Anda di halaman 1dari 94

Proposal Penelitian

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN PANGKREAS TIKUS PUTIH


JANTAN GALUR WISTAR YANG MENGALAMI DIABETES MELITUS
TIPE II DENGAN PEMBERIAN EKTRAK ETANOL DAUN AWAR –
AWAR ( Ficus Septica Burm. L )

Oleh:

Muh. Ridwan Esi


O1A114027

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Histopatologi adalah ilmu yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan

dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting dalam kaitan

dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan

diagnosis melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Uji

histopatologi merupakan pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada sediaan

mikroskopik dengan metode pewarnaan, salah satu metode pewarnaan yang di

gunakan yaitu pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE), untuk menetapkan diagnosis

kelainan degenerasi, radang atau infeksi dan neoplasma ( Rahayu, 2006 ).

Uji histopatolgi biasanya menggunakan organ atau jaringan tubuh seperti

ginjal, hati dan pankreas. Pankreas merupakan organ tubuh istimewa yang

berfungsi ganda sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin. Sebagai kelenjar

eksokrin pankreas berperan penting dalam sistem pencernaan dengan

mensekresikan enzim-enzim pankreas seperti amilase, lipase dan tripsin. Sebagai

kelenjar endokrin, pankreas dikenal dengan produksi hormon-hormon, salah

satunyan insulin yang berperan dalam metabolisme glukosa (Guyton, 2007).

Peran insulin sangatlah penting dalam proses metabolisme glukosa, karena

insulin bertugas dalam memecah glukosa yang di serap ke dalam tubuh menjadi

glikogen untuk disimpan sebagai cadangan makanan. Insulin disintesis di dalam

sel beta pangkreas tepatnya diretikulum endoplasma.(sudoyo dkk., 2009). Prinsip

kerja utama dari insulin pada metabolisme karbohidrat adalah menurunkan kadar
glukosa darah dengan cara memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel terutama

otot serta mengkonversi glukosa menjadi glikogen (Glikogenesis) sebagai

cadangan energi. (Andra, 2007 dalam Pratiwi, 2012). Kadar glukosa darah sangat

erat kaitannya dengan penyakit DM (Amir.s.m.j.,2015).

DM (diabetes melitus) merupakan penyakit kronik akibat dari pangkreas

yang tidak dapat memproduksi insulin yang cukup atau kondisi di mana tubuh

penderita tidak dapat mengguanakan insulin, yang berakibat menimbulkan kondisi

tubuh menjadi hiperglikemia (WHO.,2010). Menurut Zarmal.F.,dkk 2016, bahwa

diabetes melitus merupakan kondisi kompleks, yang intinya terdapat disfungsi sel

β pankreas. Resistensi insulin perifer dan disfungsi sel β pankreas, yang

merupakan karakteristik penanda DM tipe 2.

Prevalensi diabetes melitus (DM) tahun 2015 di wilayah Pasifik Barat

termasuk Indonesia, terjadi 153,2 juta jiwa (37%) orang dewasa dengan DM dan

Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 10 negara dengan jumlah sekitar 10 juta

jiwa (Mailangkay dkk, 2017). Di Sulawesi Tenggara tahun 2015 DM berada

diurutan ke-9, pada tahun 2016 DM naik ke urutan 5 dengan jumlah kasus

sebanyak 2.983 kasus (Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara tahun 2017). Sekitar

90% dari seluruh penderita DM adalah DM tipe 2 (Badan Pusat Statistik Sultra,

2013).

Banyak penelitian mengenai DM yang telah dilakukan, dan sebagian besar

diantaranya menggunakan tikus jantan galur Wistar sebagai obyek penelitian.

Alasannya menggunakan tikus jantan galur Wistar antara lain, mudah diperoleh,

mudah dalam perawatannya, serta memiliki kemampuan metabolik yang cepat.


Hal tersebut sangat bermanfaat dalam penelitian eksperimental yang bersangkutan

dengan metabolisme tubuh (Srinivasan & Ramarao, 2007). Selain itu, Pemilihan

tikus wistar sebagai model hewan coba karena merupakan mamalia yang

mempunyai tipe metabolisme sama dengan manusia sehingga hasil dapat di

generalisasi pada manusia. Penggunaan hewan coba berkelamin jantan dengan

dasar pertimbangan memiliki metabolisme tubuh seperti manusia di bandingkan

dengan tikus berkelamin betina, tikus tersebut akan mengalami menstruasi di

mana terjadi ketidakseimbangan hormon yang akan mempengaruhi hasil

penelitian (Azmi, f.n dkk., 2015).

Pada penderita diabetes perubahan pada sel beta pankreas dapat terjadi

secara kuantitatif (pengurangan jumlah atau ukuran sel) dan kualitatif (nekrosis

dan degenerasi). Menurut Diani et al. (2004) kerusakan sel beta pankreas ditandai

dengan perubahan progresif pada pulau Langerhans, kerusakan pada pankreas

menyebabkan penurunan jumlah pulau Langerhans yang mengakibatkan

penurunan sekresi insulin dan meningkatnya kadar glukosa dalam darah. dan

Kerusakan yang terjadi pada sel beta pankreas dapat dibuktikan melalui

pemeriksaan histopatologi, Pengamatan pada histopatologi pankreas dilakukan

dengan menghitung jumlah pulau Langerhans.

Salah satu upaya dalam memperbaiki fungsi sel beta pankreas yaitu

dengan penggunaan tanaman herbal yang mengandung senyawa flavonoid

(Adeyemi et al.,2010),. Tanaman herbal awar-awar (Ficus septica) Burm.f atau

dikenal dengan nama awar-awar merupakan salah satu anggota famili Moraceae

yang mengandung senyawa metabolit sekunder seperti saponin, flavonoid


alkaloid, tanin, dan polifenol (Tuna. dkk., 2016). Dari hasil penelitian yang di

lakukan oleh Ajie.,2015 di ketahui bahwa flavonoid adalah senyawa antioksidan

yang memiliki efek hipoglikemi pada penderita diabetes melitus. Kandungan

flavonoid inilah yang di duga memiliki aktivitas antidiabetes. Aksi flavonoid

sebagai antidiabetes diduga dengan meregenerasi kerusakan sel beta pankreas

dan merangsang sel beta pankreas untuk memproduksi insulin (Muhtadi, 2014).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik melakukan

penelitian untuk melihat gambaran organ pankreas tikus putih jantan (Rattus

novergicus ) galur wistar yang di berikan ekstrak etanol daun Awar-awar (Ficus

septica) dengan melihat perbaikan sel pulau langerhans berdasarkan data

histopatologi pankreas tikus jantan galur wistar yang mengalami diabetes melitus

tipe II.

B. Rumusan Masalah

Berdasarakan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah Bagaimana gambaran histopatologi organ pangkreas tikus

jantan putih (Rattus novergicus ) galur wistar yang mengalami diabetes melitus

tipe II dengan pemberian ektrak etanol daun awar-awar ( Ficus septica burm. L ) ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui

gambaran histopatologi organ pangkreas tikus jantan putih (Rattus novergicus)

galur wistar yang mengalami diabetees melitus tipe II dengan pemberian ektrak

etanol daun awar-awar ( Ficus Septica Burm. L )


D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

1. Bagi peneliti: dapat menambah ilmu pengetahuan dan keahlian mengenai

metode dalam penelitian praklinis pada tumbuhan yang berpotensi untuk

pengobatan menggunakan hewan uji.

2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan: dapat memberikan informasi yang

dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai manfaat ekstrak etanol

daun awar-awar (Ficus septica) Burm.f sebagai antidiabetes.

3. Bagi institusi: mewujudkan peranan Universitas Halu Oleo dalam mengkaji

permasalahan yang terjadi di masyarakat.

4. Bagi masyarakat: memberi informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai

pengunaan daun awar-awar (Ficus septica) Burm.f sebagai antidiabetes.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Awar-Awar ( Ficus septica burn )

1. Deskripsi

Tanaman awar – awar adalah pohon dengan tinggi batang 1 – 5 meter dan

berwarna abu – abu muda atau putih. Batang pokok membengkok dan lunak.

Ranting berbentuk bulat silindris, berongga, tidak berbulu, dan bergetah bening.

Daunnya merupakan daun tunggal, panjang tangkai daun 2,53 cm, dan memiliki

daun penumpu tunggal yang besar dan sangat runcing, dan letak tumbuh daun

berseling atau berhadapan. Bentuk daun bulat atau elips, pangkal membulat, ujung

daun menyempit cukup tumpul, tapi rata – rata permukaan atas daun berwarna

hijau tua mengilat dan memiliki banyak bintik-bintik pucak, permukaan bawah

berwarna hijau muda, sisi kiri dan kanan tulang daun bagian tengah memiliki 6 –

12 tulang daun samping, dan kedua sisi tulang berwarna pucat. Bunga majemuk,

berbentuk seperti susunan periuk berpasangan, tangkai pendek, dan tangkai terdiri

atas tiga daun pelindung berwarna hiaju muda atau hijau abu-abu dengan diameter

lebih kurang 1,5 cm. Buah bertipe periuk dan berdaging, bentuk bulat telur,

sungsang sampai agak bulat. Warna buah hijau abu-abu. Buah masak berwarna

putih sampai kekuningan dengan diameter 1,5 – 2 cm. Tanaman awar - awar

dapat dilihat pada gambar 2.1.

2. Klasifikasi

Klasifikasi tumbuhan Ficus septica burn. L adalah sebagai berikut (Van

Steenis, 1975):
Regnum : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Urticales

Suku : Moraceae

Marga : Ficus

Jenis : Ficus septica Burn.L.

Gambar 2.1 tanaman Awar-awar


Sumber : dokumentasi pribadi
3. Nama lain

Ficus septica burn. L. merupakan salah satu keluarga Zingiberacea yang

asli Indonesia. Tanaman ini dikenal dengan berbagai nama antara lain “ sirih

popar” di ambon, ”tagalolo, beu,” atau ” loloyan” di minahasa, ”kokoleceran ” di

banten, ”ciyat” di Sunda, awar - awar” di Jawa dan Belitung, ”bar abar” di

madura dan ”tobo tobo ” di Makasar, “ dausalo “ Bugis, “ bobulutu “ Halmahera

Utara dan “ tagalolo “ di ternate (Prapti,2008).

4. Kandungan kimia

Daun tanaman Awar-awar (Ficus septica burn) mengandung senyawa

flavonoid genistin dan kaempferitrin, kumarin, senyawa fenolik, pirimidin dan

alkaloid antofin,(Wu et al., 2002 ,Lansky et al., 2008, Yang et al., 2005, Damu et

al., 2005). Menurut sukadana.,2010, mengatakan bahwa kandungan kimia daun

awar-awar flavonoid, alkaloid, dan triterpenoid. Sementara Menurut Safriani,R.,

2013, dari daun awar-awar yakni steroid, flavanoid dan saponin. Akar

mengandung sterol dan polifenol (Hutapea, 1991). Menurut Damu et al., 2005,

batang tanaman awar – awar mengandung Alkaloid.

5. Aktivitas farmakologi
Flavonoid berupa senyawa yang larut dalam air mempunyai aktivitas

antara lain sebagai antioksidan, antimikroba, antibakteri, antijamur, antivirus,

hepatoprotektif, antiinflamasi, dan antidiabetes (Sinata, 2016).

Flavonoid dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan kemampuannya

sebagai zat anti oksidan. Alkaloid dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan

cara menghambat absorpsi glukosa di usus (Arjadi dan Susatyo, 2010), sementara
menurut Ajie, 2015., Flavonoid dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan

kemampuannya sebagai zat antioksidan. Flavonoid bersifat protektif terhadap

kerusakan sel β sebagai penghasil insulin serta dapat meningkatkan sensitivitas

insulin. Antioksidan dapat mengikat radikal bebas sehingga dapat mengurangi

resistensi insulin. Antioksidan dapat menurunkan Reactive Oxygen Spesies (ROS).

Dalam pembentukkan ROS, oksigen akan berikatan dengan electron bebas yang

keluar karena lepasnya rantai electron. Reaksi oksigen dan elektron inilah yang

menghasilkan ROS dalam mitokondria.

Tanin dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan menginduksi

fosforilasi reseptor insulin sehingga menstimulus aktivitas transporter glukosa

yaitu glucose transporter 4 (GLUT4) yang terdapat pada membrane sel

(Zubaidah.,dkk, 2015).

Alkaloid dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan cara menghambat

absorpsi glukosa di usus meningkatkan transportasi glukosa di dalam darah,

merangsang sintesis glikogen dan menghambat sintesis glukosa dengaan

menghambat enzim glukosa 6-fosfatase, fruktosa 1,6-bifosfatase, serta

meningkatkan oksidasi glukosa melalui glukosa 6-fosfat dehidrogenase. Glukosa

6-fosfatase dan fruktosa 1,6-bifosfatase merupakan enzim yang berperan dalam

glukoneogenesis. Penghambatan pada kedua enzim ini akan menurunkan

pembentukan glukosa dari substrat lain selain karbohidrat (Arjadi dan Susatyo,

2010).
B. METODE EKSTRAKSI

Menurut Sabel dan Waren(1973) dalam Wibudi (2006), Ekstraksi adalah

cara untuk memisahkan campuran beberapa komponen menjadi komponen yang

terpisah. Salah satu metode ekstraksi yang paling umum dan sering digunakan

untuk menyari kandungan kimia dari suatu tanaman adalah maserasi. Namun

teknik maserasi kurang efisien karena membutuhkan waktu cukup lama dalam

pengerjaannya dan hanya dilakukan perendaman tanpa bantuan gaya lain sehingga

osmosis pelarut ke dalam padatan berlangsung statis, sedangkan pada metode

Refluks merupakan metode ekstraksi dengan bantuan panas dengan prinsip kerja,

pelarut yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan

dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan

mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga

pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung (Sineke.2016).

Bantuan panas sangat berpengaruh terhadap kecepatan ekstraksi,

menggunakan refluks adalah yang merupakan salah satu metode ekstraksi dengan

penambahan panas pada saat pengerjaanyaa, dapat membantu meningkatkan

proses ekstraksi karena suhu merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kecepatan ekstraksi. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan

desorpsi senyawa aktif dari tanaman karena perusakan sel pada bahan meningkat

akibat suhu pelarut yang tinggi, Jain dkk. (2009) dalam Susanti,N.M.P,

dkk.(2015). Selain adanya penambahan suhu yang tinggi, pada metode refluks

pelarut yang digunakan akan tetap segar ketika terjadinya ekstraksi sehingga
menghindari terjadinya kejenuhan pelarut yang dapat meningkatkan kemampuan

pelarut untuk menarik senyawa (Susanti,N.M.P, dkk.2015).

Ekstraksi dengan metode refluks tidak hanya baik dalam proses kecepatan

ekstraksi, namun juga berpengaruh baik pada ekstrak dan rendamen yang di

hasilkan. Utami, R.D dkk.(2015), melakukan penelitian pada daun sukun

(Artocarpus Altilis (Parkinson) Fosberg), dengan melakukan perbandingan

metode maserasi bertingkat dan refluks bertingkat dengan tiga pelarut yang

berbeda kepolarannya, yaitu n-heksan, etil asetat, dan etanol 96%. Hasil ekstraksi

dengan metode maserasi bertingkat lebih rendah di dapatkan jumblah ekstrak dan

rendamen lebih rendah di bandingkan dengan menggunakan metode refluks

bertingkat, hasil paling optimum di dapatkan pada dengan menggunakan pelarut

etanol 96%. Jumblah ektrak sebanyak 24,37 gram dengan rendamen ektrak

3,05%.

Pemilihan pelarut harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain murah

dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah

terbakar dan selektif. Selektif yaitu hanya menarik zat yang dikehendaki. Polaritas

pelarut sangat berpengaruh terhadap daya larut. Indikator kelarutan pelarut dapat

ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan nilai polaritas pelarut (Wibudi.2006).

Etanol dipertimbangkan sebagai pelarut karena lebih selektif dan kuman

sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorpsinya baik,

dapat mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Selain itu, etanol

dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan panas yang diperlukan

untuk pemekatan lebih sedikit. Guna meningkatkan ekstraksi, biasanya digunakan


campuran antara etanol dan air dalam berbagai perbandingan tergantung pada

bahan yang akan diekstrak (Voight, 1994 dalam Wibudi. 2006).

Proses pemisahan senyawa dalam simplisia, menggunakan pelarut tertentu

sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan pelarut

berdasarkan prinsip ‘like dissolved like’ artinya suatu senyawa polar akan

larut dalam pelarut polar. Ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam-macam

metode, tergantung dari tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan dan

senyawa yang diinginkan (Pratiwi.2009).

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semuaatau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Ditjen POM, 2000).

Ada beberapa jenis ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak

kering. Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol

sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-

masing monografi tiap mL ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1g simplisia

yang memenuhi syarat. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang

biasanya kadar air lebih 30%. Ekstrak kental jika memilki kadar air antara 5-30%.

Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Saifudin dkk, 2011).
C. DIABETES MELITUS

1. Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan kondisi kronik yang terjadi karena

tubuh tidak dapat memproduksi insulin secara normal atau insulin tidak dapat

bekerja secara efektif. Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh pankreas

dan berfungsi untuk memasukkan glukosa yang diperoleh dari makanan ke dalam

sel yang selanjutnya akan diubah menjadi energi yang dibutuhkan oleh b otot dan

jaringan untuk bekerja sesuai fungsinya (Hongdiyanto, 2014).

Tabel 2.1 : Kriteria Penegakan diagnosis

Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 jam


setelah makan
Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL
Pre-Diabetes IFG 100 – 125 mg/dL -
(Impaired Fastin
g Glucose) atau
IGT (Impaired Glucose
Tolerance) - 140 -199 mg/dL
Diabetes ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Sumber: Depkes RI, 2005

2. Klasifikasi

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2011), DM

diklasifikasikan dalam 4 kategori:

a. Diabetes melitus tipe 1

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab

autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin

dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak

terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.
b. Diabetes melitus tipe 2

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak

bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin

yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.

Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena

dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi

relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin

pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta

pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.

Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik.

Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas

reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi

komplikasi.

c. Diabetes melitus gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/GDM)

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa

didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan

ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.

Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang

menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.


d. Diabetes tipe lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik

fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit

metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan

genetik lain.

Tabel 2.2 : tabel klasifikasi Diabetes Melitus


American Diabetes Association (ADA, 2010)

3. Faktor Resiko

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes

selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas

kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya

memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk

melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar

tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Beberapa faktor risiko untuk

diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Riwayat Diabetes dalam keluarga
Diabetes Gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg
Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome)
IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired
glucose tolerance)
Obesitas >120% berat badan ideal
Umur 20-59 tahun: 8,7%
> 65 tahun: 18%
Hipertensi >140/90mmHg
Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl
Kadar lipid darah tinggi >250mg/dl
Hipertensi >140/90mmHg
Kurang olah raga
Faktor-faktor Lain Pola makan rendah serat

Tabel 2.3 : Faktor Risiko Untuk Diabetes Tipe 2


Menurut Dipiro dkk.,2008

4. Gejala

Gejala klasik yang umum dikeluhkan pada DM tipe 1 adalah poliuria

(sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), polifagia (banyak makan/mudah

lapar), penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan

pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya

hampir tidak ada. DM tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan

baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dean

komplikasi sudah terjadi. Penderita DM tipe 2 umumnya lebih mudah terkena

infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya

menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, daan juga komplikasi pada

pembuluh darah dan saraf (Depkes RI, 2005).

5. Patogenesis

Meningkatnya penderita DM tipe 2 disebabkan oleh peningkatan obesitas,

kurang aktivitas fisik, kurang mengkonsumsi makanan yang berserat, merokok,


dan konsumsi makanan tinggi lemak. Di antara orang dewasa dengan DM tipe 2,

lebih dari 80 % mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, hal ini

menunjukkan bahwa merupakan masalah utama dalam populasi (Putri, 2013).

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya

kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi

melalui 3 jalan, yaitu: (Fatimah, 2015).

a) Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll)

b) Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas

c) Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer

6. Patofisiologi

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan

yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan

disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin

gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim

disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari

obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita diabetes

melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun

tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun seperti diabetes

melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2

hanya bersifat relatif dan tidak absolut. Pada awal perkembangan diabetes melitus

tipe 2, sel β menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya

sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani

dengan baik pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel β


pankreas. Kerusakan sel-sel β pankreas akan terjadi secara progresif seringkali

akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan

insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya

ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin

(Fatimah, 2015).

7. Komplikasi

Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi atau

menyebabkan terjadinya penyakit lain yang paling banyak. Hiperglikemia yang

terjadi dari waktu kewaktu dapat menyebabkan kerusakan berbagai sistem tubuh

terutama saraf dan pembuluh darah (Salindeho, 2016).

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut

maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun

makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-

stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult

blindness (fauci A.S dkk.,2008).

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama

setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat

komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes

lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang

dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah: ( tapp R, dkk., 2003 dan

waspadji S. dalam sudoyo A.W, dkk., 2006 ).


a. Kerusakan saraf (Neuropati)

Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan

sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta

susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal

ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan

baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil

diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila

dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal

maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang

memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati

diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf

tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah

kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan

saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada

populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi

berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati

pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi

berkisar 13.1% s/d 45.0%.( waspadji S. dalam sudoyo A.W, dkk., 2006 ).

b. Kerusakan ginjal (Nefropati)

Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh

darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah.

Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal

bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk
ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun

tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal

bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena

tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.

Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau

kerusakan saraf.

Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d

37.6% pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi.

Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi

klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18.9%

s/d 42.1%.

Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7%

s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada populasi.

Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada populasi

klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2%

s/d 32.9% ( waspadji S. dalam sudoyo A.W, dkk., 2006 ).

c. Kerusakan mata (Retinopati)

Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab

utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh

diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh

darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak

pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan

transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin


diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi

peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. Prevalensi

retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi

klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada

pasien DM tipe 2 prevalensi retinopati pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d

47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d 55.0% ( waspadji S.

dalam sudoyo A.W, dkk., 2006 ).

d. Penyakit jantung koroner (PJK)

Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan

penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah.

Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat,

sehingga kematian mendadak bisa terjadi.

Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan

2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam

penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung

koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d

22.3% dengan Diabetes tipe 2 ( waspadji S. dalam sudoyo A.W, dkk., 2006 ).

e. Stroke

Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0%

s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada

populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3%

dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2 (

waspadji S. dalam sudoyo A.W, dkk., 2006 ).


f. Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang

dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat

hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal,

atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila

penderita diabetes juga terkena hipertensi ( nadrana s.,2014).

g. Penyakit pembuluh darah perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang

dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan

prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak

mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa

sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan

wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping

diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,

pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung (

nadrana s.,2014).

h. Gangguan pada hati

Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan

gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa

terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak

menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus

hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi

orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk
pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah

terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati

yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty

liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan

ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak

di jaringan tubuh lainnya ( nadrana s.,2014).

i. Penyakit paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru

dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara

sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit

paru akan menaikkan glukosa darah ( nadrana s.,2014).

j. Gangguan saluran cerna

Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena

kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang

mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang

mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu

makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi

mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan

muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom

pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat

pemakaian obat- obatan yang diminum ( nadrana s.,2014).


k. Infeksi

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi Leading kekebalan tubuh

dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes

mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut,

gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah

yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita

terhadap adanya infeksi ( nadrana s.,2014).

8. Penatalaksanaan Diabetes

a) Terapi Tanpa Obat

1. Diet

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai

dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang

diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,

jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan

dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%

dan protein 10-15% (Fatimah, 2015).

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat

mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap

stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5%


berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah

satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan

dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah

kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan

kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber

lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak

asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein

sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe,

karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi

penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan

menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat

dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap

dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu

makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan

vitamin dan mineral (Depkes, 2005).

2. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula

darah tetap normal. Senam aerobik adalah latihan fisik yang direkomendasikan

sebagai aktivitas utama yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes tipe 2 karena

efeknya dapat meningkatkan sensitifitas insulin sehingga menghambat

perkembangan diabetesnya.

Manfaat latihan jasmani bagi para penderita diabetes antara lain

meningkatkan kebugaran tubuh, meningkatkan penurunan kadar glukosa darah,


mencegah kegemukan, ikut berperan dalam mengatasi kemungkinan terjadinya

komplikasi aterogenik, gangguan lemak darah, meningkatkan kadar kolesterol,

meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, menormalkan tekanan darah, serta

meningkatkan kemampuan kerja.Jenis latihan jasmani yang dianjurkan untuk para

penderita diabetes adalah jalan, jogging, berenang dan bersepeda. Tahapan dalam

latihan jasmani juga sangat diperlukan, tahapan dalam latihan jasmani perlu

dilakukan agar otot tidak memperoleh beban secara mendadak. Tahapan latihan

jasmani mulai dari pemanasan (warming up), latihan inti (conditioning),

pendinginan (cooling down), serta peregangan (stretching) (Damayanti,2015).

Secara umum, pengelolaan diabetes dimulai dengan perencanaan makan

dan latihan jasmani yang dipertahankan selama 4-8 minggu. Apabila setelah itu

kadar glukosa darah masih belum terkendali baik, perlu ditambahkan obat

hipoglikemik oral (OHO) (Wulandari,2015).

b) Terapi dengan Obat

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil mengendalikan

kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan penatalaksanaan terapi obat.

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan

pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat

menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan

penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan

dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat.

Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus

mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi


kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi

yang ada (Depkes, 2005).

Golongan Cara Kerja Utama Efek Samping Penurunan


Utama HbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik 1,0-2,0%
Insulin hipoglikemia
Meglitinid Meningkatkan sekresi BB naik 0,5-1,5%
Insulin hipoglikemia
Biguanid Menekan produksi Dispepsia,
glukosa hati & diare, asidosis
menambah laktat 1,0-2,0%
sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5-0,8%
α-Glukosidase glukosa lembek

Tiazolidindion Menambah Edema 0,5-1,4%


sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Meningkatkan sekresi Muntah 0,8-1,0%
DPP-IV insulin, menghambat
sekresi glucagon

Tabel 2.4 : Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia


Menurut Perkeni., 2015

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5

golongan yaitu:

1. Sulfoniurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin

oleh sel β pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan

berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi

hipoglikemia (orang tua, gangguan hati, dan ginjal) (Perkeni, 2015).


2. Meglitinid

Obat golongan ini mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan

sulfoniurea tetapi struktur kimianya sangat berberbeda. Golongan ini merangsang

insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel β pankreas. Efek

samping utamanya hipoglikemik dan gangguan saluran cerna (Gunawan, 2007).

3. Biguanid

Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu

antihiperglikemik, tidak menyebabkan sekresi insulin dan umumnya tidak

menyebabkan hipoglikemik. Mekanisme kerja metformin menurunkan resistensi

insulin, metformin juga mengurangi produksi glukosa. Metformin tidak

mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea (Sinta,

2016).

4. Tiazolidindion (TZD)

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated

Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel

otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi

insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan

retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal

jantung karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan

faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang

masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone (Perkeni, 2015).


Tempat kerja utama TZD adalah jaringan adipose tempat obat ini

meningkatkan pengambilan dan pemakaian glukosa dan memodulasi sintesis

hormon hormon lipid atau sitokin dan protein lain yang terlibat dalam pengaturan

energy. Pioglitazon memiliki aktivitas PPAR-α dan PPAR-γ, dimetabolisme oleh

CYP2C8 dan CYP3A4 menjadi metabolit aktif (Katzung, 2012).

5. Penghambat enzim α Glukosidase

Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus

halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah

makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:

GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.

Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam

usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada

awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose

(Perkeni, 2015).

D. GLUKOSA

Glukosa adalah salah satu monosakarida sederhana yang mempunyai

rumus molekul C6H12O6 (Murray, dkk., 2003). Glukosa dapat diperoleh dari

makanan yang mengandung karbohidrat. Glukosa berperan sebagai molekul

utama bagi pembentukan energi di dalam tubuh, sebagai sumber energy utama

bagi kerja otak dan sel darah merah ( Marks, D.B. 2006 ).

Menurut Hutagalung, 2004. Glukosa dijumpai di dalam aliran darah

(disebut Kadar Gula Darah) berfungsi untuk bahan bakar bagi proses

metabolisme serta sebagai sumber energi. Glukosa darah adalah gula yang
terdapat dalam darah yang terbentuk dari karbohidrat dalam makanan ( Joyce L K.

2006). Glukosa darah adalah parameter untuk mengetahui penyakit diabetes

melitus ( subiyono, dkk., 2016 ). Pada keadaan fisiologis Kadar Gula Darah

sekitar 80-120 mg %. Kadar gula darah dapat meningkat melebihi normal di sebut

hiperglikemia, keadaan ini dijumpai pada penderita Diabetes Melitus

(Hutagalung, 2004).

Menurut ekawati 2012, Kadar glukosa darah merupakan faktor yang

sangat penting untuk kelancaran kerja tubuh. Karena pengaruh berbagai faktor

dan hormon insulin , sehingga hati dapat mengatur kadar glukosa dalam darah..

Hormon insulin dihasilkan oleh sel – sel beta pada pulau – pulau Langerhans

pankreas. Insulin berpengaruh langsung pada hiperglikemia dalam meningkatkan

ambilan glukosa baik ke hati maupun jaringan perifer, hormon insulin juga

mempunyai peranan sentral dalam pengaturan konsentrasi glukosa darah. (Karam

J.H., 1998 ). Bila kadar glukosa dalam darah meningkat sebagai akibat naiknya

proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat, maka oleh enzim-enzim tertentu

glukosa dirubah menjadi glikogen. Proses ini hanya terjadi di dalam hati dan

dikenal sebagai glikogenesis. Sebaliknya bila kadar glukosa menurun, glikogen

diuraikan menjadi glukosa (Ekawati, 2012).

Glukosa oral merupakan stimulant paling kuat untuk sekresi insulin

melalui perangsangan reseptor α2 adrenergik. Mekanismenya yaitu masuknya

glukosa ke sel β melalui glucose transporter 2 (GLUT2), suatu transporter yang

spesifik. Kemudian glukosa mengalami fosforilase oleh glukokinase.

Metabolisme glukosa yang diinduksi oleh glukokinase menyebabkan perubahan


rasio ATP/ADP dan hal ini menyebabkan menutupnya kanal ion K+ yang sensitive

ATP dan terjadi depoarisasi sel β (Gunawan, 2007).

Penggunaan glukosa sebagai metode permodelan hewan coba karena

glukosa merupakan stimulus utama sekresi insulin pada manusia dan faktor

penting terhadap kerja perangsang sekresi lainnya dan glukosa lebih efektif

menstimulasi sekresi insulin jika secara oral dibandingkan diberikan secara

intravena, Goodman and Gilman’s.(2002). Namun pemberian glukosa dalam

jumlah berlebih dapat menyebabkan kondisi hiperglikemia yang apabila dalam

waktu yang lama dapat memicu terjadinya resistensi insulin melalui pembentukan

radikal bebas yang dihasilkan glukosa.

Penggunaan glukosa sebagai metode pemodelan hewan diabetes mellitus

memiliki keuntungan dibandingkan menggunakan metode aloxan dan streptosozin

dimana kedua metode tersebut dapat menyebabkan insulitis pada hewan coba

yang ditandai dengan kerusakan sel beta pankreas sehingga dapat menimbulkan

terjadinya diabetes tipe I (Suarsana, 2010).

Jumlah kadar glukosa dari pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang

menunjukkan jumlah nilai ≥140 mg/dl atau glukosa darah puasa menunjukan nilai

>120 mg/dl ditetapkan sebagai diagnosis diabetes melitus. Glukosa darah

dikatakan abnormal apabila kurang atau melebihi nilai rujukan. Nilai rujukan

glukosa adalah pada rentang 60-110 mg/dl. Kadar gula darah yang terlalu tinggi

dinamakan hiperglikemia. Kadar glukosa kurang dari normal dinamakan

hipoglikomia. Dalam tubuh manusia glukosa yang telah diserap oleh usus halus

kemudian akan terdistribusi ke dalam semua sel tubuh melalui aliran darah (
subiyono, dkk., 2016 ). Sehingga Konsentrasi insulin di dalam darah harusnya

sejajar dengan konsentrasi glukosa darah ( almatsier s., 2004, stryer L, dkk.,2000

dan Karam J.H., 1998 ). insulin Selain pengaruh langsung hiperglikemia dalam

meningkatkan ambilan glukosa baik ke hati maupun jaringan perifer, hormon

insulin juga mempunyai peranan sentral dalam pengaturan konsentrasi glukosa

darah. Hormon ini dihasilkan oleh sel – sel beta pada pulau – pulau Langerhans

pankreas sebagai reaksi langsung terhadap keadaan hiperglikemia (Karam J.H.,

1998 ).

E. PANKREAS

Pankreas terletak pada rongga abdomen, memiliki permukaan yang

membentuk lobulasi, berwarna putih keabuan hingga kemerahan. Organ ini

merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin yang

menghasilkan enzim-enzim pankreas (amylase, peptidase, dan lipase), dan

jaringan endokrin yang menghasilkan hormon–hormon (insulin, glukagon, dan

somatostatin). Pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari

pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total

pankreas. Pulau Langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau

berbeda. Besar pulau Langerhans yang terkecil adalah 50μ, sedangkan yang

terbesar 300μ, terbanyak adalah yang besarnya 100-225μ. Jumlah semua pulau

Langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta. Pada pewarnaan

Hematoxylen-Eosin (HE), akan terlihat pulau Langerhans lebih pucat

dibandingkan dengan sel-sel kelenjar acinar disekelilingnya sehingga pulau

Langerhans mudah dibedakan. Penderita DM akan mengalami perubahan


morfologi pada pulau Langerhans, baik dalam jumlah maupun ukurannya

(Sandberg dan Philip, 2008).

(1a) (1b)

Gambar 1. Pankreas

Keterangan : (1a) Pankreas Tikus Normal (1b) Pankreas Tikus yang

mengalami Diabetes Melitus (Zubaidah, 2015).

Insulin merupakan hormone peptide yang disekresikan oleh sel β dari

Langerhans pancreas. Fungsi insulin adalah untuk mengatur kadar normal glukosa

darah. Insulin bekerja melalui memperantarai uptake glukosa seluler, regulasi

metabolism karbohidrat, lemak, dan protein, serta mendorong pemisahan dan

pertumbuhan sel melalui efek motigenik pada insulin (Wilcox, 2005).

Insulin memiliki struktur dipeptida, yang terdiri dari rantai A dan B.

Kedua rantai ini dihubungkan dengan jembatan sulfide yang menghubungkan

struktur helix terminal N-C dari rantai A dengan struktur central helix dari rantai

B. Insulin mengandung 51 asam amino, dengan berat molekul 5802. Rantai A

terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino (Wilcox,

2005).
Sekresi insulin dari pulau-pulau Langerhans memerlukan pengaturan

negatif untuk memastikan tingkat terendah melepaskan insulin dalam kondisi

istirahat, serta pengaturan positif guna memfasilitasi respon kuat terhadap kondisi

adanya peningkatan kadar glukosa darah ( rorsman P., 2005 ). Insulin dilepaskan

dalam bentuk bifasik yang terdiri dari fase pertama yang terjadi singkat

(berlangsung sekitar 10 menit) dan diikuti oleh fase kedua yang berkelanjutan.

Pada individu normal, laju sekresi insulin selama fase pertama dan kedua telah

diperkirakan 1.600 pmol/menit dan 400 pmol/menit ( jensen M. Dkk., 2008 ).

Fase pertama sekresi insulin melibatkan difusi kantung kecil dari granulgranul

pada membran plasma. Kantungkantung tersebut mudah disekresi karena granul-

granul tersebut sudah berada di dalam membran pada keadaan basal, dan

pembongkaran isi granul-granul merupakan respon terhadap adanya nutrisi dan

juga non-nutrisi sekretagog. Fase kedua sekresi insulin umumnya ditimbulkan

oleh pengaruh nutrisi, dan melibatkan mobilisasi dari granul-granul intrasel ke

tempat membran target soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment

protein receptor (tSNARE) pada membran plasma untuk bisa memasuki bagian

distalnya dan menjalani langkah-langkah fusi ekso-sitosis( rorsman P., 2005 ).

F. UJI HISPATOLOGI

Histopatologi adalah pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada sediaan

mikroskopik dengan pewarnaan metode mallory, untuk menetapkan diagnosis

kelainan degenerasi, radang atau infeksi neoplasma. Pada penelitian ini di lakukan

pemeriksaan histopatologi untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi


pada pangkreas tikus yang mengalami hiperglikemia akibat induksi glokosa (

suntoro H., 1883 ).

Uji histopatologi adalah pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada

sediaan mikroskopik dengan metode pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE), untuk

menetapkan diagnosis kelainan degenerasi, radang atau infeksi dan neoplasma

(Rahayu, 2006).

Pemeriksaan histopatologi di lakukan sebagai berikut : fiksasi, dehidrasi,

infiltrasi, penempelang ( mounting ), deparafinisasi, hidrasi, pewarnaan ( staining

), dehidrasi, penjernihan, penutupan, lalu di biarkan di biarkan mengering pada

suhu kamar. Gambaran histologi sel β pankreas diamati menggunakan mikroskop

Olympus BX51 dengan perbesaran 400x. Gambaran histologi digunakan untuk

mengetahui perbedaan gambaran struktur jaringan pankreas pada masing-masing

perlakuan. ( suntoro H., 1883 ).

Uji hispatolgi biasanya menggunakan organ atau jaringan tubuh seperti

gijal hati dan pankreas. Pankreas merupakan organ tubuh istimewa yang berfungsi

ganda sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin

pankreas membantu dan berperan penting dalam sistem pencernaan dengan

mensekresikan enzim-enzim pankreas seperti amilase, lipase, dan tripsin. Sebagai

kelenjar endokrin, pankreas dikenal dengan produksi hormon utama yaitu

glukagon dan insulin yang berperan dalam metabolisme glukosa. Fungsi endokrin

pankreas dilakukan oleh pulau Langerhans yang tersebar di antara bagian eksokrin

pankreas (Cunningham dan Klein, 2007; Norris, 2007)


Pankreas terdiri atas dua jenis jaringan utama, yakni: (1) asini, yang

mensekreksikan getah pencernaan ke dalam duodenum, dan (2) pulau

Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan getahnya ke luar

namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung ke dalam darah

(Guyton dan Hall, 2006).

G. TIKUS (RATTUS NORVEGICUS)


Tikus putih (Rattus norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain

Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat. Pada

wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia, Laos,

Malaysia, dan Singapura (Moore, 2000), Tikus Wistar saat ini menjadi salah satu

yang strain tikus paling populer yang digunakan untuk penelitian laboratorium.

Tikus Wistar lebih aktif (agresif) daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley.

Selain itu menurut Barata dkk.,2010, Tikus putih baik digunakan dalam penelitian

karena mudah dipelihara, mudah berkembang biak sehingga cepat mendapatkan

hewan coba yang seragam dan mudah dikelola di laboratorium. Penelitian tentang

obat-obatan dan keracunan banyak menggunakan hewan coba tikus dan mencit,

karena mudah diperiksa melalui organ-organ utama yang berperan yaitu hati dan

ginjal. Salah satu galur yang paling banyak digunakan adalah tikus Wistar

(Wistarat) yang mulai dikembangbiakkan di Wistar Institute sejak 1906 (Fitria

dkk., 2015).

Tikus putih memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala kecil, dan

ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat,


temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik

tiroksid (Akbar,2013)

Gambar 2. Tikus

Sumber: Akbar, 2010

Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan

percobaan adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Miomorfa

Familia : Muridae

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus

Tikus putih jantan sebagai hewan percobaan karena tikus putih jantan

dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh

adanya siklus menstrusasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus

putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat lebih cepat dan kondisi

biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006). Data
biologus dan Komponen Kimia Dalam Serum Tikus Putih Normal tikus galur

wistar dapat di lihat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2

Berat badan lahir 4,5-6 gram


Berat badan dewasa Jantan 250-300 gram
Betina 180-220 gram
Usia maksimum 2-4 tahun
Usia Reproduksi 8-10 minggu
Konsumsi makanan 15-30 g/hari
Konsumsi air minum 20-45 g/hari
Defekasi 9-13 g/hari
Produksi urin 10-15 ml/hari
Kadar glukosa darah normal:
KGD puasa 80-115 mg/dl
KGD 2 jam post prandial 50-135 mg/dl
Kolesterol 50-135 mg/dl
Asam urat 1,2-7,5 mg/dl

Tabel 2.1. Data Biologis Tikus Galur Wistar, menurut Mitruka.1977


Nilai nilai literatur

Jantan betina
komponen

Rata-rata S.D rata-rata S.D rentang

Bilirubin (mg/dl) 0,35 0,02 0,24 0,07 0,00-0,55

Kolesterol (mg/dl) 28,3 10,2 24,7 9,62 10,0-54,0

Kreatinin 0,46 0,13 0,49 0,12 0,20-0,80

Glukosa (mg/dl) 78,0 14,0 71,0 16,0 50,0-135

Nitrogen urea (mg/dl) 15,5 4,44 13,8 4,15 5,0-29,0

Asam urat (mg/dl) 1,99 0,25 1,79 0,24 1,20-7,5

Sodium (mEq/1) 147, 2,65 146, 2,50 143,-156,

Potassium (mEq/1) 5,82 0,11 6,70 0,12 5,40-7,00

Klorida (mEq/1) 102, 0,85 101, 0,90 100,-110,

Bikarbonat (mEq/1) 24,0 3,80 20,8 3,60 12,6-32,0

Fosfor (mg/dl) 7,56 1,51 8,26 1,14 3,11-11,0

Kalsium (mg/dl) 12,2 0,75 10,6 0,89 7,2-13,9

Magnesium (mg/dl) 3,12 0,41 2,60 0,21 1,6-4,44

Tabel 2.2. Komponen Kimia Dalam Serum Tikus Putih Normal, Menurut
Mitruka.1977
H. KERANGKA KONSEP

Skema alur kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Daun Awar – Awar (Ficus Septica


Burm. L)
Daun D. sparsisora
mengandung Ekstraksi
golongan flavonoid, (refluks)
alkaloid, dan
triterpenoid
(Sukadana, 2000; Ekstrak Etanol Daun Awar – Awar Diinduksi Glukosa 4
Sukadana, 2001; (Ficus Septica Burm. L) g/200 gBB 1 x 1
Sukadana, 2004; Selama 30 hari
Sukadana 2010).

Skrining Ekstrak Etanol Daun Awar-


Fitokimia Awar (Ficus Septica Burm. L) Tikus jantan putih
dosis 45,90,180 mg/KgBB dan (Rattus novergicus)
Galur wistar yang
kelompok kontrol.
Alkaloid, Diabetes mellitus II
flavonoid,
tannin,
terpenoid, dan Uji
saponin. Histopatologi

Dosis ekstrak 1 x sehari selama 2 minggu

Uji perlakuan terhadap tikus


diabetes mellitus II

Pemeriksaan hitopatologi organ pankreas:


Perbaikan sel pulau langerhans

Data deskriptif dan jumlah sel


endokrin

Gambar 3. Kerangka Konsep


Keterangan:
= Variabel bebas
= Variabel terikat
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan Januari-April 2018. Penelitian

ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk eksperimental laboratorium yaitu penelitian

yang dilakukan dalam laboratorium dengan menggunakan Daun Awar – Awar

(Ficus septica burm. L) sebagai sampel dan tikus jantan Galur Wistar sebagai

hewan uji.

C. Alat Penelitian

Alat yang digunakan adalah rotary evaporator, timbangan analitik, gelas

kimia, gelas ukur, toples kaca, pipet tetes, batang pengaduk, corong, blender, 1 set

alat refluks, gunting, botol semprot, spoit, oral sonde, cawan porselin, dan alat

untuk pembuatan preparat histologi pankreas, yaitu: Talenan, pisau scalpel, pinset,

tissue cassette, mesin processor otomatis, mesin vacum, mesin blocking, freezer (-

20°C), mesin microtome, pisau microtome, water bath 46 °C, mikrotube,

sentrifugasi, kaca objek, kaca penutup, rak khusus untuk pewarnaan, oven 60°C,

mikroskop.

D. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan adalah daun awar-awar, akuades, etanol, reagen

glukosa, kloroform, tissue, Na CMC 1 %, eter, etanol 96%, alkohol 70%, 80%,
90%, 95% dan absolut, dapar formalin 10%, xylol, paraffin, pewarna Ehrlich

Haematoxylin dan Eosin, Glibenklamid, dan tikus jantan galur wistar.

E. Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri atas dua variabel yaitu variabel bebas

dan variabel terikat.

1. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu variasi dosis dari ekstrak daun awar-

awar .

2. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu pemeriksaan hispatologi organ

pankreas hewan coba diabetes melitus dengan melihat perbaikan sel β pankreas

dan jumlah sel endokrin.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Bahan
Bahan penelitian diperoleh dari kelurahan laiworu, Kecamatan Bata

Laiworu, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bagian sampel yang

diambil adalah daun.

2. Pembuatan ekstrak

a. Penyiapan Sampel

Preparasi sampel Daun Awar – Awar (Ficus Septica Burm. L) diawali

dengan sortasi basah dan pencucian. Selanjutnya dikeringkan dan dilakukan

sortasi kering kemudian dihaluskan hingga menjadi serbuk (simplisia) kemudian

ditimbang dan diperoleh bobotnya.


b. Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara refluks. Metode ini dilakukan

dengan menimbang serbuk daun awar-awar sebanyak 500 gram dan dimasukkan

ke dalam labu alas bulat masing-masing sebanyak 50 gram kemudian direndam

dengan menggunakan pelarut etanol sebanyak ± 250 mL. Cairan penyari

dipanaskan sehingga menguap dan uap tersebut dikondensasikan oleh pendingin

balik, sehingga mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh

kembali ke dalam labu alas bulat sambil menyari simplisia. Pemisahan residu dan

filtrat dilakukan dengan cara penyaringan. Filtrat dipekatkan dengan cara di evap

menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 40oC hingga diperoleh

ekstrak etanol sampel dan dihitung nilai rendamennya.

3. Skrining Fitokimia

1. Uji Senyawa Alkaloid

Sebanyak 1 mL ekstrak Daun Awar – Awar (Ficus Septica Burm. L)

ditambah 2 mL HCl 2N dan dikocok. disiapkan 3 tabung yang berbeda kemudian

Filtrat dimasukkan. Ditambah 1 tetes reagen Mayer pada tabung pertama,

ditambah 1 tetes reagen Dragendorff tabung kedua, dan tabung ketiga ditambah

reagen Wagner sebanyak 1 mL. Terbentuknya endapan kuning menunjukkan

hasil positif reagen Mayer, endapan merah reagen Dragendorff, dan endapan

coklat atau kemerahan reagen Wagner (Setiabudi, D.A, dan Tukiran.,2017).


2. Uji Senyawa Steroid dan Terpenoid

Sebanyak 1 mL ekstrak etanol daun awar – awar (Ficus Septica Burm. L)

ditambah asetat anhidrat kemudian ditambah H2SO4 pekat. Uji positif pada

steroid ditunjukkan oleh terbentuknya warna biru dan hijau. Terbentuknya warna

jingga, ungu dan kuning keemasan Menujukkan uji positif pada triterpenoid

(Setiabudi, D.A, dan Tukiran.,2017).

3. Uji Senyawa Fenolik

Sebanyak 1 mL ekstrak etanol daun awar – awar (Ficus Septica Burm. L)

ditambah 10 tetes FeCl3 1%. apabila menghasilkan, merah, ungu, biru, atau hitam

pekat dan warna hijau menunjukkan positif mengandung fenol (Setiabudi, D.A,

dan Tukiran.,2017).

4. Uji Senyawa Flavonoid

Sebanyak 1 mL ekstrak metanol Kulit Batang Tumbuhan Klampok Watu

(Syzygium Litorale) dicampur etanol 70% sebanyak 3 mL lalu dikocok,

dipanaskan, dikocok dan disaring. Filtrat diperoleh ditambah 0,1 g Mg dan HCl

pekat 2 tetes. Warna kuning,merah dan jingga menunjukkan adanya kandungan

flavonoid (Setiabudi, D.A, dan Tukiran.,2017).

5. Uji Senyawa Saponin

Sebanyak 1 mL ekstrak etanol daun awar – awar (Ficus Septica Burm. L)

ditambahkan 2 mL aquades dan dikocok selama 1 menit, lalu ditambah HCl 1N

sebanyak 2 tetes. Ekstrak positif mengandung saponin apabila busa yang

terbentuk tetap stabil ± 7 menit (Setiabudi, D.A, dan Tukiran.,2017).


6. Uji Senyawa Tanin

Sebanyak 1 mL ekstrak etanol daun awar – awar (Ficus Septica Burm. L)

ditambah NaCl 10% sebanyak 5 tetes lalu disaring kemudian ditambah 1% gelatin

dan 10% NaCl. Terbentuk endapan putih menunjuukan positif adanya kandungan

tanin (Setiabudi, D.A, dan Tukiran.,2017).

4. Penyiapan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus jantan galur

wistar yang diperoleh dari peternak tikus kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan

berumur 3 bulan dengan berat badan 200-300 gram.

5. Aklimatisasi Hewan Uji

Aklimatisasi Merupakan Proses Penyesuaian Hewan Percobaan Terhadap

Perubahan Iklim Lingkungan menurut Dewi, Dkk. (2017). Hewan Percobaan

Diaklimatisasi Selama Satu Minggu Dan Di Beri Pakan Standar Untuk Semua

Kelompok.Vogel, (2002), Pada Tahap Akhir Aklimatisasi Hewan Coba, Diperiksa

Kadar Gula Darahnya Menggunakan Glukometer.

6. Permodelan hewan diabetes

Tikus diberikan pakan kaya fruktosa dan lemak dengan komposisi pakan

(80%), lemak kambing (15%), dan kuning telur bebek (5%). Jumlah kelompok

hewan uji yang mendapatkan makanan kaya lemak sebanyak 5 kelompok dan 1

kelompok kontrol normol tidak diberikan. Pemberian glukosa sebesar 4 g/200gBB

peroral selama 30 hari.

Seluruh hewan uji diukur kadar glukosa darah (KGD) awal setelah

dipuasakan selama 12 jam. Selanjutnya diinduksi dengan glukosa 4 g/200gBB 1


x sehari secara oral selama 30 hari. Kelompok normal tidak diinduksi glukosa.

Tikus tetap diberi pakan standar. Kemudian di ukur kadar glukosa darah pada

tikus yang diinduksi glukosa 4 g/200gBB pada hari ke 7 dan 14 dengan

menggunakan human analisis.

7. Penentuan Jumlah Hewan Uji

Besar sampel dihitung dengan rumus Federer, dengan perhitungan sebagai

berikut:

(n – 1)(t – 1) ≥ 15

Keterangan:

n = besar sampel

t = jumlah perlakuan

(n – 1)(t – 1) ≥ 15

(n – 1)(6 – 1) ≥ 15

(n – 1)5 ≥ 15

(n – 1) ≥ 3

n≥4

Antisipasi unit hilang :

N = N/ (1-F)

Keterangan:

N = besar korelasi

F = 10%

N = n/(1-F)

N = 4/(1-10%)
= 4/(0,9)

= 4,44 ̴ 5

Hewan coba dikelompokkan menjadi 6 kelompok. Kelompok tersebut

terdiri dari kelompok normal, kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol

positif, kelompok dosis 45 mg/kgbb, kelompok dosis 90 mg/kgbb, kelompok

dosis 180 mg/kgbb.

8. Pengelompokkan hewan uji dan pemberian sediaan

Dosis terapi glibenklamid pada manusia sebanyak 5 mg. Hasil konversi

dari manusia ke tikus dengan berat badan 200 g, maka dosis obat yang akan

diberikan ditentukan berdasarkan luas permukaan tubuh tikus putih 0,10

g/200gBB.

Pada metode pengujian ini digunakan glukosa sebagai penginduksi yang

dapat meningkatkan kadar gula darah. Tikus putih jantan galur Wistar yang

digunakan dalam pengujian ini terdiri dari 30 ekor. Pengujian dilakukan pada 6

kelompok tikus putih jantan galur Wistar yang sehat dan beraktivitas normal, yang

terdiri dari :

1. Kelompok normal (KN) yaitu kelompok tikus normal yang diberi NaCMC 1%

per oral dan pakan standar.

2. Kelompok negative (K(-)) yaitu kelompok tikus diabetes diberi NaCMC 1%

per oral dan makanan kaya fruktosa dan lemak.

3. Kelompok positif (K(+)) yaitu kelompok tikus diabetes yang diberi

glibenklamid per oral dan makanan kaya fruktosa dan lemak.


4. Kelompok Dosis I (LS I) yaitu kelompok tikus diabetes yang diberi ekstrak

daun awar-awar 45 mg/KgBB.

5. Kelompok Dosis II (LS II) yaitu kelompok tikus diabetes yang diberi ekstrak l

daun awar-awar 90 mg/KgBB.

6. Kelompok Dosis III (LS III) yaitu kelompok tikus diabetes yang diberi ekstrak

daun awar-awar 180 mg/KgBB.

9. Analisis Histopatologi

Pengambilan organ pankreas dan pemeriksaan histopatologi pankreas

tikus.

a) Pengambilan Organ Pankreas

Pengambilan organ pangkreas tikus di lakukan pada saat setiap kali

pemeriksaan kadar glukosa darah, yaitu pada hari ke-0, hari ke-14, hari 20 Dan

setelah perlakuan terhadap tikus diabetes selesai yakni selama 30 hari.

Selanjutnya Semua kelompok tikus dianastesi general dengan kloroform. Lalu

tikus dibedah dan diambil organ pankreas tikus dan dicuci dengan NaCl fisiologis

0,9%. Darah dikeluarkan hingga detak jantung terhenti dan selanjutnya dilakukan

pengambilan organ pankreas. Organ pankreas difiksasi dengan buffer neutral

formalin (BNF) 10% dilanjutkan dengan pembuatan preparat histopatologi.

b) Pembuatan Preparat Histopatologi

Pembuatan preparat histopatologi pada organ pankreas sebagai berikut:


1. Fiksasi

Fiksasi jaringan dengan cara merendam dalam formalin buffer fosfat 10%

selama 24 jam, kemudian diiris (trimming) dengan ketebalan ± 3 mm agar dapat

dimasukkan dalam kotak untuk diproses dalam tissue processor.


2. Dehidrasi

Jaringan yang berada di dalam kaset dimasukkan ke dalam tissue

processor untuk dilakukan dehidrasi. Proses dehidrasi dilakukan menggunakan

alkohol dengan konsentrasi bertingkat yang terdiri dari alkohol 70%, 80%, 90%,

96%, toluene 1 dan toluene 2 masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya

dijernihkan (clearing) dengan memasukkan sediaan ke dalam xylol I, xylol II dan

xylol III.

3. Perendaman (Embedding) dan Pencetakan (Blocking)

Selanjutnya jaringan dimasukkan ke dalam paraffin cair dengan suhu 56°C

selama 2 jam sebanyak 2 kali. Jaringan kemudian diambil dengan pinset,

dilanjutkan dengan pemblokan menggunakan parafin blok.

4. Pemotongan

Pemotongan (cutting) dilakukan dengan menggunakan mikrotom dengan

ketebalan 4-5 µm. Jaringan yang terpotong dikembangkan di atas air dalam

waterbath, kemudian ditangkap dengan gelas objek. Kemudian dikeringkan dalam

suhu kamar dan preparat siap diwarnai dengan Hematoxylin Eosin (HE).

5. Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Tahapan pewarnaan HE metode Harris adalah sebagai berikut:

Preparat di atas gelas objek direndam dalam xylol I 5 menit, dilanjutkan

xylol II, III masing-masing 5 menit. Kemudian preparat direndam dalam alkohol

100% I dan II masing-masing 5 menit, selanjutnya ke dalam aquades dan

kemudian direndam dalam Harris Hematoxylin selama 15 menit. Celupkan ke

dalam aquades dengan cara mengangkat dan menurunkannya. Preparat kemudian


dicelupkan ke dalam acid alkohol 1% selama 7-10 celupan, direndam dalam

aquades 15 menit, dan dalam eosin selama 2 menit. Selanjutnya preparat direndam

dalam alkohol 96% I dan II masing-masing 3 menit, alkohol 100 % I dan II

masing-masing 3 menit, dan dalam xylol IV dan V masing-masing 5 menit.

Preparat dikeringkan dan dilakukan mounting dengan menggunakan entelan.

Preparat diperiksa di bawah mikroskop untuk pemeriksaan terhadap perubahan

histopatologi (Swarayana, 2012).

c) Pengamatan histopatologi

Preparat histopatologi diperiksa di bawah mikroskop masing-masing pada

5 lapang pandang mikroskopik. Pemeriksaan dengan mikroskop dilakukan dengan

pembesaran 100x kemudian dilanjutkan dengan pembesaran 400x. Perubahan

histopatologi yang diamati meliputi adanya degenerasi lemak dan nekrosis

(Swarayana, 2012).

10. Analisis Data

Analisis data dengan menggunakan metode deskriptif yang disajikan

dalam bentuk gambar.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyiapan sampel

Sampel Lansau yang terdiri dari 44 jenis tanaman diperoleh dari

kecamatan Batalaiworu, kabupaten Muna, provinsi Sulawesi Tenggara. Sampel

yang telah dikumpulkan dipisahkan sesuai jenis tanamannya masing-masing

kemudian dilakukan sortasi basah yang bertujuan untuk memisahkan sampel dari

kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya. selanjutnya dilakukan pencucian

dengan menggunakan air mengalir yang bertujuan untuk menghilangkan tanah dan

pengotor lainnya (Rivai, 2014). Kemudian dilakukan proses perajangan dimana

perajangan ini bertujuan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan

dan penggilingan. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau dengan ukuran yang

dikehendaki (Wahyuni, 2014).

Pengeringan dilakukan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari dan

ditutup dengan kain hitam agar sampel tidak terkena sinar matahari langsung

sehingga kandungan aktif dalam simplisia tidak rusak dan sirkulasi udara yang

baik sehingga mengoptimalkan proses pengeringan (Utomo dkk, 2009).

Selanjutnya sampel di sortasi Kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda

asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-

pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Wahyuni,

2014). Sampel lansau yang terdiri dari 44 tanaman kemudian dihaluskan

menggunakan blender untuk memperkecil ukuran dan memperluas permukaan

sampel sehingga diperoleh serbuk simplisia untuk tiap tanaman. Dari serbuk
simplisia tiap tanaman tersebut diambil sebanyak 500 gram untuk tiap tanaman

untuk dilakukan ekstraksi.

B. Ekstraksi

Proses ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan metode refluks. Penggunan metode refluks didasari dengan

penggunaan empiris lansau yaitu dengan cara merebus 44 campuran tanaman

lansau. Metode ini hampir sama dengan infusa tetapi untuk mengoptimalkan

penarikan senyawa dalam sampel digunakan metode refluks yang merupakan

metode ekstraksi dengan bantuan pemanasan. Pelarut yang digunakan adalah

pelarut etnaol 96%. Etanol 96% dipilih karena bersifat universal lebih selektif,

tidak beracun, sifatnya netral, absorbsinya baik, ekstrak yang dihasilkan tidak

mudah ditumbuhi kapang dan kuman serta dapat bercampur dengan air dengan

segala perbandingan sehingga efektif untuk menghasilkan jumlah bahan aktif

yang optimal (Syamsul dkk, 2016).

Hasil dari proses refluks kemudian dipekatkan dengan menggunakan vacum

rotary evaporator untuk memisahkan ekstrak dari pelarutnya sehingga dihasilkan

ekstrak kental dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Ekstrak

kental yang diperoleh kemudian disimpan dalam cawan porselen yang kemudian

dipekatkan menggunakan water bath pada suhu 50°C. Penggunaan water bath

dimaksudkan untuk menguapkan sisa pelarut etanol sehingga terpisah dari ekstrak

hingga diperoleh ekstrak kental dan ekstrak kering untuk tiap tanaman
Tabel 8. Jumlah ekstrak dan % rendamen 44 tanaman lansau

No Nama tanaman Jumlah ekstrak % rendamen


ekstrak
1 Bhangkudu (Morinda citirfolia L.) 57,65 g 11,53%
2 Kamena-mena (Clerodendrum sp.) 32,76 g 6,552%
3 Patirangka (Impatiend balsamina L.) 39,39 g 7,878%
4 Soni (Dillenia cf. Celebica H.) 25,90 g 5,18%
5 Katapi (Sandoricum koetjape Merr.) 56,70 g 11,34%
6 Libbho (Ficus septica Burn.) 28,84 g 5,768%
7 Ghontoghe (Kleinhovia hospita L.) 18,38 g 3,676%
8 Daru (Averrhoa bilimbi L.) 30,76 g 6,152%
9 Lansale (Hyptis capitata Jacq.) 39,53 g 7,906%
10 Kaghai-ghai (Phyllanthus niruri L.) 26,97 g 5,394%
11 Sirikaya (Annona muricata L.) 53,90 g 10,78%
12 Kumbou (A. teysmanni) 24,57 g 4,914%
13 Patiwala ngkadea (L. camara) 51,43 g 10,28%
14 Ghondu (C. cujute) 39,28 g 7,856%
15 Kulidawa (T. grandis) 9,24 g 1,848%
16 Bumalaka (P.guajava) 52,62 g
10,52%
17 Kaghuse-ghuse (D. stipulacea) 45,73 g
9,146%
18 Sau bandara (S. alata) 63,34 g
12,66%
19 Ladha (Zingiber sp.) 19,92 g
3,984%
20 Wonta (S. laevis) 18,10 g
3,62%
21 Tongkoea (A. scholaris) 17,84 g
22 Komba-komba (C. odorata) 31,55 g 3,568%
23 Tumbuhan P. indicus 20,27 g 6,31%
24 Daun Blumea sp. 25,48 g 4,054%
25 Daun A. paniculata 43,45 g 5,096%
26 Daun S. grandifora 25,43 g 8,69%
27 Herba E. indica 20,52 g 5,086%
28 Daun M. calabura 61,65 g 4,104%
29 Daun S. oleosa 51,86 g 12,33%
30 Rimpang I. cylindrica 26,85 g 10,37%
31 Biji A. catechu 82,37 g 5,37%
32 Batang T. crispa 25,70 g 16,47%
33 Batang D. Parsisora 22,48 g 5,14%
34 Kumis kucing (O. aristatus Blume) 22,56 g 4,496%
35 Rogili (P. betle) 28,64 g 4,512%
36 Padamalala (C. citratus (DC) Stapf.) 30,89 g 5,728%
37 Ntanga-ntanga (J. curcas L.) 15,98 g 6,178%
38 Kasape (F. stroblifera L.) 26,93 g 3,196%
39 Kalamandinga (L. leucocephala Lam.) 42,83 g 5,386%
40 Tulasi (O. tenuiflorum L.) 20,41 g 8,566%
41 Kabote-bote (R. tuberose L.) 22,28 g 4,082%
42 Kaembu-embu (B. balsamifera L.) 39,98 g 4,456%
43 Kula (A. altilis) 30 g 7,996%
44 Rogo (P. cardifolia) 27,86 g 6%
5,572%
C. Uji Histopatologi

Pengujian histopatologi dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak

etanol lansau terhadap histopatologi organ pankreas yang mengalami Diabetes

Melitus Tipe II. Tikus yang telah diabetes tersebut dibagi menjadi 5 kelompok

secara acak yaitu kelompok kontrol negatif (K(-)), kelompok control positif

(K(+)), kelompok dosis I (LS I), kelompok dosis II (LS II), dan kelompok dosis

III (LS III). Masing-masing kelompok diberikan perlakuan terapi yang berbeda.

Kelompok control normal (KN) yaitu kelompok hewan normal yang diterapi

dengan dengan Na CMC 1%. Kelompok konttrol negatif (K(-)) yaitu kelompok

hewan diabetes yang diterapi dengan Na CMC 1%. Kelompok control positif

(K(+)) yaitu kelompok hewan diabetes yang diterapi dengan glibenklamid 5 mg.

Kelompok dosis I (LS I) yaitu kelompok hewan diabetes yang diterapi ekstrak

etanol lansau 7,15 mg/kgbb. Kelompok dosis II (LS II) yaitu kelompok hewan

diabetes yang diterapi ekstrak etanol lansau 14,3 mg/kgbb. Kelompok dosis III

(LS III) yaitu kelompok hewan diabetes yan g diterapi ekstrak etanol lansau 28, 6

mg/kgbb. Terapi dilakukan sekali sehari selama 14 hari untuk tiap kelompok

perlakuan. Setelah 14 hari terapi dilakukan histopatologi organ tikus untuk

melihat adanya pengaruh ekstrak etanol lansau terhadap perbaikan pankreas

hewan uji yang mengalami diabetes mellitus.

Pengamatan histopatologi diabetes melitus menggunakan organ pankreas

hewan uji. Dalam pankreas terdapat pulau langerhans yang merupakan kumpulan sel

endokrin yang tersebar di seluruh organ pankreas berbentuk seperti pulau dan banyak

dilalui oleh kapiler-kapiler darah yang didalamnya terdapat 3 sel yatu sel alfa, beta,
dan delta. Sel beta inilah yang diberfungsi untuk mensekresi insulin. Pada saat hewan

uji mengalami diabetes melitus akan terjadi perubahan morfologi pada pulau

langerhans, baik dalam jumlah maupun bentuk pulau langerhans yang meliputi

terjadinya nekrosis dan degenerasi sel yang diamati secara mikroskopis dengan

menggunakan pewarnaan Hematoxylen-Eosin. Gambaran histologis pankreas diamati

menggunakan mikroskop dengan perbesaran asli 400x

Gambar 4.1. Gambaran Histopatologi Sel Pulau Langerhans Tikus Diabetes


Melitus Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. = sel normal ,
= nekrosis, = inti sel hilang.

Gambar 4.1 merupakan gambaran pulau langerhans dari organ pankreas tikus

diabetes melitus yang diinduksi glukosa selama 21 hari 3 kali sehari dilihat pada

gambar terjadi perubahan bentuk morfologi pada pulau langerhans yaitu mengalami

nekrosis atau yang disebut dengan kematian sel atau jaringan pada organisme hidup

ditandai dengan adanya ruang-ruang kosong pada islet langerhan dan terjadi

degenerasi sel yang ditandai oleh bentuk sel yang abnormal yang ditunjukkan oleh

sel yang membesar, inti sel mengecil, bahkan sitoplasma sudah tidak berinti.

Degenerasi sel endokrin dapat terlihat pada intinya yang pada berubah bentuk
menjadi polimorf (tidak seragam). Hal ini disebabkan karena pemberian glukosa

yang berlebihan yang menyebabkan terjadinya disfungsi sel beta pankreas yang

ditandai dengan terjadi kerusakan berupa nekrosis dan degenerasi pada pulau

langerhans

Gambar 4.2 Gambaran Histopatologi Sel Pulau Langerhans Tikus Normal (KN)
Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. = sel normal.

Gambar 4.2 merupakan penampakan pulau langerhans kelompok normal

dapat dilihat adanya keteraturan susunan sel endokrin yang menyebar di pulau

langerhans dengan bentuk sel-sel yang seragam serta sel-sel endokrinnya dalam

keadaan rapat dan utuh serta tidak mengalami nekrosis dan degenerasi sel. Hal ini

karena organ pankreas tikus dalam keadaan normal dan tidak diinduksi glukosa.
Gambar 4.3. Gambaran Histopatologi Sel Pulau Langerhans Tikus Kontrol
Negatif (K(-)) Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. = sel normal ,
= nekrosis, = inti sel hilang.

Gambar 4.3 merupakan penampakan pulau langerhans kelompok kontrol

negatif dapat dilihat bentuk pulau langerhans mengalami nekrosis yang ditandai

dengan islet pulau langerhans yang kosong dan mengalami degenerasi dan

susunan sel-sel endokrin yang tidak rapat. Hal ini dikarenakan hewan uji yang

diabetes tidak diberikan terapi tetapi diberikan Na CMC 1% .

Gambar 4.4. Gambaran Histopatologi Sel Pulau Langerhans Tikus kelompok


kontrol positif (K(+)) Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. = sel
normal

Gambar 4.4 merupakan penampakan pulau langerhans kelompok kontrol

positif dapat dilihat bentuk pulau langerhans mengalami perbaikan menuju ke

normal dengan susunan sel-sel endokrin yang seragam tidak mengalami

degenerasi vakuola dengan inti sel yang padat dan rapat . Hal ini dikarenakan

pemberian glibenklamid pada hewan uji


Gambar 4.5. Gambaran Histopatologi Sel Pulau Langerhans Tikus dosis 7, 15
mg/kgbb (LS I) Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. = sel normal ,
= nekrosis, = inti sel hilang.

Gambar 4.5 merupakan penampakan pulau langerhans dosis LS I dapat

dilihat bentuk pulau langerhans mengalami perbaikan menuju ke normal dengan

susunan sel-sel endokrin yang seragam meskipun masih terdapat sel yang

mengalami nekrosis yang ditandai dengan adanya ruang kosong pada pulau

langerhans. Hal ini disebabkan oleh hewan uji diabetes diberikan ekstrak etanol

lansau 7,15 mg/kgbb.

Gambar 4.6. Gambaran Histopatologi Sel Pulau Langerhans Tikus dosis 14,3
mg/kgbb (LS II)Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. = sel normal ,
= nekrosis,
Gambar 4.6 merupakan penampakan pulau langerhans kelompok LS II

dapat dilihat bentuk pulau langerhans mengalami perbaikan menuju ke normal

dengan susunan sel-sel endokrin yang rapat dengan bentuk yang seragam,

meskipun masih terdapat sel yang mengalami degenerasi yang ditandai dengan

hilangnya inti sel sehingga hanya terlihat sitoplasma. Hal ini dikarenakan

pemberian ekstrak etanol lansau 14,3 mg/kgbb

Gambar 4.7. Gambaran Histopatologi Sel Pulau Langerhans Tikus dosis 28,6
mg/kgbb (LS III) Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. = sel normal ,
= nekrosis,

Gambar 4.7 merupakan penampakan pulau langerhans kelompok LS III

dapat dilihat bentuk pulau langerhans mengalami perbaikan menuju ke normal

dengan susunan sel-sel endokrin yang seragam meskipun masih terdapat sel yang

mengalami degenerasi yang ditandai dengan sel-sel yang tidak berinti. Hal ini

dikarenakan pemberian ekstrak etanol lansau 28,6 mg/kgbb

Gambaran histopatologi pankreas pada hewan uji kelompok dosis 7,15

mg/KgBB, dosis 14,3 mg/KgBB dan 28,6 mg/KgBB mengalami perbaikan pada

pankreas yang dilihat dari penampakan pulau langerhans. Hal ini menandakan

bahwa ekstrak etanol lansau memiliki pengaruh terhadap histopatologi organ


pankreas hewan uji yang mengalami diabetes melitus. Perbaikan yang terjadi pada

pulau langerhans dikarenakan setelah permodelan hewan uji yang mengalami

Diabetes Melitus diberikan ekstrak etanol lansau. Dimana ektrak etanol lansau

mengandung beberapa metabolit sekunder diantaranya flavonoid. Dimana

flavonoid adalah senyawa antioksidan yang memiliki efek hipoglikemi pada

penderita diabetes melitus. Kandungan flavonoid inilah yang diduga memiliki

aktivitas antidiabetes. Aksi flavonoid sebagai antidiabetes diduga dengan

meregenerasi kerusakan sel beta pankreas dan merangsang sel beta pankreas

untuk memproduksi insulin (Muhtadi, 2014).

Tabel 9. Jumlah sel endokrin pada pulau langerhans

Kelompok Jumlah sel endokrin


K. Normal 490 sel
K. Dosis 7,15 mg/KgBB 303 sel
K. Dosis 14,3 mg/KgBB 508 sel
K. Dosis 28,6 mg/KgBB 422 sel
K. Positif 347 sel
K. Negatif 336 sel
Permodelan 303 sel

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa kelompok normal terdapat

490 sel endokrin pada pulau langerhans. Pada perlakuan dosis terlihat pada dosis

14,3 mg/KgBB terdapat lebih banyak sel endokrin yaitu 508 sel dibandingkan

dosis 7,15 mg/KgBB dan dosis 28,6 mg/KgBB masing-masing 303 sel dan 422

sel. Dari data jumlah sel endokrin kelompok kontrol positif meiliki 347 sel

endokrin. Semakin banyak sel endokrin dalam pulau langerhans maka semakin

baik perbaikan pulau langerhans dapat dilihat berdasarkan gambar histopatologi


pada dosis 14,3 mg/kgBB mengalami perbaikan pulau langerhans ke bentuk

normal.
BAB V
KESIMPULAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan yaitu

Ekstrak etanol lansau memiliki pengaruh terhadap histopatologi organ pankreas

yang mengalami diabetes melitus dilihat dari gambaran histopatologi pada dosis

14,3 mg/KgBB mengalami perbaikan bentuk sel sel endokrin kearah bentuk nomal

dan dari jumlah sel endokrin dosis 14,3 mg/KgBB memiliki jumlah sel endokrin

lebih banyak.

B. Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka saran dari penlitian yaitu perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penelitian lebih lanjut mengenai

pengaruh ekstrak etanol lansau terhadap histopatologi oragan pankreas tikus yang

mengalami diabetes melitus


DAFTAR PUSTAKA

Adeyemi,D.O., O.A.Komolafe,O.S.Adewole & E.M. Obuotor. 2010. Histo mor


phological and Morphometric Studies of the Pancreatic Islet Cellsof
Diabetic Rats Treated with Extracts of Annona muricata. Folia
Morphol,69 (2).

Aditama, T Y., 2014, Jamu dan Kesehatan, Lembaga Penerbit Balitbangkes.

Ajie., R,B., 2015, White Dragon Fruit (Hylocereus Undatus) Potential as Diabetes
Melitus Treatment, International Journal Of Biomedical and
Pharmaceutical, Vol.4, No.1.

Akbar, B., 2010, Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang Berpotensi
Sebagai Bahan Antifertilitas, Adabia Press, Jakarta.

Alexander, E.P., 2015, Identifikasi Farmakognostik dan Uji Toksisitas Akut


Menggunakan Metode Brine Shrimpt Lethality Test (BSLT) pada 11
Daun Tumbuhan Obat Tradisional Lansau Khas Suku Muna Sulawesi
Tenggara, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.

American Diabetes Association, 2011, Standards of Medical in Diabetes, Diabetes


Care, Volume 36 (Supplement 1).

Amir. S. M. J. Herlina. W, Dan Damajanty. P., 2015.,Kadar Glukosa Darah


Sewaktu Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Bahu Kota
Manado ., Jurnal E-Biomedik (Ebm), Vol 3, No 1.

Ardiyanti, 2016, Identifikasi Farmakognostik dan Uji Toksisitas Akut


Menggunakan Metode Brine Shrimpt Lethality Test (BSLT) Beberapa
Jenis Tumbuhan Obat Tradisional Lansau Khas Suku Muna Sulawesi
Tenggara, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.

Azmi, F N., Dian, M dan Noengki, P., 2015.,Efektifitas perbandingan kombinasi


clindamycin dan ekstrak nannochloropsis oculata terhadap peningkatan
kepadatan kolagen pada osteomielitis mandibula., jurnal kedokteran
gigi., vol 9., no 1.

Badan penelitian dan pengembangan kesehatan, kementrian kesehatan RI.


Riset kesehatann dasar. 2013

Damayanti, Santi., 2015, Hubungan Antara Frekuensi Senam Diabetes Mellitus


dengan Kadar Gula Darah, Kadar Kolesterol dan Tekanan Darah Pada
Klien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Kelompok Persadia RS Jogja, Jurnal
Medika Respati, Vol.10, No.2
Darmawan, R., 2015, Identifikasi Farmakognostik Sebelas Tumbuhan Obat
Dalam Ramuan Lansau Khas Suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara
dan Uji Toksisitas Akut terhadap Artemia salina Leach. Secara Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT), Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari.

Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes


Melitus, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Jakarta.

Dewi, R D., Aulanni’am, Anna Roosdiana., 2013, Studi Pemberian Ekstrak


Rumput Laut Coklat (Sargassum Prismaticum) Terhadap Kadar Mda
Dan Histologi Jaringan Pankreas Pada Tikus Rattus Norvegicus Diabetes
Melitus Tipe 1 Hasil Induksi Mld-Stz (Multiple Low Dose -
Streptozotocin), Kimia student Journal, Vol.2, No.1.

Dewi,S.R.P., Dina, O. M Dan Rini B.,2017., Efek Antikaries Ekstrak Gambir


Pada Tikus Jantan Galur Wistar., Majalah Kedokteran Gigi Indonesia.,
Vol. 3, No. 2.

Dewoto, Hedi R., 2007, Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi


Fitofarmaka, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol.57, No.7.

Diani, A.R., G. Sawada, B. Wyse, F.T. Murray And M. Khan. 2004. Pioglitazone
Preserves Pancreatic Islet Structure And Insulin Secretory Function In
Three Murine Models Of Type 2 Diabetes. Am. J. Physiol. Endocrinol.
Metab. 286: 116-122.

Dipiro, J.T., Talbert, LR. L., Yee, G. C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey,
l.M., 2008, Pharmacoterapy: A Phatophysiologyc Approach, 7th Edition,
McGraw-Hill Companies, Inc., USA

Ditjen POM, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,


Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Fatimah, R.N., 2015, Diabetes Melitus Tipe 2, J Majority, Vol.4, No.5.

Fitria, L., Mulyati., Cut M. T., dan Andreas S. B., 2015, Profil Reproduksi Jantan
Tikus (Rattus norvegicus Berkenhout, 1769) Galur Wistar Stadia Muda,
Pradewasa, dan Dewasa, Jurnal Biologi Papua, Vol. 7, No. 1.

Gunawan, S. G. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen


Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta: EGC. 74,76, 80-81, 244, 248, 606,636,1070,1340
Hongdiyanto, A., Paulina V. Y.Y., dan Hamidah S. S., 2014, Evaluasi
Kerasionalan Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Pasien Rawat
Inap Di Rsup Prof. Dr. R.D.Kandou Manado Tahun 2013, Jurnal Ilmiah
Farmasi – UNSRAT, Vol.3, No.2. ISSN- 2302 – 2493.

Ihsan, S., Kasmawati, H., Suryani, 2014, Studi Etnomedisin Lansau Sebagai Obat
Tradisional Khas Suku Muna Di Provinsi Sulawesi Tenggara, Laporan
Penelitian, Jurusan Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Halu Oleo.

Krinke, G. J., 2000. The Handbook Of Experimental Animal The Laboratory Rat,
Academy Press, New York.

Mailangkay, 2017, s., Katuuk, M., Karundeng M., Hubungan Motivasi Dan
Dukungan Keluarga Dengan Perawatan Kaki Mandiri Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2, e-journal Keperawatan, Vol.5, No.1

Mitruka.BRIJ.M. Howard M. R., 1977, Clinical Biochemical and Hematological


Reference Values in Normal Experimental Animal, MASSON Publishing
USA, Inc, New York.

Mukhriani, 2014, Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, Dan Identifikasi Senyawa


Aktif, Jurnal Kesehatan, Vol.7, No.2.

Muhtadi et al., 2014., uji praklinik anthihiperuisemia secara in vivo pada mencit
putih jantan galur balb-C dari ekstrak daun salam dan daun belimbing
wuluh. Biomedika. Vol. 6., No 1.

Nadraha, S., 2014, Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini, Medicinus,
Vol.27, No.2.

Ngatijan., 2006, Petunjuk Laboratorium, Metode Laboratorium dalam


Toksikologi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.

Nugroho, EA., 2006, Patologi Dan Mekanisme Aksi Diabetogenik, Biodiversitas ,


Vol.7, No.4.

Perkeni, 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia.

Pratiwi, I, 2009, Uji Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Acalypha indica


terhadap Bakteri Salmonella choleraesuis dan Salmonella
typhimurium, Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA UNS, Surakarta.

Pratiwi, Viera. 2012. Efek Hipoglikemik pada Tikus Wistar Jantan diabetes yang
Diinduksi dengan Streptozotocin Pasca Pemberian Cuka Salak (Salacca
vinegar). Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Putri, Asticaliana, E.S., dan Larasati., 2013, Hubungan Obesitas dengan Kadar
HbA1c Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik
Rumah Sakit Umum Daeah Abdul Moeloek Provinsi Lampung, Medical
Journal Of Lampung University, Vol.2, No.4.

Rahayu L ., dkk, 2006, Gambaran Histopatologi Pankreas Tikus Hiperglikemia


Setelah Mengkonsumsi k-Karagenan dan i-Karagenan, Jurnal ilmu
Kefarmasian Indonesia, Vol.4 , No.2.

Saifudin, A., Viesa R., dan Hilwan Y.T., 2011, Standarisasi Bahan Obat Alam,
Graha Ilmu, Yogyakarta.

Salindeho, A., 2016, Pengaruh Senam Diabetes Melitus Terhadap Kadar Gula
Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Sanggar Senam Persadia
Kabupaten Gorontalo, Jornal Keperawatan, Vol.4, No.1.

Setiabudi, D.A, dan Tukiran.,2017., Uji skrining fitokimia ekstrak metanol kulit
batang tumbuhan klampok watu(syzygium litorale).,UNESA Journal of
Chemistry.,Vol. 6, No. 3.

Sineke, F U., dkk, Penentuan Kandungan Fenolik Dan Sun Protection Factor (Spf)
Dari Ekstrak Etanol Dari Beberapa Tongkol Jagung (Zea Mays L.), Jurnal
Ilmiah Farmasi, Vol.5, No.1.

Sinta, O., Jaka F., dan Rolan Rusli, 2016, Karakteristik Dan Pengobatan Pasien
Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Aji Batara Agung Dewa Sakti,
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-3.

Srinivasan, K., dan P. Ramarao., 2007.m animal models in type 2 DM research :


An overview. Indian J Med Res. 125. Pp 451-472

Sudoyu aru w, setyohadi b, idrus a, marcellus sk, setiati s. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III edisi V. Jakarta : interna publishing

Sultra., 2015., profil kesehatan provinsi selawesi tenggara. Dinas kesehatan


provinsi sulawesi tennggara.

Swarayana, I.M.I., I Wayan, S., dan I Ketut, B., 2012, Perubahan Histopatologi
Hati Mencit (Mus musculus) yang Diberikan Ekstrak Daun Ashitaba
(Angelica keiskei), Buletin Veteriner Udayana, Vol.4, No.2.

Tahir, M.Z., 2016, Studi Farmakognostik dan Uji Toksisitas Akut dengan Metode
Brine Shrimpt Lethality Test (BSLT) pada 11 Tumbuhan Obat
Tradisional Lansau Khas Suku Muna Sulawesi Tenggara, Skripsi,
Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.
Upoyo A S., dkk., 2015, Gambaran Elektrolit (Natrium – Kalium Serum)
Penderita Diabetes Mellitus Di RS Prof Dr Margono Soekarjo
Purwokerto, Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu”, Vol.06, No.01.

Vogel G.H., 2002, Drug Discovery And Evalution, Pharmakological Assay,


Second Completely Revised, Up Dated And England Ed, Springer –
Verlag Berlind Heidelberg New York.

World health organization. Diabetes : the problem and the solution. 2010

Wulandari, Pratiwi., Zaenal, S., dan Lily, K., 2015, Analisis Faktor Penyebab
Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus (DM) Tipe-2 di
RSUD Tugurejo Semarang, Jurnal Visikes, Vol.14, No.1.

Zarmal,F, Santi S, dan Dharma L., 2016., Hubungan Fungsi Sel β Pankreas
dengan Profil Lipid Individu dengan Toleransi Glukosa Normal., CDK-
vol. 43 no. 8.

Ichwan,R.R.,2014.,Ekstraksi Andrografolid Dari Andrographis Paniculata


(Burm.F.) Nees Menggunakan Ekstraktor Soxhlet., Pharmaçiana, Vol. 4,
No. 1.
Utami, R. D., Kiki, M.Y Dan Livia, S.,2015.,Pengaruh Metode Ekstraksi
Terhadap Aktifitas Antioksidan Daun Sukun(Artocarpus Altilis
(Parkinson) Fosberg)., Prosiding Penelitian Spesia Unisba.
Susanti, N. M. P., Warditiani, N. K., Laksmiani, N. P. L., Widjaja, I. N. K.,
Rismayanti, A. A. M. I, Dan Wirasuta, I M.A.G.2015.,Perbandingan
Metode Ekstraksi Maserasi Dan Refluks Terhadap Rendemen
Andrografolid Dari Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata (Burm.F.)
Nees).,Volume Iv, Nomor 2.
Murray R.K., Granner D.K., Mayes P.A., Rodwell V.W.,2003., Biokimia Harper.
Edisi 25. Jakarta: EGC.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja

1. Kerangka utama prosedur penelitian

44 tanaman obat Lansau Tikus Wistar Jantan

Diaklimatisasi selama 7 hari dengan pemberian makanan


standar dan air minum serta penimbangan berat badan
Preparasi sampel

Puasa 12 jam

44 jenis simplisia tanaman


Pemeriksaan kadar glukosa darah awal

Pemodelan tikus diabetes mellitus dilakukan dengan cara


Ekstrak kental tiap tanaman diinduksi dengan glukosa dosis 4 g/200gBB

Variasi dosis ekstrak etanol lansau Hewan diabetes mellitus tipe II

Kelompok
normal
Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
dosis I dosis II dosis III negatif positif

Larutan Na CMC Setengah dari Berdasarkan Dua kali dosis Obat


Penggunaan empiris
Larutan Na CMC
dosis II Glibenklamid
1% II 1% 0,10
mg/200gbb

Pemeriksaan data histopatologi pankreas tikus

Data

2. Pembuatan ekstrak kental 44 tanaman Lansau

Akar, kulit batang dan


daun 44 tanaman Lansau
- Dilakukan sortasi basah
- Dicuci hingga bersih
- Dipisahkan per bagian tumbuhan
- Dilakukan perajangan
- Dikeringkan
- Dilakukan sortasi kering
- Dihaluskan dengan blender
Serbuk masing-masing tumbuhan per bagiannya

- Direfluks dengan pelarut etanol 96%


- Dievaporasi

Ekstrak Kental

3. Pemodelan Hewan Uji

Tikus putih jantan wistar

- Ditimbang berat tikus


- Diinduksikan larutan glukosa 4 g/200gBB
dari hari ke-1 hingga ke-21
Tikus diabetes mellitus tipe II

4. Pengujian perbaikan pankreas

Hewan uji (tikus) diabetes


mellitus tipe II

- Dikelompokkan dalam 6 kelompok

Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok


normal kontrol negatif kontrol positif Lansau dosis I Lansau dosis II Lansau dosis III

- Diberi - Diberi - Diberi obat


larutan larutan glibenklamid - Diberikan terapi menggunakan ekstrak etanol lansau masing-
Na CMC Na CMC 0,10 masing 7,15 mg/gBB, 14,3 mg.gBB dan 28,6 mg/gBB selama 14
1% 1% mg/200gBB
hari
- Diambil - Diambil - Diambil
pankreas pankreas - Dianastesi
pankreas
hewan uji hewan uji - Dibedah dan diambil organ pankreas
hewan uji
-
Organ pankreas hewan uji

- Dicuci dengan NaCl fisiologis 0,9%


- Difiksasi dalam BNF 10% selama 24 jam
- Diiris (trimming) agar mudah dimasukkan dalam kotak
untuk proses dalam tissue processor
- Didehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat
yaitu 70%, 80%, 90%, 96%.
- Dijernihkan dengan memasukkan kedalam xylol I,
xylol II, dan xylol III.
- Dimasukkan dalam paraffin cair dengan suhu 56oC
selama 2 jam sebanyak 2 kali.
- Diambil jaringan menggunakan pinset
- Dilakukan pemblokkan menggunakan parafin blok
Data
Lampiran 2. Tabel Konversi Dosis Manusia ke Subjek Uji Berdasarkan Luas
Permukaan Tubuh
Species Body Working Body Surface Km Factor Conversion

Weight Weight Area (m2) Factor

(kg) Range (kg)

Human

Adult 60 - 1.6 37 1.00

Child 20 - 0.8 25 1.48

Baboon 12 7-23 0.6 20 1.85

Dog 10 5-17 0.5 20 1.85

Monkey 3 1.4-4.9 0.24 12 3.08

Rabbit 1.8 0.9-3.0 0.15 12 3.08

Guinea Pig 0.4 0.208-0.700 0.05 8 4.63

Rat 0.15 0.080-0.270 0.025 6 6.17

Hamster 0.08 0.047-0.157 0.02 5 7.40


Mouse 0.02 0.011-0.034 0.007 3 12.33

(Shin, dkk., 2010)

Lampiran 3. Tabel Volume Maksimal Pemberian Larutan Untuk Hewan Uji

Volume maksimal larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada beberapa

hewan uji (Harmita dan Maksum R., 2006).

Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberian


Jenis Hewan Uji
i.v. i.m.x i.p. s.c. p.o.

Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0

Tikus (200 g) 1,0 0,1 2-5 2-5 5,0

Hamster (50 g) - 0,1 1-2 2,5 2,5

Marmut (250 g) - 0,25 2-5 5,0 10,0

Kelinci (2,5 kg) 5-10 0,5 10-20 5-10 20,0

Kucing (3 kg) 5-10 1,0 10-20 5-10 50,0

Anjing (5 kg) 10-20 5,0 20-50 10,0 100,0

Keterangan :

i.v. = Intra vena


i.m. = Intra muscular

i.p. = Intra peritoneal

s.c. = Subcutan

p.o. = Pemberian oral

Lampiran 4. Pembuatan Larutan Induksi Glukosa

Perhitungan volume larutan induksi glukosa yang diambil untuk pemberian

per oral (p.o) pada hewan uji tikus:

a. Dosis induksi gentamisin untuk tikus = 20 g/kgbb

b. Syarat volume maksimum larutan sediaan uji yang diberikan pada hewan uji

tikus (200 g) secara p.o adalah 2 ml

c. Berapa volume larutan induksi glukosa yang akan diberikan berdasarkan

berat badan masing-masing tikus

Missal: rata-rata berat badan tikus = 200 g

Jumlah tikus yang akan diinduksi = 30 ekor

1. Jumlah glukosa yang diberikan perekor = jumlah glukosa yang diberikan

perekor

Dosis glukosa = 20 g/kgbb

Berat tikus
Tikus 200 g = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎
1000

200 𝑔
= 1000 𝑥 20 𝑘𝑔𝑏𝑏
=4g

Berat tikus
Tikus 210 g = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎
1000

210 𝑔
= 1000 𝑥 4 𝑘𝑔𝑏𝑏

= 4,2 g
Berat tikus
Tikus 300 g = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎
1000
300 𝑔
= 1000 𝑥 𝑘𝑔𝑏𝑏

=6g
2. Menentukan jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk membuat larutan stok

50 ml

50 𝑚𝑙
x 100 g = 5000 mg
1 𝑚𝑙

3. Menentukan volume pemberian untuk tikus dengan berat 210 g


210 𝑔
x 1 ml = 1,05 ml
200 𝑔

Jadi volume pemberian untuk tikus dengan berat 210 g yaitu 1,05 ml dari

larutan stok.
Lampiran 5. Pembuatan Sediaan Pembanding (Glibenklamid)

 Pembuatan Larutan Induksi Glibenklamid

Contoh perhitungan volume larutan induksi piroksikam yang diambil untuk

pemberian oral pada hewan uji tikus :

a. Dosis induksi glibenklamid untuk manusia 5 mg

b. Syarat volume maksimum larutan sediaan uji yang diberikan pada hewan uji

tikus (200 g) secara p.o adalah 5 ml

c. Berapa volume larutan induksi piroksikam yang akan diberikan berdasarkan

berat badan masing-masing tikus

Missal : rata-rata berat badan tikus = 200 g

Jumlah tikus yang akan diinduksi = 30 ekor

1. Konversi dosis manusia ke dosis hewan

𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑜𝑏𝑎𝑡
= 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎

5 𝑚𝑔
= 60 𝑘𝑔

= 0,08 mg/kgbb
𝑘𝑚 manusia
HED (mg/kg) = dosis hewan (mg/kg) 𝑘𝑚 hewan

37
= 0,08 mg/kg 6

= 0,51 mg/kgBB

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
Jika berat tikus adalah 200 g maka dosis = x dosis obat
1000

200 𝑔
= x 0,51 mg/kgBB
1000

= 0,10 mg/gBB

30 𝑚𝑙
Larutan Obat Glibenklamid = x 0,10 mg = 1,5 mg
2 𝑚𝑙

1,5 𝑚𝑔
Jumlah glibenklamid yang ditimbang = x 202,8 mg = 60,84 mg
5 𝑚𝑔

2. Larutan glibenklamid yang akan dibuat sebanyak 100 ml.

Unuk berat hewan 200 g

0,10 𝑔 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑔𝑙𝑖𝑏𝑒𝑛𝑘𝑙𝑎𝑚𝑖𝑑


=
1 𝑚𝑙 100 𝑚𝑙

Dosis glibenklamid = 10 g
Lampiran 6. Pembuatan Sediaan Uji

Pembuatan sediaan uji berdasarkan jumlah ekstrak yang didapatkan. Dosis

terapi yang digunakan sebagai acuan berpatokan pada penggunaan empiris yang

ada dimana berat yang digunakan yaitu 2 gram (setiap tanaman homogen beratnya

45 mg).

Missal: Ekstrak kumis kucing (500 g simplisia) = 31,259 g

Ekstrak patiwala (500 g simplisia) = 62,62 g

Ekstrak kumbou (500 g simplisia) = 24,587 g

 Kumis kucing

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
31,259 𝑔 𝑥

500x = 1406,655

x = 2,813 mg

 Patiwala

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
62,62 𝑔 𝑥

500x = 2817,9
x = 5,635 mg

 Kumbou

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
25,78 𝑔 𝑥

500x =1160,1

x = 2,32 mg

 Komba-komba

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
31,55 𝑔 𝑥

500x = 1419,75

x = 2,83 mg

 Padamalala

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
30,89 𝑔 𝑥

500x = 1390,05

x = 2,78 mg

 Kaghuse-ghuse

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
45,73 𝑔 𝑥

500x = 2057,85

x = 4,11 mg

 Patiwala ngkadea

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
51,43 𝑔 𝑥

500x = 2314,35

x = 4,62 mg

 Kula
500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
30 𝑔 𝑥

500x = 1350

x = 2,7 mg

 Ghontoge

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
18,38 𝑔 𝑥

500x = 827,1

x = 1,65 mg

 Sirsak

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
53,9 𝑔 𝑥

500x = 2425,5

x = 4,85mg

 Kusambi

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
51,86 𝑔 𝑥

500x = 2333,7

x = 4,66 mg

 Jambu biji

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
52,62 𝑔 𝑥

500x = 2367,9

x = 4,73 mg

 Daru

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
30,76 𝑔 𝑥
500x = 1384,2

x = 2,76 mg

 Gersen

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
61,65 𝑔 𝑥

500x = 2774,25

x = 5,54 mg

 Cendana

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
20,27 𝑔 𝑥

500x = 912,15

x = 1,82 mg

 Saubandara

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
63,34 𝑔 𝑥

500x = 2850,3

x = 5,7 mg

 Kalamandinga

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
42,83 𝑔 𝑥

500x = 1927,35

x = 3,85 mg

 Katapi

500 𝑔 45 𝑚𝑔
56,7 𝑔
= 𝑥
500x = 2551,5

x = 5,1 mg

 Kamena-mena

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
32,76 𝑔 𝑥

500x = 1474,2

x = 2,94 mg

 Kasape

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
26,93 𝑔 𝑥

500x = 1212,75

x = 2,42 mg

 Lansale

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
39,53 𝑔 𝑥

500x = 1778,85

x = 3,55 mg

 Kaembu-embu

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
39.98 𝑔 𝑥

500x = 1799,1

x = 3,59 mg

 Akar tongkoea

500 𝑔 45 𝑚𝑔
17,84 𝑔
= 𝑥
500x = 802,8

x = 1,6 mg

 Batang kulit jati

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
9,24 𝑔 𝑥

500x = 415

x = 0,83 mg

 Gondu

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
39,28 𝑔 𝑥

500x = 1767,6

x = 3,53 mg

 kambadhawa

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
25,43 𝑔 𝑥

500x = 1144,35

x = 2,28 mg

 Kaghai-ghai

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
26,97 𝑔 𝑥

500x = 1213,65

x = 2,42 mg

 Libbo

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
28,84 𝑔 𝑥

500x = 1297,8

x = 2,59 mg
 Ntanga-ntanga

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
15,98 𝑔 𝑥

500x = 719,1

x = 1,43 mg

 Biji pinang

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
82,37 𝑔 𝑥

500x = 3706,65

x = 7,41 mg

 Buah mengkudu

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
57,65 𝑔 𝑥

500x = 2594,25

x = 5,18 mg

 Soni

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
25,9 𝑔 𝑥

500x = 1165,5

x = 2,3 mg

 Akar alang-alang

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
26,85 𝑔 𝑥

500x = 1235,1

x = 2,47 mg

 Rimpang lengkuas
500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
19,92 𝑔 𝑥

500x = 896,4

x = 1,79 mg

 Sirih

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
28,64 𝑔 𝑥

500x = 1288,8

x = 2,57 mg

 Wonta

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
18,1 𝑔 𝑥

500x = 814,5

x = 1,62 mg

 Patirangka

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
39,9 𝑔 𝑥

500x = 1772,55

x = 3,54 mg

 Brotowali

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
25,7 𝑔 𝑥

500x = 1156,5

x = 2,31 mg

 Tulasi

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
20,41 𝑔 𝑥
500x = 918,45

x = 1,83 mg

 Lakoora

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
20,52 𝑔 𝑥

500x = 923,4

x = 1,84 mg

 Sambiloto

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
43,45 𝑔 𝑥

500x = 1955.25

x = 3,91 mg

 Kataba-tabako

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
25,48 𝑔 𝑥

500x = 1146,6

x = 2,29 mg

 Rogo

500 𝑔 45 𝑚𝑔
=
27,86 𝑔 𝑥

500x = 1253,7

x = 2,5 mg

 Kabothe-bothe

500 𝑔 45 𝑚𝑔
22,28 𝑔
= 𝑥
500x = 1002,6

x = 2,005 mg

Total semua ekstrak yang didapat adalah 139,213 mg (untuk manusia

dewasa) sehingga untuk pemberian pada tikus harus dikonversi. Perhitungan

konversi dosis dari manusia ke tikus berdasarkan luas permukaan tubuh yaitu:
139,213 𝑚𝑔
= 2,32 mg/kgbb
60 𝑘𝑔

𝑘𝑚 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎
HED = Dosis manusia x 𝑘𝑚 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

37
= 2,32 mg/kgbb x 6

= 2,24 mg/kgbb x 6,167

= 14,307 mg/kgbb

Jadi dosis yang digunakan sebagai acuan untuk tikus yaitu 14,307 mg/kgbb.

Untuk dosis II jumlah semua ekstrak tanaman yang didapatkan dari

perhitungan (14,307 mg/kgbb) sedangkan untuk dosis I merupakan setengah

dari dosis II dan untuk dosis III merupakan dua kali dari dosis II.

 Untuk dosis I = ½ x dosis II

= 7,153 mg

 Untuk dosis II = 14,307 mg

 Untuk dosis III = 2 x dosis II

= 2 x 13,814

= 28,614 mg
Lampiran 7. Perhitungan rendamen Ekstrak

No Nama tanaman Jumlah ekstrak % rendamen


ekstrak
1 Bhangkudu (Morinda citirfolia L.) 57,65 g 11,53%
2 Kamena-mena (Clerodendrum sp.) 32,76 g 6,552%
3 Patirangka (Impatiend balsamina L.) 39,39 g 7,878%
4 Soni (Dillenia cf. Celebica H.) 25,90 g 5,18%
5 Katapi (Sandoricum koetjape Merr.) 56,70 g 11,34%
6 Libbho (Ficus septica Burn.) 28,84 g 5,768%
7 Ghontoghe (Kleinhovia hospita L.) 18,38 g 3,676%
8 Daru (Averrhoa bilimbi L.) 30,76 g 6,152%
9 Lansale (Hyptis capitata Jacq.) 39,53 g 7,906%
10 Kaghai-ghai (Phyllanthus niruri L.) 26,97 g 5,394%
11 Sirikaya (Annona muricata L.) 53,90 g 10,78%
12 Kumbou (A. teysmanni) 24,57 g 4,914%
13 Patiwala ngkadea (L. camara) 51,43 g 10,28%
14 Ghondu (C. cujute) 39,28 g 7,856%
15 Kulidawa (T. grandis) 9,24 g 1,848%
16 Bumalaka (P.guajava) 52,62 g 10,52%
17 Kaghuse-ghuse (D. stipulacea) 45,73 g 9,146%
18 Sau bandara (S. alata) 63,34 g 12,66%
19 Ladha (Zingiber sp.) 19,92 g 3,984%
20 Wonta (S. laevis) 18,10 g 3,62%
21 Tongkoea (A. scholaris) 17,84 g 3,568%
22 Komba-komba (C. odorata) 31,55 g 6,31%
23 Tumbuhan P. indicus 20,27 g 4,054%
24 Daun Blumea sp. 25,48 g 5,096%
25 Daun A. paniculata 43,45 g
8,69%
26 Daun S. grandifora 25,43 g
5,086%
27 Herba E. indica 20,52 g
4,104%
28 Daun M. calabura 61,65 g
12,33%
29 Daun S. oleosa 51,86 g
10,37%
30 Rimpang I. cylindrica 26,85 g
5,37%
31 Biji A. catechu 82,37 g
16,47%
32 Batang T. crispa 25,70 g
5,14%
33 Batang D. Parsisora 22,48 g
34 Kumis kucing (O. aristatus Blume) 22,56 g 4,496%
35 Rogili (P. betle) 28,64 g 4,512%
36 Padamalala (C. citratus (DC) Stapf.) 30,89 g 5,728%
37 Ntanga-ntanga (J. curcas L.) 15,98 g 6,178%
38 Kasape (F. stroblifera L.) 26,93 g 3,196%
39 Kalamandinga (L. leucocephala Lam.) 42,83 g 5,386%
40 Tulasi (O. tenuiflorum L.) 20,41 g 8,566%
41 Kabote-bote (R. tuberose L.) 22,28 g 4,082%
42 Kaembu-embu (B. balsamifera L.) 39,98 g 4,456%
43 Kula (A. altilis) 30 g 7,996%
44 Rogo (P. cardifolia) 27,86 g 6%
5,572%

Lampiran 8. Dokumentasi

1. Penyiapan sampel
\

2. Permodelan hewan uji diabetes mellitus


3. Histopatologi
(a) (b)
(c)

Anda mungkin juga menyukai