Anda di halaman 1dari 44

Percobaan X

TERAPI ANTIDOTUM METODE KHAS


NATRIUM NITRIT DAN NATRIUM TIOSULFAT
A. Tujuan
Memahami tujuan, sasaran, dan strategi terapi antidotum berdasarkan contoh
kemampuan natrium nitrit dan natrium tiosulfat menawarkan racun sianida.
B. Dasar Teori
B.1. Toksikologi
Merupakan ilmu yang lebih tua dari farmakologi. Disiplin ini mempelajari sifatsifat racun zat kimia terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Sedikitnya 50.000 zat
kimia kini digunakan oleh manusia dan karena tidak dapat dihindarkan, maka kita harus
sadar tentang bahayanya. (Anonim, 1995)
1. Definisi
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang zat kimia dan aksinya di
dalam tubuh (Clarke and Clarke, 1975). Toksikologi juga didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari tentang efek yang merugikan dari zat kimia atau zat
asing secara fisik dalam sistem biologik (Hayes, 2001). Jadi istilah toksikologi
ialah ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem-sistem
biologi, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia itu.
(Donatus, 2001).
Asas utama toksikologi meliputi kondisi pemejanan racun, kondisi makhluk
hidup yang terpejani oleh racun, mekanisme aksi toksik, respons sel atau organel
terhadap aksi toksik, wujud dan sifat efek toksik. Hal tersebut merupakan tolok
ukur ketoksikan dari zat berbahaya. (Loomis, 1978)
Racun adalah suatu zat yang walaupun dalam jumlah yang sedikit dapat
menyebabkan rasa sakit jika masuk kedalam tubuh. Rasa sakit dapat bersifat
ringan (contohnya : sakit kepala atau mual) atau parah (contohnya, sakit yang
tiba-tiba atau demam yang sangat tinggi), dan keracunan yang parah dapat
menyebabkan kematian. (Henry, 1997)
2. Asas Umum Toksikologi

a. Kondisi Efek Toksik


Termasuk dalam kondisi efek toksik ialah kondisi pemejanan yang meliputi
jenis pemejanan (akut, sub akut atau kronis), jalur pemejanan (intravaskuler
atau ekstravaskuler), lama pemejanan dan kekerapan pemejanan, saat
pemejanan dan takaran atau dosis pemejanan. Selain itu termasuk pula
dalam kondisi efek toksik ialah kondisi subyek atau makhluk hidup,
meliputi keadaan fisiologi (misalnya : berat badan, umur, suhu tubuh,
kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi,
kehamilan, genetika, jenis kelamin, ritme sirkadian, ritme diurnal, dan
keadaan patologi misalnya : penyakit saluran cerna, kardiovaskular, hati dan
ginjal) berbagai macam kondisi itu, akan mempengaruhi ketersediaan zat
beracun atau metabolitnya di dalam sel sasaran atau keefektifan
antaraksinya, dengan sel sasaran. Dengan cara demikian akan menentukan
ketoksikan sesuatu zat beracun. Jadi jelaslah bahwa ketoksikan zat beracun,
salah satunya ditentukan oleh kondisi efek toksiknya. (Donatus, 1990)
b. Mekanisme Efek Toksik
Ketika kita kontak dengan racun, maka kita disebut terpejani racun. Efek
dari suatu pemejanan, sebagian tergantung pada berapa lama kontak dan
berapa banyak racun yang masuk dalam tubuh, sebagian lagi tergantug pada
berapa banyak racun dalam tubuh yang dapat dikeluarkan. Selama waktu
tertentu pemejanan dapat terjadi hanya sekali atau beberapa kali. (Henry,
1997)
Pada dasarnya setelah zat beracun masuk kedalam tubuh, suatu ketika dapat
terdistribusi kedalam cairan ekstrasel dan intrasel. Berdasarkan atas sifat dan
tempat kejadiannya, mekanisme aksi toksik zat kimia dibagi menjadi dua,
yakni mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. (Donatus, 1990)
c. Wujud Efek Toksik
Beberapa racun diubah oleh tubuh menjadi zat-zat kimia yang lain, yang
disebut metabolit dan kemungkinan dapat bersifat kurang beracun atau
malah lebih beracun dari senyawa aslinya. Metabolit lebih mudah

dikeluarkan dari tubuh daripada senyawa aslinya. Perubahan racun menjadi


metabolit sebagian besar terjadi di hati. (Henry, 1997)
Pada dasarnya merupakan perubahan biokimia, fungsional, dan struktural,
namun tidak berarti bahwa efek toksik zat beracun sepenuhnya dapat
terpisah dengan tegas kedalam tiga jenis wujud dasar efek toksik itu.
(Donatus, 1990)
Zat kimia dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik pada tubuh efek
lokal hanya terbatas pada sebagian dari organ tubuh yang terkena racun,
misalnya, kulit, mata saluran nafas atau usus, contoh efek lokal adalah
munculnya bintik-bintik merah pada kulit, kulit terasa terbakar, mata berair,
dan iritasi pada tenggorokan yang dapat menyebabkan batuk. Beberapa jenis
racun dapat menyebabkan efek lokal tapi sebagian tidak menimbulkan efek
lokal efek sistemik merupakan efek yang lebih umum yang terjadi setelah
racun diabsorbsi. Beberapa jenis racun dapat menyebabkan efek lokal
maupun sistemik. (Henry, 1997)
Jenis efek toksik berdasarkan perubahan fungsional meliputi jenis wujud
efek toksik yang berkaitan dengan antaraksi zat beracun dengan reseptor
atau tempat aktif enzim yang sifatnya terbalikkan sehingga dapat
mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu. Termasuk dalam jenis wujud
efek toksik ini diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem
saraf,

hiper

atau

hipotensi,

hiper

atau

hipoglikemia,

perubahan

keseimbangan cairan atau elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot


atau hipo/hiperemi. Hal tersebut dapat terjadi karena hambatan enzim yang
secara

normal

bertanggung

jawab

terhadap

penawar

keracunan

neurotransmitter itu. (Donatus, 1990)


d. Sifat Efek Toksik
Pada dasarnya hanya terdapat dua jenis sifat efek toksik zat beracun, yakni
terbalikkan atau tak terbalkkan. Ciri khas dari wujud efek toksik yang
terbalikkan yaitu : (1) bila kadar racun yang ada pada tempat aksi atau
reseptor tertentu telah habis, maka reseptor tersebut akan kembali ke
kedudukan semula (2) efek toksik yang ditimbulkan akan cepat kembali

normal, dan (3) ketoksikan racun bergantung pada takaran serta kecepatan
absorpsi, distribusi, dan eliminasi racunnya. Ciri khas dari wujud efek toksik
yang tak terbalikkan yaitu : (1) kerusakan yang terjadi sifatnya menetap (2)
pemejanan berikutnya dengan racun kan menimbulkan kerusakan yang
sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik
dan (3) pemejanan dengan takaran yang sangat kecil dalam jangka panjang
akan menimbulkan efek toksik yang seefektif dengan yang ditimbulkan oleh
pemejanan racun dengan takaran besar dalam jangka pendek. (Donatus,
1990)
Racun yang tidak berubah (masih dalam bentuk utuhnya) maupun bentuk
metabolitnya biasanya dikeluarkan melalui urin, feses, atau keringat, atau
udara yang dihembuskan saat bernafas. Mekanisme perubahan racun dari
darah ke urin terjadi di ginjal dan mekanisme perubahan racun dari darah ke
gas yang dihembuskan saat bernafas terjadi di paru-paru. Racun yang
terdapat di feses mungkin melewati usus tanpa diabsorpsi oleh pembuluh
darah yang ada diusus atau jika diabsorpsi maka akan dikembalikan lagi ke
usus.
3. Masuknya Racun Kedalam Tubuh
Racun dapat masuk ke dalam tubuh diantaranya melalui :
1. Melalui mulut karena tertelan (ingesti)
Sebagian keracunan terjadi melalui jalur ini anak-anak sering menelan racun
secara tidak sengaja dan orang dewasa terkadang bunuh diri dengan
menelan racun. Saat racun tertelan dan mulai mencapai lambung, racun
dapat melewati dinding usus dan masuk kedalam pembuluh darah, semakin
lama racun tinggal di dalam usus maka jumlah yang masuk ke pembuluh
darah juga semakin besar dan keracunan yan terjadi semakin parah.
Ada 2 macam cara yang lain untuk menghambat masuknya racun ke
peredaran darah, yaitu dengan pemberian arang aktif yang dapat mengikat
racun sehingga tidak melewati dinding usus, atau dengan pemberian laksatif
sehingga racun dapat dikeluarkan dari saluran pencernaan dengan lebih

cepat, racun yang tidak dapat menembus dinding usus dan mencapai sistem
peredaran darah, tidak akan memberikan efek pada tubuh. Racun akan
melewati saluran pencernaan dan keluar melalui feses.
2. Melalui paru-paru karena terhirup melalui mulut atau hidung
(inhalasi)
Racun yang berbentuk gas, uap, debu, asap atau spray dapat terhirup melalui
mulut dan hidung dan masuk ke paru-paru. Hanya partikel-partikel yang
sangat kecil yang dapat melewati paru-paru. Partikel-partikel yang lebih
besar akan tertahan dimulut, tenggorokan dan hidung dan mungkin dapat
tertelan. Racun yang dapat sampai ke paru-paru akan masuk ke peredaran
darah dengan sangat cepat karena tempat pertukaran udara di paru-paru
memiliki dinding yang tipis dan banyak terdapat aliran darah.
3. Melalui kulit yang terkena cairan atau spray
Orang yang bekerja dengan zatzat kimia seperti pestisida dapat teracuni jika
zat kimia tersemprot atau terciprat ke kulit mereka atau jika pakaian yang
mereka pakai terkena pestisida. Kulit merupakan barier yang melindungi
tubuh dari racun, meskipun beberapa racun dapat masuk melalui kulit.
Racun lebih cepat melewati kulit yang hangat, basah atau berkeringat
dibanding dengan kulit yang dingin atau kering dan lebih cepat melewati
kulit yang terluka atau terbakar daripada kulit yang utuh.
4. Efek Racun pada Tubuh
Racun memiliki efek, diantaranya :
1. Efek lokal
a. Pada kulit
b. Pada mata
c. Pada usus
d. Pada saluran pernafasan dan paru-paru

e. Melalui injeksi pada kulit


Racun dapat diinjeksikan masuk kedalam kulit melalui jarum suntik,
selama proses pentatoan, atau gigitan atau sengatan hewan beracun
seperti serangga, ikan atau ular. Racun yang tersuntik kedalam pembuluh
darah menimbulkan efek yang sangat cepat. Racun yang tersuntik
kebawah kulit atau otot harus melewati beberapa lapis jaringan sebelum
mencapai pembuluh darah, sehingga aksinya lebih lambat.
f. Pada bagian yang terinjeksi
Racun iritan yang terinjeksi ke kulit, seperti racun dari sengat serangga
dan gigitan ular, dapat menyebabkan nyeri dan bengkak ditempat yang
terkena.
2. Efek sistemik
Ada beberapa cara sehingga racun dapat menyebabkan sakit :
a. Merusak organ-organ seperti otak, saraf, jantung, hati, paru-paru, ginjal
atau kulit. Sebagian besar racun memiliki efek yang lebih besar pada satu
atau dua organ dibanding organ yang lain. Organ yang terkena efek lebih
besar disebut sebagai organ sasaran
b. Memblok hubungan antar saraf
c. Menghentikan kerja tubuh sama sekali, misalnya menghentikan
pemasokan energi atau oksigen. (Henry, 1997)
5. Penanganan Keracunan
Pada umumnya para pakar sependapat bahwa penanganan keracunan bahan
berbahaya akut, dibagi dalam tiga tahap tindakan, yakni : tindakan terapi
suportif, penyidikan jenis racun penyebab, dan terapi antidot
1. Terapi suportif

Pada dasarnya merupakan tindakan pertolongan pertama, ditujukan untuk


memperbaiki kondisi dan menyelamatkan jiwa penderita. Tindakan ini akan
memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan peredaran darah, sehingga
penderita selamat serta menjadi lebih mudah dan kooperatif untuk menjalani
terapi antidot berikutnya. Memperhatikan tujuan dan fungsi terapinya, jelas
bahwa terapi suportif harus dilakukan dengan cepat atau sesegera mungkin.
2. Penyidikan jenis racun penyebab
Merupakan tindakan penting yang ditujukan untuk menentukan pilihan
tindakan terapi antidot. Tindakan ini dilakukan dengan cara:
a Wawancara dengan penderita atau penghantar.
b Pemeriksaan gejala-gejala keracunan yang ada secara sistematis.
c Pemeriksaan wadah dan sisa bahan penyebab yang dicurigai, muntahan, air
kencing, atau darah penderita. Pengiriman bahan yang diperoleh pada butir
c ke laboratorium (Donatus, 1997)
3. Terapi antidot
Bila makhluk hidup mengalami keracunan bahan pangan tertentu, tentunya
diperlukan upaya penanggulangan guna menghambat dan mencegah
penyebaran racun, serta menghilangkan racun dari dalam tubuh si penderita.
Sistem penanggulangan keracunan ini dikenal sebagai terapi antidot.
Kecepatan dan ketepatan merupakan prasarat utama penatalaksanaan
keracunan. Kecepatan diperlukan untuk mengatasi dan mengurangi berbagai
gejala yang mungkin akan memperburuk kondisi si penderita, sehingga
akibat yang fatal seperti kematian dapat dicegah sedini mungkin. Sedangkan
ketepatan

berkaitan

dengan

pemilihan

strategi

terapi

berdasarkan

pengetahuan atau informasi yang ada atas jenis racun, saat pemejanan, dan
kemungkinan luas penyebaran racun, serta berbagai faktor intrinsik racun
maupun faktor intrinsik si penderita yang mungkin mempengaruhi.
(Donatus,1990)

1) Terapi non spesifik adalah suatu terapi keracunan yang bersifat hampir sama
pada semua kasus keracunan, melalui cara cara seperti memacu muntah,
bilas lambung dan membersihkan zat absorben. Cara lain adalah
mempercepat eliminasi dengan pengasaman dan pembasaan urin ataun
hemodialisis.
a. Menghambat absorbsi zat racun.
Menghambat absorbsi zat racun dapat dilaksanakan dengan beberapa
cara antara lain dengan membersihkan atau mencuci kulit yang
terkontaminasi zat toksik, mengeluarkan racun dalam lambung, mencegah
absorbsi, dan memberikan pencahar. Mencuci kulit dilakukan dengan air
mengalir dan jika zat mengenai pakaian, pakaiannya ditanggalkan. Zat
toksik yang sudah masuk kedalam lambung dapat dilakukan dengan
pemberian norit (arang aktif), menentukan atau memberi pencahar atau bilas
lambung.
1. Pemberian arang aktif (norit)
Arang aktif diberikan pada kasus keracunan karena dapat mengabsorbsi
zat racun atau toksin dalam saluran pencernaan. Lebih dini norit diberikan
akan lebih efektif hasilnya. Norit masih efektif hingga 2 jam dari racun
tertelan dan lebih lama lagi pada keracunan obat sediaan lepas lambat atau
keracunan obat obat yang bersifat kolinergik. Karbon aktif relatif aman
dan dosisnya sangat tergantung dari jumlah zat toksik yang tertelan. Dosis
minimalnya adalah 30 gram. Dosis pada orang dewasa adalah 50 g dapat
diulang setiap 4-6 jam. Pemberian dosis berulang juga bermanfaat
mempercepat eliminasi zat toksik yang sudah terabsorbsi.
Karbon aktif dapat menyerap zat-zat seperti salisilat, acetaminophen,
karbamazepin, dapson, teofilin, quinine dan obat obat antidepresan.
Pemberian karbon aktif dapat dikombinasikan dengan bilas lambung atau
katartik, tetapi tidak dengan sirup ipekak atau susu karena akan mengurangi
efektifitasnya.
2. Mengeluarkan racun dari lambung.
Pengeluaran racun dari lambung harus mempertimbangkan zat yang
tertelan, tingkat keracunan dan berapa lama zat racun tertelan. Pengosongan

lambung tidak berguna jika resiko dari keracunan kecil atau pasien sudah
datang

terlambat.

Pengosongan

dengan

bilas

lambung

diragukan

kegunaannya bila dilakukan lebih dari 1-2 jam setelah racun tertelan.
Bahaya dari bilas lambung adalah teraspirasinya isi lambung. Karena itu
tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengantuk atau koma kecuali jika
reflek batuk sangat baik atau saluran nafas dapat dilindungi dengan pipa
endotrakea. Pipa lambung tidak boleh dimasukkan pada keracunan zat
korosif.
Produk petroleum lebih berbahaya di dalam paru-paru dibandingkan di
lambung, karena itu pencucian lambung tidak dianjurkan karena ada resiko
terhirup. Dengan berbagai pertimbangan, bilas lambung umumnya tidak
praktis dan jarang diperlukan, kecuali di rumah sakit.
Pemuntahan isi perut dengan pemberian ipecacuanha telah dipakai baik
pada orang dewasa atau anak-anak, tetapi sangat terbatas kegunaannya.
Tidak terbukti bahwa ipecacuanha mengurangi penyerapan secara bermakna
(walaupun digunakan 1-2 jam) dan efek sampingnya dapat menyulitkan
penegakan diagnostik terutama pada keracunan zat besi. Pemberian
ipecacuanha hanya boleh dipertimnbangkan bila pasien sadar sepenuhnya,
atau bila zat racun yang tertelan tidak korosif dan produk petroleum atau
tidak dijerap dengan arang aktif.
3. Pemberian Katerik
Pencahar digunakan untuk mempercepat pengeluaran zat racun dari
saluran gastrointestinal (GI) terutama untuk racun yang sudah mencapai
usus halus. Pemberian sorbitol direkomendasikam pada penderita yang tidak
ada gangguan jantung. Magnesium sulfat dapat digunakan pada penderita
yang tidak ada gangguan ginjal.
b. Mempercepat eliminasi
Kecepatan eliminasi akan mempengaruhi jumlah obat yang berada dalam sel
sasaran dalam melamoui nilai KTM-nya. Percepatan eliminasi dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan ekskresi melalui pengamasan atau
pembasaan urin dan diuresis paksa. Pengamasan urin (menurunkan pH urin)
dengan memberikan zat seperti amonnium klorida atau vitamin C akan

mengurangi reabsorbsi zat atau obat yang bersifat basa lemah seperti
amfetamin. Sebaliknya pembasaan urin melslui pemberian natrium
bikarbonat akan mengurangi reabsorbsi pada obat yang bersifat asam lemah
seprti aspirin dan fenobarbital. Pengurangan reabsorbsi tubulus terjadi
karena pengasaman/pembasaan urin tersebut di atas akan meningkatkan
ionisasi di tubulus sehingga akn mengurangi reabsorbsi. (Priyanto, 2007)
2) Terapi antidot spesifik adalah suatu terapi antidotum yang hanya efektif
untuk zat-zat tertentu. Cukup banyak antidotum spesifik telah digunakan
dalam klinik. Untuk memudahkan mempelajarinya, antidotum yang spesifik
dikelompokan menjadi: antidotum yang bekerja secara kimiawi, bekerja
secara farmakologi dan yang bekerja secara fungsional.
a. Asam Sianida
b. Natrium Tiosulfat
c. Natrium Nitrit
6. Asas Umum Terapi Antidot
Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang
sebaiknya dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi
suportif, yakni memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi.
Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan meliputi upaya membatasi
penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun.
Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan
kadar) racun (bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di
dalam tubuh. Keberadaan racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi,
distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada umumnya intensitas efek toksik pada
efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di tempat aksi dan takaran
pemejanannya.
Tujuan terapi antidot ialah untuk membatasi intensitas efek toksik racun,
sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya efek berbahaya selanjutnya.
Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah intensitas efek toksik
racun.

Pada dasarnya dalam praktek toksikologi klinik, terapi antidot dapat


dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas. Dimaksud dengan
metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap sebagian
besar racun. Metode khas, ialah metode yang hanya digunakan bila senyawa
yang kemungkinan bertindak sebagai penyebab keracunan telah tersidik, serta
zat antidotnya ada.
Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran, strategi
dasar, cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan
atau penghilangan intensitas efek toksik racun. Intensitas efek iniditunjukkan
oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik (KTM) dan kadar puncak racun
dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi antidot meliputi
penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi, dan
atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh. (Donatus, 2001)

Pada kurva diatas, ada tiga tatacara yang mungkin mampu melaksanakan
tujuan terapi tersebut , yakni : (1) geser kemiringan fase absorpsi atau distribusi
kearah kanan ( gambar C); (2) geser kemiringan fase eliminasi ke arah kiri
(gambar D); atau (3) geser ke atas atau naikakn ambang toksik (KTM).
Pergeseran fase absorpsi ke arah kanan akan memperlambat kecepatan, absorpsi
racun, sehingga dapat mempercepat penurunan intensitas efek toksik. Demikian
pula pergeseran fase distribusi ke arah kanan akan mempercepat penurunan
intensitas efek toksik, karena penyebaran racun diperlambat. Pergeseran fase
eliminasi ke arah kiri akan mempercepat penurunan intensitas efek toksik. Dan
penaikan ambang toksik jelas akan mempercepat penurunan intensitas efek
racun, karena ambang toksik tersebut lebih sulit dicapai. ( Loomis,1978)
B. 2. Sianida
Sianida merupakan bahan kimia yang sangat reaktif dan penggunaanya sangat
bervariasi, termasuk sintesis kimia, analisis laboratorium, dan metal plating.
( D Blanck,1994)
Asam sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan
serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida sering dijumpai di
dalam kacang almond, daun salam, cherry, ubi. Di dalam koro atau tanaman dari
keluarga kacang-kacangan dan ketela pohon. Sianida merupakan senyawa kimia
yang toksik dan memiliki beragam kegunaan, termasuk sintesis senyawa kimia,
analisis laboratorium, dan pembuatan logam. Nitril alifatik (acrylonitrile dan
propionitrile digunakan dalam produksi plastic yang kemudian dimetabolisme
menjadi sianida. Obat vasodilator seperti nitroprusida melepaskan sianida pada saat
terkena cahaya ataupun pada saat metabolisme. Sianida yang berasal dari alam
(amigdalin dan glikosida sinogenik lainnya) dapat ditemukan dalam biji aprikot,
singkong, dan banyak tanaman lainnya, beberapa diantaranya dapat berguna,
tergantung pada keperluan ethnobotanikal.
Acetonitrile, sebuah komponen pada perekat besi, dapat menyebabkan
kematian pada anak-anak. Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk
gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen

khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau potasium
sianida (KCN). Hidrogen sianida merupakan gas yang mudah dihasilkan dengan
mencampur asam dengan garam sianida dan sering digunakan dalam pembakaran
plastik, wool, dan produk natural dan sintetik lainnya. Keracunan hidrogen sianida
dapat menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja dari sianida (termasuk
garam sianida) dapat menjadi alat untuk melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri
(Olson, 2007).
Akibat racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuk tubuh,
lewat pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan
oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak paparan dalam
jumlah kecil mengakibatkan napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual
dan muntah serta detak jantung meningkat. Paparan dalam jumlah besar
menyebabkan kejang, tekanan darah rendah, detak jantung melambat, kehilangan
kesadaran, gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama,
2006).
Mekanisme Toksisitas :
Sianida merupakan senyawa penyebab asphixia, dimana sianida berikatan
dengan Enzim cytochrom oksidase, dan mengeblok pendistribusian oksigen di dalam
sel. Sianida yang tidak berikatan didetoksifikasi dan dimetabolisme menjadi
thiosianat. Komponen toksik tersebut secara perlahan dikeluarkan melalui urin.
( D Blanck,1994)
Sianida merupakan inhibitor nonspesifik enzim, meliputi asam suksinat
dehidrognase, superoksida dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan
lain sebagainya. Sianida memiliki afinitas tinggi terhadap ion besi pada sitokrom
oksidase, metalloenzim respirasi oksidatif akhir pada mitokondria. Fungsinya dalam
rantai transport elektron dalam mitokondria, mengubah produk katabolisme glukosa
menjadi ATP. Enzim ini merupakan katalis utama yang berperan pada penggunaan
oksigen di jaringan. Sianida menyebabkan hipoksia seluler dengan menghambat
sitokrom oksidase pada bagan sitokrom a3 dari rantai transport elektron. Ion hidrogen
yang secara normal akan bergabung dengan oksigen pada ujung rantai tidak lagi

tergabung (incorporated). Hasilnya, selain persediaan oksigen kurang, oksigen tidak


bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi dibentuk. Ion hidrogen incorporated
terakumulasi sehingga menyebabkan acidemia. (Meredith, 1993)
Sianida dapat menyebabkan sesak pada bagian dada; berikatan dengan
sitokrom oksidase, dan kemudian memblok penggunaan oksigen secara aerob.
Sianida yang tidak berikatan akan akan didetoksifikasi melalui metabolisme menjadi
tiosianat yang merupakan senyawa yang lebih nontoksik yang akan diekskresikan
melalui urin. (Olson, 2007)
Hiperlaktamia terjadi pada keracunan sianida karena kegagalan metabolisme
energi aerob. Selama kondisi aerob, ketika rantai transport elektron berfungsi, laktat
diubah menjadi piruvat oleh laktat dehidrogenase mitokondria. Pada proses ini, laktat
menyumbangkan gugus hidrogen yang akan mereduksi nikotinamid adenin
dinukleotida (NAD) menjadi NADH. Piruvat kemudian masuk dalam siklus asam
trikarboksilat dengan menghasilkan ATP. Ketika sitokrom a3 dalam rantai transport
elektron dihambat oleh sianida, terdapat kekurangan relatif NAD dan dominasi
NADH, menunjukkan reaksi balik, sebagai contoh : piruvat dirubah menjadi laktat.
(Meredith, 1993).
Kadar Toksik
Kadar toksik lebih dari 200 mg, KCN dapat di absorbsi melalui kulit.
( D Blanck,1994)
Wujud Efek Toksik
Setelah terpejan sianida, gejala yang paling cepat muncul adalah iritasi pada lidah
dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala dan tanda awal
yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida adalah kecemasan,
sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang diikuti dengan dyspnoea,
sianosis, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmea AV nodus. (Meredith, 1993).
Onset yang terjadi secara tiba-tiba dari efek toksik yang pendek setelah pemaparan
sianida merupakan tanda awal dari keracunan sianida. Symptomnya termasuk sakit
kepala, mual, dyspnea, dan kebingungan. Syncope, koma, respirasi agonal, dan

gangguan kardiovaskular terjadi dengan cepat setelah pemaparan yang berat. (Olson,
2007)
Dalam keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi
konvulsi, kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit menjadi dingin,
berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat. Tanda terakhr dari
toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal jantung, udem pada
paru-paru dan kematian.
Warna merah terang pada kulit atau tidak terjadinya sianosis, jarang terjadi dalam
keracunan sianida. Secara teoritis tanda ini dapat dijelaskan dengan adanya
kandungan yang tinggi dari oksihemoglobin, dalam vena return, tetapi dalam
keracunan berat, gagal jantung dapat dicegah. Kadang-kadang sianosis dapat dikenali
apabila pasien memiliki bintik merah muda terang. (Meredith, 1993)
B. 3. Antidotum Sianida
Diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan meaknisme aksi
utamanya, yaitu: detoksifikasi dengan sulfur untuk membentuk ion tiosianat yang
lebih tidak toksik, pembentukan methemoglobin dan kombinasi langsung.
1. Pembentukan methemoglobin
Methemoglobin sengaja diproduksi untuk bersaing dengan sianida di
tempat ikatan pada sistem sitokrom oksidase. Sianida mempunyai ikatan khusus
dengan ion besi pada sistem sitrokrom oksidase, sianida dalam jumlah yang
cukup besar akan berikatan dengan ion besi pada senyawa lain, seperti
methemoglobin. Jika produksi methemoglobin cukup maka gejala keracunan
sianida dapat teratasi. Methemoglobinemia dapat diproduksi dengan pemberian
amil nitrit secara inhalasi dan kemudian pemberian natrium nitrit secara
intravena. Kira-kira 30% methemoglobinemia dianggap optimum dan jumlahnya
dijaga agar tetap di bawah 40% senyawa lain seperti 4-DMAP dapat
memproduksi methemoglobin secara lebih cepat.
Apabila methemoglobin tidak dapat mengangkut cukup oksigen maka
molekul hemoglobin menjadi tidak berfungsi. Produksi methemoglobinemia

lebih dari 50% dapat berpotensi fatal. Methemoglobinemia yang berlebih dapat
dibalikkan

dengan

metilen

biru,

terapi

yang

digunakan

pada

methemoglobinemia, dapat menyebabkan terlepasnya kembali ion sianida


mengakibatkan keracunan sianida. Sianida bergabung dengan methemoglobin
membentuk sianmethemoglobin. Sianmethemoglobin berwarna merah cerah,
berlawanan dengan methemoglobin yang berwarna coklat (Meredith, 1993).

Gambar 1. Penggantian sianida dari sitrokrom a3 oksidase oleh


methemoglobin
Contoh zat kimia yang dapat memproduksi methemoglobin adalah :
a. Amil nitrit. Hanya dapat memproduksi kira-kira 5% methemoglobin dan
tidak cukup untuk digunakan sebagai terapi tunggal. Dosis amil nitrit yang
dapat meningkatkan produksi methemoglobin sering berhubungan dengan
terjadinya hipotensi. Sebenarnya, amil nitrit telah dihapus di Amerika
Serikat karena pembentukan methemoglobin yang tidak dapat diprediksi
dan berhubungan dengan vasodilatasi yang dapat menyebabkan hipotensi.
amil nitrat juga dapat menyebabkan vasodilatasi yang dapat membalikkan
efek awal sianida yang dapat menyebabkan vasokonstriksi.
b. Natrium nitrit. Penggunaan natrium nitrat tidak tanpa risiko karena bila
berlebihan

dapat

menyebabkan
methemoglobin

mengakibatkan

hipoksia
harus

atau

methemoglobinemia

hipotensi,

dikotrol.

untuk

Penggunaan

itu
natrium

yang
maka
nitrit

dapat
jumlah
tidak

direkomendasikan untuk pasien yang memiliki kekurangan glukosa-6-fosfat

dehidrogenase

(G6DP)

dalam

sel

darah

merahnya

karena

dapat

menyebabkan reaksi hemolisis yang serius.


c. 4-DMAP. Merupakan senyawa pembentuk methemoglobin dengan efek
yang cepat saat melawan sianida. 4-DMAP merupakan antidot yang lebih
cepat dari pada nitrat dan toksisitasnya lebih rendah. Pada manusia, injeksi
intravena dengan dosis 3 mg/kg dapat memproduksi 15% methemoglobin
dalam waktu 1 menit.
d. Senyawa

lain,

paminoheptanoilfenon

(PAHP),

p-aminopropiofenon

(PAPP), dan paminooktanoilfenon (PAOP). PAHP merupakan fenon yang


paling aman. Senyawa-senyawa tersebut mengurangi jumlah sianida dalam
sel darah merah. Efek PAPP secara khusus dapat meningkat dengan adanya
tiosulfat. (Meredith, 1993)

2. Detoksifikasi sulfur
Setelah methemoglobin dapat mengurangi gejala yang ditimbulkan pada
keracunan sianida, sianida dapat diubah menjadi tiosianat dengan menggunakan
natrium tiosulfat.

Gambar 2. Pengubahan sianmethemoglobin menjadi tiosianat oleh


rhodanase dan tiosulfat

Pada proses kedua membutuhkan donor sulfur agar rodanase dapat mengubah
sianmethemoglobin menjadi tiosianat karena donor sulfur endogen biasanya
terbatas. Ion tiosianat kemudian diekskresikan melalui ginjal.
3. Kombinasi langsung
Ada 2 macam mekanisme yang berbeda dari kombinasi langsung
dengan sianida yang sering digunakan, yaitu kombinasi dengan senyawa kobalt
dan kombinasi dengan hidroksobalamin
a. Hidroksikobalamin

(vitamin

).

B12a

Merupakan

prekursor

dari

sianokobalamin vitamin B12). Penggunaan hidroksikobalamin sebagai


pencegahan pada pemberian natrium nitroprusid jangka panjang sama
efektifnya untuk pengobatan pada keracunan sianida akut selama lebih dari
40 tahun. Senyawa ini bereaksi langsung dengan sianida dan tidak bereaksi
dengan hemoglobin untuk membentuk methemoglobin.
Hidroksikobalamin bekerja baik pada celah intravaskular maupun di dalam
sel untuk menyerang sianida. Hal ini berlawanan dengan methemoglobin
yang hanya bekerja sebagai antidot pada celah vaskular. Pemberian natrium
tiosulfat

meningkatkan

kemampuan

hidroksikobalamin

untuk

mendetoksifikasi keracunan sianida.


b. Dikobalt-EDTA. Bentuk garam dari kobalt bersifat efektif untuk mengikat
sianida. Kobalt-EDTA lebih efektif sebagai antidot sianida dibandingkan
dengan kombinasi nitrat-tiosulfat. Senyawa ini mengkelat sianida menjadi
kobaltisianida. Efek samping dari dikobalt-EDTA adalah reaksi anafilaksis,
yang dapat muncul sebagai urtikaria, angiodema pada wajah, leher, dan
saluran

nafas,

dispnea,

dan

hipotensi.

Dikobalt-EDTA juga

dapat

menyebabkan hipertensi dan dapat menyebabkan disritmia jika tidak ada


sianida saat

pemberian dikobalt-EDTA.

Pemberian

obat ini

dapat

menyebabkan kematian dan toksisitas berat dari kobalt terlihat setelah pasien
sembuh dari keracunan sianida (Meredith, 1993)

B.4. Analisa Antidotum


A. Natrium Tiosulfat
Berupa hablur besar, tidak berwarna, atau serbuk hablur kasar. Mengkilap
dalam udara lembab dan mekar dalam udara kering pada suhu lebih dari 33C.
Larutannya netral atau basa lemah terhadap lakmus. Sangat mudah larut dalam
air dan tidak larut dalam etanol. (Anonim, 1995)
Sodium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida
menjadi

bentuk

yang

lebih

nontoksik,

tiosianat,

dengan

enzyme

sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan


senyawa nontoksik, dan dapat diberikan secara empiris pada keracunan sianida.
Penelitian dengan hewan uji menunjukkan kemampuan sebagai antidot yang
lebih baik bila dikombinasikan dengan hidroksokobalamin. (Olson, 2007)
a. Indikasi
Dapat diberikan sendiri ataupun dikombinasikan dengan nitrit atau
hidroksokobalin pada pasien keracunan sianida akut.
Perawatan secara empiris pada keracunan sianida berhubungan dengan
inhalasi.
Profilaksis selama infus nitroprusida.
Ekstravasasi dari mechlorethamin.
Ingesti garam bromat
b. Kontraindikasi
Tidak diketahui kontraindikasinya
c. Efek samping
Infus intravena dapat menyebabkan rasa terbakar, kejang otot dan
gerakan tiba-tiba, dan mual dan muntah.
Penggunaan pada wanita hamil.
d. Interaksi obat
Tiosulfat dapat menurunkan konsentrasi sianida pada beberapa metode.
e. Dosis dan cara pemberian

Untuk keracunan sianida.


Berikan 12.5 g (50 mL dari 25% larutan) secara IV pada 2.5-5 mL/menit.
Dosis untuk pediatrik sebesar 400 mg/kg (1.6 mL/kg dari 25% larutan)
sampai 50ml. Setengah dosis awal sebaiknya diberikan setelah 30-60 menit
bila diperlukan. (Olson, 2007)
B. Natrium Nitrit
Sodium nitrit injeksi dan amil nitrit dalam bentuk ampul untuk inhalasi
merupakan komponen dari antidot sianida. Kegunaan nitrit sebagai antidot
sianida bekerja dalam dua cara, yaitu : nitrit mengoksidasi hemoglobin, yang
kemudian akan mengikat sianida bebas, dan cara yang kedua yaitu
meningkatkan detoksifikasi sianida endothelial dengan menghasilkan vasodilasi.
Inhalasi dari satu ampul amil nitrit menghasilkan tingkat methemoglobin sekitar
5%. Pemberian dosis tunggal nitrit secara intravena dapat menghasilkan tingkat
methemoglobin sekitar 20-30%. (Olson, 2007)
a. Kontraindikasi
Nitrit dikontraindikasikan untuk : pasien dengan methemoglobinemia
(>40%), hipotensi berat, pemberian pada pasien yang keracunan
karbonmonoksida.
b. Efek samping
Nitrit memiliki efek samping yaitu :
Sakit kepala, kemerahan pada muka, kepusingan, mual, muntah,
takikardi, dan berkeringat. Efek samping ini dapat juga dijadikan tanda
keracunan sianida.
Pemberian secara intravena dapat menyebabkan hipotensi.
Methemoglobinemia berlebihan dan fatal dapat terjadi.
Penggunaan pada kehamilan
c. Interaksi obat

Hipotensi dapat menjadi parah apabila nitrit diberikan bersamaan dengan


alkohol atau vasodilator atau agen antihipertensi lainnya.

Metilen biru sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang keracunan


sianida karena dapat membalikkan induksi methemoglobinemia oleh
nitrit dan secara teori menghasilkan pelepasan ion bebas sianida.

Ikatan dari methemoglobin pada sianida (sianomethemoglobin) dapat


menurunkan tingkat methemoglobin bebas

d. Dosis dan metode pemberian


Amil nitrit dalam bentuk ampul.
Gunakan 1 atau 2 ampul pada kain kasa, pakaian, atau spons dan
letakkan di bawah hidung penderita, yang sebaiknya dihirup dalamdalam selama 30 detik.
Diamkan 30 detik, kemudian ulangi lagi
Sodium nitrit parenteral.
e. Dewasa.
Berikan 300 mg sodium nitrit (10 mL dari 3% larutan) IV selama 3-5 menit .
f. Anak-anak.
Berikan 0.15-0.33 mL/kg sampai batas maksimum sebesar 10 mL. Dosis
pada anak-anak sebaiknya dihitung berdasarkan konsentrasi hemoglobin
bila diketahui. Bila diduga mengalami anemia atau hipotensi, awali dengan
dosis rendah, diencerkan dalam 50-100 mL saline, dan berikan selama 5
menit. (Olson, 2007)

C. Alat dan Bahan


Alat
Spuit 1ml
Jarum injeksi

Stopwatch
Bekerglass
Labu takar 10,0 ml
Kapas
Bahan
Larutan natrium nitrit 2% 20 mg/kgBB
Larutan natrium tiosulfat 25% 1125mg/kgBB
Larutan Kalium Sianida 1.5% 15 mg/kgBB
Alkohol
Hewan Uji : Mencit

D. SKEMA KERJA
21 Mencit jantan galur Wistar, berat seragam (20-30 g),
umur 40-60 hari, dikelompokkan dalam 7 kelompok sama
banyak @ 3 mencit
Kel 5
Kel 1

Kel 2

Kel 3

Kel 4

Larutan
KCN 0,5%
dosis 15
mg/kgBB
secara
S.C.

Larutan
NaNO2
1% dosis
20
mg/kgBB
secara

Larutan
KCN 0,5
% dosis
15
mg/kgBB
secara

Larutan
KCN 0,5
% dosis
15
mg/kgBB
secara

Larutan
Na2S2O3
25%
dosis
1125
mg/kgBB
secara

Kel 6

Kel 7

Larutan
KCN
0,5%
dosis 15
mg/kgBB
secara
S.C.

Larutan
KCN
0,5%
dosis 15
mg/kgBB
secara
S.C.

Sianosis

Kejang

Larutan
NaNO2
1% dosis
20
mg/kgBB
secara I.P

Larutan
NaNO2
1% dosis
20
mg/kgBB
secara I.P

Sianosis

Kejang

Larutan
Na2S2O3
25%
dosis
1125
mg/kgB
B secara

Larutan
Na2S2O31
% dosis
1125
mg/kgBB
secara
I.P

Dicatat saat timbul gejala sianosis, kejang, hilang


kesadaran, gagal nafas dan kematian

Dibuat tabel purata waktu timbulnya gejala


sianosis, kejang, gagal nafas dan kematian

Dianalisis secara anava, bila perlu dilanjutkan

E. DATA PENGAMATAN
PERHITUNGAN PIKET
Natrium Nitrit 20mg/kgBB mencit
20 mg
Dosis mencit terbesar ( 30g ) = 1000 g 30 g=0,6 mg
Cstok =

Dosis terbesar 0,6 mg


=
=1,2mg/ml
1
1
Vp
1 ml
2
2

Vp =

0,6 mg
=0,5 ml
Dosis
mg
=
1,2
C stok
ml

Pembuatan larutan = 0,5 ml 21=10,5ml 10 ml


Penimbangan = 1,2 mg/ml 10 ml=12 mg
Cstok sebenarnya

12,5 mg
=1,25 mg/ml
10 ml

Kalium Sianida 15mg/kgBB mencit


15 mg
Dosis mencit terbesar ( 30g ) = 1000 g
Cstok =

Vp =

x 30 g = 0,45 mg

Dosis terbesar 0,45 mg


=
=0,9 mg /ml
1
1
Vp
1 ml
2
2

0,45mg
=0,5 ml
Dosis
mg
C stok = 0,9
ml

Pembuatan larutan = 0,5 ml 21=10,5ml 10 ml


Penimbangan = 0,9 mg/ml 10 ml=9 mg
Cstok sebenarnya

12,5 mg
=1,25 mg/ml
10 ml

Natrium Tiosulfat 1125mg/kgBB mencit


1125 mg
Dosis mencit terbesar ( 30g ) = 1000 g
Cstok =

x 30 g = 33,75 mg

Dosis terbesar 33,75 mg


=
=67,5 mg/ml
1
1
Vp
1ml
2
2

Vp =

33,75 mg
=0,5 ml
Dosis
mg
=
67,5
C stok
ml

Pembuatan larutan = 0,5 ml 21=10,5ml 11 ml


Penimbangan = 67,5 mg /ml 10 ml=675 mg
Cstok sebenarnya

676,4 mg
=67,64 mg/ml
10 ml

Kelompok 5 Na thiosulfat
No
1
2
3

Kel

BB (Kg)
22. 6
18.6
19.3

Dosis I = 1125 mg/1000 gram x 22.6 gram = 25.425 mg


25.425 mg
D
Vp = Stok = 67.64 mg = 0.375 ml ~ 0.38 ml
ml

Dosis II = 1125 mg/1000 gram x 18.6 gram = 20.925 mg


20.925 mg
D
Vp = Stok = 67.64 mg = 0.309 ml ~ 0.31 ml
ml

Dosis III = 1125 mg/1000 gram x 19.3 gram = 21.7125 mg


21.7125 mg
D
Vp = Stok = 67.64 mg
= 0.321 ml ~ 0.32 ml
ml

Perlakuan

Waktu Pemberian

Muncul Gejala

Total
Hewan

Mati
Kejan

Sianosi

Kejan

7.50
7.59
8.07
8.12
8.15
8.15
8.23

8.15
8.24

48
33
15
34
36

56
96
78
40
44

sadar
65
116
142
63
74

8.33

8.34

42

51

kejang +

8.15
8.23

8.15
8.29

41
75

Na.Nitrit

8.33

8.35

8.05
8.20

sianosis +

8.06
8.16
8.23
8.04
8.20

Na.

8.30

8.30

25

45

60

91

114

8.19
8.31

8.20
8.33

38
41

40
43

41
44

228
387

KCN

KCN

Na.Nitrit
KCN,

sianosis +
Na.Nitrit
KCN,

Na.
Tiosulfat
KCN,

Tiosulfat
KCN,
7

Hilan

Sianosi

kejang +
Na.Tiosulfa

Gagal
Nafas

Mati

86
193
206
87
93

94
276
795
145
177

86

147

222

43
75

45
101

280

47
303

29
34

32
40

40
51

59
69

77
102

3
0

8.40
8.41
t
Data Pengamatan Kelompok G ( Antidotum )

Kelompok

29

30

32

138

Waktu Gejala Yang Timbul


Waktu pemberian
Perlakuan Perlakuan Sianosis Kejang
Hilang
Mati

Jumlah
yang

Kontrol
KCN
Kontrol
NaNO2
Sianosis
KCN +
NaNo2
Kejang KCN
+ NaNO2
Kontrol
Na2S2O3
Sianosis
KCN +
Na2S2O3
Kejang KCN
+ Na2S2O3

KCN
10.22
10.30
10.41
10.35
10.42
10.45
10.32
10.57
10.58
10.29
10.58
11.06
10.35
10.45
10.50

antidot
10.21
10.32
10.40
10.37
10.43
10.46
10.38
11.01
11.02
10.32
10.03
11.10
10.32
11.03
11.10
10.38
10.46
10.53

F. PERHITUNGAN

Anava 1 Jalan Kejang

120
120
120
60
0
0
120
120
120
120
240
1380
240
60
180

180
60
180
60
240
180
180
240
360
180
300
0
300

kesadran
300
240
180
180
1860
240
240
180
300
0
300

360
300
240
600
360
1020

mati
3

KCN
180
240
60
x = 480
x = 93600
X
= 160
n =3

KCN + NaNO2
240
180
180
x = 600
x = 122400
X
=200
n =3
xT

=
=
x

2
T

=
=

x 1+ x 2 + x 3
480 600 1380
2460
2

93600 122400 738000


954000

x T

xT
-

954000

=
=

x 1 + x 2+ x

KCN+ Na2S2O3
300
360
720
x = 1380
x = 738000
X
= 460
n = 3

281600

2460 2
9

b
=

x
3

xT

480 2 600 2 1380 2 2460 2


=
=

w
=
=
=

159200

t x 2b

281600 - 159200
122400

x b
2

RJK Antar Kelompok

=
=

K 1

159200
3 1
79600

x w
2

RJK Dalam Kelompok

=
=

NK

122400
93
20400

RJK Antar Kelompok


RJK Dalam Kelompok

F hitung =

79600
20400
3,9019 ~ 3,90

=
F tabel

K-1=31=2

NK=93=6

5,14

Karena F hitung (3,90) < F table (5,14), maka tidak ada perbedaan rata-rata
antar 3 kelompok pada penggunaan antidotum Natrium nitrit (NaNO2)
maupun Natrium thiosulfate (Na2S2O3).

KCN
240
180
120
x = 540
x = 104400
X
= 180
n =3

xT

=
=
x 2T

=
=

KCN + NaNO2
60
0
0
x = 60
x = 3600
X
=20
n =3

x 1+ x 2 + x 3
540 60 1740
2340

x 21 + x 22+ x23

104400 3600 1976400


2084400

x T

xT

t
=

2340
2084400

KCN+ Na2S2O3
120
240
1380
x = 1740
x = 1976400
X
= 580
n = 3

Anava 1 Jalan
Sianosis

1476000

b
=

x
2

xT

540 2 60 2 1740 2 2340 2


=
=

w
=
=
=

499200

t x 2b

1476000 - 499200
976800

x b
2

RJK Antar Kelompok

=
=

K 1

499200
3 1
249600

x w
2

RJK Dalam Kelompok

NK

976800
93

=
=

162800

RJK Antar Kelompok


RJK Dalam Kelompok

F hitung =

=
=

249600
162800
1,5332 ~ 1,53

F tabel : K - 1 = 3 1 = 2
NK=93=6

5,14

Karena F hitung (1,53) < F table (5,14) ,maka tidak ada perbedaan ratarata antar 3 kelompok pada penggunaan antidotum Natrium nitrit
(NaNO2) maupun Natrium thiosulfate (Na2S2O3).

G. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini bertujuan memahami tujuan, sasaran, dan strategi terapi
antidotum berdasarkan contoh kemampuan natrium nitrit dan natrium tiosulfat
menawarkan racun sianida. Terapi antidota merupakan tata cara yang secara khusus ditujukan untuk
membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang
ditimbulkannya, sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Pada
praktikum ini dilakukan percobaan metode antidotum khas dengan menggunakan
senyawa Natrium Nitrit (NaNO2) dan Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) yang dapat
menawarkan racun sianida. Hewan uji mencit yang digunakan berasal dari galur Wistar,
sehat, jenis kelamin jantan dengan umur relatif seragam (dewasa lebih kurang 40 hari),
berat badan antara 20-30 g. Sebelum digunakan untuk pengujian, mencit harus
dipuasakan terlebih dahulu minimal 18 jam. Hal ini bertujuan agar efek yang ditimbulkan
oleh racun sianida dan antidotumnya menjadi lebih optimal dan tidak dipengaruhi oleh
faktor makanan.
Racun sianida digunakan dalam bentuk larutan Kalium Sianida (KCN) dengan
dosis 15 mg/kgBB mencit. Dalam praktikum kali ini digunakan garam sianida yaitu
kalium sianida yang berbentuk serbuk kristal berwarna putih karena dengan konsentrasi
yang rendah sudah dapat mengiritasi dan memberikan efek yang diinginkan. Tidak
digunakan hidrogen sianida karena berbentuk cairan tidak berwarna atau dapat juga
berwarna biru pucat pada suhu kamar, serta bersifat volatile dan mudah terbakar,
sehingga dapat berbentuk gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Sianida merupakan

inhibitor non spesifik enzim,

meliputi asam suksinat dehidrognase, superoksida

dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan lain sebagainya. Sianida memiliki
afinitas tinggi terhadap ion besi pada sitokrom oksidase, metalloenzim respirasi oksidatif
akhir pada mitokondria. Fungsinya dalam rantai transport elektron dalam mitokondria,
mengubah produk katabolisme glukosa menjadi ATP. Enzim ini merupakan katalis
utama yang berperan pada penggunaan oksigen di jaringan. Sianida menyebabkan
hipoksia seluler dengan menghambat sitokrom oksidase pada bagian sitokrom a 3 dari
rantai transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung dengan
oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung

(incorporated). Hasilnya, selain

persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi
dibentuk. Ion hidrogen incorporated terakumulasi sehingga menyebabkan kematian.
Sianida dapat menyebabkan sesak pada bagian dada; berikatan dengan sitokrom oksidase,
dan kemudian memblok penggunaan oksigen secara aerob. Sianida yang tidak berikatan
akan akan didetoksifikasi melalui metabolisme menjadi tiosianat yang merupakan
senyawa yang lebih nontoksik yang akan diekskresikan melalui urin.
Racun sianida diberikan secara s.c (subcutan), sedangkan antidotum (NaNO 2 dan
Na2S2O3) diberikan secara i.p (intraperitoneal). Racun sianida dapat diberikan selain
dengan cara subcutan, misalnya dengan pemberian oral, intraperitoneal, intramuscular,
dll. Diberikan secara subcutan karena pada di lapisan kulit atau dermis terdapat pembuluh
darah sehingga dimungkinkan terjadi serapan sianida yang menunjukkan efek yang
diinginkan, tetapi efeknya lebih lama dibanding i.p. Sedangkan antidot diberikan secara
intraperitoneal agar efek penghambatan racun yang ditimbulkan lebih cepat.
Intraperitoneal lebih cepat dibandingkan dengan pemberian oral, subcutan, maupun
intramuscular.
Pada saat mencit diberikan larutan Kalium sianida (KCN) dengan dosis
15mg/kgBB secara subkutan (S.C.) menunjukan gejala-gejala toksik yang diawali dengan
sianosis kejang-kejang gagal nafas kematian. Pada proses sianosis menggambarkan
proses absorpsi sedangkan pada saat kejang menggambarkan fase eliminasi.
Sianosis
Gejala sianosis dapat terlihat dari membirunya pembuluh darah di ekor mencit
dan pada daerah sekitar kumis. Mekanisme sianosis terkait dengan sifat sianida
yang berikatan komponen besi dalam enzim sitokrom oksidase mitokondria,

sehingga enzim tersebut menjadi tidak aktif (dengan pembentukan kompleks


antara ion sianida dengan besi bervalensi tiga, akan memblok kerja enzim
sitokrom mitokondria, sehingga oksigen darah tidak dapat lagi diambil oleh sel),
padahal sistem enzim tersebut sangat diperlukan dalam berlangsungnya

metabolisme aerob.
Kejang kejang
Setelah sianosis ,mencit akan mengalami kejang- kejang dimana gejala kejang
dapat diamati dari gerakan mencit yang menggosokkan perutnya kebawah dengan
kaki belakang ditarik ke belakang atau jika mencit merasa sangat kekurangan O2,
maka mencit melompat-lompat atau hiperaktif. Kejang disebabkan karena
keadaan depolarisasi yang terus menerus di dalam sel. Sianida menghambat
transfer elektron pada rantai transfer elektron di dalam mitokondria sehingga
menyebabkan kegagalan sintesis ATP. ATP digunakan untuk

menggerakan

transporter ion seperti Na+, K+ -ATPase dalam membran plasma, Ca2+ -ATPase
di dalam plasma dan membran retikulum endoplasma, dan H +-ATPase dalam
membran lisosom. Karena ATP tidak terbentuk maka terjadi penumpukan Na + di
dalam sel sehingga

menyebabkan depolarisasi terus menerus yang dapat

menyebabkan kejang.
Gagal nafas
Terjadinya gagal nafas ini diakibatkan karena terjadi hipoksia pada tingkat sel.
Hipoksia terjadi karena terhambatnya rantai transport elektron dari sitokrom
oksidase ke

molekul oksigen pada bagian sitokrom a 3 oleh sianida pada

mitokondria. Gejala gagal nafas pada mencit ditandai dengan mencit yang

berusaha mancari O2 dari udara bebas dengan membuka-buka mulutnya.


Kematian
Sianida akan menghambat sitokrom oksidase pada sitokrom a3 yang akan
mengakibatkan hipoksia selular. Apabila hal ini terjadi, maka oksigen tidak akan
berguna lagi dan molekul ATP tidak akan dibentuk. Dengan tidak terbentuknya
ATP maka kegiatan dalam sel tidak akan berjalan dan hal ini akan menyebabkan
kematian.
Pada kelompok I sebagai kontrol diberi larutan Kalium Sianida dengan dosis 15

mg/kgBB secara subcutan. Kelompok I ini bertujuan untuk mengetahui efek racun

sianida dalam mematikan mencit tanpa adanya penambahan antidotum Natrium nitrit dan
Natrium thiosulfat.
Pada kelompok II dan V sebagai kontrol diberi larutan Natrium Nitrit dengan
dosis 20mg/kgBB dan Natrium Tiosulfat dengan dosis 1125 mg/KgBB secara
intraperitonial. Tujuannya untuk mengetahui efek dari antidotum tanpa diberikan racun
kalium sianida.
Pada kelompok III dan IV setelah diberi larutan sianida dengan dosis 15mg/KgBB
dilanjutkan dengan pemberian antidotum Natrium nitrit dengan dosis 20mg/KgBB.
Perbedaannya terletak pada waktu pemberiannya dimana pada kelompok III diberikan
saat mencit mengalami sianosis sedangkan kelompok IV diberikan saat mencit
mengalami kejang-kejang.
Pada kelompok VI dan VII setelah diberi larutan sianida denagn dosis
15mg/KgBB dilanjutkan dengan pemberian antidotum Natrium Tiosulfat dengan dosis
1125mg/KgBB. Perbedaannya terletak pada waktu pemberiannya dimana pada kelompok
VI diberikan saat mencit mengalami sianosis dan pada kelompok VII diberikan saat
mencit mengalami kejang-kejang.
Antidota sianida diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan
mekanisme aksi utamanya, yaitu: pembentukan methemoglobin, detoksifikasi dengan
sulfur untuk membentuk ion tiosianat yang lebih tidak toksik, dan kombinasi langsung.
Natrium Nitrit merupakan antidotum untuk sianida yang mekanisme kerjanya
dengan pembentukan methemoglobin. Pemberian antidotum Natrium Nitrit menyebabkan
pembentukan methemoglobin dengan cara mengembangkan perubahan besi fero dalam
hemoglobin menjadi besi feri. Natrium nitrit akan mengoksidasi sebagian hemoglobin
(methemoglobin), sehingga dalam aliran darah akan terdapat ion ferri, yang oleh ion
sianida akan diikat

menjadi sian methemoglobin. Ini akan

menyebabkan enzim

pernafasan yang terblok (reaksi kompetitif) akan bergenerasi lagi (sifat terbalikkan).
Dengan adanya nitrit proses respirasi dapat berlangsung kembali dan sirkulasi oksigen
kembali normal. Dengan mekanisme kerjanya yang menyebabkan enzim pernafasan yang
terblok (reaksi kompetitif) akan bergenerasi lagi (agar penyebaranya terhambat) maka
Natrium Nitrit efektif bekerja pada tahap absorbsi dan distribusi pada keracunan sianida.

Gambar mekanisme
Natrium Nitrit
pembentukan
methemoglobin

Adapun kurva yang menunjukan hubungan antara kadar racun dalam tubuh atau
pada tempat aksi vs waktu dalam penghambatan distribusi ( Natrium Nitrit ).

Natrium tiosulfat bekerja dengan mempercepat perubahan sianida dengan bantuan


rhodanase menjadi tiosianat [SCN]- yang bersifat kurang toksik. Selain itu, tiosianat
berbentuk ion sehingga dapat lebih mudah untuk diekskresikan. Natrium tiosulfat
merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih
nontoksik, yakni tiosianat dengan enzyme sulfurtransferase, yaitu rhodanase.
Rhodanese
Na2S2O3 + CN- SCN- + Na2SO3
Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik, dan dapat diberikan
secara empiris pada keracunan sianida. Dengan kata lain, tiosulfat efektif pada proses
eliminasi karena tiosulfat bekerja saat telah terjadi ikatan sianida dengan besi pada
sitokrom oksidase dengan manifestasi berupa kejang akibat depolarisasi yang terus
menerus di dalam sel. Sianida menghambat transfer elektron pada rantai transfer elektron
di dalam mitokondria sehingga menyebabkan kegagalan sintesis ATP. ATP digunakan
untuk menggerakan transporter ion seperti Na+, K+-ATPase dalam membran plasma, Ca2+-

ATPase di dalam plasma dan membran reticulum endoplasma, serta H +-ATPase dalam
membran lisosom. Karena ATP tidak terbentuk maka terjadi penumpukan Na + di dalam
sel sehingga menyebabkan depolarisasi terus menerus yang dapat menyebabkan kejang.

Gambar. Pengubahan sianmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rhodanase dan tiosulfat

Adapun kurva yang menunjukan hubungan antara kadar racun dalam tubuh atau
pada tempat aksi vs waktu dalam penghambatan eliminasi ( Natrium Tiosulfat ).

Menurut data kelompok I diketahui bahwa setelah pemberian Natrium nitrit pada
saat sianosis, mencit tidak mengalami efek toksik selanjutnya namun ada mencit yang
mengalami efek toksik selanjutnya yaitu kejang-kejang dalam waktu 60 detik dan
hilangnya kesadaran dalam waktu 60 detik pula. Sedangkan pemberian Natrium Nitrit
pada saat mencit mengalami kejang-kejang didapat bahwa mencit tidak mengalami efek
selanjutnya dan ada pula mencit yang mengalami hilang kesadaran selama 1860detik. Hal
ini menunjukan bahwa Natrium Nitrit lebih efektif diberikan pada saat terjadi sianosis
dimana sianosis menggambarkan keadaan absorbsi dan distribusi dari KCN yang sesuai
dengan teori.
Pada pemberian Natrium Tiosulfat pada saat sianosis,mencit mengalami efek
selanjutnya yaitu kejang-kejang dengan rata-rata 260 detik dan mengalami hilangnya
kesadaran dengan rata-rata waktu 220 detik. Sedangkan pemberian Natrium Tiosulfat saat

terjadi kejang-kejang mengalami hilang kesadaran dengan rat-rata waktu 300 detik dan
apada akhirnya mati. Secara teoritis Natrium Tiosulfat efektif diberikan pada saat
eliminasi yaitu pada saat mencit mengalami kejang-kejang.
Pada uji Anava, saat terjadinya kejang KCN vs KCN+natrium Nitrit vs
KCN+Natrium Tiosulfat ,menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan.
Seharusnya pada pemberian Natrium Tiosulfat memiliki waktu kematian yang lebih
panjang dibandingkan dengan pemberian natrium Nitrat pada saat terjadi kejang-kejang.
Pada uji Anava ,saat terjadinya sianosis KCN vs KCN+Natrium Nitrit vs KCN+Natrium
Tiosulfat ,menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan. Pada pemberian Natrium
Nitrit memperpanjang waktu mati dibandingkan dengan pemberian natrium Tiosulfat
pada saat sianosis dan hal ini sesuai dengan teori.
Menurut data kelompok G, semua hewan uji mengalami kematian hal ini
disebabkan karena ketidaktelitian dalam mengamati gejala sianosis dan kejang-kejang
sehingga terjadi keterlambatan pemberian antidotum yang menyebabkan kematian.
Dari praktikum ini didapatkan bahwa natrium Nitrit lebih efektif diberikan pada
saat mengalami sianosis karena pada saat sianosis terjadi fase absorbsi-distribusi dari
racun sianida. Sedangkan pada Natrium Tiosulfat lebih efektif diberikan pada saat
kejang-kejang karena pada saat kejang-kejang terjadi fase eliminasi dari racun sianida.
Menurut kelompok kami akan lebih baik diberian kombinasi antara Natrium Nitrit dan
Natrium Tiosulfat karena pada fase absorbsi - distribusi sianida dapat dihambat dan pada
fase eliminasi maka akan dipercepat ekskresi racun sianida sehingga dapat terselamatkan.

H. KESIMPULAN
1. Natrium Nitrit efektif pada saat sianosis karena bekerja menghambat fase absorpsi
dengan

meningkatkan

ketersediaan

methemoglobin

dalam

darah

akibatnya

hemoglobin dapat berikatan dengan besi pada sitokrom oksidase sehingga enzim
pernafasan yang terblok akan bergenerasi lagi sehingga penyebarannya dihambat.
2. Natrium Tiosulfat efektif pada saat kejang karena bekerja dengan mempercepat
perubahan sianida dengan bantuan rhodanase menjadi tiosianat [SCN]- yang bersifat
kurang toksik sehingga lebih mudah untuk dieliminasi atau diekskresi melalui urine.
3. Pada anava pada kontrol vs Natrium Nitrit vs Natrium Tiosulfat pada saat sianosis
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Hal ini mungkin disebabkan
keterlambatan pada saat pemberian antidotum dan efek toksik yang tidak teramati.
Sedangkan perhitungan anava pada kontrol vs Natrium Nitrit vs Natrium Tiosulfat
pada saat kejang menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Hal ini mungkin
disebabkan keterlambatan pada saat pemberian antidotum dan efek toksik yang tidak
teramati.

I. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
Clarke, E.G.C and Clarke, M.L. 1975. Veterinary Toxicology. Low Price Edition. The
English Language Book Society and Bailliere Tindall
D. Blanck, Paul. 1994. Poisoning & Drug Overdose. Sanfransisco Bay area regional
Poison control center. Norwalk conecticult

Donatus, I.A. 1990. Audiovisual Toksikologi Dasar. Laboratorium Farmakologi dan


Toksikologi Jurusan Kimia Farmasi Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah Mada
Donatus, I.A. 1997. Makalah Penanganan dan Pertolongan Pertama Keracunan Bahan
Berbahaya.

Laboratorium

Farmakologi

dan

Toksikologi

Fakultas

Farmasi

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta


Donatus, I.A. 2001. Toksikologi Dasar. Laboratotium Farmakologi dan Toksikologi
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Henry, J.A., H.M., Wiseman. 1997. Management of Poisoning : A handbook for health
care workers. World Health Organization. Geneva
Loomis, I.A. 1978. Essentiale of Toxycologi. diterjemahkan oleh Imono Argo Donatus.
Toksikologi Dasar. Edisi III. IKIP Semarang Press. Semarang
Meredith, T.J. 1993. Antidots for Poisoning by Cyanide. http://www.inchem.org/. diakses
pada 7 Juni 2014
Olson, K. R. 2007. Poisoning and Drug Overdose. 2nd edition. Prentice - Hall International
Inc., USA
Priyanto, 2007, Toksisitas Obat, Zat Kimia, dan Terapi Antidotum, Jakarta, Leskonfi.

Semarang, 12 April 2014


Mengetahui
Dosen Pembimbing,

Praktikan,

Andriani, M.Sc., Apt

Andina Bayu A (1041211005)

FX.Sulistyanto, S.Si.,Apt

Anita Pereira X (1041211007)

Annisa Ainur R (1041211009)

Ayu Meita Sari (1041211016)

Balqis (1041211019)

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI


PERCOBAAN 10
TERAPI ANTIDOTUM

Disusun oleh :
Kelompok G / 5
1.

Andina Bayu A.

(1041211005)

2.

Anita Pereira X.

(1041211007)

3.

Annisa Ainur R.

(1041211009)

4.

Ayu Meita S.

5.

Balqis

(1041211016)
(1041211019)

S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
YAYASAN PHARMASI SEMARANG
2014

Anda mungkin juga menyukai