Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

DASAR BIOMEDIK III

Tentang :
“EFEK SAMPING OBAT DAN KESALAHAN MEDIS DI INDONESIA AKIBAT
KESALAHAN MEMBERIKAN OBAT “

Oleh :
SRI WAHYUNI 211000413201046

Dosen Pengampu :
Yeltra Armi, S. Si, M. Biomed

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI
TP 2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ““ EFEK
SAMPING OBAT DAN KESALAHAN MEDIS DI INDONESIA AKIBAT
KESALAHAN MEMBERIKAN OBAT“.
Perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih kepada : Ibu dan bapak, atas tugas
yang diberikan sehingga menambah wawasan kami, demikian pula kepada teman-teman
yang turut memberi sumbang saran dalam penyelesaian makalah sebagaimana yang kami
sajikan. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan, untuk itu kami yang memohon saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua

Bukittinggi, 10 Februari 2023

SRI WAHYUNI

2
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan......................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Efek samping obat...........................................................................................5
B. Kesalahan medis di Indonesia akibat kesalan memberikan obat.....................8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................15
B. Saran................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................16

BAB I
3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Efek samping obat adalah (ESO) adalah setiap efek berbahaya yang tidak
diinginkan dan terjadi secara tidak sengaja dari suatu obat yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis normal pada manusia untuk tujuan pencegahan,
diagnosis atau terapi, serta modifikasi fungsi fisiologis (WHO, 2014). Banyak
bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah,
dengan cara menambah pengetahuan, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan
aspek keamanan obat pasca pemasaran atau yang sekarang lebih dikenal dengan
istilah Farmakovigilans (BPOM, 2012).

WHO dibawah program farmakovigilans telah merekomendasikan setiap negara


untuk melakukan pelaporan efek samping obat (ESO), baik secara aktif maupun
spontan (pasif) dalam upaya mengidentifikasi obat-obat yang bisa menyebabkan
efek samping obat (WHO, 2014) Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan
tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau
masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat (WHO, 2014).

Farmakovigilans memainkan peran yang sangat penting dalam menurunkan


kejadian efek samping obat, karena itu, evolusi dan perkembangan ilmu ini,
sangat penting untuk praktik klinis yang aman dan efektif (WHO, 2014):
Monitoring efek EDJAJA samping obat (MESO) merupakan salah satu bentuk
program farmakovigilans. Tujuan dilakukannya program ini adalah untuk
mengetahui efektifitas dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan
nyata atau praktik klinik yang sebenarnya.

Saat ini jika dibandingkan dengan negara lainnya di ASEAN, profil pelaporan
efek samping obat Indonesia masih rendah (BPOM, 2012). Hal ini dikarenakan
kesadaran apoteker untuk melaporkan ESO masih sangat rendah (Kudri dan
Barliana, 2018), Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2013)
mengungkapkan bahwa pengetahuan, kikap dan praktik, yang baik, akan
menciptakan strategi yang baik dalam mendorong terlaksananya pelaporan ESO
yang lebih optimal.

Di Indonesia, penelitian tentang pengetahuan apoteker terkait monitoring efek


samping obat telah dilakukan di apotek wilayah Yogyakarta, yang menunjukkan
bahwa dari 100 Apoteker, 24% apoteker memiliki pengetahuan baik. tentang
pelaporan MESO (Ulfa et al, 2017). Namun belum ditemukan studi pengetahuan,
sikap dan praktik apoteker tentang monitoring efek samping obat (MESO) yang
dilakukan kepada apoteker di rumah sakit.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan praktik
Apoteker di rumah sakit Kota Bengkulu tentang pelaporan monitoring efek
samping obat (MESO), Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuisioner
yang berisi beberapa pertanyaan terkait pengetahuan, sikap dan praktik Apoteker

4
terhadap pelaporan monitoring efek samping obat (MESO). Setelah melalui
proses tersebut maka dilakukan analisa hubungan dan penilaian terhadap tiga
variabel tersebut.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana efek samping obat dan kesalahan media di Indonesia akibat
kesalahan memberikan obat ?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui efek samping obat dan kesalahan media di Indonesia
akibat kesalahan memberikan obat

BAB II
PEMBAHASAN
A. Efek Samping Obat
Reaksi-reaksi efek samping obat yang berat jarang ditemukan, meskipun efek-efek
toksik yang berbahaya sering terjadi pada penggunaan beberapa golongan obat.
Mekanisme reaksi obat dibagi dalam dua kategori utama. Termasuk gologan
pertama sering muncul sebagai manifestasi efek farmakologi yang berlebihan,karna
itu dapat diramalkan. Golongan kedua yang dapat merupakan reaksi imunologik

5
atau mekanisme yang belum diketahui,umumnya merupakan hal yang tidak
dikehendaki dan tidak dapat ditemukan sampai suatu obat dipasarkan untuk waktu
lama. Oleh karena itu toksisitas ini biasanya ditemukan oleh para dokter. Dalam hal
ini termasuk waspada terhadap reaksi-reaksi yang diperantai IgE seperti anafilaksis,
urtikaria, angioedema.Tipe reaksi lain yang diperantai IgG atau IgM dari penyakit
tipe lupus eritemaosis,respon yang diperantai oleh IgG tipe penyakit serum
termasuk vaskulitis dan alergi yang diperantai sel-sel yang terlibat yang terlibat
dalam dermatitis kontak.

Efek samping obat mencakup setiap pengaruh obat yang tidak dikehendaki, yang
merugikan atau membahayakan pasien dalam dosis terapetik untuk pencegahan
atau pengobatan penyakit. Sadar akan adanya efek samping obat, maka banyak
studi dilakukan untuk menilai efek samping obat. Faktor predisposisi yang
mendasari terjadinya efek samping obat diantaranya:
1. Ras, sebagian peneliti mengemukakan bahwa orang kulit putih lebih mudah
menderita efek samping obat daripada orang kulit bewarna. Adanya perbedaan
tersebut antara lain karena ada perbedaan kecepatan metabolisme obat,
misalnya ada orang yang merupakan asetilator cepat,seperti pada drug-induced
systemic lupus erythematosis dan juga pada kasus kanker kandung kemih.

2. Kelainan genetik defisiensi atau abnormalitas pseudokolinesterase plasma.Pada


orang tersebut mengalami paralisis otot yang lebih lama atau apneu apabila
mendapatkan obat relaksan otot suksametonium.

3. Jenis kelamin diduga menjadi faktor predisposisi efek samping obat. Berbagai
penelitian tentang efek toksik digoksin dan perdarahan pada terapi heparin
lebuh banyak terjadi pada wanita. Agranulositosis akiban fenilbutazon dan
kloramfenikol tiga kali lebih banyak pada wanita. Anemia aplastik akibat
kloramfenikol dua kali lebih banyak pada wanita.

4. Umur lansia atau umur diatas 60 tahun lebih mudah menderita efek samping
obat dibandingkan dengan orang muda.
5. Faktor-faktor lain seperti riwayat alergi, riwayat menderita efek samping obat,
gangguan fungsi ginjal dan hati semua mempermudah terjadinya efek samping
obat terkait. Kemampuan ikatan dengan protein plasma juga berpengaruh.
Bentuk formulasi obat juga berpengaruh.

Ditinjau dari segi aspek patologi, efek samping obat dapat dibagi menjadi beberapa macam
yakni:

1. Tipe A. Efek samping tipe A terjadi akibat aksi farmakologis yang normal,dapat
diperkirakan dari aksi farmakologisnya yang biasa,dan umumnya tergantung dosis.
Insidensi dan morbiditasnya tinggi, tetapi mortalitasnya rendah. Misalnya jadi
mengantuk setelah minum CTM.

6
2. Tipe B. Efek samping tipe B terjadi tidak berkaitan dengan aksi farmakologisnya
yang biasa. Terjadinya tidak dapat diduga. Insidensi dan morbiditasnya rendah tapi
mortalitasnya tinggi. Contohnya reaksi imunologik. Walaupun sebagian besar
gejala klinis efek samping obat dapat digolongkan dalam tipe A dan tipe B, tetapi
ada juga yang sulit dimasukan karena dua mekanisme yang berbeda kadang-kadang
mempunyai efek yang sama. Contohnya agranulositsis yang timbul akibat
pemberian kloramfenikol atau fenilbutazon.

3. Tipe C adalah efek samping yang sulit dideteksi, efek samping ini timbul akibat
pemakaian obat dalam jangka panjang. hubungan antar efek samping ini memang
sulit untuk dibuktikan namun sangat diduga kuat berkaitan. contohnya prevalensi
kanker payudara meningkat setelah terjadi peningkatan kontrasepsi pil kontrasepsi
orang di masyarakat.

4. Tipe D. Efek samping obat yang lambat atau delayed yang terjadi beberapa tahun
setelah terapi jangka panjang. Contohnya efek samping obat diethystilbesterol
adeno Ca vagina.

5. Tipe E. Efek pada akhir terapi (end of treatment) yang terjadi akibat penggunaan
obat yang dihentikan secara tiba-tiba. Contohnya pada penggunaan steroid yang
meng-induced cushing syndrome.

6. Tipe F. Akibat obat yang telah lama digunakan dihentikan penggunaannya secara
tiba-tiba. Contohnya adalah obat narkotika, pil KB, kortikosteroid.

Efek samping biasanya terjadi pada dosis terapi. Tingkat kejadian efek samping ini sangat
bervariasi antara satu obat dengan obat lainnya.Efek samping ini juga tidak dialami oleh
semua orang karena masing-masing orang memiliki kepekaan dan kemampuan untuk
mengatasi efek ini secara berbeda-beda.Efek samping suatu obat bisa lebih banyak
dibandingkan efek terapinya.

Umumnya, efek samping obat itu berupa :


 Alergi
 Gangguan pada kulit (ruam, bentol-bentol, gatal)
 Gangguan pencernaan (diare, mual, muntah)
 Gangguan sistem saraf (pusing, vertigo)
 Gangguan kardiovaskular (jantung berdebar, hipotensi, hipertensi)
 Gangguan saluran pernafasan (sesak nafas)

Contohnya adalah amlodipin ( obat tekanan darah tinggi ). Efek samping utama adalah
edema pada tungkai, namun juga dapat terjadi jantung berdebar, nyeri perut, mual, sakit
kepala, lemas. Persentase dalam tanda kurung menunjukkan jumlah kejadian.Tidak
selamanya efek samping ini merugikan.Pada kondisi tertentu efek ini bisa
dimanfaatkan.Misalnya efek mengantuk akibat obat antihistamin bermanfaat pada anak
yang sedang batuk flu agar bisa beristirahat dengan baik. Efek samping ini bisa

7
diperkirakan, tetapi ada juga yang tidak seperti reaksi alergi.Ada beberapa kejadian dimana
orang melepuh tubuhnya setelah menggunakan obat. Ini adalah salah satu contoh efek yang
tidak bisa diprediksi atau diperkirakan..

Contoh lain:
a. Obat Diphenhidramine
 Efek utamanya adalah Antihistamin (anti allergi)
 Efek sampingnya adalah menghambat SSP sehingga pasien menjadi mengantuk.

b. Obat Atropin
 Efek utamanya adalah relaksasi usus / ureter
 Efek sampingnya adalah mulut / bibir menjadi kering.

Efek samping obat menurut perjalanan waktu

1. Efek Segera (Immediate Effects)


Umumnya efek obat berhubungan langsung dengan konsentrasi plasma, tetapi tidak
selalu efek obat parallel dengan konsentrasi obat Schab hubungan antara
konsentrasi obut dan efek bersifat tidak linier. efek tidak selalu proporsional
terhadap konsentrasi Pertimbangan efek dari suatu inhibitor angiotensinconverting
eazyme (ACE) seperti enalapril, pada enzim ACE dalam plasma. Waktu paruh
enalapril adalah sekitar 3 jam Setelah dosis PO 10 mg puncak konsentrasi plasma
setelah 3 jam adalah sekitar 64 ng/mL..Enalapril biasanya diberikan sekali sehari,
jadi diperlukan 7 waktu parah mulai dari waktu konsentrasi puncak sampai ke akhir
dari interval dosis.

Catat halwa enalapril dalam konsentrasi plasma benihah dengan suatu faktor 16
selama 12 jam pertama (4 waktu paruh) setelah konsentrasi pancak, tetapi inhibisi
terhadap ACE hanya berkurang 20% Karena konsentrasi pada saat ini adalah sangat
tinggi dibandingkan dengan EC50, maka efek terhadap ACE adalah mendekati
konstan. Setelah 24 jam, enzim ACE masih 33% dihamhat. Hal ini menerangkan
mengapa suatu obat yang memiliki waktu paruh pendek dapat diberikan is saja
sehari dan masih dapat mempertahankan efeknya selama hari.Faktor utamanya
adalah suatu konsentrasi inisial yang tinggi disbanding dengan ECS what tersebut.
Walaupun konsentrasi dalam plasma setelah 24 jam lebih rendah 1% dari
konsentrasi puncaknya, konsentrasi rendah ini masih tetap separuh dari EC50. Hal
ini adalah sangat umum untuk obat yang bekerja pada enzim, misalnya propanolol.

Ketika konserm berada diantara % dan 4x ECS0, efek tersebut menjadi


proporsional langsung terhadap konsentrasi dan perjalanan waktu dari efek obat
diikuti penurunan konsentrasi yang eksponensial. Ini terjadi jika konsentrasi rendah

8
dalam hubunganya dengan EC50 dimana konsep "waktu paruh efek obar" telah
berarti

2. Efek Lambat (Delayed Effects)


Perubahan intensitas efek obut sering tertunda dalam konsentrasi plasma.
Perlambatan ini mencerminkan waktu yang diperlukan untuk distribusi obat dari
plasma ke tempat kerjanya. Hal ini berlaku untuk hampir semua obat Perlambatan
karena distribusi adalah suatu fenomena farmakokinetik yang menyebabkan
penundaan beberapa menn sampai beberapa jam perlambatan distribus dapat
menjelaskan perlambatan efek setelah pemberian IV obat pada susunan saraf posat
seperti tiopental.

Penyebab umum untuk efek obat yang tertunda lebih lama khususnya obat yang
memerlukan waktu beberaps jam atau beberapa hari sebelum efck terlihat adalah
pembalikan yang lambat daripada suatu substana fisiologik yang diperlukan untuk
ekspresi obat tersebut. Misalnya, warfarm bekerja sebagai suam antikoagulan
dengan cam menghambat epoksidase vitamin K dalam hati. Kerja warfarin ini
terjadi dengan cepat, dan hambatan terhadap enzim tersebut sangat tergantung
konsentrasi warfarin dalam plasma.

Efek klinik warfarin, misalnya pada waktu protrombin, menunjukkan penurunan


konsentrasi komplek protrombin dalam faktor pembekuan darah Hambatan
terhadap epoksidase vitamin K menurunkan sintesa faktor pembekuan. Hambatan
terhadap epoksidase vitamin K menurunkan sintesa faktor pembekuan, tetapi
kompleks pembekuan darah mempunyai waktu paruh yang panjang kira-kira
14Hambatan terhadap epoksidase vitamin K menurunkan sinteasa faktor
pembekuan.

Hambatan terhadap epoksidase vitamin K menurunkan sintesa faktor pembekuan,


tetapi kompleks pembekuan darah mempunyai waktu paruh yang panjang (kira-kira
14 jam) dan waktu paruh inilah yang menetukan berapa lama konsentrasi faktor
pembekuan akan mencapai suatu keadaan stabil yang sama, dan untuk efek obat
menjadi gambaran manifest konsentrasi plasma warfarin.

3. Efek Kumulatif
Beberapa efek obat lebih nyata berhubungan dengan kerja kumulatif daripada kerja
reversible yang cepat. Toksisitas ginjal dani ansbiotic aminogikosida (misalnya
gentamisin) lebih besar jika diberikan sebagai infuse konstan (terus-menerus)
dibandingkan dengan dosis intermiten. Dalam hal ini, toksisitas terjadi karena dosis
yang melebihi anjuran (infuse konstany, sehingga terjadi penumpukan toksik dalam
ginjal, dan apalagi oba diberikan melalui infuse yang masuk ke pembuluh darah.
Lebih jelasnya, hal ini merupakan akumulasi aminoglikosida di korteks ginjal yang
menyebabkan kerusakan ginjal. Meskipun kedua pola dosis tersebut menghasilkan
konsentrasi keadaan stabil yang rata-rata sama, pemberian dengan dosis intermiten
menghasilkan konsentrasi puncak yang jauh lebih tinggi dan melampaui kejenuhan
mekanisme ambilan dalam korteks ginjal, sehingga total akumulasi aminoglikosid

9
menjadi lebih kecil. Perbedaan toksisitas tersebut adalah akibat yang dapat
diramalkan karena pola konsentrasi yang berbeda dan mekanisme ambilan yang
mempunyai batas kejenuhan.

Efek obat yang digunakan untuk pengobatan kanker juga menunjukkan suatu aksi
kumulatif, misalnya, besarnya ikatan suatu obat terhadap DNA adalah sebanding
dengan konsentrasi obat dan biasanya bersifat reversible.Oleh karena itu efek obat
terhadap perumbuhan tumor adalah merupakan suatu akibat paparan kumulatif pada
obat tersebut. Ukuran paparan kumulatif, seperti AUC 9area under the
concentration-time curve), merupakan parameter untuk meramalkan respons dan
sebagai target AUC dapat dipakai sebagai alat untuk menyesuaikan pengobatan
secara perseorangan.

B. Kesalahan medis di Indonesia akibat kesalahan memberikan obat


Obat merupakan unsur penunjang dalam sistem pelayanan kesehatan dan
kedudukannya sangatlah penting dalam upaya pengobatan karena sebagian besar
intervensi medik menggunakan obat. Oleh karena itu, obat harus selalu tersedia
pada saat diperlukan baik jenis dan jumlahnya serta pemberian obat harus rasional.

Obat rasional yaitu :


 Tepat diagnosis, jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan
obat tidak sesuai dengan diagnosis dan akhirnya obat yang diberikan juka tidak
sesuai.
 Tepat pasien, tepat pemilihan obat keputusan pemilihan obat sesuai diagnosis
yangsehingga obat yang dipilih memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.
 Tepat dosis, obat sangat dipengaruhi oleh dosis jika pemberian dosis berlebih
khususnya obat yang indeks terapinya sempint akan sangat beresiko timbulnya
efek samping.
 Tepat cara pemberian, sesuai bentuk sediaan terutama dengan cara pemberian
khusus seperti untuk inhealer dan suppositoria harus dijelaskan agar tidak salah
dalam pemakaian.
 Tepat interval waktu pemberian, setiap berapa kali sehari jika berlebih dapat
menimbulkan efek samping serta interval yang terlalu banyak akan berpotensi
ketidakpatuhan pasien.
 Tepat informasi, harus tepat dalam penggunaan obat untuk menunjang
keberhasilan terapi serta tepat penyerahan obat pada saat pasien membawa
resep kemudian dikaji dan disiapkan harus tepat jika tidak sesuai dapat teradi
efek yang tidak diinginkan.

Dalam praktek kefarmasian, apoteker memiliki tugas untuk pengendalian sediaan


farmasi, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian obat hingga obat sampai kepada
pasien yaitu saat pelayanan obat atas resep dokter serta pelayanan informasi obat.
Namun dalam prakteknya masih banyak terjadi kesalahan dalam pengobatan dan
terdapat laporan kasus setiap tahun bahkan setiap bulannya.

10
Laporan kasus merupakan dokumentasi ilmiah pasien perorangan, Laporan ini
sering ditulis untuk mendokumentasikan presentasi klinis yang tidak biasa,
pendekatan pengobatan, efek samping, atau respons terhadap pengobatan.
Kebanyakan ahli melihat laporan kasus sebagai bukti pertama dalam perawatan
kesehatan, yang terkadang dapat mengarah pada studi tingkat tinggi di masa depan.

Dari data jurnal di negara-negara maju, penulisan resep dokter yang masih manual
dan sering kali sulit dibaca merupakan faktor yang sangat sering terjadi
diperkirakan setiap tahunnya dapat menyebabkan kematian 7000 kematian per
tahun. Laporan kasus dapat menjadi kesempatan belajar yang hebat bagi apoteker
dan mahasiswa farmasi untuk memahami perkembangan kasus dan respons dan
efek obat yang tidak konvensional.

Artikel ini menyoroti 5 laporan kasus yang dipublikasikan dan mendokumentasikan


kesalahan administrasi pengobatan yang tidak disengaja saat pemberian diapotek
dan saat perawatan.

1. Kasus nyonya S
Nyonya S yang baru saja melahirkan, mengalami koma selama dua hari, setelah
diadakan pemeriksaan ternyata pasien tersebut salah mengkonsumsi obat.
Seharusnya pasien mendapatkan obat methylergotamin yang salah satu fungsinya
yaitu untuk mengontrol pendarahan pada melahirkan atau persalinan dan
mempercepat kembalinya kandungan (uterus) ke keadaan normal, sedangkan obat
yang diberikan oleh apotek yaitu obat yang mengandung glibenclamide sebagai
antidibetik yaitu menurunkan kadar gula darah.

Pasien mengalami koma karena tubuh pasien tidak dapat mengatasi dengan cara
mengeluarkan hormon yang menaikan gula darah karena pasien bukan penderita
diabetes

2. Kasus bapak KY
Bapak KY 58 tahun merupakan seorang pasien di Puskesmas mengeluhkan mata
perih dan merah karena terkena butiran pasir saat menggunakan motor pada
tanggal 2 Mei 2017 lalu datang kedokter dan diberikan resep.

Saat berada dirumah pasien baru membaca bahwa obat tetes yang diberikan tertulis
merupakan chlorampenicol 3% obat tetes telinga namun pasien beranggapan
mungkin obat tersebut bisa digunakan untuk tetes mata dan tetes telinga saat
digunakan mata pasien terasa semakin perih.

Pasiennya kemudian datang kembali ke dokter dipuskesmas dan mengeluhkan obat


yang diberikan, dokter pun mengganti resep namun ternyata saat sampai dirumah
membaca kembali obat tersebut merupakan tetes telinga lagi pasien pun masih
beranggapan bisa digunakan untuk tetes mata dan telinga namun saat diteteskan
mata pasien malah lebih perih dan sakit serta pusing hingganya pasien pergi ke

11
dokter spesialis mata dengan keluarganya, setelah diperiksa mata pasien masih
normal tapi tidak dapat dipastikan untuk kedepannya dan hal ini sangat membuat
pasien tidak nyaman dan akhirnya melakukan protes terhadap Puskesmas agar tidak
terjadi kejadian serupa.

3. Kasus bayi dari ibu M


Pada bulan Desember 2013 di Aceh, ibu M membawa bayi L yang baru berusia 34
hari ke salah satu RSUD atas rujukan seorang dokter. Bayi mengalami diare dan
dokter menyarankan untuk di infus namun seorang perawat yang masih praktek
lapangan di Rumah Sakit tersebut melakukan kesalahan dengan memberikan obat
ranitidin dan norages kepada bayi tersebut yang seharusnya diberikan kepada bayi
lain yang sama dirawat di RSUD tersebut.

Akibatnya bayi dari ibu M mengalami muntah – muntah dan lemas serta perut
kembung semua tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk keselamatan pasien
baik itu dokter yang meresepkan dan mendiagnosa, apoteker yang menyiapkan dan
memberikan obat serta perawat yang memberikan kepada pasien maka perlu
dilakukan kerja sama dari semua tenaga kesehatan agar tidak terjadi lagi hal seperti
kasus tersebut.

4. Kasus keracunan lithium


Seorang pasien wanita usia 51 tahun dengan gangguan mental, gangguan bipolar,
hipotiroid dan Parkinson. Kemudian diberikan resep lihium karbonat 150 mg/
kapsul namun terjadi kesalahan pasien diberikan lithum karbonat dengan dosis yang
lebih tinggi yaitu 300 mg/ kapsul.

Selain itu, dokter tidak mengevaluasi perubahan yang terjadi pada pasien yaitu
pasien mengalami diare selama 3 hari namun setelah pemeriksaan selanjutnya
pasien sudah tidak diare. Dokter mencatat symptom pasien sudah membaik dan
mencatat keluhan pasien yaitu peningkatan kontraksi otot dan kekauan otot dan
memburuk sehingga mengalam ketidakstabilan dan sangat lemah.

Dokter menyuruh pasien untuk tes darah namun tidak memperhatikan kadar lithium
sebulan setelah pemberian lihium akhirnya pasien diperiksa ke rumah sakit dan
kadar lithium dalam darah pasien yaitu 6,8 mEq/L keadaan pasien semakin
memburuk pasien mengalami dehidrasi berat persisten dan hipotensi serta gagal
ginjal akut akibat toksisitas lithium dan akhirnya meninggal dunia.

5. Kasus Bapak IU (65 th)


Awalnya Tn IU merasakan mata kiri perih karena terkena sabun kemudian
membasuh mata dengan air namun tidak membaik, lalu pasien membeli tetes mata
insto, namun tidak memberikan efek pasien pun berinisiatif untuk pergi ke apotek
membeli obat mata yang termasuk obat keras dan harus menggunakan resep dokter
namun pasien tetap meminta obat tersebut hingga akhirnya diberikan pasien pun
tidak membaca aturan pakai yang seharusnya hanya 3 tetes setiap 6 jam sehingga
setelah menggunakan obat tersebut mata pasien malah semakin perih, dan saat obat

12
diteteskan terasa panas. Akhirnya pasien pergi ke Puskesmas dan memberitahukan
kepada dokter mengenai obat yang digunakan hasilnya kornea mata pasien
mengalami kerusakan.

Dari beberapa kasus tersebut membuktikan bahwa apoteker sangat besar tanggung
jawabnya dalam penyerahan obat agar obat yang pasien dapat tepat baik dosis,
indikasi serta cara penggunaan maka pengobatan yang didapat akan efektif.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setiap obat mempunyai efek masing-masing. Efek obat sendiri dibagi menjadi 3
yairu efek utama, tambahan, dan efek samping. Efek utama adalah tujuan dari
pengobatan tersebut Efek tambahan adalah efek toksik yang dapat timbul jika
melebihi dosis yang ditentukan. Sedangkan efek samping adalah dampak

13
negative yang timbul namun pada dosis yang ditentukan. Jadi, tiap obat dapat
menimbulkan efek positif dan efek negative.

Reaksi-reaksi efek samping obat yang berat jarang ditemukan, meskipun efek-
efek toksik yang berbahaya sering terjadi pada penggunaan beberapa golongan
obat. Mekanisme reaksi obat dibagi dalam dua kategori utama. Termasuk
gologan pertama sering muncul sebagai manifestasi efek farmakologi yang
berlebihan,karna itu dapat diramalkan. Golongan kedua yang dapat merupakan
reaksi imunologik atau mekanisme yang belum diketahui umumnya merupakan
hal yang tidak dikehendaki dan tidak dapat ditemukan sampai suatu obat
dipasarkan untuk waktu lama.

B. SARAN
Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca khususnya kita semua
dapat memahami dan mengetahui “EFEK SAMPING OBAT DAN
KESALAHAN MEDIS DI INDONESIA AKIBAT KESALAHAN
MEMBERIKAN OBAT”.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Kami secara terbuka
menerima kritik dan saran dari teman teman semua. Atas perhatian dan saran yang
di berikan kami ucapkan terima kasih

DAFTAR PUSTAKA

Diakses Melalui :
1.Http://www.globalaceh.com/2013/12/perawat-rsud-langsa-diguga-lakukan-html.

2.Laporan wartawan Tribun Bali, ratu ayu Astri desiani waspada sakit mata diberi
tetes telinga” Mei 2017

14
3. Modul Penggunaan Obat Rasional 2011

4. Permenkes No 73 tahun 2016 tentang apotek

5. www.suarapemredkalbar.com pakai obat apotek, warga Pontianak nyaris buta

15

Anda mungkin juga menyukai