NPM : 10060316110
PENDAHULUAN
Jerawat merupakan salah satu infeksi kulit yang hampir setiap orang pernah
mengalaminya baik saat masa remaja maupun dewasa. Prevalensi tertinggi yaitu 83-
85% pada wanita usia 14-17 tahun dan 95-100% pada pria usia 16-19 tahun.
terdapat 60% penderita acne vulgaris (jerawat) pada tahun 2014, 80% pada tahun
kondisi mental dan kehidupan sosial penderita. Hasil penelitian Vilar (2015)
menunjukkan bahwa dari 317 responden, 48.6% diantaranya menderita stress akibat
jerawat, 19.4% takut untuk berfoto, 22% takut saat bertemu seseorang untuk pertama
Disampaikan pada Seminar Proposal Tugas Akhir Program Studi Farmasi FMIPA Unisba, pada:
Tanggal : ....................................................................................................................
Jam : ....................................................................................................................
Tempat : ....................................................................................................................
Pembimbing utama : Indra Taufik, M.Si., Apt. (...............................)
Pembimbing serta : Reza Abdul Kodir, S.Si.,M.Farm. (...............................)
1
Jerawat dapat dipicu oleh bakteri Propionibacterium acnes dan
polisebasea kulit bagian kelenjar sebasea dan kelenjar rambut. Infeksi ini ditandai
dengan adanya komedo, papul, pustul, nodus, dan kista pada daerah pemukaan kulit
(Lai et al., 2009). Menurut Harper (2004) jerawat dapat disebabkan oleh
dimana bakteri ini akan menghasilkan lipase yang dapat memecah asam lemak bebas
dari lipid kulit serta menstimulasi aktivasi jalur klasik dan alternatif komplemen (Bramono
& Indriatmi, 2015). Asam lemak bebas inilah yang dapat mengakibatkan inflamasi
bahan kimia yang dapat menghancurkan dinding pori sehingga merusak lapisan kulit
stratum corneum dan stratum germinativum. Hal ini dapat menyebabkan inflamasi
dimana asam lemak dan minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika jerawat disentuh
maka inflamasi akan meluas dan padatan akan membesar (Azrifitria, 2010).
pengobatan jerawat di klinik kulit akan diberikan antibiotik yang dapat menghambat
2
inflamasi dan membunuh bakteri, seperti tetrasiklin dan klindamisin. Namun, obat-
obat tersebut dapat memberikan efek samping seperti iritasi, resistensi, kerusakan
maupun pakan ternak, obat-obatan, campuran pupuk, dan sebagai biofuel (Christi,
2007). Chaetoceros calcitrans merupakan salah satu contoh alga yang mempunyai
kandungan nutrisi yang tinggi. Kandungan nutrisi dari Chaetoceros sp yaitu protein
35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28% (Isnansetyo dan Kurniastuty,
1995).
berupa sel tunggal atau rangkaian sel panjang, dimana setiap sel dilindungi oleh
dinding silika yang menyerupai kotak (Sachlan, 1982). Diatom kaya akan kandungan
(Kim et al., 2012). Diatom memiliki 5 pigmen warna yakni klorofil a, klorofil c,
karoten, diatomin dan fukosantin. Fukosantin adalah salah satu dari anggota keluarga
fungsi fisiologis dan biologis dalam bidang kesehatan, yaitu sebagai : antikanker
(Kumar et al., 2013), antiradang (Heo et al., 2010), antiobesitas dan diabetes (Maeda
3
et al., 2009), antibakteri (Renhoran et al., 2017), maupun antioksidan (Nursid et al.,
dan senyawa antibakteri yang tinggi seperti terpenoid, flavonoid, tanin, dan steroid,
Menurut Meeting dan Pyne (1986) Chaetoceros calcitrans memiliki komponen aktif
antibakteri golongan asam lemak yang dapat memberi aktivitas antibakteri karena
dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen gram positif maupun bakteri gram
mempunyai aktivitas terhadap bakteri E.coli & S.aureus, serta kapang Candida
albicans.
baru yang dapat berkhasiat sebagai antibakteri yang berpotensi menghambat atau
4
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Chaetoceros calcitrans
1.1 Klasifikasi
Menurut Yamaji (1986) klasifikasi dari Chaetoceros calcitrans yaitu
sebagai berikut:
Kingdom : Chrysophyta
Kelas : Chaetoceraceae
Ordo : Centrales
Famili : Bacillariophyceae
Genus : Chaetoceros
5
dapat berupa sel tunggal atau rangkaian sel panjang, dimana setiap sel
berbentuk bulat dengan ukuran sel yang sangat kecil yakni berkisar antara 4–6
1995).
sungai, pantai dan laut. Pada suhu air 40C fitoplankton ini masih dapat
6
dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya optimum untuk
pertumbuhannya berkisar antara 3000 - 10.000 lux, dan jika intensitas cahaya
pembentuk cangkang. Pembelahan sel terjadi dimana satu sel induk akan
membelah dan menghasilkan dua sel anak. Satu sel anak yang mendapatkan
sedangkan sel anak yang mendapatkan dasar kotak (hipoteka) akan tumbuh
lebih kecil dari pada sel induk. Pembelahan sel akan terus berlanjut sampai
akan terus membelah hingga ukuran sel menjadi semakin kecil. Ketika
mencapai batas ukuran tertentu, sel akan berhenti membelah dan berganti
menjadi reproduksi aseksual, dimana isi sel (sel anak) akan keluar dari
cangkangnya dan akan tumbuh besar hingga kembali ke ukuran induk semula.
pembelahan sel.
7
1.5 Kandungan dan kegunaan Chaetoceros calcitans
protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28%. Berdasarkan
dalam hal penyediaan pakan untuk larva khususnya larva udang dalam bidang
2. Propionibacterium acnes
2.1 Deskripsi Propionibacterium acnes
Propionibacterium acnes adalah bakteri gram positif dan anaerobik
yang lambat pertumbuhannya dan dianggap sebagai salah satu pemicu infeksi
8
2.2 Klasifikasi Propionibacterium acnes
Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Family : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
tak teratur yang dapat dilihat pada saat pewarnaan Gram positif. Bakteri ini
acnes ada yang berbentuk filamen bercabang, ada pula yang berbentuk
fakultatif sampai ke mikrofilik atau anaerob. Bakteri ini bersifat patogen pada
beberapa hewan dan tanaman. Obat yang digunakan secara topikal umumnya
9
2.4 Patogenitas Propionibacterium acnes
lipase, yang memecahkan asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini
bakteri ini muncul dalam biakan darah 8 dan harus dibedakan sebagai suatu
kultur murni meliputi sterilisasi alat, sterilisasi bahan, isolasi, kultur media agar,
dan penyimpanan bibit (Ismantara, 2009). Pada kultur diatom, digunakan media
yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang
10
merupakan faktor yang berasal dari lingkungan tempat alga tumbuh. Faktor
lux, dan pertumuhan akan turun jika intensitas cahaya lebih dari 10.000 lux
(Manurung, 2008).
3.1.3. Nutrien
11
dapat didukung dengan adanya unsur hara seperti ferrum, mangan,
dalap proses fotosintesis, respirasi, fiksasi nitrogen dan sintesis DNA (Støttrup
3.1.4. pH
3.1.5. Salinitas
3.1.6. Suhu
mikroalga. Hal ini karena media Guillard f/2 selain mempunyai komposisi
unsur hara makro juga mempunyai unsur hara mikro yang lebih lengkap jika
12
dibandingkan dengan media lain. Unsur-unsur yang terkandung dalam media
dapat tumbuh dengan cepat. Pada media ini unsur-unsur Fe, Mn, Cl, dan Zn
lebih banyak tersedia dari pada media yang lainnya. Unsur-unsur tersebut
sel. Menurut Brock and Madigan (2003), terdapat lima fase pertumbuhan
Fase lag adalah fase yang terjadi sesaat setelah penambahan inokulan
ke media kultur. Fase ini juga disebut fase adaptasi dimana pada fase ini
terjadi proses pembelahan sel. Pada fase ini sel alga tetap hidup namun tidak
Fase ini diawali dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang
tetap karena sel alga aktif berkembang biak. Pada kondisi kultur yang
13
optimum, laju pertumbuhan pada fase ini akan mencapai kondisi yang
Pada fase ini proses pembelahan sel tetap terjadi namun tidak
oleh karena itu kepadatan kultur menjadi tetap. Jumlah sel cenderung tetap
karena sel telah mencapai titik jenuh. Keadaan ini diakibatkan oleh
terhambatnya pertumbuhan sel baru oleh keberadaan sel yang telah mati
Pada fase ini laju kematian lebih cepat dibandingkan dengan laju
yang dipengaruhi oleh suhu, intensitas cahaya, jumlah unsur hara yang ada
4. Antibakteri
14
merugikan. Mekanisme kerja dari antibakteri yaitu dengan menghambat sintesis
enzim, dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Dwidjoseputro, 1980).
(Sacher & McPherson, 2004). Kelemahan metode ini yaitu hanya dapat
b) Difusi Agar
15
diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme pada
media agar (Pratiwi, 2008). Keunggulan uji difusi cakram agar mencakup
fleksibilitas yang lebih besar dalam memilih obat yang akan diperiksa
b. Cara Sumuran
Metode ini hampir sama dengan metode difusi disk, di mana
c) Metode Dilusi
Metode dilusi Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu metode
dilusi cair dan metode dilusi padat. Pada metode dilusi cair dapat diukur
(Pratiwi, 2008). Sedangkan metode dilusi padat serupa dengan metode dilusi
cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah
satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji
16
5. Ekstrak
5.1 Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dari hasil ekstrajsi zat aktif
dari suatu simplisia menggunakan pelarut yang sesuai. Semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang didapat diberi perlakuan sehingga
(Voight, 1995):
a. Ekstra encer adalah sediaan yang dapat dituang dengan konsistensi seperti
madu
b. Ekstrak kental adalah sediaan dengan kandungan air sampai 30% dan tidak
dapat dituang. Kadar air yang tinggi menyebabkan sediaan tidak stabil karena
c. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah
d. Ekstrak cair adalah ekstrak yang dibuat sedemikian rupa sehingga 1 bagian
dalam melarutkan jumlah maksimum dari zat aktif dan seminimum mungkin zat
17
a. Pembasahan
b. Penyari/Pelarut
senyawa kandungan berkhasiat atau aktif yang terdapat dalam simplisia. Pelarut
tersebut harus dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya.
Hingga kini berlaku aturan bahwa pelarut yang boleh digunakan adalah air,
alkohol (etanol), atau campuran air dan alkohol (Depkes RI, 2000).
d. Pemekatan/Penguapan
6. Ekstraksi
6.1 Definisi Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Senyawa aktif yang
18
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya
7. Metode Ekstraksi
7.1 Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengadukan yang dilakukan pada suhu kamar. Maserasi
bertujuan menarik zat berkhasiat yang tahan panas maupun yang tidak tahan
Prinsip dari maserasi yaitu pelarutan kandungan simplisia dari sel yang rusak
konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih dulu masuk ke dalam cairan. Keadaan
maka akan semakin banyak pula hasil yang diperoleh (Voigh, 1994).
19
b. Perkolasi
silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori (Depkes RI, 2000).
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut konstan karena adanya
b. Sokletasi
selalu baru dengan bantuan alat khusus sehingga jumlah pelarut konstan
RI, 2000).
c. Digesti
d. Dekok
Dekok sama dengan infus namun dilakukan dengan waktu yang lebih
lama dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).
20
e. Infus
penangas air, dimana bejana infus dicelupkan ke dalam penangas air mendidih
21
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang akan dilakukan yaitu untuk menguji adanya aktivitas
Pada penelitian ini, mikroalga akan dikultur pada kondisi skala laboratorium.
miroalga. Tahap awal dimulai dari sterilisasi alat dan bahan, merangkai selang aerasi,
merangkai lampu neon, dan membuat filtrasi udara. Kultur mikroalga dilakukan
dengan teknik open culture menggunakan botol kaca tertutup. Tahapan kultur
meliputi pemasangan alat, penyiapan media kultur, dan proses kulturisasi. Kultur
Evaluasi Light Method dilakukan dengan menggunakan Lux meter. Penyiapan bahan
meliputi panen hasil kultur, maserasi, pemisahan, dan pemekatan. Pembuatan ekstrak
dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 95% pada suhu
kamar selama 24 jam. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 3000 rpm selama 15
menit. Pengujian aktivitas antibakteri meliputi penyiapan media agar, uji aktivitas
antibakteri ekstrak mikroalga, dan media kultur (sebagai kontrol). Uji ini dilakukan
menggunakan Media Nutrient Agar dengan metode difusi agar cara Kirby Bauer
konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm, dan 500 ppm.
22
Bahan Segar
Kulturisasi
Penetapan
Parameter Standar
Simplisia Data parameter dan
data pegamatan
Simplisia makroskopik dan
Pengamatan mikroskopik
makroskopik dan
mikroskopik
Ekstraksi
Penetapan
parameter standar
simplisia
Data parameter dan
Ekstrak data penapisan
Penapisan fitokimia fitokimia
Uji antibakteri
Hasil Pengujian
Laporan akhir
Pembahasan penelitian
23
BAB III
BAHAN DAN ALAT
1.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah aerator, alat maserasi,
alumunium foil, autoclave, batang pengaduk, botol kaca 500 mL dan 1 L, bunsen,
cawan petri, erlenmeyer 500 mL, gelas kimia, gelas ukur, gunting, inkubator, jangka
sorong, kertas label, lampu neon, noozle, pipet kaca, pipet volume 5 ml dan 10 ml,
pipet ukur, sentrifuga, selang, semprotan alkohol, tabung reaksi, dan timbangan
analitik.
1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu mikroalga Chaetoceros
calcitrans yang berasal dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP)
yang berlokasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Untuk media kultur digunakan
pupuk Guillard’s f/2 yang dibeli dari lab pakan, air laut yang dibeli di Pasar Ikan Hias
Muara Bandung, almunium foil, aquadest, benang kasur, media kultur (sebagai
kontrol), etanol 95%, kapas berlemak, kertas bekas, kertas cakram, kertas saring, dan
24
DAFTAR PUSTAKA
25
Fucoxanthin Isolated from Brown Algae in Lipopolysaccharide-stimulated
RAW 264.7 Macrophages. Food Chem. Toxicol., 48:2045–2051.
Isnansetyo, A., dan Kurniastuti. (1995). Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta:
Kanisius.
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A. (2001). Mikrobiologi Kedokteran, Edisi
XXII. Diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A. (2005). Mikrobiologi Kedokteran (Medical
Microbiology). Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Kim, S.M., Jung, Y. & Kwon, O. (2012). A Potential Commercial Source of
Fucoxanthin Extracted from the Microalga Phaeodactylum tricornutum a
Potential Commercial Source of Fucoxanthin Extracted from the Microalga
Phaeodactylum tricornutum. Appl. Biochem. Biotechnol., 166:1843– 1855. doi:
10.10 07/s12010-012-9602-2
Kumar, S.R., Hosokawa, M. & Miyashita, K. (2013). Fucoxanthin: A Marine
Carotenoid Exerting Anti-Cancer Effects by Affecting Multiple Mechanisms.
Mar. Drugs, 11:5130–5147. doi : 10.3390/md11125130
Lai, E.Y.C., Chyau, C.C., Mau, J.L., Chen C.C., Lai, Y.J., Shih, C.F., & Lin, L.L.
(2004). Antimicrobial Activity and Cytotoxicity of the Essential Oil of Curcuma
zedoaria. J. American Journal of Chinese Medicine, 32 (2), 281– 290
Lavens and Soorgeloos. (1996). Infuence of Dietary Vitamin C Dosage on Turbot
(Scophthalmus maximus) and European Sea Bass (Dicentrarbhus labrax)
Nursery Stages. German: University of Heidelberg.
Maeda, H., Hosokawa, M. & Sashima, T. (2017). Anti-obesity and Anti-diabetic
Effects of Fucoxanthin on Diet-induced Obesity Conditions in a Murine Model.
Mar. Drugs, 2:897-902 doi: 10.3892/mmr
Manurung, A.. (2008). Karakterisasi Awal Protein Diatom Chaetoceros gracilis yang
Terlibat Dalam Pembentukan Biosilika. Medan: Fakultas Pertanian Universitas
Darma Agung.
Nakatsuji, T., Kao, M.C., Fang, J.Y., Zouboulis, C.C., Zhang, L., Gallo RL, Huang
CM. (2009). Antimicrobial Property of Lauric Acid Against P.Acnes; Its
Therapeutic Potential for Inflammatory Acne Vulgaris. Journal invest
Dermatol, 129(10), 2480-8.
26
Nursid, M., Wikanta, T. & Susilowati, R. (2014). Aktivitas Antioksidan, Sitotoksisitas
dan Kandungan Fukosantin Ekstrak Rumput Laut Coklat dari Pantai
Binuangeun, Banten. J. Pascapan. Bioteknol. Kel. Perikan., 8(1):73-84. doi:
10.15578/jpbkp. v8i1.55
Okunowoa, O. w., L. O. Afolabib, I. E. Umunnakwea , A. O. Oyedejia and J. A.
Ilesanmia. (2016). GC-MS analysis and antimicrobial properties of methanolic
extracts of the marine algae Skeletonema costatum and Chaetoceros spp‖.
Biokemistri. 28(1): 24-33.
Pelczar, Michael J., dan Chan. (1986). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Pratiwi. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
Pyne, J. W., dan Meeting B. (1986). Biologically Active Compounds from
Microalgal. Journal of Enzyme Microbe Technology. Vol. 8. Butterworth &
Co. Plublished.
Renhoran, M., Dedi, N., Iriani, S., Uju. (2017). Ekstraksi Dan Purifikasi Fukosantin
dari Sargassum sp. Sebagai Anti-Acne. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia. 20(2): 370-379.
Sacher, R. A., and McPherson, R. A. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta: EGC
Sachlan, M. (1982). Planktonologi. Semarang: Fakultas Peternakan dan Perikanan
Universitas Diponegoro.
Støttrup, J. G dan Lesley A. McEvoy. (2003). Live Feeds in Marine Aquaculture.
Blackwell Science Ltd. Tunbridge Wells, Kent,159 p.
Swanson, I.K. (2003). Antibiotik Resistance of Propionibacterium acnes in acne
vulgaris. Dermatol Nurs, 15(4), 5359-361.
Vilar GN, Filho JFS, Santos LA. (2015). Quality of Life, Self-esteem and
psychosocial factors in Adolescents with Acne vulgaris. Anais Brasileiros de
Dermatologia. 2015;90(5):622-9.
Voight R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada Press
Yamaji, I. (1984). Illustration of the marine plankton of Japan. Japan: Hoikusha
Publishing Co. LTD.
27