Oleh :
Mutmainnah
F1F1 13 035
Skripsi
Diajukan oleh :
Mutmainnah
F1F113035
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat Rahmat dan
kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah
dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga khususnya kepada kedua orang
tua penulis ayah tercinta Sudirman dan Ibu tercinta Hj. Muhajira atas segala
pengorbanan, doa yang tiada henti, dukungan, semangat, perhatian, nasehat, cinta dan
kasih sayang serta ketabahan dalam mendidik penulis yang takkan bisa penulis balas.
Terima kasih kepada Ibu Henny Kasmawati, S.Farm., M.Si., Apt. selaku
yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan pengarahan
iii
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :
Sulawesi Tenggara.
6. Ibu Andi Nafisah Tendri A., S.Farm., M.Sc. selaku Penasehat Akademik.
7. Bapak Sabarudin, S.Farm., M.Si., Apt., Ibu Rini Hamsidi, S.Farm., M.Farm.,
Apt., dan Ibu Sandra Aulia Mardikasari, S.Si., M.Farm., Apt. selaku dewan
penguji yang telah banyak memberikan arahan dan saran kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi.
8. Bapak dan Ibu Dosen, serta seluruh staf Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo
Musnaeni, S.Keb., dan adik penulis Ni’Matuzzahra terima kasih atas segala doa,
10. Sahabat paling terdekat dan tersayang Ayu Yuliana dan Nurfitri gomul terima
kasih atas segala bantuan, doa, waktu, dukungan, motivasi, semangat, canda
iv
11. Sahabat-sahabat kesayangan Citrawana B.ladjamu, Fitriani Sonaru, Hikmah
Satriani, Isna Wahyuni, Melisa Ardianti, Nadia Pratiwi, Fitra Alimin, Guslini
dan Rahmat Ramadhan terima kasih atas segala bantuan, dukungan, semangat,
12. Teman terdekat, Reni Rosita Anwar, Hira Apriana, Serly, Viarny dan
13. Sepupu seperjuanganku, Khaeril Aslamiah Fahri terima kasih atas doa dan
14. Teman-teman setarbiyah Kak linda, Susan, Lina, Lia, Misra, Aisyah, Indah,
Leni, Musdalifah, Rara, dan Fitra terima kasih selama ini memberikan dukungan
dan doanya.
15. Teman-teman Farmasi Kelas A angkatan 2013 terima kasih, dukungan semangat
17. Teman-teman sepenelitian Dian, Opi, Hasfia, Linda, Engkong, Fia, Kia, dan
Rara terima kasih atas semangat dan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.
18. Kakak-kakak senior Loly Subhiaty Idrus atas saran dan waktu untuk penulis
serta adik-adik junior Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo terima kasih atas
semangatnya.
kepada semua pihak. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi
v
ini oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan
kedepannya. Semoga Allah SWT memberi taufik-Nya kepada kita semua dan
Mutmainnah
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
DAFTAR LAMBANG DAN ARTI xii
ABSTRAK xiv
ABSTRACT xv
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
vii
G. Pengelolaan Data 33
H. Analisis Data 34
BAB V. PENUTUP 51
A. Kesimpulan 51
B. Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52
viii
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus 8
ix
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Alogaritma pengobatan DM tipe 2 24
3. Kerangka Konsep 29
x
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks Halaman
1. Lembar Dokumentasi Data Primer 57
3. Analisis Data 72
xi
DAFTAR LAMBANG DAN ARTI
DM : Diabetes Melitus
DHES : Dehydroepandrosteron
GLP-1 : Glukagon-like-peptide-I
xii
OHO : Obat hipoglikemik oral
TZD : Tiazolidindion
xiii
RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DIABETES
MELITUS (DM) TIPE 2 DI PUSKESMAS PUUWATU KOTA KENDARI
SULAWESI TENGGARA TAHUN 2016
Mutmainnah
F1F1 13 035
ABSTRAK
xiv
RATIONALITY OF THE DRUG USE IN PATIENTS WITH TYPE 2
DIABETES MELLITUS (DM) AT PUSKESMAS PUUWATU KENDARI
SOUTHEAST SULAWESI IN 2016
Mutmainnah
F1F1 13 035
ABSTRACT
xv
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
lemah pun mulai mengalami kelainan metabolik ini (Suhaemi dkk, 2015). Diabetes
Melitus saat ini menjadi perhatian utama dari kesehatan masyarakat, karena
(Salistyaningsih, 2011).
(IDF) tahun (2015) menyebutkan bahwa prevalensi kejadian DM di dunia tahun 2012
sebanyak 371 jiwa penduduk, sedangkan tahun 2013 terdapat 382 jiwa penduduk dan
tahun 2015 terjadi peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 415 juta jiwa
penduduk dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan ke-7 di dunia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun (2013) adanya peningkatan angka kejadian
prevalensi DM di Indonesia dari 1,1% pada tahun 2007 dan 2,1% tahun 2013,
2015 terjadi peningkatan menjadi 153,2 juta jiwa (37%) di indonesia. Tingkat
prevalensi kejadian DM di Sulawesi tenggara, pada tahun 2014 berada pada urutan
1
ke-9 dengan jumlah sebanyak 2.768 kasus dan pada tahun 2015 naik menjadi urutan
sebanyak 95%. Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor resiko jenis kelamin,
umur, faktor genetik, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol (Fatimah,
terapi obat, dimana obat DM tipe 2 merupakan obat yang digunakan untuk jangka
panjang (Lestari dkk, 2011). Obat berperan sangat penting dalam pelayanan
dan pengobatan kepada pasien (Nurhayati, 2016). Terlalu banyaknya jenis obat yang
sesuai kebutuhan klinisnya yang dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan
laboratorium. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi
dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosa, serta ketepatan dosis karena apabila
2
dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi dan timbul efek yang
Penelitian yang telah dilakukan oleh Hongdiyanto dkk (2013) di RSUP Prof. dr.
R.D. Kandou Manado tahun 2013 menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 yang tepat
indikasi (86,96%), tepat pasien (100%), tepat pemilihan obat (100%), tepat dosis
(97,32%). Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Sari EN dan parwitasari (2013)
Kendari belum diketahui secara pasti, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
Puskesmas Puuwatu tahun 2016, hal ini dilakukan sebagai evaluasi obat rasional,
sehingga dapat mengurangi dampak dari penggunaan obat yang tidak tepat demi
keselamatan pasien.
B. Rumusan Masalah
Kendari tahun 2016 yang ditinjau dari tepat interval waktu pemberian?
3
C. Tujuan
Kendari tahun 2016 yang ditinjau dari tepat interval waktu pemberian.
D. Manfaat
2. Bagi Institusi di harapkan dapat memberikan gambaran pada tenaga kerja farmasi,
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Defenisi
lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan
Melitus (DM) merupakan suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa
dalam darah melebihi batas normal. Diabetes Melitus ini juga merupakan gangguan
metabolik kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat penurunan fungsi
insulin. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi
insulin oleh sel-sel beta langerhans, kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang
disebabkan oleh pankreas gagal memproduksi insulin atau terjadi disfungsi tubuh
yang tidak bisa menggunakan insulin secara tepat (Adnan dkk, 2013).
5
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus tipe 1 atau biasa disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes
Mellitus) ini ditandai dengan kegagalan produksi insulin atau penghancuran oleh sel-
sel beta pankreas, sehingga Diabetes Melitus tipe 1 ini memerlukan penyuntikan
Dependent Diabetes Mellitus) ini sel beta pankreas masih dapat membuat insulin,
tetapi kualitas insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan baik,
sehingga glukosa dalam darah meningkat. Diabetes Melitus tipe 2 juga terjadi akibat
sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin
(Insulin resistence) sehingga glukosa tidak dapat masuk kedalam sel dan akhirnya
Diabetes Melitus Tipe Gestasional adalah Diabetes Melitus yang muncul pada
tipe 2 (Depkes, 2005). Diabetes Melitus tipe Gestasional ini terdeteksi pada saat atau
setelah trimester kedua, selama kehamilan resistensi insulin tubuh meningkat tiga kali
6
d. Diabetes Melitus Tipe lain
Diabetes Melitus tipe ini disebabkan karena sindrom genetik, penggunaan obat-
kerusakan genetik pada fungsi sel beta, infeksi, penyakit autoimun (ADA, 2010).
3. Diagnosis
penderita DM hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya beberapa gejala yang sering
a. Gejala khas DM terdiri dari poliuria (buang air kecil berlebihan), polidipsi (banyak
minum), polifalgi (banyak makan), penurunan berat badan yang tidak diketahui
penyebabnya.
b. Gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,
gatal, penglihatan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada
wanita.
abnormal hanya dilakukan satu kali sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas Diabetes Melitus, maka diperlukan dua
ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah yang dapat dilihat pada Tabel
1.
7
Tabel. 1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTOG) dengan beban glukosa 75 mg
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut
a. Komplikasi akut
1) Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (<50
mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat
dialami 1-2 kali per minggu, kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan
sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat
mengalami kerusakan.
2) Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat
asidosis.
8
b. Komplikasi Kronis
jantung koroner, gagal jantung kongetif, dan stroke. Walaupun komplikasi ini
sering juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan
1. Defenisi
resistensi atau berkurangnya sensitivitas insulin. Diabetes Melitus tipe 2 ini disebut
sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) karena insulin tetap
dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas. Diabetes Melitus tipe 2 ditandai dengan
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
Diabetes Melitus tipe 2 jauh lebih banyak dibanding DM tipe 1, dari seluruh
kasus DM sekitar 95% adalah DM tipe 2, pada umunya gejala yang dikeluhkan
hampir tidak ada dan penangannya baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika
penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi (Depkes RI, 2005).
Timbulnya DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya hidup yang buruk, seperti
9
kurangnya olahraga, obesitas, dan diet tinggi lemak dan rendah serat. Dalam
hal yaitu :
resistensi insulin.
b. Penurunan kemampuan sel beta pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon
namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal, keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi
insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan,
pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi karena produksi glukosa hepatik yang
berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel. Pada awal perkembangan DM tipe 2,
sel beta menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi
baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas.
Kerusakan sel-sel beta pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
eksogen. Pada penderita DM tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu
10
resistensi insulin dan defisiensi insulin. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM
3. Komorbid DM tipe 2
a. Hipertensi
darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit, hal ini
diakibatkan karena pengangkutan glukosa dalam darah terlalu banyak dan tertimbun
dialiran darah (Fatimah, 2015). Sehingga pada penderita hipertensi harus selalu
b. Dislipidemia
Keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (LDL >250 mg/dl).
Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35
mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes Melitus (Fatimah, 2015). Pada pasien DM
tipe 2 kenaikan LDL disebabkan karena terlalu banyaknya glukosa darah, sehingga
sebagian akan dipecah menjadi lemak, akibatnya lemak akan tertimbun di pembuluh
arteri dan membuat plak-plak dan menjadi menumpuk dan melibihi kadar LDL
normal. Pada DM untuk pencapaian target kadar kolesterol LDL dianjurkan <100
11
4. Faktor Resiko
a. Umur
Kelompok umur <45 tahun merupakan kelompok yang kurang berisiko menderita
DM tipe 2, resiko pada kelompok ini 72% lebih rendah dibanding kelompok umur
≥45 tahun. Peningkatan resiko DM sering terjadi dengan faktor umur, khususnya
pada umur ≥40 tahun, yang disebabkan karena pada umur tersebut mulai terjadi
berkurangnya kemampuan sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Selain itu
pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-
sel otot sebesar 35%, hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot
b. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat
kegemukan dengan IMT >23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah
c. Faktor Genetik
Faktor genetik dapat menjadi penyebab yang penting terhadap kejadian penyakit DM
karena pola keluarga yang kuat mengakibatkan terjadinya kerusakan sel-sel beta
pankreas yang memproduksi insulin, sehingga terjadi kelainan dalam sekresi insulin
12
maupun kerja insulin. Jika terdapat faktor genetik, maka seseorang tersebut memiliki
yang dilakukan sekitar 50% pasien DM tipe 1 mempunyai orang tua yang menderita
dan pekerjaan adalah salah satu hubungan terjadinya kelainan metabolik DM yaitu:
2. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat
3. Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai kantor,
5. Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer dalam
keadaan latihan
6. Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak, tukang gali
e. Faktor Alkohol
Diabetes Melitus, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan
13
f. Faktor merokok
dapat juga menjadi resiko terjadinya sindrom metabolik Diabetes Melitus. Nikotin
yang terdapat dalam asap rokok memiliki pengaruh terhadap terjadinya DM tipe 2,
insulin akibat aktivasi hormon katekolamin, mempengaruhi kerja pada insulin dan
14
Trigliserida tinggi 11,9%
Diet tidak sembang
Mengkomsumsi makan/minum manis lebih dari 1x/hari 53,1%
Mengkomsumsi makan/minum asin lebih dari 1x/hari 26,2%
Mengkomsumsi makan/minum berlemak lebih dari 1x/hari 40,7%
Merokok setiap hari 24,3%
pertama jangka pendek untuk menghilangkan (keluhan dan gejala pada pasien,
1) Diet
15
dan mempertahankan kadar gula darah, lipid, berat badan dalam tingkatan mendekati
normal, mencegah komplikasi akut dan kronis serta meningkatkan kualitas hidup
manajemen diet DM yang tepat untuk mendapatkan kadar gula darah yang terkontrol,
selain juga tentunya latihan fisik dan pengobatan medis, baik oral maupun injeksi
(Rondhianto, 2013).
1. Makanan yang mengandung asupan lemak yang tinggi perlu dibatasi seperti
daging, makanan laut (seafood), produk susu seperti keju dan es krim. Makanan
penganan (snack), makanan yang dipanggang atau dibakar dan makanan olahan
yang banyak mengandung lemak, asupan ini dapat menimbulkan dampak pada
Melitus tipe 2.
3. Asupan karbohidrat selalu dijaga karena efek glikemi yang ditimbulkan cepat pada
2) Olahraga
16
Terapi non farmakologis lainnya yaitu pola olahraga yang disarankan setiap 3-4
per minggu dengan tiap kali olahraga tidak kurang dari 30 menit (dianjurkan untuk
jalan sehat). Hal ini telah sesuai dengan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun
(2015) yang menyatakan bahwa latihan jasmani merupakan salah satu dari empat
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Olahraga yang disarankan adalah
olahraga yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging atau
berenang dan sebaiknya kegiatan jasmani juga disesuaikan dengan umur dan
b. Terapi Farmakologi
Terapi yang diberikan pada pasien DM tipe 2 selain pengaturan pola makan dan
a) Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah obat Diabetes Melitus derivat sulfonamide. Obat ini telah
ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek
17
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua,
b) Meglitinid
Meglatinid ini adalah obat yang menurunkan glukosa darah, obat ini terdiri dari
repaglinid dan nateglinid. Cara kerja obat ini sama dengan sulfonilurea, namun lebih
ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. Obat ini baik untuk mengatasi
a) Biguanid
Senyawa biguanid terbentuk dari dua molekul guanidin dengan kehilangan satu
molekul amonia. Sediaan yang tersedia adalah metformin dan buformin. Derivat
obat-obat tersebut kerjanya tidak melalui perangsangan sekresi insulin tetapi langsung
terhadap organ sasaran. Pemberian biguanid pada orang non diabetik tidak
menurunkan kadar glukosa darah, tetapi sediaan biguanid ternyata menunjukkan efek
(Insulin Like Activity) diplasma, dan secara morfologis sel langerhans juga tidak
glukosa menjadi lemak. Pada penderita diabetes yang gemuk, ternyata pemberian
biguanid menurunkan berat badan dengan mekanisme yang jelas pula, pada orang
non diabetik yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar glukosa
18
darah. Penyerapan biguanid oleh usus baik sekali dan obat ini dapat digunakan
glukosa hati.
serum >1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan
sulfonilurea.
d. Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna seperti mual namun bisa
b) Tiazolidindion
sensitivitas insulin dengan mengaktifkan gen-gen tertentu yang terlibat dalam sintesa
jika digunakan sebagai terapi tunggal. meskipun mereka sering kali diberikan secara
kombinasi dengan sulfonilurea, insulin, atau metformin, jenis sediaan golongan obat
oral yang baru-baru ini dibekukan ijin edarnya baik sediaan tunggal maupun
kombinasi, dengan nama dagang avandia, avandaryl, dan avandamet. Pembekuan ijin
19
edar ini dilakukan karena obat tersebut menyebabkan efek samping kardivaskuler
berupa gagal jantung sehingga resiko roziglitazon jauh lebih besar dari pada
(GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang
kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah
menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat
2014).
Acarbose adalah zat-zat yang bekerja atas dasar persaingan merintangi enzim
dan absorbsinya kedalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga
puncak kadar gula darah dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang
kaya akan serat gizi (Tjay, 2007). Selain itu acarbose ini juga tidak mempunyai efek
samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens (Suzanna, 2014).
20
21
22
23
Monoterapi Metformin
Efek(HbA1C) Tinggi
Hipoglikemik Resiko rendah
Berat badan Netral/kurang
Efek samping GI/Asidosis laktat
Harga Murah
Jika A1C tidak mencapai target setelah 3 bulan monoterapi, lanjutkan kombinasi 2 obat (agar
tidak menunjukan preferensi tertentu (pilihan tergantung pada berbagai faktor spesifik pasien
dan penyakit)
Kombinasi 2 obat
Metformin Metformin Metformin Metformin Metformin Metformin
+ + + + + +
Sulfonilurea TZD Inhibitor DPP IV Inhibitor SGLT2 Reseptor GLP 1 Insulin basal
Jika A1C tidak mencapai target setelah 3 bulan monoterapi, lanjutkan kombinasi 3 obat (agar tidak menunjukan
Kombinasi 3 obat preferensi tertentu (pilihan tergantung pada berbagai faktor spesifik pasien dan penyakit)
Jika AIC tidak mencapai target setelah 3 bulan terapi tiga dan pasien (1) pada kombinasi oral, pindah ke suntik (2)
dari GLP-1-RA, tambahkan insulin basal atau (3) pada insulin basal optimal dititrasi, tambahkan GLP-1-RA atau
insulin waktu makan, pada pasien refrakter mempertimbangkan penambahan TZD atau i-SGLT2.
Kombinasi terapi
Metformin
Insulin +
Basal insulin+Mealtime insulin or GLP-1-RA
24
C. Rasionalitas Penggunaan Obat
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya, dengan dosis yang sesuai, dalam jangka waktu pengobatan
yang cukup dan harga yang terjangkau (Sari EN dan Prawitasari, 2013). Penggunaan
obat yang rasional harus memenuhi kriteria yaitu pemilihan obat yang benar, tepat
indikasi, tepat dosis, tepat pasien, tepat pemberian obat dan ketaatan pasien pada
yang rasional adalah tersedia suatu pedoman atau standar pengobatan yang
1. Tepat Diagnosis
Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit berdasarkan kondisi
medis.
Pemberian obat dikatakan tepat apabila jenis obat yang dipilih berdasarkan
rekam medik dan dibandingkan dengan standar yang digunakan (Sumawa, 2015).
25
4. Tepat Dosis
Pemberian dosis obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian
dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit,
akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil
Cara pemberian obat harus sesuai dengan bentuk dari sediaan obat, kemampuan
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya
4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus
diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan
Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul
pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulnya mual, muntah, gatal-
8. Interaksi Obat
Modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang diberikan bersamaan, akibatnya
efektivitas dan toksisitas suatu obat akan berubah. Sehingga efek yang tidak
26
Berdasarkan penelitian Katarnida tahun (2014) menjelaskan bahwa Badan
dengan cara :
D. Puskesmas
27
2. Puskesmas rawat inap adalah Puskesmas yang diberi tambahan sumber daya untuk
pelayanan kesehatan.
tahun 2012, Kota Kendari memiliki 15 Puskesmas dan 19 Puskesmas pembantu. Pada
Tabel 5 juga dapat dilihat daftar nama Puskesmas di kecamatan di Kota Kendari:
28
Badan Pusat Statistik Kota Kendari tahun (2014) menjelaskan bahwa puskesmas
E. Kerangka Konsep
Rasionalitas Pengobatan
Analisis Data
Hasil
29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Agustus 2017 di
B. Jenis Penelitian
pengambilan data secara retrospektif yakni sumber data yang digunakan adalah
catatan medik pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016,
indikator yaitu tepat obat, tepat dosis dan tepat interval waktu pemberian.
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi
penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosis DM tipe 2 yang menjalani
rawat jalan di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari periode Januari hingga Desember
2. Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.
jumlah sampel sama dengan jumlah populasi, sehingga sampel penelitian adalah
30
3. Kriteria Inklusi
b) Rekam medik pasien DM Tipe 2 dengan penyakit penyerta atau tanpa penyakit
penyerta
4. Kriteria Eksklusi
D. Instrumen Penelitian
Pedoman yang digunakan pada penelitian ini yaitu ADA (2015), Perkeni (2015),
E. Defenisi Operasional
1. Pasien Diabetes Melitus merupakan pasien DM tipe 2 dengan atau tanpa penyakit
Puuwatu Kota Kendari Sulawesi Tenggara tahun 2016 yang berisikan catatan dan
dokumen tentang data umum, terapi yang digunakan, tindakan dan pelayanan lain
31
3. Karakteristik pasien adalah data pasien DM Tipe 2 yang meliputi jenis kelamin,
4. Rasionalitas adalah kesesuaian penggunaan obat meliputi tepat obat, tepat dosis,
dan tepat interval waktu pemberian pada pasien DM Tipe 2 di Puskesmas Puuwatu
5. Tepat obat yaitu bila obat antidiabetik oral yang diberikan kepada pasien memiliki
6. Tepat dosis adalah jumlah atau takaran tertentu dari obat antidiabetik yang
7. Tepat interval waktu pemberian adalah frekuensi pemberian obat terhadap pasien
DM tipe 2.
F. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Studi pendahuluan dilakukan dengan mengumpulkan data berupa buku, jurnal dan
b. Membuat surat izin pengantar pengambilan data awal dari Fakultas Farmasi
Kota Kendari.
c. Melakukan pengambilan data awal dengan melihat laporan kunjungan pasien yang
2016.
32
2. Tahap Pelaksanaan
a. Membuat surat izin pengambilan data awal dari Fakultas Farmasi Universitas Halu
diperoleh dicatat dalam lembar dokumentasi yang meliputi nomor rekam medik,
terapi pengobatan, dosis pengobatan dan aturan pakai obat yang diberikan.
G. Pengelolaan Data
1. Melakukan pemeriksaan ulang kelengkapan data yang diperoleh dari rekam medik
H. Analisis Data
tabel-tabel yang memuat nama pasien, nomor rekam medik pasien, jenis kelamin,
umur, diagnosis, penyakit penyerta atau tanpa penyakit penyerta dan terapi yang
33
diberikan. Rasionalitas penggunaan obat pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas
Puuwatu Kendari Sulawesi Tenggara yang meliputi tepat obat, tepat dosis dan tepat
𝑛
% jenis kelamin = x 100%
𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Keterangan :
Keterangan:
Keterangan:
34
4. Jumlah dan persentase rasionalitas tepat obat:
𝑛
% Tepat obat = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%
Keterangan:
Keterangan:
Keterangan:
35
BAB IV
di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016. Berdasarkan penelitian yang telah
tahun 2016 terdapat 80 kasus penderita DM tipe 2 yang dirawat jalan, data ini
dengan menggunakan metode total sampling yaitu jumlah sampel sama dengan
pembukuan rekam medik sehingga sebagian data hilang. Data yang diambil dari
rekam medik yaitu data karakteristik pasien meliputi (umur, jenis kelamin dan
Instalasi Rawat Jalan di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016, di ketahui
36
Karakteristik Jenis Kelamin
43% laki-laki
57% perempuan
Gambar 4. Persentase jenis kelamin pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
tahu 2016
jumlah persentase pasien wanita sebesar 56,66%, sedangkan jumlah presentase laki-
laki sebesar 43,33%. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Muflihatin dan Rahmat (2016) di Puskesmas Loa kulu Kabupaten Kutai Kartanegara
bahwa pasien DM tipe 2 lebih banyak perempuan (55,3%) dibanding dengan laki-laki
(44,7%). Hasil ini juga diperkuat oleh data Riset Kesehatan Dasar tahun (2013)
Kota Kendari tahun 2016 disebabkan karena secara fisik perempuan memiliki
peluang peningkatan indeks massa tubuh yang lebih besar dibanding laki-laki.
Peningkatan indeks massa tubuh pada perempuan terjadi karena adanya penumpukan
lemak yang berlebihan terutama pada area pinggul dan perut, walaupun laki-laki juga
cenderung terkena DM tipe 2 dan memiliki distribusi lemak pada area perut, namun
37
banyak faktor yang dapat memicu perempuan lebih beresiko terkena DM tipe 2
(Dawn dkk, 2000). Hal ini dijelaskan oleh jelantik (2014) yang menyatakan bahwa
jumlah lemak pada laki-laki dewasa sebesar 15-20% dan pada perempuan sebesar 20-
25%. Terjadinya penumpukan lemak pada perempuan dikarenakan pola makan yang
tidak seimbang dan kurangnya aktivitas fisik, serta adanya penggunaan obat
kontrasepsi oral yang memiliki efek samping meningkatkan berat badan pada
perempuan. Faktor lain karena pasca menopause yang disebabkan oleh hormon
estrogen yang membuat distribusi lemak tubuh pada perempuan menjadi mudah
insulin saat kehamilan di trimester ketiga dan biasanya memberikan dampak jangka
panjang untuk terkena DM tipe 2 setelah melahirkan. Glukosa adalah energi untuk
kebutuhan plasenta dan fetus. Glukosa akan mensuplai plasenta dan fetus dan
diregulasi agar dapat di metabolisme secara konstan, pada proses regulasi petama
adanya peningkatan glukosa dan regulasi yang dilakukan secara terus akan terjadi
intoleransi glukosa dan resistensi insulin, karena adanya peningkatan lemak pada ibu
diproduksi oleh plasenta perempuan hamil menstimulasi sekresi insulin di fetus dan
38
karbohidrat dan lemak pada ibu hamil, tetapi juga mengatur kontrol glukosa, lemak,
protein plasenta yang akan menjadi sumber nutrisi dan energi bagi pertumbuhan
fetus.
2016 dibagi menjadi 2 kelompok golongan usia menurut Profil Kesehatan Indonesia
tahun (2010) usia produktif (15-64 tahun) dan usia tua (>65 tahun). Hasil persentase
Karakteristik Umur
10%
14-64 tahun
> 65 tahun
90%
Gambar 5. Persentase umur pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
tahum 2016
Kendari tahun 2016 menunjukkan bahwa penderita DM tipe 2 dengan umur 15-64
tahun berjumlah 54 orang (90%), sedangkan umur >65 tahun berjumlah 6 orang
(10%). Hasil penelitian ini diperkuat dengan data Riset Kesehatan Dasar tahun (2013)
pada umur >65 tahun cenderung mulai menurun, pernyataan ini dibenarkan dari data
39
yang menyebutkan bahwa penderita DM tipe 2 dengan umur 20-64 tahun sebanyak
320,5 juta orang dan 94,2 juta orang yang berumur >65tahun.
Tingginya penderita DM Tipe 2 pada usia 15-64 tahun diperkiran, karena pada
usia ini secara fisik dan biologis sudah memiliki kemampuan untuk bekerja, sehingga
aktivitas yang dilakukan akan lebih padat dan memicu timbulnya stres berlebih yang
akan mengakibatkan fungsi organ tubuh yang lain terganggu. Ketika stres muncul,
kelenjar adrenal akan dipacu untuk mengasilkan hormon adrenalin, hormon ini juga
akan memberikan sinyal pada hormon kotisol (hormon stres) mempunyai efek
memacu kenaikan kebutuhan kadar glukosa darah. kortisol yang dipacu terus menerus
maka sel beta pankreas akan mengalami penurunan fungsi kerja dalam menghasilkan
insulin, sehingga produksi insulin menurun, tetapi kadar glukosa darah tetap
Berdasarkan faktor resiko DM tipe 2 pada umur >45 tahun. maka jumlah pasien
yang mengidap DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 yang
berumur >45 tahun sebanyak 53 pasien (88,33 %). Terjadinya DM tipe 2 pada usia ini
karena penurunan fungsi organ tubuh dan terjadinya resitensi insulin yang
diakibatkan oleh kurangnya massa otot, serta adanya perubahan neurohormonal yang
40
2006). Kelebihan lemak dan kurangnya aktivitas fisik, serta dampak dari pola hidup
yang tidak sehat akibat merokok, mengkomsumsi alkohol dan makanan yang
mengandung glukosa tinggi juga menjadi peluang besar mengidap DM tipe 2 pada
yang diderita pasien selain DM tipe 2. Jumlah dan persentase penyakit penyerta pada
penderita DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan persentase penyakit penyerta pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas
Puuwatu Kota Kendari tahun 2016
Penyakit penyerta Jumlah (n) Persentase (%)
DM Tanpa penyakit penyerta 20 33,33
DM + Hipertensi 15 25
DM + Gout 9 15
DM + Hiperkolesterol 6 10
DM + Dispepsia 5 8,33
DM + Hipertensi + Gout 2 3,33
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol 1 1,66
DM + Gout + Hiperkolesterol 1 1,66
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol + Gout 1 1,66
Total 60 100%
41
adalah tekanan darah sistolik ≤ 140 mmHg dan tekanan diastolik ≤90 mmHg (Depkes
RI, 2005). Penyakit Diabetes Melitus dengan kadar gula yang tinggi akan merusak
organ tubuh yang lainnya. Karena pada penderita pasien DM tipe 2 insulin yang
dihasilkan oleh sel beta pankreas terbatas, maka kadar glukosa semakin menumpuk
dalam aliran darah dan tidak dapat dikontrol, akibatnya dinding arteri akan rusak dan
terjadi penyempitan pembuluh darah, secara langsung tekanan darah akan meningkat.
meningkat sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri dan akan
Kendari tahun 2016 adalah gout yang berjumlah 9 orang (15 %). Gout timbul karena
tingginya kadar asam urat yang melebihi diatas normal (>7 mg untuk laki-laki dan >6
mg untuk perempuan), sehingga akan terjadi timbunan asam urat serum dalam bentuk
garam menjadi kristal monosodium urat pada jaringan, akibatnya kristal monosodium
2015). Kemungkinan kecil hubungan gout terkait dengan DM tipe 2 terjadi karena
proses ekskresi keduanya yang terletak di ginjal. Glukosa akan di ekskresi secara
terus menurus oleh ginjal, akibatnya ginjal akan mengalami penurunan fungsi karena
kadarnya berlebihan maka ginjal akan kesulitan untuk mengeluarkannya dari tubuh
42
melalui urin, akibatnya monosodium urat menumpuk dalam darah yang menyebakan
terjadinya gout.
berkaitan. Dalam keadaan normal glukosa yang dimakan akan mengalami proses
metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, sebagiannya akan diubah menjadi
glikogen dan akan diubah dalam bentuk asam lemak. Asam lemak ini akan disimpan
dalam bentuk trigliserida dan kolesterol dalam jaringan adiposa (Gunawan, 2012).
Jika keadaan tidak normal pada pasien Diabetes Melitus tipe 2, glukosa darah yang
berlebihan akan diubah terus menerus menjadi asam lemak dalam bentuk trigliserol
dan kolesterol, sehingga akan terjadi penumpukan dalam jaringan adiposa yang
melebihi batas normal LDL (>100 mg). Kolesterol akan lebih meningkat, jika pasien
DM Tipe 2 tidak mengatur pola makan yang sehat dan olahraga secara teratur karena
karborhidrat yang dikomsumsi dengan tidak teratur akan diubah secara terus menerus
menjadi lemak.
(8,33%). Dispepsia salah satu gangguan saluran cerna yang sering ditemui oleh
penderita Diabetes Melitus, hal ini diduga berkaitan dengan terjadinya neurogenik
dari saluran cerna atau terjadi motalitis lambung yang memicu terjadinya dispepsia
(Abdullah dan Jefri, 2012). Selain itu dispepsia mungkin disebabkan karena pada
pasien DM tipe 2 yang sering merasa lapar (polifagi), sehingga makan yang tidak
43
pada lambung. Penggunaan efek samping pada obat-obat antidiabetes seperti
Rasionalitas penggunaan Antidiabetes meliputi tepat obat, tepat dosis dan tepat
setiap kondisi pasien seperti umur, penyakit penyerta, maupun terapi yang diberikan.
Penilaian ini disesuaikan dengan melihat pedoman yang digunakan untuk pasien DM
Tabel 7. Ketepatan obat antidiabetes pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu kota
Kendari Tahun 2016
Penilaian ketepatan obat
Obat antidiabetes Tidak tepat obat Tepat obat
n % n %
Metformin 8 13,33 14 23,33
Glibenklamid 12 20 6 10
Metformin dan glibenklamid 13 21,66 7 11,66
Total 33 54,99 27 44,99
44
Berdasarkan data penilaian ketepatan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu
tepat obat. Ketepatan penggunaan antidiabetes yang paling banyak digunakan adalah
pemberian antidiabetes yang tidak sesuai dengan pedoman yang digunakan dan
obat, harga, dan pemilihannya harus didasarkan pada kebutuhan setiap penyandang
2016 dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya pada beberapa kasus di Puskesmas
Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 terdapat kasus pasien yang melakukan
pemeriksaan awal glukosa darah sewaktu >300 mg/dL yang diberikan kombinasi
glibenklamid dan metformin dan metformin tunggal. Pemberian terapi tersebut tidak
efektif dan target kadar glukosa darah yang di harapkan akan lama tercapai, sehingga
perlu adanya penambahan kombinasi insulin. Rekomendasi ini telah sesuai dengan
American Diabetes Assocation (ADA) tahun (2015) yang menyatakan jika awal
pengobatan dengan glukosa darah >300-350 mg/dL (A1c >12%) diberikan terapi
45
kombinasi insulin dan pemberian kombinasi 2 obat jika pengobatan awal dilakukan
Kasus lain pada pasien yang berumur >65 tahun dengan glukoda darah sewaktu
<250 mg/dL yang diberikan terapi glibenklamid tunggal dikategorikan tidak tepat
obat, karena efek dari glibenkalmid yang dapat menyebabkan hipoglikemik. Menurut
glibenklamid pada usia lanjut perlu dihindari, karena pada usia lanjut penurunan
fungsi organ mulai menurun terutama organ ginjal dan hati, akibatnya dapat
Kasus lain di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 adanya pemberian
glibenklamid tunggal dengan kadar glukosa darah <150 mg/dL di nilai tidak tepat
obat karena glibenklamid tunggal belum direkomendasikan untuk pasien yang baru
menjalankan terapi awal dan efek dari glibenklamid juga dapat menyebabkan
dapat memperburuk keadaan pasien yang dapat menimbulkan masalah penyakit lain.
sehingga pemilihan obat metformin yang memiliki efek samping yang rendah sangat
direkomendasikan untuk pasien dengan kadar glukosa darah <212 mg/dL. Beberapa
kolesterol total sehingga hal ini juga terbukti mempunyai efek mengurangi
46
2. Rasionalitas Penggunaan Obat Berdasarkan Ketepatan Dosis
Dosis obat merupakan banyaknya suatu obat yang diberikan kepada pasien
pasien. Penilaian ketepatan dosis pada pasien di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
Tabel 8. Ketepatan dosis antidiabetes pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota
Kendari tahun 2016
Penilaian ketepatan dosis
Obat antidiabetes Tidak tepat dosis Tepat dosis
n % n %
Metformin - - 21 35
Glibenklamid 4 6,66 17 28,33
Metformin dan glibenklamid 3 5 15 25
Total 7 11,66 5 88,33
Pemberian terapi obat memerlukan dosis permulaan (dosis awal) dan dosis
pemeliharaan. Pemberian dosis obat harus sesuai dengan kondisi dan umur pasien
terutama pada pasien lanjut usia, seiring penurunan fungsi organ pada lansia,
sehingga perlu adanya perhatian khusus dalam pemberian dosis pada lansia. Menurut
Profil Kesehatan Indonesia tahun (2013) dikatakan lanjut usia apabila berumur >60
tahun. Sehubungan hal ini pemberian dosis obat yang tepat akan memberikan efek
usia >60 tahun (Lanjut usia) dengan pengobatan awal diberikan 1,25-2,5 mg/hari..
Dari semua kasus yang telah diambil dari rekam medik, semua pasien diberikan
47
tersedia hanya glibenklamid 5 mg. Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Puuwatu
Kota Kendari tahun 2016 terdapat 4 pasien berumur >60 tahun yang diberikan dosis 5
mg/hari dikatakan tidak tepat dosis. Penilaian glibenklamid pada kasus ini
dikategorikan tidak tepat obat karena jika pemberian dosis berlebih pada lanjut usia
memiliki resiko lebih besar untuk mengalami efek obat yang merugikan dan efek dari
pasien mengalami peningkatan yang tinggi pada awal pemeriksaan, seharusnya tetap
diberikan 1,25-2,5 mg glibenklamid pada pada pasien yang berusia >60 tahun, karena
organ tubuh pada pasien usia tua sudah mengalami penurunan dan kerja organ mulai
lambat, sehingga masalah organ lain akan terganggu jika diberikan dengan dosis
tinggi.
glibenklamid pada usia muda <60 tahun dengan pengobatan awal yang diberikan
dosis glibenklamid 2,5-5 mg dan dosis metformin 250 mg 2 kali sehari. Pada
penelitian ini terdapat 3 pasien yang berusia <60 tahun yang diberikan 5 mg/hari
dosis glibenklamid dan dosis metformin 500 mg 2 kali sehari dikatakan tidak tepat
dosis. Sebagian pasien yang tertulis pada data rekam medik setiap pasien yang
Puuwatu Kota Kendari 2016, hal ini membuktikan bahwa hanya tersedia metformin
500 mg, seharusnya dapat diberikan ½ tablet namun pemberian ini dapat terjadi
Puskesmas Puuwatu Kota Kendari, serta pemberian 500 mg tidak dapat diberikan
48
karena pada kasus ini pasien diberikan kombinasi bersama dengan glibenklamid yang
Pemberian
Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 disesuaikan dengan pedoman yang digunakan.
Ketepatan interval waktu pemberian pada Tabel 9 dilakukan pada semua pasien yang
2016, terdapat 4 pasien yang tidak sesui dengan pedoman standar yang digunakan
Puskesmas Puuwatu terdapat 3 pasien dengan kasus yang sama dengan pengobatan
awal diberikan metformin 500 mg sekali sehari, penilaian ini dilakukan pada pasien
yang baru di diagnosis menderita Diabetes Melitus tipe 2 dengan kadar glukosa yang
tidak terlalu tinggi yaitu <200 mg/dL dikategorikan tidak tepat interval waktu
pemberian. Hal ini disebabkan karena jika awal pengobatan diberikan 1x1 capaian
49
target kadar glukosa dapat tidak tercapai atau bahkan jika pasien diberikan 3x1 dapat
pasien yang melakukan pengobatan awal harus diberikan terapi awal metformin 500
mg 2 kali sehari.
glibenklamid pada usia <60 tahun 2,5-5 mg/hari. Pada penelitian di Puskesmas
kali sehari. Pemberian glibenklamid 2 kali sehari pada pasien ini dikategorikan tidak
tepat karena terapi awal pada pasien ini seharusnya diberikan dengan interval waktu
pemberian rendah, namun jika selanjutnya keadaan pasien belum membaik maka
interval waktu pemberian harus ditingkatkan. Hal ini juga karena efek samping dari
pemberian setiap obat yang digunakan memiliki masing-masing efek samping yang
berbeda, karena jika interval waktu pemberian melebihi yang disarankan maka efek
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
93,33 %.
B. Saran
memenuhi tepat obat, tepat dosis dan tepat interval waktu pemberian, sehingga
51
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M., dan Jefri, G., 2012, Dispepsia, CDK-197. Vol 39 (9).
Adnan, M., Tatik, M, dan Joko, T, I., 2013, Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Melitus (DM) tipe 2 Rawat
Jalan di RS Tugurejo Semarang, Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang, Vol. 2 (1).
Ario, M, D., 2014, Pengaruh Nikotin dalam Rokok pada Diabetes Melitus Tipe 2, J
Majority, Vol. 3 (7).
Azrimaidaliza, 2011, Asupan Zat Gizi Dan Penyakit Diabetes Mellitus, Jumal
Kesehatan Masyarakat, Vol. 6 (1).
Badan Pusat Statistik Kota Kendari, 2014, Kecematan Puuwatu dalam Angka 2014,
Badan Pusat Statistik Kota Kendari
BPOM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesi, Jakarta.
BPOM RI, 2009, Diabetes Melitus dalam Informasi Produk Terapetik, Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesi, Jakarta.
BPOM RI, 2010, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HM 04.01.1.23.09.10.9076 Tentang Pembekuan Izin Edar
Avandia, Avandaryl, dan Avandamet, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesi, Jakarta.
52
Charles, F., Lora., Leonardo G., 2012, Drug Information Handbook 20th edition,
American Pharmacist Association, Lexicomp Drug Reference Handbook,
USA.
Dawn B. Marks PhD., Allan D. Marks MD and Colleen M. Smith PhD., 2000,
Biokimia Kedokteran Dasar, Jakarta.
Deasy, A., 2015, Pengaruh Terapi Pijat Terhadap Derajat Neuropati Diabetikum,
Jurnal Keperawatan Aisyiyah, Vol. 2 (2).
Dipiro, T.J., Talbert, L.R., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posoy, L.M.,
2008, Pharmacotherapy, A pathophysiologyc Approach, 8ed.,, Mc Graw Hill
Companies, USA.
Hermanto, Sony W., dan Banjarnahor., 2012, Korelasi Antara Homa-IR Ibu Diabetes
Melitus Gestasional Trimester Tiga dengan Luaran Maternal dan Neonatal,
Obstetri dan Ginekologi, Vol. 20 (3).
53
IDF, 2015, IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International Diabetes Federation 2015.
Katarnida, S, S., Dewi M., dan Yusticia K., 2014, Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Secara Kualitatif di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta, Jurnal Sari
Pediatri, Vol. 15 (6).
Keban, S.A., dan Ulfa, A.R., 2016, Hubungan Rasionalitas Pengobatan dan Self-care
dengan Pengendalian Glukosa Darah pada Pasien Rawat Jalan di Rumah
Sakit Bina Husada Cibinong, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol. 14
(1).
Kristina, S, A., Yayi S, P., dan Riswaka S., 2008, Perilaku pengobatan sendiri yang
rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten
Sleman, Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 19 (1).
Lestari, U., Deswinar, D, dan Lusiana, E., 2011, Pola Pengobatan pada pasien
Hipertensi dengan Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Raden Mattaher Jambi,
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 16 (2).
Linnisaa, U, H., dan Susi E, W., 2014, Rasionalitas Peresepan Obat Batuk
Ekspektoran Dan Antitusif Di Apotek Jati Medika Periode Oktober-
Desember 2012, Indonsian Journal on Medical Science, Vol. 1 (1).
54
Listiana, S, A., Didik, S, dan Susanti, 2012, Identifikasi Permasalahan Dosis dan
Interaksi Obat pada Pasien Askes dan Umum Penderita Epilepsi di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarno Purwekerto, Pharmacy, Vol. 9 (2).
Muflihatin, S, K., dan Rahmat, I, S., 2016, Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang
Senam Kaki Diabetik Dengan Aktivitas Senam Kaki Diabetik Untuk
Mencegah Ulkus Diabetik Pada Penderita Diabetes Melitus di Wilayah Kerja
Puskesmas Loa Kulu, Ilmu Kesehatan, Vol. 4 (2).
Munarsih, C, F., Meila, O., dan Ramadhani, F., 2017, Evaluasi Penggunaan Obat
dengan Indikator Prescribing Pada Puskesmas Wilayah Kota Administrasi
Jakarta Barat Periode Tahun 2016, Journal Social Clinical Pharmacy
Indonesia, Vol. 2 (1).
Nainggolan, O., Yudi, K., dan Hendrik, E., 2013, Determinan Diabetes Melitus
Analisis Baseline Data Studi Kohort Penyakit Tidak Menular Bogor 2011,
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 16 (3).
Njoto, E, N., 2014, Target Tekanan Darah Pada Diabetes Melitus, CDK-222, Vol. 41
(11).
Nurhayati, M., 2016, Peran Tenaga Medis dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat di
Puskesmas Pembantu LinggangAmer Kecematan Linggang Bigung
Kabupaten Kutai Barat, Jurnal Ilmu administrasi Negara, Vol. 4 (1).
Paputungan, S, R., Harsinen, S., 2014, Peranan Pemeriksaan Hemoglobing A1c pada
Pengelolaan Diabetes Melitus, CDK-220, Vol. 41 (9).
Pratiwi, P., Gustop, A., dan Mashaurani, Y., 2014, Pengaruh Stres Terhadap Kadar
Gula Darah Sewaktu Pada Pasien Diabetes Melitus Yang Menjalani
Hemodialisa, Jurnal Kesehatan, Vol. V (1).
55
Rochma, W., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 3. Jakarta.
Salistyaningsih, W., Theresia, P., dan Dwi, K, N., 2011, Hubungan Tingkat
Kepatuhan Minum Obat Hipoglikemik Oral dengan Kadar Glukosa darah
pada Pasien Diabetes Melitus, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 27 (4).
Sari EN, dan Parwitasari, 2013, Rasionalitas Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 di
RSUP Dr. Sardjito dan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Jurnal
Farmasain,Vol. 2 (2).
Suhaema., Ni Ketut S, S., dan Tira S., 2015, Gambaran riwayat pola makan dan Tipe
2 rawat jalan peserta jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) Di rumah
sakit umum daerah kota mataram, Jurnal Kesehatan Prima, Vol. 9 (1).
Suzanna, N., 2014, Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini, Medicinus, Vol.
27 (2).
Tjay, T, H, dan Kirana, R., 2007, Obat-Obat Penting Edisi Ke Enam, Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Tobat, S, R., Husni M., dan Ida H, D, P., 2015, Rasionalitas Penggunaan Antibiotika
Pada Penyakit Ispa Di Puskesmas Kuamang Kuning I Kabupaten Bungo,
Scientia, Vol. 5 (2).
Trisnawati, S, K, dan Soedijono, S., 2013, Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus
Tipe 2 di Puskesmas Kecematan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012,
Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 5 (1).
Wahyuni, S., dan Raihana N, A., 2013, Diabetes Melitus pada Perempuan Usia
Reproduksi di Indonesia, Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol. 3 (1).
Wicaksono, 2013, Diabetes Melitus Tipe 2 Gula Darah Tidak Terkontrol dengan
Komplikasi Neuropati Diabetikum, Medula, Vol. 1 (3).
Wiyono, P, dan Ignatia, S, M., 2004, Glimepiride Generasi Baru Sulfonilurea, Dexa
Medica, Vol. 2 (17).
56
57
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
Lampiran 2. Hasil Penilaian Rasionalitas Obat Pada Pasien DM Tipe 2
Kerasionalan pengobatan
Ket
Nomor Rekam Nama Umur/Jenis
No Terapi Pengobatan Tepat Obat Tepat Dosis Tepat interval
Medik Pasien Kelamin
Waktu
pemberian
1. 1666 AMN 55 Th/L Glibenklamid5 mg/1x1 TR R R PB
67
14. 438 SKM 48 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PL
68
28. 540 FRD 51 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PL
69
41. 1145 ARF 55 TH/L Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB
Glibenklamid 5 mg/1x1
70
53. 258 PTS 48 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL
Metformin 500 mg/2x1
Keterangan
L ; Laki-laki
P : Perempuan
R : Rasional
TR : Tidak Rasional
PB : Pasien Baru
PL : Pasien Lama
71
Lampiran 3. Analisis Data
n
Rumus : % jenis kelamin = x 100%
sampel
26
Laki-laki = x 100%
60
= 43,33 %
34
Perempuan = x 100%
60
= 56,66 %
𝑛
Rumus : % umur = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%
54
Umur 15-64 tahun = x 100 %
60
= 90%
72
6
Umur >65 Tahun = 60 x 100%
= 10 %
𝑛
Rumus : % Penyakit penyerta = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%
20
DM tanpa Penyakit Penyert𝐚 = 60 x 100%
= 33,33 %
15
DM + Hipertensi = 60 x 100%
= 25 %
9
DM + Gout = x 100%
60
= 15 %
2
DM + Hipertensi + Gout = 60 x 100%
73
= 3,33 %
6
DM + Hiperkolesterol = 60 x 100%
= 10 %
8
DM + Dispepsi = 60 x 100%
= 8, 33 %
1
DM + Gout + Hiperkolesterol = x 100%
60
= 1,66 %
1
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol = 60 x 100%
= 1,66 %
1
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol + Gout = 60 x 100%
= 1,66 %
n
Rumus : % Tepat Obat = x 100%
sampel
27
% Tepat Obat = 60 x 100%
74
= 44,99%
33
% Tidak Tepat Obat = 60 x 100%
= 54,99%
2. Tepat Dosis
Penilaian ketepatan dosis
Obat antidiabetes Tidak tepat dosis Tepat dosis
n % n %
Metformin - - 21 35
Glibenklamid 4 6,66 17 28,33
Metformin + glibenklamid 3 5 15 25
Total 7 11,66 5 88,33
n
Rumus : % Tepat dosis = x 100%
sampel
5
% Tepat Dosis = x 100%
60
= 88,33%
7
% Tidak Tepat Dosis = x 100%
60
= 11,66%
75
n
Rumus : % Tepat inerval pemberian = x 100%
sampel
56
% Tepat Interval waktu Pemberian = x 100%
60
= 58,06%
4
% Tidak Tepat Interval Waktu Pemberian = 29 x 100%
= 6,66%
76