Anda di halaman 1dari 93

Skripsi

RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DIABETES


MELITUS (DM) TIPE 2 DI PUSKESMAS PUUWATU KOTA KENDARI
SULAWESI TENGGARA TAHUN 2016

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


mencapai derajat sarjana (S-1)

Oleh :

Mutmainnah
F1F1 13 035

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi

Rasionalitas Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 Di


Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Sulawesi Tenggara Tahun 2016

Diajukan oleh :

Mutmainnah
F1F113035

Telah Disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Henny Kasmawati, S.Farm., M.Si., Apt. Mentarry Bafadal, S.Farm., M.sc


NIP. 19840327 200812 2 001 NIP.

Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi,

Nur Illiyyin Akib, S.Si., M.Si., Apt.


NIP. 19810319 200801 2 006

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat Rahmat dan

Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Rasionalitas Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 Di

Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Sulawesi Tenggara Tahun 2016”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak mengalami

kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah

dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga khususnya kepada kedua orang

tua penulis ayah tercinta Sudirman dan Ibu tercinta Hj. Muhajira atas segala

pengorbanan, doa yang tiada henti, dukungan, semangat, perhatian, nasehat, cinta dan

kasih sayang serta ketabahan dalam mendidik penulis yang takkan bisa penulis balas.

Terima kasih kepada Ibu Henny Kasmawati, S.Farm., M.Si., Apt. selaku

pembimbing I dan Ibu Mentarry Bafadal, S.Farm., M.sc selaku pembimbing II

yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan pengarahan

kepada penulis selama penyelesaian skripsi.

iii
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Halu Oleo

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.

3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara.

4. Kepala Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi

Sulawesi Tenggara.

5. Ketua Jurusan Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.

6. Ibu Andi Nafisah Tendri A., S.Farm., M.Sc. selaku Penasehat Akademik.

7. Bapak Sabarudin, S.Farm., M.Si., Apt., Ibu Rini Hamsidi, S.Farm., M.Farm.,

Apt., dan Ibu Sandra Aulia Mardikasari, S.Si., M.Farm., Apt. selaku dewan

penguji yang telah banyak memberikan arahan dan saran kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi.

8. Bapak dan Ibu Dosen, serta seluruh staf Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo

atas segala fasilitas dan pelayanan yang diberikan.

9. Kakak penulis Muarni, S.Pd., Musdar, S.Pd., Muliani, Munawwara, S.Pd.,

Musnaeni, S.Keb., dan adik penulis Ni’Matuzzahra terima kasih atas segala doa,

dukungan, motivasi dan semangatnya yang telah diberikan.

10. Sahabat paling terdekat dan tersayang Ayu Yuliana dan Nurfitri gomul terima

kasih atas segala bantuan, doa, waktu, dukungan, motivasi, semangat, canda

tawa, dan kebersamaan dalam suka maupun duka.

iv
11. Sahabat-sahabat kesayangan Citrawana B.ladjamu, Fitriani Sonaru, Hikmah

Satriani, Isna Wahyuni, Melisa Ardianti, Nadia Pratiwi, Fitra Alimin, Guslini

dan Rahmat Ramadhan terima kasih atas segala bantuan, dukungan, semangat,

canda tawa, dan waktunya selama ini.

12. Teman terdekat, Reni Rosita Anwar, Hira Apriana, Serly, Viarny dan

Nurfadillah terima kasih atas bantuan dan waktunya.

13. Sepupu seperjuanganku, Khaeril Aslamiah Fahri terima kasih atas doa dan

dukungannya, semoga penelitiannya juga berjalan lancar.

14. Teman-teman setarbiyah Kak linda, Susan, Lina, Lia, Misra, Aisyah, Indah,

Leni, Musdalifah, Rara, dan Fitra terima kasih selama ini memberikan dukungan

dan doanya.

15. Teman-teman Farmasi Kelas A angkatan 2013 terima kasih, dukungan semangat

dan kekompakannya selama 8 semester.

16. Teman-teman angkatan 2013 terima kasih atas kekompakannya.

17. Teman-teman sepenelitian Dian, Opi, Hasfia, Linda, Engkong, Fia, Kia, dan

Rara terima kasih atas semangat dan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.

18. Kakak-kakak senior Loly Subhiaty Idrus atas saran dan waktu untuk penulis

serta adik-adik junior Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo terima kasih atas

semangatnya.

Akhirnya penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada semua pihak. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi

v
ini oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan

kedepannya. Semoga Allah SWT memberi taufik-Nya kepada kita semua dan

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Kendari, Oktober 2017

Mutmainnah

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
DAFTAR LAMBANG DAN ARTI xii
ABSTRAK xiv
ABSTRACT xv

BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5


A. Diabetes Melitus 5
1. Defenisi 5
2. Klasifikasi Diabetes Melitus 6
3. Diagnosis 7
4. Komplikasi Diabetes Melitus 8
B. Diabetes Melitus Tipe 2 9
1. Defenisi 9
2. Patofisiologi DM tipe 2 10
3. Komorbid DM tipe 2 11
4. Faktor Resiko 12
5. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 15
C. Rasioanalitas Penggunaan Obat 25
D. Puskesmas 27
E. Kerangka Konsep 29

BAB III. METODE PENELITIAN 30


A. Waktu dan Tempat Penelitian 30
B. Jenis Penelitian 30
C. Populasi dan Sampel Penelitian 30
D. Instrumen Penelitian 31
E. Defenisi Operasional 31
F. Prosedur Penelitian 32

vii
G. Pengelolaan Data 33
H. Analisis Data 34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 36


A. Proses Pengambilan Data 36
B. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 36
1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin 36
2. Karakteristik Berdasarkan Umur 39
3. Karakteristik Berdasarkan Penyakit Penyerta 41
C. Rasionalitas Diabetes Melitus tipe 2 43
1. Ketepatan obat 44
2. Ketepatan Dosis 46
3. Ketepatan interval waktu pemberian 49

BAB V. PENUTUP 51
A. Kesimpulan 51
B. Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 52

viii
DAFTAR TABEL

No Teks Halaman
1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus 8

2. Persentase Penduduk Indonesia dengan Faktor Resiko Diabetes 14


Melitus

3. Target Kontrol Glikemik 15

4. Penggunaan Obat Antidiabetik Oral untuk Pasien DM Tipe 2 21

5. Puskesmas Kecamatan di Kota Kendari 28

6. Jumlah dan persentase penyakit penyerta pada pasien DM tipe 2 di 41


Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Tahun 2016

7. Ketepatan obat antidiabetes pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas 44


Puuwatu Kota Kendari tahun 2016

8. Ketepatan dosis antidiabetes pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 46


di Puskesmas Puuwatu kota Kendari tahun 2016

9. Ketepatan interval waktu pemberian antidiabetes pada pasien DM 49


tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016

ix
DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman
1. Alogaritma pengobatan DM tipe 2 24

2. Pemetaan wilayah Kecamatan Kota Kendari 28

3. Kerangka Konsep 29

4. Persentase jenis kelamin pasien DM tipe 2 di Puskesmas 37


Puuwatu Kota Kendari tahun 2016

5. Persentase umur pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu 39


Kota Kendari tahun 2016

x
DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman
1. Lembar Dokumentasi Data Primer 57

2. Hasil Penilaian Rasionalitas Obat Pada Pasien DM tipe 2 67

3. Analisis Data 72

xi
DAFTAR LAMBANG DAN ARTI

ADA : American Diabetes Association

DM : Diabetes Melitus

Depkes : Departemen Kesehatan

DHES : Dehydroepandrosteron

Dinkes : Dinas Kesehatan

DIH : Drug Information Handbook

DPP-IV : Inhibitor Dipeptidil Peptidase-IV

GDM : Gestational Diabetes melitus

GLP-1 : Glukagon-like-peptide-I

HbA1C : Hemoglobin A1C

HDL : High Density Lipoprotein

IDDM : Insulin Dependent Diabetes Mellitus

IDF : Indonesian Diabetes Federation

IGF-1 : Insulin-like growt factor-1

ILA : Insulin like Activity

IMT : Indeks Massa Tubuh

KHNK : Koma Hiperosmoler Non Ketotik

LDL : Low Density Lipoprotein

MmHg : Millimeter Hydrargyrum

NIDDM : Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus

xii
OHO : Obat hipoglikemik oral

Perkeni : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan

Riskesdas ; Riset Kesehatan Dasar

TZD : Tiazolidindion

WHO : World Health Organization

xiii
RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DIABETES
MELITUS (DM) TIPE 2 DI PUSKESMAS PUUWATU KOTA KENDARI
SULAWESI TENGGARA TAHUN 2016

Mutmainnah
F1F1 13 035

ABSTRAK

Diabetes Melitus merupakan penyakit metabolik tidak menular yang ditandai


dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemik) melebihi batas normal
akibat kurangnya sekresi insulin. Angka kejadian Diabetes Melitus setiap tahun terus
meningkat baik di dunia maupun di Indonesia, sedangkan di Sulawesi Tenggara
jumlah penyandang DM pada tahun 2014 sebanyak 2.768 kasus dan tahun 2015 naik
dengan jumlah kasus sebanyak 3.206. Populasi DM dengan angka kejadian tertinggi
adalah DM tipe 2 sebanyak 95 %. Tingginya angka kejadian DM tipe 2 disebabkan
karena adanya faktor resiko seperti umur, aktivitas fisik, jenis kelamin, kebiasaan
merokok, konsumsi alkohol dan baru diketahui jika sudah terjadi komplikasi,
sehingga perlunya pemilihan obat yang tepat untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM tipe 2. Pemilihan obat DM tipe 2 yang baik sangat penting dilakukan
untuk meningkatkan keberhasilan terapi agar efek terapi yang diberikan dapat
optimal, terutama pemilihan obat di pelayanan tingkat pertama yaitu puskesmas.
Pemilihan ini dilakukan dengan cara memperhatikan rasionalitas penggunaan obat
DM tipe 2 meliputi tepat obat, tepat dosis dan tepat interval waktu pemberian. Tujuan
dari penelitian ini untuk mengetahui rasionalitas penggunaan obat Diabetes Melitus
tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016. Penelitian ini dilakukan di
Puskesmas Puuwatu pada bulan April-September. Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif non eksperimental dengan pengambilan data secara retrospektif
yakni sumber data yang digunakan adalah catatan rekam medik periode januari-
desember tahun 2016. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan total
sampling dengan jumlah 60 sampel. Hasil penelitian di Puskesmas Puuwatu Kota
Kendari tahun 2016 penyandang DM tipe 2 berdasarkan jenis kelamin terbanyak
pada perempuan (57%) dan laki-laki (43%), sebanyak 90 % pada umur 15-64 tahun,
dan penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi, sedangkan rasionalitas
Penggunaan Obat DM tipe 2 di peroleh rasionalitas penggunaan obat berdasarkan
tepat obat sebanyak 27 pasien (44,99%), tepat dosis sebanyak 53 pasien (88,33%),
dan tepat interval waktu pemberian sebanyak 56 pasien (93,33%).

Kata kunci : Diabetes Melitus, Rasionalitas Penggunaan Obat DM tipe 2, Puskesmas

xiv
RATIONALITY OF THE DRUG USE IN PATIENTS WITH TYPE 2
DIABETES MELLITUS (DM) AT PUSKESMAS PUUWATU KENDARI
SOUTHEAST SULAWESI IN 2016

Mutmainnah
F1F1 13 035

ABSTRACT

Diabetes Mellitus is a non-communicable metabolic disease characterized by elevated


blood glucose levels (hyperglycemic) beyond the normal limit due to lack of insulin
secretion. The incidence of Diabetes Mellitus each year continues to increase and is
the cause of death to the order of the 7th. Population Diabetes Mellitus with the
highest incidence rate is type 2 diabetes mellitus as much as 95%. Type 2 Diabetes
Mellitus is usually caused by age, physical activity, gender, smoking, alcohol
consumption and newly known if complications occur, so the need for proper drug
selection to decrease the morbidity and mortality of type 2 diabetes mellitus.
Antidiabetic drugs commonly used are biguanid, sulfonylurea, thiazolidindion, IV-
dipeptidyl peptidase inhibitors and alpha glucosidase. Selection of Type 2 Diabetes
Mellitus drugs need good handling by taking into account the rationality of drug use
Type 2 diabetes mellitus includes appropriate drug, appropriate dose and appropriate
interval of time of administration. Rational use of drugs is very important to improve
the success of therapy so that the therapeutic effect can be optimized, especially at
puskesmas service. Puskesmas is a health service facility that organizes individual
health efforts of the first level, with priority promotive and preventive efforts. This
study aims to determine the rationality of drug use Type 2 diabetes mellitus at
Puuwatu Health Center Kendari City in 2016. This research was conducted by non
descriptive experimental research method with retrospective retrieval data ie data
source used is medical records from January to December 2016. The research was
conducted on 60 medical records in the diagnosis of type 2 diabetes mellitus. The
results obtained at Puuwatu Public Health Center of Kendari City in 2016 showed
that the rationality of drug use based on the exact medicine as many as 27 patients
(44.99%), the exact dose of 53 patients (88 , 33%), and appropriate interval of time of
giving as many as 56 patient (93,33%).

Keywords: Diabetes Mellitus, Rationality of Drug Use DM type 2, Puskesmas

xv
ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan

peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia), disertai adanya kerusakan sekresi

insulin dan kerusakan fungsi insulin. Penderita DM bukan hanya golongan

masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas, tetapi masyarakat dengan ekonomi

lemah pun mulai mengalami kelainan metabolik ini (Suhaemi dkk, 2015). Diabetes

Melitus saat ini menjadi perhatian utama dari kesehatan masyarakat, karena

jumlahnya yang semakin meningkat dan melibatkan jutaan penduduk dunia

(Salistyaningsih, 2011).

Kejadian DM terus meningkat setiap tahun, International Diabetes Federation

(IDF) tahun (2015) menyebutkan bahwa prevalensi kejadian DM di dunia tahun 2012

sebanyak 371 jiwa penduduk, sedangkan tahun 2013 terdapat 382 jiwa penduduk dan

tahun 2015 terjadi peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 415 juta jiwa

penduduk dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan ke-7 di dunia.

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun (2013) adanya peningkatan angka kejadian

prevalensi DM di Indonesia dari 1,1% pada tahun 2007 dan 2,1% tahun 2013,

sedangkan prevalensi DM menurut (IDF) International Diabetes Federation tahun

2015 terjadi peningkatan menjadi 153,2 juta jiwa (37%) di indonesia. Tingkat

prevalensi kejadian DM di Sulawesi tenggara, pada tahun 2014 berada pada urutan

1
ke-9 dengan jumlah sebanyak 2.768 kasus dan pada tahun 2015 naik menjadi urutan

ke-5 dengan jumlah kasus sebanyak 3.206 (Dinkes Sultra, 2016).

Populasi penderita DM dengan angka kejadian tertinggi adalah DM tipe 2

sebanyak 95%. Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor resiko jenis kelamin,

umur, faktor genetik, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol (Fatimah,

2015). Tingginya angka kejadian DM tipe 2, serta komplikasi makrovaskuler dan

mikrovaskuler yang ditimbulkannya, maka pentingnya dalam penanganan secara

tepat terhadap DM tipe 2 (Hongdiyanto, 2014).

Penanganan DM tipe 2 dilakukan dengan tindakan modifikasi gaya hidup dan

terapi obat, dimana obat DM tipe 2 merupakan obat yang digunakan untuk jangka

panjang (Lestari dkk, 2011). Obat berperan sangat penting dalam pelayanan

kesehatan terutama pelayanan di puskesmas. Puskesmas sebagai upaya pelayanan

kesehatan tingkat pertama dengan melakukan upaya kesehatan wajib pemeriksaan

dan pengobatan kepada pasien (Nurhayati, 2016). Terlalu banyaknya jenis obat yang

tersedia pada pelayanan kesehatan dapat memberikan masalah tersendiri, terutama

menyangkut bagaimana memilih dan menggunakan obat secara rasional, sehingga

diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu

penyakit (Linnisaa dkk, 2014).

Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan

sesuai kebutuhan klinisnya yang dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan

laboratorium. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi

dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosa, serta ketepatan dosis karena apabila

2
dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi dan timbul efek yang

tidak diinginkan (Tobat dkk, 2015).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Hongdiyanto dkk (2013) di RSUP Prof. dr.

R.D. Kandou Manado tahun 2013 menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 yang tepat

indikasi (86,96%), tepat pasien (100%), tepat pemilihan obat (100%), tepat dosis

(97,32%). Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Sari EN dan parwitasari (2013)

di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta diperoleh tepat indikasi (95,46%), tepat obat

(86,36%), tepat dosis (63,64%), dan tepat pasien (90,91%).

Rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu di Kota

Kendari belum diketahui secara pasti, maka perlu dilakukan penelitian mengenai

rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 dengan melihat data rekam medik di

Puskesmas Puuwatu tahun 2016, hal ini dilakukan sebagai evaluasi obat rasional,

sehingga dapat mengurangi dampak dari penggunaan obat yang tidak tepat demi

keselamatan pasien.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota

Kendari tahun 2016 yang ditinjau dari tepat obat?

2. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota

Kendari tahun 2016 yang ditinjau dari tepat dosis?

3. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota

Kendari tahun 2016 yang ditinjau dari tepat interval waktu pemberian?

3
C. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah:

1. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota

Kendari tahun 2016 yang ditinjau dari tepat obat.

2. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota

Kendari tahun 2016 yang ditinjau dari tepat dosis.

3. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota

Kendari tahun 2016 yang ditinjau dari tepat interval waktu pemberian.

D. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Peneliti dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai

rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2.

2. Bagi Institusi di harapkan dapat memberikan gambaran pada tenaga kerja farmasi,

perawat dan dokter mengenai rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di

Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016.

3. Bagi Masyarakat dapat memperoleh pengobatan terapi DM tipe 2 yang lebih

efisien dan efektif.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Defenisi

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan

hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat,

lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan

sensitivitas insulin, atau keduanya yang akan menyebabkan komplikasi kronis

mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati (Dipiro dkk, 2008).

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun (2015) menyatakan Diabetes

Melitus (DM) merupakan suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa

dalam darah melebihi batas normal. Diabetes Melitus ini juga merupakan gangguan

metabolik kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat penurunan fungsi

insulin. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi

insulin oleh sel-sel beta langerhans, kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang

responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2005).

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit yang mengakibatkan tidak

seimbangnya kemampuan tubuh menggunakan makanan secara efisien yang

disebabkan oleh pankreas gagal memproduksi insulin atau terjadi disfungsi tubuh

yang tidak bisa menggunakan insulin secara tepat (Adnan dkk, 2013).

5
2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) Tahun (2010) Diabetes

melitus dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe :

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes Melitus tipe 1 atau biasa disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes

Mellitus) ini ditandai dengan kegagalan produksi insulin atau penghancuran oleh sel-

sel beta pankreas, sehingga Diabetes Melitus tipe 1 ini memerlukan penyuntikan

insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darah (Deasy, 2015).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 atau biasa disebut sebagai NIDDM (Non-Insulin

Dependent Diabetes Mellitus) ini sel beta pankreas masih dapat membuat insulin,

tetapi kualitas insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan baik,

sehingga glukosa dalam darah meningkat. Diabetes Melitus tipe 2 juga terjadi akibat

sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin

(Insulin resistence) sehingga glukosa tidak dapat masuk kedalam sel dan akhirnya

tertimbun dalam peredaran darah (Putri, 2013).

c. Diabetes Melitus Tipe Gestasional

Diabetes Melitus Tipe Gestasional adalah Diabetes Melitus yang muncul pada

masa kehamilan, umumnya bersifat sementara tetapi merupakan faktor resiko DM

tipe 2 (Depkes, 2005). Diabetes Melitus tipe Gestasional ini terdeteksi pada saat atau

setelah trimester kedua, selama kehamilan resistensi insulin tubuh meningkat tiga kali

dibandingkan keadaan tidak hamil (Kurniawan, 2016).

6
d. Diabetes Melitus Tipe lain

Diabetes Melitus tipe ini disebabkan karena sindrom genetik, penggunaan obat-

obat, kerusakan genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati,

kerusakan genetik pada fungsi sel beta, infeksi, penyakit autoimun (ADA, 2010).

3. Diagnosis

Berdasarkan Departemen Kesehatan tahun (2005) dalam mendiagnosis

penderita DM hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya beberapa gejala yang sering

ditimbulkan oleh penderita Diabetes Melitus:

a. Gejala khas DM terdiri dari poliuria (buang air kecil berlebihan), polidipsi (banyak

minum), polifalgi (banyak makan), penurunan berat badan yang tidak diketahui

penyebabnya.

b. Gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,

gatal, penglihatan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada

wanita.

Gejala khas pada DM jika ditemukan, maka pemeriksaan glukosa darah

abnormal hanya dilakukan satu kali sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,

namun apabila tidak ditemukan gejala khas Diabetes Melitus, maka diperlukan dua

kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (Putri, 2013). Kriteria diagnosis DM

ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah yang dapat dilihat pada Tabel

1.

7
Tabel. 1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam

Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTOG) dengan beban glukosa 75 mg

Pemeriksaan Glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik

Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi


National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)
Sumber: Perkeni, 2015

4. Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut

dan kronis. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun (2015) komplikasi

DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

1) Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (<50

mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat

dialami 1-2 kali per minggu, kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan

sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat

mengalami kerusakan.

2) Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat

berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain

ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto

asidosis.

8
b. Komplikasi Kronis

1) Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah

trombosit otak (pembekuan di area pada sebagian otak), mengalami penyakit

jantung koroner, gagal jantung kongetif, dan stroke. Walaupun komplikasi ini

sering juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan

komplikasi makrovaskuler ini adalah DM tipe 2 yang umumnya menderita

hipertensi, dislipidemia, dan kegemukan (Depkes RI, 2005).

2) Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti

nefropati, diabetik retinopati (kebutaan) dan neuropati.

B. Diabetes Melitus Tipe 2

1. Defenisi

Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemia karena adanya

resistensi atau berkurangnya sensitivitas insulin. Diabetes Melitus tipe 2 ini disebut

sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) karena insulin tetap

dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas. Diabetes Melitus tipe 2 ditandai dengan

kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan

ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Fatimah, 2015).

Diabetes Melitus tipe 2 jauh lebih banyak dibanding DM tipe 1, dari seluruh

kasus DM sekitar 95% adalah DM tipe 2, pada umunya gejala yang dikeluhkan

hampir tidak ada dan penangannya baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika

penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi (Depkes RI, 2005).

Timbulnya DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya hidup yang buruk, seperti

9
kurangnya olahraga, obesitas, dan diet tinggi lemak dan rendah serat. Dalam

penatalaksanaanya tidak harus selalu membutuhkan insulin, namun bisa dengan

perubahan gaya hidup dan obat antidiabetes oral (BPOM, 2009).

2. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2

Menurut Nugroho tahun (2006) patofisiologi DM tipe 2 disebabkan karena dua

hal yaitu :

a. Penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan

resistensi insulin.

b. Penurunan kemampuan sel beta pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon

terhadap beban glukosa.

Diabetes Melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,

namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin

secara normal, keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi

insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan,

pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi karena produksi glukosa hepatik yang

berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel. Pada awal perkembangan DM tipe 2,

sel beta menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi

insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan

baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas.

Kerusakan sel-sel beta pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan

menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin

eksogen. Pada penderita DM tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu

10
resistensi insulin dan defisiensi insulin. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM

tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut (Fatimah, 2015).

3. Komorbid DM tipe 2

Komorbid adalah suatu kondisi yang berdampingan dengan penyakit primer

tetapi dapat berdiri sendiri sebagai penyakit tertentu. Menurut Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia tahun (2011) kondisi komorbid berada pada peningkatan

resiko penyakit penyerta yaitu :

a. Hipertensi

Pengaruh DM terhadap hipertensi disebabkan karena terjadi penebalan pembuluh

darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit, hal ini

diakibatkan karena pengangkutan glukosa dalam darah terlalu banyak dan tertimbun

dialiran darah (Fatimah, 2015). Sehingga pada penderita hipertensi harus selalu

mengontrol tekanan darah <140 mmHg/90 mmHg (Njoto, 2014).

b. Dislipidemia

Keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (LDL >250 mg/dl).

Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35

mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes Melitus (Fatimah, 2015). Pada pasien DM

tipe 2 kenaikan LDL disebabkan karena terlalu banyaknya glukosa darah, sehingga

sebagian akan dipecah menjadi lemak, akibatnya lemak akan tertimbun di pembuluh

arteri dan membuat plak-plak dan menjadi menumpuk dan melibihi kadar LDL

normal. Pada DM untuk pencapaian target kadar kolesterol LDL dianjurkan <100

mg/dL (Nainggolan dkk, 2013).

11
4. Faktor Resiko

a. Umur

Umur dengan kejadian DM menunjukan adanya hubungan yang signifikan.

Kelompok umur <45 tahun merupakan kelompok yang kurang berisiko menderita

DM tipe 2, resiko pada kelompok ini 72% lebih rendah dibanding kelompok umur

≥45 tahun. Peningkatan resiko DM sering terjadi dengan faktor umur, khususnya

pada umur ≥40 tahun, yang disebabkan karena pada umur tersebut mulai terjadi

peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan yang menyebabkan

berkurangnya kemampuan sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Selain itu

pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-

sel otot sebesar 35%, hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot

sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin (Trisnawati, 2013).

b. Obesitas (kegemukan)

Terdapat korelasi antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat

kegemukan dengan IMT >23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah

menjadi >200 mg/dL (Fatimah, 2015).

c. Faktor Genetik

Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar menderita

DM dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita Diabetes Melitus.

Faktor genetik dapat menjadi penyebab yang penting terhadap kejadian penyakit DM

karena pola keluarga yang kuat mengakibatkan terjadinya kerusakan sel-sel beta

pankreas yang memproduksi insulin, sehingga terjadi kelainan dalam sekresi insulin

12
maupun kerja insulin. Jika terdapat faktor genetik, maka seseorang tersebut memiliki

risiko 40% menderita DM tipe 1, dibandingkan dengan DM tipe 2. Pada penelitian

yang dilakukan sekitar 50% pasien DM tipe 1 mempunyai orang tua yang menderita

Diabetes Melitus (Nainggolan dkk, 2013).

d. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Menurut Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia tahun (2015) Aktivitas fisik

dan pekerjaan adalah salah satu hubungan terjadinya kelainan metabolik DM yaitu:

1. Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik

2. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat

3. Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai kantor,

guru, ibu rumah tangga

4. Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri ringan,

mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.

5. Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer dalam

keadaan latihan

6. Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak, tukang gali

dengan intensitas aktivitas fisik

e. Faktor Alkohol

Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita

Diabetes Melitus, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan

tekanan darah. Seseorang akan mengalami peningkat glukosa darah apabila

mengkonsumsi alkohol >60 ml/hari dan 720 ml (Fatimah, 2015).

13
f. Faktor merokok

Rokok memperburuk terjadinya resistensi insulin, paparan pada perokok pasif

dapat juga menjadi resiko terjadinya sindrom metabolik Diabetes Melitus. Nikotin

yang terdapat dalam asap rokok memiliki pengaruh terhadap terjadinya DM tipe 2,

pengaruh nikotin terhadap insulin diantaranya menyebabkan penurunan pelepasan

insulin akibat aktivasi hormon katekolamin, mempengaruhi kerja pada insulin dan

gangguan pada sel beta pankreas (Ario, 2014).

Tabel 2. Persentase Penduduk Indonesia dengan Faktor Resiko Diabetes Melitus


Faktor Resiko % (persentasi)
Kegemukan /berat badan lebih
< 5 tahun 11,8%
5-12 tahun 10,8%
13-15 tahun 8,3%
16-18 tahun 5,7%
>18 tahun 11,5%
Laki-laki 10,0%
Perempuan 12,9%
Obesitas
< 5 tahun NA
5-12 tahun 8,0%
13-15 tahun 2,5%
16-18 tahun 1,6%
>18 tahun 14,8%
Laki-laki 9,6%
Perempuan 20,0%
Obesitas sentral 26,6%
Laki-laki 11,3%
Perempuan 42,1%
Aktivitas fisik kurang aktif 26,1%
Hipertensi 25,8%
Dispilepidemia
Kolesterol borderline dan tinggi 35,9%
HDL rendah 22,9%
LDL tinggi 15,9%

14
Trigliserida tinggi 11,9%
Diet tidak sembang
Mengkomsumsi makan/minum manis lebih dari 1x/hari 53,1%
Mengkomsumsi makan/minum asin lebih dari 1x/hari 26,2%
Mengkomsumsi makan/minum berlemak lebih dari 1x/hari 40,7%
Merokok setiap hari 24,3%

Sumber : Riskesdas, 2013

5. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2

Penatalaksanaan terapi DM tipe 2 dilakukan dengan 2 tujuan utama yang

pertama jangka pendek untuk menghilangkan (keluhan dan gejala pada pasien,

mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah),

sedangkan tujuan kedua jangka panjang untuk mencegah dan menghambat

munculnya penyakit komplikasi. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya

pengendalian target kontrol yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Target Kontrol Glikemik


Parameter Kadar ideal yang diharapkan
Kadar Glukosa Darah Puasa 70-130 mg/dL (3,9-7,2 mmol/L)
Kadar Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dL (<10 mmol/L)
Kadar HbA1C <7%
LDL <100 mg/dL (2,6 mmol/L)
Kadar trigliserida <150 mg/dL (1,7 mmol/L)
Tekanan Darah <130/80 mmHg
Sumber: American Diabetes Association, 2012

a. Terapi Non Farmakologi

1) Diet

Diet merupakan pengobatan yang utama pada penatalaksanaan Diabetes

Melitus, terutama pada DM tipe 2. Tujuan penatalaksanaan diet DM adalah mencapai

15
dan mempertahankan kadar gula darah, lipid, berat badan dalam tingkatan mendekati

normal, mencegah komplikasi akut dan kronis serta meningkatkan kualitas hidup

pasien Diabetes Melitus. Pasien DM tipe 2 membutuhkan pengaturan atau

manajemen diet DM yang tepat untuk mendapatkan kadar gula darah yang terkontrol,

selain juga tentunya latihan fisik dan pengobatan medis, baik oral maupun injeksi

(Rondhianto, 2013).

Berdasarkan penelitian Azrimaidaliza tahun (2011) makanan yang perlu diatur

pola pemberiannya yaitu:

1. Makanan yang mengandung asupan lemak yang tinggi perlu dibatasi seperti

daging, makanan laut (seafood), produk susu seperti keju dan es krim. Makanan

penganan (snack), makanan yang dipanggang atau dibakar dan makanan olahan

yang banyak mengandung lemak, asupan ini dapat menimbulkan dampak pada

meningkatnya kadar LDL, sehingga perlu pengontrolan dalam mengkomsumsi.

2. Asupan vitamin C ini pada beberapa penelitian menunjukkan adanya antioksidan

yang menurunkan resistensi insulin melalui perbaikan fungsi endhothelial dan

menurunkan sters oksidatif sehingga mencegah berkembangnya kejadian Diabetes

Melitus tipe 2.

3. Asupan karbohidrat selalu dijaga karena efek glikemi yang ditimbulkan cepat pada

pasien DM asupan serat diperlukan seperti buah-buahan, sayuran dan kacang-

kacangan. Asupan serat yang diperlukan >25gram/hari.

2) Olahraga

16
Terapi non farmakologis lainnya yaitu pola olahraga yang disarankan setiap 3-4

per minggu dengan tiap kali olahraga tidak kurang dari 30 menit (dianjurkan untuk

jalan sehat). Hal ini telah sesuai dengan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun

(2015) yang menyatakan bahwa latihan jasmani merupakan salah satu dari empat

pilar DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk meningkatkan kebugaran juga

bertujuan untuk menurunkan berat badan serta memperbaiki sensitivitas insulin,

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Olahraga yang disarankan adalah

olahraga yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging atau

berenang dan sebaiknya kegiatan jasmani juga disesuaikan dengan umur dan

kemampuan (Wicaksono, 2013).

b. Terapi Farmakologi

Terapi yang diberikan pada pasien DM tipe 2 selain pengaturan pola makan dan

latihan jasmani, juga diberikan terapi farmakologis :

1. Pemicu Sekresi Insulin

a) Sulfonilurea

Sulfonilurea adalah obat Diabetes Melitus derivat sulfonamide. Obat ini telah

digunakan sejak tahun 1940-an, generasi pertama sulfonilurea antara lain

klorpropamid, tolazamid dan tolbutamid sedangkan generasi kedua adalah

glibenklamid, glipizid, gliquidon dan gliklazid (Wiyono, 2004).

Menurut Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia tahun (2015) obat golongan

ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek

samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati

17
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua,

gangguan faal hati, dan ginjal).

b) Meglitinid

Meglatinid ini adalah obat yang menurunkan glukosa darah, obat ini terdiri dari

repaglinid dan nateglinid. Cara kerja obat ini sama dengan sulfonilurea, namun lebih

ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. Obat ini baik untuk mengatasi

hiperglikemia postprandial (Suzanna, 2014).

2. Peningkat sensitivitas insulin

a) Biguanid

Senyawa biguanid terbentuk dari dua molekul guanidin dengan kehilangan satu

molekul amonia. Sediaan yang tersedia adalah metformin dan buformin. Derivat

biguanid mempunyai mekanisme kerja yang berlainan dengan derivat sulfonilurea,

obat-obat tersebut kerjanya tidak melalui perangsangan sekresi insulin tetapi langsung

terhadap organ sasaran. Pemberian biguanid pada orang non diabetik tidak

menurunkan kadar glukosa darah, tetapi sediaan biguanid ternyata menunjukkan efek

potensiasi dengan insulin. Pemberian biguanid tidak menimbulkan perubahan ILA

(Insulin Like Activity) diplasma, dan secara morfologis sel langerhans juga tidak

mengalami perubahan. Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan

glukosa menjadi lemak. Pada penderita diabetes yang gemuk, ternyata pemberian

biguanid menurunkan berat badan dengan mekanisme yang jelas pula, pada orang

non diabetik yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar glukosa

18
darah. Penyerapan biguanid oleh usus baik sekali dan obat ini dapat digunakan

bersama insulin atau sulfonirurea (Misnadiarly, 2006).

Berdasarkan penelitian Suzanna tahun (2014) golongan biguanid pada sediaan

metformin memiliki mekanisme kerja:

a. Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi

glukosa hati.

b. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin

serum >1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan

hipoksemia seperti pada sepsis

c. Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan

sulfonilurea.

d. Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna seperti mual namun bisa

diatasi dengan pemberian sesudah makan

b) Tiazolidindion

Tiazolidindion sering juga disebut TZDs atau glitazon berfungi memperbaiki

sensitivitas insulin dengan mengaktifkan gen-gen tertentu yang terlibat dalam sintesa

lemak dan metabolisme karbohidrat. Tiazolidindion tidak menyebabkan hipoglikemia

jika digunakan sebagai terapi tunggal. meskipun mereka sering kali diberikan secara

kombinasi dengan sulfonilurea, insulin, atau metformin, jenis sediaan golongan obat

ini adalah pioglitazon dan roziglitazon. Namun, roziglitazon merupakan antidiabetika

oral yang baru-baru ini dibekukan ijin edarnya baik sediaan tunggal maupun

kombinasi, dengan nama dagang avandia, avandaryl, dan avandamet. Pembekuan ijin

19
edar ini dilakukan karena obat tersebut menyebabkan efek samping kardivaskuler

berupa gagal jantung sehingga resiko roziglitazon jauh lebih besar dari pada

manfaatnya (BPOM, 2010).

3. Penghambat dipeptidil peptidase-IV

Penghambat dipeptidyl peptidase-IV (DPP-IV) dan glukagon like peptide-1

(GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.

Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang

kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah

menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat

meningkatkan pelepasan insulin dan menghambat pelepasan glukagon (Suzanna,

2014).

4. Penghambat glukosidase alfa

Acarbose adalah zat-zat yang bekerja atas dasar persaingan merintangi enzim

glukosidase alfa dimukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida

menjadi monosakarida terhambat, dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat

dan absorbsinya kedalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga

puncak kadar gula darah dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang

kaya akan serat gizi (Tjay, 2007). Selain itu acarbose ini juga tidak mempunyai efek

samping hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea, tetapi acarbose mempunyai efek

samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens (Suzanna, 2014).

20
21
22
23
Monoterapi Metformin

Efek(HbA1C) Tinggi
Hipoglikemik Resiko rendah
Berat badan Netral/kurang
Efek samping GI/Asidosis laktat
Harga Murah

Jika A1C tidak mencapai target setelah 3 bulan monoterapi, lanjutkan kombinasi 2 obat (agar
tidak menunjukan preferensi tertentu (pilihan tergantung pada berbagai faktor spesifik pasien
dan penyakit)
Kombinasi 2 obat
Metformin Metformin Metformin Metformin Metformin Metformin
+ + + + + +

Sulfonilurea TZD Inhibitor DPP IV Inhibitor SGLT2 Reseptor GLP 1 Insulin basal

Efek (HbA1C) Tinggi Tinggi Sedang Sedang Tinggi Paling tinggi


Hipoglikemik Resiko rendah Resiko rendah Resiko rendah Resiko rendah Resiko rendah Resiko tinggi
Berat badan Bertambah Bertambah Netral Kurang Kurang Bertambah
Efek samping Hipoglokemik Edema, HF Jarang GU, dehidrasi GI Hipoglikemik
Harga Murah Murah Mahal Mahal Mahal bervariasi

Jika A1C tidak mencapai target setelah 3 bulan monoterapi, lanjutkan kombinasi 3 obat (agar tidak menunjukan
Kombinasi 3 obat preferensi tertentu (pilihan tergantung pada berbagai faktor spesifik pasien dan penyakit)

Metformin Metformin Metformin Metformin Metformin Metformin


+ + + + + +

Sulfonylurea TZD Inhibitir DPP Inhibitor Reseptor Insulin basal


+ + IV SGLT2 GLP 1 +
+ + +
TZD SU
Atau i-DPP IV Atau i-DPP IV SU SU SU TZD
Atau i-SGLT2 Atau i-SGLT2 Atau TZD Atau TZD Atau TZD Atau iDPPIV
Atau GLP1,RA Atau GLP1,RA Atau i-DPP IV Atau i-DPP IV Atau Insulin Atau i-SGLT2
Atau Insulin Atau Insulin Atau Insulin Atau Insulin Atau GLP-RA

Jika AIC tidak mencapai target setelah 3 bulan terapi tiga dan pasien (1) pada kombinasi oral, pindah ke suntik (2)
dari GLP-1-RA, tambahkan insulin basal atau (3) pada insulin basal optimal dititrasi, tambahkan GLP-1-RA atau
insulin waktu makan, pada pasien refrakter mempertimbangkan penambahan TZD atau i-SGLT2.

Kombinasi terapi
Metformin
Insulin +
Basal insulin+Mealtime insulin or GLP-1-RA

Sumber: American Diabetes Association, 2015


Gambar 1. Alogaritma pengobatan DM tipe 2

24
C. Rasionalitas Penggunaan Obat

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai

dengan kebutuhannya, dengan dosis yang sesuai, dalam jangka waktu pengobatan

yang cukup dan harga yang terjangkau (Sari EN dan Prawitasari, 2013). Penggunaan

obat yang rasional harus memenuhi kriteria yaitu pemilihan obat yang benar, tepat

indikasi, tepat dosis, tepat pasien, tepat pemberian obat dan ketaatan pasien pada

pengobatan (Munarsih, 2017). Salah satu perangkat tercapainya penggunaan obat

yang rasional adalah tersedia suatu pedoman atau standar pengobatan yang

dipergunakan secara seragam. Menurut Kementerian Kesehatan tahun (2011)

penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Tepat Diagnosis

Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakkan

dengan benar maka pemilihan obat akan salah.

2. Tepat Indikasi Penyakit

Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit berdasarkan kondisi

medis.

3. Tepat Pemilihan Obat

Pemberian obat dikatakan tepat apabila jenis obat yang dipilih berdasarkan

pertimbangan manfaat dan resiko. Evaluasi ketepatan obat dinilai berdasarkan

kesesuaian pemilihan obat dengan mempertimbangkan diagnosis yang tertulis dalam

rekam medik dan dibandingkan dengan standar yang digunakan (Sumawa, 2015).

25
4. Tepat Dosis

Pemberian dosis obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian

dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit,

akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil

tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

5. Tepat Cara Pemberian

Cara pemberian obat harus sesuai dengan bentuk dari sediaan obat, kemampuan

menelan pasien, kondisi pasien.

6. Tepat Interval Waktu Pemberian

Pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar

mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya

4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus

diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan

interval setiap 8 jam.

7. Waspada Terhadap Efek Samping

Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul

pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulnya mual, muntah, gatal-

gatal, dan lain sebagainya.

8. Interaksi Obat

Modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang diberikan bersamaan, akibatnya

efektivitas dan toksisitas suatu obat akan berubah. Sehingga efek yang tidak

diharapkan dapat ditimbulkan (Listiana, 2012).

26
Berdasarkan penelitian Katarnida tahun (2014) menjelaskan bahwa Badan

Kesehatan Dunia WHO menyarankan untuk meningkatkan penggunaan obat rasional

dengan cara :

a. Melakukan monitor penggunaan obat dan kebijakan farmasi.

b. Menyediakan petunjuk kebijakan dan menyokong untuk melakukan monitor

penggunaan obat, mengimplementasi dan evaluasi strategi nasional untuk

meningkatkan penggunaan rasional obat.

c. Mengembangkan dan memberi program-program pelatihan tenaga profesional

kesehatan secara nasional dalam hal melakukan monitor dan memperbaiki

penggunaan obat pada semua level dan sistem kesehatan.

D. Puskesmas

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya

kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif

dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya di

wilayah kerjanya (Permenkes, 2016).

Tujuan dari pelayanan kesehatan adalah memenuhi kebutuhan individu atau

masyarakat untuk mengatasi, menetralisasi atau menormalisasi semua masalah atau

semua penyimpangan tentang kesehatan yang ada dalam masyarakat (Nurhayati,

2016). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan tahun (2016) berdasarkan kemampuan

penyelenggaraan, puskesmas dikategorikan menjadi beberapa puskesmas yaitu :

1. Puskesmas non rawat inap adalah Puskesmas yang tidak menyelenggarakan

pelayanan rawat inap, kecuali pertolongan persalinan normal.

27
2. Puskesmas rawat inap adalah Puskesmas yang diberi tambahan sumber daya untuk

menyelenggarakan pelayanan rawat inap, sesuai pertimbangan kebutuhan

pelayanan kesehatan.

Berdasarkan laporan Program Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2012, Kota Kendari memiliki 15 Puskesmas dan 19 Puskesmas pembantu. Pada

Tabel 5 juga dapat dilihat daftar nama Puskesmas di kecamatan di Kota Kendari:

Sumber:Pemerintah Kota Kendari, 2012


Gambar 2. Pemetaan wilayah Kecamatan Kota Kendari

Tabel 5. Puskesmas Kecamatan di Kota Kendari


NO Puskesmas Kecematan Jenis Puskesmas
1 Labibia Kec. Mandonga Non Rawat Inap
2 Lepo-Lepo Kec. Baruga Rawat Inap
3 Puuwatu Kec. Puuwatu Rawat Inap
4 Mekar Kec. Kadia Non Rawat Inap
5 Perumnas Kec. Kadia Non Rawat Inap
6 Jati Raya Kec. Kadia Non Rawat Inap
7 Wua-Wua Kec. Wua-wua Non Rawat Inap
8 Poasia Kec. Poasia Rawat Inap
9 Nambo Kec. Poasia Non Rawat Inap
10 Abeli Kec. Abeli Rawat Inap
11 Mokoau Kec. Kambu Non Rawat Inap
12 Kandai Kec. Kendari Rawat Inap
13 Mata Kec. Kendari Non Rawat Inap
14 Kemaraya Kec. Kendari Barat Non Rawat Inap
15 Benu-Benua Kec. Kendari Barat Non Rawat Inap
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2015

28
Badan Pusat Statistik Kota Kendari tahun (2014) menjelaskan bahwa puskesmas

di kecamatan Puuwatu Kota Kendari merupakan puskesmas yang satu-satunya berdiri

diantara enam kelurahan, puskesmas puuwatu memiliki sarana pelayanan kesehatan

rawat jalan dan rawat inap.

E. Kerangka Konsep

Pasien Diabetes Melitus


tipe 2

Pasien Rawat Inap Pasien Rawat jalan

Rasionalitas Pengobatan

Tepat Obat Tepat Dosis Tepat interval waktu


pemberian

Analisis Data

Hasil

Gambar 3. Kerangka Konsep


Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

29
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Agustus 2017 di

Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Sulawesi Tenggara.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif non eksperimental dengan

pengambilan data secara retrospektif yakni sumber data yang digunakan adalah

catatan medik pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016,

kemudian melihat ketepatan penggunaan obat dengan menggunakan beberapa

indikator yaitu tepat obat, tepat dosis dan tepat interval waktu pemberian.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi

penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosis DM tipe 2 yang menjalani

rawat jalan di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari periode Januari hingga Desember

tahun 2016 sebanyak 60 pasien.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode total sampling yaitu

jumlah sampel sama dengan jumlah populasi, sehingga sampel penelitian adalah

seluruh populasi penelitian yaitu sebangak 60 sampel.

30
3. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah:

a) Pasien rawat jalan

b) Rekam medik pasien DM Tipe 2 dengan penyakit penyerta atau tanpa penyakit

penyerta

c) Rekam medik dengan data yang jelas dan lengkap

4. Kriteria Eksklusi

a) Rekam medik pasien yang tidak lengkap dan tidak jelas

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar dokumentasi

pasien yang didiagnosis DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kendari tahun 2016.

Pedoman yang digunakan pada penelitian ini yaitu ADA (2015), Perkeni (2015),

Drug Information Handbook (2012), Dipiro (2008), IONI (2008).

E. Defenisi Operasional

Defenisi operasional pada penelitian ini adalah:

1. Pasien Diabetes Melitus merupakan pasien DM tipe 2 dengan atau tanpa penyakit

penyerta yang telah di diagnosis oleh dokter dan menjalani perawatan di

Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Sulawesi Tenggara tahun 2016.

2. Rekam medik adalah data pasien yang terdiagnosis DM Tipe 2 di Puskesmas

Puuwatu Kota Kendari Sulawesi Tenggara tahun 2016 yang berisikan catatan dan

dokumen tentang data umum, terapi yang digunakan, tindakan dan pelayanan lain

yang telah diberikan kepada pasien.

31
3. Karakteristik pasien adalah data pasien DM Tipe 2 yang meliputi jenis kelamin,

umur, dan penyakit penyerta.

4. Rasionalitas adalah kesesuaian penggunaan obat meliputi tepat obat, tepat dosis,

dan tepat interval waktu pemberian pada pasien DM Tipe 2 di Puskesmas Puuwatu

Kota Kendari tahun 2016.

5. Tepat obat yaitu bila obat antidiabetik oral yang diberikan kepada pasien memiliki

efek terapi yang sesuai dengan diagnosis penyakit DM tipe 2.

6. Tepat dosis adalah jumlah atau takaran tertentu dari obat antidiabetik yang

memberikan efek terhadap penyakit DM tipe 2.

7. Tepat interval waktu pemberian adalah frekuensi pemberian obat terhadap pasien

DM tipe 2.

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Studi pendahuluan dilakukan dengan mengumpulkan data berupa buku, jurnal dan

literatur lainnya terkait dengan penyakit Diabetes Melitus tipe 2.

b. Membuat surat izin pengantar pengambilan data awal dari Fakultas Farmasi

Universitas Halu Oleo yang kemudian diserahkan kepada Puskesmas Puuwatu

Kota Kendari.

c. Melakukan pengambilan data awal dengan melihat laporan kunjungan pasien yang

di diagnosis Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Tahun

2016.

32
2. Tahap Pelaksanaan

a. Membuat surat izin pengambilan data awal dari Fakultas Farmasi Universitas Halu

Oleo yang kemudian diserahkan ke Badan Penelitian dan Pengembangan

(Balitbang) Provinsi Sulawesi Tenggara yang selanjutnya diserahkan ke lembaga

Penelitian dan Pengembangan Puskesmas Puuwatu Kota Kendari.

b. Peneliti melakukan pengambilan data rekam medik pasien DM tipe 2 di

Puskesmas Puuwatu Kota Kendari periode januari-desember 2016. Data yang

diperoleh dicatat dalam lembar dokumentasi yang meliputi nomor rekam medik,

umur, jenis kelamin, diagnosis, penyakit penyerta, pemeriksaan laboratorium,

terapi pengobatan, dosis pengobatan dan aturan pakai obat yang diberikan.

G. Pengelolaan Data

Pengolahan data penelitian dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut :

1. Melakukan pemeriksaan ulang kelengkapan data yang diperoleh dari rekam medik

di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016.

2. Melakukan pengelompokan dan penghitungan data sesuai dengan variabel.

3. Menyajikan data yang telah ditabulasi ke dalam tabel

4. Melakukan pemeriksaan ulang data-data yang telah dimasukkan untuk

menghindari terjadinya kesalahan pengolahan data.

H. Analisis Data

Data yang diperoleh dikelompokan dalam lembar panduan dokumentasi berupa

tabel-tabel yang memuat nama pasien, nomor rekam medik pasien, jenis kelamin,

umur, diagnosis, penyakit penyerta atau tanpa penyakit penyerta dan terapi yang

33
diberikan. Rasionalitas penggunaan obat pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas

Puuwatu Kendari Sulawesi Tenggara yang meliputi tepat obat, tepat dosis dan tepat

interval waktu pemberian disesuaikan dengan pedoman Dipiro (2008), Drug

Information Handbook (2012), ADA (2015), Perkeni (2015), IONI (2015),

selanjutnya dihitung presentase masing-masing sebagai berikut :

1. Jumlah presentase karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin :

𝑛
% jenis kelamin = x 100%
𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

Keterangan :

n = Jumlah pasien per kelompok jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)

sampel = Jumlah total pasien

2. Jumlah dan persentase karakteristik pasien berdasarkan kelompok umur:


𝑛
% umur = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

Keterangan:

n = Jumlah pasien per kelompok umur

sampel = jumlah total pasien.

3. Jumlah dan persentase pasien berdasarkan kelompok penyakit penyerta:


𝑛
% Penyakit penyerta = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

Keterangan:

n = Jumlah pasien per kelompok penyakit penyerta

sampel = jumlah total pasien.

34
4. Jumlah dan persentase rasionalitas tepat obat:
𝑛
% Tepat obat = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

Keterangan:

n = Jumlah pasien yang menerima obat sesuai pedoman

sampel = jumlah total pasien.

5. Jumlah dan persentase rasionalitas tepat dosis:


𝑛
% Tepat dosis = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

Keterangan:

n = Jumlah pasien yang menerima dosis obat sesuai pedoman

sampel = jumlah total pasien.

6. Jumlah dan persentase rasionalitas tepat interval waktu pemberian:


𝑛
% Tepat interval waktu pemberian = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

Keterangan:

n = Jumlah interval waktu pemberian obat sesuai pedoman

sampel = jumlah total pasien

35
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Proses Pengambilan Data

Penelitian ini bertujuan untuk melihat rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2

di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari periode januari sampai desember

tahun 2016 terdapat 80 kasus penderita DM tipe 2 yang dirawat jalan, data ini

diperoleh dari ruang penyimpanan rekam medik. Pengambilan sampel dilakukan

dengan menggunakan metode total sampling yaitu jumlah sampel sama dengan

jumlah populasi. Namun setelah dilakukan penelusuran selanjutnya hanya diperoleh

60 sampel sebagai bahan penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 20

rekam medik yang tidak ditemukan disebabkan karena adanya pemindahan

pembukuan rekam medik sehingga sebagian data hilang. Data yang diambil dari

rekam medik yaitu data karakteristik pasien meliputi (umur, jenis kelamin dan

penyakit penyerta), diagnosis, pemeriksaan laboratorium, dan terapi yang diberikan

mencakup (jenis obat, dosis, interval waktu pemberian).

B. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil data yang diperoleh dengan jumlah 60 kasus penderita DM tipe 2 di

Instalasi Rawat Jalan di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016, di ketahui

bahwa jumlah pasien perempuan lebih banyak dibanding pasien laki-laki.

36
Karakteristik Jenis Kelamin

43% laki-laki
57% perempuan

Gambar 4. Persentase jenis kelamin pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
tahu 2016

Karakteristik berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 4, bahwa

jumlah persentase pasien wanita sebesar 56,66%, sedangkan jumlah presentase laki-

laki sebesar 43,33%. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Muflihatin dan Rahmat (2016) di Puskesmas Loa kulu Kabupaten Kutai Kartanegara

bahwa pasien DM tipe 2 lebih banyak perempuan (55,3%) dibanding dengan laki-laki

(44,7%). Hasil ini juga diperkuat oleh data Riset Kesehatan Dasar tahun (2013)

menyatakan perempuan lebih banyak menderita DM tipe 2 di banding laki-laki

dengan angka kejadian perempuan (7,7%) dan laki-laki (5,6%).

Tingginya angka persentase DM tipe 2 pada perempuan di Puskesmas Puuwatu

Kota Kendari tahun 2016 disebabkan karena secara fisik perempuan memiliki

peluang peningkatan indeks massa tubuh yang lebih besar dibanding laki-laki.

Peningkatan indeks massa tubuh pada perempuan terjadi karena adanya penumpukan

lemak yang berlebihan terutama pada area pinggul dan perut, walaupun laki-laki juga

cenderung terkena DM tipe 2 dan memiliki distribusi lemak pada area perut, namun

37
banyak faktor yang dapat memicu perempuan lebih beresiko terkena DM tipe 2

(Dawn dkk, 2000). Hal ini dijelaskan oleh jelantik (2014) yang menyatakan bahwa

jumlah lemak pada laki-laki dewasa sebesar 15-20% dan pada perempuan sebesar 20-

25%. Terjadinya penumpukan lemak pada perempuan dikarenakan pola makan yang

tidak seimbang dan kurangnya aktivitas fisik, serta adanya penggunaan obat

kontrasepsi oral yang memiliki efek samping meningkatkan berat badan pada

perempuan. Faktor lain karena pasca menopause yang disebabkan oleh hormon

estrogen yang membuat distribusi lemak tubuh pada perempuan menjadi mudah

terakumulasi akibat proses hormonal tersebut (Wahyuni dan Raihana, 2013).

Peningkatan DM tipe 2 pada perempuan juga disebabkan terjadi resistensi

insulin saat kehamilan di trimester ketiga dan biasanya memberikan dampak jangka

panjang untuk terkena DM tipe 2 setelah melahirkan. Glukosa adalah energi untuk

kebutuhan plasenta dan fetus. Glukosa akan mensuplai plasenta dan fetus dan

diregulasi agar dapat di metabolisme secara konstan, pada proses regulasi petama

adanya peningkatan glukosa dan regulasi yang dilakukan secara terus akan terjadi

intoleransi glukosa dan resistensi insulin, karena adanya peningkatan lemak pada ibu

hamil. Peningkatan lemak di jaringan adiposa akan menghambat proses metabolisme

glukosa, serta hormon human chorionic somatommatropin dalam estrogen yang

diproduksi oleh plasenta perempuan hamil menstimulasi sekresi insulin di fetus dan

menghambat pengambilan glukosa pada peripheral di tubuh perempuan hamil,

akibatnya adanya peningkatan glukosa darah (Hermanto dkk, 2012). Selama

kehamilan plasenta tidak hanya menghasilkan hormon yang mengubah metabolisme

38
karbohidrat dan lemak pada ibu hamil, tetapi juga mengatur kontrol glukosa, lemak,

protein plasenta yang akan menjadi sumber nutrisi dan energi bagi pertumbuhan

fetus.

2. Karakteristik Berdasarkan Umur

Karakteristik berdasarkan umur pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu tahun

2016 dibagi menjadi 2 kelompok golongan usia menurut Profil Kesehatan Indonesia

tahun (2010) usia produktif (15-64 tahun) dan usia tua (>65 tahun). Hasil persentase

umur dapat dilipat pada Gambar 5.

Karakteristik Umur
10%

14-64 tahun
> 65 tahun
90%

Gambar 5. Persentase umur pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
tahum 2016

Hasil persentase karakteristik berdasarkan umur di Puskesmas Puuwatu Kota

Kendari tahun 2016 menunjukkan bahwa penderita DM tipe 2 dengan umur 15-64

tahun berjumlah 54 orang (90%), sedangkan umur >65 tahun berjumlah 6 orang

(10%). Hasil penelitian ini diperkuat dengan data Riset Kesehatan Dasar tahun (2013)

yang menyatakan angka kejadian DM meningkat seiring bertambahnya umur, namun

pada umur >65 tahun cenderung mulai menurun, pernyataan ini dibenarkan dari data

angka kejadian DM tipe 2 International Diabetes Federation (IDF) tahun (2015)

39
yang menyebutkan bahwa penderita DM tipe 2 dengan umur 20-64 tahun sebanyak

320,5 juta orang dan 94,2 juta orang yang berumur >65tahun.

Tingginya penderita DM Tipe 2 pada usia 15-64 tahun diperkiran, karena pada

usia ini secara fisik dan biologis sudah memiliki kemampuan untuk bekerja, sehingga

aktivitas yang dilakukan akan lebih padat dan memicu timbulnya stres berlebih yang

akan mengakibatkan fungsi organ tubuh yang lain terganggu. Ketika stres muncul,

kelenjar adrenal akan dipacu untuk mengasilkan hormon adrenalin, hormon ini juga

akan memberikan sinyal pada hormon kotisol (hormon stres) mempunyai efek

memacu kenaikan kebutuhan kadar glukosa darah. kortisol yang dipacu terus menerus

akan meningkatkan kebutuhan insulin, apabila kondisi tersebut belangsung lama

maka sel beta pankreas akan mengalami penurunan fungsi kerja dalam menghasilkan

insulin, sehingga produksi insulin menurun, tetapi kadar glukosa darah tetap

meningkat (Pratiwi dkk, 2014).

Berdasarkan faktor resiko DM tipe 2 pada umur >45 tahun. maka jumlah pasien

yang mengidap DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 yang

berumur >45 tahun sebanyak 53 pasien (88,33 %). Terjadinya DM tipe 2 pada usia ini

karena penurunan fungsi organ tubuh dan terjadinya resitensi insulin yang

diakibatkan oleh kurangnya massa otot, serta adanya perubahan neurohormonal yang

terjadi pada penurunan fungsi insulin-like growt factor-1 (IGF-1) dan

dehydroepandrosteron (DHES) plasma pada usia lanjut, penurunan IGF-1 akan

mengakibatkan penurunan ambilan glukosa karena menurunnya sensitifitas insulin,

sedangkan penuruna DHES berkaitanya dengan peningkatan lemak tubuh (Rochmah,

40
2006). Kelebihan lemak dan kurangnya aktivitas fisik, serta dampak dari pola hidup

yang tidak sehat akibat merokok, mengkomsumsi alkohol dan makanan yang

mengandung glukosa tinggi juga menjadi peluang besar mengidap DM tipe 2 pada

usia >45 tahun.

3. Karakteristik Berdasarkan Penyakit Penyerta

Data karakteristik penyakit penyerta digunakan untuk mengetahui penyakit

yang diderita pasien selain DM tipe 2. Jumlah dan persentase penyakit penyerta pada

penderita DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah dan persentase penyakit penyerta pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas
Puuwatu Kota Kendari tahun 2016
Penyakit penyerta Jumlah (n) Persentase (%)
DM Tanpa penyakit penyerta 20 33,33
DM + Hipertensi 15 25
DM + Gout 9 15
DM + Hiperkolesterol 6 10
DM + Dispepsia 5 8,33
DM + Hipertensi + Gout 2 3,33
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol 1 1,66
DM + Gout + Hiperkolesterol 1 1,66
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol + Gout 1 1,66
Total 60 100%

Berdasarkan hasil penelitian penyakit penyerta pada pasien DM tipe 2 di

Puskesmas Puuwatu yang paling banyak di temukan adalah hipertensi yang

berjumlah 14 orang (23,33%). Target penurunan hipertensi pada pasien DM tipe 2

41
adalah tekanan darah sistolik ≤ 140 mmHg dan tekanan diastolik ≤90 mmHg (Depkes

RI, 2005). Penyakit Diabetes Melitus dengan kadar gula yang tinggi akan merusak

organ tubuh yang lainnya. Karena pada penderita pasien DM tipe 2 insulin yang

dihasilkan oleh sel beta pankreas terbatas, maka kadar glukosa semakin menumpuk

dalam aliran darah dan tidak dapat dikontrol, akibatnya dinding arteri akan rusak dan

terjadi penyempitan pembuluh darah, secara langsung tekanan darah akan meningkat.

Tingginya kadar glukosa darah akan menyebabkan permeabilitas endotel

meningkat sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri dan akan

membuat plak-plak di dinding arteri sehingga terjadi penyempitan pembuluh,

akibatnya tekanan darah akan meningkat (Budiman dkk, 2016).

Penyakit penyerta terbanyak setelah hipertensi di Puseksmas Puuwatu Kota

Kendari tahun 2016 adalah gout yang berjumlah 9 orang (15 %). Gout timbul karena

tingginya kadar asam urat yang melebihi diatas normal (>7 mg untuk laki-laki dan >6

mg untuk perempuan), sehingga akan terjadi timbunan asam urat serum dalam bentuk

garam menjadi kristal monosodium urat pada jaringan, akibatnya kristal monosodium

urat akan mengendap diberbagai jaringan dan menimbulkan inflamasi (Dianati,

2015). Kemungkinan kecil hubungan gout terkait dengan DM tipe 2 terjadi karena

proses ekskresi keduanya yang terletak di ginjal. Glukosa akan di ekskresi secara

terus menurus oleh ginjal, akibatnya ginjal akan mengalami penurunan fungsi karena

kerja yang berlebih, kemudian menimbulkan terjadinya penyakit lain. Ketika

kadarnya berlebihan maka ginjal akan kesulitan untuk mengeluarkannya dari tubuh

42
melalui urin, akibatnya monosodium urat menumpuk dalam darah yang menyebakan

terjadinya gout.

Penyakit penyerta terbanyak setelah hipertensi dan gout adalah hiperkolesterol

yang berjumlah 6 orang (10%). Hubungan DM tipe 2 dengan kolesterol sangat

berkaitan. Dalam keadaan normal glukosa yang dimakan akan mengalami proses

metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, sebagiannya akan diubah menjadi

glikogen dan akan diubah dalam bentuk asam lemak. Asam lemak ini akan disimpan

dalam bentuk trigliserida dan kolesterol dalam jaringan adiposa (Gunawan, 2012).

Jika keadaan tidak normal pada pasien Diabetes Melitus tipe 2, glukosa darah yang

berlebihan akan diubah terus menerus menjadi asam lemak dalam bentuk trigliserol

dan kolesterol, sehingga akan terjadi penumpukan dalam jaringan adiposa yang

melebihi batas normal LDL (>100 mg). Kolesterol akan lebih meningkat, jika pasien

DM Tipe 2 tidak mengatur pola makan yang sehat dan olahraga secara teratur karena

karborhidrat yang dikomsumsi dengan tidak teratur akan diubah secara terus menerus

menjadi lemak.

Penderita dispepsia pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 sebanyak 5 orang

(8,33%). Dispepsia salah satu gangguan saluran cerna yang sering ditemui oleh

penderita Diabetes Melitus, hal ini diduga berkaitan dengan terjadinya neurogenik

dari saluran cerna atau terjadi motalitis lambung yang memicu terjadinya dispepsia

(Abdullah dan Jefri, 2012). Selain itu dispepsia mungkin disebabkan karena pada

pasien DM tipe 2 yang sering merasa lapar (polifagi), sehingga makan yang tidak

terkontrol mengakibatkan lambung bekerja terlalu berlebihan akibatnya terjadi iritasi

43
pada lambung. Penggunaan efek samping pada obat-obat antidiabetes seperti

metformin juga dapat menyebabkan dispepsia.

C. Rasionalitas Diabetes Melitus Tipe 2

Rasionalitas penggunaan Antidiabetes meliputi tepat obat, tepat dosis dan tepat

interval waktu pemberian. Dalam proses penilaian rasionalitas harus memperhatikan

setiap kondisi pasien seperti umur, penyakit penyerta, maupun terapi yang diberikan.

Penilaian ini disesuaikan dengan melihat pedoman yang digunakan untuk pasien DM

tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016.

1. Rasionalitas Penggunaan Obat Berdasarkan Ketepatan Obat

Penilaian ketepatan terapi obat berdasarkan kesesuaian pemilihan obat dengan

mempertimbangkan efektivitas, aman, kecocokan, praktis dan biaya, serta umur

pasien yang tertulis direkam medik, kemudian dibandingkan dengan pedoman

Diabetes Melitus yang digunakan American Diabetes Association, Drug Information

Handbook, Pharmacotherapy A pathophysiologyc Approach dan Informatorium Obat

Nasional Indonesia. Data yang menunjukkan ketepatan obat di Puskesmas Puuwatu

Kota Kendari dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Ketepatan obat antidiabetes pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu kota
Kendari Tahun 2016
Penilaian ketepatan obat
Obat antidiabetes Tidak tepat obat Tepat obat
n % n %
Metformin 8 13,33 14 23,33
Glibenklamid 12 20 6 10
Metformin dan glibenklamid 13 21,66 7 11,66
Total 33 54,99 27 44,99

44
Berdasarkan data penilaian ketepatan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu

Kota Kendari tahun 2016, diperoleh sebanyak 27 pasien (44,99%) di kategorikan

tepat obat. Ketepatan penggunaan antidiabetes yang paling banyak digunakan adalah

monoterapi metformin sebanyak 14 pasien (23,33%), glibenklamid 6 pasien (10%)

dan penggunaan kombinasi metformin dan glibenklamid sebanyak 7 pasien (11,66).

Sedangkan ketidaktepatan penggunaan obat antidiabetik sebanyak 33 pasien

(54,99%) yang terdiri dari metformin 8 pasien (13,33%), glibenklamid 12 pasien

(20%) dan kombinasi metformin dan glibenklamid 13 pasien (21,66%).

Penilaian ketidaktepatan penggunaan obat pada Tabel 7 dengan melihat adanya

pemberian antidiabetes yang tidak sesuai dengan pedoman yang digunakan dan

penilaian ini mempertimbangkan keamanan, efektifitas, kondisi pasien, ketersediaan

obat, harga, dan pemilihannya harus didasarkan pada kebutuhan setiap penyandang

DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016.

Ketidaktepatan penggunaan obat di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun

2016 dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya pada beberapa kasus di Puskesmas

Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 terdapat kasus pasien yang melakukan

pemeriksaan awal glukosa darah sewaktu >300 mg/dL yang diberikan kombinasi

glibenklamid dan metformin dan metformin tunggal. Pemberian terapi tersebut tidak

efektif dan target kadar glukosa darah yang di harapkan akan lama tercapai, sehingga

perlu adanya penambahan kombinasi insulin. Rekomendasi ini telah sesuai dengan

American Diabetes Assocation (ADA) tahun (2015) yang menyatakan jika awal

pengobatan dengan glukosa darah >300-350 mg/dL (A1c >12%) diberikan terapi

45
kombinasi insulin dan pemberian kombinasi 2 obat jika pengobatan awal dilakukan

dengan pemeriksaan glukosa darah >212 mg/dL (A1c >9%).

Kasus lain pada pasien yang berumur >65 tahun dengan glukoda darah sewaktu

<250 mg/dL yang diberikan terapi glibenklamid tunggal dikategorikan tidak tepat

obat, karena efek dari glibenkalmid yang dapat menyebabkan hipoglikemik. Menurut

Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) tahun (2008) penggunaan

glibenklamid pada usia lanjut perlu dihindari, karena pada usia lanjut penurunan

fungsi organ mulai menurun terutama organ ginjal dan hati, akibatnya dapat

menimbulkan penyakit lain.

Kasus lain di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 adanya pemberian

glibenklamid tunggal dengan kadar glukosa darah <150 mg/dL di nilai tidak tepat

obat karena glibenklamid tunggal belum direkomendasikan untuk pasien yang baru

menjalankan terapi awal dan efek dari glibenklamid juga dapat menyebabkan

hipoglikemik, sehingga pasien dengan glukosa rendah yang diberikan glibenklamid

dapat memperburuk keadaan pasien yang dapat menimbulkan masalah penyakit lain.

sehingga pemilihan obat metformin yang memiliki efek samping yang rendah sangat

direkomendasikan untuk pasien dengan kadar glukosa darah <212 mg/dL. Beberapa

penelitian juga membuktikan bahwa metformin dapat menurunkan trigliserida dan

kolesterol total sehingga hal ini juga terbukti mempunyai efek mengurangi

komplikasi makrovaskuler (Keban dkk, 2016).

46
2. Rasionalitas Penggunaan Obat Berdasarkan Ketepatan Dosis

Dosis obat merupakan banyaknya suatu obat yang diberikan kepada pasien

untuk menghasilkan efek yang diharapkan dengan memperhatikan kondisi setiap

pasien. Penilaian ketepatan dosis pada pasien di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari

tahun 2016 ini dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Ketepatan dosis antidiabetes pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota
Kendari tahun 2016
Penilaian ketepatan dosis
Obat antidiabetes Tidak tepat dosis Tepat dosis
n % n %
Metformin - - 21 35
Glibenklamid 4 6,66 17 28,33
Metformin dan glibenklamid 3 5 15 25
Total 7 11,66 5 88,33

Pemberian terapi obat memerlukan dosis permulaan (dosis awal) dan dosis

pemeliharaan. Pemberian dosis obat harus sesuai dengan kondisi dan umur pasien

terutama pada pasien lanjut usia, seiring penurunan fungsi organ pada lansia,

sehingga perlu adanya perhatian khusus dalam pemberian dosis pada lansia. Menurut

Profil Kesehatan Indonesia tahun (2013) dikatakan lanjut usia apabila berumur >60

tahun. Sehubungan hal ini pemberian dosis obat yang tepat akan memberikan efek

terapi yang dihasilkan juga optimal.

Menurut Drug Information Handbook tahun (2012) dosis glibenklamid untuk

usia >60 tahun (Lanjut usia) dengan pengobatan awal diberikan 1,25-2,5 mg/hari..

Dari semua kasus yang telah diambil dari rekam medik, semua pasien diberikan

glibenklamid 5 mg, kemungkinan di Puskesmas Puuwatu periode 2016 ini yang

47
tersedia hanya glibenklamid 5 mg. Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Puuwatu

Kota Kendari tahun 2016 terdapat 4 pasien berumur >60 tahun yang diberikan dosis 5

mg/hari dikatakan tidak tepat dosis. Penilaian glibenklamid pada kasus ini

dikategorikan tidak tepat obat karena jika pemberian dosis berlebih pada lanjut usia

memiliki resiko lebih besar untuk mengalami efek obat yang merugikan dan efek dari

glibenklamid yang dapat menyebabkan hipoglikemik. Walaupun kadar glukosa darah

pasien mengalami peningkatan yang tinggi pada awal pemeriksaan, seharusnya tetap

diberikan 1,25-2,5 mg glibenklamid pada pada pasien yang berusia >60 tahun, karena

organ tubuh pada pasien usia tua sudah mengalami penurunan dan kerja organ mulai

lambat, sehingga masalah organ lain akan terganggu jika diberikan dengan dosis

tinggi.

Menurut Dipiro tahun (2008) pemberian kombinasi metformin dan

glibenklamid pada usia muda <60 tahun dengan pengobatan awal yang diberikan

dosis glibenklamid 2,5-5 mg dan dosis metformin 250 mg 2 kali sehari. Pada

penelitian ini terdapat 3 pasien yang berusia <60 tahun yang diberikan 5 mg/hari

dosis glibenklamid dan dosis metformin 500 mg 2 kali sehari dikatakan tidak tepat

dosis. Sebagian pasien yang tertulis pada data rekam medik setiap pasien yang

terdiagnosis DM tipe 2 selalu diberikan terapi metformin 500 mg di Puskesmas

Puuwatu Kota Kendari 2016, hal ini membuktikan bahwa hanya tersedia metformin

500 mg, seharusnya dapat diberikan ½ tablet namun pemberian ini dapat terjadi

ketidakseimbangan pada saat pemotongan, maka sebaiknya 250 mg dapat tersedia di

Puskesmas Puuwatu Kota Kendari, serta pemberian 500 mg tidak dapat diberikan

48
karena pada kasus ini pasien diberikan kombinasi bersama dengan glibenklamid yang

dapat memicu terjadinya hipoglikemik.

3. Rasionalitas Penggunaan Obat Berdasarkan Ketepatan Interval Waktu

Pemberian

Penilaian ketepatan interval waktu pemberian antidiabetes di Puskesmas

Puuwatu Kota Kendari tahun 2016 disesuaikan dengan pedoman yang digunakan.

Ketepatan interval waktu pemberian pada Tabel 9 dilakukan pada semua pasien yang

didiagnosis Diabetes Melitus tipe 2.

Tabel 9. Ketepatan interval pemberian antidiabetes pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas


Puuwatu Kota Kendari tahun 2016
Penilaian ketepatan interval waktu pemberian
Tidak tepat interval waktu Tepat interval waktu
Obat antidiabetes
pemberian pemberian
n % n %
Metformin 3 5 17 28,33
Glibenklamid 1 1,66 21 35
Metformin dan glibenklamid - - 18 30
Total 4 6,66 56 93,33

Hasil penelitian pada 60 pasien di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun

2016, terdapat 4 pasien yang tidak sesui dengan pedoman standar yang digunakan

sehingga dikategorikan tidak tepat interval waktu pemberian. Pada penelitian di

Puskesmas Puuwatu terdapat 3 pasien dengan kasus yang sama dengan pengobatan

awal diberikan metformin 500 mg sekali sehari, penilaian ini dilakukan pada pasien

yang baru di diagnosis menderita Diabetes Melitus tipe 2 dengan kadar glukosa yang

tidak terlalu tinggi yaitu <200 mg/dL dikategorikan tidak tepat interval waktu

pemberian. Hal ini disebabkan karena jika awal pengobatan diberikan 1x1 capaian

49
target kadar glukosa dapat tidak tercapai atau bahkan jika pasien diberikan 3x1 dapat

menyebabkan hipoglikemik. Pedoman Standar pengobatan Diabetes Melitus tipe 2

dalam buku Drug Information Handbook tahun (2012) juga merekomendasikan

pasien yang melakukan pengobatan awal harus diberikan terapi awal metformin 500

mg 2 kali sehari.

Menurut Drug Information Handbook tahun (2012) untuk terapi awal

glibenklamid pada usia <60 tahun 2,5-5 mg/hari. Pada penelitian di Puskesmas

Puuwatu terdapat 1 pasien yang di berikan glibenklamid dengan terapi awal 5 mg 2

kali sehari. Pemberian glibenklamid 2 kali sehari pada pasien ini dikategorikan tidak

tepat karena terapi awal pada pasien ini seharusnya diberikan dengan interval waktu

pemberian rendah, namun jika selanjutnya keadaan pasien belum membaik maka

interval waktu pemberian harus ditingkatkan. Hal ini juga karena efek samping dari

glibenklamid yang dapat menyebabkan hipoglikemik sehingga dalam pemberian

terapi awal glibenklamid digunakan 1 kali sehari.

Penilaian untuk interval waktu pemberian harus selalu diperhatikan, mengingat

pemberian setiap obat yang digunakan memiliki masing-masing efek samping yang

berbeda, karena jika interval waktu pemberian melebihi yang disarankan maka efek

samping yang tidak diinginkan dapat terjadi.

50
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Rasionalitas penggunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu Kota Kendari

Tahun 2016 diperoleh :

1. Rasionalitas penggunaan obat berdasarkan tepat obat sebesar 44,99 %

2. Rasionalitas penggunaan obat berdasarkan tepat dosis sebesar 88,33 %

3. Rasionalitas penggunaan obat berdasarkan tepat interval waktu pemberian sebesar

93,33 %.

B. Saran

Rasionalitas pengunaan obat DM tipe 2 di Puskesmas Puuwatu belum

memenuhi tepat obat, tepat dosis dan tepat interval waktu pemberian, sehingga

disarankan bagi peneliti selanjutnya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut.

51
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M., dan Jefri, G., 2012, Dispepsia, CDK-197. Vol 39 (9).

Adnan, M., Tatik, M, dan Joko, T, I., 2013, Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Melitus (DM) tipe 2 Rawat
Jalan di RS Tugurejo Semarang, Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang, Vol. 2 (1).

American Diabetes Association, 2010, Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care, Vol. 33.

American Diabetes Association., 2012, Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus, Diabetes Care, Supplement 1, Vol. 35.

American Diabetes Association, 2015, Standard of medical care in Diabetes.


Diabetes Care, Supplement 1, Vol. 38.

Ario, M, D., 2014, Pengaruh Nikotin dalam Rokok pada Diabetes Melitus Tipe 2, J
Majority, Vol. 3 (7).

Azrimaidaliza, 2011, Asupan Zat Gizi Dan Penyakit Diabetes Mellitus, Jumal
Kesehatan Masyarakat, Vol. 6 (1).

Badan Pusat Statistik Kota Kendari, 2014, Kecematan Puuwatu dalam Angka 2014,
Badan Pusat Statistik Kota Kendari

BPOM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesi, Jakarta.

BPOM RI, 2009, Diabetes Melitus dalam Informasi Produk Terapetik, Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesi, Jakarta.

BPOM RI, 2010, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HM 04.01.1.23.09.10.9076 Tentang Pembekuan Izin Edar
Avandia, Avandaryl, dan Avandamet, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesi, Jakarta.

Budiman., Rosmariana, S., dan Paramita, P., 2016, Hubungan Dislipidemia,


Hipertensi dan Diabetes Melitus dengan Kejadian Infork Miokard Akut,
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, Vol. 10 (1).

52
Charles, F., Lora., Leonardo G., 2012, Drug Information Handbook 20th edition,
American Pharmacist Association, Lexicomp Drug Reference Handbook,
USA.

Dawn B. Marks PhD., Allan D. Marks MD and Colleen M. Smith PhD., 2000,
Biokimia Kedokteran Dasar, Jakarta.

Deasy, A., 2015, Pengaruh Terapi Pijat Terhadap Derajat Neuropati Diabetikum,
Jurnal Keperawatan Aisyiyah, Vol. 2 (2).

Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005, Pharmaceutical Care untuk


Penyakit Diabetes Melitus, Depertemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Pedoman Manajemen Puskesmas,


Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Dianati, N, U., 2015, Gout dan Hiperurisemia, J Majority, Vol. 4 (3).

Dines Kesehatan Sulawesi Tenggara, 2015, Laporan Pelaksanaan Program dan


Kegiatan Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014
Kendari.

Dines Kesehatan Sulawesi Tenggara, 2016, Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara


2015, Kendari.

Dipiro, T.J., Talbert, L.R., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posoy, L.M.,
2008, Pharmacotherapy, A pathophysiologyc Approach, 8ed.,, Mc Graw Hill
Companies, USA.

Fatimah, R, N., 2015, Diabetes Melitus Tipe 2, J Majority, Vol. 4 (5).

Gunawan, S.G., 2012, Farmakologi dan Terapi Edisi V, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, Jakarta

Hermanto, Sony W., dan Banjarnahor., 2012, Korelasi Antara Homa-IR Ibu Diabetes
Melitus Gestasional Trimester Tiga dengan Luaran Maternal dan Neonatal,
Obstetri dan Ginekologi, Vol. 20 (3).

Hongdiyanto, A., Paulina V, Y, dan Hamidah S, S., 2014, Evaluasi Kerasionalan


Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Pasien Rawat Inap Di Rsup Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado Tahun 2013, Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 3 (2).

53
IDF, 2015, IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International Diabetes Federation 2015.

Jelantik, I, G, M, G., 2014, Hubungan Faktor Resiko Umur, Jenis Kelamin,


Kegemukan dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus tipe 2 di
wilayah Kerja Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah, Vol. 8 (1).

Katarnida, S, S., Dewi M., dan Yusticia K., 2014, Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Secara Kualitatif di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta, Jurnal Sari
Pediatri, Vol. 15 (6).

Keban, S.A., dan Ulfa, A.R., 2016, Hubungan Rasionalitas Pengobatan dan Self-care
dengan Pengendalian Glukosa Darah pada Pasien Rawat Jalan di Rumah
Sakit Bina Husada Cibinong, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol. 14
(1).

Kementerian Kesehatan, 2011, Modul Penggunaan Obat Rasional, Kementerian


Kesehatan RI, Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010, Profil Kesehatan Indonesia,


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Profil Kesehatan Indonesia,


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Riset Kesehatan Dasar,


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Kristina, S, A., Yayi S, P., dan Riswaka S., 2008, Perilaku pengobatan sendiri yang
rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten
Sleman, Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 19 (1).

Kurniawan, L, B., 2016, Patofisiologi, Skrining, dan Diagnosis Laboratorium


Diabetes Melitus Gestasional, CDK-246, Vol. 43 (11).

Lestari, U., Deswinar, D, dan Lusiana, E., 2011, Pola Pengobatan pada pasien
Hipertensi dengan Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Raden Mattaher Jambi,
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 16 (2).

Linnisaa, U, H., dan Susi E, W., 2014, Rasionalitas Peresepan Obat Batuk
Ekspektoran Dan Antitusif Di Apotek Jati Medika Periode Oktober-
Desember 2012, Indonsian Journal on Medical Science, Vol. 1 (1).

54
Listiana, S, A., Didik, S, dan Susanti, 2012, Identifikasi Permasalahan Dosis dan
Interaksi Obat pada Pasien Askes dan Umum Penderita Epilepsi di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarno Purwekerto, Pharmacy, Vol. 9 (2).

Misnadiarly, 2006, Diabetes Melitus, Pustaka Populer Obor, Jakarta.

Muflihatin, S, K., dan Rahmat, I, S., 2016, Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang
Senam Kaki Diabetik Dengan Aktivitas Senam Kaki Diabetik Untuk
Mencegah Ulkus Diabetik Pada Penderita Diabetes Melitus di Wilayah Kerja
Puskesmas Loa Kulu, Ilmu Kesehatan, Vol. 4 (2).

Munarsih, C, F., Meila, O., dan Ramadhani, F., 2017, Evaluasi Penggunaan Obat
dengan Indikator Prescribing Pada Puskesmas Wilayah Kota Administrasi
Jakarta Barat Periode Tahun 2016, Journal Social Clinical Pharmacy
Indonesia, Vol. 2 (1).

Nainggolan, O., Yudi, K., dan Hendrik, E., 2013, Determinan Diabetes Melitus
Analisis Baseline Data Studi Kohort Penyakit Tidak Menular Bogor 2011,
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 16 (3).

Njoto, E, N., 2014, Target Tekanan Darah Pada Diabetes Melitus, CDK-222, Vol. 41
(11).

Nugroho, A, E., 2006, Patologi dan Mekanisme Aksi Diabetogenik, Biodiversitas,


Vol. 7 (4).

Nurhayati, M., 2016, Peran Tenaga Medis dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat di
Puskesmas Pembantu LinggangAmer Kecematan Linggang Bigung
Kabupaten Kutai Barat, Jurnal Ilmu administrasi Negara, Vol. 4 (1).

Paputungan, S, R., Harsinen, S., 2014, Peranan Pemeriksaan Hemoglobing A1c pada
Pengelolaan Diabetes Melitus, CDK-220, Vol. 41 (9).

Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia, 2015, Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia, Jakarta.

Pratiwi, P., Gustop, A., dan Mashaurani, Y., 2014, Pengaruh Stres Terhadap Kadar
Gula Darah Sewaktu Pada Pasien Diabetes Melitus Yang Menjalani
Hemodialisa, Jurnal Kesehatan, Vol. V (1).

Putri, N, H, K dan Muhammad, A, I., 2013, Hubungan Empat Pilar Pengendalian


DM Tipe 2 dengan Rerata Kadar Gula Darah, Jurnal Epidemiologi, Vol. 1
(2).

55
Rochma, W., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 3. Jakarta.

Rondhianto, 2013, Faktor yang Berhubungan dengan Hambatan Diet Diabetes


Melitus pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas
Wonosari Kabupaten Bondowoso, Jurnal Ikesma, Vol. 9 (1).

Salistyaningsih, W., Theresia, P., dan Dwi, K, N., 2011, Hubungan Tingkat
Kepatuhan Minum Obat Hipoglikemik Oral dengan Kadar Glukosa darah
pada Pasien Diabetes Melitus, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 27 (4).

Sari EN, dan Parwitasari, 2013, Rasionalitas Pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 di
RSUP Dr. Sardjito dan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Jurnal
Farmasain,Vol. 2 (2).

Suhaema., Ni Ketut S, S., dan Tira S., 2015, Gambaran riwayat pola makan dan Tipe
2 rawat jalan peserta jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) Di rumah
sakit umum daerah kota mataram, Jurnal Kesehatan Prima, Vol. 9 (1).

Suzanna, N., 2014, Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini, Medicinus, Vol.
27 (2).

Tjay, T, H, dan Kirana, R., 2007, Obat-Obat Penting Edisi Ke Enam, Elex Media
Komputindo, Jakarta.

Tobat, S, R., Husni M., dan Ida H, D, P., 2015, Rasionalitas Penggunaan Antibiotika
Pada Penyakit Ispa Di Puskesmas Kuamang Kuning I Kabupaten Bungo,
Scientia, Vol. 5 (2).

Trisnawati, S, K, dan Soedijono, S., 2013, Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus
Tipe 2 di Puskesmas Kecematan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012,
Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 5 (1).

Wahyuni, S., dan Raihana N, A., 2013, Diabetes Melitus pada Perempuan Usia
Reproduksi di Indonesia, Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol. 3 (1).

Wicaksono, 2013, Diabetes Melitus Tipe 2 Gula Darah Tidak Terkontrol dengan
Komplikasi Neuropati Diabetikum, Medula, Vol. 1 (3).

Wiyono, P, dan Ignatia, S, M., 2004, Glimepiride Generasi Baru Sulfonilurea, Dexa
Medica, Vol. 2 (17).

56
57
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
Lampiran 2. Hasil Penilaian Rasionalitas Obat Pada Pasien DM Tipe 2
Kerasionalan pengobatan
Ket
Nomor Rekam Nama Umur/Jenis
No Terapi Pengobatan Tepat Obat Tepat Dosis Tepat interval
Medik Pasien Kelamin
Waktu
pemberian
1. 1666 AMN 55 Th/L Glibenklamid5 mg/1x1 TR R R PB

2. 177 SLM 54 Th/L Glibenklamid 5 mg/1x1 TR R R PB

3 1182 DSG 65 Th/P Glibenklamid 5 mg/2x1 TR R R PL

4. 1400 HNR 42 Th/L Metformin 500 mg/1x1 R R TR PB


5. 1152 NTI 61 Th/P Metformin 500 mg/2x1 R R R PL

6. 2425 NDN 56 Th/P Glibenklamid 5 mg/3x1 TR R R PB


7. 1777 SHR 50 Th/P Glibenklamid 5 mg/1x1 TR R R PL
Metformin 500 mg/1x1

8. 222 SRL 54 Th/L Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL

9. 2133 YHS 57 Th/L Glibenklamid 5 mg/1x1 TR R R PB

10. 887 MMN 50 Th/P Metformin 500 mg/2x1 R R R PL

11. 230 DMW 54 Th/P Glibenklamid 5 mg/1x1 TR R R PB

12. 2024 HJM 53 Th/P Metformin 500 mg/1x1 R R R PL


Glibenklamid 5 mg/1x1

13. 584 NYT 46 Th/P Metformin 500 mg/2x1 R R R PL

67
14. 438 SKM 48 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PL

15. 1800 NLN 60 Th/P Metformin 500 mg/1x1 R R R PL

16 300 DIN 39 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB

17. 954 WFM 52 Th/P Metformin 500 mg/1x1 TR R R PB


Glibenklamid 5mg/1x1

18. 2898 MSN 58 Th/P Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL


Metformin 500 mg/1x1

19. 1854 SRG 57 Th/L Metformin 500 mg/2x1 R R R PL

20. 326 DJM 62 Th/L Metformin 500 mg/2x1 R R R PL

21. 3035 ASE 57 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PL

22. 168 YLN 44 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB

23. 582 MTS 56 Th/L Metformin 500 mg/1x1 R R TR PB

24. 2408 NRM 59 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB


Glibenklamid 5 mg/1x1

25. 685 PNY 43 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB

26. 410 JML 60 Th/L Metformin 500 mg/2x1 R R R PB

27. 958 MKH 60 Th/L Glibenklamid 5 mg/ 2x1 TR TR R PB

68
28. 540 FRD 51 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PL

29. 2270 SMT 67 Th/P Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB

30. 239 NMI 53 Th/P Metformin 500 mg/1x1 R R TR PB

31 304 WSN 84 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 TR TR R PB

32. 764 PDN 53 TH/L Metformin 500 mg/2x1 TR R R PL


Glibenklamid 5 mg/1x1

33. 537 JNT 64 TH/L Metformin 500 mg/2x1 TR R R PL


Glibenklamid 5 mg/1x1

34. 346 TMR 56 TH/L Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB

35. 288 NRM 60 TH/P Metformin 500 mg/2x1 R R R PL

36. 1003 SMT 60 TH/P Glibeklamid 5 mg/1x1 TR R R PL


Metformin 500 mg/2x1

37. 185 PNI 62 TH/P Metformin 500 mg/2x1 R R R PL

38. 673 LOU 65 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL


Metformin 500 mg/2x1

39. 467 TTO 53 TH/L Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL

40. 3611 MTJ 60 TH/L Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL

69
41. 1145 ARF 55 TH/L Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB
Glibenklamid 5 mg/1x1

42. 2015 LBA 53 TH/ L Metformin 500 mg/2x1 R R TR PB

43. 839 SLN 62 TH/ L Metformin 500 mg/2x1 TR R R PL


Glibenklamid 5 mg/1x1

44. 550 MRU 58 TH/ L Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL

45. 2510 STR 60 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 TR R R PL

46. 435 ABD 54 TH/ L Glibenklamid 5 mg/1x1 TR R R PL


Metformin 500 mg/2x1

47. 2318 SMR 50 TH/P Metformin 500 mg/2x1 R R R PL

48. 631 TMR 43 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 TR TR R PB


Metformin 500 mg/2x1

49. 2795 RSL 48 TH/ L Glibenklamid5 mg/1x1 TR R R PB

50. 119 ALS 65 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 TR TR R PL

51. 514 KMR 54 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PB

52. 108 HNA 67 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL


Metformin 500 mg/2x1

70
53. 258 PTS 48 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PL
Metformin 500 mg/2x1

54. 453 JFR 60 TH/L Metformin 500 mg/2x1 TR R R PB

55. 2204 DMR 54 TH/L Glibenklamid 5 mg/1x1 R R R PB

56. 1590 TSM 43TH/L Glibenklamid 5 mg/2x1 R R R PB

57. 750 MHT 62 TH/L Glibenklamid 5 mg/1x1 R TR R PB

58. 194 SPL 48 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 R TR R PB


Metformin 500 mg/2x1

59. HSN 35 TH/P Glibenklamid 5 mg/1x1 R TR R PB


3091 Metformin 500 mg/2x1

60. 360 AMR 56 TH/L Metformin 5 mg/1x1 R R R PB

Keterangan
L ; Laki-laki
P : Perempuan
R : Rasional
TR : Tidak Rasional
PB : Pasien Baru
PL : Pasien Lama

71
Lampiran 3. Analisis Data

A. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin Jumlah (n) Presentase (%)


Laki-laki 26 43,33%
Perempuan 34 56,66%
Total 60 100 %

n
Rumus : % jenis kelamin = x 100%
sampel

26
Laki-laki = x 100%
60

= 43,33 %

34
Perempuan = x 100%
60

= 56,66 %

B. Persentase Karakteristik Pasien Berdasarkan Umur

Umur Jumlah (n) Persentase (%)


15-64 tahun 54 90 %
> 65 tahun 6 10 %
Total 60 100 %

𝑛
Rumus : % umur = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

54
Umur 15-64 tahun = x 100 %
60

= 90%

72
6
Umur >65 Tahun = 60 x 100%

= 10 %

C. Persentase Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta


Penyakit penyerta Jumlah (n) Persentase (%)
DM Tanpa penyakit penyerta 20 33,33
DM + Hipertensi 15 25
DM + Gout 9 15
DM + Hiperkolesterol 6 10
DM + Dispepsia 5 8,33
DM + Hipertensi + Gout 2 3,33
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol 1 1,66
DM + Gout + Hiperkolesterol 1 1,66
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol + Gout 1 1,66
Total 60 100%

𝑛
Rumus : % Penyakit penyerta = 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%

20
DM tanpa Penyakit Penyert𝐚 = 60 x 100%

= 33,33 %

15
DM + Hipertensi = 60 x 100%

= 25 %

9
DM + Gout = x 100%
60

= 15 %
2
DM + Hipertensi + Gout = 60 x 100%

73
= 3,33 %
6
DM + Hiperkolesterol = 60 x 100%

= 10 %
8
DM + Dispepsi = 60 x 100%

= 8, 33 %
1
DM + Gout + Hiperkolesterol = x 100%
60

= 1,66 %

1
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol = 60 x 100%

= 1,66 %
1
DM + Hipertensi + Hiperkolesterol + Gout = 60 x 100%

= 1,66 %

D. Persentase Rasionlitas Antidiabetes


1. Tepat Obat
Penilaian ketepatan obat
Obat antidiabetes Tidak tepat obat Tepat obat
n % n %
Metformin 8 13,33 14 23,33
Glibenklamid 12 20 6 10
Metformin + glibenklamid 13 21,66 7 11,66
Total 33 54,99 27 44,99

n
Rumus : % Tepat Obat = x 100%
sampel

27
% Tepat Obat = 60 x 100%

74
= 44,99%
33
% Tidak Tepat Obat = 60 x 100%

= 54,99%

2. Tepat Dosis
Penilaian ketepatan dosis
Obat antidiabetes Tidak tepat dosis Tepat dosis
n % n %
Metformin - - 21 35
Glibenklamid 4 6,66 17 28,33
Metformin + glibenklamid 3 5 15 25
Total 7 11,66 5 88,33

n
Rumus : % Tepat dosis = x 100%
sampel
5
% Tepat Dosis = x 100%
60

= 88,33%

7
% Tidak Tepat Dosis = x 100%
60

= 11,66%

3. Tepat Interval Waktu Pemberian


Penilaian ketepatan interval waktu pemberian
Tidak tepat interval Tepat interval waktu
Obat antidiabetes
waktu pemberian pemberian
n % n %
Metformin 3 5 17 28,33
Glibenklamid 1 1,66 21 35
Metformin + glibenklamid - - 18 30
Total 4 6,66 56 93,33

75
n
Rumus : % Tepat inerval pemberian = x 100%
sampel

56
% Tepat Interval waktu Pemberian = x 100%
60

= 58,06%
4
% Tidak Tepat Interval Waktu Pemberian = 29 x 100%

= 6,66%

76

Anda mungkin juga menyukai