Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Dengan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, maka makalah yang berjudul Penatalaksanaan simptomatis
pada vertigo ini dapat tersusun.
Makalah ini saya buat untuk melengkapi tugas neuroopthalmologi di
Departemen Neurologi, dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Kiki M Iqbal, Sp.S, yang
banyak memberikan bimbingan dan arahan sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu saran
dan kritikan masih sangat di harapkan sebagai masukan bagi penulis. Akhirnya,
saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, September 2015


Penulis

dr. Steviyani

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
BAB II NEUROKIMIA PADA SISTEM VESTIBULAR ..................................... 5
BAB III PENATALAKSANAAN SIMPTOMATIS PADA VERTIGO ............... 8
3.1. Pengobatan dengan vestibular supresan ....................................................... 8
3.1.1. Antikolinergik ........................................................................................ 8
3.1.2. Antihistamin........................................................................................... 9
3.1.3. Benzodiazepin ...................................................................................... 13
3.2. Obat vertigo lainnya ................................................................................... 13
3.2.1. Histaminergik....................................................................................... 13
3.2.2. Penghambat ion kalsium ...................................................................... 15
3.2.3. Antikonvulsan ...................................................................................... 16
3.2.4. Monoaminergik .................................................................................... 17
3.3. Antiemetik lainnya ..................................................................................... 18
3.3.1. Antagonis dopaminergik ...................................................................... 18
3.3.2. Antagonis serotonin ............................................................................. 19
BAB IV KESIMPULAN ...................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22

2
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan keseimbangan (dizziness) timbul apabila satu atau lebih dari


ketiga sistem yang mengaturnya, yaitu sistem vestibular, visual atau
somatosensori, terganggu. Manifestasi klinis dari dizziness ada 4 jenis, yaitu :
vertigo vestibular, vertigo non vestibular, presinkope, dan dysequilibrium.
Berdasarkan letak lesinya dikenal ada 2 jenis vertigo vestibular, yaitu vertigo
vestibular sentral (terjadi pada lesi dilabirin dan nervus vestibularis) dan vertigo
sentral (timbul pada lesi di nukleus vestibularis di batang otak, atau talamus
sampai ke korteks serebri). Sedangkan vertigo nonvestibular timbul pada
gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual.1
Vertigo sering merupakan perasaan berputar. Vertigo menjadi keluhan
yang umum. Penyebab paling umum dari kondisi ini adalah benign paroxysmal
positional vertigo, neuronitis vestibular akut atau labirinitis, penyakit meniere,
migrain dan gangguan cemas. Penyebab yang jarang termasuk iskemi
vetebrobasilar dan tumor retrokokhlear. Perbedaan antara vertigo perifer dan
sentral biasanya dibuat berdasarkan klinis dan panduan manajemen. kebanyakan
pasien dengan vertigo tidak membutuhkan tes diagnostik yang lebih lanjut dan
pelayanan tingkat pertama.2
Frekuensi relatif dari berbagai bentuk adalah benign paroxysmal positional
vertigo (BPPV) 17.1%, phobic vestibular vertigo 15%, sindrom vestibular sentral
12.3%, vestibular migrain 11.4%, penyakit meniere 10.1%, vestibular neuritis
8.3%, bilateral vestibulopathy 7.1%, vestibular paroxysmia 3.7%.3
Pengobatan yang efektif tergantung pada diagnosis yang akurat dari
penyebab yang dikeluhkan, meskipun kasus vertigo bukanlah kasus yang mudah.
Langkah pertama dan paling penting dalam diagnosa pasien dengan vertigo adalah
wawancara medis yang tepat, selain pertanyaan dari penyakit penyerta dan obat-
obatan, informasi tentang durasi dan frekuensi gejala, adanya faktor yang
memicu atau yang meringankan, tanda-tanda yang menyertai, mengetahui sifat
dari gejala yang dikeluhkan, kadang pertanyaan tersebut tidak menunjukkan
jawabannya. Wawancara yang dilakukan dengan pasien membantu untuk

3
memperjelas dan karakteristik detail dari keluhan tersebut, yang mana sering
terjadi perbedaan antara pasien dan dokter, meskipun menggunakan terminologi
yang sama. Dokter harus menentukan apakah pasien mengeluhkan vertigo,
dizziness, lightheadness atau presinkop.4
Pilihan terapi vertigo adalah yang pertama terapi kausal berupa
farmakoterapi, prosedur reposisi partikel (pada BPPV), dan tindakan bedah.
Pilihan yang kedua adalah terapi simptomatik yaitu farmakoterapi, pilihan ketiga
terapi rehabilitatif dan yang terakhir adalah hindari faktor pencetus dan
memperbaiki life style.1

4
BAB II
NEUROKIMIA PADA SISTEM VESTIBULAR

Pilihan terapi gangguan vestibular terbatas pada terapi farmakologi,


manuver reposisi, pembedahan dan rehabilitasi. Pada organ perifier, obat bekerja
pada aparatus vestibular memiliki target seluler yang berbeda-beda. Target ini
melibatkan hemeostasis dari cairan dan elektrolit pada telinga dalam, regulasi
aliran darah, dan hemeostasis seluler serta pertahanan dan modifikasi dari proses
sensorik termasuk mekanoeletrikal transduksi pada sel rambut dan proses
postransduksi dari informasi sensorik. Pada nukleus vestibular yaitu pada sistem
saraf pusat, efek obat lebih sulit ditentukan karena kerumitan dari keterlibatan
proses informasi vestibular.5
Neurotransmiter dibutuhkan untuk dimanipulasi, beberapa neurotransmiter
yang terlibat dalam transmisi vestibular yaitu kolinergik, monoaminergik, dan
glutamatergik dan terlibat dalam sirkuit vestibular sentral maupun perifer. Ada
beberapa neurotransmiter yang mempengaruhi three neuron arc antara sel
rambut vestibular dan nukleus oklomotorius yang membentuk reflek
vestibulokular.6
Neurokimia pada vertigo memiliki enam neurotransmiter utama yang
ditemukan antara three-neuron arc yang mempengaruhi vestibulo-ocular reflex
(VOR). Glutamat mempertahankan discharge saat istirahat pada neuron
vestibular, dan memodulasi transmisi sinaps pada VOR arc. Asetilkolin memiliki
fungsi sebagai neurotransmiter eksitasi baik pada sinaps perifer dan sentral.
Gamma Aminobutryric acid (GABA) merupakan inhibitor untuk komisura dari
nukleus vestibular medial, penguhubung antara sel purkinje di serebelum, dan
nukleus vestibular lateral, serta vertikal VOR. Tiga neurotransmiter yang lainnya
bekerja sentral. Dopamin mempercepat proses kompensasi vestibular.
Norepinefrin memodulasi intensitas reaksi sentral pada stimulus vestibular dan
menfasilitasi kompensasi. Histamin hanya bekerja sentral, tapi peranan masih
belum jelas. Dopamin, histamin, serotonin dan asetilkolin merupakan
neurotransmiter yang berhubungan dengan muntah.7

5
Pada tabel 1 menunjukkan neurotransmiter pada sistem vestibular.8
Tabel 1 . neurotransmiter pada sistem vestibular.
Neurotransmiter Peranan pada perifer Peranan pada sentral
Glutamat Eksitasi pada sinaps aferen Eksitasi
Asetilkolin Eksitasi pada sinaps eferen Eksitasi
GABA Inhibitor Inhibitor
Glycine Tidak jelas Inhibitor
Dopamine Tidak jelas Eksitasi
Norepinephrine Tidak jelas Modulasi
5-Hydroxytryptamine Tidak jelas Eksitasi
subtipe I dan 2
Histamin Tidak jelas Inhibitor (?)
Dikutip dari : Hain TC, Yacovino D. Pharmacologic Treatment of Persons with
Dizziness. Neuro Clin (2005): 831-853.
Nukleus vestibular juga menerima sinaps glutamatergik yang berasal dari
neuron di medula spinalis. Serabut GABAergik terutama berasal dari serebelum
dan dari kontralateral nukleus vestibular, mengaktifkan reseptor GABA-A dan
GABA-B. Serabut histaminergik berasal dari nukleus tuberomammilaris yang
bekerja pada reseptor H1,H2, dan H3. Serabut serotonergik berasal dari nukleus
raphe mengaktifkan reseptor 5-hydroxytriptamine-1 (5-HT1) dan 5-
hydroxytriptamine-2 (5-HT2). Serabut noradrenergik berasal dari locus coeruleus
yang berkerja pada terutama pad reseptor 2, tapi juga pada reseptor 1 dan .5
Neurotransmiter utama pada aferen sel rambut adalah glutamat, sedangkan
sinaps eferen melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmiter utama. Glutamat
dilepaskan pada sinaps aferen sel rambut dan berinteraksi dengan beberapa
reseptor yaitu reseptor excitatory amino acid (EAA) termasuk N-methyl-D-
aspartic acid (NMDA), -amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid
(AMPA), reseptor kainic acid (KA), and reseptor metabotropic.5
Neuron aferen utama sistem vestibular bersinaps dengan neuron dari
nukleus vestibular dan melepaskan glutamat serta aspartat sebagai
neurotransmiter. Neuron dari nukleus vestibular mengirim glutamat, kolinergik

6
dam GABA ke berbagai sistem saraf pusat (SSP), termasuk serebelum, nukleus
okulomutorius, nukleus vestibular kontralateral, nukleus otonom, medula spinalis,
talamus dan korteks serebri.5

7
BAB III
PENATALAKSANAAN SIMPTOMATIS PADA VERTIGO

Pendekatan terapi obat vertigo biasanya simptomatik. Ada 3 tujuan utama


untuk terapi medikamentosa vertigo. Yang pertama adalah untuk menghilangkan
halusinasi gerak, dengan obat vestibular supresan. Obat vestibular supresan yang
utama adalah obat antikolinergik dan antihistamin. Tujuan kedua adalah untuk
mengurangi gejala neurovegetative dan psikoaffektif (mual, muntah, gelisah)
dengan antidopaminergik. Tujuan ketiga adalah untuk meningkatkan proses
'kompensasi vestibular' untuk memungkinkan otak untuk menemukan
keseimbangan sensorik baru terlepas dari lesi vestibular.9
Saat merencanakan terapi, harus mempertimbangkan kemampuan obat
dalam kaitannya dengan kompensasi tubuh karena setiap stimulus vestibuler akan
menimbulkan potensi untuk memulai proses kompensasi atau adaptasi. Dalam
memilih obat anti vertigo sedapat mungkin diusahakan memilih obat yang bersifat
meningkatkan kompensasi dan tidak menghambat kompensasi.1
3.1. Pengobatan dengan vestibular supresan
Vestibular supresan adalah obat yang mengurangi intensitas vertigo dan
nistagmus yang ditimbulkan oleh ketidakseimbangan sistem vestibular. Obat ini
juga mengurangi sensitivitas gerakan terkait dan motion sickness. Vestibular
supresan konvensional terdiri dari tiga kelompok obat yang utama adalah
antikolinergik, antihistamin dan benzodiazepin.10
3.1.1. Antikolinergik
Obat antikolinergik bekerja pada reseptor muskarinik dan meningkatkan
toleransi gerakan. Hanya antikolinergik yang bekerja sentral digunakan dalam
penatalaksanaan vertigo. Antikolinergik murni tidak efektif jika diberikan setelah
gejala sudah muncul.10
Antikolinergik merupakan vestibular supresan yang menghambat firing
di nukleus vestibular serta mengurangi kecepatan nistagmus vestibular pada
manusia. Yang paling efektif obat antikolinergik tunggal untuk profilaksis dan
pengobatan motion sickness adalah skopolamin.11

8
Penelitian telah menunjukkan bahwa reseptor M3 dan M5 mungkin
bertanggung jawab untuk efek menguntungkan dari antikolinergik. Agen selektif
untuk subtipe vestibular dari reseptor muskarinik masih dikembangkan sebagai
agen yang dapat memberikan efek supresi vestibular dengan efek samping yang
lebih sedikit. Zamifenacin adalah selektif M3 dan M5 antikolinergik yang baru
diteliti.10
Pemberian skopolamin secara transdermal terdeteksi pada plasma darah
dalam 4 jam dan konsentrasi puncak dalam rata-rata 24 jam. Skopalamin
diberikan 0,5 mg patch setiap 3 hari, onset kerja selama 4 jam, dan durasi kerja
selama hampir 72 jam.12
Setiap patch berisi 1,5 mg skopolamin dan di program untuk dilepaskan 1
mg selama 3 hari secara transdermal melalui lapisan membran kontrol. Untuk
kontrol motion sickness, harus diganti setiap 72 jam dan dilepas dari kulit setelah
keluhan motion sickness menghilang.13
Antikolinergik memiliki efek samping yang menonjol yaitu mulut kering,
dilatasi pupil, sedasi, dan gangguan atensi. Kecanduan dan psikosis juga telah
dilaporkan dengan penggunaan lebih dari satu bulan dari skopolamin.13
Pengobatan vertigo dengan antikolinergik tidak dianjurkan pemakaian
dalam jangka waktu yang lama. Beberapa obat antikolonergik, dosis obat dan efek
samping obat tersebut tercantum pada tabel 2.
Tabel 2. Obat antikolinergik yang sering digunakan
Nama Obat Reseptor Dosis oral Antiemetik Sedasi Mukosa
kering
Scopolamin 0,6 mg 3x1 + + +++
Atropin 0,4 mg 3x1 + - +++
Dikutip dari : Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.
3.1.2. Antihistamin
Terdapat dua sumber dari histamin dalam otak yaitu histamin yang
mengandung sel-sel mast dan neuron histaminergik dari inti tuberomamillari di
hipotalamus posterior. Histamin di sel mast umumnya diduga memiliki turnover
yang lambat, dan tidak jelas apakah histamin sel mast berkontribusi terhadap efek

9
histamin pada SSP. Namun, jumlah sel mast sekitar 20% dari total histamin
didalam otak. Sumber neuronal histamin otak adalah sel histaminergik dari
nukleus tuberomammillari, yang diproyeksikan secara luas pada otak namun
paling banyak ke talamus dan korteks. Nukleus vestibular seperti struktur batang
otak lainnya, mempunyai inervasi histamin yang cukup banyak.14
Terdapat empat reseptor histaminergik, yaitu H1 sampai H4 yang telah
diidentifikasi. Semua merupakan superfamili dari G-protein coupled, memiliki
tujuh reseptor segmen transmembran. Biasanya, terdapat dalam SSP yaitu
reseptor H1 dan H2 yang ditemukan di terminal postsinaptik, sementara reseptor
H3 terdapat pada presinaptik dalam sel nonhistaminergik, di mana mereka
berfungsi seperti heteroreseptor. Reseptor H4 biasanya ditemukan di luar SSP.5
Serabut histaminergik di SSP berasal dari nukleus tuberomammillari dari
hipotalamus posterior. Neuron ini memiliki discharge potensial aksi yang
spontan, lambat, dan reguler. Aktivitas neuron tuberomammillari bervariasi dalam
siklus siang malam, aktivitas tinggi selama terjaga, berkurang selama slow-wave
sleep, dan berhenti selama rapid eye movement sleep. Neuron histaminergik
merupakan sistem yang sangat berbeda yang memproyeksikan seluruhnya ke
berbagai daerah dari otak melalui jalur asending dan desending. Studi
imunohistokimia menyatakan inervasi histaminergik memproyeksikan ke empat
inti vestibular. Serabut ini terdiri dari akson nonmielinisasi dengan diameter
sedang yang bertindak sebagai neuromodulator di nukleus vestibular.5
Oleh karena itu, histamin di otak bertindak terutama sebagai
neuromodulator, yang mengubah kekuatan dan respon cepat neurotransmisi.
Modulasi dari aktivitas neuronal dapat terjadi pada respon dari aktivasi reseptor
H1 atau H2 postsinaps, seperti yang telah ditunjukkan dalam hipokampus, dan
neuron hipotalamus. Histamin juga memodulasi neurotransmisi melalui reseptor
H3 presinaptik. H3 reseptor memediasi penghambatan presinaptik pelepasan
neurotransmitter diketahui terjadi dengan banyak neurotransmiter dari SSP,
terutama GABA, glutamat, noradrenalin dan serotonin, semua transmiter yang
terlibat dalam pusat neurotransmisi vestibular.14
Terdapat kemungkinan hubungan antara histamin otak dan regulasi
glukokortikoid pada fungsi vestibular, tapi mungkin juga antara histamin otak dan

10
regulasi perifer pada organ vestibular, yang mana vasopresin mempengaruhi
produksi dari endolimfe, dan terkait pada patofisiologi penyakit meniere.14
Antagonis reseptor H1 yang melewati sawar darah otak (senyawa khas
yaitu diphenhydramine, prometazin, dimenhydrinate) memiliki efek sedatif serta
efek vestibulo-depresan. Penggunaannya untuk motion sickness, dan mekanisme
kerja diyakini termasuk antiemesis melalui efek histaminergik pada pusat muntah
di otak, serta efek sedatif yang tidak spesifik dari obat. Antagonis H1 juga
mungkin memiliki beberapa efek langsung pada vestibulostatik seperti yang
ditunjukkan oleh reseptor H1 / H2 memediasi eksitasi dari neuron vestibular.14
Pada hipotalamus posterior terdapat histamin dan berperan pada pusat dari
keadaan bangun, sehingga jika terjadi destruksi menyebabkan hipersomnia.
Histamin bekerja mengatur fase bangun. Sehingga pengobatan dengan
mengganggu mediasi neurotransmisi histamin memperlambat aktivitas kortikal
dan meningkat fase tidur.18
Kemungkinan bahwa histamin dapat bekerja seperti neurotransmiter atau
neuromodulator di organ vestibular perifer berdasarkan temuan dari astemizol
yang merupakan antagonis reseptor H1 yang tidak dapat penetrasi ke
hetamoencephalic barrier, menekan nistagmus pada pasien dengan dizziness
kronik. Histamin dan imidazole yang lainnya mengandung substansi yang dapat
meningkatkan firing rate dari afferen saraf, sedangkan kedua antagonis histamin
H1 dan H2 menghambat aktivitas saraf ampular. Sebuah inhibitor spesifik
histidin dekarboksilase, suatu enzim yang mengkatalisis sintesis histamin,
mengurangi firing saraf ampular tergantung cara dan dosisnya.5
Penggunaan agonis dan antagonis reseptor H1, H2 dan H3
memungkinkan peneliti untuk menentukan reseptor H1 dan mungkin juga H3
secara fungsional terdapat dalam organ vestibular. Dalam sel-sel rambut dari
krista ampularis hewan percobaan, perubahan kalsium intraseluler yang dihasilkan
oleh penerapan 10 pM histamin dihambat oleh antagonis H1, H2 dan H3. Pada
SSP, histamin memodulasi aktivitas orde kedua dari saraf vestibular, dan memilik
efek yang berbeda telah diamati tergantung pada paradigma eksperimental yang
digunakan.5

11
Antihistamin yaitu meclizine, dimenhidrinat, dan promethazin umumnya
memiliki sedikit efek antikolinergik, dengan efek sedasi dan mengantuk paling
menonjol. Mecline HCl telah diterima oleh U.S FOOD and Drug Administration
(FDA) untuk profilaksis dan terapi mual, muntah dan dizziness yang terkait
dengan motion sickness atau radioterapi dan kemungkinan efektik terhadap terapi
vertigo terkait dengan gangguan sistem vestibular. Dimenhidrinat dan
dipenhidramin diindikasikan sebagai pencegahan dan terapi mual, muntah,
dizziness atau vertigo yang terkait dengan motion sickness.15
Di antara anthistamin, betahistin, diphenhydramine (biasanya dalam
kombinasi dengan teofilin), meclizine, derivat ciclizine lainnya, dan prometazin
merupakan yang paling umum digunakan dalam pengobatan medikamentosa
vertigo. Di Eropa, betahistin lebih sering digunakan. Sebuah penelitian prospektif
di Inggris menunjukkan bahwa, untuk pengobatan penyakit Mnire, 92% dari
dokter meresepkan betahistin. Sebaliknya, di Amerika Serikat, anthistamin paling
umum digunakan dalam pengobatan gangguan vestibular yaitu diphenhydramine,
meclizine (1 [(4-chlorophenyl) -phenylmethyl] - 4 - [(3-Methylbenzyl) metil]
piperazine), derivatnya cyclizine dan promethazine. fenotiazin (prometazin dan
proklorperazin) adalah obat antiemetik yang paling sering diresepkan. Semua
anthistamin ini terutama antagonis reseptor H1, yang juga memiliki efek
antikolinergik adalah prometazin. Antihistamin bekerja baik sentral dan perifer,
namun yang bekerja sentral yang dapat digunakan pada terapi vertigo.5
Beberapa obat antihistamin, dosis obat dan efek samping obat tersebut
tercantum pada tabel 3.1
Tabel 3. Obat antihistamin yang sering digunakan
Nama obat Dosis Oral Anti Sedasi Mukosa Gejala
emetik kering ekstrapiramidal
Sinarizin 25 mg 3 x 1 + + - +
Prometazin 25-50 mg 3x1 + ++ ++ -
Dimenhidrinat 50 mg 3 x 1 + + + -
Dikutip dari : Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.

12
3.1.3. Benzodiazepin
Benzodiazepin bekerja sentral melalui reseptor GABA-A. Reseptor
GABA-A merupakan ligan pada saluran ion selektif chloride. GABA merupakan
neurotransmiter yang paling umum pada SSP, ditemukan dengan konsentrasi
tinggi pada daerah korteks dan sistem limbik. GABA menghambat dan
mengurangi eksitabilitas dari saraf. GABA memiliki tiga reseptor yaitu A,B, dan
C.16
Lorazepam merupakan obat yang biasa digunakan karena efektivitasnya
dan farmakokinetiknya yang sederhana. Dosis rendah diazepam (2mg) juga dapat
digunakan. Clonazepam, yang biasa digunakan pada obat antiepilepsi, juga
dilaporkan dapat digunakan pada vertigo yang sama efektifnya dengan lorazepam.
Adiksi, sedasi, gangguan memori, peningkatan risiko jatuh, gangguan kompensasi
vestibular merupakan efek samping obat-obat tersebut. Efek adiksi biasanya dapat
dihindari dengan penggunaan pada dosis rendah. Benzodiazepin dengan masa
kerja yang panjang tidak membantu untuk menghilangkan vertigo.11
Baklofen, merupakan selektif agonis reseptor GABA-B, memiliki efek
terapi terutama pada asimetris vestibular yang tidak terkompensasi. Baklofen
bekerja dengan penghambatan pada nukleus vestibular, sehingga pada akhirnya
akan mengurangi nistagmus pada pasien gangguan vestibular.5
Beberapa obat benzodiazepin, dosis obat dan efek samping obat tersebut
tercantum pada tabel 4.1
Pada tabel 4. Obat benzodiazepin yang sering digunakan
Nama obat Dosis oral Anti emetik Sedasi Mukosa
kering
Diazepam 2 5 mg 3 x + +++ -
1
Dikutip dari : Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.
3.2. Obat vertigo lainnya
3.2.1. Histaminergik
Studi terkontrol menunjukkan bahwa betahistin yang paling efektif bila
dibandingkan dengan sinarizin, clonazepam, flunarizin atau Ginkgobiloba

13
diberikan selama 120 hari untuk pasien yang didiagnosis dengan penyakit
Mnire. Untuk pasien dengan gangguan vestibular perifer yang berbeda penyakit
Mnire, betahistin sama efektifnya dengan sinarizin atau clonazepam, dan
ketiganya lebih efektif daripada flunarizine atau EGB 761 (standar ekstrak Ginkgo
biloba). Studi menggunakan kombinasi sinarizin dan dimenhydrinate
menunjukkan bahwa kombinasi ini bisa lebih efektif daripada betahistin dalam
pengobatan pasien dengan vertiginous syndromes of peripheral origin, yang
menjadi alternatif yang baik dan aman untuk terapi standar dengan betahistin
untuk pengobatan penyakit Mnire pada fase akut dan pada terapi jangka
panjang.5
Sejak diperkenalkannya betahistin, telah dilaporkan bahwa pemberian
secara signifikan mengurangi insiden dan keparahan vertigo dan menghasilkan
penurunan insiden mual dan muntah. Efek klinis telah dikaitkan dengan
peningkatan aliran darah dalam sistem vestibular dan koklea. Studi
elektrofisiologi telah menetapkan bahwa efek klinis betahistin yang paling
mungkin dihasilkan oleh pengaruh penghambatan pada nukleus vestibular dan
pada organ perifer akhir, mekanisme penghambatan ini memodulasi aferen
sensorik dan pelepasan neurotransmiter lain dan membentuk kembali
keseimbangan bilateral aktivitas di neuron afferen.5
Betahistin merupakan analog histamin yaitu agonis H1 dan memiliki
mekanisme kerja sebagai antagonis reseptor H3. Betahistin bekerja dengan sedikit
meningkatkan eksitasi pada nukleus vestibular medial dengan potensi yang lemah
dan memiliki efek menurunkan eksitasi dari histamin secara signifikan.5
Antagonis reseptor H3 menambah pelepasan histamin, mengaktifkan
reseptor H1 postsinap dan mencetuskan fase bangun.18
Beberapa tahun ini betahistin sering digunakan pada pasien penyakit
meniere dan penyakit lain pada telingga dalam. Hal ini terkait dengan efek yang
menguntungkan histamin, tapi tidak seperti histamin, betahistin tidak
menimbulkan sakit kepala, kemerahan, pandangan kabur, atau sedasi.19
Ada beberapa studi yang menyatakan bahwa antagonis reseptor H3
menyebabkan sedikit efek mengantuk pada populasi kecil yang diteliti, namun
obat yang sama diuji pada empat orang remaja didapatkan efek mengantuk berat

14
pada siang hari. Hal ini mungkin terjadi akibat konsekuensi dari farmakokinetik
yang disebabkan oleh fluktuasi sirkadian dari reseptor H3.20
Histaminergik menginervasi substansia nigra pars kompakta dan reticulata
yang meningkat pada pasien dengan penyakit parkinson, sehingga menyebabkan
defisiensi dopamin. Pada percobaan dengan tikus yang mengalami penyakit
parkinson, pemberian antagonis reseptor H3 ditemukan peningkatan aktivitas
lokomotor.20
Beberapa obat histaminergik, dosis obat dan efek samping obat tersebut
tercantum pada tabel 5.1
Tabel 5. Obat histaminergik yang sering digunakan.
Nama Obat Dosis oral Anti emetik Sedasi Mukosa Gejala
kering ekstrapiramidal
Betahistine 8 mg 3 x 1 + + - +
24 mg 2 x 1
Dikutip dari : Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.
3.2.2. Penghambat ion kalsium
Pelepasan neurotransmiter pada sel rambut dimediasi oleh kanal ion
kalsium high voltaged activated (Cav1.3). ekspresi dari kanal ion tipe L,N,P,dan
Q terdapat pada neuron afferen utama sistem vestibular. Semua tipe kanal ion
tersebut diidentifikasi sebagai dasar karateristik biofisik dan farmakologi , dan
berperan pada pembentukan discharge potensial aksi dan kontrol ekstibalitas pada
neuron aferen oleh aktivasi dari calcium activated pottasium. Penghambat kanal
ion kalsium berdampak pada informasi baik input dan ouput pada nukleus
vestibular.5
Penghambat ion kalsium menghambat aliran kalsium dari endolimfe ke
dalam sel-sel di krista ampularis, yang diperlukan untuk memicu potensial aksi
yang di propagasi sentral. Turunan Piperazin yaitu sinarizin dan flunarizin,
keduanya memiliki efek antihistamin yang dapat digunakan sebagain terapi pada
gangguan vestibular. Sinarizin, disamping bekerja menghambat ion kalsium tipe-
L, dapat bekerja juga menghambat tekanan sensitif pada ion kalium. Sebagai
tambahan, efek sinarizin dan flunarizin sebagai antihistamin pada reseptor H1 dan

15
antagonis reseptor nikotinik. Flunarizin dan sinarizin memilki mekanisme kerja
yang kuat sebagai supresan labirin dan efektivitasnya sama dengan
prokloperazin. Flunarizin dan sinarizin merupakan antivertigo yang sering
digunakan di Amerika. Efek samping dari obat tersebut adalah kegemukan,
depresi dan sedasi. Nimodipin juga dilaporkan efektif sebagai profilaksis penyakit
menier dengan dosis 30 mg sebanyak dua kali sehari.5,10
Sinarizin diketahui menyebabkan parkinsonism disebabkan oleh antagonis
efek pada reseptor D2 pada stratum otak, sehingga menyebabkan depresi, tremor,
rigiditas, dan tardive diskinesia. Semua gejala tersebut termasuk dalam drug
induced parkinson disease. Sebuah laporan menyatakan bahwa sekitar 17% kasus
baru parkinson terkait dengan penggunaan jangka lama dari sinarizin dan
flunarizin. Sinarizin juga disebuykan mencegah MgATP-dependent yang
memproduksi elektrokimia yang merupakan substansi penting untuk transpor dan
penyimpanan dopamin pada vesikel dan karenanya menyebabkan penurunan
dopamin pada basal ganglia dan menyebabkan terjadinya gejalan parkinson.7
Beberapa obat penghambat ion kalsium, dosis obat dan efek samping obat
tersebut tercantum pada tabel 6.1
Tabel 6. Obat penghambat ion kalsium yang sering digunakan
Nama obat Dosis oral Anti Sedasi Mukosa Gejala
emetik kering ekstrapiramidal
Flunarizin 5 10 mg + + - +
1x1
Dikutip dari : Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.
3.2.3. Antikonvulsan
Antikonvulsan dapat digunakan sebagai terapi vertigo. Karbamazepin
yang merupakan antikonvulsan memiliki struktur sama dengan antidepresan
trisiklik. Mekanisme kerja terkait dengan stabilisasi inaktif dari natrium voltage-
dependent, oleh karena itu karbamazepin mengurangi eksitabilitas seluler.5
Kanal ion natrium diekspresikan pada neuroepitelial telinga dalam. TTX-
sensitive Nav1.7 memainkan peranan penting pada aksi potensial discharge pada
neuron aferen dan pada neuron nukleus vestibular. Modifikasi farmakologi pada

16
ion kanal natrium meyebabkan perubahan signifikan pada eksitabilitas dan pola
discharge dari neuron afferen.5
Beberapa obat antikovulsan, dosis obat dan efek samping obat tersebut
tercantum pada tabel 7.1
Tabel 7. menunjukkan obat antikonvulsan yang sering digunakan
Nama Obat Dosis oral Sedasi Anti emetik Mukosa
kering
Karbamazepin 200 mg 3 x 1 + - -
Fenitoin 100 mg 3 x 1 - - -
Dikutip dari : Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.
3.2.4. Monoaminergik
Pengobatan dengan monoaminergik pada vertigo sering digunakan yaitu
amfetamin dan efedrin. Kedua obat tersebut dapat digunakan kombinasi dengan
salah satu antihistamin untuk gejala yang terus menerus atau apabila tidak
berespon terhadap pengobatan dengan terapi tunggal.15
Obat yang mempengaruhi reseptor amin biogenik yang bisa digunakan
sebagai gangguan vestibular, dan diketahui bekerja di sistem saraf pusat tidak
secara khusus di nukleus vestibular. Amfetamin meningkatkan toleransi dari
stimulus terhadap rotasi. Penggunaan amfetamin dikombinasi dengan skopolamin
atau antihistamin meningkatkan efek dari antivertigo dan menurunkan efek
sekunder dari antihistamin dan antikolinergik yaitu sedasi efedrin memiliki
efektifitas yang sama dengan amfetamin dalam mengontrol gangguan gerak,
namun amfetamin tidak memilki efek adiktif.5
Beberapa obat monoaminergik, dosis obat dan efek samping obat tersebut
tercantum pada tabel 8.1

17
Tabel 8. Obat-obat monoaminergik yang sering digunakan.
Nama obat Dosis oral Anti Sedasi Mukosa Gejala
emetik kering ekstrapiramidal
Amphetamin 5 10 mg + - + +
3x1
Ephedrine 25 mg 3 x + - + -
1
Dikutip dari : Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.
3.3. Antiemetik lainnya
Antiemetik adalah obat yang biasanya digunakan untuk mengontrol
muntah dan mual. Pilihan obatini pada pasien vertigo tergantung pada rute
pemberian dan efek samping yang ditimbulkan. Pemberian secara injeksi biasanya
digunakan pada unit gawat darurat.11
3.3.1. Antagonis dopaminergik
Antagonis dopaminergik seperti prochlorperazine dan chlorperazine
bekerja pada Chemoreceptor trigger zone (CTZ), menurunkan impuls saraf ke
pusat muntah. Obat ini tidak untuk pencegahan vertigo dan motion sickness.
Metoklopramid dan thiethyllperazine biasanya digunakan sebagai antiemetik dan
pada vertigo sebagai kontrol muntah. Metoklopramide merupakan antagonis
dopaminergik dan juga antagonis serotoninergik yang mempercepat pengosongan
lambung dan memiliki efek sentral sebagai antiemetik., yang mana pada
thiethyllperazine bekerja sentral pada CTZ di medula oblongata. Efek samping
dari obat ini adalah sedasi, mulut kering, dan gejala ekstrapiramidal.15
Beberapa obat antagonis dopaminergik, dosis obat dan efek samping obat
tersebut tercantum pada tabel 9.1,6

18
Tabel 9. Obat-obat antagonis dopaminergik yang sering digunakan.
Nama obat Dosis Anti sedasi Mukosa Gejala
emetik kering ekstrapiramidal
Prochlorperazine 3 mg +++ + + ++
3x1
Metoklopramid 10 mg +++ + + ++
3x1
Dikutip dari : Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.
Singh KR, Singh M. Current Perspecyives in the Pharmacotherapy of Vertigo. An
International Journal. 2012; 4(2): 81-85.
3.3.2. Antagonis serotonin
Yang terbaru adalah antagonis 5-hydroxytriptamine-3 (5HT3) seperti
ondansetron yang menghambat impuls aferen vagal dan pusat muntah di medula
oblongata. Obat ini digunakan untuk mengontrol muntah dan mual pada vertigo.15
Ondansetron bekerja pada SSP dan juga pada sistem saraf perifer.
Ondansetron menghambat reseptor 5-HT3 pada regio SSP (termasuk area
postrema, mukleus traktus solitarius, amigdala, dan dorsal nukleus raphe) dan
melalui antagonis reseptor 5-HT3 menghambat pelepasan dopamin atau firing sel
pada nukleus accumbens. Pada sistem saraf perifer, ondansetron juga
menghambat reseptor 5-HT3, sehingga menghalangi terjadinya depolarisasi
afferen nervus vagal dan neuron mienterik, menyebabkan penghambatan reseptor
5-HT3 yang dimediasi respon nosiseptif.17
Beberapa obat antagonis serotonigenik, dosis obat dan efek samping obat
tersebut tercantum pada tabel 10.6

19
Tabel 10. Obat antagonis serotonigenik yang sering digunakan
Nama obat Dosis Anti Sedasi Mukosa Gejala Efek
emetik kering ekstrapiramidal samping
yang lain
Ondansetron 4 8 +++ - - - Sakit
mg kepala,
3x1 konstipasi,
lemas.
Dikutip dari : Singh KR, Singh M. Current Perspecyives in the Pharmacotherapy
of Vertigo. An International Journal. 2012; 4(2): 81-85.

20
BAB IV
KESIMPULAN

Tidak ada ketetapan obat dalam terapi vertigo. Kebanyakan obat yang
digunakan berdasarkan klinis dalam terapi vertigo. Terapi vertigo dapat
simptomatik atau spesifik. Terapi simptomatik melibatkan gejala yang akut dan
keluhan otonom, sedangkan terapi spesifik adalah mengobati penyebab yang
mendasari terjadinya vertigo.
Dalam memilih obat anti vertigo sedapat mungkin diusahakan memilih
obat yang bersifat meningkatkan kompensasi dan tidak menghambat kompensasi.
Ada 3 tujuan utama untuk terapi medikamentosa vertigo. Yang pertama adalah
untuk menghilangkan halusinasi gerak, dengan obat vestibular supresan. Obat
vestibular supresan yang utama adalah obat antikolinergik dan antihistamin.
Tujuan kedua adalah untuk mengurangi gejala neurovegetative dan psikoaffektif
(mual, muntah, gelisah) dengan antidopaminergik. Tujuan ketiga adalah untuk
meningkatkan proses 'kompensasi vestibular' untuk memungkinkan otak untuk
menemukan keseimbangan sensorik baru terlepas dari lesi vestibular.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Amar A, Suryamihardja A, Dewati E, Sitorus F, Nurimaba N, Sutarni S, dan


Soeratno. eds. Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata Laksana Vertigo. 2012.
2. Swartz R, Longwell P. Treatment of vertigo. Am Fam Physician. 2005; 71(6):
1115 112.
3. Strupp M, Dieterich M, Brandt T. The Treatment and Natural Course of
Peripheral and Cetral Vertigo. Dtsch Artztebl Int. 2013; 110(29-30): 505 516.
4. Zatonski T, Temporale H, Holanowska J, Krecicki T. Current Views on
Treatment of Vertigo and Dizziness. J med Diagn Meth. 2014; 3:1.
5. Soto E, Vega R. Neuropharmacology of Vestibular System Disorders. Curr
Neuropharmacol. 2010; 8(1): 26-40.
6. Singh KR, Singh M. Current Perspectives in the Pharmacotherapy of Vertigo.
An International Journal. 2012; 4(2): 81-85.
7. Vertigo. Available at :
http://www.gruppootologico.com/images/immagini/servizi/neurotology/Vertigo.p
df. Diunduh pada tanggal 27 September 2015.
8. Hain TC, Yacovino D. Pharmacologic Treatment of Persons with Dizziness.
Neuro Clin (2005): 831-853.
9. Rascol O, Hain TC, Brefel C, Benazet M, Clanet M, Montastruc JL.
Antivertigo medications and drugs-induced vertigo. A pharmacological review.
1995; 50(5):777-91.
10. Bisht M, Bist SS. An update on pharmacotherapy of vertigo. J Chem Pharm
Res. 2010; 2(3): 381-386.
11. Yacovino DA, Luis L. Pharmacologic Treatment of vestibular disorders.
Vestibular Disorders Associations. Available from: vestibular.org.
12. Zuccaro TA. Pharmacological Management of Vertigo. Journal of
neurological Physical Therapy. 2003. Available from :
http://journals.lww.com/jnpt/Abstract/2003/27030/Pharmacological_Management
_of_Vertigo_.6.aspx. Diunduh pada tanggal 18 September 2015

22
13. Lau SH, Vaneaton C, Candidate PD. Scopolamine Patch Withdrawal
Syndrome. Hosp Pharm. 2014; 49(3): 218-220.
14. Bergquist F, Dutia MB. Central Histaminergic Modulation of Vestibular
Function. Acta Physiologica Sinica. 2006; 58(4): 293-304.
15. Trkanjec Z, Shibabi AA, Demarin V. Pharmacotherapy of Vertigo. Rad za
medicinske zhanosti. 2007. 69-76.
16. Griffin CE, Kaye AM, Bueno FR, Kaye AD. Benzodiazepine Pharmacology
and Central Nervous System-Mediated Effects. The Ochsner Journal. 2013; 13:
214-223.
17. Ye JH, Ponnudurai R, Schaefer R. Ondansetron: A selective 5-HT3 Receptor
Antagonist and Its Applications in CNS-Related Disorders. CNS Drugs Reviews.
Vol 7. No.2. pp.199-213.
18. Lin JS, Sergeeva OA, Haas HL. Histamine H3 Receptors and Sleep-Wake
Regulation. The Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics. 2011;
336(1); 17-23.
19. Locour M, Heyning PH, novotny M, Tighilet B. Betahistine in the treatment
of Meniere disease. Neuroopsychiatric Disease and Treatment. 2007; 3(4); 429-
440.
20. Baronio D, Gonchoroski T, Castro K, Zanatta G, Gottfried C, Riesgo R.
Histaminergic system in brain disorders: lessons from the translational approach
and future perspectives. 2014; 13:34.

23

Anda mungkin juga menyukai