hiper
atau
hipotensi,
hiper
atau
hipoglikemia,
perubahan
normal
bertanggung
jawab
terhadap
penawar
keracunan
normal, dan (3) ketoksikan racun bergantung pada takaran serta kecepatan
absorpsi, distribusi, dan eliminasi racunnya. Ciri khas dari wujud efek toksik
yang tak terbalikkan yaitu : (1) kerusakan yang terjadi sifatnya menetap (2)
pemejanan berikutnya dengan racun kan menimbulkan kerusakan yang
sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik
dan (3) pemejanan dengan takaran yang sangat kecil dalam jangka panjang
akan menimbulkan efek toksik yang seefektif dengan yang ditimbulkan oleh
pemejanan racun dengan takaran besar dalam jangka pendek. (Donatus,
1990)
Racun yang tidak berubah (masih dalam bentuk utuhnya) maupun bentuk
metabolitnya biasanya dikeluarkan melalui urin, feses, atau keringat, atau
udara yang dihembuskan saat bernafas. Mekanisme perubahan racun dari
darah ke urin terjadi di ginjal dan mekanisme perubahan racun dari darah ke
gas yang dihembuskan saat bernafas terjadi di paru-paru. Racun yang
terdapat di feses mungkin melewati usus tanpa diabsorpsi oleh pembuluh
darah yang ada diusus atau jika diabsorpsi maka akan dikembalikan lagi ke
usus.
3. Masuknya Racun Kedalam Tubuh
Racun dapat masuk ke dalam tubuh diantaranya melalui :
1. Melalui mulut karena tertelan (ingesti)
Sebagian keracunan terjadi melalui jalur ini anak-anak sering menelan racun
secara tidak sengaja dan orang dewasa terkadang bunuh diri dengan
menelan racun. Saat racun tertelan dan mulai mencapai lambung, racun
dapat melewati dinding usus dan masuk kedalam pembuluh darah, semakin
lama racun tinggal di dalam usus maka jumlah yang masuk ke pembuluh
darah juga semakin besar dan keracunan yan terjadi semakin parah.
Ada 2 macam cara yang lain untuk menghambat masuknya racun ke
peredaran darah, yaitu dengan pemberian arang aktif yang dapat mengikat
racun sehingga tidak melewati dinding usus, atau dengan pemberian laksatif
sehingga racun dapat dikeluarkan dari saluran pencernaan dengan lebih
cepat, racun yang tidak dapat menembus dinding usus dan mencapai sistem
peredaran darah, tidak akan memberikan efek pada tubuh. Racun akan
melewati saluran pencernaan dan keluar melalui feses.
2. Melalui paru-paru karena terhirup melalui mulut atau hidung
(inhalasi)
Racun yang berbentuk gas, uap, debu, asap atau spray dapat terhirup melalui
mulut dan hidung dan masuk ke paru-paru. Hanya partikel-partikel yang
sangat kecil yang dapat melewati paru-paru. Partikel-partikel yang lebih
besar akan tertahan dimulut, tenggorokan dan hidung dan mungkin dapat
tertelan. Racun yang dapat sampai ke paru-paru akan masuk ke peredaran
darah dengan sangat cepat karena tempat pertukaran udara di paru-paru
memiliki dinding yang tipis dan banyak terdapat aliran darah.
3. Melalui kulit yang terkena cairan atau spray
Orang yang bekerja dengan zatzat kimia seperti pestisida dapat teracuni jika
zat kimia tersemprot atau terciprat ke kulit mereka atau jika pakaian yang
mereka pakai terkena pestisida. Kulit merupakan barier yang melindungi
tubuh dari racun, meskipun beberapa racun dapat masuk melalui kulit.
Racun lebih cepat melewati kulit yang hangat, basah atau berkeringat
dibanding dengan kulit yang dingin atau kering dan lebih cepat melewati
kulit yang terluka atau terbakar daripada kulit yang utuh.
4. Efek Racun pada Tubuh
Racun memiliki efek, diantaranya :
1. Efek lokal
a. Pada kulit
b. Pada mata
c. Pada usus
d. Pada saluran pernafasan dan paru-paru
berkaitan
dengan
pemilihan
strategi
terapi
berdasarkan
pengetahuan atau informasi yang ada atas jenis racun, saat pemejanan, dan
kemungkinan luas penyebaran racun, serta berbagai faktor intrinsik racun
maupun faktor intrinsik si penderita yang mungkin mempengaruhi.
(Donatus,1990)
1) Terapi non spesifik adalah suatu terapi keracunan yang bersifat hampir sama
pada semua kasus keracunan, melalui cara cara seperti memacu muntah,
bilas lambung dan membersihkan zat absorben. Cara lain adalah
mempercepat eliminasi dengan pengasaman dan pembasaan urin ataun
hemodialisis.
a. Menghambat absorbsi zat racun.
Menghambat absorbsi zat racun dapat dilaksanakan dengan beberapa
cara antara lain dengan membersihkan atau mencuci kulit yang
terkontaminasi zat toksik, mengeluarkan racun dalam lambung, mencegah
absorbsi, dan memberikan pencahar. Mencuci kulit dilakukan dengan air
mengalir dan jika zat mengenai pakaian, pakaiannya ditanggalkan. Zat
toksik yang sudah masuk kedalam lambung dapat dilakukan dengan
pemberian norit (arang aktif), menentukan atau memberi pencahar atau bilas
lambung.
1. Pemberian arang aktif (norit)
Arang aktif diberikan pada kasus keracunan karena dapat mengabsorbsi
zat racun atau toksin dalam saluran pencernaan. Lebih dini norit diberikan
akan lebih efektif hasilnya. Norit masih efektif hingga 2 jam dari racun
tertelan dan lebih lama lagi pada keracunan obat sediaan lepas lambat atau
keracunan obat obat yang bersifat kolinergik. Karbon aktif relatif aman
dan dosisnya sangat tergantung dari jumlah zat toksik yang tertelan. Dosis
minimalnya adalah 30 gram. Dosis pada orang dewasa adalah 50 g dapat
diulang setiap 4-6 jam. Pemberian dosis berulang juga bermanfaat
mempercepat eliminasi zat toksik yang sudah terabsorbsi.
Karbon aktif dapat menyerap zat-zat seperti salisilat, acetaminophen,
karbamazepin, dapson, teofilin, quinine dan obat obat antidepresan.
Pemberian karbon aktif dapat dikombinasikan dengan bilas lambung atau
katartik, tetapi tidak dengan sirup ipekak atau susu karena akan mengurangi
efektifitasnya.
2. Mengeluarkan racun dari lambung.
Pengeluaran racun dari lambung harus mempertimbangkan zat yang
tertelan, tingkat keracunan dan berapa lama zat racun tertelan. Pengosongan
lambung tidak berguna jika resiko dari keracunan kecil atau pasien sudah
datang
terlambat.
Pengosongan
dengan
bilas
lambung
diragukan
kegunaannya bila dilakukan lebih dari 1-2 jam setelah racun tertelan.
Bahaya dari bilas lambung adalah teraspirasinya isi lambung. Karena itu
tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengantuk atau koma kecuali jika
reflek batuk sangat baik atau saluran nafas dapat dilindungi dengan pipa
endotrakea. Pipa lambung tidak boleh dimasukkan pada keracunan zat
korosif.
Produk petroleum lebih berbahaya di dalam paru-paru dibandingkan di
lambung, karena itu pencucian lambung tidak dianjurkan karena ada resiko
terhirup. Dengan berbagai pertimbangan, bilas lambung umumnya tidak
praktis dan jarang diperlukan, kecuali di rumah sakit.
Pemuntahan isi perut dengan pemberian ipecacuanha telah dipakai baik
pada orang dewasa atau anak-anak, tetapi sangat terbatas kegunaannya.
Tidak terbukti bahwa ipecacuanha mengurangi penyerapan secara bermakna
(walaupun digunakan 1-2 jam) dan efek sampingnya dapat menyulitkan
penegakan diagnostik terutama pada keracunan zat besi. Pemberian
ipecacuanha hanya boleh dipertimnbangkan bila pasien sadar sepenuhnya,
atau bila zat racun yang tertelan tidak korosif dan produk petroleum atau
tidak dijerap dengan arang aktif.
3. Pemberian Katerik
Pencahar digunakan untuk mempercepat pengeluaran zat racun dari
saluran gastrointestinal (GI) terutama untuk racun yang sudah mencapai
usus halus. Pemberian sorbitol direkomendasikam pada penderita yang tidak
ada gangguan jantung. Magnesium sulfat dapat digunakan pada penderita
yang tidak ada gangguan ginjal.
b. Mempercepat eliminasi
Kecepatan eliminasi akan mempengaruhi jumlah obat yang berada dalam sel
sasaran dalam melamoui nilai KTM-nya. Percepatan eliminasi dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan ekskresi melalui pengamasan atau
pembasaan urin dan diuresis paksa. Pengamasan urin (menurunkan pH urin)
dengan memberikan zat seperti amonnium klorida atau vitamin C akan
mengurangi reabsorbsi zat atau obat yang bersifat basa lemah seperti
amfetamin. Sebaliknya pembasaan urin melslui pemberian natrium
bikarbonat akan mengurangi reabsorbsi pada obat yang bersifat asam lemah
seprti aspirin dan fenobarbital. Pengurangan reabsorbsi tubulus terjadi
karena pengasaman/pembasaan urin tersebut di atas akan meningkatkan
ionisasi di tubulus sehingga akn mengurangi reabsorbsi. (Priyanto, 2007)
2) Terapi antidot spesifik adalah suatu terapi antidotum yang hanya efektif
untuk zat-zat tertentu. Cukup banyak antidotum spesifik telah digunakan
dalam klinik. Untuk memudahkan mempelajarinya, antidotum yang spesifik
dikelompokan menjadi: antidotum yang bekerja secara kimiawi, bekerja
secara farmakologi dan yang bekerja secara fungsional.
a. Asam Sianida
b. Natrium Tiosulfat
c. Natrium Nitrit
6. Asas Umum Terapi Antidot
Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang
sebaiknya dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi
suportif, yakni memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi.
Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan meliputi upaya membatasi
penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun.
Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan
kadar) racun (bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di
dalam tubuh. Keberadaan racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi,
distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada umumnya intensitas efek toksik pada
efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di tempat aksi dan takaran
pemejanannya.
Tujuan terapi antidot ialah untuk membatasi intensitas efek toksik racun,
sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya efek berbahaya selanjutnya.
Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah intensitas efek toksik
racun.
Pada kurva diatas, ada tiga tatacara yang mungkin mampu melaksanakan
tujuan terapi tersebut , yakni : (1) geser kemiringan fase absorpsi atau distribusi
kearah kanan ( gambar C); (2) geser kemiringan fase eliminasi ke arah kiri
(gambar D); atau (3) geser ke atas atau naikakn ambang toksik (KTM).
Pergeseran fase absorpsi ke arah kanan akan memperlambat kecepatan, absorpsi
racun, sehingga dapat mempercepat penurunan intensitas efek toksik. Demikian
pula pergeseran fase distribusi ke arah kanan akan mempercepat penurunan
intensitas efek toksik, karena penyebaran racun diperlambat. Pergeseran fase
eliminasi ke arah kiri akan mempercepat penurunan intensitas efek toksik. Dan
penaikan ambang toksik jelas akan mempercepat penurunan intensitas efek
racun, karena ambang toksik tersebut lebih sulit dicapai. ( Loomis,1978)
B. 2. Sianida
Sianida merupakan bahan kimia yang sangat reaktif dan penggunaanya sangat
bervariasi, termasuk sintesis kimia, analisis laboratorium, dan metal plating.
( D Blanck,1994)
Asam sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan
serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida sering dijumpai di
dalam kacang almond, daun salam, cherry, ubi. Di dalam koro atau tanaman dari
keluarga kacang-kacangan dan ketela pohon. Sianida merupakan senyawa kimia
yang toksik dan memiliki beragam kegunaan, termasuk sintesis senyawa kimia,
analisis laboratorium, dan pembuatan logam. Nitril alifatik (acrylonitrile dan
propionitrile digunakan dalam produksi plastic yang kemudian dimetabolisme
menjadi sianida. Obat vasodilator seperti nitroprusida melepaskan sianida pada saat
terkena cahaya ataupun pada saat metabolisme. Sianida yang berasal dari alam
(amigdalin dan glikosida sinogenik lainnya) dapat ditemukan dalam biji aprikot,
singkong, dan banyak tanaman lainnya, beberapa diantaranya dapat berguna,
tergantung pada keperluan ethnobotanikal.
Acetonitrile, sebuah komponen pada perekat besi, dapat menyebabkan
kematian pada anak-anak. Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk
gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen
khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau potasium
sianida (KCN). Hidrogen sianida merupakan gas yang mudah dihasilkan dengan
mencampur asam dengan garam sianida dan sering digunakan dalam pembakaran
plastik, wool, dan produk natural dan sintetik lainnya. Keracunan hidrogen sianida
dapat menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja dari sianida (termasuk
garam sianida) dapat menjadi alat untuk melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri
(Olson, 2007).
Akibat racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuk tubuh,
lewat pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan
oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak paparan dalam
jumlah kecil mengakibatkan napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual
dan muntah serta detak jantung meningkat. Paparan dalam jumlah besar
menyebabkan kejang, tekanan darah rendah, detak jantung melambat, kehilangan
kesadaran, gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama,
2006).
Mekanisme Toksisitas :
Sianida merupakan senyawa penyebab asphixia, dimana sianida berikatan
dengan Enzim cytochrom oksidase, dan mengeblok pendistribusian oksigen di dalam
sel. Sianida yang tidak berikatan didetoksifikasi dan dimetabolisme menjadi
thiosianat. Komponen toksik tersebut secara perlahan dikeluarkan melalui urin.
( D Blanck,1994)
Sianida merupakan inhibitor nonspesifik enzim, meliputi asam suksinat
dehidrognase, superoksida dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan
lain sebagainya. Sianida memiliki afinitas tinggi terhadap ion besi pada sitokrom
oksidase, metalloenzim respirasi oksidatif akhir pada mitokondria. Fungsinya dalam
rantai transport elektron dalam mitokondria, mengubah produk katabolisme glukosa
menjadi ATP. Enzim ini merupakan katalis utama yang berperan pada penggunaan
oksigen di jaringan. Sianida menyebabkan hipoksia seluler dengan menghambat
sitokrom oksidase pada bagan sitokrom a3 dari rantai transport elektron. Ion hidrogen
yang secara normal akan bergabung dengan oksigen pada ujung rantai tidak lagi
gangguan kardiovaskular terjadi dengan cepat setelah pemaparan yang berat. (Olson,
2007)
Dalam keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi
konvulsi, kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit menjadi dingin,
berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat. Tanda terakhr dari
toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal jantung, udem pada
paru-paru dan kematian.
Warna merah terang pada kulit atau tidak terjadinya sianosis, jarang terjadi dalam
keracunan sianida. Secara teoritis tanda ini dapat dijelaskan dengan adanya
kandungan yang tinggi dari oksihemoglobin, dalam vena return, tetapi dalam
keracunan berat, gagal jantung dapat dicegah. Kadang-kadang sianosis dapat dikenali
apabila pasien memiliki bintik merah muda terang. (Meredith, 1993)
B. 3. Antidotum Sianida
Diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan meaknisme aksi
utamanya, yaitu: detoksifikasi dengan sulfur untuk membentuk ion tiosianat yang
lebih tidak toksik, pembentukan methemoglobin dan kombinasi langsung.
1. Pembentukan methemoglobin
Methemoglobin sengaja diproduksi untuk bersaing dengan sianida di
tempat ikatan pada sistem sitokrom oksidase. Sianida mempunyai ikatan khusus
dengan ion besi pada sistem sitrokrom oksidase, sianida dalam jumlah yang
cukup besar akan berikatan dengan ion besi pada senyawa lain, seperti
methemoglobin. Jika produksi methemoglobin cukup maka gejala keracunan
sianida dapat teratasi. Methemoglobinemia dapat diproduksi dengan pemberian
amil nitrit secara inhalasi dan kemudian pemberian natrium nitrit secara
intravena. Kira-kira 30% methemoglobinemia dianggap optimum dan jumlahnya
dijaga agar tetap di bawah 40% senyawa lain seperti 4-DMAP dapat
memproduksi methemoglobin secara lebih cepat.
Apabila methemoglobin tidak dapat mengangkut cukup oksigen maka
molekul hemoglobin menjadi tidak berfungsi. Produksi methemoglobinemia
lebih dari 50% dapat berpotensi fatal. Methemoglobinemia yang berlebih dapat
dibalikkan
dengan
metilen
biru,
terapi
yang
digunakan
pada
dapat
menyebabkan
methemoglobin
mengakibatkan
hipoksia
harus
atau
methemoglobinemia
hipotensi,
dikotrol.
untuk
Penggunaan
itu
natrium
yang
maka
nitrit
dapat
jumlah
tidak
dehidrogenase
(G6DP)
dalam
sel
darah
merahnya
karena
dapat
lain,
paminoheptanoilfenon
(PAHP),
p-aminopropiofenon
2. Detoksifikasi sulfur
Setelah methemoglobin dapat mengurangi gejala yang ditimbulkan pada
keracunan sianida, sianida dapat diubah menjadi tiosianat dengan menggunakan
natrium tiosulfat.
Pada proses kedua membutuhkan donor sulfur agar rodanase dapat mengubah
sianmethemoglobin menjadi tiosianat karena donor sulfur endogen biasanya
terbatas. Ion tiosianat kemudian diekskresikan melalui ginjal.
3. Kombinasi langsung
Ada 2 macam mekanisme yang berbeda dari kombinasi langsung
dengan sianida yang sering digunakan, yaitu kombinasi dengan senyawa kobalt
dan kombinasi dengan hidroksobalamin
a. Hidroksikobalamin
(vitamin
).
B12a
Merupakan
prekursor
dari
meningkatkan
kemampuan
hidroksikobalamin
untuk
nafas,
dispnea,
dan
hipotensi.
Dikobalt-EDTA juga
dapat
pemberian dikobalt-EDTA.
Pemberian
obat ini
dapat
menyebabkan kematian dan toksisitas berat dari kobalt terlihat setelah pasien
sembuh dari keracunan sianida (Meredith, 1993)
bentuk
yang
lebih
nontoksik,
tiosianat,
dengan
enzyme
Stopwatch
Bekerglass
Labu takar 10,0 ml
Kapas
Bahan
Larutan natrium nitrit 2% 20 mg/kgBB
Larutan natrium tiosulfat 25% 1125mg/kgBB
Larutan Kalium Sianida 1.5% 15 mg/kgBB
Alkohol
Hewan Uji : Mencit
D. SKEMA KERJA
21 Mencit jantan galur Wistar, berat seragam (20-30 g),
umur 40-60 hari, dikelompokkan dalam 7 kelompok sama
banyak @ 3 mencit
Kel 5
Kel 1
Kel 2
Kel 3
Kel 4
Larutan
KCN 0,5%
dosis 15
mg/kgBB
secara
S.C.
Larutan
NaNO2
1% dosis
20
mg/kgBB
secara
Larutan
KCN 0,5
% dosis
15
mg/kgBB
secara
Larutan
KCN 0,5
% dosis
15
mg/kgBB
secara
Larutan
Na2S2O3
25%
dosis
1125
mg/kgBB
secara
Kel 6
Kel 7
Larutan
KCN
0,5%
dosis 15
mg/kgBB
secara
S.C.
Larutan
KCN
0,5%
dosis 15
mg/kgBB
secara
S.C.
Sianosis
Kejang
Larutan
NaNO2
1% dosis
20
mg/kgBB
secara I.P
Larutan
NaNO2
1% dosis
20
mg/kgBB
secara I.P
Sianosis
Kejang
Larutan
Na2S2O3
25%
dosis
1125
mg/kgB
B secara
Larutan
Na2S2O31
% dosis
1125
mg/kgBB
secara
I.P
E. DATA PENGAMATAN
PERHITUNGAN PIKET
Natrium Nitrit 20mg/kgBB mencit
20 mg
Dosis mencit terbesar ( 30g ) = 1000 g 30 g=0,6 mg
Cstok =
Vp =
0,6 mg
=0,5 ml
Dosis
mg
=
1,2
C stok
ml
12,5 mg
=1,25 mg/ml
10 ml
Vp =
x 30 g = 0,45 mg
0,45mg
=0,5 ml
Dosis
mg
C stok = 0,9
ml
12,5 mg
=1,25 mg/ml
10 ml
x 30 g = 33,75 mg
Vp =
33,75 mg
=0,5 ml
Dosis
mg
=
67,5
C stok
ml
676,4 mg
=67,64 mg/ml
10 ml
Kelompok 5 Na thiosulfat
No
1
2
3
Kel
BB (Kg)
22. 6
18.6
19.3
Perlakuan
Waktu Pemberian
Muncul Gejala
Total
Hewan
Mati
Kejan
Sianosi
Kejan
7.50
7.59
8.07
8.12
8.15
8.15
8.23
8.15
8.24
48
33
15
34
36
56
96
78
40
44
sadar
65
116
142
63
74
8.33
8.34
42
51
kejang +
8.15
8.23
8.15
8.29
41
75
Na.Nitrit
8.33
8.35
8.05
8.20
sianosis +
8.06
8.16
8.23
8.04
8.20
Na.
8.30
8.30
25
45
60
91
114
8.19
8.31
8.20
8.33
38
41
40
43
41
44
228
387
KCN
KCN
Na.Nitrit
KCN,
sianosis +
Na.Nitrit
KCN,
Na.
Tiosulfat
KCN,
Tiosulfat
KCN,
7
Hilan
Sianosi
kejang +
Na.Tiosulfa
Gagal
Nafas
Mati
86
193
206
87
93
94
276
795
145
177
86
147
222
43
75
45
101
280
47
303
29
34
32
40
40
51
59
69
77
102
3
0
8.40
8.41
t
Data Pengamatan Kelompok G ( Antidotum )
Kelompok
29
30
32
138
Jumlah
yang
Kontrol
KCN
Kontrol
NaNO2
Sianosis
KCN +
NaNo2
Kejang KCN
+ NaNO2
Kontrol
Na2S2O3
Sianosis
KCN +
Na2S2O3
Kejang KCN
+ Na2S2O3
KCN
10.22
10.30
10.41
10.35
10.42
10.45
10.32
10.57
10.58
10.29
10.58
11.06
10.35
10.45
10.50
antidot
10.21
10.32
10.40
10.37
10.43
10.46
10.38
11.01
11.02
10.32
10.03
11.10
10.32
11.03
11.10
10.38
10.46
10.53
F. PERHITUNGAN
120
120
120
60
0
0
120
120
120
120
240
1380
240
60
180
180
60
180
60
240
180
180
240
360
180
300
0
300
kesadran
300
240
180
180
1860
240
240
180
300
0
300
360
300
240
600
360
1020
mati
3
KCN
180
240
60
x = 480
x = 93600
X
= 160
n =3
KCN + NaNO2
240
180
180
x = 600
x = 122400
X
=200
n =3
xT
=
=
x
2
T
=
=
x 1+ x 2 + x 3
480 600 1380
2460
2
x T
xT
-
954000
=
=
x 1 + x 2+ x
KCN+ Na2S2O3
300
360
720
x = 1380
x = 738000
X
= 460
n = 3
281600
2460 2
9
b
=
x
3
xT
w
=
=
=
159200
t x 2b
281600 - 159200
122400
x b
2
=
=
K 1
159200
3 1
79600
x w
2
=
=
NK
122400
93
20400
F hitung =
79600
20400
3,9019 ~ 3,90
=
F tabel
K-1=31=2
NK=93=6
5,14
Karena F hitung (3,90) < F table (5,14), maka tidak ada perbedaan rata-rata
antar 3 kelompok pada penggunaan antidotum Natrium nitrit (NaNO2)
maupun Natrium thiosulfate (Na2S2O3).
KCN
240
180
120
x = 540
x = 104400
X
= 180
n =3
xT
=
=
x 2T
=
=
KCN + NaNO2
60
0
0
x = 60
x = 3600
X
=20
n =3
x 1+ x 2 + x 3
540 60 1740
2340
x 21 + x 22+ x23
x T
xT
t
=
2340
2084400
KCN+ Na2S2O3
120
240
1380
x = 1740
x = 1976400
X
= 580
n = 3
Anava 1 Jalan
Sianosis
1476000
b
=
x
2
xT
w
=
=
=
499200
t x 2b
1476000 - 499200
976800
x b
2
=
=
K 1
499200
3 1
249600
x w
2
NK
976800
93
=
=
162800
F hitung =
=
=
249600
162800
1,5332 ~ 1,53
F tabel : K - 1 = 3 1 = 2
NK=93=6
5,14
Karena F hitung (1,53) < F table (5,14) ,maka tidak ada perbedaan ratarata antar 3 kelompok pada penggunaan antidotum Natrium nitrit
(NaNO2) maupun Natrium thiosulfate (Na2S2O3).
G. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini bertujuan memahami tujuan, sasaran, dan strategi terapi
antidotum berdasarkan contoh kemampuan natrium nitrit dan natrium tiosulfat
menawarkan racun sianida. Terapi antidota merupakan tata cara yang secara khusus ditujukan untuk
membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang
ditimbulkannya, sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Pada
praktikum ini dilakukan percobaan metode antidotum khas dengan menggunakan
senyawa Natrium Nitrit (NaNO2) dan Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) yang dapat
menawarkan racun sianida. Hewan uji mencit yang digunakan berasal dari galur Wistar,
sehat, jenis kelamin jantan dengan umur relatif seragam (dewasa lebih kurang 40 hari),
berat badan antara 20-30 g. Sebelum digunakan untuk pengujian, mencit harus
dipuasakan terlebih dahulu minimal 18 jam. Hal ini bertujuan agar efek yang ditimbulkan
oleh racun sianida dan antidotumnya menjadi lebih optimal dan tidak dipengaruhi oleh
faktor makanan.
Racun sianida digunakan dalam bentuk larutan Kalium Sianida (KCN) dengan
dosis 15 mg/kgBB mencit. Dalam praktikum kali ini digunakan garam sianida yaitu
kalium sianida yang berbentuk serbuk kristal berwarna putih karena dengan konsentrasi
yang rendah sudah dapat mengiritasi dan memberikan efek yang diinginkan. Tidak
digunakan hidrogen sianida karena berbentuk cairan tidak berwarna atau dapat juga
berwarna biru pucat pada suhu kamar, serta bersifat volatile dan mudah terbakar,
sehingga dapat berbentuk gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Sianida merupakan
dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan lain sebagainya. Sianida memiliki
afinitas tinggi terhadap ion besi pada sitokrom oksidase, metalloenzim respirasi oksidatif
akhir pada mitokondria. Fungsinya dalam rantai transport elektron dalam mitokondria,
mengubah produk katabolisme glukosa menjadi ATP. Enzim ini merupakan katalis
utama yang berperan pada penggunaan oksigen di jaringan. Sianida menyebabkan
hipoksia seluler dengan menghambat sitokrom oksidase pada bagian sitokrom a 3 dari
rantai transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung dengan
oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung
persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi
dibentuk. Ion hidrogen incorporated terakumulasi sehingga menyebabkan kematian.
Sianida dapat menyebabkan sesak pada bagian dada; berikatan dengan sitokrom oksidase,
dan kemudian memblok penggunaan oksigen secara aerob. Sianida yang tidak berikatan
akan akan didetoksifikasi melalui metabolisme menjadi tiosianat yang merupakan
senyawa yang lebih nontoksik yang akan diekskresikan melalui urin.
Racun sianida diberikan secara s.c (subcutan), sedangkan antidotum (NaNO 2 dan
Na2S2O3) diberikan secara i.p (intraperitoneal). Racun sianida dapat diberikan selain
dengan cara subcutan, misalnya dengan pemberian oral, intraperitoneal, intramuscular,
dll. Diberikan secara subcutan karena pada di lapisan kulit atau dermis terdapat pembuluh
darah sehingga dimungkinkan terjadi serapan sianida yang menunjukkan efek yang
diinginkan, tetapi efeknya lebih lama dibanding i.p. Sedangkan antidot diberikan secara
intraperitoneal agar efek penghambatan racun yang ditimbulkan lebih cepat.
Intraperitoneal lebih cepat dibandingkan dengan pemberian oral, subcutan, maupun
intramuscular.
Pada saat mencit diberikan larutan Kalium sianida (KCN) dengan dosis
15mg/kgBB secara subkutan (S.C.) menunjukan gejala-gejala toksik yang diawali dengan
sianosis kejang-kejang gagal nafas kematian. Pada proses sianosis menggambarkan
proses absorpsi sedangkan pada saat kejang menggambarkan fase eliminasi.
Sianosis
Gejala sianosis dapat terlihat dari membirunya pembuluh darah di ekor mencit
dan pada daerah sekitar kumis. Mekanisme sianosis terkait dengan sifat sianida
yang berikatan komponen besi dalam enzim sitokrom oksidase mitokondria,
metabolisme aerob.
Kejang kejang
Setelah sianosis ,mencit akan mengalami kejang- kejang dimana gejala kejang
dapat diamati dari gerakan mencit yang menggosokkan perutnya kebawah dengan
kaki belakang ditarik ke belakang atau jika mencit merasa sangat kekurangan O2,
maka mencit melompat-lompat atau hiperaktif. Kejang disebabkan karena
keadaan depolarisasi yang terus menerus di dalam sel. Sianida menghambat
transfer elektron pada rantai transfer elektron di dalam mitokondria sehingga
menyebabkan kegagalan sintesis ATP. ATP digunakan untuk
menggerakan
transporter ion seperti Na+, K+ -ATPase dalam membran plasma, Ca2+ -ATPase
di dalam plasma dan membran retikulum endoplasma, dan H +-ATPase dalam
membran lisosom. Karena ATP tidak terbentuk maka terjadi penumpukan Na + di
dalam sel sehingga
menyebabkan kejang.
Gagal nafas
Terjadinya gagal nafas ini diakibatkan karena terjadi hipoksia pada tingkat sel.
Hipoksia terjadi karena terhambatnya rantai transport elektron dari sitokrom
oksidase ke
mitokondria. Gejala gagal nafas pada mencit ditandai dengan mencit yang
mg/kgBB secara subcutan. Kelompok I ini bertujuan untuk mengetahui efek racun
sianida dalam mematikan mencit tanpa adanya penambahan antidotum Natrium nitrit dan
Natrium thiosulfat.
Pada kelompok II dan V sebagai kontrol diberi larutan Natrium Nitrit dengan
dosis 20mg/kgBB dan Natrium Tiosulfat dengan dosis 1125 mg/KgBB secara
intraperitonial. Tujuannya untuk mengetahui efek dari antidotum tanpa diberikan racun
kalium sianida.
Pada kelompok III dan IV setelah diberi larutan sianida dengan dosis 15mg/KgBB
dilanjutkan dengan pemberian antidotum Natrium nitrit dengan dosis 20mg/KgBB.
Perbedaannya terletak pada waktu pemberiannya dimana pada kelompok III diberikan
saat mencit mengalami sianosis sedangkan kelompok IV diberikan saat mencit
mengalami kejang-kejang.
Pada kelompok VI dan VII setelah diberi larutan sianida denagn dosis
15mg/KgBB dilanjutkan dengan pemberian antidotum Natrium Tiosulfat dengan dosis
1125mg/KgBB. Perbedaannya terletak pada waktu pemberiannya dimana pada kelompok
VI diberikan saat mencit mengalami sianosis dan pada kelompok VII diberikan saat
mencit mengalami kejang-kejang.
Antidota sianida diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan
mekanisme aksi utamanya, yaitu: pembentukan methemoglobin, detoksifikasi dengan
sulfur untuk membentuk ion tiosianat yang lebih tidak toksik, dan kombinasi langsung.
Natrium Nitrit merupakan antidotum untuk sianida yang mekanisme kerjanya
dengan pembentukan methemoglobin. Pemberian antidotum Natrium Nitrit menyebabkan
pembentukan methemoglobin dengan cara mengembangkan perubahan besi fero dalam
hemoglobin menjadi besi feri. Natrium nitrit akan mengoksidasi sebagian hemoglobin
(methemoglobin), sehingga dalam aliran darah akan terdapat ion ferri, yang oleh ion
sianida akan diikat
menyebabkan enzim
pernafasan yang terblok (reaksi kompetitif) akan bergenerasi lagi (sifat terbalikkan).
Dengan adanya nitrit proses respirasi dapat berlangsung kembali dan sirkulasi oksigen
kembali normal. Dengan mekanisme kerjanya yang menyebabkan enzim pernafasan yang
terblok (reaksi kompetitif) akan bergenerasi lagi (agar penyebaranya terhambat) maka
Natrium Nitrit efektif bekerja pada tahap absorbsi dan distribusi pada keracunan sianida.
Gambar mekanisme
Natrium Nitrit
pembentukan
methemoglobin
Adapun kurva yang menunjukan hubungan antara kadar racun dalam tubuh atau
pada tempat aksi vs waktu dalam penghambatan distribusi ( Natrium Nitrit ).
ATPase di dalam plasma dan membran reticulum endoplasma, serta H +-ATPase dalam
membran lisosom. Karena ATP tidak terbentuk maka terjadi penumpukan Na + di dalam
sel sehingga menyebabkan depolarisasi terus menerus yang dapat menyebabkan kejang.
Adapun kurva yang menunjukan hubungan antara kadar racun dalam tubuh atau
pada tempat aksi vs waktu dalam penghambatan eliminasi ( Natrium Tiosulfat ).
Menurut data kelompok I diketahui bahwa setelah pemberian Natrium nitrit pada
saat sianosis, mencit tidak mengalami efek toksik selanjutnya namun ada mencit yang
mengalami efek toksik selanjutnya yaitu kejang-kejang dalam waktu 60 detik dan
hilangnya kesadaran dalam waktu 60 detik pula. Sedangkan pemberian Natrium Nitrit
pada saat mencit mengalami kejang-kejang didapat bahwa mencit tidak mengalami efek
selanjutnya dan ada pula mencit yang mengalami hilang kesadaran selama 1860detik. Hal
ini menunjukan bahwa Natrium Nitrit lebih efektif diberikan pada saat terjadi sianosis
dimana sianosis menggambarkan keadaan absorbsi dan distribusi dari KCN yang sesuai
dengan teori.
Pada pemberian Natrium Tiosulfat pada saat sianosis,mencit mengalami efek
selanjutnya yaitu kejang-kejang dengan rata-rata 260 detik dan mengalami hilangnya
kesadaran dengan rata-rata waktu 220 detik. Sedangkan pemberian Natrium Tiosulfat saat
terjadi kejang-kejang mengalami hilang kesadaran dengan rat-rata waktu 300 detik dan
apada akhirnya mati. Secara teoritis Natrium Tiosulfat efektif diberikan pada saat
eliminasi yaitu pada saat mencit mengalami kejang-kejang.
Pada uji Anava, saat terjadinya kejang KCN vs KCN+natrium Nitrit vs
KCN+Natrium Tiosulfat ,menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan.
Seharusnya pada pemberian Natrium Tiosulfat memiliki waktu kematian yang lebih
panjang dibandingkan dengan pemberian natrium Nitrat pada saat terjadi kejang-kejang.
Pada uji Anava ,saat terjadinya sianosis KCN vs KCN+Natrium Nitrit vs KCN+Natrium
Tiosulfat ,menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan. Pada pemberian Natrium
Nitrit memperpanjang waktu mati dibandingkan dengan pemberian natrium Tiosulfat
pada saat sianosis dan hal ini sesuai dengan teori.
Menurut data kelompok G, semua hewan uji mengalami kematian hal ini
disebabkan karena ketidaktelitian dalam mengamati gejala sianosis dan kejang-kejang
sehingga terjadi keterlambatan pemberian antidotum yang menyebabkan kematian.
Dari praktikum ini didapatkan bahwa natrium Nitrit lebih efektif diberikan pada
saat mengalami sianosis karena pada saat sianosis terjadi fase absorbsi-distribusi dari
racun sianida. Sedangkan pada Natrium Tiosulfat lebih efektif diberikan pada saat
kejang-kejang karena pada saat kejang-kejang terjadi fase eliminasi dari racun sianida.
Menurut kelompok kami akan lebih baik diberian kombinasi antara Natrium Nitrit dan
Natrium Tiosulfat karena pada fase absorbsi - distribusi sianida dapat dihambat dan pada
fase eliminasi maka akan dipercepat ekskresi racun sianida sehingga dapat terselamatkan.
H. KESIMPULAN
1. Natrium Nitrit efektif pada saat sianosis karena bekerja menghambat fase absorpsi
dengan
meningkatkan
ketersediaan
methemoglobin
dalam
darah
akibatnya
hemoglobin dapat berikatan dengan besi pada sitokrom oksidase sehingga enzim
pernafasan yang terblok akan bergenerasi lagi sehingga penyebarannya dihambat.
2. Natrium Tiosulfat efektif pada saat kejang karena bekerja dengan mempercepat
perubahan sianida dengan bantuan rhodanase menjadi tiosianat [SCN]- yang bersifat
kurang toksik sehingga lebih mudah untuk dieliminasi atau diekskresi melalui urine.
3. Pada anava pada kontrol vs Natrium Nitrit vs Natrium Tiosulfat pada saat sianosis
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Hal ini mungkin disebabkan
keterlambatan pada saat pemberian antidotum dan efek toksik yang tidak teramati.
Sedangkan perhitungan anava pada kontrol vs Natrium Nitrit vs Natrium Tiosulfat
pada saat kejang menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Hal ini mungkin
disebabkan keterlambatan pada saat pemberian antidotum dan efek toksik yang tidak
teramati.
I. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
Clarke, E.G.C and Clarke, M.L. 1975. Veterinary Toxicology. Low Price Edition. The
English Language Book Society and Bailliere Tindall
D. Blanck, Paul. 1994. Poisoning & Drug Overdose. Sanfransisco Bay area regional
Poison control center. Norwalk conecticult
Laboratorium
Farmakologi
dan
Toksikologi
Fakultas
Farmasi
Praktikan,
FX.Sulistyanto, S.Si.,Apt
Balqis (1041211019)
Disusun oleh :
Kelompok G / 5
1.
Andina Bayu A.
(1041211005)
2.
Anita Pereira X.
(1041211007)
3.
Annisa Ainur R.
(1041211009)
4.
Ayu Meita S.
5.
Balqis
(1041211016)
(1041211019)
S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
YAYASAN PHARMASI SEMARANG
2014