Anda di halaman 1dari 27

JUDUL : UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK

MIKROALGA Chaetoceros calcitrans TERHADAP BAKTERI


Propionibacterium acnes

NAMA : WYNTHI AGUSTINA CORDELLIA PUTRI

NPM : 10060316110

PENDAHULUAN

Jerawat merupakan salah satu infeksi kulit yang hampir setiap orang pernah

mengalaminya baik saat masa remaja maupun dewasa. Prevalensi tertinggi yaitu 83-

85% pada wanita usia 14-17 tahun dan 95-100% pada pria usia 16-19 tahun.

Berdasarkan penelitian Afriyanti (2015), pada catatan dermatologis di Indonesia

terdapat 60% penderita acne vulgaris (jerawat) pada tahun 2014, 80% pada tahun

2015, dan 90% pada tahun 2016.

Meskipun tidak mengancam kehidupan, namun jerawat dapat mengganggu

kondisi mental dan kehidupan sosial penderita. Hasil penelitian Vilar (2015)

menunjukkan bahwa dari 317 responden, 48.6% diantaranya menderita stress akibat

jerawat, 19.4% takut untuk berfoto, 22% takut saat bertemu seseorang untuk pertama

kali, dan 8.5% takut untuk bersosialisasi dengan teman.

Disampaikan pada Seminar Proposal Tugas Akhir Program Studi Farmasi FMIPA Unisba, pada:

Tanggal : ....................................................................................................................
Jam : ....................................................................................................................
Tempat : ....................................................................................................................
Pembimbing utama : Indra Taufik, M.Si., Apt. (...............................)
Pembimbing serta : Reza Abdul Kodir, S.Si.,M.Farm. (...............................)

1
Jerawat dapat dipicu oleh bakteri Propionibacterium acnes dan

Straphylococcus epidermis. Bagian yang diserang oleh jerawat yaitu pada

polisebasea kulit bagian kelenjar sebasea dan kelenjar rambut. Infeksi ini ditandai

dengan adanya komedo, papul, pustul, nodus, dan kista pada daerah pemukaan kulit

(Lai et al., 2009). Menurut Harper (2004) jerawat dapat disebabkan oleh

hiperproliferasi epidermis folikular sehingga folikel tersumbat, sebum diproduksi

secara berlebih, inflamasi, dan adanya aktivitas bakteri.

Bakteri Propionibacterium acnes berperan pada proses pathogenesis jerawat,

dimana bakteri ini akan menghasilkan lipase yang dapat memecah asam lemak bebas

dari lipid kulit serta menstimulasi aktivasi jalur klasik dan alternatif komplemen (Bramono

& Indriatmi, 2015). Asam lemak bebas inilah yang dapat mengakibatkan inflamasi

kerika bereaksi dengan sistem imun sehingga mendukung terjadinya pertumbuhan

bakteri Propionibacterium acnes. Propionibacterium acnes dapat mengekskresikan

bahan kimia yang dapat menghancurkan dinding pori sehingga merusak lapisan kulit

stratum corneum dan stratum germinativum. Hal ini dapat menyebabkan inflamasi

dimana asam lemak dan minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika jerawat disentuh

maka inflamasi akan meluas dan padatan akan membesar (Azrifitria, 2010).

Jerawat dapat diobati dengan cara memperbaiki abnormalitas folikel, menekan

produksi minyak, menghambat inflamasi, dan membunuh koloni bakteri

Propionibacterium acnes. Berdasarkan penelitian Nakatsuji (2009), biasanya

pengobatan jerawat di klinik kulit akan diberikan antibiotik yang dapat menghambat

2
inflamasi dan membunuh bakteri, seperti tetrasiklin dan klindamisin. Namun, obat-

obat tersebut dapat memberikan efek samping seperti iritasi, resistensi, kerusakan

organ, dan imunohipersensitivitas (Swanson, 2003).

Mikroalga adalah mikroorganisme perairan yang memiliki potensial tinggi

untuk dikembangkan, karena mikroalga memiliki banyak manfaat yang dapat

digunakan untuk kebutuhan manusia, diantaranya yaitu sebagai bahan makanan

maupun pakan ternak, obat-obatan, campuran pupuk, dan sebagai biofuel (Christi,

2007). Chaetoceros calcitrans merupakan salah satu contoh alga yang mempunyai

kandungan nutrisi yang tinggi. Kandungan nutrisi dari Chaetoceros sp yaitu protein

35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28% (Isnansetyo dan Kurniastuty,

1995).

Chaetoceros calcitrans merupakan salah satu alga jenis diatom

(Bacillariophyceae) yang termasuk mikroalga dominan di laut. Bentuk diatom dapat

berupa sel tunggal atau rangkaian sel panjang, dimana setiap sel dilindungi oleh

dinding silika yang menyerupai kotak (Sachlan, 1982). Diatom kaya akan kandungan

karotenoid dan memiliki keistimewaan yaitu kandungan fukosantinnya yang tinggi

(Kim et al., 2012). Diatom memiliki 5 pigmen warna yakni klorofil a, klorofil c,

karoten, diatomin dan fukosantin. Fukosantin adalah salah satu dari anggota keluarga

karotenoid. Fukosantin banyak diteliti dan dieksplorasi karena memiliki beragam

fungsi fisiologis dan biologis dalam bidang kesehatan, yaitu sebagai : antikanker

(Kumar et al., 2013), antiradang (Heo et al., 2010), antiobesitas dan diabetes (Maeda

3
et al., 2009), antibakteri (Renhoran et al., 2017), maupun antioksidan (Nursid et al.,

2012). Chaetoceros calcitrans juga merupakan fitoplankton yang memiliki nutrisi

dan senyawa antibakteri yang tinggi seperti terpenoid, flavonoid, tanin, dan steroid,

sehingga dapat digunakan sebagai kandidat antibakteri (Okunowoa et al, 2016).

Menurut Meeting dan Pyne (1986) Chaetoceros calcitrans memiliki komponen aktif

antibakteri golongan asam lemak yang dapat memberi aktivitas antibakteri karena

dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen gram positif maupun bakteri gram

negatif. Mikroalga Chaetoceros calcitrans menghasilkan komponen aktif yang

mempunyai aktivitas terhadap bakteri E.coli & S.aureus, serta kapang Candida

albicans.

Hal ini mendorong dilakukannya berbagai penelitian untuk menemukan zat

baru yang dapat berkhasiat sebagai antibakteri yang berpotensi menghambat atau

membunuh bakteri yang resisten terhadap antibiotik, yaitu dengan menggunakan

mikroalga. Pada penelitian ini, akan digunakan mikroalgae Chaetoceros calcitrans

untuk diuji aktivitas antibakterinya terhadap bakteri Propionibacterium acnes.

4
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1. Chaetoceros calcitrans
1.1 Klasifikasi
Menurut Yamaji (1986) klasifikasi dari Chaetoceros calcitrans yaitu

sebagai berikut:

Kingdom : Chrysophyta

Kelas : Chaetoceraceae

Ordo : Centrales

Famili : Bacillariophyceae

Genus : Chaetoceros

Spesies : Chaetoceros calcitrans

1.2 Morfologi Chaetoceros calcitrans

Gambar 1.2 Chaetoceros calcitrans


Chaetoceros calcitrans merupakan salah satu alga jenis diatom

(Bacillariophyceae) yang termasuk mikroalga dominan di laut. Bentuk diatom

5
dapat berupa sel tunggal atau rangkaian sel panjang, dimana setiap sel

dilindungi oleh dinding silika yang menyerupai kotak (Arinardi, 1994).

Diatom kaya akan kandungan karotenoid dan memiliki keistimewaan yaitu

kandungan fukosantinnya yang tinggi (Kim et al., 2012). Diatom memiliki 5

pigmen warna yakni klorofil a, klorofil c, karoten, diatomin dan fukosantin.

Fukosantin adalah salah satu dari anggota keluarga karotenoid. Klorofil

berperan sebagai katalisator pada proses fotosintesis sedangkan adanya

pigmen karoten dan diatomin merupakan penyebab warna cokelat keemasan

pada dinding sel dari Chaetoceros calcitrans. Sel Chaetoceros calcitrans

berbentuk bulat dengan ukuran sel yang sangat kecil yakni berkisar antara 4–6

mikro seperti ukuran diatom pada umumnya (Isnansetyo dan Kurniastuty,

1995).

1.3 Ekologi dan Fisiologi Chaetoceros calcitrans

Chaetoceros calcitrans bersifat eurythermal (mampu mentolerir

berbagai suhu) dan euryhaline (mampu beradaptasi dengan keadaan salinitas).

Daerah penyebarannya pada daerah tropis dan subtropis meliputi muara

sungai, pantai dan laut. Pada suhu air 40C fitoplankton ini masih dapat

bertahan hidup namun tidak dapat berkembang. Pertumbuhan optimum

Chaetoceros calcitrans pada suhu kisaran antara 25 - 30C, salinitas optimal

untuk pertumbuhan optimal dari Chaetoceros sp. yaitu 28 - 30%. Seperti

fitoplankton pada umumnya, pertumbuhan dari Chaetoceros calcitrans

6
dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya optimum untuk

pertumbuhannya berkisar antara 3000 - 10.000 lux, dan jika intensitas cahaya

melebihi 10.000 lux maka pertumbuhannya akan menurun (Manurung, 2008).

1.4 Siklus Hidup dan Reproduksi

Chaetoceros calcitrans bereproduksi secara aseksual dengan

pembelahan sel dan seksual dengan pembentukan auxospora. Silikat memiliki

peranan penting dalam proses reproduksi fitoplankton ini sebagai bahan

pembentuk cangkang. Pembelahan sel terjadi dimana satu sel induk akan

membelah dan menghasilkan dua sel anak. Satu sel anak yang mendapatkan

tutup kotak (epiteka) akan berkembang menyerupai ukuran sel induknya,

sedangkan sel anak yang mendapatkan dasar kotak (hipoteka) akan tumbuh

lebih kecil dari pada sel induk. Pembelahan sel akan terus berlanjut sampai

ukuran sel semakin kecil (Djarijah, 1995).

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Chaetoceros calcitrans

akan terus membelah hingga ukuran sel menjadi semakin kecil. Ketika

mencapai batas ukuran tertentu, sel akan berhenti membelah dan berganti

menjadi reproduksi aseksual, dimana isi sel (sel anak) akan keluar dari

cangkangnya dan akan tumbuh besar hingga kembali ke ukuran induk semula.

Setelah itu, sel akan kembali bereproduksi secara aseksual melalui

pembelahan sel.

7
1.5 Kandungan dan kegunaan Chaetoceros calcitans

Chaetoceros calcitrans memiliki kandungan nutrisi yang tinggi yaitu

protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28%. Berdasarkan

kandungan nutrisi tersebut, Chaetoceros calcitrans memiliki peran besar

dalam hal penyediaan pakan untuk larva khususnya larva udang dalam bidang

budidaya dan perikanan (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Selain itu,

Chaetoceros sp. juga dapat memberi peranan terhadap manusia, dimana

mikroalga Chaetoceros sp. memiliki potensi tinggi sebagai penghasil

senyawa-senyawa kimia bernilai ekonomi tinggi seperti asam lemak omega.

Menurut Meeting dan Pyne (1986) Chaetoceros calcitrans memiliki

komponen aktif antibakteri golongan asam lemak yang dapat memberi

aktivitas antibakteri karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen

gram positif maupun bakteri gram negatif. Mikroalga Chaetoceros calcitrans

menghasilkan komponen aktif yang mempunyai aktivitas terhadap bakteri

E.coli & S.aureus, serta kapang Candida albicans.

2. Propionibacterium acnes
2.1 Deskripsi Propionibacterium acnes
Propionibacterium acnes adalah bakteri gram positif dan anaerobik

yang lambat pertumbuhannya dan dianggap sebagai salah satu pemicu infeksi

jerawat pada manusia. Propionibacterium acne termasuk dalam kelompok

bakteri Corynebacteria. Propionibacterium acne biasanya menetap pada kulit

normal (Bhatia et al, 2004).

8
2.2 Klasifikasi Propionibacterium acnes

Adapun klasifikasi dari Propionibacterium acne menurut Brannan

(2007), adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Family : Propionibacteriaceae

Genus : Propionibacterium

Species : Propionibacterium acnes

2.3 Morfologi Propionibacterium acnes


Propionibacterium acnes memiliki ciri penting yaitu bentuk batangnya

tak teratur yang dapat dilihat pada saat pewarnaan Gram positif. Bakteri ini

dapat tumbuh di udara dan tidak menghasilkan endospora. Propionibacterium

acnes ada yang berbentuk filamen bercabang, ada pula yang berbentuk

campuran antara bentuk batang, ataupun filamen dengan bentuk kokoid.

Propionibacterium acne memerlukan oksigen mulai dari aerob atau anaerob

fakultatif sampai ke mikrofilik atau anaerob. Bakteri ini bersifat patogen pada

beberapa hewan dan tanaman. Obat yang digunakan secara topikal umumnya

mengandung unsur sulfur dan astringent lainnya. Benzoil Peroksida 2,5-10%

sangat aktif melawan Propionibacterium acne. Contoh obat terapi sistemik

yang dapat digunakan adalah tetrasiklin dan eritromisin (Pramasanti, 2008).

9
2.4 Patogenitas Propionibacterium acnes

Bakteri ini ikut serta dalam patogenesis jerawat dengan menghasilkan

lipase, yang memecahkan asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini

dapat menimbulkan radang jaringan dan ikut menyebabkan jerawat.

Propionibacterium acne merupakan bagian flora kulit normal, kadang-kadang

bakteri ini muncul dalam biakan darah 8 dan harus dibedakan sebagai suatu

pencemarbiakan atau penyebab sebenarnya dari penyakit. Propionibacterium

acne kadang-kadang menyebabkan infeksi katup jantung prostetik dan pintas

cairan serebrospinal (Jawetz et al., 1996).

3. Kultur Chaetoceros calcitrans

Kultur murni plankton merupakan kultur yang dilakukan di ruangan tertutup

atau laboratorium yang bertujuan untuk mendapatkan spesies murni. Tahapan

kultur murni meliputi sterilisasi alat, sterilisasi bahan, isolasi, kultur media agar,

dan penyimpanan bibit (Ismantara, 2009). Pada kultur diatom, digunakan media

yang mengandung nutrisi untuk mendukung pertumbuhan palnkton. Media yang

digunakan pada kultur Chaetoceros calcitrans harus mengandung silikat karena

cangkang dari Chaetoceros sp. Mengandung silikat yang dapat mendukung

petumbuhan (Manurung, 2008).

3.1 Faktor yang Berpengaruh pada Kultur

Terdapat 2 faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroalga

yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang

berkaitan dengan metabolisme tubuh alga, sedangkan faktor ekstrinsik

10
merupakan faktor yang berasal dari lingkungan tempat alga tumbuh. Faktor

ekstrinsik memberi lebih banyak pengaruh pada pertumbuhan mikroalga

dibandingkan dengan faktor intrinsik. Beberapa faktor ekstirnsik yang

menjadi faktor bagi pertumbuhan Chaetoceros calcitrans yaitu unsur hara,

suhu, salinitas, dan cahaya (Nontji, 1993).

3.1.1. Intensitas Cahaya

Cahaya berperan penting dalam kultur mikroalga. Intensitas, distribusi,

dan spektrum cahaya berpengaruh dalam proses fotosintesis mikroalga yang

akan mempengaruhi pada produksi biomassa dan kandungan biokimia sel.

Intensitas cahaya yang optimal untuk pertumbuhannya sekitar 500 – 10.000

lux, dan pertumuhan akan turun jika intensitas cahaya lebih dari 10.000 lux

(Manurung, 2008).

3.1.2. Kadar Karbon Dioksida (CO2)

Karbondioksida merupakan gas yang penting bagi pertumbuhan

mikroalga karena diperlukan untuk proses fotosintesis. Kadar CO2 yang

berlebihan dapat mengakibatkan penurunan pH dari batas optimumnya

(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). .

3.1.3. Nutrien

Unsur hara seperti karbon, fosfor dan nitrogen seringkali menjadi

faktor pembatas pertumbuhan mikoalga. Pertumbuhan mikroalga yang

optimal dan kandungan komposisi kimia biomassa yang dihasilkan dapat

dicapai dengan perbandingan unsur hara yang tepat. Pertumbuhan mikroalga

11
dapat didukung dengan adanya unsur hara seperti ferrum, mangan,

molibdenum, cobalt, dan zink. Trace element berupa Fe berperan penting

dalap proses fotosintesis, respirasi, fiksasi nitrogen dan sintesis DNA (Støttrup

& McEvoy, 2000).

3.1.4. pH

Chaetoceros calcitrans dapat hidup secara optimal pada pH 7 - 8,5. Jika

pH tidak sesuai dengan habitatnya, maka pertumbuhan mikroalga tersebut

tidak akan berlangsung dengan normal (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

3.1.5. Salinitas

Chaetoceros calcitrans bersifat euryhaline yaitu mampu mentoleransi

kadar garam yang tinggi. Namun, salinitas optimum bagi pertumbuhan

mikroalga haurs tetap dijaga, dimana salinitas optimum bagi pertumbuhan

Chaetoceros sp. sekitar 25 - 30,5 %0 (Muellér-Feuga et al, 2000 diacu dalam

Stottrup & McEvoy,2003).

3.1.6. Suhu

Tiap alga memiliki toleransi suhu yang berbeda dalam pertumbuhannya.

Chaetoceros calcitrans mampu tumbuh pada rentang suhu 20 - 30C dan

optimal pada suhu 28 - 30C (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

3.2 Media Kultur Guillard f/2

Media Guillard’s f/2 sering digunakan untuk kultur makro maupun

mikroalga. Hal ini karena media Guillard f/2 selain mempunyai komposisi

unsur hara makro juga mempunyai unsur hara mikro yang lebih lengkap jika

12
dibandingkan dengan media lain. Unsur-unsur yang terkandung dalam media

Guillard’s f/2 memiliki komposisi yang lebih kompleks sehingga mikroalga

dapat tumbuh dengan cepat. Pada media ini unsur-unsur Fe, Mn, Cl, dan Zn

lebih banyak tersedia dari pada media yang lainnya. Unsur-unsur tersebut

digunakan untuk proses fotosintesis, dimana hasilnya digunakan untuk

pertumbuhan. Pada media ini juga mengandung vitamin lengkap yang

digunakan sebagai pemacu pertumbuhan terutama vitamin B12, dimana pada

perlakuan B unsur lebih lengkap (Fogg, 1965).

3.3 Pertumbuhan Mikroalga

Fase pertumbuhan pada mikroalga dapat diketahui dengan melakukan

diamati parameter pertumbuhannya seperti besarnya ukuran sel dan jumlah

sel. Menurut Brock and Madigan (2003), terdapat lima fase pertumbuhan

mikroalga selama proses kultur yang terdiri dari :

3.3.1. Fase Lag

Fase lag adalah fase yang terjadi sesaat setelah penambahan inokulan

ke media kultur. Fase ini juga disebut fase adaptasi dimana pada fase ini

kultur umumnya hanya mengalami peningkatan ukuran sel tetapi belum

terjadi proses pembelahan sel. Pada fase ini sel alga tetap hidup namun tidak

berkembang biak (Peclzar et al., 1986).

3.3.2. Fase Eksponensial

Fase ini diawali dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang

tetap karena sel alga aktif berkembang biak. Pada kondisi kultur yang

13
optimum, laju pertumbuhan pada fase ini akan mencapai kondisi yang

maksimal (Lavens dan Soorgeloos, 1996).

3.3.3. Fase Deklinasi

Pada fase ini proses pembelahan sel tetap terjadi namun tidak

seintensif pada fase sebelumnya, sehingga laju pertumbuhannya menjadi lebih

rendah dibandingkan dengan fase eksponensial (Pelczar et al., 1986).

3.3.4. Fase Stasioner

Pada fase statsioner, laju pertumbuhan berbanding lurus dengan laju

kematian sehingga penambahan maupun pengurangan mikroalga relatif sama,

oleh karena itu kepadatan kultur menjadi tetap. Jumlah sel cenderung tetap

karena sel telah mencapai titik jenuh. Keadaan ini diakibatkan oleh

terhambatnya pertumbuhan sel baru oleh keberadaan sel yang telah mati

maupun faktor pembatas lainnya (Lavens dan Soorgeloos, 1996).

3.3.5. Fase Kematian

Pada fase ini laju kematian lebih cepat dibandingkan dengan laju

pertumbuhan sehingga terjadi penurunan jumlah sel pada bak kulturisasi.

Penurunan kepadatan mikroalga ditandai dengan perubahan kondisi optimum

yang dipengaruhi oleh suhu, intensitas cahaya, jumlah unsur hara yang ada

dan beberapa kondisi lingkungan yang lain (Pelczar et al., 1986).

4. Antibakteri

Antibakteri merupakan zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau

bahkan membunuh bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang

14
merugikan. Mekanisme kerja dari antibakteri yaitu dengan menghambat sintesis

dinding sel, mengganggu permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja

enzim, dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Dwidjoseputro, 1980).

4.1 Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur seberapa besar

potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi

mikroorganisme (Dart, 1996). Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibakteri

yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) dan ada yang

bersifat membunuh bakteri (bakterisida) (Ganiswarna, 1995). Uji aktivitas

antibakteri dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu:

a) Metode Pengenceran Agar


Metode pengenceran agar sangat cocok untuk pemeriksaan

sekelompok besar isolat versus rentang konsentrasi antimikroba yang sama

(Sacher & McPherson, 2004). Kelemahan metode ini yaitu hanya dapat

digunakan untuk isolasi tipe organisme yang dominan dalam populasi

campuran (Jawetz et al., 2005).

b) Difusi Agar

Metode difusi agar digunakan untuk menentukan aktivitas agen

antimikroba. Metode difusi agar dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Cara Kirby Bauer


Metode difusi disk (tes Kirby Bauer) dilakukan untuk menentukan

aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba

15
diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme pada

media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan

pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan

media agar (Pratiwi, 2008). Keunggulan uji difusi cakram agar mencakup

fleksibilitas yang lebih besar dalam memilih obat yang akan diperiksa

(Sacher dan McPherson, 2004).

b. Cara Sumuran
Metode ini hampir sama dengan metode difusi disk, di mana

dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan

mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang

akan diuji (Pratiwi, 2008).

c) Metode Dilusi
Metode dilusi Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu metode

dilusi cair dan metode dilusi padat. Pada metode dilusi cair dapat diukur

angka KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bakterisidal

Minimum). Metode ini dilakukang dengan membuat seri pengenceran agen

antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji

(Pratiwi, 2008). Sedangkan metode dilusi padat serupa dengan metode dilusi

cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah

satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji

beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).

16
5. Ekstrak
5.1 Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dari hasil ekstrajsi zat aktif

dari suatu simplisia menggunakan pelarut yang sesuai. Semua atau hampir semua

pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang didapat diberi perlakuan sehingga

memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).

Berdasarkan sifatnya ekstrak dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu

(Voight, 1995):

a. Ekstra encer adalah sediaan yang dapat dituang dengan konsistensi seperti

madu

b. Ekstrak kental adalah sediaan dengan kandungan air sampai 30% dan tidak

dapat dituang. Kadar air yang tinggi menyebabkan sediaan tidak stabil karena

resiko terkena cemaran bakteri.

c. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah

dituang dengan kadar air tidak lebih dari 5%

d. Ekstrak cair adalah ekstrak yang dibuat sedemikian rupa sehingga 1 bagian

simplisianya sesuai dengan 2 bagian ekstrak

5.2 Proses Pembuatan Ekstrak


Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi dipilih berdasarkan kemampuan

dalam melarutkan jumlah maksimum dari zat aktif dan seminimum mungkin zat

yang tidak diinginkan (Depkes RI, 2000).

Proses pembuatan ekstrak melalui tahap-tahap sebagai berikut:

17
a. Pembasahan

Pembasahan dilakukan pada zaat penyarian, yang bertujuan memberikan

kesempatan kepada cairan penyari untuk masuk ke dalam pori-pori simplisia

sehingga mempermudah penyarian selanjutnya (Depkes RI, 1986).

b. Penyari/Pelarut

Pada proses pembuatan ekstrak, digunakan pelarut yang baik untuk

senyawa kandungan berkhasiat atau aktif yang terdapat dalam simplisia. Pelarut

tersebut harus dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya.

Hingga kini berlaku aturan bahwa pelarut yang boleh digunakan adalah air,

alkohol (etanol), atau campuran air dan alkohol (Depkes RI, 2000).

c. Pemisahan dan Pemurnian

Proses ini bertujuan untuk memisahkan senyawa yang tidak diinginkan

tanpa mempengaruhi senyawa yang ingin diambil, sehingga diperoleh senyawa

yang lebih murni (Depkes RI, 2000).

d. Pemekatan/Penguapan

Pemekatan dapat meningkatkan jumlah solut dengan cara menguapkan

solvent hingga didapat ekstrak kental/pekat (Depkes RI, 2000).

6. Ekstraksi
6.1 Definisi Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Senyawa aktif yang

terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan

18
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya

senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan

pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000)

7. Metode Ekstraksi
7.1 Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengadukan yang dilakukan pada suhu kamar. Maserasi

bertujuan menarik zat berkhasiat yang tahan panas maupun yang tidak tahan

panas (Depkes RI, 2000).

Maserasi merupakan cara ekstraksi sampel yang paling sederhana.

Prinsip dari maserasi yaitu pelarutan kandungan simplisia dari sel yang rusak

karena proses penghalusan. Selama proses perendaman, dilakukan

pengadukan berulang-ulang. Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan

konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih dulu masuk ke dalam cairan. Keadaan

diam selama maserasi dapat menyebabkan turunnya perpindahan zat aktif.

Semakin besar peebandingan antara simplisia terhadap cairan pengekstraksi,

maka akan semakin banyak pula hasil yang diperoleh (Voigh, 1994).

Kerugian dari metode maserasi ini ialah waktu pengerjaan yang

dibutuhkan lama dan penyariannya kurang sempurna. Maserasi kinetik

dilakukan dengan penambahan pelarut setelah penyaringan maserat pertama

dan seterusnya (Depkes RI, 1995).

19
b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses ekstraksi pada suhu ruangan dengan

menggunakan pelarut yang selalu baru dan sempurna (Exhaustiva Extraction).

Prinsip perkolasi adalah penempatan serbuk simplisia pada suatu bejana

silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori (Depkes RI, 2000).

7.2 Cara panas


a. Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan nenggunakan pelarut pada titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut konstan karena adanya

pendinginan balik (Depkes RI, 2000).

b. Sokletasi

Sokletasi adalah proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang

selalu baru dengan bantuan alat khusus sehingga jumlah pelarut konstan

karena adanya pendinginan balik sehingga terjadi ekstraksi kontinu (Depkes

RI, 2000).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu (maserasi

kinerik), pada suhu ruangan antara 40 - 50°C(Depkes RI, 2000).

d. Dekok

Dekok sama dengan infus namun dilakukan dengan waktu yang lebih

lama dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

20
e. Infus

Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur

penangas air, dimana bejana infus dicelupkan ke dalam penangas air mendidih

dengan temperatur terukur 96 - 98°C selama 15 - 20 menit (Depkes RI, 2000).

21
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang akan dilakukan yaitu untuk menguji adanya aktivitas

antibakteri dari ekstrak mikroalga Chaetoceros calcitrans terhadap pertumbuhan

bakteri Propionibacterium acnes yang diperoleh dari Laboratorium Farmasi Terpadu

Unit D, Program Studi Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Islam Bandung.

Pada penelitian ini, mikroalga akan dikultur pada kondisi skala laboratorium.

Perangkaian alat dilakukan untuk mempersiapkan kondisi lingkungan kultur

miroalga. Tahap awal dimulai dari sterilisasi alat dan bahan, merangkai selang aerasi,

merangkai lampu neon, dan membuat filtrasi udara. Kultur mikroalga dilakukan

dengan teknik open culture menggunakan botol kaca tertutup. Tahapan kultur

meliputi pemasangan alat, penyiapan media kultur, dan proses kulturisasi. Kultur

Mikroalga ini diselenggarakan di laboratorium steril Universitas Islam Bandung.

Evaluasi Light Method dilakukan dengan menggunakan Lux meter. Penyiapan bahan

meliputi panen hasil kultur, maserasi, pemisahan, dan pemekatan. Pembuatan ekstrak

dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 95% pada suhu

kamar selama 24 jam. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 3000 rpm selama 15

menit. Pengujian aktivitas antibakteri meliputi penyiapan media agar, uji aktivitas

antibakteri ekstrak mikroalga, dan media kultur (sebagai kontrol). Uji ini dilakukan

menggunakan Media Nutrient Agar dengan metode difusi agar cara Kirby Bauer

(menggunakan kertas cakram). Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan pada

konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm, dan 500 ppm.

22
Bahan Segar

Kulturisasi

Penetapan
Parameter Standar
Simplisia Data parameter dan
data pegamatan
Simplisia makroskopik dan
Pengamatan mikroskopik
makroskopik dan
mikroskopik

Ekstraksi

Penetapan
parameter standar
simplisia
Data parameter dan
Ekstrak data penapisan
Penapisan fitokimia fitokimia

Uji antibakteri

Hasil Pengujian

Laporan akhir
Pembahasan penelitian
23
BAB III
BAHAN DAN ALAT

1.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah aerator, alat maserasi,

alumunium foil, autoclave, batang pengaduk, botol kaca 500 mL dan 1 L, bunsen,

cawan petri, erlenmeyer 500 mL, gelas kimia, gelas ukur, gunting, inkubator, jangka

sorong, kertas label, lampu neon, noozle, pipet kaca, pipet volume 5 ml dan 10 ml,

pipet ukur, sentrifuga, selang, semprotan alkohol, tabung reaksi, dan timbangan

analitik.

1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu mikroalga Chaetoceros

calcitrans yang berasal dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP)

yang berlokasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Untuk media kultur digunakan

pupuk Guillard’s f/2 yang dibeli dari lab pakan, air laut yang dibeli di Pasar Ikan Hias

Muara Bandung, almunium foil, aquadest, benang kasur, media kultur (sebagai

kontrol), etanol 95%, kapas berlemak, kertas bekas, kertas cakram, kertas saring, dan

media Nutrien Agar (NA).

1.3 Mikroba Uji


Propionibacterium acne yang diperoleh dari Laboratorium Farmasi Terpadu

Unit D, Program Studi Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Islam Bandung.

24
DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, R. N. (2015). Akne Vulgaris Pada Remaja. Fakultas Kedokteran


Universitas Lampung. Jurnal Majority, Vol.4/No.6.
Arinardi, O.H., Trimaningsih dan Sudirjo. (1994). Pengantar Tentang Plankton Serta
Kisaran Kelimpahan dan Plankton Predominan di Sekitar Pulau Jawa dan
Bali. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI.
Azrifitria., Aziz, S., dan Chairul. (2010). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanolik Daun
dan Umbi Crinum asiatucum L. Terhadap Bateri Penyebab Jerawat. Jakarta:
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
Bhatia, Ajay., Maisonneuve., Jean-Francoise., Persing., David H. (2004).
Propionibacterium acnes and Chronic Diseases. United States: National
Academies Press
Bramono, S. L. S. M. K., & Indriatmi, W. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia.
Chisti Y. (2007). Biodiesel From Microalgae. J. Biotechnology Advances. 25:294 –
306.
Dart, R. K. (1996). Microbiology of The Analytical Chemistry. London: The Royal
Society of Chemistry.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Materia Medika Jilid VI. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan
Makanan.
Djarijah, A.S, (1995). Pakan Alami. Yogyakarta : Kanisius
Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : Gramedia.
Fogg, G.E. (1965). Algae Culture and Phytoplankton Ecology. Milk Wauhe: The
University of Winconsin Press..
Ganiswara, G. S. (1995). Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gaya Baru
Harper J. C. (2007). Acne Vulgaris Edisi Ke-4 . Jakarta: EGC .
Heo, S.J., Yoon, W.J., Kim, K.N., Ahn, G.N., Kang, S.M., Kang, D.H., Affan, A., Oh
C., Jung, W.K. & Jeon, Y.J. (2010). Evaluation of Anti-inflammatory Effect of

25
Fucoxanthin Isolated from Brown Algae in Lipopolysaccharide-stimulated
RAW 264.7 Macrophages. Food Chem. Toxicol., 48:2045–2051.
Isnansetyo, A., dan Kurniastuti. (1995). Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta:
Kanisius.
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A. (2001). Mikrobiologi Kedokteran, Edisi
XXII. Diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A. (2005). Mikrobiologi Kedokteran (Medical
Microbiology). Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Kim, S.M., Jung, Y. & Kwon, O. (2012). A Potential Commercial Source of
Fucoxanthin Extracted from the Microalga Phaeodactylum tricornutum a
Potential Commercial Source of Fucoxanthin Extracted from the Microalga
Phaeodactylum tricornutum. Appl. Biochem. Biotechnol., 166:1843– 1855. doi:
10.10 07/s12010-012-9602-2
Kumar, S.R., Hosokawa, M. & Miyashita, K. (2013). Fucoxanthin: A Marine
Carotenoid Exerting Anti-Cancer Effects by Affecting Multiple Mechanisms.
Mar. Drugs, 11:5130–5147. doi : 10.3390/md11125130
Lai, E.Y.C., Chyau, C.C., Mau, J.L., Chen C.C., Lai, Y.J., Shih, C.F., & Lin, L.L.
(2004). Antimicrobial Activity and Cytotoxicity of the Essential Oil of Curcuma
zedoaria. J. American Journal of Chinese Medicine, 32 (2), 281– 290
Lavens and Soorgeloos. (1996). Infuence of Dietary Vitamin C Dosage on Turbot
(Scophthalmus maximus) and European Sea Bass (Dicentrarbhus labrax)
Nursery Stages. German: University of Heidelberg.
Maeda, H., Hosokawa, M. & Sashima, T. (2017). Anti-obesity and Anti-diabetic
Effects of Fucoxanthin on Diet-induced Obesity Conditions in a Murine Model.
Mar. Drugs, 2:897-902 doi: 10.3892/mmr
Manurung, A.. (2008). Karakterisasi Awal Protein Diatom Chaetoceros gracilis yang
Terlibat Dalam Pembentukan Biosilika. Medan: Fakultas Pertanian Universitas
Darma Agung.
Nakatsuji, T., Kao, M.C., Fang, J.Y., Zouboulis, C.C., Zhang, L., Gallo RL, Huang
CM. (2009). Antimicrobial Property of Lauric Acid Against P.Acnes; Its
Therapeutic Potential for Inflammatory Acne Vulgaris. Journal invest
Dermatol, 129(10), 2480-8.

26
Nursid, M., Wikanta, T. & Susilowati, R. (2014). Aktivitas Antioksidan, Sitotoksisitas
dan Kandungan Fukosantin Ekstrak Rumput Laut Coklat dari Pantai
Binuangeun, Banten. J. Pascapan. Bioteknol. Kel. Perikan., 8(1):73-84. doi:
10.15578/jpbkp. v8i1.55
Okunowoa, O. w., L. O. Afolabib, I. E. Umunnakwea , A. O. Oyedejia and J. A.
Ilesanmia. (2016). GC-MS analysis and antimicrobial properties of methanolic
extracts of the marine algae Skeletonema costatum and Chaetoceros spp‖.
Biokemistri. 28(1): 24-33.
Pelczar, Michael J., dan Chan. (1986). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Pratiwi. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
Pyne, J. W., dan Meeting B. (1986). Biologically Active Compounds from
Microalgal. Journal of Enzyme Microbe Technology. Vol. 8. Butterworth &
Co. Plublished.
Renhoran, M., Dedi, N., Iriani, S., Uju. (2017). Ekstraksi Dan Purifikasi Fukosantin
dari Sargassum sp. Sebagai Anti-Acne. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia. 20(2): 370-379.
Sacher, R. A., and McPherson, R. A. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta: EGC
Sachlan, M. (1982). Planktonologi. Semarang: Fakultas Peternakan dan Perikanan
Universitas Diponegoro.
Støttrup, J. G dan Lesley A. McEvoy. (2003). Live Feeds in Marine Aquaculture.
Blackwell Science Ltd. Tunbridge Wells, Kent,159 p.
Swanson, I.K. (2003). Antibiotik Resistance of Propionibacterium acnes in acne
vulgaris. Dermatol Nurs, 15(4), 5359-361.
Vilar GN, Filho JFS, Santos LA. (2015). Quality of Life, Self-esteem and
psychosocial factors in Adolescents with Acne vulgaris. Anais Brasileiros de
Dermatologia. 2015;90(5):622-9.
Voight R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada Press
Yamaji, I. (1984). Illustration of the marine plankton of Japan. Japan: Hoikusha
Publishing Co. LTD.

27

Anda mungkin juga menyukai