Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

OBAT NONSTEROIDAL ANTIINFLAMATORY DRUGS (NSAID)

OLEH:
Andi Nurfadilah Syam
70700120030

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Kartika Handayani, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua
bahwa dengan segala keterbatasan yang penulis miliki akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Obat Nonsteroidal
Antiinflamtory Drugs (NSAID)” dalam rangka tugas kepaniteraan klinik
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Program Pendidikan Profesi Dokter,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar.
Keberhasilan penyusunan referat ini adalah berkat bimbingan, kerja sama,
serta bantuan moril dan materil dari berbagai pihak yang telah diterima penulis
sehingga segala rintangan yang dihadapi selama penulisan dan penyusunan referat
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya secara tulus dan ikhlas kepada yang
terhormat:
1. dr. Kartika Handayani, Sp.An selaku supervisor pembimbing.
2. Serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu.
Tidak ada manusia yang sempurna maka penulis menyadari sepenuhnya
bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga dengan segala kerendahan
hati penulis siap menerima kritik dan saran serta koreksi yang membangun dari
semua pihak.
Makassar,
31 Agustus 2021

Andi Nurfadilah Syam


LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul


“Obat Nonsteroidal Antiinflamatory Drugs (NSAID)”
Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui
Pada Tanggal 10 September 2021

Oleh:
Supervisor Pembimbing

dr. Kartika Handayani, Sp.An

Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter
UIN Alauddin Makassar

dr. Azizah Nurdin Sp,OG, M.Kes


NIP: 198409052009012011
BAB I
PENDAHULUAN

Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan obat yang sering


diresepkan oleh dokter serta terjual bebas di masyarakat. Di Amerika Serikat dan
Eropa Barat, peresepan OAINS mencapai hingga 4%-7%, namun data penggunaan
OAINS di Indonesia belum didapatkan. OAINS sering digunakan karena
efektivitasnya yang baik sebagai analgetik, anti- inflamasi, dan antipiretik.
Efektivitas kerja OAINS didapatkan dari kemampuannya menghambat sintesis
prostaglandin melalui penghambatan kerja enzim siklooksigenase. Enzim
siklooksigenase diketahui bekerja pada jalur konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin dan tromboksan, sehingga ketika enzim ini dihambat maka asam
arakhidonat tidak dapat dikonversi menjadi prostaglandin dan tromboksan.1

OAINS dikembangkan berdasarkan kemampuannya menghambat kerja


kedua isoform enzim siklooksigenase, baik enzim siklooksigenase-1 dan
siklooksigenase-2. OAINS yang selektif terhadap enzim siklooksigenase-2
dianggap lebih aman karena memiliki sifat protektif terhadap mukosa
gastrointestinal, namun ternyata obat ini dapat memperparah penyakit jantung pada
pasien yang sudah memiliki gangguan fungsi jantung.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah salah satu obat yang
paling sering diresepkan di dunia.1 Obat NSAID termasuk dalam kelas luas
agen terapeutik dengan sifat analgesik dan antiinflamasi yang menghambat
dua isoenzim prostaglandin G/H sintase yang juga dikenal sebagai
siklooksigenase (COX) terdiri dari COX1 dan COX2.2 Secara kimiawi,
OAINS merupakan senyawa turunan dari asam asetat, asam propionat,
pirazol, dan zat kimia lainnya.1
2. Karakteristik Umum NSAID
Tahun 1971, Vane dkk menemukan bahwa aspirin dan indomethacin
menghambat produksi prostaglandin dengan cara memblokir aktivitas
COX. Sejak saat itu, dikenal istilah Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs
(NSAID).3 OAINS bekerja dengan menghambat kerja dari enzim
siklooksigenase.1

Gambar 1. Jalur Siklooksigenase3


Asam arakidonat umumnya ditemukan terikat pada membran
fosfolipid sel. Melalui jalur arakidonat, asam arakidonat dapat diubah
menjadi prostanoid. Tahap pertama dalam jalur arakidonat adalah pelepasan
asam arakidonat dari membran fosfolipid oleh enzim fosfolipase A2. Asam
arakidonat kemudian diubah menjadi eicosanoid melalui tiga jalur yakni
lipoxygenase, P450 epoxygenase, dan Non-enzymatic. Pada jalur COX,
asam arakidonat diubah oleh COX menjadi prostaglandin H2 (PGH2).
Kemudian siklik endoperoksida diubah menjadi prostaglandin yang spesik
pada berbagai jaringan.3,4
Enzim ini bekerja pada inflamasi dan rasa sakit, dengan menghambat
COX-2 maka prostaglandin tidak terbentuk sehingga tidak terjadi rasa nyeri
namun tetap memberikan proteksi pada lambung karena COX-1 tidak di
hambat. Dalam analisis ini selektifitas terhadap COX-2 dibagi menjadi 3
yaitu AINS COX-selektif contohnya golongan celecoxib, rofecozib, AINS
COX-2-prefential contohnya golongan meloxicam dan AINS COX-
nonselektif contohnya golongan diklofenak, metamisol, piroksikam,
paracetamol, acetosal, indometasin, fenilbutazon sedangkan asam
mefenamat digolongkan tersendiri sebagai penghambat prostaglandin.5
AINS COX 2 secara non selektif akan mengontorl nyeri, demam, inflamasi,
dan trombosis, sedangkan AINS COX 2 secara selektif dapat digunakan
sebagai perioperatif tanpa kekhawatiran terjadi penghambatan trombosit
dan gangguan gastrointestinal.6

Gambar 2. Struktur Kimia Beberapa Kelas NSAID7


3. Farmakokinetika NSAID
NSAID yang diberikan secara peroral sangat cepat diabsorpsi,
biasanya dalam 15-30 menit. Setelah diabsorpsi, 90% obat akan berikatan
dengan albumin dan beredar bersamanya. Kondisi hipoalbuminemia akan
menyebabkan banyak obat tidak terikat dan efek samping yang ditimbulkan
semakin besar.3
Hati akan memetabolisme hampir semua NSAID dan ekskresinya
akan melalui ginjal atau empedu. Sirkulasi enterohepatik terjadi ketika
NSAID atau metabolitnya diekskresi ke empedu dan terserap kembali di
usus. Penelitian menunjukkan bahwa derajat iritasi pencernaan akibat efek
samping NSAID ternyata berkorelasi positif dengan jumlah sirkulasi
enterohepatik. Penurunan fungsi ginjal akan memperpanjang waktu paruh
obat sehingga dosis obat mungkin perlu dikurangi. Gangguan hati akan
menghambat metabolisme NSAID sehingga meningkatkan toksisitas obat.3

Tabel 1. Karakteristik Obat-Obat NSAID3


Tabel 2. Karakteristik Obat-Obat NSAID (Lanjutan)3

4. Farmakodinamika NSAID
NSAID terutama bekerja dengan menghambat jalur COX. Pada jalur
ini, kebanyakan NSAID bekerja secara reversibel dengan mencegah
pertemuan asam arakidonat dengan tempat aktif enzim COX sehingga
biosintesis prostaglandin dapat dihambat. Aspirin adalah pengecualian,
karena aspirin bekerja dengan mengasetilasi Ser-530 di COX-1 dan SER516
di COX sehingga efeknya ireversibel. Beberapa NSAID juga memiliki efek
kerja tambahan, seperti menghambat kemotaksis, mengurangi produksi
interleukin-1, dan mengurangi produksi radikal bebas.3
NSAID penghambat COX-2 selektif (coxib) disintesis hanya
beberapa tahun setelah COX-2 ditemukan. Keuntungan NSAID jenis ini
adalah NSAID ini tidak mengganggu fungsi platelet dan fungsi sistem
pencernaan pada dosis biasa dengan efektivitas yang relatif sama dengan
NSAID lain. Perlu diperhatikan bahwa NSAID penghambat COX-2 selektif
juga memiliki efek samping, dimana mereka mampu meningkatkan risiko
gangguan kardiovaskuler pada penggunaan jangka panjang. Seringnya
insiden henti jantung menyebabkan rofecoxib dan valdecoxib ditarik dari
pasaran. Saat ini hanya celecoxib yang masih digunakan untuk kepentingan
klinis. Pada kondisi perioperatif, coxib mungkin lebih aman digunakan
daripada NSAID lain karena tidak menyebabkan disfungsi platelet dan
gangguan pencernaan.3
Pada umumnya NSAID menurunkan sensitivitas pembuluh darah
terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dari
limfosit T, dan melawan vasodilatasi yang terjadi saat inflamasi. NSAID
bersifat analgesik, antiinflamasi, dan hampir semua menghambat agregasi
platelet.6 Jika NSAID nonselektif diberikan bersama agen antiplatelet lain,
akan terjadi efek sinergis yang akan meningkatkan risiko perdarahan bila
tidak diperhitungkan secara matang.3
5. Efek Samping Obat Antiinflamasi Non Steroid (NSAID)
• Gastrointestinal
NSAID dikaitkan dengan spektrum komplikasi gastrointestinal
bagian atas, mulai dari ulkus peptikum pada 10% hingga 30% pasien
hingga komplikasi ulkus serius pada 1% hingga 2% pasien, termasuk
perforasi dan perdarahan.3 Efek samping lainnya yaitu seperti mual,
muntah, nyeri perut, dysplasia.6
Faktor risiko komplikasi gastrointestinal terkait NSAID termasuk
dosis NSAID yang tinggi, usia yang lebih tua, infeksi Helicobacter
pylori, riwayat ulkus sebelumnya, dan penggunaan aspirin dosis
rendah, antikoagulan, atau kortikosteroid secara bersamaan. Umumnya
direkomendasikan bahwa pasien dengan faktor risiko gastrointestinal
harus diobati dengan agen selektif COX-2 atau NSAID non-selektif
dengan koterapi pelindung gastrointestinal.3
• Kardiovaskuler
NSAID dikaitkan dengan peningkatan risiko efek samping
kardiovaskular seperti infark miokard, gagal jantung, dan hipertensi.
Penghambatan COX kemungkinan akan mengganggu keseimbangan
antara produksi proaggregatory thromboxane dalam platelet yang
dimediasi COX-2 dan prostaglandin anti agregasi dalam sel endotel.
Selektivitas COX saja tidak cukup untuk mendefinisikan risiko
komplikasi kardiovaskular terkait NSAID.3
• Ginjal
Efek NSAID pada fungsi ginjal termasuk hiperkalemia, perubahan
fungsi tubulus, nefritis interstisial, dan gagal ginjal akut karena
perubahan laju filtrasi dan aliran plasma ginjal. Prostaglandin dan
prostasiklin penting untuk pemeliharaan aliran darah intrarenal dan
transpor tubulus. Semua NSAID, kecuali salisilat nonasetat, memiliki
potensi untuk menginduksi kerusakan reversibel dari laju filtrasi
glomerulus; efek ini lebih sering terjadi pada pasien dengan gagal
jantung kongestif; penyakit ginjal dengan perubahan aliran plasma
intrarenal termasuk diabetes, hipertensi atau aterosklerosis dan dengan
hipovolemia yang diinduksi, hipoalbuminemia yang signifikan.3
• Liver
Penggunaan aspirin dikaitkan dengan penurunan risiko
pengembangan karsinoma hepatoseluler dan kematian akibat penyakit
hati kronis, sedangkan penggunaan NSAID non-aspirin hanya dikaitkan
dengan penurunan risiko kematian akibat penyakit hati kronis.
Paradoksnya, peningkatan kadar transaminase hati dan gagal hati telah
dilaporkan dengan beberapa NSAID.3
• Hematologi
Efek samping hematologi mungkin terjadi, terutama dengan
NSAID nonselektif karena aktivitas antiplateletnya. Efek antiplatelet
ini biasanya hanya menimbulkan masalah jika pasien memiliki riwayat
ulkus GI, penyakit yang mengganggu aktivitas trombosit seperti
hemofilia, trombositopenia, penyakit von willebrand.8
• Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas terhadap NSAID jarang terjadi dan lebih
sering terjadi pada individu dengan polip hidung atau asma. Reaksi
alergi termasuk bronkokonstriksi, rinitis, dan urtikaria. Data terbaru
menunjukkan peran perubahan regulasi COX-2 yang terkait dengan
sindrom asma/rinitis yang tidak toleran terhadap aspirin. Karena
potensi reaktivitas silang, dianjurkan untuk menghindari semua
NSAID. Dalam kasus yang jarang, NSAID telah terlibat dalam
menyebabkan meningitis aseptik dan, pada anak-anak, sindrom Reye.3
• Reaksi Idiosinkratik
Reaksi nonspesifik yang khas meliputi ruam kulit dan
fotosensitifitas, meningitis aseptik, tinitus, gangguan pendengaran, dan
neutropenia. Efek penghambatan prostaglandin dapat menyebabkan
penutupan dini duktus arteriosus. Asam asetilsalisilat telah dikaitkan
dengan neonatus untuk usia kecil selama kehamilan dan memar
neonatus. Namun, telah digunakan selama bertahun-tahun dalam
pengobatan pasien yang membutuhkan NSAID saat hamil. Toksisitas
paling umum yang terkait dengan NSAID adalah gastrointestinal,
kardiovaskular, dan ginjal dan terutama terkait dengan penghambatan
COX dan penurunan sintesis prostaglandin.3
• Interaksi dengan Obat Lain
Interaksi obat lain dengan terapi NSAID dapat terjadi akibat
interaksi farmakodinamik atau farmakokinetiknya. NSAID nonselektif
mempengaruhi agen antiplatelet lain melalui penghambatan aditif
agregasi trombosit. Hasilnya adalah peningkatan risiko perdarahan
dengan penggunaan NSAID dan agen antiplatelet lainnya secara
bersamaan.3
6. Obat Antiinflamasi Non Steroid
a. Acetaminophen (Paracetamol)
Beberapa sumber telah mengeluarkan acetaminophen dari
golongan NSAID. Hal ini disebabkan karena acetaminophen efektif
sebagai antipiretik dan analgesik namun hanya memiliki sedikit efek
antiinflamasi. Acetaminophen memiliki efek analgesik sentral dimana
obat ini mampu mengaktivasi jalur serotonergik menurun. Mekanisme
kerjanya belum jelas. Pada hewan, acetaminophen diketahui
menghambat COX-3.3
Acetaminophen memiliki bioavailabilitas yang sangat baik. Obat
ini juga jarang menimbulkan efek samping. Overdosis obat ini biasanya
menyebabkan gangguan fungsi hati. Kombinasi acetaminophen dengan
NSAID lain mampu memberikan efek analgesia lebih baik ketimbang
masing-masing obat digunakan sendiri-sendiri.3
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500
mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 mL. Selain itu parasetamol
terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun
cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1 g per kali, dengan
maksimum 4 g per hari; untuk anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali,
dengan maksimum 1,2 gl hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali
dan bayi di bawah 1 tahun yaitu 60 mg/kali, pada keduanya diberikan
maksimum 6 kali sehari.11

Gambar 3. Paracetamol Tablet 500 mg9


b. Asam Asetilsalisilat (Aspirin)
Aspirin adalah senyawa obat tertua dan paling banyak digunakan
di dunia. Ini dianggap terpisah dari NSAID karena penggunaan
utamanya dalam pengobatan penyakit kardiovaskular dan
serebrovaskular. Aspirin ditemukan dalam ratusan obat bebas di
seluruh dunia dan tetap menjadi yang terdepan dalam pengobatan
dengan aplikasi yang baru ditemukan untuk pencegahan dan
pengobatan beberapa penyakit yang mengancam jiwa. Aspirin adalah
turunan dari asam salisilat. Aspirin dan salisilat dengan cepat
dimetabolisme dalam plasma (misalnya, oleh esterase plasma), eritrosit,
dan hati, menjadi salisilat in vivo.3
Aspirin bertindak sebagai analgesik umum dengan menghalangi
aksi enzim COX dengan demikian mencegah produksi prostaglandin.
Aspirin secara efektif mengobati sakit kepala, nyeri punggung dan otot,
serta nyeri dan nyeri umum lainnya. Selain itu, aspirin menghasilkan
penghambatan COX dengan sintesis prostanoid dan juga protein kinase.
Namun, hal belum tentu menjadi mekanisme yang paling mungkin.
Aspirin secara ireversibel menonaktifkan COX, menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit yang berkepanjangan.3
Mekanisme toksisitas NSAID pada overdosis terkait dengan sifat
asamnya dan penghambatannya terhadap produksi prostaglandin.
Tingkat keparahan biasanya tergantung pada dosis dan konsentrasi
salisilat yang berkorelasi dengan tingkat gangguan asam-basa. Kadar
salisilat 300 hingga 600 mg/L dikaitkan dengan toksisitas ringan, 600
hingga 800 mg/L dengan toksisitas sedang, dan lebih besar dari 800
mg/L dengan toksisitas berat. Untuk NSAID nonselektif, konsentrasi
plasma biasanya tidak diukur karena waktu paruh dari banyak agen ini
relatif singkat. Dosis 1200-1500 mg diberikan 3 kali sehari.
Metabolisme obat melalui hidrolisis, konjugasi dan glukoronidasi.
Waktu paruh 0,25-0,5 jam.3

Gambar 4. Asam Asetilsalisilat 100 mg10


c. Diklofenak
Asorpsi obat ini melalui saluran cerna langsung cepat dan
lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek
metabolisme lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun
waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak diakumulasi di cairan
synovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari
waktu paruh obat tersebut.11
Peningkatan enzim transaminase dapat terjadi pada 15% pasien
dan umumnya kembali ke normal. Akhir-akhir ini FDA memberikan
peringatan agar diklofenak tidak digunakan secara kronik karena
dihubungkan dengan kejadian kardiovaskuler. Pemakaian selama
kehamilan tidak dianjurkan bagi dua atau 3 dosis.7 Dosis 50-75 mg
diberikan 4 kali sehari.3

Gambar 5. Diklofenac Sodium Tablet 50 mg12


d. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionate yang
diperkenalkan pertama kali di banyak negara. Obat ini bersifat
analgesik dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin. Efek anti-inflamasinya terlihat
dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui
lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam.
Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh persen
ibuprofen terikat dalam protein plasma.11
Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari
dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit
atau konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan
karboksilasi. Obat AlNS derivat asam propionat hampir seluruhnya
terikat pada protein plasma, efek interaksi misalnya penggeseran obat
warfarin dan oral hipoglikemik hampir tidak ada. Tetapi pada
pemberian bersama dengan warfarin, tetap harus waspada karena
adanya gangguan fungsi trombosit yang memperpanjang masa
perdarahan. Derivat asam propionat dapat mengurangi efek diuresis dan
natriuresis furosemid dan tiazid, juga mengurangi efek antihipertensi
obat B-bloker, prazosin dan kaptopril. Efek ini mungkin akibat
hambatan biosintesis PG ginjal.7 Dosis 600 mg diberikan 4 kali sehari.
Metabolisme obat melalui oksidasi. Waktu paruh dalam plasma sekitar
2 jam.3

Gambar 6. Ibuprofen Tablet 400 mg13

e. Ketoprofen
Derivat asam propionat ini memiliki efektivitas seperti ibuprofen
dengan sifat anti-inflamasi sedang. Absorpsi berlangsung baik dari
lambung dan waktu paruh plasma sekitar 2 jam. Dosis 2 kali 100 mg
sehari, tetapi sebaiknya ditentukan secara individual.7 Dosis diberikan
50-75 mg diberikan 3 kali sehari. Waktu paruh yaitu 2-4 jam.3

Gambar 7. Ketoprofen Tablet 100 mg14


f. Naproxen
Merupakan salah satu derivat asam propionate yang efektif dan
insiden efek samping obat ini lebih rendah dibandingkan derivat asam
propionat lain. Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lambung dan
kadar puncak plasma dicapai dalam 2-4 jam. Bila diberikan dalam
bentuk kadar garam natrium naproksen, kadar puncak plasma dicapai
lebih cepat. Waktu paruh obat ini 14 jam, sehingga cukup diberikan dua
kali sehari. Dosis yang diberikan 250 mg. Metabolisme obat ini melalui
proses konjugasi dan oksidasi.3 Tidak terdapat korelasi antara
efektivitas dan kadar plasma. Ikatan obat ini dengan protein plasma
mencapai 98-99%. Ekskresi terutama dalam urin, baik dalam bentuk
utuh maupun sebagai konjugat glukuronida dan demetilat. Interaksi
obat sama seperti ibuprofen.11

Gambar 8. Naproxen Sodium Tablet 230 mg15


g. Indometasin
Merupakan derivat indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal
sejak 1963 untuk pengobatan artritis reumatoid dan sejenisnya.
Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaa obat ini
dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi dan analgesik-
antipiretik yang kira-kira sebanding dengan aspirin. Telah terbukti
bahwa indometasin memiliki efek analgesik perifer maupun sentral. In
vitro indometasin menghambat enzim siklooksigenase. Seperti
kolkisin, indometasin menghambat motilitas leukosit
polimorfonuklear.11
Absorpsi indometasin setelah pemberian oral cukup baik; 92-99%
indometasin terikat pada protein plasma. Metabolismenya terjadi di hati
melalui proses oksidasi dan konjugasi.3,11 Indometasin diekskresi dalam
bentuk asal maupun metabolit melalui urin dan empedu.11
Karena toksisitasnya, indometasin tidak dianjurkan diberikan
kepada anak, wanita hamil, pasien dengan gangguan psikiatri dan
pasien dengan
penyakit lambung. Penggunaannya kini dianjurkan hanya bila AlNS
lain kurang berhasil misalnya pada spondilitis ankilosa, artritis pirai
akut dan osteoarthritis tungkai. Indometasin tidak berguna pada
penyakit pirai kronik karena tidak berefek urikosurik. Dosis
indometasin yang lazim ialah 2-4 kali 25 mg sehari. Untuk mengurangi
gejala reumatik di malam hari,
indometasin diberikan 50-100 mg sebelum tidur.11

Gambar 9. Indomethasin Kapsul 25 mg16


h. Celecoxib
Celecoxib memiliki selektivitas terhadap COX-2 10-20 kali lebih
besar dari COX-1. Celecoxib berkaitan dengan insiden ulkus
gastrointestinal yang lebih sedikit dibanding NSAID lain. Celecoxib
bisa menimbulkan erupsi di kulit, mungkin dikarenakan obat ini
merupakan golongan sulfonamide. Risiko kardiovaskuler adalah salah
satu hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat ini.11 Dosis
yang diberikan 100-200 mg, diberikan 2 kali sehari. Waktu paruh obat
ini 11-16 jam. Metabolisme obat ini melalui proses konjugasi.3
Gambar 10. Celecoxib Kapsul 200 mg17
i. Etodolak
Etodolac merupakan AINS kelompok asam piranokarboksilat.
Obat ini merupakan AINS yang lebih selektif terhadap KOKS-2
dibanding AINS umumnya. Tidak jelas perbedaan efektivitas dibanding
AINS lainnya. Masa kerjanya pendek sehingga harus diberikan 3-4 kali
sehari. Berguna untuk analgesik pasca bedah misalnya bedah koroner.
Dosis 200-400 mg, 3-4 kali sehari.11

Gambar 11. Etodolak Tablet 400 mg18


j. Nabumetone
Nabumetone adalah suatu prodrug. Data pada hewan coba
menunjukkan bahwa nabumeton memperlihatkan sifat selektif
menghambat iso-enzim prostaglandin untuk peradangan tetapi kurang
menghambat prostasiklin yang bersifat sitoprotektif.11
Obat ini diserap cepat dari saluran cerna dan di hati akan
dikonversi ke satu atau lebih zat aktifnya, terutama 6-methoxy-
2naphylacetic acid (6-MNA). Metabolit ini merupakan penghambat
kuat dari enzim siklooksigenase. Zat aktif tersebut diinaktivasi di hati
secara o-demetilasi dan kemudian dikonjugasi untuk diekskresi. Dosis
375 mg, diberikan 2 kali sehari. Dengan dosis 1 gram/hari didapatkan
waktu paruh sekitar 24 jam (22,5 + 3,7 jam). Pada kelompok usia lanjut,
waktu paruh ini bertambah panjang dengan 3-7 jam. Metabolisme obat
ini melalui proses oksidasi.3,11

Gambar 12. Nabumetone Tablet 500 mg19


k. Piroksikam
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru
yaitu oksikam, derivat asam enolat. Waktu paruh dalam plasma lebih
dari 45 jam sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari. Absorpsi
berlangsung cepat di lambung; terikat 99% pada protein plasma. Obat
ini menjalani siklus enterohepatik. Kadar taraf mantap dicapai sekitar
7-10 hari dalam kadar plasma kira-kira sama dengan cairan sinovia.11
Dosis obat ini yaitu 10-20 mg, diberikan 1 kali sehari. Metabolisme
terjadi melalui proses oksidasi.3

Gambar 13. Piroxicam Tablet 20 mg2


l. Oxaproxin
Oxaprozin adalah turunan asam propionate. Obat ini memiliki
waktu paruh yang sangat lama dan tidak memiliki sirkulasi
enterohepatik. Obat ini juga bersifat sedikit urikosurik sehingga
kemungkinan lebih bermanfaat pada pasien artritis gout dibandingkan
NSAID lain.11 Dosis obat ini yaitu 1200-1800 mg, diberikan 1 kali
sehari. Waktu paruh obat ini sekitar 50-60 jam dimana metabolismenya
melalui proses oksidasi dan konjugasi.3

Gambar 14. Oxaprozin Tablet 600 mg21


m. Meloksikam
Meloksikam cenderung menghambat KOKS-2 lebih dari KOKS-
1 tetapi penghambatan KOKS-1 pada dosis terapi tetap nyata.
Penelitian terbatas menyimpulkan efek samping meloksikam (7,5
mg/hari) terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam 20 mg sehari.11
Meloksikam diberikan dengan dosis 7,5-15 mg sekali sehari.
Waktu paruh obat ini yaitu 13-20 jam. Metabolisme obat ini melalui
proses oksidasi. Efektivitas dan keamanan derivate oksikam lainnya:
lornoksikam, sinoksikam, sudoksikam dan tenoksikam dianggap sama
dengan piroksikam.3,11

Gambar 15. Meloxicam Tablet 15 mg22


Tabel 3. Perbandingan Obat NSAID4

7. Interaksi NSAID Dengan Obat Lainnya


Interaksi antara NSAID dengan obat lain terjadi lebih sering
dikarenakan NSAID adalah salah satu obat yang paling banyak digunakan.
Interaksi ini berdampak tidak signifikan pada outcome klinik, tetapi ada juga
yang memberikan dampak serius, khususnya pada obat dengan jendela
terapi sempit pada penyakit dengan tingkat keseriusan tinggi, seperti oral
antikoagulan, glikosida, antiaritmia, antikonvulsan, dan sitotoksik.23
Tabel 4. Interaksi OAINS dengan Obat Lain4
Tabel 5. Interaksi OAINS dengan Obat Lain (Lanjutan)4
BAB III
KESIMPULAN

Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah salah satu obat yang paling
sering diresepkan di dunia. OAINS bekerja dengan menghambat kerja dari enzim
siklooksigenase. Enzim ini bekerja pada inflamasi dan rasa sakit, dengan
menghambat COX-2 maka prostaglandin tidak terbentuk sehingga tidak terjadi rasa
nyeri namun tetap memberikan proteksi pada lambung karena COX-1 tidak di
hambat. Dalam analisis ini selektifitas terhadap COX-2 dibagi menjadi 3 yaitu
AINS COX-selektif contohnya golongan celecoxib, rofecozib, AINS COX-2-
prefential contohnya golongan meloxicam dan AINS COX-nonselektif contohnya
golongan diklofenak, metamisol, piroksikam, paracetamol, acetosal, indometasin,
fenilbutazon sedangkan asam mefenamat digolongkan tersendiri sebagai
penghambat prostaglandin. NSAID penghambat COX-2 selektif juga memiliki efek
samping dimana mereka mampu meningkatkan risiko gangguan kardiovaskuler
pada penggunaan jangka panjang. NSAID nonselektif diberikan bersama agen
antiplatelet lain, akan terjadi efek sinergis yang akan meningkatkan risiko
perdarahan bila tidak diperhitungkan secara matang. Interaksi antara NSAID
dengan obat lain terjadi lebih sering dikarenakan NSAID adalah salah satu obat
yang paling banyak digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zahra, A. P. and Carolia, N. 2017. Obat Anti-inflamasi Non-steroid (OAINS):
Gastroprotektif vs Kardiotoksik, Majority, 6, pp. 153–158.
2. Fokunang, C. Overview of non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) in
resource limited countries’, MOJ Toxicology, 4(1), pp. 5–13. 2018. doi:
10.15406/mojt.2018.04.00081.
3. Flood, P., Rathmell, J.P., dan Shafer, S. Stoelting's Pharmacology & Physiology
in Anesthetic Practice. Edisi kelima. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.
2015.
4. Kalim, Handono. Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, Jakarta. 2014.
5. Soleha, M. et al. Profil Penggunaan Obat Antiinflamasi Nonstreoid di
Indonesia. Jurnal Kefarmasian Indonesia 8(2), pp. 109–117. 2018.
6. Morgan, G Edward, S Mikhail. Clinical Anesthesiology. New York: MC Graw
Hill. 2013.
7. Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J. Basic & Clinical Pharmacology.
Edisi ke-12. New York: McGraw Hill Medical. 2012.
8. Glichloo I, Gerriets V. Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs).
StatPearls Publishing; Januari 2021.
9. https://firstmedipharma.co.id/product/paracetamol-2/
10. https://www.farmaku.com/product/cardio-aspirin-tab
11. Gunawan, Sulistia Gan. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
12. https://www.shtrifecta.com/diclofenac-sodium-tablets/
13. https://www.novapharin.co.id/product-detail/96/IBUPROFEN-400-MG--
Tablet
14. https://patients.smarterhealth.sg/drugs-medicines/ketoprofen/
15. https://ind.medicineh.com/64-details-54188
16. https://id.bossgoo.com/product-detail/indomethacin-capsules-bp-25mg-
26040248.html
17. https://southstardrug.com.ph/products/rx-ritemed-celecoxib-200-mg-capsule
18. https://www.uofmhealth.org/health-library/d00851a1
19. https://www.globalpharmacyplus.com/relafen-nabumetone-tabs
20. https://www.novapharin.co.id/product-detail/105/PIROXICAM-20-MG--
Tablet
21. https://www.calipharm.com/
22. https://www.novapharin.co.id/product-detail/101/MELOXICAM-15-MG--
Tablet
23. Isenia. Penggunaan Non-Steroid Antiinflamatory Drug dan Potensi Interaksi
Obatnya Pada Pasien Muskuloskeletal, Pharmaceutical Journal Of Indonesia,
6(1). pp. 47–55. 2020.

Anda mungkin juga menyukai