Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEDIAAN PARENTERAL

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Sediaan Farmasi Steril

Dosen pengampu : Fahjar Prisiska, M.Farm.,Apt

Disusun oleh

Abiyya Shafa Nabilah (0432950717001)

Adinda Anisa (0432950717002)

Aidah Hajjah Izma Rozak (0432950717003)

Alfanita (0432950717004)

Ayu Arianti Pasaribu (0432950717005)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH

BEKASI

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah Sediaan Parenteral unuk memenuhi tugas mata kuliah
Teknologi Sediaan Farmasi Steril.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca. Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Sediaan Parenteral dan


manfaatnya bisa memberikan manfaat untuk pembaca.

Bekasi, 23 Februari 2020

Penyusun
Daftar isi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan
melalui beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal,
intramuskuler, subkutis dan intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui
rute intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat
suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara
difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai utuk bahan
obat, baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan
obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara
kimia. Bahkan bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat
diterima lewat intramuskuler, begitu juga pembawanya bukan hanya air
melainkan yang non air juga dapat.
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang
berarti disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka
kemurniaan yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan, yang
dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral
volume kecil sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral
volume besar, yang biasa diberikan secara intravena. Produk parenteral,
selain diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung partikel yang
memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung
bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara
sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat
bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat
dilakukan teknik aseptic.
Larutan yang mengandung bakteri gram positif-negatif dapat saja
memberikan reaksi demam atau pirogenik walaupun larutan injeksi
tersebut steril. Reaksi demam atau pirogen ini disebabkan oleh adanya
fragmen dinding sel bakteri yang disebut “endotoksin”. Adanya
endotoksin yang ditandai dengan reaksi demam itu merupakan pertanda
bahwa selama proses produksi terjadi kontaminasi mikroba pada produk.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut dapat di rumuskan masalah
sebagai berikut :

1. Apakah definisi dari sediaan parenteral ?

2. Bagiamana bentuk-bentuk sediaan produk steril ?

3. Bagaiamana sifat-sifat produk parenteral yang membedakannya


dengan produk farmasi yang lain ?

4. Bagaiamana rute-rute pemberian produk injeksi beserta keunggulan


dan kelemahan masing-masing serta efeknya terhadap aksi,
metabolisme dan ekskresi obat ?

5. Apakah keunggulan dan kelemahan dari sediaan parenteral ?

6. Apakah indikasi penggunaan sediaan parenteral ?

7. Faktor-faktor farmasetis apa saja yang mempengaruhi pemberian obat


secara parenteral ?

8. Apakah bahaya dan komplikasi dari penggunana sediaan parenteral ?

9. Apa saja Persyaratan esensial produk injeksi ?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui definisi dari sediaan parenteral.
2. Dapat mengetahui bentuk-bentuk sediaan produk steril.
3. Dapat mengetahui sifat-sifat produk parenteral yang membedakannya
dengan produk farmasi yang lain.
4. Dapat mengetahui rute-rute pemberian produk injeksi beserta
keunggulan dan kelemahan masing-masing serta efeknya terhadap
aksi, metabolisme dan ekskresi obat
5. Dapat mengetahui keunggulan dan kelemahan dari sediaan parenteral.
6. Dapat mengetahui indikasi penggunaan sediaan parenteral
7. Dapat mengetahui faktor-faktor farmasetis yang mempengaruhi
pemberian obat secara parenteral.
8. Dapat mengetahui bahaya dan komplikasi dari penggunana sediaan
parenteral.
9. Dapat mengetahui persyaratan esensial produk injeksi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sediaan Parenteral


Parenteral berasal dari kata Yunani, para dan enteron yang berarti
di luar usus halus dan merupakan rute pemberian lain dari rute oral. Istilah
parenteral seperti yang umum digunakan menunjukan pemberian lewat
suntikan seperti berbagai sediaan yang diberikan lewat suntikan (Ansel,
1989).
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk
injeksi atau sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara
menyemprotkan larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan
terapeutik atau diagnostik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam
alairan darah, ke dalam jaringan atau organ. Asal kata injeksi dai injectio
yang berarti memasukan ke dalam, sedangkan infusio berarti penuangan ke
dalam (Lukas, 2006).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, suspensi atau emulsi
atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu
sebelum digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke
dalam kulit atau selaput lendir. Infus intravena adalah sediaan steril berupa
larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis
terhadap darah, disuntikan langsung ke dalam vena dalam volume relatif
banyak (Depkes R.I, 1979).
Injeksi (FI Edisi III) adalah sediaan steril berupa larutan,
suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau di suspensikan terlebih
dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek
jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Sediaan steril adalah sedian yang selain memenuhi persyaratan
fisika-kimia juga persyaratan steril. Steril berarti bebas mikroba. Sterilisasi
adalah proses untuk mendapatkankondisi steril. Sediaan steril secara
umum adalah sediaan farmasi yang mempunyaikekhususan sterilitas dan
bebas dari mikroorganisme.
Dalam pengertian singkatnya Sediaan Parenteral adalah sediaan
steril yang digunakan tanpa melalui mulut namun langsung ke dalam
pembuluh darah sehingga memperoleh efek yang cepat dan langsung
mencapai sasaran.

2.2 Bentuk-Bentuk Produk Steril


a. Menurut Farmakope Indonesia
Dalam FI.ed.IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan
menjadi 5 jenis yang berbeda :
1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain
yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi................
Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan.
Misalnya :
Inj.Vit.C, pelarutnya aqua pro injection

Inj.Camphor oil, pelarutnya Olea neutralisata ad injection

Inj Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air

2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak


mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan
yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi
persyaratan injeksi, ditandai dengan nama , ...................Steril.
Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan
disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya
merupakan larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi. Misalnya:
Inj. Dihydrostreptomycin Sulfat steril.
3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama,
............ Steril untuk Suspensi.
Dalam FI.ed.III disebut berupa zat padat kering jika akan
disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya
merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril. Misalnya :
Inj. Procaine Penicilline G steril untuk suspensi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal,
ditandai dengan nama , Suspensi.......... Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah
disuspensikan dalam pembawa yang cocok dan steril) . Misalnya : Inj.
Suspensi Hydrocortisone Acetat steril.
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain, ditandai dengan nama, ............. steril Untuk
Injeksi.
Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang
cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan
emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil steril untuk injeksi.
b. Menurut Lecvhuk, 1992
Sediaan farmasi parenteral yang digunakan secara operasional di rumah
sakit terbagi dalam lima kategori umum (Lecvhuk, 1992):
1. Infus

Infus adalah produk parenteral yang digunakan untuk injeksi


ke dalam pembuluh darah vena melalui intravena. Infus dikemas
dalam wadah Large Volume Parenteral (LVP) plastik atau gelas
yang cocok untuk intravena. Sistem infus menyediakan kecepatan
aliran cairan yang terus menerus dan teratur. Infus bisa diberikan
dengan atau tanpa bahan tambahan.
2. Suntikan
Obat suntik atau Small Volume Parenteral (SVP) digunakan
untuk pemberian parenteral. Farmasis rumah sakit biasa terkait
dalam penyediaan SVP, distribusi, dan mengontrol produk
komersial yang tersedia di rumah sakit dan penggunaannya
sebagai bahan tambahan dalam pembuatan intravena admixtures.
3. Sediaan mata
Sediaan mata termasuk larutan atau suspensi steril yang
ditujukan untuk tetesan topikal pada mata atau salep untuk
diaplikasikan pada area mata.
4. Larutan dialisis dan irigasi
Produk larutan dialisis dan cairan irigasi harus memenuhi
semua syarat standar infus. Pencampuran sediaan irigasi biasanya
dengan antibiotik, kadang–kadang dilakukan di bagian farmasi.

c. Menurut Priyambodo, 2007

Sediaan parenteral dibagi menjadi 2 macam yaitu:

1. Sediaan parenteral volume kecil

Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai obat steril yang


dikemas dalamwadah 100 ml. Berikut kategori sediaan parenteral
volume kecil :
1) Produk farmaseutikal yang teridiri dari bahan kimia organik dan
anorganik dalamlarutan, suspensi, emulsi, produk freezedried atau
sebagai serbuk kecil.
2) Produk biologi yang disiapkan dari sumber biologi meliputi vaksin,
toksoid, danekstrak biologi.
3) Zat pendiagnosa seperti media kontras sinar x.
4) Produk radiofarmasi untuk deteksi dan diagnosis.
5) Produk gigi seperti anestetik lokal.
6) Produk bioteknologi.
7) Produk liposom dan lipid
2. Sediaan parenteral volume besar
Sediaan cair steril yang mengandung obat dan dikemas dalam
wadah 100 mlatau lebih dan ditujukan untuk manusia. Berikut tujuan
penggunaannya:
1) Bila tubuh kekurangan air, elektrolit dan karbohidrat maka
kebutuhan tersebut harus cepat diganti.
2) Pemberian infus memiliki keuntungan karena tidak harus
menyuntikkan pasien berulang kali.
3) Mudah mengatur keseimbangan keasaman dan kebasaan obat
didalam darah.
4) Sebagai penambah mutrisi bagi pasien yang tidak fdapat makan
secara oral.
5) Berfungsi sebagai dialisa pada pasien gagal ginjal(Priyambodo,
2007)

2.3 Sifat-Sifat Produk Parenteral


Menurut ansel, 2011 ada bermacam macam cara untuk memberikan suatu
obat kepada pasien, secara garis besar dibagi menjadi rute pemberian per oral
dan parenteral.Berikut sifat-sifat produk parenteral dengan beberapa cara rute
pemberian injeksi.
1) Injeksi Intravena (i.v)
Pemberian obat secara intravena , larutan air disuntikkan
kedalam venadan biasanya diberikan kedalam vena pada lengan
depan dan merupakan penggunaan khusus pada keadaan daurat
dimana diinginkan kerja obat yang segera. Setelah penyuntikan
pada intravena akan diperoleh kadar obat yang optimum dalam
darah dengan tepat dan cepat.
2) Injeksi Intramuskuler (i.m)
Injeksi intramuskuler diberikan penyuntikan obat kedalam
lapisan otot,umumnya pada otot pinggul atau pinggang. Larutan
air, minyak atau suspensi dapat digunakan secara intramuskuler,
biasanya rute ini digunakan jika diinginkan efek obat yang
lambat/pelan untuk memenuhi kebutuhan pasien.
3) Injeksi Intratekal
Injeksi intratekal biasanya diberikan ke bagian tulang
belakang, misalnya penggunaan obat bius regional.
4) Injeksi Subkutan
Pemberian subkutan (Hipodermik) injeksi ini melalui
lapisankulit kedalam jaringan longgar dibawah kulit. Injeksi
subkutan biasanya diberikan pada lengan depan, pangkal lengan,
paha dan nates. Sesudah penyuntikan, obat masuk ke tempat yang
terdekat sekitar pembuluh darah dan memasukinya dengan cara
difusi atau filtrasi. Penyampaian darah ke tempat daerah
penyuntikan merupakan faktor penting dalam menentukan
kecepatan absorpsi obat, karena semakin dekat kapiler ke tempat
penyuntikan makin cepat masuknya obat kedalam sirkulasi.

2.4 Rute-Rute Pemberian Produk Injeksi


Rute-rute pemberian produk injeksi beserta keunggulan dan kelemahan
masing-masing serta efeknya terhadap aksi, metabolisme dan ekskresi obat.
Sediaan parenteral bisa diberikan dalam berbagai rute. Lima rute yang paling
umum adalah intravena, intramuskular, subkutan, intrakutan dan intraspinal
(Lachman dkk, 1994). Cara pemberian lainnya meliputi intraperitoneal dan
intraartikular (Lukas, 2006).
a. Subkutan (s.c) atau dibawah kulit.
1. Tempat penyuntikan dibagian tubuh yang sedikit lemak dan masuk
ke jaringan di bawah kulit.
2. Volume tidak lebih dari 1 ml.
3. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidri. Larutan yang sangat
meyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis
dan absorpsi zat aktif tidak optimal
4. Onset (mula kerja) obat berbentuk larutan dalam air lebih cepat
daripada sediaan suspensi. Determinan kecepatan absorpsi ialah total
luas permukaan tempat terjadinya penyerapan.
5. Zat aktif bekerja lambat daripada secara i.v (Lukas, 2006)
b. Intramuskular (i.m)
1. Disuntikan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau
paha.
2. Volume sediaan umumnya 2 ml.
3. Sediaan berupa larutan, suspensi atau emulsi. Jaringan otot
mentoleransi minyak dan partikel-partikel yang tersuspensi dengan
baik, di dalam minyak sehingga jaringan otot tersebut merupakan
rute yang cocok untuk minyak dan suspensi dalam minyak. Bentuk
larutan sebaiknya isotonis.
4. Onset (mula kerja) bervariasi tergantung besar kecilnya partikel.
5. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta muda terakumulasi.
Pemberian suatu obat ke dalam jaringan otot akan menghasilkan
pengumpulan produk pada tempat injeksi. Dari depo ini, obat
dilepaskan pada suatu laju yang sebagian besar ditentukan oleh
karakteristik formula tersebut. Larutan dalam air lebih cepat
diabsorpsi daripada minyak. (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
c. Intravena (i.v)
1. Disuntikan ke dalam pembuluh darah i.v.
2. Volume relatif lebih besar. Volume kecil (< 5 ml) sebaiknya
isotonis dan isohidri, sedangkan volume besar (infus) harus
isotonis dan isohidris.
3. Tidak melalui fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
onset (mula kerja) segera, bioavaibilitas 100% (Lukas, 2006)
d. Intraspinal, Intraperitoneal, Intraartikular dan Intradermal
1. Intraspinal, disuntikan ke dalam sumsum tulang belakang.
Larutan harus isotonik dan isohidris, karena sirkulasi dari cairan
serebrospinal lambat dan gangguan tekanan osmotik dengan cepat
menyebabkan sakit kepala dan muntah (Lukas, 2006; Lachman
dkk, 1994).
2. Peritoneal (i.p), yaitu kateter dimasukan dalam perut dengan
operasi untuk memasukan cairan steril dialisis. Larutan harus
hipertonis, zat aktif diabsorpsi dengan cepat dan volume
diberikan dalam jumlah besar (1 atau 2 liter) (Lukas, 2006).
3. Intraartikular, yaitu disuntikan ke dalam sendi, larutan isotonis
dan isohidris (Lukas, 2006)
4. Intradermal/intrakutan (i.c), disuntikan ke dalam kulit. Umumnya
diberikan untuk tujuan diagnostik, desensitasi (alergi) atau
imunisasi, larutan sebaiknya isotonis dan isohidris karena larutan
yang nonisotonik dapat memberikan tanda-tanda iritasi palsu
(Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
Farmakokinetika berarti berhubungan dengan nasib obat dalam tubuh,
yang mencakup proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eksresi/eliminasi) (Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009).
1. Absorpsi obat parenteral
a. Intravena tidak mengalami tahap absorbsi. Obat langsung
dimasukkan ke pembuluh darah sehingga kadar obat didalam darah
diperoleh dengan cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung
dengan respons penderita. Injeksi larutan obat secara langsung ke
aliran darah memberikan prediksi respon farmakologik yang lebih
baik.
Kerugiannya adalah obat yang sudah diberikan tidak dapat
ditarik kembali, sehingga efek toksik lebih mudah terjadi. Jika
penderita alergi akan lebih terjadi. Pemberian intravena harus
dilakukan perlahan-lahan sambil mengawasi respons penderita.
b. Pada intramuscular, kelarutan obat dalam air menentukan
kecepatan dan kelengkapan absorbsi. Obat yang sukar larut seperti
dizepam dan penitoin akan mengendap di tempat suntikan sehingga
absorbsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat
yang larut dalam air lebih cepat diabsorbsi. Tempat suntikan yang
sering dipilih adalah gluteus maksimus dan deltoid.
c. Pada daerah subcutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak
iritatif terhadap jaringan. Absorbsi biasanya berjalan lambat dan
konstan, sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorbsi menjadi
lebih lambat jika diberikan dalam bentuk padat yang ditanamkan
dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi. Pemberian obat bersama
dengan vasokonstriktor juga dapat memperlambat absorbsinya.
Intramuscular dan Subcutan, absorbsi pada kedua injeksi ini
akan lebih cepat jika diberikan dalam bentuk cairan. Kecepatan
absorbsinya tergantung pada vaskularisasi di wilayah tubuh yang
diinjeksi. Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah konsentrasi
obat, derajat ionisasi dan bentuk lipid nonion, serta wilayah injeksi.
d. Untuk intrathecal, obat langsung dimasukkan kedalam ruang
subaraknoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat
dan setempat pada selaput otak atau sumbu cerebrospinal seperti
pada anestesia spinal atau pengobatan infeksi sistem saraf pusat
yang akut.
2. Distribusi obat parenteral
Pada pemberian secara i.v molekul obat langsung masuk ke dalam
peredaran darah. Bila pemberian secara i.m atau s.c, molekul obat
bercampur dengan cairan tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam
peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke jaringan tempat obat
bekerja..
3. Metabolisme obat parenteral
Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses
biotransformasi obat secara kimiawi, hal ini terjadi dalam lingkungan
biologis. Sebagian besar reaksi metabolisme merubah obat menjadi
bentuk metabolit yang lebih larut dalam air daan siap dieksresikan
melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat parenteral adalah di
hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu
faktor genetik, umur, lingkungan dan penyakit yang diderita.
4. Eksresi Obat Parenteral
Eksresi obat dan metabolitnya merupakan tahapan terakhir dari
aktivitas serta keberadaan obat dalam tubuh. Molekul obat yang masuk
ke dalam tubuh dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan
diekskresikan dari tubuh bersama dengan berbagai cairan tubuh
melalui beberapa perjalanan. Ginjal merupakan organ utama untuk
mengeliminasi obat bersama urin. Organ lain yang dapat
mengeksresikan obat yaitu : empedu, paru, air ludah, ASI dan kulit.

2.5 Keunggulan dan kelemahan sediaan parenteral


A. Keuntungan
1. Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat
2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
3. Biovaibilitas sempurna atau hampir sempurna
4. Kerusakan obat dalam saluran pencernaan dapat dihindarkan
5. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang
sedang dalam keadaan koma (Lukas, 2006)
B. Kerugian
1. Dapat menimbulkan rasa nyeri/sakit pada saat disuntik, apalagi bila
pemberiannya berulang.
2. Memberikan efek psikologis pada pasien yang takut disuntik
3. Bila terjadi kekeliruan pada saat pemberian, maka hampir tidak dapat
diperbaiki terutama setelah pemberian intravena.
4. Bila obat sudah masuk ke dalam tubuh pasien, maka sulit untuk
ditarik kembali atau dikeluarkan.
5. Obat hanya dapat diberikan kepada pasien di rumah sakit, atau di
tempat praktek dokter dan hanya dilakukan oleh perawat yang
berpengalaman (Rahman & Djide, 2009).

2.6 Indikasi Penggunaan Sediaan Parenteral


Menurut FI edisi III, Secara umum sediaan injeksi diberikan kepada
pasien yang tidak kooperatif, misalnya penderita tidak bisa menelan obat,
diperlukan efek yang cepat.
1. Untuk menjamin penyampaian obat yang belum diketahui sifat-sifatnya
ke dalam suatu jaringan yang sakit dalam kadar yang cukup.
Contoh : Pemberian injeksi antibiotik gol. aminoglikosida secara
intraventrikular  sulit menembus lap. pembatas darah-otak-selaput
otak yg dilakukan pd penderita radang selaput otak
2. Pengendalian langsung terhadap parameter farmakologi tertentu (kadar
puncak dalam darah, dll)
3. Menjamin dosis dan kepatuhan terhadap obat (khusus untuk penderita
rawat jalan)
4. Mendapatkan efek obat yang tidak mungkin dicapai melalui rute lain
contoh: insulin tdk dapat diabsorpsi/rusak oleh asam lambung jika
diberikan secara oral.
5. Penderita yang tidak sadarkan diri / gila.
6. Mendapatkan efek lokal yang diinginkan : anastesi lokal pada
pencabutan gigi
7. Memperbaiki dengan cepat cairan tubuh atau ketidak-seimbangan
elektrolit atau mensuplai kebutuhan nutrisi.

2.7 Faktor-Faktor Farmasetis Yang Mempengaruhi Pemberian Obat


Secara Parenteral
a. Kelarutan obat dan volume injeksi
 Obat harus terlarut sempurna, lebih disukai dalam air, sblm dapat
diberikan secara injeksi intra vena.
 Kelarutan obat dalam pembawa dan dosis yg diperlukan untuk
menghasilkan efek erapetik akan menentukan volume injeksi yg
harus diberikan.
 Rute pemberian obat secara parenteral selain i.v memiliki
keterbatasan dalam hal volume injeksi yang dapat diberikan.
b. Karakteristik bahan pembawa
 Pembawa air : dapat diberikan melalui rute parenteral apa saja.
 Pembawa non air : yg dapat bercampur atau tidak dengan air
biasanya diberikan dengan i.m.
 Larutan suntik dengan pelarut campur.
c. Ph atau osmolaritas larutan injeksi
 Larutan suntik harus di formulasi pH dan osmolaritas yg sama
dengan cairan tubuh (isohidri dan isotoni).
 Terkait dengan masalah stabilitas,kelarutan atau dosis
 Pada umumnya larutan parenteral hipertonis di kontraindikasikan
untuk penyuntikan sub kutan atau intramuscular
d. Jenis bentuk sediaan obat
 Suspensi : hanya im dan sc. Tidak boleh iv atau rute parenteral selain
diatas karena obat langsung masuk ke cairan biologis atau jaringan
sensitif (otak dan mata).
 Serbuk untuk injeksi atau dilarutkan sempurna dalam pembawa yg
sesuai sebelum diberikan.
e. Komposisi bahan pembantu
 Sediaan parenteral berulang mengandung antimikroba sebagai
pengawet, selain itu dapat mengandung surfaktan untuk
mendapatkan kelarutan yang sesuai. Surfaktan dapat merubah
permeabilitas membran, sehingga harus diketahui keberadaannya
ketika akan diberikan secara subkutan atau intramuskular.
2.8 Bahaya dan komplikasi dari penggunana sediaan parenteral.
a. Bahaya dan komplikasi umum (Agoes,2009)
1. Sepsis, trombis (i.v intraarterial )
2. Reaksi terhadap bahan asing yang tak terlarut (i.v intra-arterial)
3. Ketidakcampuran dan reaksi karena pH serta tonisitas ekstrim
4. Reaksi hipersensitivitas, over dosis, emboli udara (i.v dan
intraarterial)
b. Bahaya dan komplikasi khusus (Agoes,2009)

Disebabkan oleh senyawa yang dsiuntikkan, meliputi beberapa efek


samping yang sifatnya idiosinkratik terhadap senyawa yang diberikan
(trombositopenia, anemia, neutropenia),imunosupresi, aritmia, dan rasa
nyeri.

2.9 Persyaratan Esensial Produk Injeksi


a. Persyaratan Sediaan Parenteral ( Ansel, 1989)
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada di dalam sediaan
dengan pernyataantertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan
kualitas selama penyimpanan akibatkerusakan obat secara kimiawi
dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan
sediaan tetapsteril, tetapi juga mencegah terjadinya antara bahan obat
dengan material dindingwadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi
4. Bebas kuman
5. Bebas pirogen
6. Isotonis
7. Isohidris
8. Bebas partikel melayang
b. Persyaratan Produk Steril Injeksi (Agoes, 2009)
1. Sediaan obat harus jernih, maksudnya tidak ada partikel yang tidak
larut dalam sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berwarna tetap
terlihat jernih (tidakkeruh).
2. Tidak berwarna, maksudnya sediaan larutan bisa saja berwarna,
namun warna larutan sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak
ada campuran warna laindalam sediaan itu.
3. Bebas dari partikel asing, partikel asing yang bukan penyusun obat.
Sumber partikel bisa berasal dari air, bahan kimia, personil yang
bekerja, serat atau alat dari pakaian personil, alat-alat, lingkungan,
dan pengemas (gelas dan plastik).
4. Keseragaman volume atau berat.
5. Memenuhi uji kebocoran, terutama untuk injeksi yang dikemas
dalam ampul.
6. Stabil yang artinya sediaan tidak mengalami degradasi fisika. Misal
jika bentuk sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam
bentuk larutan (bukan suspensi)
BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai