 500 mg-1 gr disuntikan setiap 12
jam. Untuk infeksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 kali pemberian.
Dosis untuk anak ialah 20-30 mg/kgBB sehari yang dibagi dua kali
penyuntikkan. Kadar serendah0,4 ug/ml dapat menghambat pertumbuhan
kuman dan untuk kuman TB dapat dihambat dengan kadar 10 ug/ml.

Obat ini utamanya berefek vestibulotoksik sehingga menyebabkan vertigo


sebelum tedadinya tinnitus dan gangguan pendengaran. Efek ototoksik dann
efrotoksik terjadi bila diberikan dalam dosis besar dan lama. Penggunan 1
gram perhari obat ini selama 10 hari tidak
menyebabkan sindrom vestibular. Penggunaan 2 gram perhari selama 14
hari dilaporkan menyebabkan sindrom vestibules pada 60 70 % pasien atau
pada pasien yang mendapatkan dosis total 10-
12 gr dapat mengalami hal diatas. Hingga dianjurkan untuk melakukan peme
riksaan audiometri basal dan berkala pada mereka yang mendapatkan obat
ini.

Ototoksik sangat tinggi terjadi pada kelompok usia 65 tahun dan


pada orang hamil tidak boleh melebihi dosis total 20 gram dalam 5 bulan
terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi (tuli congenital).

Temuan histologik efek ototoksik streptomisin adalah sebagai berikut :

a. Kehilangan sel rambut bagian luar secara terpencar di lengkung basal


ataskoklea
b. Kerusakan berat pada epitel sensoris Krista semua saluran
c. Stereosilia di dalam ampula saluran mengalami pembengkakan dan
diameternya menjadi dua kali lebih besar

Anda mungkin juga menyukai