Anda di halaman 1dari 7

SEDATION, ANESTHETIC, and ANALGESIC AGENTS in PERIOPERATIVE CARE

Prananda Surya Airlangga, dr., M.Kes., SpAn, KIC

Obat-obatan sedatif dan analgesik rutin digunakan dalam fase intraoperatif. Seiring dengan
perkembangannya, obat-obatan tersebut juga digunakan dalam fase pre-operatif dan post
operatif. Penggunaan obat-obat tersebut di luar kamar operasi memerlukan perhatian khusus
karena efek samping yang dimilikinya dapat menimbulkan morbiditas bahkan mortalitas jika
tidak diantisipasi. Sebagai contoh, hipoventilasi merupakan efek samping yang berbahaya jika
tidak dapat dikenali dan ditangani secara dini (Eichhorn, 2013). Pemahaman mengenai
karakteristisk farmakologis masing-masing obat harus dimiliki oleh dokter mana pun yang
memberikan obat tersebut kepada pasiennya.
SEDATIF
Benzodiazepine adalah obat yang dapat bekerja sebagai anxiolytic dan hipnotik. Obat golongan
ini memberikan efek modulasi terhadap neurotransmitter inhibitorik utama yang ada di sistem
saraf pusat, yaitu γ-aminobutyric acid (GABA). (Peck dkk, 2008) Midazolam merupakan salah
satu obat pada golongan ini yang umum digunakan. Pemberian obat ini sebagai premedikasi
dapat menimbulkan efek anxiolysis pada pasien. Selain itu Bauer et al (2004) menemukan efek
anti nausea dan peningkatan kepuasan pasien yang diberikan midazolam intravena sebelum
dilakukan anestesi. Dosis yang digunakan untuk memberikan efek anxiolysis dan amnesia
anterograde adalah 0.02-0.04 mg/kg IV atau IM. (Abola et al 2017). Pemberian obat tersebut
dengan dosis yang terlalu rendah akan menimbulkan anxiolysis yang inadekuat (Feld et al,
1990), sedangkan dosis yang terlalu tinggi akan menimbulkan reaksi disforia, ataksia, dan
penambahan durasi sedasi, tanpa meningkatkan efek anxiolysis. Midazolam juga dapat
menimbulkan efek depresi pada sistem kardiovaskuler dan respiratoris, sehingga pemantauan
yang ketat pada tanda-tanda klinis pasien terkait kedua sistem tersebut harus diperhatikan.
Propofol (2,6 diisopropylphenol) merupakan obat sedatif yang banyak digunakan saat ini.
Seperti halnya dengan benzodiazepine, propofol juga bekerja denga memodulasi jalur GABA.
Selain itu, propofol dapat memberikan efek sedasi melalui interaksi dengan reseptor adrenergik α
dan NMDA. Hambatan transmisi jalur kolinergis diduga juga memberikan efek penurunan
kesadaran. Efek sedasi dapat diberikan dengan propofol dosis rendah, sedangkan dosis yang
lebih tinggi dapat mengakibatkan apnea, relaksasi otot, dan refleks batang otak. Pemantauan dan
penanganan pada jalan nafas menjadi hal yang harus diperhatikan pada penggunaan obat ini.
Selain penggunaannya pada induksi dan maintenance intraoperatif, propofol juga sering
digunakan sebagai sedatif pada pasien-pasien di ruang perawatan intensif (ICU) dengan ventilasi
mekanis. Belakangan ini, propofol juga diberikan untuk mencegah post-operative nausea
vomiting (PONV) dan sebanding dengan efek yang dihasilkan oleh dexamethasone. (Celik et al,
2015) Dosis propofol yang diinfuskan sebagai sedatif umumnya berkisar 25-75 µg/kg/menit.
Dosis yang diberikan dapat dititrasi untuk mencegah kejadian apnea. Efek samping lain yang
secara spesifik dapat dihasilkan oleh propofol antara lain nyeri pada lokasi injeksi, propofol
related infusion syndrome (PRIS), dan produksi urin berwarna hijau. PRIS merupakan efek
samping penggunaan propofol secara kontinyu dan sangat langka terjadi, tetapi bersifat
mematikan. Tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan antara lain asidosis metabolik,
hiperkalemia, hiperlipidemia, rhabdomyolisis, hepatomegali, gagal ginjal, aritmia, hingga gagal
jantung (Abola et al, 2017).
Ketamine adalah derivat phencyclidine yang bekerja pada sistem saraf pusat sebagai antagonis
reseptor N-Methyl-D-aspartate (NMDA). Hambatan pada reseptor NMDA akan menghambat
jalur eksitatorik pada otak. Ketamine juga dapat berinteraksi dengan reseptor opioid dan
memiliki fungsi sebagai anestesi lokal. Ketamine dapat diberikan baik untuk menimbulkan efek
anestesi umum atau memberikan analgesia yang efektif untuk nyeri akut maupun kronis.
Karakteristik khusus dari ketamine adalah rangsangan yang diberikan obat ini terhadap sistem
kardiovaskuler disertai sedikit depresi pada sistem respiratoris, tetapi refleks laring dan faring
tetap ada (Fradkin et al, 2015). Di samping penggunaannya sebagai obat anestesi umum,
ketamine umumnya digunakan sebagai sedatif pada pasien luka bakar, pasien yang tidak
kooperatif (melalu intramuskuler), dan sebelum prosedur yang nyeri pada pasien pediatri.
Ketamine juga dapat memberikan efek analgesia pada nyeri akut post-operatif dan dapat
mengurangi kebutuhan akan opioid. Dosis yang dapat diberikan untuk memberikan efek
analgesia post-operatif tersebut berkisar 0.25 – 0.5 mg/kg bolus IV atau infus 2 µg/kg/menit IV
(Radvansky et al, 2015).
Agonis reseptor α2 memiliki beberapa efek yang menguntungkan, antara lain analgesia,
anxiolysis, inhibisi jalur simpatis, dan penurunan kadar norepinephrine. Efek-efek tersebut
berdampak pada peningkatan stabilitas hemodinamik, perbaikan keseimbangan supply-demand
oksigen pada miokard, dan protektif terhadap miokard. Clonidine dan dexmedetomidine
merupakan beberapa obat yang dikenal dan digunakan saat ini.
Clonidine merupakan suatu agonis reseptor adrenergik α2 parsial yang memiliki efek sedatif,
anxiolysis, analgesia, dan antiemesis. Sifat agonis pada reseptor α2 di locus ceruleus pons akan
menurunkan kadar noradrenergik, meningkatkan kerja neuron inhibitorik, yang mengakibatkan
efek anxiolysis dan sedasi. Obat ini juga dapat bekerja sebagai anti hipertensi, tetapi tidak akan
menimbulkan perubahan hemodinamika yang bermakna (pada anak-anak). Namun, clonidine
dapat menutupi efek stres pada saat intubasi. (Rosenbaum et al, 2009). Clonidine tidak
menimbulkan depresi pada sistem respiratoris dan tidak memengaruhi fungsi kognitif dan
memori. Obat ini dapat menurunkan kebutuhan obat anestesi inhalasi dan opioid selama fase
perioperatif. Pada anak-anak, clonidine dapat bermanfaat menurunkan risiko dan menangani
delirium post-operatif. Efek sedasi yang ditimbulkan oleh clonidine serupa dengan tidur
fisiologis, dibandingkan dengan midazolam yang serupa dengan intoksikasi alkohol. Clonidine
juga memiliki efek analgesia melalu aktivasi reseptor α2 post-sinaps di substansia gelatinosa
medulla spinalis yang mencegah pelepasan Substance P. Beberapa penelitian menunjukkan
premedikasi dengan clonidine menurukan nyeri post-operatif jika dibandingkan dengan
pemberian midazolam (Fradkin, 2015).
Dexmedetomidine adalah agonis reseptor adrenergik α2 yang lebih baru dan lebih spesifik
terhadap reseptor α2. Spesifitas tersebut membuat dexmedetomidine dikenal sebagai full agonist
jika dibandingkan dengan clonidine yang merupakan partial agonist. Waktu paruh eliminasi
yang lebih singkat dan spesifisitas yang tinggi menjadikan obat ini lebih ideal sebagai sedatif.
Selain itu, dexmedetomidine juga memiliki efek anxiolysis, anti-sialagogue, simpatolisis, dan
antiemesis, tetapi tidak menimbulkan depresi sistem respiratoris dengan dosis tinggi. Beberapa
penelitian telah menunjukkan efek protektif dexmedetomidine terhadap beberapa organ antara
lain, jantung, otak, ginjal, dan paru-paru (Fradkin et al 2015). Penelitian yang dilakukan Ji dkk
(2012) menunjukkan penggunaan dexmedetomidine penurunan angka mortalitas dan komplikasi
post-operatif, sekaligus kejadian delirium pasca operasi jantung. Biccard dkk (2008) juga
menyimpulkan bahwa penggunaan dexmedetomidine pre- dan intra-operatif menurunkan
mortalitas, kejadian iskemia miokard, kejadian infark miokard pada pembedahan non-kardiak,
meski disertai dengan kejadian hipotensi dan bradikardia pada sejumlah pasien. Dosis yang dapat
digunakan untuk memberikan efek sedasi yaitu loading 1 µg/kg berat badan dalam 10 menit
dilanjutkan dosis maintenance 0,2-0,7 µg/kg/jam (Bradley, 2000).
ANALGESIK
Opioid merupakan obat analgesia yang sejauh ini paling poten dan digunakan umumnya
intraoperatif dan post-operatif. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, opioid juga digunakan
untuk mengatasi nyeri kronis. Opioid bekerja pada reseptor opioid yang tersebar di seluruh
tubuh, sementara mayoritas reseptornya berada di sistem saraf pusat. Opioid yang digunakan
dalam praktik sehari-hari terbagi dalam opioid natural (morphine), semi-sintetis (codeine, heroin,
oxycodone, dll), dan sintetis (loperamide, meperidine, fentanyl, methadone, dll). Opioid juga
dibagi menurut potensinya, yaitu lemah (codeine, tramadol, dll), medium (morphine, oxycodone,
dll), dan kuat (fentanyl, sufentanil, remifentanil, dll). Naloxone merupakan antagonis opioid
yang dapat digunakan untuk menetralisir efek toksisitas opioid. Sebagian besar opioid
dimetabolisme di hepar dan dieksresi oleh ginjal dan/atau bilier. Gangguan pada ginjal dapat
mengakibatkan efek samping yang lebih dominan pada pasien, seperti misalnya dengan
metabolit morphine yang bersifat lebih poten daripada zat asalnya. Pada fase post-operatif efek
samping opioid bervariasi mulai dari mual muntah, penurunan motilitas usus, hingga depresi
pernapasan dan sedasi berat. Patient controlled analgesia (PCA) merupakan salah satu metode
analgesia post-operatif yang dapat digunakan dan mengacu pada nyeri yang dialami pasien
secara individu. Dengan metode ini, morphine yang umumnya digunakan sebagai obatnya dapat
diterima pasien dengan menekan tombol pada alat PCA oleh pasien sendiri. Dengan mengatur
dosis maksimal yang dapat diterima pasien, dokter yang merawat pasien dapat mencegah efek
samping opioid yang dapat muncul akibat metode ini. Pada ruang pemulihan (RR/PACU),
morphine dapat diberikan 2 mg secara bolus dengan interval 5 – 10 menit hingga skor nyeri
berkurang setidaknya 3 poin (0-10). Fentanyl bersifat 100 kali lebih poten daripada morphine
dan memiliki onset yang lebih cepat (15-30 detik). Pemberian fentanyl intravena dapat diberikan
secara kontinyu pada post-operatif untuk mengatasi nyeri akut post-operatif (Abola et al, 2017).
Paracetamol

Parasetamol merupakan analgesik sekaligus antipiretik non-asam yang paling popular dan
paling banyak digunakan diseluruh dunia karena efek samping yang sedikit dan efektivitas yang
telah terbukti. (Barden et al., 2004). Efek antipiretik dihasilkan akibat inhibisi sintesis
prostaglandin pada hipotalamus, sedangkan efek analgesia saat ini masih dihipotesiskan
merupakan aktivitas sentral dari COX-2. Namun, hal ini masih terus dibahas karena adanya iso
enzim lain yaitu COX-3 (Botting, 2000), stimulasi dari serotoninergic pathways (5-HT)
(Pelissier et al., 1996), dan efek antagonis pada reseptor N-methyl d-aspartate (NMDA).
Parasetamol intravena memiliki efikasi yang lebih baik dibanding parasetamol oral atau rektal
karena konsentrasi puncak yang tinggi dan onset yang cepat, terutama pada fase post operasi
yang mana sering kali disertai dengan delayed gastric emptying (Jarde dan Boccard, 1997).
Dosis yang digunakan berkisar 10-15 mg/kgBB. Parasetamol memiliki efek opioid-sparing,
sehingga dosis opioid yang diperlukan menjadi lebih sedikit yaitu sekitar 20% (Remy et al.,
2005) dan memiliki kombinasi yang baik dengan kodein, tramadol dan morfin (Edward et al.,
2002). Parasetamol dapat mengakibatkan keruakan organ pada overdosis dan konsumsi kronis,
terutama pada hepar, tetapi jarang terjadi pada periode post-operatif (Graham et al., 2005).
Parasetamol dosis tunggal menunjukkan efikasi yang tinggi terhadap nyeri post-operatif jika
dibandingkan dengan plasebo (Barden et al., 2004).
Metamizole merupakan antipiretik dan analgesik non-asam yang termasuk dalam grup
phenazones. Saat ini, mekanisme farmakologis yang jelas masih belum ditemukan, tetapi
diasumsikan bahwa metamizole merupakan inhibitor COX-3 sehingga mengurangi sintesis
prostaglandin. Metamizole dapat diberikan melalui rute oral, intravena (IV)/ intramuskuler (IM),
atau rektal. Pemberian dalam bentuk parenteral yang terlalu cepat dapat menyebabkan hipotensi
mendadak. Metamizole dapat mengakibatkan agranulositosis (0.79%-0.86% di US) dengan
mortalitas 0.57% (Huguley, 1964). Pemberian obat dalam waktu singkat dan dengan dosis
rendah 1-2 g/hari dapat mengurangi resiko (Ibanez et al., 2005). Metamizole IM terbukti
memiliki efek analgesik yang lebih superior dibanding obat anti nyeri opioid maupun non-opioid
(Grundmann et al., 2006). Dosis yang umumnya diberikan berkisar 1.0-2.5 gr/ hari (pasien
dewasa).
NSAID menghambat enzim COX yang mengubah asam arakidonat menjadi prostanoid, yang
merupakan prekursor dari prostaglandin. Salah satu NSAID nonselektif adalah aspirin. (Vane,
1971) Efek toksik pada gastro intestinal merupakan masalah utama yang diakibatkan
penggunaan jangka panjang (Harris et al., 2001). Toksisitas renal terjadi karena prostaglandin
mempertahankan tekanan darah dan glomerular filtration rate (Cheng dan Harris, 2005). NSAID
sebaiknya tidak digunakan pada dewasa dengan hipotensi dan/atau hipovolemi terutama pada
orang tua dan pada penderita jantung ataupun sirosis hepar karena peningkatan resiko terjadinya
iskemia dan kerusakan renal (Weir, 2002). NSAID dapat mengakibatkan gangguan fungsi
platelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan hingga 30% (Brune dan
Zeilhofer, 2006). Selain itu, NSAID non-selektif dan inhibitor COX-2 juga dikenal memilik efek
samping pada system kardiovaskular (Johnsen et al., 2005). NSAID dikatakan tidak cukup
adekuat dalam penanganan nyeri post-operatif bila tidak dikombinasi. Selain itu, efek opioid-
sparing juga belum dapat ditentukan karena jumlah penelitian yang kurang.
Coxib merupakan inhibitor selektif terhadapt COX-2 yang berperan dalam pembentukan
prostaglandin sentral pasca terjadinya kerusakan jaringan (Reuben et al., 2006). Coxib umumnya
dikonsumsi dalam bentuk tablet atau kapsul, namun saat ini didapati parecoxib yang merupakan
prodrug inaktif dari valdecoxib yang bisa diinjeksi dan dapat memunculkan efek dalam 10-15
menit, identik dengan ketorolac (Daniels et al., 2001). Inhibitor COX-2 seperti rofecoxib dapat
menurunkan jumlah perdarahan pada operasi tertentu seperti histerektomi dan operasi payudara
(Hegi et al., 2004). Penggunaan valdecoxib atau parecoxib pada post-operatif coronary bypass
grafting menunjukkan peningkatan komplikasi kardiovaskular trombo-embolik yang signifikan
(Nussmeier et al., 2005). Namun demikian, pada penelitian yang melibatkan pasien bedah umum
yang dilakukan secara acak pada 1050 pasien, yang membandingkan pemberian plasebo dan
paracoxib/ valdecoxib, menunjukkan efek samping kardiovaskular/ trombo embolik sejumlah 1%
pada kedua grup (Nussmeier et al., 2006). Perlu diperhatikan bahwa coxib juga memiliki efek
komplikasi renal seperti NSAID non selektif. Obat-obat inhibitor COX-2, antara lain rofecoxib,
celecoxib, valdecoxib, dan lumeracoxib telah menunjukkan kesamaan efektivitas dengan NSAID
konvensional pada nyeri postoperasi (Barden et al., 2003). Studi menunjukkan penggunaan coxib
dapat mengurangi kebutuhan dosis opioid hingga 29%, dan pengurangan rasa sakit hingga 33%,
selain itu juga terdapat 31% reduksi efek samping opioid (Gan et al., 2004). Dosis celecoxib
yang umum diberikan adalah 200-400 mg, dosis tunggal.
Gabapentine merupakan antikonvulsan yang banyak digunakan sebagai pengobatan nyeri
neuropatik, belakangan obat ini digunakan juga sebagai obat analgesic dalam perioperatif.
Gabapentine mengakibatkan 35% reduksi dari total konsumsi opioid selama 24 jam pertama,
pengurangan nyeri postoperasi ketika istirahat dan dengan gerakan. Gabapentin dapat
mengurangi muntah dan pruritus, yang namun disertai dengan meningkatkan pusing dan sedasi.
Dosis yang digunaan berkisar mulai dari 800-1200 mg diberikan rata-rata 1-2 jam sebelum
operasi hingga hari ke 2 postoperasi. (Peng et al., 2007)
1. Abola R, Geralemou S, Szafran M, Gan TJ. 2017. Intravenous Anesthetics. Clinical Anesthesia
8th Ed, chapter 19.
2. Barden J, Edward J, Moore A, McQuay H. 2004. Single dose oral paracetamol for post-operative
pain. Cochrane Database of Systematic Reviews(1):CD004602.
3. Bauer KP, Dom PM, Ramirez AM, O’Flaherty JE. 2004. Preoperative Intravenous Midazolam:
Benefits Beyond Anxiolysis. J. Clin. Anesth 16:177-183.
4. Barden J, Edwards JE, McQuay HJ & Moore RA. 2003. Oral valdecoxib and injected parecoxib
for acute postoperative pain: a quantitative systematic review. BMC Anesthesiology 3(1): 1.
5. Barden J, Edwards J, Moore A & McQuay H. 2004. Single dose oral paracetamol
(acetaminophen) for postoperative pain. Cochrane Database of Systematic Reviews (1):
CD004602.
6. Biccard BM, Goga S, de Beurs J. 2008. Dexmedetomidine and cardiac protection for non-cardiac
surgery: a meta-analysis of randomised controlled trials. Anaesthesia 63:4-14.
7. Botting RM. 2000. Mechanism of action of acetaminophen: is there a cyclooxygenase 3? Clinical
Infectious Diseases. 31(supplement 5): S202eS210
8. Bradley C. 2000. Dexmedetomidine – a novel sedative for postoperative sedation. Intensive and
Critical Care Nursing 16:328-329.
9. Brune K & Zeilhofer HU. 2006. Antipyretic analgesics: basic aspects. Wall and Melzack’s
Textbook of Pain.
10. Celik M, Dostbil A, Aksoy M, Ince I, Ahiskalioglu A, Comez M, Erdem AF. 2015. Is Infusion of
Subhypnotic Propofol as Effective as Dexamethasone in Prevention of Postoperative Nausea and
Vomitting Related to Laparoscopic Cholecystectomy? A Randomized Controlled Trial. BioMed
Research International 2015.
11. Cheng HF & Harris RC. 2005. Renal effects of non-steroidal anti-inflammatory drugs and
selective cyclooxygenase-2 inhibitors. Current Pharmaceutical Design 11(14): 1795e1804.
12. Daniels SE, Grossman EH, Kuss ME et al. 2001. A double-blind, randomized comparison of
intramuscularly and intravenously administered parecoxib sodium versus ketorolac and placebo
in a post-oral surgery pain model. Clinical Therapeutics 23(7): 1018e1031.
13. Edwards JE, McQuay HJ & Moore RA. 2002. Combination analgesic efficacy: individual patient
data metaanalysis of single-dose oral tramadol plus acetaminophen in acute postoperative pain.
Journal of Pain and Symptom Management 23(2): 121e130.
14. Eichhorn JH. 2012. Practical current issues in perioperative patient safety. J Can Anesth 60:111-
118.
15. Feld LH, Negus JB, White PF. 1990. Oral Midazolam Preanaesthetic Medication in Paediatric
Outpatients. Anesthesiology 73(5):831-834.
16. Fradkin DM, Warren VLS, Vashisht R, Rolfe SE. 2015. An Evidence-Based Guideline for the
Pre-Operative Sedation of Children. J Pediatr Neonatal Care 2(6):00095.
17. Gan TJ, Joshi GP, Viscusi E et al. 2004. Preoperative parenteral parecoxib and follow-up oral
valdecoxib reduce length of stay and improve quality of patient recovery after laparoscopic
cholecystectomy surgery. Anesthesia and Analgesia 98(6): 1665e1673.
18. Graham GG, Scott KF & Day RO. 2005. Tolerability of paracetamol. Drug Safety 28(3):
227e240.
19. Grundmann U, Wornle C, Biedler A et al. 2006. The efficacy of the non-opioid analgesics
parecoxib,paracetamol and metamizol for postoperative pain relief after lumbar microdiscectomy.
Anesthesia and Analgesia 103(1): 217e222.
20. Harris SI, Kuss M, Hubbard RC & Goldstein JL. 2001. Upper gastrointestinal safety evaluation of
parecoxib sodium, a new parenteral cyclooxygenase-2-specific inhibitor, compared with
ketorolac, naproxen, and placebo. Clinical Therapeutics 23(9): 1422e1428.
21. Hegi TR,BombeliT, SeifertB et al. 2004. Effect of rofecoxib on platelet aggregation and blood
loss in gynaecological and breast surgery compared with diclofenac. British Journal of
Anaesthesia 92(4): 523e531.
22. Huguley Jr. CM. 1964. Agranulocytosis Induced by Dipyrone, a Hazardous Antipyretic and
Analgesic. JAMA 189: 938e941
23. Ibanez L, Vidal X, Ballarin E & Laporte JR. 2005 Agranulocytosis associated with dipyrone
(metamizol).European Journal of Clinical Pharmacology 60(11): 821e829.
24. Jarde O & Boccard E. 1997. Parenteral versus oral route increases paracetamol efficacy. Clinical
Drug Investigation 14(6): 474e481.
25. Ji F, Li Z, Nguyen H, Young N, Shi P, Fleming N, Liu H. 2013. Perioperative Dexmedetomidine
Improves Outcome of Cardiac Surgery. Circulation 127:1576-1584.
26. Johnsen SP, Larsson H, Tarone RE et al. 2005. Risk of hospitalization for myocardial infarction
among users of rofecoxib, celecoxib, and other NSAIDs: a population-based case-control study.
Archives of Internal Medicine 165(9): 978e984.
27. Mather SJ, Peutrell JM.1995. Postoperative morphine requirements, nausea and vomiting
following anaesthesia for tonsillectomy. Comparison of intravenous morphine and non-opioid
analgesic technique. Paediatric Anesthesia 5:185-188.
28. Nussmeier NA, Whelton AA, Brown MT et al. 2005 Complications of the COX-2 inhibitors
parecoxib and valdecoxib after cardiac surgery. The New England Journal of Medicine 352(11):
1081e1091.
29. Nussmeier NA, Whelton AA, Brown MTet al. 2006. Safety and efficacy of the cyclooxygenase-2
inhibitors parecoxib and valdecoxib after noncardiac surgery. Anesthesiology 104(3): 518e526.
30. Radvansky BM, Shah K, Parikh A, Sifonios AN, Le V, Eloy JD. 2015. Role of Ketamine in
Acute Postoperative Pain Management: A Narrative Review. BioMed Research International
2015.
31. Remy C, Marret E & Bonnet F. 2005. Effects of acetaminophen on morphine side-effects and
consumption after major surgery: meta-analysis of randomized controlled trials. British Journal of
Anaesthesia 94(4): 505e513.
32. Rosenbaum A, Kain ZN, Larsson P, Lönnqvist PA, Wolf AR. 2009. Pro-Con Debate: The place
of premedication in paediatric practice. Paediatric Anaesthesia 19: 817-828.
33. Peck TE, Hill SA, Williams M. 2008. Pharmacology for Anaesthesia and Intensive Care 3rd Ed.
Cambridge Medicine. USA, pp. 378.
34. Pelissier T, Alloui A, Caussade F et al. 1996. Paracetamol exerts a spinal antinociceptive effect
involving an indirect interaction with 5-hydroxytryptamine3 receptors: in vivo and in vitro
evidence. Journal of Pharmacology & Experimental Therapeutics 278(1): 8e14.
35. Peng PW, Wijeysundera DN, Li CC. 2007. Use of gabapentin for perioperative pain control – A
meta-analysis. Pain Research & Management : The Journal of the Canadian Pain Society
12(2):85-92.
36. Reuben SS, Buvanendran A, Kroin JS & Steinberg RB. 2006. Postoperative modulation of central
nervous system prostaglandin E2 by cyclooxygenase inhibitors after vascular surgery.
Anesthesiology 104(3): 411e416.
37. Steffen P, Schuhmacher I, Weichel T et al. 1996. Differential administration of non-opioids in
postoperative analgesia, I. Quantification of the analgesic effect of metamizole using patient-
controlled analgesia. Ana¨sthesiologie, Intensivmedizin, Notfallmedizin, Schmerztherapie 31(3):
143e147.
38. Vane JR. 1971. Inhibition of prostaglandin synthesis as a mechanism of action for aspirin-like
drugs. Nature:New biology 231(25): 232e235.
39. Wallace CI, Dargan PI & Jones AL. 2002. Paracetamol overdose: an evidence based flowchart to
guide management. Emergency Medicine Journal 19(3): 202e205.
40. Weir MR. 2002. Renal effects of nonselective NSAIDs and coxibs. Cleveland Clinic Journal of
Medicine 69(supplement 1): SI53eSI58.

Anda mungkin juga menyukai