Anda di halaman 1dari 57

INTERAKSI OBAT

ARITMIA DAN GAGAL JANTUNG

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Interaksi Obat

OLEH :

KELOMPOK 1V (A)

ADE SAPUTRI MEYHIJIRIANI 3351181508


BRIGITA ANUGRAH 3351181504
DINA ADRIYANTI 3351181422
LITA NARULITA 3351181426
REZKY NURVITA ALATAS 3351181506

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Interaksi Obat Gagal Jantung dan Aritmia”. Penyusunan
makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Interaksi Obat. Kami
berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya dalam bidang
terapi penyakit. Kami menyadari sepenuhnya akan segala keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki, sehingga dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan dan hasilnya masih jauh dari
kesempurnaan, namun demikian kami telah berusaha maksimal agar dapat
mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan kemampuan yang kami miliki.

Cimahi, Juni 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyebab kematian terbesar di dunia beberapa dekade terakhir ini
adalah penyakit jantung dan pembuluh darah seperti gagal jantung, aritmia
jantung, angina pectoris dan hipertensi. Sistem sirkulasi tubuh manusia yang
terdiri atas jantung dan pembuluh darah disebut sistem kardiovaskuler.
Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem yang sangat dinamik,yang
harus mampu berdaptasi cepat terhadap perubahan mendadak seperti
perubahan terkanan darah, kerja dan frekuensi jantung serta komponen
kardiovaskuler lain yang merupakan resultante dari berbagai faktor pengatur
yang bekerja secara serentak. Banyak obat yang dapat mempengaruhi fungsi
fisiologis dan biokimia kardiovaskuler seperti stimulansia sistem saraf pusat,
depresansia sistem saraf pusat dan obat otonom. Yang dimaksudkan dengan
obat kardiovaskuler ialah obat yang mempunyai efek utama pada jantung dan
pembuluh darah. Penggunaan obat-obat kardiovaskuler dengan terapi
kombinasi rentan terhadap salah satu masalah terkait obat (drug related
problem) yaitu interaksi obat.
Interaksi obat diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat
yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Interaksi obat dapat terjadi
jika suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat
menjadi lebih atau kurang reaktif. Reaksi perorangan sangat beragam. Faktor
yang dapat mempengaruhi antara lain sifat keturunan, fungsi hati dan ginjal,
usia, ada tidaknya penyakit penyerta, jumlah obat yang digunakan, lama
pengobatan, jarak waktu antara penggunaan lebih dari satu obat, dan obat
mana yang digunakan mula-mula. Karena itu efek yang terjadi mungkin saja
tidak berarti apa-apa bagi seseorang tetapi sangat berbahaya bagi orang lain.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat
meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang
berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang
sempit. Hal mendasar ini yang diperlu disadari untuk kemudian menjadi
pertimbangan dalam penggunaan terapi kombinasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan aritmia dan gagal jantung ?
2. Apa yang dimaksud dengan obat kardiovaskuler?
3. Apa patofiologi dari aritmia dan gagal jantung?
4. Apa terapi farmakologi dan non farmakologi dari aritmia dan gagal
jantung?
5. Bagaimana interaksi-interaksi obat dari aritmia dan gagal jantung?
6. Bagaimana studi kasus yang terdapat pada aritmia dan gagal jantung?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah ada, maka tujuan
penyusunan makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengertian aritmia dan gagal jantung.
2. Mengetahui pengertian obat kardiovaskuler.
3. Mengetahui patofiologi dari aritmia dan gagal jantung
4. Mengetahui terapi farmakologi dan non farmakologi dari aritmia dan gagal
jantung.
5. Mengetahui interaksi-interaksi obat dari aritmia dan gagal jantung.
6. Mengetahui studi kasus yang terdapat pada aritmia dan gagal jantung.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Defeinisi Jantung

Jantung merupakan sebuah organ yang terdiri otot. Cara bekerjanya


menyerupai otot polos yaitu di luar kemauan kita (dipengaruhi oleh
susunan saraf otonom). Bentuk jantung menyerupai jantung pisang, bagian
atasnya tumpul (pangkal jantung) dan disebut juga basis kordis. Di sebelah
bawah agak runcing yang disebut apeks kordis. Letak jantung di dalam
rongga dada sebelah depan (kavum mediastinum anterior), sebelah kiri
bawah dari pertengahan rongga dada , diatas diafragma, dan pangkalnya
terdapat di belakang kiri antara kosta V dan VI dua jari di bawah papilla
mamae. Pada tempat ini teraba adanya denyutan jantung yang disebut
iktus kordis.Ukurannya kurang lebih sebesar genggaman tangan kanan dan
beratnya kira-kira 250-300 gram.

1. Lapisan Jantung

a. Endokardium : merupakan lapisan jantung yang terdapat di sebelah dalam


sekali yang terdiri dari jaringan endotel atau selaput lender yang meapisi
permukaan rongga jantung.

b. Miokardium : merupakan lapisan inti dari jantung yang terdiri dari otot-
otot jantung, otot jantung ini membentuk bundalan-bundalan otot yaitu :

 Bundalan otot atria yang terdapat di bagian kiri/kanan dan basis


kordis yang membentuk serambi atau aurikula kordis.

 Bundalan otot ventrikel yang membentuk bilik jantung dimulai dari


cincin atrioventrikuler sampai apeks jantung.

c. Pericardium : lapisan jantung sebelah luar yang merupakanselaput


pembungkus terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan parietal dan visceral yang
bertemu di pangkal jantung membentuk kantung jantung
Diantara dua lapisan jantung ini terdapat lendir sebagai pelicin untuk
menjaga agar pergesekan antara pericardium pleura tidak menimbulkan
gangguan terhadap jantung.Jantung bekerja selama kita masih hidup, karena
itu membutuhkan makanan yang dibawa oleh darah.Pembuluh darah yang
terpenting dam memberikan darah untuk jantung dari aorta asendens
dinamakan arteri korornaria. Dalam kerjanya jantung mempunyai tiga
periode :

 Periode kontriksi (periode sistole). Suatu keadaan ketika jantung bagian


ventrikel dalam keadaan menguncup.Katup bikus dan trikuspidalis dalam
keadaan tertutup valvula semilunaris aorta dan valvula semilunaris arteri
pulmonalis terbuka, sehingga darah dari ventrikel dekstra mengalir ke
arteri pulmonalis masuk ke paru-paru kiri dan kanan.Sedangkan darah dari
ventrikel sinistra mengalir ke aorta kemudian di edarkan ke seluruh tubuh.

 Periode dilatasi (periode dilatasi). Seatu keadaan ketika jantung


mengenbang.Katup bikus dan trikuspidalis terbuka, sehingga darah dari
atrium sinistra masuk ventrikel sinistra dan darah dari atrium dekstra
masuk ke ventrikel dekstra.Selanjutnya darah yang ada di paru-paru kiri
dan kanan melalui vena pulmonalis masuk ke atrium sinistra dan darah
dari seluruh tubuhmelalui vena kava masuk ke atrium dekstra.

 Periode istirahat, yaitu waktu antara periode konstriksi dan dilatasi ketika
jantung berhenti kira-kira 1/10 detik. Pada waktu kita beristirahatjantung
akan menguncup sebanyak 70-80 kali/menit. Pada tiap-tiap kontrksi
jantung akan memindahkan darah ke aorta sebanyak 60-70 cc.

Kalau kita bekerja maka jantung akan lebih cepat berkonstriksi


sehingga darah lebih banyak dialirkan ke seluruh tubuh. Kerja jaunting dapat
diketahui dengan jalan memeriksa perjalanan darah dalam arteri. Oleh karena
dinding arteri akan mengembang jika ke dalamnya mengalir gelombang darah.
Gelombang darah ini menimbulkan denyutan pada arteri.Sesuai dengan
kuncupnya jantuk disebut denyut nadi.Baik buruknya dan teratur tidaknya
denyut nadi bergantung dari kembang-kempisnya jantung.
2. Sifat Jantung

Otot jantung mempunyai ciri-ciri yang khas. Kemampuan


berkontraksi otot jantung sewaktu sistole maupun diastole tidak
bergantung pada rangsangan saraf. Kondutivitas (daya hantar) konstriksi
melalui setiap serabut otot jantung secara halus sekali dan sangan jelas
dalam berkas his. Ritme dan kekuatan gelombang yang dimiliki otot
jantung secara otomatis dengan tidak bergantung pada rangsangan saraf.

3. Denyut Arteri

Denyut nadi merupakan suatu gelombang yang teraba pada arteri


bila darah dipompakan keluar jantung. Denyut ini dapat diraba pada arteri
radialis dan arteri dorsalis pedis yang merupakan gelombang tekanan yang
dialihkan dari aorta ke arteri yang merambat lebih cepat. Kacepatan denyut
jantung dalam keadaan sehat dipengaruhi oleh pekerjaan, makanan, emosi,
cara hidup dam umur.

4. Daya Pompa Jantung

Dalam keadaan istirahat janrung beredar 70 kali/menit. Pada waktu


banyak pergerakan, kecepatan jantung bisa dicapai 150 kali/menit dengan
daya pompa 20-25 liter/menit. Setiap menit jumlah volume darah yang
tepat sama sekali dialirkan dari vena ke jantung. Apabila pengembalian
dari vena tidak seimbang dan ventrikel gagal mengimbanginya dengan
daya pompa jantung maka vena-vena dekat jantung jadi membengkak
berisi darah sehingga tekanan dalam vena naik dalam jangka waktu lama,
bisa menjadi edema.

II.2 Anatomi Jantung

1.Ruang Jantung
Terbagi atas 4 ruang:

a. Atrium kanan dan Atrium kiri yang dipisahkan oleh septum Intratrial

b. Ventrikel kanan dan Ventricel kiri yang dipisahkan oleh septum


Intervertikular.

 Atrium kanan menerima darah de-oksigen dari tubuh melalui vena


kava superior (kepala dan tubuh bagian atas) dan inferior vena
kava (kaki dan dada lebih rendah). Simpul sinoatrial mengirimkan
impuls yang menyebabkan jaringan otot jantung dari atrium
berkontraksi dengan cara yang terkoordinasi seperti gelombang.
Katup trikuspid yang memisahkan atrium kanan dari ventrikel
kanan, akan terbuka untuk membiarkan darah de-oksigen
dikumpulkan di atrium kanan mengalir ke ventrikel kanan.

 Ventrikel kanan menerima darah de-oksigen sebagai kontrak


atrium kanan. Katup paru menuju ke arteri paru tertutup,
memungkinkan untuk mengisi ventrikel dengan darah. Setelah
ventrikel penuh, mereka kontrak. Sebagai kontrak ventrikel kanan,
menutup katup trikuspid dan katup paru terbuka. Penutupan katup
trikuspid mencegah darah dari dukungan ke atrium kanan dan
pembukaan katup paru memungkinkan darah mengalir ke arteri
pulmonalis menuju paru-paru.

 Atrium kiri menerima darah beroksigen dari paru-paru melalui


vena paru-paru. Sebagai kontraksi dipicu oleh node sinoatrial
kemajuan melalui atrium, darah melewati katup mitral ke ventrikel
kiri.

 Ventrikel kiri menerima darah yang mengandung oksigen sebagai


kontrak atrium kiri. Darah melewati katup mitral ke ventrikel kiri.
Katup aorta menuju aorta tertutup, memungkinkan untuk mengisi
ventrikel dengan darah. Setelah ventrikel penuh, mereka kontrak.
Sebagai kontrak ventrikel kiri, menutup katup mitral dan katup
aorta terbuka. Penutupan katup mitral mencegah darah dari
dukungan ke atrium kiri dan pembukaan katup aorta
memungkinkan darah mengalir ke aorta dan mengalir ke seluruh
tubuh.

2. Katup jantung

Terdiri dari :

a. Katup Trikuspid

Katup trikuspidalis berada diantara atrium kanan dan ventrikel


kanan. Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan
menuju ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi mencegah kembalinya
aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat
kontraksi ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3
daun katup.

b. Katup Pulmonal

Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam ventrikel
kanan melalui trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis bercabang menjadi
arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan berhubungan dengan jaringan
paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus pulmonalis terdapat katup
pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang terbuka bila ventrikel
kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel kanan relaksasi, sehingga
memungkinkan darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri
pulmonalis.

c. Katup Bikuspid

Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium
kiri menuju ventrikel kiri..Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup
pada saat kontraksi ventrikel.Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup.

d. Katup Aorta

Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal
aorta. Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi
sehingga darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan
menutup pada saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah
masuk kembali kedalam ventrikel kiri.

3. Pembulu darah dalam jantung

 Arteri Koroner

Karena Jantung adalah terutama terdiri dari jaringan otot jantung yang
terus menerus kontrak dan rileks, ia harus memiliki pasokan oksigen yang
konstan dan nutrisi. Arteri koroner adalah jaringan pembuluh darah yang
membawa oksigen dan darah kaya nutrisi ke jaringan otot jantung. Darah
meninggalkan ventrikel kiri keluar melalui aorta, yang arteri utama tubuh.
Dua arteri koroner, disebut sebagai “Kiri” dan “kanan” arteri koroner,
muncul dari awalaorta, di dekat bagian atas jantungVena kava superior

Vena kava superior adalah salah satu dari dua pembuluh darah
utama yang membawa darah de-oksigen dari tubuh ke jantung. Vena dari
kepala dan tubuh bagian atas umpan ke v. kava superior, yang bermuara di
atrium kanan jantung.

 Vena Kava Inferior

Vena kava inferior adalah salah satu dari dua pembuluh darah
utama yang membawa darah de-oksigen dari tubuh ke jantung. Vena dari
kaki dan umpan dada rendah ke v. kava inferior, yang bermuara di atrium
kanan jantung.

 Vena Pulmonalis

Vena paru adalah pembuluh darah mengangkut oksigen yang kaya


dari paru ke atrium kiri. Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa
semua urat membawa darah de-oksigen. Hal ini lebih tepat untuk
mengklasifikasikan sebagai pembuluh vena yang membawa darah ke
jantung.

 Aorta
Aorta adalah pembuluh darah tunggal terbesar di tubuh. Ini adalah
kira-kira diameter ibu jari Anda. kapal ini membawa darah yang kaya
oksigen dari ventrikel kiri ke berbagai bagian tubuh.

 Arteri Pulmonalis

Arteri paru adalah pembuluh darah transportasi de-oksigen dari


ventrikel kanan ke paru-paru. Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa
semua arteri membawa darah yang kaya oksigen. Hal ini lebih tepat untuk
mengklasifikasikan sebagai pembuluh arteri yang membawa darah dari
jantung.

II.3 Fisiologi Jantung

1.Sistem Pengaturan Jantung

Serabut purkinje adalah serabut otot jantung khusus yang mampu


menghantar impuls dengan kecepatan lima kali lipat kecepatan hantaran
serabut otot jantung. Nodus sinoatrial (nodus S-A) adalah suatu masa
jaringan otot jantung khusus yang terletak di dinding posterior atrium
kanan tepat di bawah pembukaan vena cava superior.Nodus S-A mengatur
frekuensi kontraksi irama, sehingga disebut pemacu jantung.Nodus
atrioventrikular (nodus A-V) berfungsi untuk menunda impuls seperatusan
detik, sampai ejeksi darah atrium selesai sebelum terjadi kontraksi
ventrikular.Berkas A-V berfungsi membawa impuls di sepanjang
septuminterventrikular menuju ventrikel.

2.Aktivitas Kelistrikan Jantung

Impuls jantung berasal dari nodus SA, pemacu jantung, yang


memiliki kecepatan depolarisasi spontan ke ambang yang tertinggi.Setelah
dicetuskan, potensial aksi menyebar ke seluruh atrium kanan dan kiri,
sebagian dipermudah oleh jalur penghantar khusus, tetapi sebagian besar
melalui penyebaran impuls dari sel ke sel melalui gap junction.Impuls
berjalan dari atrium ke dalam ventrikel melalui nodus AV, satu-satunya
titik kontak listrik antara kedua bilik tersebut.Potensial aksi berhenti
sebentar di nodus AV, untuk memastikan bahwa kontraksi atrium
mendahului kontraksi ventrikel agar pengisian ventrikel berlangsung
sempurna.Impuls kemudian dengan cepat berjalan ke septum
antarventrikel melalui berkas His dan secara cepat disebarkan ke seluruh
miokardium melalui serat-serat Purkinje.Sel-sel ventrikel lainnya
diaktifkan melalui penyebaran impuls dari sel ke sel melalui gap
junction.Dengan demikian, atrium berkontraksi sebagai satu kesatuan,
diikuti oleh kontraksi sinkron ventrikel setelah suatu jeda singkat.Potensial
aksi serat-serat jantung kontraktil memperlihatkan fase positif yang
berkepanjangan, atau fase datar, yang disertai oleh periode kontraksi yang
lama, untuk memastikan agar waktu ejeksi adekuat.Fase datar ini terutama
disebabkan oleh pengaktifan saluran Ca++ lambat.Karena terdapat periode
refrakter yang lama dan fase datar yang berkepanjangan, penjumlahan dan
tetanus otot jantung tidak mungkin terjadi.Hal ini memastikan bahwa
terdapat periode kontraksi dan relaksasi yang berganti-ganti sehingga
dapat terjadi pemompaan darah.Penyebaran aktivitas listrik ke seluruh
jantung dapat direkam dari permukaan tubuh.Rekaman ini, EKG, dapat
memberi informasi penting mengenai status jantung.

3.Siklus Jantung

Siklus jantung mencakup periode dari akhir kontraksi (sistole) dan


relaksasi (diastole) jantung sampai akhir sistole dan diastole
berikutnya.Kontraksi jantung mengakibatkan perubahan tekanan dan
volume darah dalam jantung dan pembuluh utama yang mengatur
pembukaan dan penutupan katup jantung serta aliran darah yang melalui
ruang-ruang dan masuk ke arteri.

4.Bunyi Jantung

 S1 (lub) terjadi saat penutupan katup AV karena vibrasi pada dinding


ventrikel & arteri; dimulai pada awal kontraksi/ sistol ventrikel ketika
tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium.
 S2 (dup) terjadi saat penutupan katup semilunar; dimulai pd awal
relaksasi/ diastol ventrikel akibat tekanan ventrikel kiri & kanan lebih
rendah dari tekanan di aorta & arteri pulmonal.

 S3 disebabkan oleh vibrasi dinding ventrikel krn darah masuk ke ventrikel


secara tiba-tiba pada saat pembukaan AV, pada akhir pengisian cepat
ventrikel. S3 sering terdengar pada anak dengan dinding toraks yang tipis
atau penderita gagal ventrikel.

 S4 terjadi akibat osilasi darah & rongga jantung yang ditimbulkan oleh
kontraksi atrium. Jarang terjadi pada individu normal.

 Murmur adalah kelainan bunyi jantung atau bunyi jantung tidak wajar
yang berkaitan dengan turbulensi aliran darah. Bunyi ini muncul karena
defek pada katup seperti penyempitan (stenosis) yang menghambat aliran
darah ke depan, atau katup yang tidak sesuai yang memungkinkan aliran
balik darah.

6.Frekuensi Jantung

 Frekuensi jantung normal berkisar antara 60 samapi 100 denyut per menit,
dengan rata-rata denyutan 75 kali per menit. Dengan kecepatan seperti itu,
siklus jantung berlangsung selama 0,8 detik: sistole 0,5 detik, dan diastole
0,3 detik.

 Takikardia adalah peningkatan frekuensi jantung sampai melebihi 100


denyut per menit.

 Bradikardia ditujukan untuk frekuensi jantung yang kurang dari 60 denyut


per menit

 Pengaturan Frekuensi Jantung

Impuls eferen menjalar ke jantung melalui saraf simpatis dan


parasimpatis susunan saraf otonom.Pusat refleks kardioakselerator adalah
sekelompok neuron dalam medulla oblongata. Efek impuls neuron ini adalah
untuk meningkatkan frekuensi jantung.Impuls ini menjalar melalui serabut
simpatis dalam saraf jantung menuju jantung.Ujung serabut saraf mensekresi
neropineprin, yang meningkatkan frekuensi pengeluaran impuls dari nodus S-
A, mengurangi waktu hantaran melalui nodus A-V dan sistem Purkinje, dan
meningkatkan eksitabilitas keseluruhan jantung.Pusat refleks kardioinhibitor
juga terdapat dalam medulla oblongata.Efek impuls dari neuron ini adalah
untuk mengurangi frekuensi jantung.Impuls ini menjalar melalui serabut
parasimpatis dalam saraf vagus.Ujung serabut saraf mensekresi asetilkolin,
yang mengurangi frekuensi pengeluaran impuls dari nodus S-A dan
memperpanjang waktu hantaran melalui nodus V-A.Frekuensi jantung dalam
kurun waktu tertentu ditentukan melalui keseimbangan impuls akselerator dan
inhibitor dari saraf simpatis dan parasimpatis.Impuls aferen (sensorik) yang
menuju pusat kendali jantung berasal dari reseptor, yang terletak di berbagai
bagian dalam sistem kardiovaskular.Presoreseptor dalam arteri karotis dan
aorta sensitive terhadap perubahan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah
akan mengakibatkan suatu refleks yang memperlambat frekuensi jantung.

Penurunan tekanan darah akan mengakibatkan suatu refleks yang


menstimulasi frekuensi jantung yang menjalar melalui pusat medular.
Proreseptor dalam vena cava sensitif terhadap penurunan tekanan darah. Jika
tekanan darah menurun, akan terjadi suatu refleks peningkatan frekuensi
jantung untuk mempertahankan tekanan darah. Pengaruh lain pada frekuensi
jantung : Frekuensi jantung dipengaruhi oleh stimulasi pada hampir semua
saraf kutan, seperti reseptor untuk nyeri, panas, dingin, dan sentuhan, atau
oleh input emosional dari sistem saraf pusat. Fungsi jantung normal
bergantung pada keseimbangan elektrolit seperti kalsium, kalium, dan natrium
yang mempengaruhi frekuensi jantung jika kadarnya meningkat atau
berkurang.

7.Curah Jantung

Curah jantung adalah volume darah yang dikeluarkan oleh kedua


ventrikel per menit. Curah jantung terkadang disebut volume jantung per
menit.Volumenya kurang lebih 5 L per menit pada laki-laki berukuran
rata-rata dan kurang 20 % pada perempuan.
II.4 Fungsi Jantung

Fungsi Jantung adalah mengepam darah keparu-paru dimana darah


itu memperolehi ioksigen dan seterusnya dialirkan ke seluruh
badan.Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh
dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida).
Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah yang
kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam
paruparu, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang
karbondioksida; jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya
oksigen dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh.
Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah
(disebut diastol); selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah
keluar dari ruang jantung (disebut sistol).Kedua atrium mengendur dan
berkontraksi secara bersamaan, dan kedua ventrikel juga mengendur dan
berkontraksi secara bersamaan.Darah yang kehabisan oksigen dan
mengandung banyak karbondioksida dari seluruh tubuh mengalir melalui 2
vena berbesar (vena kava) menuju ke dalam atrium kanan. Setelah atrium
kanan terisi darah, dia akan mendorong darah ke dalam ventrikel kanan.
Darah dari ventrikel kanan akan dipompa melalui katup pulmoner ke
dalam arteri pulmonalis, menuju ke paru-paru.

II.5 Cara Kerja Jantung

Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi


darah (disebut diastol).Selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa
darah keluar dari ruang jantung (disebut sistol).Kedua serambi mengendur
dan berkontraksi secara bersamaan, dan kedua bilik juga mengendur dan
berkontraksi secara bersamaan.Darah yang kehabisan oksigen dan
mengandung banyak karbondioksida (darah kotor) dari seluruh tubuh
mengalir melalui dua vena berbesar (vena kava) menuju ke dalam serambi
kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia akan mendorong darah ke
dalam bilik kanan. Darah dari bilik kanan akan dipompa melalui katup
pulmoner ke dalam arteri pulmonalis, menuju ke paru-paru. Darah akan
mengalir melalui pembuluh yang sangat kecil (kapiler) yang mengelilingi
kantong udara di paru-paru, menyerap oksigen dan melepaskan
karbondioksida yang selanjutnya dihembuskan. Darah yang kaya akan
oksigen (darah bersih) mengalir di dalam vena pulmonalis menuju ke
serambi kiri. Peredaran darah di antara bagian kanan jantung, paru-paru
dan atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner.

II.6 Gangguan Pada Jantung

a. Gagal Jantung

Gagal jantung terjadi ketika curah jantung tidak dapat memenuhi


pasokan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Penyakit ini bersifat sangat
merugikan dengan angka kematian 5 tahun secara konvensional
diperkirakan sekitar 50%. Gagal jantung dapat dibedakan menjadi 2 jenis.
Sekitar 50 pasien yang berusia lebih muda mengalami gagal sistolik,
disertai berkurangnya kerja jantung memompa secara mekanis dan
berkurangnya fraksi ejeksi. Dan sisanya mengidap gagal diastolik, disertai
kekakuan dan hilangnya relaksasi yang adekuat berperan penting dalam
penurunan pengisian dan curah jantung.

Gagal jantung adalah suatu penyakit progresif yang ditandai oleh


penurunan gradual kinerja jantung, yang pada banyak kasus sesekai oleh
serangan dekompensasi akut sehingga memerlukan rawat inap. Karenanya
terapi ditujukan pada dua sasaran yang agak berbeda : (1) mengurangi
gejala dan memperlambat perkembangan sebanyak mungkin selama
periode stabil. (2) menangani secarangan akut gagal jantung
dekompensasi.

b. Aritmia Jantung

Sebagian aritmia dapat memicu gangguan irama yang lebih serius atau
bahkan mematikan. Impuls listrik yang memmicu kontraksi jantung normal
berasal dari interval teratur di nodus sinoatrium (SA), biasanya dengan
frekuansi 60-100 dpm. Impuls ini cepat menyebar melalui atrium dan masuk
ke nodus dan masuk ke atrio ventrikel (AV), yang normalnya adalah sat-
satunya jalur hantaran antara atrium dan ventrikel. Hantaran melalui nodus
AV berlangsung lambat, memerlukan sekitar 0,51 detik (perlambatan ini
menyediakan waktu bagi atrium untuk menyemburkan darah kedalam
ventrikel). Implus kemudian menjalar melalui sistem His-Purkinje dan
menginvansi semua bagian ventrikel, dimulai dari permukaan endokardium
didasar jantung. Pengaktrivan ventrikel tuntas dalam waktu kurang dari 0,1
detik. Karena itu kontraksi semua otot ventrikel normalnya berlangsung
singkron dan secara hemodinamis efektif. Aritmia adalah depolarisasi
jantung yang menyimpang dari penjelasan diatas disatu atau lebih aspek
terjadi kelainan ditempat asal impuls, kecepatan atau keteraturannya, atau
hatarannya.

II.7 Patofisiologi Aritmia Dan Gagal Jantung

A. Aritmia

Yang dimaksud dengan aritmia adalah kelainan dalam


kecepatan, irama, tempat asal dari impuls atau gangguan konduksi yang
menyebabkan perubahan dalam urutan normal aktivitas atrium dan
ventrikel. Secara klinik, aritmia ventrikel dibagi atas yang benigna,
yang dapat menjadi maligna (potensial maligna) dan maligna yang
dapat menyebabkan kematian mendadak. Aritmia tersebut dapat timbul
karena kelainan dalam pembentukan impuls, konduksi impuls atau
keduanya.

a. Aritmia Karena Gangguan Pembentukan Impuls

Ada banyak contoh aritmia yang timbul, baik karena


peningkatan atau kegagalan automatisitas normal.

b. Automatisitas Normal Yang Berubah


Hanya ada beberapa jenis sel jantung memperlihatkan
automatisitas dalam keadaan normal, yaitu nodus SA, nodus AV
distal dan sistem His-Purkinje. NODUS SA. Pada nodus ini,
frekuensi impuls dapat diubah oleh aktivitas otonomik atau
penyakit intrinsic. Aktivitas vagal yang meningkat dapat
memperlambat atau menghentikan aktivitas sel pacu di nodus SA
dengan cara meningkatkan konduktansi K+ (gK). Arus K+ ke luar
meningkat, sel pacu mengalami hiperpolarisasi dan memperlambat
atau menghentikan depolarisasi. Peningkatan aktivitas simpatis ke
nodus SA meningkatkan kecepatan depolarisasi fase 4. Penyakit
intrinsic di nodus SA di duga menjadi penyebab aktivitas pacu yang
salah pada sindrom sinus sakit.

Serabut Purkinje. Automatisasi yang menguat pada sistem


His-Purkinje merupakan penyebab aritmia yang umum pada
manusia. Peningkatan aktivitas simpatis dapat menyebabkan
bertambahnya kecepatan depolarisasi spontan. Efek vagus terhadap
sistem His-Purkinje belum diketahui dengan baik. Dalam keadaan
sakit, automatisasi pada sistem His-Purkinje dapat menurun pada
sindrom sinus sakit aktivitas sel pacu pada ventrikel dan nodus SA
tertekan

c. Pembentukan Impuls Abnormal

Aritmia yang berasal dari sumber impuls yang abnormal


dapat dibagi dua, yaitu automatisitas abnormal dan aktivitas terpicu
(triggered activity). Yang dimaksud dengan automatisasi abnormal
adalah terjadinya depolarisasi diastolik spontan pada nilai Vm yang
sangat rendah (lebih positif), pada sel yang dalam keadaan normal
mempunyai potensial yang jauh lebih negatif. Aktivitas terpicu
adalah pembentukan impuls pada fase repolarisasi yang sudah
mencapai ambang. Kedua mekanisme ini sangat berbeda dari
mekanisme pembentukan automatisasi normal. Disamping itu,
kedua mekanisme ini dapat menyebabkan pembentukan impuls
pada serabut yang biasanya tidak mempunyai fungsi automatic
(misalnya sel otot atrium atau ventrikel yang biasa).

Automatisasi abnormal. Serabut Purkinje, sel atrium dan sel


ventrikel dapat memperlihatkan depolarisasi diastolic spontan dan
cetusan automastisitas berulang bila potensial istirahat Vm
diturunkan secara nyata (misalnya sampai -60 mV atau kurang
negatif). Mekanisme ionik untuk automatisasi abnormal seperti itu
belum diketahui tetapi mungkin disebabkan oleh arus masuk K+
dan Ca++ kedalam sel.

Early After Depolarization. Ini adalah depolarisasi sekunder


yang terjadi sebelum repolarisasi selesai, yaitu berawal pada
potensial membrane yang dekat kepada dataran tinggi potensial
aksi. Dalam eksperimen early after depolarization dapat
ditimbulkan pada serabut purkinje dengan cara meregang serabut
atau karena hipoksi dan perubahan kimiawi.

Delayed After Depolarization. Ini adalah depolarisasi


sekunder yang terjadi pada awal diastol, yaitu setelah repolarisasi
penuh dicapai. Delayed after depolarization tidak dapat tercetus
dengan sendirinya (de novo), tetapi tergantung dari adanya
potensial aksi sebelumnya. Peristiwa ini terjadi bila sel tertentu
terpapar katekolamin, digitalis atau kadar K+ ekstrasel yang rendah
atau kadar Na+ yang rendah dan Ca++ tinggi dalam perfusat.
Depolarisasi seperti ini dapat mencapai mabang dan menimbulkan
depolarisasi tunggal yang prematur. Bila depolarisasi prematur ini
diikuti oleh depolarisasi berikutnya, maka akan terjadi sepasang
ekstrasistol atau berubah menjadi takiaritmia. Beberapa faktor
dapat meningkatkan amplitudo delayed after depolarization dan
mencetuskan aktivitas terpicu, yaitu frekuensi denyut jantung yang
meningkatkan, sistol prematur, peningkatan Ca++ ekstrasel,
katekolamin dan obat lain, khususnya digitalis.
Aktivitas Terpicu. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
delayed afterdepolarization dapat menimbulkan ekstrasistol tunggal
atau berulang. Walaupun tidak dapat timbul de novo, aktivitas
terpicu dapat berlangsung terus menerus. Aktivitas terpicu
mempunyai banyak keasaman dengan takiaritmia arus balik,
sehingga sukar untuk mengetahui mana di antara keduanya yang
menyebabkan takiaritmia.

c. Aritmia Yang Disebabkan Kelainan Konduksi Impuls

Aritmia dapat timbul karena munculnya aktivasi berulang


yang dimulai oleh suatu depolarisasi. Aritmia seperti itu yang
sering juga dinamai aritmia arus-balik dapat berkelanjutan, tetapi
tidak tercetus sendiri. Faktor-faktor yang menentukan terjadinya
arus balik adanya hambatan searah dan rintangan anatomis atau
fungsional terhadap konduksi sehingga terbentuk arus melingkar
(sirkuit). Di samping panjang lintasan harus lebih besar daripada
panjang gelombang impuls jantung, dimana panjang gelombang
merupakan hasil perkalian antara kecepatan konduksi dengan masa
refrakter. Untuk terjadinya arus-balik, konduksi impuls harus
sangat diperlambat, masa refrakter harus nyata dipersingkat atau
keduanya. Konduksi di sinus dan nodus AV biasanya sangat lambat,
perlambatan lebih lanjut oleh aktivasi premature atau oleh penyakit
mempermudah timbulnya arus balik. Walaupun arus balik biasanya
terjadi pada lintasan konduksi yang biasanya cepat seperti serabut
Purkinje dalam keadaan patologis. Demikian pula, walaupun
perlambatan konduksi merupakan dasar patofisiologi arus balik,
parameter lain juga dapat berperanan seperti pemendekan potensial
aksi dan refractoriness.

Respons cepat Yang Berubah. Bila potensial membrane


istirahat lebih positif daripada -75mV, Vmax dan kecepatan
konduksi menurun secara nyata disebabkan oleh inaktivasi kanal
cepat Na yang voltage-dependent. Bila potensial istirahat berada
antara -50 dan -65 mV, kecepatan konduksi sangat berkurang dan
respons cepat yang abnormal mungkin terjadinya arus-balik. Bila
potensial membrane lebih positif daripada -50 mV, kanal Na+ tidak
aktif dan respons cepat tidak muncul, pada nilai Vm yang rendah
seperti itu respons cepat melemah dan mungkin gagal meneruskan
konduksi.

Respon Lambat dan Konduksi sangat Lambat. Potensial aksi


lambat muncul pada serabut Purkinje yang terpapar ion K+
ekstrasel yang tinggi dan katekolamin. Pada rentang tegangan
dimana pontesial lambat muncul, arus Na+ ke dalam sel tidak
diaktifkan dan arus pacu sama sekali berhenti, sehingga kedua arus
ini tidak mempunyai peran dalam pembentukan respons lambat.
Arus yang menyebabkan potensial lambat itu adalah arus ion Ca++
ke dalam sel (ica). karena arus ini relatif kecil kekuatannya, respons
lambat lebih mudah terjadi jika arus ion keluar berkurang.
Karakteristik respons lambat adalah amplitudonya antara 40-80
mV, kecepatan depolarisasinya adalah 1-2 volt perdetik dan
bergantung selama 0,4-1 detik. Akibatnya respons lambat menjalar
sangat lambat sedemikian rupa sehingga arus-balik dapat terjadi
dalam lintasan yang sangat pendek. Di samping itu lama potensial
aksi dan refractoriness dapat sangat memendek pada daerah
dipangkat tempat penghambatan yang timbul karena adanya arus
repolarisasi didekatnya.

Kemaknaan Reentry. Arus-balik (re-entry) dapat muncul pada


berbagai tempat dijantung, tetapi lebih mudah terjadi disekitar
nodus SA dan AV. Arus balik didaerah ini dapat ditimbulkan pada
jantung yang normal dengan menggunakan stimulasi prematur
untuk memperlambat konduksi dan menghasilkan hambatan searah
fungsional. Dalam klinik, takikardia supraventrikel paroksismal
biasanya disebabkan oleh arus balik. Arus-balik pada sistem His-
Purkinje dianggap sebagai penyebab depolarisasi premature
ventirkel yang berpasangan dan takikardia ventrikel pada manusia.
B. Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi


gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem
saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada
disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini
menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem
Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin
dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan
jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor


menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis
miokard fokal.

Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,


angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada
miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir


sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan
susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di
atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis
dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga
dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah
dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon
terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan
reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic
peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan
perannya sebagai marker diagnostic dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.

Vasopressin merupakan hormon antidiuretic yang meningkat


kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan
hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah
dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab
atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan
endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja
menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin.

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi


miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung
koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung
amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita
gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan
diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
II.8 Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi Aritmia dan Gagal Jantung

A. Aritmia

Hasil yang diharapkan tergantung jenis aritmianya. Sebagai contoh,


tujuan akhir penanganan fibrilasi atau flutter atrium adalah
mengembalikan ritme sinus, mencegah komplikasi tromboemboli, dan
mencegah kjadian berulang.

Obat yang memiliki aktivitas antiaritmia dengan cara merubah


konduksi secara langsung melalui beberapa jalan. Obat tersebut dapat
menekan impuls otomatis dari sel pacu jantung abnormal dengan
menurunkan kemiringan fase 4 dipolarisasi dan meningkatkan potensial
aksi. Obat ini dapat merubah karakteristik jalur konduksi dari jalur masuk
reentrant. Pengobatan aritmia ada tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Obat
pada tipe I dikatakansebagai bloker saluran natrium, Prinsip reseptor
antiaritmia saluran natrium merupakan kombinasi obat aditif (Kuinidin
dan mexiletin) dan antagonis (Flekanidin dan lidokain).

Obat yang termasuk tipe II adalah antagonis beta adrenergik,


mekanisme yang relevan secara klinis berasal dari kerja antiadrenergiknya.
Beta bloker sangat berguna untuk takikardia yang jaringan nodusnya
otomatis abnormal atau merupakan bagian dari suatu loop reentrant. Obat
ini juga dapat membantu memperlambat respon ventrikuler pada
takikardia atrium melalui efek di nodus.

Obat tipe III secara spesifik memperlambat refraktori pada serabut


atrium dan ventrikuler, ke dalam golongan ini termasuk obat ini sangat
berbeda yang juga memiliki efek yang umum yaitu menunda repolarisasi
dengan memblok saluran kalium.

Obat tipe IV menginhibisi masuknya kalium kedalam sel yang


dapat memperlambat konduksi, memperlama refraktori, dan menurunkan
otomatisitas nodus SA dan AV.

Terapi Farmakologi

1. Klasifikasi Obat Antiaritmia

Obat yang memiliki aktivitas antiaritmia dengan beberapa jalan.


Obar tersebut dapat menekan impuls otomatis dari sel pacu jantung
abnormal dengan menurunkan kemiringan fase 4 depolarisasi dan/atau
meningkatkan potensial aksi. Obat ini dapat merubah karakteristik jalur
konduksi dari jalur masuk reentrant.

Sistem klasifikasi yang sering digunakan adalah yang diusulkan


oleh Vaughan Williams. Obat tipe la menurunkan kecepatan konduksi,
memperlama refraktori, dan menurunkan impuls otomatis dari jaringan
konduksi yang tergantung natrium (normal dan sakit). Tipe la ini
merupakan antiaritmia dengan spektrum yang luas. Efektif untuk
Supraventrikuler dan aritmia ventrikuler.

Walaupun dikategorikan terpisah obar tipe Ib ini kemungkinan


berlaku seperti tipe la, kecuali pada cipe Ib lebih efektif pada aritmia
ventrikuler daripada Supraventrikuler.

Tipe Ic dapat memperlambat kecepatan konduksi tetapi tidak


berpengaruh pada sifat refraktorinya. Walaupun tipe ini efektif untuk
aritmia ventrikuler dan Supraventrikuler, penggunaan untuk aritmia
ventrikuler dibatasi karena dapat mengakibatkan proaritmia.

Pada umumnya obat tipe I dapat dikatakan sebagai bloker


saluran natrium. Prinsip reseptor antiaritmia saluran natrium merupakan
kombinasi obat aditif (contoh, kinidin dan melcsiletin) dan antagonis
(contoh, flekainidin dan lidokain), sama potensialnya dengan antidot
untuk blokade saluran natrium (contoh, natrium bilkarbonat,
propranolol).

Obat yang termasuk tipe II adalah antagonis ß-adrenergik;


mekanisme yang relevan secara klinis relevan berasal dari kerja
antiadrenergiknya. ß bloker sangat berguna untuk takikardia yang
jaringan nodusnya otomatis abnormal atau merupakan bagian dari suatu
loop reentrant. Obat ini juga dapar membantu memperlambat resppon
ventrikuler pada takikardia atrium (contoh, fibrilasi attium) melalui efek
di nodus AV.

Obat tipe III secara spesifik memperlambat refraktori pada


serabut atrium dan ventrikuler, ke dalam golongan ini termasuk obat ini
sangat berbeda yang juga memililki efek yang umum yaitu menunda
repolarisasi dengan memblok saluran kalium.

Bretylium memperlambat repolarisasi melalui penghambatan


konduktansi kalium yang bergantung pada sisten saraf simpatetik,
meningkatkan ambang VE dan tampaknya memiliki efek antifibrilasi
selektif tetapi tidak antitakikardi. Bretylium efektif pada VF tetapi
umumnya menjadi tidak efektif pada VT.

Sebaliknya, Amiodaron dan Sotalol efektif pada kebanyakan


takikardia. Amiodaron menunjukkan karakteristik elektrofisiologi yang
konsisten dengan masing-masing ipe obat antiaritmia. Tipe obar
tersebut adalah penghambatan saluran natrium yang memiliki kinetik
on-off kinetic relaif cepat, memiiki kerja pemblokan-B nonselektif,
blokade saluran kalium, dan mempunyai aktivitas antagonis kalsium
rendah. Efek yang mengesankan dan rendahnya potensial proaritmia
dari amiodaron telah menantang anggapan bahwa blokade saluran ion
selektif lebih disukai, Sotalol inhibitor yang poten dalam pergerakan
keluarnya kalium selama repolarisasi dan juga memiliki kerja
pemblokan-B. Ibutilid dan Dofetilid memblok komponen cepat dari
delayed potassium rectifier current.

Obat tipe IV menginhibisi masuknya kalsium ke dalam sel yang


dapat memperlambat konduksi, memperlama refraktori, dan
menurunkan otomatisitas nodus SA dan AV. Antagonis Saluran Kalsiam
efektif unruk takikardia otomatis atau reentrant yang berasal dari atau
menggunakan nodus SA atau AV.

Dosis umum antiaritmia intravena (iv) dan efek samping umum


ditampilkan masing-masing pada Tabel 7. 1 dan 7.3.
Tabel 7.2.Efek Samping Obat Antiaritmia

Amiodaron SSP,mata kabur, neuropati/neurotis optik, Gl, ventrikuler


aitmia, torsade de pointes, bradikardia atau AVblok,
trombositopenia, fibrosis pulmonar, hepatitis, hipotiroid,
hipertiroid, fotosensitivitas, warna kudit jadi biru abu-abu,
miopati,hipotensi, flebitis (IV)

Bretyium Hipotensi, GI

Disopiramid Gejala antikolinergik, GI, torsade de pointes gagal jantung


ventrikuler aimia, hipoglikemia, kolestatik hepatik

Dofetilid Torsade depaintes

Fekainid Mata kabur, pusing, sakit kepala, Gl, bronkospasmus, gagal


Propafenon jantung bertambah parah, gangguan konduksiatau aritmia
ventrikuler

Ibutilid Torsade de pointes, hipotensi

Lidokain SSP, seizures, psikosis, sinus arrest

Meksiletine SSP, psikosis, GI aritmia ventrikuler

Morosizin Pusing, sakit kepala, GI,ventrikuler aritmia

Prokainamid Lupus Erithematosus Sistemik, Gl, torsade de pointes, gagal


jantung aritmia ventrkular agranulositosis

Kinidin Chinchonism diare, GI,hipotensi, torsade de pointes gagal


jantung, ventrikuler aritmia hepatitis, trombositopenia, anemia
hemolitik

Sotalol Lelah, Gl,depresi, torsade de pointes brokospasmus, gagal


jantung, aritmia ventrikuler

Tokainid SSP, psikosis, Gl, aritmia ventrikuler, ruam/nyeri sendi,


infiltrasi pulmonar, agranulositosis trombositopenia

GI:muntah, anoreksia;SSP:bingung, parestesia, tremor, ataksia

Tabel 7.3.Dosis Antiaritmia Intravena


B. Gagal Jantung

Terapi pilihan utama

a. Inhibitor ACE

Inibitor ACE menurunkan angiotensin II dan aldosteron,


mempengaruhi efek negatif yang ditimbulkan cleh senyawa-senyawa
tersebut, diantaranya dapat mereduksi remodeling ventrilculer, fibrosis
miokardial, apoprosis miosit, hipertropi kardiak, pelepasan
norpepinefrin, vasokonstriksi dan retensi natrium dan air. Efek
hemodinamik dapat diamati dengan terapi jangka panjang, termasuk
diantaranya peningkatan secara signifikan pada indeks kardiak, indeks
kerja stroke, dan indeks volume stroke, dibarengi dengan penurunan
secara signifikan pada tekanan pengisian ventrikel kiri, resistensi
vaskuler sistemik, rata-rata tekanan arterial, dan
denyutjantung.Perubahan signifikan pada klinis, toleransi terhadap
aktivitas fisik, ukuran riventrikel kiri, dan kematian juga pernah
tercatat.

Pada pengujian klinis, didapat hasil berupa penurunan angka


kematian hingga 20 30 % dibandingkan dengan perlakuan dengan
plasebo. Inhibitor ACE juga menurunkan kombinasi risiko dari
kematian atau perawatan rumah sakit, progres lambat dari GJ, dan
menurunkan laju timbulnya reinfark. Inhibitor ACE juga vasodilator.
Inhibitor ACE juga efektif untuk pencegahan GJ.

Semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, tanpa


memperdulikan gejala apa yang nampak, harus ditangani dengan
senyawa inhibitor ACE, kecuali jika terdapat kontraindikasi atau
intoleransi.

b. Beta bloker

Efek menguntungkan dari penggunaan senyawa ß bloker dapat


ditunjukkan melalui perlambatan atau pembalikan dari detrimental
ventrikuler remodelingyang disebabkan oleh stimulasi
simpatik.menurunkan kematian miosit akibat nekrosis atau apoptosis
yang terinduksi oleh katekolamin, timbulnya efek antiaritmia dan
pencegahan timbulnya efek akibat aktivasi sistem saraf simpatik.
Obat- obatan golongan ini secara konsisten dapat meningkatkan
Ejection Fraction dari ventrikel kiri, menurunkan massa ventrikel, dan
mengurangi volume sistolik dan diastolic.

Dari penelitian, terdapat hasil yang membuktikan bahwa


pasien yang dalam keadaan stabilnya di- berikan perlakuan inisiasi
dengan senyawa B bloker berdosisrendah dengan peningkatan dosis
secara perlahan selama beberapa minggu menunjukkan penurunan
progres perkembangan penyakit dan menurunkan angka kematian
maupun perawatan rumah sakit.

Pada pedoman ACC/AHA terdapat rekomendasi penggunaan


senyawa B bloker pada semua pasien GJ dengan sistolik yang stabil,
kecuali apabila terdapat kontraindikasi atau telah ditunjukkan secara
jelas bahwa terdapat riwayat intoleransi terhadap senyawa B bloker.
Pasien tetap harus ditangani dengan pemberian B bloker bahkan jika
gejala yang timbul telah diatasi dengan inhibitor ACE dan diuretik
karena mereka tetap berada dalam risiko peningkatan keparahan.

Karena dosis yang tinggi menunjukkan hasil yang lebih baik,


maka jika memungkinkan dosis perlakuan yang rendah dapat
ditingkatkan secara bertahap. Walaupun demikian, dosis rendah tetap
memiliki pengaruh jika dibandingkan dengan plasebo, oleh karena itu
intoleransi terhadap dosis yang tinggi tidak dapat dijadikan alasan
dalam penghentian terapi.

Dalam perolehan data uji klinis, terapi ß bloker harus dibatasi


pada penggunaan karvedilol, metoprolol CR/XL, atau seefektif
metroprolol CR/XL.Pilihan terapi awal biasanya jatuh kepada
karvedilol atau metoprolol CR/XL, karena dosis inisiasi 1,25 mg tidak
tersedia pada terapi bisoprolol.Regimen dosis inisiasi dan dosis target
yang telah teruji pada Uji Klinis skala besar adalah sbb: a Bisoprolol,
dosis inisiasi 1,25 mg perhari, dosis target 10 mg perhari Karvedilol,
dosis inisiasi 3,125 mg dua kali sehari, dosis target 25 mg 2 kali
perhari(50 mg 2 kali perhari untuk pasien dengan bb > 85 kg)

Metroprolol suksinat CR/XL, dosis inisiasi 12,5-25 mg perhari,


dosis target 200 mg perhari.

Setiap 2 minggu atau sesuai toleransi pasien dosis digandakan


hingga dosis target atau dosis tertinggiyang dapat ditoleransi tercapai.

c. Diuretik

Proses-proses yang terjadi pada GJ tak jarang berujung pada


kongesti pulmonari maupun sistemik. Dengan demikian, terapi
diuretik diperlukan bagi pasien yang menunjukkan gejala retensi
cairan.Namun, karena terapi ini sesungguhnya tidak berpengaruh
secara langsung terhadap GJ, maka terapi diuretik tidak wajib
diberikan kepada pasien yang tidak menunjukkan gejala retensi cairan.

Diuretika tiazid (misalnya hidroklorotiazid) merupakan


diuretika lemah dan digunakan secara tung- gal dan jarang pada GJ.
Namun, diuretika tiazid atau analog tiazid (misal metolazon) dapat
digunakan sebagai senyawa diuresis yang efektif apabila
dikombinasikan dengan diuretika loop.

Diuretika jerat Henle (misalnya furosemid, bumetanid,


torsemid) merupakan jenis diuretika yang paling sering digunakan
dalam GJ. Kata jerat Henle pada jenis diuretika ini menandakan lokasi
aktivitasnya yakni pada daerah menaik pada jerat Henle. Diuretika
jerat Henle menginduksi peningkatan aliran darah yang dimediasi oleh
prostaglandin yang menghasilkan efek natriuretik.Tidak seperti
diuretika tiazid, kerja diuretika jerat Henle tep baik walau dalam
keadaan ginjal yang lemah / tidak normal, meski demikian dosis dapat
ditingkatkan jika diperlukan.

Diuresis lanjutan tidak terjadi pada pasien GJ yang diberikan


diuretika jerat Henle pada dosis di atas dosis maksimal yang
direkomendasikan. Kemudian apabila dosis maksimal telah tercapai,
untuk meningkatkan efek, pemberian yang lebih sering lebih baik
dibandingkan dengan pemberian dosis yang lebih tinggi.

Kisaran dosis dan dosis maksimal dari diuretika jerat Henle


yang dapat diberikan kepada pasien dengan kondisi ginjal yang
bervariasi.

d. Digoksin

Pada pasien dengan GJ dan takiaritmia Supraventrikuler


(mişalnya fibrilasi atrial), pemberian digok sin dapat dipertimbangkan
pada tahap awal terapi untuk membantu mengontrol laju respon
ventrikel.

Pada pasien dengan ritme sinus yang normal, pemberian


digoksin tidak meningkadkan survival, na- mun efek inotropik positif,
kemampuan mereduksi gejala, hasilkan dapac digunakan untuk pasicn
dengan tingkat keparahan GJ antara rendah hingga parah.Maka dari
itu, pemberian digoksin harus dibarengi dengan pemberian obat
standar dalam terapi GI (inhibitor ACE, B bloker, juga diuretik) pada
pasien GJ dengan gejala.Namun, beberapa pertimbangan
menyarankan bahwa pemberian digoksin dilakukan setelah terapi B
bloker, karena terdapat efek bradikardia dari digoksin yang dapat
memperngaruhi penggunaan.

Hasil maksimal dari penggunaan digoksin dicapai pada


pemakaian pada konsentrasi plasma rendah.Umumnaya konsentrasi
plasma dari digoksin yang ditargetkan adalah sekitar 0,5-1
ng/mL.Pasien dengan fungsi ginjal yang normal dapat mencapai target
konsentrasi ini dengan dosis pemberian 0,125 mg perharl.Namun pada
pasien dengan fungsi ginjal buruk, pasien lansia, maupun pasien yang
juga direrapi dengan menggunakan obat yang dapat berinteraksi
(misalnya amiodaron) dosis yang diterapkan adalah 0,125 mg setiap
hari.Apabila pasien tidak menampakkan gejala takiaritmia
Supraventrikuler maka pemberian loading dose tidak diperlukan,
karena digoksin merupakan oenyawa inotropik lemah yang
menunjukkan efek yang bertahap setelah beberapa jam, bahkan jika
diberi perlakuan loading dose sebelumnya.

Sediaan Beredar Digoksin : (generik), Fargoxin®, Goxinal,


Lanoxin, Lanitop Digitoksin : (generk)

Terapi Gagal Jantung Lainnya

a. Antagonis aldosteron

Spironolakton merupakan inhibitor aldosteron yang


menghasilkan efek diuretik hemat kalium. Aldosteron sendiri
merupakan senyawa neuro hormon yang berperan penting dalam
remodeling ventrikuler, terutama dengan menyebabkan kenaikan
deposisi kolagen dan fibrosis jantung. Pada pengujian dengan plasebo,
penambahan spironolakton dengan dosis 25 mg perhari pada terapi
standar untuk pasien GJ dengan tingkat keparahan kelas III atau IV
terbukti dapat menurunkan angka kematian, angka rawat inap serta
dapat menurunkan gejala.Efek samping yang paling sering terjadi
adalah ginekomastia, yang timbul pada 10 % pasien. Ada perubahan
statistik yang cukup signifikan pada konsentrasi kalium dalam serum
(0,3 mEq/L) namun diduga tidak memberikan pengaruh berarti secara
klinis.

Eplerenon merupakan senyawa antagonis reseptor selektif


aldosteron yang telah sejak lama diasosiasikan dengan efek penurunan
berbagai risiko kematian maupun perawatan rumah sakit yang
ditimbulkan akibar GJ. Karena sifatnya yang selektif reseptor,
senyawa ini diduga tidak berkaitan dengan timbulnya efek
ginekomastia. Namun, terdapat kasus hiperkalemia yang serius pada
5,5 % pasien yang diberi perlakuan dengan epleneron, sedanglcan
pada pasien dengan pelakuan plasebo angka hiperkalemía hanya
sekitar 3,9 %.

Data yang diberikan pada praktek klinis pada masyarakat


menunjukkan risiko hiperkalemia serius dan penurunan fungsi ginjal
yang lebih tinggi dibandingkan data yang diobservasi dari uji klinis.
Salah satu penyebabnya diduga adalah karena kurangnya perhatian
penguji pada kemungkinan adan- ya pasien dengan riwayat penurunan
fungsi ginjal, minimnya kontrol terhadap konsumsi kalium pada
pasien, maupun kurangnya pengawasan terhadap kemungkinan
penurunan fungsi ginjal maupun perubahan konsentrasi kalium setelah
penggunaan senyawa antagonis aldosterone. Bahkan risiko
hiperkalemia tetap tinge P pasien yang berada dibawah pengawasan
intensif, terutama pada pasien lansia atau pacien dengan angka EF
(Ejection Fraction) yang sangat rendah. Oleh penggu- naan senyawa
antagonis aldosteron harus dibarengi dengan pengawasan dan
pengontrolan terhadap hungsi ginjal dan konsentrasi kalium.

b. Reseptor angiotensin II bloker (ARB)

Penghambat reseptor angiotensin II (misalnya losartan,


kandesartan, valsartan) bekerja dengan memblok reseptor angiotensin
II subtipe AT, mencegah efek berbahaya yang ditimbulkan angiotensin
II disamping fungsi normalnya. Senyawa ini tidak mempengaruhi
bradikinin dan tidak berkaitan dengan efek samping berupa batuk
yang terkadang timbul akibat akumulasi bradikinin yang terinduki
inhibitor ACE. Pemblokan dari reseptor AT, merangsang timbulnya
stimulasi terhadap reseptor AT yang menyebabkan vasodilatasi dan
menginhibisi terjadinya remodeling ventrikel.

Walaupun beberapa hasil penelitian menunjukkan efek positif


yang sama dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
inhibitor ACE, menurut pedoman ACC/AHA senyawa ARB tidak
dapar dipergunakan sebagai pengganti senyawa inhibitor ACE kecuali
apabila terdapat intoleransi.

Pada pasien intoleransi ACE (biasanya dikarenakan batuk


parah berkepanjangan, atau anginedema) penggunaan ARE dapat
menjadi alternatif yang aman dan efektif. Walau demikian,
perggunaan ARB dapat menyebabkan munculnya angioedema, bahkan
terkadang merupakan serangan angioedema kedua yang timbul setelah
angioedema akibat inhibitor ACE, terapi kasus semacam ini jarang
terjadi. Namun senyawa ARB bukan pilihan alternatif yang baik bagi
pasien dengan riwayat hipotensi, hiperkalemia, ataupun insufisiensi
ginjal yang diakibatkan oleh senyawa inhibitor ACE karena senyawa
ARB juga memiliki efek samping yang serupa.

Penambahan senyawa ARB pada terapi GJ standar


(penggunaan inhibitor ACE, B-bloker dan diuretik) dapat
meningkatkan pengobatan namun juga meningkatkan risiko terhadap
efek samping yang mungkin timbul Oleh karena itu, sebelum
mempertimbangkan untuk menambahkan senyawa ARB dalam terapi,
terlabih dahulu perlu dilakukan optimasiterhadap terapi inhibitor ACE
dan B bloker yang sedang dijalankan.

c. Nitrat dan hidralazin


Senyawa Nitrat (misalnya Isosorbid Dinitrar [ISDN) dan
hidralazin dikombinasikan dalam terapi GJ karena aksi hemodinamik
komplementer yang dimilikinya. Sifat venodilator yang dimiliki
senyawa nitrat menyebabkan terjadinya reduksi pada tahap preioad
(prebeban). Sementara hidralazin merupakan senyawa vasodilator
yang bekerja pada otot halus arteri untuk mereduksi Sistemik Vaskuler
Resistance (SVR) dan meningkatkan Scroke Volume (SV) dan Cardiac
Output (CO). Terlebih lagi, Nitrat juga memiliki kemampuan
menginhibisi proses remodeling ventrikel dan hidralazin mencegah
toleransi tubuh terhadap nitrat serta berperan dalam pencegahan
pertambahan keparahan GJ.

Pada sebuah penelitian, sebuah senyawa inhibitor ACE yakni


enalapril mampu menyebabkan penurunan angka kematian ketika
pemakaiannya dikombinasikan dengan hidralazin 75 mg empat kali
seharidan ISDN 40 mg empat kali sehari. Namun, efek samping yang
dimiliki menjadikan kedua senyawa tersebut tidak dapat dipergunakan
pada seluruh kasus. Selain itu wakru penggunaan yang lama dapat
menyebabkan penurunan kepatuhan pasien terhadap terapi.

Pedoman yang berlaku tidak merekomendasikan hidralazin dan


ISDN sebagai pengganti inhibitor ACE kecuali pada pasien dengan
intoleransi terhadap inhibitor ACE atau ARB (misalnya karena
insufiensi renal, hiperkalemia atau hiporensi). Karena kepatuhan
pasien terhadap terapi scringkali rendah dan efek sampingnya yang
tinggi, senyawa ARB lebih disarankan pada kasus intoleransi inhibitor
ace

Penanganan Kasus Gagal Jantung Parah/Tingkat Lanjut Prinsip Umum

Pasien harus ditempatkan di dalam ICU apabila menunjuckan


tanda hipoperfusi sistermik yang signifikan (misalnya kelelahan parah,
napas pendek ketika tidur), menderita kongesti vaskuler pulmonari yang
membutuhkan bantuan ventilasi mekanik, menunjukkan gejala
takiaritmia yang arau memburuhkaninjeksi IV obat - obatan vasoaktił
maupun inotiopik poten atau berkelanjutan bantuan ventrikuler mekanik.

Alat penyokong sistem kardiopulmonari harus segera dipasang


dengan cepat. Serta diburuhkan pengontrolan terhadap kurva EKG,
continuous pulse oximetry, laju urinasi, serta pemantauan tekanan darah
dari sfigmomanometrik terotomatisasi. Kateter Swan-Ganz atau kateter
pada sirkulasi langsung arteri pulmonari juga dipasang untuk mengetahui
tekanan pada vena pulmonari (bagian atrial kiri).

Penanganan harus sigap pada kemungkinan adanya gejala yang


dapat memperparah GJ namun bersifat reversibel atau mudah
ditanggulangi. Selain itu adanya penggunaan obat yang memiliki efek
samping yang dapat memperparah GJ harus terus dipantau dan jika
kemungkinan untuk dihentikan.

Langkah pertama dalam penanganan kasus GJ tingkat lanjut


adalah dengan memastikan bahwa pengobatan melalui rute oral telah
dijalankan dengan maksimal. Jika terdapat gejala retensi air, maka proses
diuresis yang kuat dengan menggunakan diurerika IV harus
dilaksanakan. Umumnya pasien harus diberikan digoksin pada dosis
rendah untuk menjaga konsentrasinya tetap pada kisar 0,5 hingya 1
ng/mL. Penanganan harus diprioritaskan kepada pemberian inhibitor
ACE. Walaupun pemberian B bloker tidak disarankan pada periode saat
pemakaiannya dapat diteruskan apabila pasien telah menerima
pengobatan ini pada tahap kronis.

Penanganan akan lebih mudah dilakukan apabila telah dilakukan


identifikasi apakah pasien tersebut menderita GJ "basah" (ditandai oleh
gejala retensi cairan berlebih) atau GJ "kering" (ditandai oleh rendahnya
Cardiac Output).

Sebagai tambahan data penanganan pasien, dapat juga dilakukan


pemantauan hemodinamik pasien sebagai panduan penanganan lanjutan
dan dapainakant menjadi data tambahan yang memungkinkan klasifikasi
pasien empat jenis subset hemodinamik berdasarkan indeks kardiak dan
Tekanan Oklusi Arteli Pulmonari (Pulmonary Artery Occlusion Fressure
(PAOP).

Farmakoterapi Untuk Gagal Jantung Parah/Tingkat Lanjut

Diuretika jerat Henle yang digunakan secara IV, termasuk di


dalamnya furosemid, bumetanid, sera torsemid merupakan jenis diurerika
paling Tingkat Lanjut. Furosemid merupakan jenis obat yang paling
sering dipelajari.

Penggunaan diuretika secara IV bolus dapat menurunkan preload


melalui mekanisme venodilasi dalam jangka walktu sekitar 5 yang
membantu mengatasi kongesti pulmonari. Namun, reduksi pada venous
return berikan pengaruh besar pada preioad pada pasien dengan disfungsi
diastolik yang cukup signifikan ataupun deplesi intravaskuler.

Namun karena diuretika dapat menyebabkan reduksi preload


secara berlebihan maka harus digunakan di bawah pengawasan agar
didapatkan hasil yang maksimal pada penanganan kongesti pulmonari
namun tidak menyebabkan reduksi pada curah jantung. Diuresis dapat
ditingkatkan dengan menambahkan senyawa diuretik lain yang memiliki
mekanisme aksi berbeda dalam terapi (misalnya mengkombinasikan
diuretika jerat Henle dengan bloker tubulus distal seperti metolazon
maupun hidroklortiazid). Terapi kombinasi ini sebaiknya diterapkan pada
pasien yang dapat diawasi secara ketat, terutama pengontrolan deplesi
natrium. kalium maupun volume cairannya. Dosis tiazida yang rendah
diterapkan pada pasien tanpa pengawasan ketat untuk menghindari
kemungkinan adanya efek negatif serius.

Agen Inotropik Positif

Dobutamin merupakan senyawa reseptor agonis β1, dan β2,


dengan sedikit efek pada reseptor α1. Efek utama yang timbul biasanya
vasodilatasi Senyawa ini memiliki efek inotropik yang cukup poten tanpa
menghasilkan perubahan signifikan pada denyut jantung. Dosis inisiasi
sebesar 2,5 hingga 5 ug/ kg/min dapar ditingkarkan secara bertahap
sampai mencapai 20 Hg/kg/min atau lebih, sesuai respon klinis maupun
hemodinamis dari keadaan pasien sebelumnya.

Dobutamin dapat menaikkan indeks kardiak karena pengaruh


stimulasi inotropik, vasodilasi arterial serta berbagai peningkatan pada
denyut jantung yang dimilikinya. Senyawa ini menyebabkan perubahan
rata- rata tekanan arterial yang relatif kecil jika dibandingkan dengan
perubahan yang dihasilkan oleh penggunaan dopamine.

Penurunan efek hemodinamik dari dobutamin terjadi setelah infus


72 jam nonstop. Namun banyak pasien (terutama pasien yang sedang
menunggu transplantasi) yang sangat tergantung pada dobutamin dan
mengalami gangguan pada hemodinamiknya ketika infus dobutamin
dihentikan. Selain itu, penghentian terapi tidak dilakukan secara tibas-
tiba melainkan bertahap dengan penurunan dosis sampai berhenti sama
sekali.

II.9 Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait


obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau
keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien.
Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau
farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih
zat yang berinteraksi
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat
berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi
bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya,
atau adakalanya beberapa efek lainnya.
Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran
obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika
obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat
hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat
meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang
berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang
sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).

II.10 Mekanisme Interaksi Obat


Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :
1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat
mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat
lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang
tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009).
Menurut Stockley (2008), interaksi farmakokinetik terdiri dari
beberapa tipe :
a. Interaksi pada absorbsi obat
- Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif
tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut
lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa
obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah
parameter yang terkait dengan formulasi obat.
- Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di
dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk
menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat
mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis
terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-
obatan.
- Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas
usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan
lambung dapat mempengaruhi absorpsi.
- Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein
transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik
paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-
glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini,
seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati
digoksin.
- Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat
mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk
digoksin dan metotreksat.
b. Interaksi pada distribusi obat
- Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh
tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam
cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa
proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan
protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein
plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara
molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul
tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi.
- Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis,
dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-
glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari
sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk
inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat
obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping
CNS.
c. Interaksi pada metabolisme obat
- Perubahan pada metabolisme fase pertama
Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit
dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada
dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi
tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-
obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan reaksi
tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya
asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk
membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi
fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450.
- Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu
terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk
mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat
meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga
meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya.
- Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat,
sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan
induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari
atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi
enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga
terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme
yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh
isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak
interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat
kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran
terapeutik interaksi tidak penting secara klinis.
- Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa
beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme
genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki
varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Kemampuan yang
berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat
menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami
toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari
gejala.
- Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin
menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol
menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa
rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol
meningkatkannya.
d. Interaksi pada ekskresi obat
- Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah
(pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi
larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan
karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh.
Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10,5.
Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah
obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat.
- Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di
tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi.
- Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi
vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini
dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang.
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara
obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping
yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada
reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari
pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF
58, 2009).
Menurut Stockley (2008), interaksi farmakodinamik terbagi
atas :
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama
diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh,
alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis
terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik,
dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-
kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif
ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan
perpanjangan interval QT).
b. Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat
dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya
kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang
secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin
K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu
protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan
manfaat terapi pengobatan antikoagulan.

BAB III

PEMBAHASAN
III.1 Interaksi Obat Jantung

A. OBAT ANTI ARITMIA


Aritmia didefenisikan sebagai hilangnya ritme jantung terutama
ketidakteraturan pada detak jantung. Aritmia terbagi tiga yaitu aritmia
supraventricular, aritmia ventricular, dan bradiaritmia.
INTERAKSI DISOPIRAMIDA

OBAT A OBAT B MEKANISME EFEK


Disopiramida Benztropin Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Biperiden Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Sikrimin Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Disiklomin Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Difenhidramin Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Glikopirolat Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Isopropamida Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Orfenadrin Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Fenitoin Fenitoin Efek disopiramida
memperpendek berkurang
durasi aksi kunidin
karena peningkatan
laju metabolisme
Disopiramida Prosiklidin Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Propantelin Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Rifampasin Efek disopiramida
menurun
Disopiramida Skopolamin Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan
Disopiramida Triheksifinidil Kombinasi Efek disopiramida
menimbulkan efek menurun
antikolinergik yang
berlebihan

INTERAKSI PROKAINAMIDA

OBAT A OBAT B MEKANISME EFEK


Prokainamida Asetazolamida - Efek
prokainamida
meningkat
Prokainamida Antasida - Efek
prokainamida
meningkat
Prokainamida Bubur magnesia - Efek
prokainamida
meningkat

INTERAKSI KINIDIN
OBAT A OBAT B MEKANISME EFEK
Kinidin Asetazolamida Efek kinidin
meningkat
Kinidin Antasida Efek kinidin
meningkat
Kinidin Antikoagulan Efek antikoagulan
meningkat
Kinidin Barbiturat Efek kinidin
meningkat
Kinidin Benztropin Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Biperiden Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Sikrimin Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Disiklomin Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Digoksin Menurunkan klirens Efek digoksin
volume distribusi meningkat
dana finitas
digoksin terhadap
reseptor jaringan
Kinidin Difenihidramin Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Glikopirolat Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Isopropamida Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Bubur magnesia Efek kinidin
meningkat
Kinidin Orfenadrin Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Fenitoin Fenitoin Efek kinidin
memperpendek berkurang
durasi aksi kunidin
karena peningkatan
laju metabolisme
Kinidin Primidon Efek kinidin
berkurang
Kinidin Prosiklidin Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Propantelin Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Rifampisin Efek kinidin
berkurang
Kinidin Skopalamin Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan
Kinidin Triheksifinidil Kombinasi obat Efek kinidin
dapat menurun
meningkatakkan
efek antikolinergik
yang berlebihan

B. OBAT GAGAL JANTUNG

Obat-obat golongan digitalis ini memiliki berbagai mekanisme


kerja diantaranya pengaturan konsentrasi kalsium sitosol. Hal ini
menyebabkan terjadinya hambatan pada aktivasi pompa proton yang dapat
menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium intrasel, sehingga
menyebabkan terjadinya transport kalsium kedalam sel melalui mekanisme
pertukaran kalsium-natrium. Kadar kalsium intrasel yang meningkat itu
menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.

Mekanisme lainnya yaitu peningkatan kontraktilitas otot jantung,


Pemberian glikosida digitalis menngkatkan kekuatan kontraksi otot
jantung menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi
meningkatkan efisiensi kontraksi (Mycek et al., 2001).

Terapi digoxin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi


sistolik ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretik dan vasodilator.
Obat yang termasuk dalam golongan glikosida jantung adalah digoxin dan
digitoxin. Glikosida jantung mempengaruhi semua jaringan yang dapat
dirangsang, termasuk otot polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek
ini belum diselidiki secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan
hambatan Na+K+ - ATPase didalam jaringan ini (Katzung, 2001).

Hipokalemia dapat menyebabkan aritmia hebat. Penurunan kadar


kalium dalam serum sering ditemukan pada pasien-pasien yang
mendapatkan thiazid atau loop diuretik dan biasanya dapat dicegah dengan
diuretik hemat kalium atau suplemen kalium karbonat. Hiperkalsemia dan
hipomagnesemia juga menjadi predisposisi terhadap toksisitas digitalis
(Mycek et al., 2001). Tanda dan gejala toksisitas glikosida jantung yaitu
anoreksia, mual, muntah, sakit abdomen, penglihatan kabur, mengigau,
kelelahan, bingung, pusing, meningkatnya respons ventilasi terhadap
hipoksia, aritmia ektopik atrium dan ventrikel, dan gangguan konduksi
nodus sinoatrial dan atrioventrikel (Gilman, 2003).

Interaksi obat digitalis


 Kelompok digitalis – Amfetamin
Kombinasi ini dapat menimbulkan aritmia jantung. Amfetamin
digunakan sebagai pil pelangsing (tidak dianjurkan), untuk mengatasi
masalah perilaku pada anak-anak, dan untuk markolepsi.
 Kelompok digitalis – Obat asma (kelompok epinefrin)
Kombinasi ini dapat menimbulkan aritmia jantung. Obat asma
digunakan untuk membuka saluran udara paru-paru dan mempermudah
pernapasan penderita asma bronchial.
 Kelompok digitalis – Sediaan flu/batuk yang mengandung pelega
hidung
Kombinasi ini dapat menimbulkan aritmia jantung. Sediaan pelega
hidung dapat diserap ke dalam aliran darah dan menyebabkan interaksi.
 Kelompok digitalis – Pil pelangsing (tanpa resep) yang mengandung
fenilpropanolamin.
Kombinasi ini dapat menimbulkan aritmia jantung. Fenilpropanolamin
adalah pelega hidung yang merupakan komponen utama dalam pil
pelangsing yang dijual bebas, karena efek sampingnya dapat menekan
nafsu makan.
 Kelompok digitalis – Diuretika
Kombinasi ini dapat merugikan jantung. Diuretika menghilangkan
kelebihan cairan tubuh dan digunakan pada laju jantung dan tekanan darah
tinggi. Umumnya diuretika mengurangi kadar kalium tubuh. Kurangnya
kalium menyebabkan jantung menjadi amat peka terhadap digitalis dan
resiko keracunan . Digitalis meningkat dengan gejala : mual, bingung,
gangguan penglihatan, sakit kepala, kurang tenaga, tak ada nafsu makan,
bradikardia, takhikardia, dan aritmia jantung.
III.2 Studi Kasus

Seorang ibu bernama ibu roya umur 55 tahun dengan berat badan 65
kg datang dengan membawa resep yang berisi Digoksin tab 0,25 mg dan
Amiodaron tab 200 mg dimana pasien tersebut mempunyai riwayat gagal
jantung dan mempunyai keluhan sudah 2 minggu ini mengalami nyeri pada
dada dan jantung terus berdebar-berdebar.

Penyelesaian kasus menggunakan metode SOAP :

 Subyektif

Pasien perempuan Ny. R berumur 55 tahun, mengeluh adanya nyeri


pada dan jantung terus berdebar-debar. Pasien Ny. R memiliki riwayat
gagal jantung

 Obyektif

Hasil pemeriksaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum


tampak sakit sedang, tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi 92 x/m,
pernapasan 23 x/m, suhu badan 36,7oC. berat badan 55 kg, tinggi badan
160 cm.

 Assesment

Ny. R mempunyai riwayat gagal jantung dan mempunyai keluhan sudah 2


minggu ini mengalami nyeri pada dada dan jantung terus berdebar-
berdebar.
 Plan

Penggunaan Digoksin tab 0,25 mg dan Amiodaron tab 200 mg dapat


menyebabkan interaksi obat. Aiodarone dapat meningkatkan kadar
digoksin dua kali lipat, sedangkat waktu paruh amiodarone sangat
panjang sehingga tidak dapat diberi penjedaan waktu obat. Sehingga perlu
Dilakukan penurunan dosis Digoksin tab menjadi 0,125 mg/hari.

Terapi non farmakologi

- Istirahat yang cukup, konsumsi buah dan sayuran yang cukup

- Menghindari asap rokok

- Olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda

KIE ( komunikasi, informasi dan edukasi)

- Informasikan kepada pasien atau keluarga pasien tentang cara penggunaan


obat

- Memberitahu pasien agar menghindari makanan seperti dan Memberitahu


efek samping dari terapi yang dijalani

Monitoring

- Memantau kepatuhan pasien dalam menjalani terapi

- Mengontrol perubahan kondisi pasien setelah mendapatkan terapi

- Memantau kepatuhan pasien dalam menjalani terapi non farmakologi

KIE

Apoteker : selamat siang bu saya .. Apoteker di Apotek Unjani Farma, ada


yang bisa saya bantu ?

Pasien : ini mba saya mau nebus resep

Apoteker : oiyah bu boleh saya lihat dulu resepnya?


Pasien : (menyerahkan resep) oh ini bu

Apoteker : kalo boleh tahu resep ini untuk siapa yah bu?

Pasien : untuk saya sendiri bu,

Apoteker : oh berati ibu dengan ibu roya usia 55 tahun yah bu?

Pasien : iyah bu,

Apoteker : ibu boleh saya minta waktu nya sebentar untuk menanyakan
beberapa hal?

Pasien : iyah boleh bu,

Apoteker : apakah dokter sudah menjelaskan mengenai obat di resep ini?

Pasien : belum

Apoteker : kalo untuk cara penggunaan dan harapan yang telah didapat
setelah penggunaan obat ini dokter sudah menjelaskan bu?

Pasien : sudah bu, tapi saya kurang mengerti

Apoteker : oh begitu yah bu, kalo untuk keluhan yang ibu rasakan seperti
apa?

Pasien : ini bu dada saya suka nyeri terus berdebar

Apoteker : sudah berapa lama yah bu keluhan yang ibu rasakan terjadi?

Pasien : sudah dua minggu ini bu saya merasakannya

Apoteker : ibu sudah menggunakan obat sebelumnya selain obat yang


diresepkan ini?

Pasien : belum bu,

Apoteker : apakah ibu mempunyai riwayat alergi?

Pasien : oh ga ada sih bu


Apoteker : maaf ibu kalo boleh saya tahu ibu mengkonsumsi alkohol atau
merokok tidak?

Pasien : enggak bu

Apoteker : oh baik bu, mohon tunggu sebentar yah bu saya siapakan terlebih
dahulu obatnya.

Apoteker menghubungi dokter

Apoteker : Selamat siang dok, saya …. apoteker dari Apotek Unajni Farma
ingin berkonsultasi mengenai resep atas nama ibu Roya usia 55
tahun, apakah dokter ada waktu?

Dokter : oiyah boleh kenapa yah?

Apoteker : Berdasarkan resep yang doter tuliskan ibu roya mendapatkan obat
digoksin dan amiodarone, kemudian berdasarkan literatur yang
saya baca penggunaan digoksin dan amiodaron dapat
menyebabkan interaksi obat. Aiodarone dapat meningkatkan kadar
digoksin dua kali lipat, sedangkat waktu paruh amiodarone sangat
panjang sehingga tidak dapat diberi penjedaan waktu obat,
bagaimana yah dok untuk solusinya?

Dokter : menurut anda bagaimana yah?

Apoteker : berdasarkan literatur yang saya baca dosis digoksin bisa


diturunkan menjadi 0,125 mg / hari dok.

Dokter : oya sudah digoksinnya diturunkan saja jadi 0,125 mg/hari

Apoteker : oh baik dok, berati saya turunkan yah dok dosis digoksinnya?

Dokter : iyah benar

Apoteker : baik dok, bolehkah saya minta persetujuan dokter untuk


penggantian resep.

Dokter : ok boleh.
Apoteker : baik dok terimakasih, mohon maaf telah mengganggu waktunya
yah dok.

Apoteker menghampiri pasien

Apoteker :terima kasih yah bu telah menunggu. Baik bu, jadi setelah saya
menghubungi dokter, untuk obat digoksin dosisnya diturunkan
karena adanya pertimbangan interaksi pada kedua obat yang
diminum ibu, jadi ni ibu dapat dua obat yah bu. Yang pertama ini
obat digoksin diminumnya satu kali sehari pada pagi hari setelah
makan yah bu, untuk obat kedua amiodarone diminumnya dua kali
sehari setelah makan pada pagi dan siang hari setelah makan juga
yah bu. Kalo boleh tahu ibu sarapan jam berapa yah bu?

Pasien : bisanya sih jam 6 bu

Apoteker : oh begitu yah bu, jadi ibu minum obatnya untuk digoksin
diminum pada jam 7 dan amiodarone diminum pada jam 8 pagi.
Dan untuk amiodarone yang diminum pada malam hari
diminumnya jam 8 malam yah bu sesudah makan.

Pasien : baik bu

Apoteker : obatnya bisa ibu simpan di suhu ruang biasa yah bu terhindar
dari sinar matahari dan jangkauan anakanak. Kemudian ini batas
penggunaanya sesuai dengan tanggal batas kadaluwarsa yah bu.

Pasien :baik bu

Apoteker :oiyah bu untuk menjaga kesehatan ibu, ibu bisa berolahraga


seperti senam, atau jalan kaki selama 30 menit sebanyak 5 kali
dalam seminggu. Kemudian ibu perlu menjaga makanan ibu jangan
banyak makan makanan yang berlemak dan bnyak garam,
kemudian juga bu hindari stres berlebih yah bu.

Pasien : oh begitu yah bu.


Apoteker :ibu sudah mengerti apa yang telah saya jelaskan, bisakah ibu
mengulang kembali apa yang dijelaskan?

Pasien : Jadi ini saya minum obat digoksin satu kali sehari setelah makan
jam 7, untk amiodarone diminum pada jam 8 pagi dan jam 8
malam. Obatnya disimpan disuhu ruangan dan batas terakhir
penggunaannya sesuai tanggal kadaluwarsa.

Apoteker :oh baik bu, berati ibu sudah mengerti yah. Apakah ada yang
ingin ibu tanyakan kembali?

Pasien : ga ada bu

Apoteker : Baik bu, jika ada yang ingin ibu tanyakan kembali ibu bias
kembali datang ke apotek atau bias menghubungi saya langsung. Terimakasih bu
semoga lekas sembuh

Pasien : Baik bu, terimakasih kembali


DAFTAR PUSTAKA

Dipiro,Joseph, T.et al, 2006. Pharmacotheraphy Handbook, Sixth Edition, . New


York USA : Mc Graw Hill Companies.

Tjay, T. H., Rahardja, K., (2015) . Obat - Obat Penting edisi ke-7. Jakarta : PT
Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai