Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ALERGI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi Syaraf, Renal, Kardiovaskular &
Endokrin

Dosen pengampu : Fajar Amirullah, M.Farm.,Apt

Disusun oleh :

Adinda Anisa (0432950717002)

Putri Setiawati Lubis (0432950717036)

Rizky Refaldi Dewantara (0432950717040)

Syifa Salsabila Jasmine (0432950717045)

Yulyaningsi (04329507170048)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH

BEKASI

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya
kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Alergi unuk memenuhi
tugas mata kuliah Farmakoterapi Syaraf, Renal, Kardiovaskular & Endokrin.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk
para pembaca. Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan
lapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Sediaan Parenteral dan manfaatnya bisa
memberikan manfaat untuk pembaca.

Bekasi, 31 Maret 2020

Penyusun
Daftar Isi

KATA PENGANTAR..........................................................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................

A. Latar Belakang ....................................................................................................................

B. Rumusan Masalah.......................................................................................

C. Tujuan……………………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................

A. Pengertian Pre-eklamsia.............................................................................

B. Etiologi ........................................................................................................

C. Jenis-Jenis Pre-eklamsia ..............................................................................

D. Protap Penanganan Preeklamsi dan Eklamsi…………………………………………….

E. ……………………………………………………………….………..

F. Mekanisme
metildopa…………………………………………………………………………….

G. Metildopa untuk preeklamsia…………………………………………………………………

BAB III PENUTUP ............................................................................................

A. Kesimpulan ..............................................................................................

B. DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan
bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya
alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat
jalan Pelayanan Kesehatan Anak. Menurut survey rumah tangga dari beberapa negara
menunjukkan penyakit alergi adalah adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering
kenapa pasien berobat ke dokter keluarga. Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari
semua kunjungan ke dokter umum dan sekitar 80% diantaranya menunjukkan gangguan
berulang yang menjurus pada kelainan alergi. BBC beberapa waktu yang lalu melaporkan
penderita alergi di Eropa ada kecenderungan meningkat pesat. Angka kejadian alergi
meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi
alergi. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma,
6 juta orang mempunyai dermatitis (alergi kulit). Penderita Hay Fever lebih dari 9 juta
orang (Judarwanto, 2005).
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal dalam tubuh yang disebabkan zat-zat
yang tidak berbahaya. Alergi timbul bila ada kontak terhadap zat tertentu yang biasanya,
pada orang normal tidak menimbulkan reaksi. Zat penyebab alergi ini disebut allergen.
Allergen bisa berasal dari berbagai jenis dan masuk ke tubuh dengan berbagai cara. Bisa
saja melalui saluran pernapasan, berasal dari makanan, melalui suntikan atau bisa juga
timbul akibat adanya kontak dengan kulit seperti; kosmetik, logam perhiasan atau jam
tangan, dan lain-lain. Zat yang paling sering menyebabkan alergi: Serbuk tanaman; jenis
rumput tertentu; jenis pohon yang berkulit halus dan tipis; serbuk spora; penisilin;
seafood; telur; kacang panjang, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang-kacangan
lainnya; susu; jagung dan tepung jagung;sengatan insekta; bulu binatang; kecoa; debu
dan kutu. Yang juga tidak kalah sering adalah zat aditif pada makanan, penyedap,
pewarna dan pengawet.
A. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:


1. Apakah yang dimaksud dengan Alergi?
2. Bagaimana Etiologi pada Alergi ?
3. Bagaimana terapi Farmakologi dan non farmakologi pada Alergi?

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Alergi
2. Untuk mengetahui dan memahami Etiologi Alergi
3. Untuk mengetahui dan memahamiterapi farmakologi dan non farmakologi pada Alergi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh mekanisme


imunologi, yaitu reaksi atau respon tubuh yang berlebihan terhadap alergen (Portnoy,
2015). Alergi dapat timbul pertama kali pada usia anak-anak, dewasa muda, atau pada
lansia (lanjut usia). Reaksi alergi dapat memengaruhi hampir seluruh jaringan tubuh dan
menimbulkan gejala klinik sesuai dengan organ yang terkena. Menurut data dari World
Allergy Organization prevalensi alergi penduduk dunia berkisar antara 10 – 40%
(Pawankar, 2011). Kelompok usia yang rentan terhadap alergi adalah kelompok lansia.
Prevalensi penyakit alergi pada lansia diperkirakan sekitar 5-10% (Cardona, 2011).
Meningkatnya status sosial dan ekonomi menyebabkan meningkatkan angka harapan
hidup di Indonesia. Pusdatin Kemenkes RI memperkirakan kecenderungan peningkatan
lansia cukup pesat di Indonesia dibandingkan kelompok usia lainnya sejak tahun 2013
(8,9%) hingga tahun 2050 (21,4%) (Kemenkes RI, 2016). Berdasarkan peningkatan
jumlah tersebut, maka jumlah penyakit yang berhubungan dengan lanjut usia, termasuk
alergi, diperkirakan akan meningkat.

Patogenesis terjadinya penyakit alergi secara garis besar dibagi menjadi 2 jalur,
yaitu jalur imunologis dan jalur non-imunologis. Pada jalur imunologis, setelah allergen
(zat pemicu alergi) masuk ke dalam tubuh, alergen akan diolah oleh antigen presenting
cell (APC), dan akan ditangkap oleh sel T helper. Setelah sel T teraktivasi oleh APC, sel
T akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel plasma membentuk
IgE, sel radang lain seperti mastosit, makrofag, eosinophil, neutrophil, trombosit, serta
limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin, leukotrien, bradikinin, tromboksan dan lain-lain akan mempengaruhi
organ sasaran sehingga menyebabkan pelebaran pembuluh darah, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, edema saluran nafas, infiltrasi sel radang dan lain-lain.
Pada jalur non-imunologis, terjadi perangsangan sistem saraf otonom yang dengan hasil
akhir berupa inflamasi (Ventura, 2017).

2.2 Etiologi

Etiologi Riniits Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama.
Alergen yang biasanya menimbulkan reaksi alergi adalah alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernafasan misalnya: tungau, debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B.
tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing dan anjing), rerumputan
(Bermuda grass) dan jamur (Aspergillus,Alternaria) (Soepardi, 2012).
3.3 Terapi Farmakologi

a. Antihistamin

Antihistmain adalah antagonis histamin reseptor H1 yang bekerja secara inhibisi


kompetitif pada reseptor H1 dan merupakan farmakologi yang paling sering dipakai
sebagai terapi pertama dalam rinitis alergi (Ghanie, 2007).

Antihistamin generasi pertama bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar


darah otak dan plasenta dan mempunyai efek anti kolinergik. Efek samping yang
terjadi pada Sistem Saraf Pusat (SSP) adalah rasa mengantuk, lemah, dizzines,
gangguan kognitif dan penampilan serta efek anti kolinergik seperti mulut kering,
konstipasi, hambatan miksi dan glaukoma. yang termasuk kelompok ini adalah
difenhidramin, klorfeniramin, hidroksisin, klemastin, prometasin dan siproheptadin
(Ghanie, 2007).

Antihistamin gerasi kedua lebih bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar
darah otak dan plasenta, bersifat selektif mengikat reseptor H1, tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP sangat minimal sehingga tidak
mempengaruhi penampilan. Obat-obatan yang termasuk kelompok ini adalah
loratadin, astemisol, azelastin, terfenadin dan cetrisin. Saat ini terdapat dua sediaan
antihistamin topikal untuk rinitis alergi yaitu azelastin dan levocabastin (Ghanie,
2007). Kedua jenis obat ini secara efektif dan spesifik bekerja sebagai H1 reseptor
antagonis untuk mengatasi gejala bersin dan gatal pada hidung (Bachert et al., 2008).

b. Dekongestan

Berbagai alfa adrenergik agonis dapat diberikan secara per oral seperti
pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara primer dapat
mengurangi sumbatan hidung dan efek minimal dalam mengatasi rinore dan tidak
mempunyai efek terhadap bersin, gatal dihidung maupun mata. Obat ini berguna untuk
mengatasi rinitis alergi bila dikombinasikan dengan antihistamin. Efek samping
dekongestan oral terhadap SSP adalah gelisah, insomnia, iritabel, sakit kepala,
palpitasi, takikardi dan dapat menghambat aliran air seni. Preparat dekongestan topikal
seperti oxymetazolin, fenilefrin, xylometazolin, nafazolin dapat mengatasi gejala
sumbatan hidung lebih cepat dibanding preparat oral karena efek vasokonstriksi dapat
menurukan aliran darah ke sinusoid dan dapat mengurangi edema mukosa hidung
(Ghanie, 2007).

c. Kombinasi Antihistamin dan Dekongestan

Kombinasi antihistamin dengan dekongestan banyak digunakan. Tujuan


pemberian obat ini dalam satu sedian seperti loratadin, feksofenadin, dan cetrizin
dengan pseudoefedrin 120 mg dapat mengatasi semua gejala rinitis alergi termasuk
sumbatan hidung yang tidak dapat diatasi bila hanya menggunakan antihistamin saja
(Bachert, 2008). d.Ipratropium Bromida Ipratropium bromida topikal merupakan salah
satu preparat pilihan dalam mengatasi rintis alergi. Obat ini merupakan preparat
antikolinergik yang dapat mengurangi sekresi dengan cara menghambat reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor, tetapi tidak ada efek untuk mengatasi gejala
lainnya. Preparat ini berguna pada penderita rinitis alergi dengan rinore yang tidak
dapat diatasi dengan kortikosteroid intranasal maupun dengan antihistamin (Bachert,
2008).

d.Ipratropium Bromida

Ipratropium bromida topikal merupakan salah satu preparat pilihan dalam


mengatasi rintis alergi. Obat ini merupakan preparat antikolinergik yang dapat
mengurangi sekresi dengan cara menghambat reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor, tetapi tidak ada efek untuk mengatasi gejala lainnya. Preparat ini berguna
pada penderita rinitis alergi dengan rinore yang tidak dapat diatasi dengan
kortikosteroid intranasal maupun dengan antihistamin (Bachert, 2008)

d. Sodium Kromoglikat Intranasal

Obat ini mempunyai efek untuk mengatasi bersin, rinore dan gatal pada hidung
dan mata, bila digunakan empat kali sehari. Preparat ini bekerja dengan cara
menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion kalsium sehingga
pelepasan mediator tidak terjadi. Dengan dosis empat kali sehari, kemungkinan
kepatuhan penderita berkurang. Obat ini baik sebagai preventif sebelum gejala rinitis
alergi muncul pada rinitis alergi musiman (Bachert et al., 2000).

e. Kortikosteroid Topikal dan Sistemik

Kortikosteroid topikal diberikan sebagai terapi pilihan pilihan pertama untuk


penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan gejala yang persisten
(menetap), karena mempunyai efek anti inflamasi jangka panjang. Studi metaanalisis
membuktikan, kortikosteroid topikal efektif untuk mengatasi gejala rinitis alergi
terutama sumbatan hidung. Preparat yang termasuk kortikosteroid topikal adalah
budesonide, beklometason, flunisolide, flutikason, mometason furoat dan triamcinolon
acetonide. Kortikosteroid sistemik hanyak digunakan untuk terapi jangka pendek pada
penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama (Bachert et
al., 2000).

2.4 Terapi Non Farmakologis

a. Edukasi Pasien

Harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan penyakit, dan


tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk mengurangi gejala
atau mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi hipersensitivitas atau
keduanya. Selain itu, pasien juga harus diberikan informasi mengenai keuntungan dan
efek samping yang mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap obat yag diresepkan.

b. Menghindari Alergen Secara Komplit

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari ontak dengan alergen
penyebab (avoidance) dan eliminasi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Demikianlah makalah kami ini dapat dipaparkan, semoga berguna dan bermanfaat bagi
kita semua. Kami sebagai penulis menyadari bahwa apa yang kami tulis dan kami paparkan jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangun demi
kelancaran makalah kami ini.
DAFTAR PUSTAKA

Bachert C, Jorissen M, Bertrand B, Khaltaev N, Bousquet J. 2008. Allergic rhinitis and its
impact on asthma update (ARIA 2008 ). B-ENT:253–57.

Cardona V, Guilarte M, Luengo O, Labrador-Horrilo M, Salla-Cunil A, Garriga T.(2011).


“Allergic Diseases in Eldery” Clinical and Translational Allergy, vol 1:11.

Ghanie A. 2007. Penatalaksanaan Rinitis Alergi Terkini. Palembang: Universitas Sriwijaya

Judarwanto, 2005. Alergi Makanan, Diet dan Autisme. Dipresentasikan pada seminar AUTISM
UPDATE DI HOTEL NOVOTEL Jakarta tanggal 9 September 2005.

Pawankar R, Holgate ST, Canonica GW, Lockey RF. (2011). WAO White Book on Allergy.
World Allergy Organization, Milwaukee, Wiscounsin

Portnoy J. (2015). “IgE in Clinical Allergy and Allergy Diagnosis” World Allergy Organization
[cited 1 February 2019]. Available from: https://www.worldallergy.org/education-and-
programs/education/allergic-diseaseresource-center/professionals/ige-in-clinical-allergy-and-
allergy-diagnosis

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ventura M, Schchilone N, Paganelli R, Mincuilo P, Patella V, Bonini M, et al. (2017) “Allergic


disease in eldery: biological characteristics and main immunological and nonimmunological
mechanisms” Clin Mol Allergy, vol 5:2.

Anda mungkin juga menyukai