Anda di halaman 1dari 27

UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN

PEMBANDING PARASETAMOL
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini salah satu obat analgetik-antipiretik yang paling sering digunakan

adalah parasetamol. Akan tetapi, parasetamol mempunyai efek samping yang dapat

menyebabkan kerusakan pada hati (hepatotoksik). Kerusakan pada sel-sel hati ini

disebabkan oleh metabolit dari parasetamol, yaitu NAPQI (N-Asetil Para-Quinon

Imina). Cincin inti benzena dari NAPQI bersifat elektrofilik sedangkan sel-sel hati

yang bersifat nukleofilik akan berikatan dengan muatan positif NAPQI sehingga

menyebabkan kerusakan sel-sel tersebut (Doerge, 1982).

Senyawa MH2011 merupakan senyawa modifikasi parasetamol yang sudah

terdaftar di Ditjen HAKI pada tahun 2012 dengan nomor permohonan paten

P00201200964 dan dengan inventor Drs. Hari Purnomo, M.S., Apt. Pada

permohonan paten tersebut telah disebutkan bahwa senyawa MH2011 mempunyai

efek hepatotoksik lebih rendah dibandingkan parasetamol. Senyawa MH2011

mempunyai efek analgetik lebih poten dibanding parasetamol yang dapat dilihat

dari nilai ED50, yaitu MH2011 sebesar 10,98 mg/kgBB dan parasetamol 21,26

mg/kgBB (Sofiana, 2013).

Modifikasi parasetamol dilakukan pada gugus alkil yang terikat pada C

karbonil. Gugus alkil (CH3) yang terikat pada C karbonil digantikan oleh gugus 4-

hidroksi naftalena-1-aminida yang terikat pada aminonaftol. Dengan adanya gugus

4-hidroksi naftalena-1-aminida dapat menurunkan muatan positif pada posisi orto

1
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 2
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

sehingga dapat menurunkan efek hepatotoksik, bahkan jika mungkin

menghilangkannya.

Hal ini sesuai dengan perhitungan komputasi muatan atom secara semi empirik

dengan metode AM1 seperti terlihat berikut ini:

Gambar 1. Muatan atom pada parasetamol

Gambar 2. Muatan atom pada senyawa MH2011


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 3
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Berdasarkan keterangan diatas maka semakin elektrofilik muatan pada posisi

orto maka akan meningkatkan hepatotoksisitas dari senyawa modifikasi

parasetamol karena atom karbon yang bermuatan positif tersebut dapat bereaksi

dengan sel-sel hati yang bersifat nukleofilik sehingga sel-sel hati menjadi rusak

secara irreversibel (tidak dapat pulih kembali). Dari hasil perhitungan komputasi

muatan atom secara semi empirik dengan metode AM1 maka dapat diketahui

bahwa senyawa MH2011 memiliki efek samping hepatotoksik yang lebih rendah

dibandingkan parasetamol sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penggunaannya

MH2011 lebih aman dibandingkan parasetamol.

Berdasarkan hal tersebut, maka diusulkan penelitian senyawa MH2011 yang

akan diuji efek hepatotoksiknya yang dibandingkan dengan parasetamol secara in

vivo pada mencit jantan galur Balb/c dengan jumlah mencit yang lebih banyak dan

dosis perlakuan yang diperbanyak sehingga diharapkan hasil uji hepatotoksik yang

didapat semakin tepat.

A. Rumusan Masalah

Apakah senyawa MH2011 mempunyai efek hepatotoksik secara in vivo yang

diuji pada mencit jantan galur Balb/c berdasarkan analisis peningkatan kadar GPT

plasma dan berdasar histopatologi dengan pembanding parasetamol?


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 4
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

B. Tujuan Penelitian

Mengetahui adanya efek hepatotoksik pada senyawa MH2011 secara in vivo

yang diuji pada mencit jantan galur Balb/c berdasarkan analisis aktivitas GPT

plasma dan berdasar histopatologi dengan pembanding parasetamol.

C. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek

hepatotoksik senyawa MH2011 dibanding parasetamol secara in vivo yang diuji

pada mencit jantan galur Balb/c dengan jumlah mencit yang lebih banyak dan dosis

perlakuan yang lebih bervariasi.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang kesehatan

dengan penemuan senyawa baru yang memiliki efek samping hepatotoksik yang

diduga lebih rendah dibanding parasetamol sehingga nantinya dapat menjadi obat

analgetik yang lebih aman dikonsumsi bagi masyarakat.

D. TINJAUAN PUSTAKA

1. Karakteristik Hati

Hati adalah organ terbesar kedua di tubuh (yang terbesar adalah kulit) dan

kelenjar terbesar, dengan berat 1,5 kg (2,5% berat badan orang dewasa normal).

Organ ini terletak dalam rongga perut di bawah diafragma. Hati merupakan organ

tempat pengolahan dan penyimpanan nutrien yang diserap dari usus halus untuk

dipakai oleh bagian tubuh lainnya. Hati menjadi perantara antara sistem pencernaan
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 5
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dan darah. Kebanyakan darahnya (70-80%) berasal dari vena porta, jumlah yang

lebih kecil berasal dari arteri hepatika. Seluruh materi yang diserap melalui usus

tiba di hati melalui vena porta, kecuali lipid kompleks (kilomikron), yang terutama

diangkut melalui pembuluh limfe.

Hati dibungkus oleh stroma yaitu suatu simpai tipis jaringan ikat (kapsul

Glisson) yang menebal di hilus, tempat vena porta dan arteri hepatika memasuki

hati dan keluarnya duktus hepatika kiri dan kanan serta pembuluh limfe dari hati.

Komponen struktural utama hati adalah sel-sel hati atau hepatosit yang

berbentuk heksagonal. Sel-sel epitelnya berkelompok membentuk lempeng-

lempeng yang saling berhubungan. Satuan struktural ini disebut lobulus hati. Celah

di antara lobulus mengandung kapiler yaitu sinusoid hati. Sinusoid hati adalah celah

diantara barisan hepatosit yang mengandung sinusoid kapiler (Junqueira, 2003).

Sinusoid Saluran empedu Sinusoid


Kantung
empedu Sel Matriks
Sel Ito Sel Kuppfer Ekstrasel
Vena Sentral endotelial
Celah
disse

Cabang
vena portal
Cabang arteri Hepatosit Saluran empedu
hepatika Normal Hepar

Gambar 3. Struktur hati Gambar 4. Struktur sinusoid


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 6
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2. Tes Fungsi Hati

Tes fungsi hati yang umum adalah SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase). Peningkatan

SGOT dan SGPT akan menunjukkan jika terjadi kerusakan atau radang pada

jaringan hati. Namun, SGPT lebih spesifik terhadap kerusakan hati dibanding

SGOT. Hal ini dikarenakan SGPT utamanya berada di hepar. Hepatosit pada

dasarnya adalah satu-satunya sel dengan konsentrasi SGPT yang tinggi. Sedangkan

ginjal, jantung, dan otot rangka mengandung kadar sedang. SGPT dalam jumlah

yang lebih sedikit dijumpai di pankreas, paru, limpa, dan eritrosit. Sebaliknya,

SGOT banyak dijumpai di jantung, otot rangka, ginjal, dan otak sehingga kurang

spesifik sebagai parameter fungsi hati. Dalam hepatosit, SGPT ditemukan secara

eksklusif dalam sitosol, sedangkan isoenzim SGOT berada pada mitokondria dan

sitosol (Isselbacher dkk., 1995). SGPT mempunyai dua koenzim yaitu GPT1 dan

GPT2. GPT1 ini diekspresikan utamanya pada ginjal, hati, lemak, dan jaringan

jantung, sedangkan GPT2 banyak diekspresikan pada otot, lemak, otak, dan

jaringan ginjal (Ozer dkk., 2007).

Pengukuran aktivitas transaminase terbukti paling praktis. Transaminase

termasuk SGPT dan SGOT. Sebagian besar SGOT terdapat di hati dan otot rangka,

lainnya tersebar ke seluruh jaringan, sedangkan SGPT sebagian besar terdapat di

hati. Oleh karena itu, SGPT merupakan petunjuk yang lebih spesifik terhadap

adanya nekrosis hati daripada SGOT (Zimmerman, 1978).


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 7
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Berbagai macam metode pengenalan zat dapat digunakan sebagai dasar

pemeriksaan kimia klinik, antara lain metode fotokalorimetri mengukur warna zat

yang diuji, metode turbidimetri mengukur kadar berdasarkan kekeruhan, metode

nefelometri mengukur pendar sinar yang terpantul oleh partikel, metode

chemiluminesense mengukur kekuatan sinar luminesens dalam menilai kadar suatu

zat, metode kinetik reaksi enzimatik berdasarkan aktivitas enzim, bahkan ada yang

berdasarkan reaksi antigen antibodi. Aktivitas enzim SGPT dapat ditentukan

menggunakan metode kinetik reaksi enzimatik. Selain untuk menilai aktivitas

enzim, reaksi kinetik enzimatik dapat pula digunakan untuk mengukur kadar

substrat. Metode reaksi kinetik enzimatik yang digunakan sesuai dengan IFCC

(International Federation Of Clinical Chemistry And Laboratory Medicine), terdiri

dari 2 macam yaitu pertama disebut metode IFCC dengan penambahan reagen

piridoksal fosfat yang biasa disebut metode "IFCC with PP" atau "substrate start",

yang kedua adalah metode IFCC tanpa penambahan reagen piridoksal fosfat yang

biasa disebut metode "IFCC without PP" atau "sample start". Aktivitas SGPT

bergantung pada kofaktor yaitu piridoksal fosfat yang merupakan metabolit aktif

dari vitamin B (piridoksal). Kekurangan vitamin B menyebabkan penurunan

aktivitas SGPT (Ramaiah, 2007).

Pemeriksaan berdasarkan reaksi kinetik enzimatik umumnya dipengaruhi oleh

pH, suhu, waktu, dan jenis substrat. Pada metode reaksi kinetik enzimatik yang

diukur adalah kecepatan enzim merombak substrat. Kecepatan reaksi ditentukan

oleh kadar substrat dan aktivitas enzim. Bila aktivitas enzim berlebih, sedangkan

substrat terbatas dapat terjadi "substrate depletion" dan akan diperoleh hasil
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 8
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pengukuran yang rendah palsu. Sebaliknya bila substrat sangat berlebih sedangkan

enzim terbatas dapat terjadi "substrate inhibition" dan akan diperoleh hasil

pengukuran yang juga rendah palsu. Perlu diusahakan agar pembacaan dilakukan

pada "zero order" yang artinya adalah pembacaan dilakukan pada saat seluruh

enzim dan substrat telah bereaksi secara sempuma, dan ini bisa terjadi apabila pH,

suhu, waktu, dan jenis substrat sesuai dengan yang dibutuhkan (Sardini, 2007).

Pada kenaikan suhu sebesar 10ºC, aktivitas enzim akan naik sebesar dua kali lipat.

Kenaikan suhu sebesar 1ºC, aktivitas enzim yang terukur sebesar 10%. Suhu harus

dikontrol dengan ketat dan sebaiknya tidak boleh melebihi 0,05ºC dari suhu yang

disarankan. Disarankan bahwa reaksi enzim sebaiknya dilakukan pada suhu 25 ºC,

30 ºC, dan 37 ºC (Richterich & Colombo, 1981).

Dasar reaksi metode kinetik adalah mengukur perbedaan absorbansi antara dua

titik selama periode waktu tertentu selama berlangsungnya reaksi. Biasanya, waktu

reaksi singkat untuk menghindari bahaya degradasi enzim. Dalam prosedur metode

kinetik, perbedaan absorbansi antara dua titik diambil selama tahap linear dari

perkembangan tes dipertimbangkan, untuk menghasilkan ΔAbsorbansi (A).

ΔAbsorbansi yang diperoleh akan dikalikan dengan faktor yang sesuai untuk

perhitungan. ΔAbsorbansi, yang konsisten selama periode waktu, yang diambil

untuk perhitungan. Metode kinetik ini diklasifikasikan menjadi dua yaitu

Increasing Type dimana reaksi berlangsung ke arah yang positif dan absorbansi

awal selalu lebih rendah dari absorbansi yang terakhir dan Decreasing Type, yang

disebut juga sebagai tipe arah negatif, perbedaan antara titik terakhir dari absorbansi

dan titik awal selama periode waktu tertentu selalu negatif (Anonim, 2013).
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 9
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Untuk menentukan aktivitas GPT secara kuantitatif, plasma yang akan

dianalisis direaksikan dengan kit reagen GPT yang terdiri dari dua macam reagen

R1 (Tris, L-alanin, LDH) dan R2 (2-oksoglutarat, NADH). Tris pH 7,15 dalam R1

berfungsi sebagai buffer yang menjaga pH plasma selama reaksi pemeriksaan ini

supaya menjaga kestabilan aktivitas GPT karena enzim sangat sensitif terhadap

perubahan pH. L-alanin berfungsi sebagai asam amino yang akan diubah menjadi

L-glutamat dengan memindahkan gugus amino (–NH2) ke 2-oksoglutarat yang

dikatalisis oleh enzim GPT. LDH (Laktat Dehidrogenase) merupakan enzim yang

akan mengkatalisis reaksi dari produk perubahan L-alanin yang dikatalis oleh GPT,

yaitu piruvat, yang akan diubah menjadi laktat. NADH (Nicotinamide Adenine

Nucleotide) digunakan sebagai substrat.

Prinsip kerja enzim GPT adalah mengkatalisis secara reversibel transfer gugus

amino dari L-alanin ke 2-oksoglutarat dalam larutan buffer menjadi piruvat dan L-

glutamat sesuai persamaan (1) berikut ini :

L-alanin + 2-oksoglutarat L-glutamat + piruvat (1)

GPT

Kemudian piruvat mengalami reduksi menjadi laktat dengan adanya LDH dan

bersamaan dengan itu terjadi oksidasi NADH menjadi NAD+ dalam persamaan (2)

berikut ini :

Piruvat + NADH + H+ D - laktat + NAD+ (2)

LDH
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 10
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Konversi NADH menjadi NAD+ ini proporsional dengan aktivitas GPT pada

sampel. Banyaknya NADH yang dioksidasi menjadi NAD+ sebanding dengan

banyaknya enzim GPT. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 340 nm

(suhu 37ºC) karena merupakan serapan maksimal NADH. Hasil pengukuran berupa

ΔAbsorbansi (A) yang nantinya akan digunakan dalam perhitungan untuk

mengetahui aktivitas GPT plasma (U/L). Pembacaan absorbansi dilakukan pada

menit ke-1, 2, dan 3 setelah pemberian reagen. Diperkirakan pada menit tersebut

aktivitas enzim sedang berada pada puncaknya (Richterich & Colombo, 1981).

Nilai normal aktivitas GPT pada manusia adalah 0 - 35 U/L (Isselbacher dkk.,

1995). Sedangkan pada mencit, nilai normalnya adalah 26,40 - 60,70 U/L

(Nurrochmad, 2013).

3. Metabolisme Obat

Metabolisme obat biasanya dibagi menjadi dua fase yaitu fase 1 dan fase 2.

Fase 1 reaksi diperkirakan untuk mempersiapkan obat untuk masuk ke fase 2.

Namun, banyak senyawa dapat dimetabolisme oleh fase 2 secara langsung. Tahap

1 merupakan reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, dan banyak reaksi kimia

lainnya. Proses ini cenderung meningkatkan kelarutan obat dalam air dan dapat

menghasilkan metabolit yang lebih aktif dan berpotensi beracun. Sebagian besar

dari reaksi fase 2 berlangsung di sitosol dan melibatkan konjugasi dengan senyawa

endogen melalui enzim transferase (Gordon & Skett, 2001). Sekelompok enzim

yang terletak di membran dalam mitokondria atau retikulum endoplasma, yang


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 11
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dikenal sebagai CYP450, memiliki peran paling penting dari metabolisme obat

dalam hati (75% total metabolisme). Enzim CYP450 bukan merupakan senyawa

tunggal, melainkan terdiri dari keluarga protein terkait erat 57 isoform pada

manusia. Variasi genetik (polimorfisme) dalam metabolisme enzim CYP450 harus

dipertimbangkan ketika pasien menunjukkan sensitivitas yang tidak biasa atau

resistensi terhadap efek obat pada dosis normal. Polimorfisme juga bertanggung

jawab untuk respon obat yang variabel antara pasien. Obat yang dapat menghambat

enzim CYP450 disebut sebagai inhibitor. Inhibitor enzim menghambat aktivitas

metabolik dari satu atau beberapa enzim CYP450. Di sisi lain, induser dapat

meningkatkan aktivitas enzim CYP450 (Bibi, 2008).

4. Parasetamol

Parasetamol adalah salah satu derivat anilin yang memiliki kerja analgesik dan

anti piretik yang baik. Parasetamol murah, mudah diperoleh, rentang terapetiknya

lebar, dan efektif dalam mengatasi demam dan nyeri.

Pada saat mengalami luka, dinding sel akan rusak sehingga menghasilkan

fosfolipid oleh enzim fosfolipase-A2, dimana fosfolipid ini akan diubah menjadi

asam arakidonat yang berperan sebagai prekursor terbentuknya prostaglandin.

Enzim COX-2 mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin, Diana

prostaglandin merupakan mediator nyeri. Parasetamol akan bekerja dengan

menghambat pada enzim COX-2 (Hinz & Brune, 2011). Molecular Docking aksi

parasetamol terhadap enzim COX menunjukkan bahwa parasetamol kuat


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 12
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

menghambat di COX-2 dengan nilai skor penambatan molekul (-165,9) dan lemah

menghambat di COX-1 (-160,9) dan COX-3 (-149) (Qureshi dkk., 2011).

Rekomendasi FDA untuk dosis maksimum mengkonsumsi parasetamol tidak

lebih dari 4000 mg dalam jangka 24 jam bagi orang dewasa dan anak berusia di atas

12 tahun. Dosis yang direkomendasikan untuk parasetamol adalah 352–650 mg

setiap 4-6 jam untuk dewasa dan 10-15 mg/kgBB (BB ≤ 50 kg) untuk anak-anak di

bawah usia 12 tahun (Farrell, 2013). Pada dosis terapi, parasetamol tidak

menyebabkan hepatotoksik. Ketoksikan terjadi ketika parasetamol dikonsumsi

dalam jumlah yang besar disertai kondisi lain seperti puasa dan kekurangan

glutation (Klaassen, 2001). FDA menyatakan bahwa konsumsi parasetamol 7,5

gram per hari atau konsumsi jangka panjang parasetamol dosis 500 mg akan

menyebabkan efek samping yang dapat menyebabkan kerusakan pada hati

(hepatotoksik).

Pada dosis terapetik, lebih dari 90% parasetamol akan dimetabolisme menjadi

glukoronida fenolik dan sulfat oleh glukoroniltransferase dan sulfotransferase dan

lalu diekskresikan melalui urin. Sekitar 2% parasetamol diekskresikan melalui urin

dalam bentuk utuh, sekitar 5-10% dimetabolisme oleh enzim CYP450, terutama

isoenzim CYP2E1, menjadi N-asetil-p-Aminoquinon-Imina (NAPQI). NAPQI

bersifat reaktif dan elektrofilik yang menyebabkan kerugian karena berikatan secara

kovalen dengan protein intraseluler. Namun, reaksi NAPQI tersebut dicegah oleh

glutation dan reaksi selanjutnya menghasilkan satu produk larut air yang

diekskresikan ke empedu. Pada overdosis, glukoroniltransferase dan

sulfotransferase sudah jenuh sehingga obat dialihkan untuk dimetabolisme oleh


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 13
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

CYP450 dan menghasilkan NAPQI dengan jumlah yang dapat menguras glutation

(Chun, 2009). Berikut adalah skema untuk memperjelas metabolisme parasetamol:

Gambar 5. Mekanisme metabolisme parasetamol (Anonim, 2014)

NAPQI dapat mengalami resonansi pada atom-atomnya, dan resonansi ini

menimbulkan muatan positif pada cincin benzen NAPQI. Atom karbon yang

bermuatan positif (elektrofilik) tersebut dapat bereaksi dengan sel-sel hati yang

bersifat nukleofilik sehingga sel-sel hati menjadi rusak secara irreversible (tidak

dapat pulih kembali walaupun pemberian parasetamol dihentikan).

(Parasetamol) (NAPQI)

Gambar 6. Mekanisme pembentukan NAPQI


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 14
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Terjadinya ikatan kovalen antara NAPQI dengan sel hepar adalah pada posisi

orto dari gugus fenol parasetamol seperti pada gambar di bawah ini:

Cyt P450 + Protein


Kematian
sel

+ GSH S Protein

Peroksida Lipid
(Keseimbangan Ca terganggu)

Gambar 7. Mekanisme NAPQI berikatan dengan hepatosit (Van de Straat, 1987)

Agen untuk detoksifikasi NAPQI yaitu metionin, sisteamin, dan NAC (N-

asetilsistein). Meskipun ketiganya mengurangi risiko kerusakan hati dalam

percobaan acak, metionin, dan sisteamin menyebabkan efek lebih buruk pada

gastrointestinal dan sistem saraf pusat bila dibandingkan dengan NAC. NAC

sekarang diterima secara luas sebagai obat penawar paling potensial mengurangi

risiko hepatotoksisitas. NAC bekerja dengan mengisi glutation, mengikat langsung

ke NAPQI, dan meningkatkan konjugasi sulfat nontoksik dalam hepatosit. Angka

kematian keseluruhan untuk overdosis parasetamol telah menurun dari setinggi 5

% menjadi 0,7 % dengan penggunaan NAC. Transplantasi hati adalah satu-satunya

intervensi yang meningkatkan kelangsungan hidup bila ada kerusakan hati

ireversibel yang menyebabkan Acute Liver Failure. NAC dapat mencegah gagal
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 15
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

hati pada pasien dengan overdosis parasetamol jika diberikan lebih awal. Ini sangat

efektif dalam melindungi terhadap kerusakan hati yang parah, gagal ginjal, dan

kematian jika diberikan dalam waktu 8-10 jam setelah kejadian dan dapat

mengurangi keparahan kerusakan hati bahkan jika diberikan dalam waktu 16 jam

setelah kejadian. Saat ini, dosis yang dianjurkan dari NAC adalah 140 mg / kg,

diencerkan sampai 5 % secara oral, diikuti oleh 70 mg / kg secara oral setiap 4 jam

selama 17 dosis. Untuk pasien yang tidak dapat menelan, rute intravena dapat

digunakan, dengan loading dose 150 mg / kg dalam 5 % dekstrosa lebih dari 15

menit dan dosis pemeliharaan 50 mg / kg lebih dari 4 jam diikuti oleh 100 mg / kg

selama 16 jam (Brok dkk., 2006).

Pasien dapat diberikan NAC setelah minimal 4 jam mengalami overdosis

parasetamol, bukan setelah muncul gejala overdosis. Berikut ini merupakan

nomogram Rumack/Matthew yang menjelaskan tentang waktu yang tepat untuk

mendapatkan pengobatan dengan NAC :


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 16
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Gambar 8. Nomogram Rumack-Matthew parasetamol (Rumack & Matthew, 1975)

Cara penggunaan nomogram ini cukup dengan mengeplotkan waktu setelah

konsumsi (sumbu x) dengan kadar parasetamol dalam darah pada waktu tersebut

(sumbu y). Kemudian dicari titik pertemuan keduanya. Apabila titik tersebut berada

di bawah kedua garis (risk factor atau low risk) maka tidak perlu diberikan NAC

karena kemungkinan hepatotoksik rendah, tetapi jika di atas kedua garis (probable

risk) maka perlu diberikan NAC. Sedangkan jika berada di antara kedua garis

(possible risk) tetap diberikan NAC karena kemungkinan terjadinya hepatotoksik

(Dawson, 2013).
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 17
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5. Senyawa MH2011

Senyawa MH2011 merupakan salah satu modifikasi parasetamol. yaitu dengan

menggantikan gugus alkil (CH3) parasetamol yang terikat pada C karbonil dengan

gugus lain sehingga terbentuklah senyawa MH2011, seperti yang terlihat pada

gambar 1 dan 2 berikut:

Gambar 9. Struktur parasetamol Gambar 10. Struktur senyawa MH2011

Gambar 11. Serbuk senyawa MH2011

Senyawa MH2011 atau (1-(4-hydroxynaphthalen-1-yl)-3-(4-hydroxyphenyl)

urea, suatu senyawa berbahan dasar urea dikombinasikan dengan naftol dan para-

aminofenol sebagai starting material. Senyawa MH2011 berwarna hitam

mengkilap seperti yang terlihat pada Gambar 11, tidak berbau dan berasa pahit

dengan berat molekul (BM) yaitu 294. Jika dibandingkan dengan parasetamol,
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 18
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

senyawa MH2011 bersifat lebih nonpolar. Hal ini bisa dilihat dari nilai koefisien

partisi (log P) dari kedua senyawa tersebut. Log P dari MH2011 yaitu 2,73 nilainya

lebih besar jika dibandingkan dengan log P parasetamol yaitu sebesar 0,28.

Semakin besar nilai koefisien partisi (log P) suatu senyawa, maka semakin bersifat

nonpolar senyawa tersebut sehingga semakin mudah untuk menembus membran

dan prosentase obat yang diserap juga akan semakin besar (Susilowati &

Handayani, 2006).

Senyawa MH2011 mempunyai efek analgetik yang lebih poten dibanding

parasetamol dan hal ini dapat dilihat dari nilai ED 50, yaitu MH2011 sebesar 10,98

mg/kgBB dan parasetamol 21,26 mg/kgBB yang didapat dari uji analgetik dengan

metode geliat (Writhing Test) (Sofiana, 2013).

6. Molecular Docking

Molecular docking (penambatan molekul) merupakan suatu metode untuk

memprediksikan ikatan ligand dengan reseptor (Alvarez dkk., 2005). Penentuan

aktivitas suatu ligand didasarkan pada skor penambatan molekul. Penurunan skor

diindikasikan sebagai kestabilan ikatan ligand dengan reseptor, semakin kecil skor

yang dihasilkan maka akan semakin stabil ikatannya sehingga dapat diprediksi

semakin poten senyawa tersebut.

Senyawa MH2011 sudah terdaftar di Ditjen HAKI pada tahun 2012 dengan

nomor permohonan paten P00201200964 dan dengan inventor Drs. Hari Purnomo,

M.S., Apt.
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 19
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Molecular docking merupakan ilmu yang dapat mempresentasikan struktur

molekul secara numerik dan dapat mensimulasi aksi molekul tersebut dengan

persamaan-persamaan (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Molecular docking

merupakan proses komputasi dalam menemukan sebuah ligand yang kompatibel

secara geometri dan energi dalam menempati binding site suatu protein. Program

yang menyediakan aplikasi ini diantaranya adalah MOE, PLANTS, Autodock, Dock,

Gold dan Argus Lab.

Parameter kuat interaksi suatu ligan dan reseptor dinyatakan dalam nilai skor.

Prinsip skor penambatan molekul yaitu melakukan identifikasi posisi ikatan yang

tepat dengan mengkalkulasikan energi terendah. Semakin kecil skor yang

dihasilkan, berarti semakin kuat interaksi yang terjadi antara ligand dan reseptor

(Purnomo, 2009).

Secara singkat, perhitungan tersebut dirangkum dengan rumus :

∆G bin = ∆G vdw + ∆G ikatan H + ∆G ikatan H chg + ∆G hidrofobik + ∆G deformasi

7. Hepatotoksisitas

Sejumlah enzim dalam serum telah digunakan untuk membedakan dan menilai

cedera hepatoseluler dan disfungsi atau obstruksi saluran empedu (Isselbacher dkk.,

1995). Dua macam enzim yang sering dihubungkan dengan kerusakan sel hati

termasuk golongan aminotransferase, yakni enzim-enzim yang mengkatalisis

pemindahan gugusan amino secara irreversibel antara asam amino dan asam alfa
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 20
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

keto. Glutamat Oksaloasetat Transaminase (GOT) mengerjakan reaksi antara asam

aspartat dan asam α-ketoglutarat, sedangkan Glutamat Piruvat Transaminase (GPT)

menyelenggarakan reaksi antara alanin dengan asam α-ketoglutarat (Widmann,

1989).

Kenaikan jumlah SGPT (Serum Glutamate Piruvat Transaminase) dan SGOT

(Serum Glutamate Oksaloasetat Transaminase) biasanya menandakan adanya

kelainan atau kerusakan hepar seperti nekrosis, sirosis, dan neoplasma. Jika ada sel

hepar yang rusak maka kedua enzim tersebut akan dikeluarkan dari sel dan masuk

darah sehingga kadarnya dalam darah meningkat (Widmann, 1989).

Saluran Vena
Arteri empedu portal Terminal
hepatika vena hepatika
a

Saluran empedu

Kanal hering

Vena Sentral

Arteriola

Jalur Portal Parenkim

Gambar 12. Pembagian zona pada lobus hati (Haschek dkk., 2010)

Pada hati terdapat lobus yang dibagi menjadi tiga zona yaitu periportal (zona

1), midzonal (zona 2), dan centrilobular (zona 3). Pada zona 1 merupakan zona yang

paling dekat dengan masuknya darah, zona 2 merupakan intermediet, dan zona 3

berbatasan dengan vena hepatika. Zona 1 mempunyai konsentrasi oksigen 9-13%


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 21
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dibandingkan dengan zona 3 yang hanya 4-5% karena itu hepatosit pada zona 3

rentan mengalami kerusakan iskemik dikarenakan konsentrasi oksigen yang

rendah. Begitu pula dengan garam empedu. Uptake garam empedu lebih banyak

dilakukan di zona 1 sehingga ketika darah melewati zona 3 konsentrasi garam

empedunya lebih sedikit. Hepatosit pada zona 1 kaya akan mitokondria yang

berperan dalam oksidasi asam lemak, glukoneogenesis, dan detoksifikasi amonia

menjadi urea. Selain itu, zona 1 juga tinggi akan glutation. Sedangkan pada zona 3

banyak terdapat enzim CYP450, terutama isoenzim CYP2E1 yang diinduksi oleh

etanol (Klaasen, 2001).

Nekrosis pada hati dibagi menjadi 3 yaitu zonal, masif, dan difus (fokal). Untuk

zonal nekrosis dibagi lagi menjadi 3 bagian menurut lokasinya yaitu sentrilobuler

nekrosis, midzonal nekrosis, dan periportal nekrosis (Klaasen, 2001). Zona-zona

nekrosis ini berhubungan dengan mekanisme luka pada beberapa senyawa toksik

(Zimmerman, 1978).

Sentrilobuler nekrosis biasanya disertai dengan luka pada vena hepatika atau

venula yang menyebabkan adanya komponen hemoragik pada nekrosis

(Zimmerman, 1978). Pada zona sentrilobuler banyak terdapat enzim

pemetabolisme obat sehingga metabolit reaktif cenderung terbentuk di zona

sentrilobuler dan merusak jaringan dengan membentuk ikatan kovalen secara

langsung dengan organel vital atau secara tidak langsung dengan meningkatkan

lipid peroksidase dari membran asam lemak tak jenuh (Greaves, 2007). Ciri yang

terdapat pada nekrosis sentrilobuler yaitu sitoplasma mengalami hipereosinofilik

dimana warnanya menjadi lebih tajam dinding sitoplasma normal, inti sel
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 22
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mengalami lisis tetapi tidak piknosis, dan dapat disertai dengan inflamasi (Thoolen

dkk., 2010). Sedangkan nekrosis midzonal tidak terlalu terkenal dikarenakan

areanya yang sangat tipis dan hepatositnya yang sangat bervariasi dalam hal

kapasitas metabolisme dan konsentrasi oksigen. Ciri-cirinya yaitu hepatosit terlihat

seperti pita yang membengkak dan hipereosinofilik, inti sel mengalami lisis, dan

terdapat 2-3 hepatosit yang mengalami penebalan ditengah-tengah lobus (Thoolen

dkk., 2010). Nekrosis periportal lebih sedikit terjadi dibandingkan nekrosis

sentrilobuler. Zona periportal merupakan zona yang pertama kali terpapar senyawa

toksik karena aliran darah pertama kali melewati zona periportal. Hepatosit pada

zona periportal menerima dosis senyawa toksin yang lebih besar. Namun, paparan

senyawa toksik ini masih berupa senyawa utuh yang belum mengalami

biotransformasi menjadi metabolit yang kemungkinan lebih toksik dibandingkan

senyawa utuhnya. Akan tetapi, pada beberapa kasus lainnya toksisitas yang terjadi

pada zona periportal ini justru dikarenakan daerah metabolisme, termasuk

konsentrasi oksigen yang lebih besar dibandingkan zona sentrilobuler. Perbaikan

nekrosis periportal terjadi sangat cepat. Pada hewan pengerat, terdapat sel oval satu

minggu setelah terjadi nekrosis akut. Penambahan jumlah sel oval dihambat ketika

regenerasi hepatosit lengkap atau paling tidak separuh proses. Ciri-ciri nekrosis

periportal ini yaitu hepatosit membengkak dan hipereosinofilik, inti sel mengalami

lisis, dan disertai adanya inflamasi periportal (Thoolen dkk., 2010).

Nekrosis masif, cirinya adalah terjadinya nekrosis pada seluruh lobus hepar

dimulai dari vena sentral hingga ke daerah portal dan seringnya mempengaruhi

keseluruhan lobus yang ada di hepar. Lobus yang terkena nekrosis masif tidak dapat
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 23
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

melakukan regenerasi hepatosit dikarenakan kerusakan yang menyeluruh pada

lobus. Pada fase awal nekrosis masif, area hepar yang terserang akan berwarna lebih

pucat dan sedikit bengkak. Beberapa hari kemudian, letak daerah yang terserang

akan lebih radah dibanding jaringan yang berdekatan. Jika seluruh hepar terserang,

maka hepar akan menjadi lebih kecil dan lembek. Regenerasi hepatosit dilakukan

oleh area hepar yang tidak terkena nekrosis. Meskipun begitu, setelah perbaikan

selesai ukuran dan bentuk hepar tidak akan normal. Nekrosis masif ini terjadi ketika

hepar terpapar senyawa hepatotoksik dengan dosis yang amat tinggi atau karena

reaksi idiosinkratik (Haschek dkk., 2010).

Terakhir, nekrosis fokal yang banyak terjadi pada hewan pengerat disertai

dengan inflamasi maupun tidak. Nekrosis fokal terjadi hanya pada 3-4 hepatosit

atau kurang dari diameter 1mm, tetapi pada perkembangan nekrosis ini hepatosit

yang terkena bisa lebih luas. Hepatosit terlihat berwarna lebih pucat daripada

hepatosit normal. Kemungkinan penyebab terjadinya nekrosis fokal karena bakteri

atau virus hepatitis dimana respons imun dan pelepasan sitokin inflamasi secara

lokal terlibat (Greaves, 2007).

Untuk senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hepatosit, bukti

adanya kerusakan dapat dilihat ≤48 jam setelah perlakuan (Maronpot dkk., 2010).

Pada kejadian hepatotoksik karena parasetamol, ikatan kovalen antara NAPQI

dengan protein hati merupakan mekanisme yang sudah diterima secara luas

(Klaassen, 2001). Parasetamol dimetabolisme oleh enzim CYP450, terutama

isoenzim CYP2E1, menjadi N-asetil-p-Aminoquinon-Imina (NAPQI). NAPQI


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 24
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

bersifat reaktif dan elektrofilik yang menyebabkan kerugian karena berikatan secara

kovalen dengan protein intraseluler. Jika kebutuhan glutation tidak dipenuhi maka

NAPQI akan mulai terakumulasi di hepatosit. NAPQI dapat berikatan kovalen

dengan protein seluler dan memodifikasi struktur dan fungsi mereka. Kerusakan

seluler ini menyebabkan penurunan aktivitas kalsium ATPase dan meningkatkan

kalsium sitosol. Abnormal homeostasis kalsium seluler dapat merubah

permeabilitas membran sel, menyebabkan pembentukan tonjolan yang tidak normal

pada membran sel dan hilangnya integritas sel. Bukti juga menunjukkan overdosis

parasetamol menyebabkan adanya disfungsi mitokondria baik karena ikatan

kovalen pada protein mitokondria atau karena mekanisme lainnya. Protein

mitokondria yang dimodifikasi NAPQI dan tingginya kadar kalsium sitosol dapat

menekan respirasi mitokondria dan sintesis ATP, dan menginduksi stres oksidan

mitokondria dengan meningkatkan produksi peroksinitrit, poten oksidan, dan agen

nitrat. Peroksinitrit dapat menghasilkan ikatan kovalen tambahan pada protein

seluler sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria lebih lanjut. Pada akhirnya,

perubahan permeabilitas membran menyebabkan rusaknya membran mitokondria,

gangguan sintesis ATP, pelepasan protein mitokondria ke dalam sitoplasma sel, dan

nekrosis onkotik hepatosit. Sistem imun pada hati juga terbukti memainkan peran

penting dalam perkembangan kerusakan hati karena parasetamol. Sel endotel dalam

sinusoid tidak memiliki membran basal, yang memungkinkan kesiapan akses sel

imun dari aliran darah ke dasar hepatosit. Sel yang mati karena metabolit toksik

parasetamol mengaktifkan sel Kuppfer (makrofag fagosit di hepar) untuk

melepaskan sitokin, termasuk interleukin-12, interleukin-18, dan faktor α tumor


UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 25
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

nekrosis yang mengaktifkan natural killer (NK) dan limfosit T. Aktivasi NK dan

limfosit T dapat menyebabkan kerusakan hepar karena aktivitas sitotoksik,

peningkatan aktivasi sel Kuppfer, dan stimulasi produksi lokal dari kemokin.

Mediator inflamasi, sitokin, dan kemokin, mengambil dan mengumpulkan neutrofil

dalam hati dan memperburuk cedera hati (Chun, 2009). Parasetamol biasanya

menyebabkan nekrosis pada zona sentrilobuler. Hal ini dikarenakan pada zona

sentrilobuler banyak terdapat enzim CYP450, utamanya CYP2E1, yang

memetabolisme parasetamol menjadi NAPQI, serta zona ini hanya terdapat sedikit

glutation dibanding zona periportal. Zona sentrilobuler ini juga hanya terdapat

sedikit oksigen.

E. LANDASAN TEORI

Senyawa MH2011 merupakan salah satu modifikasi parasetamol yaitu dengan

menggantikan gugus alkil (CH3) parasetamol yang terikat pada C karbonil dengan

gugus 4-hidroksi naftalena-1-aminida yang terikat pada aminonaftol. Dengan

adanya gugus 4-hidroksi naftalena-1-aminida dapat menurunkan muatan positif

pada posisi orto sehingga dapat menurunkan efek hepatotoksik, bahkan jika

mungkin menghilangkannya.

Parasetamol mempunyai efek samping hepatotoksik. Hepatotoksik tersebut

terjadi disebabkan oleh metabolit dari parasetamol yaitu NAPQI (N-acetyl-P-

benzoquinoneimine). Cincin inti benzen dari NAPQI bersifat elektrofilik,

sedangkan sel-sel hati bersifat nukleofilik, sehingga sel-sel hati tersebut akan
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 26
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

berikatan dengan muatan positif NAPQI pada posisi orto dan terjadilah

hepatotoksik (Bessems dkk., 2001). Senyawa MH2011 diprediksi mempunyai efek

samping hepatotoksik yang lebih rendah dibandingkan parasetamol, hal ini

disebabkan karena senyawa MH2011 disusun oleh banyak struktur benzen

dibandingkan parasetamol, sehingga dapat membantu mengurangi muatan positif

NAPQI pada posisi orto. Dengan kata lain, NAPQI yang dihasilkan oleh MH2011

sifat elektrofiliknya lebih rendah dibandingkan parasetamol, sehingga ikatan antara

NAPQI dengan sel-sel hepar juga akan semakin rendah. Secara teori dapat

dikatakan bahwa efek hepatotoksik MH2011 lebih rendah dibandingkan

parasetamol.

Semakin elektrofilik muatan pada posisi orto maka akan meningkatkan

hepatotoksisitas dari senyawa modifikasi parasetamol karena atom karbon yang

bermuatan positif tersebut dapat bereaksi dengan sel-sel hati yang bersifat

nukleofilik sehingga sel-sel hati menjadi rusak secara irreversibel (tidak dapat pulih

kembali). Dari hasil perhitungan komputasi muatan atom secara semi empirik

dengan metode AM1 maka dapat diketahui bahwa senyawa MH2011 memiliki efek

samping hepatotoksik yang lebih rendah dibandingkan parasetamol sehingga dapat

dikatakan bahwa dalam penggunaannya MH2011 lebih aman dibandingkan

parasetamol.
UJI HEPATOTOKSIK SENYAWA MH2011 PADA MENCIT JANTAN GALUR BALB/c DENGAN
PEMBANDING PARASETAMOL 27
HESTI PRIHASTUTI D
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

F. HIPOTESIS

MH2011 merupakan salah satu modifikasi parasetamol yang mempunyai efek

hepatotoksik yang lebih rendah secara in vivo jika dibandingkan parasetamol pada

mencit jantan galur Balb/c.

Anda mungkin juga menyukai

  • Kuis Fitofar
    Kuis Fitofar
    Dokumen9 halaman
    Kuis Fitofar
    Anonymous vCZjhQQmNj
    Belum ada peringkat
  • Kuis Fitofar
    Kuis Fitofar
    Dokumen8 halaman
    Kuis Fitofar
    Anonymous vCZjhQQmNj
    Belum ada peringkat
  • KUIS Sut
    KUIS Sut
    Dokumen61 halaman
    KUIS Sut
    Anonymous vCZjhQQmNj
    Belum ada peringkat
  • Proposal 1
    Proposal 1
    Dokumen27 halaman
    Proposal 1
    Anonymous vCZjhQQmNj
    Belum ada peringkat