Anda di halaman 1dari 9

Note I: Selamat{isi keterangan waktu di daerah Anda sekarang}.

Saya nggak sempat ngasih A/N di


chapter kemarin. Tapi ada banyak yang saya pengen tanyakan dan informasikan. Di akhir chapter ini
akan ada tambahan penjelasan lagi dari saya. Sabar, ya. Hahaha.

Note II: Ini bisa dibilang chapter yang bersifat additional, tapi cukup vital. Meski pendek, sangat
pendek, (dan mungkin terkesan pointless), tetap dibaca, ya.

Lima Warna Mimpi

Kuroshitsuji Yana Toboso

[Additional Chapter]

Petunjuk

Hari-hari Sebastian kembali seperti saat-saat di mana ia selalu sendirian di atas menara. Merenung
dan mengagumi langit malam. Serta menyesapi sendunya ditiup angin yang dingin dan jahat. Dulu
Sebastian menyukainya. Namun sejak pertemuannya dengan Ciel, entah mengapa segalanya menjadi
membosankan. Dunia yang berubah monokrom itu betul-betul membuat jenuh. Sebastian ingin lari.
Tapi ke mana?

Sebastian masih sedih atas kematian Ciel. Jelas. Sampai kapan pun perasaan sedih itu tidak akan bisa
terhapuskan. Namun keadaannya pasca kematian Ciel kali ini sedikit berbeda dengan saat kematian
Ciel di kehidupan anak itu yang sebelum ini. Jika yang sebelum ini ia benar-benar merasa terpuruk,
kali ini Sebastian entah kenapa merasa... lebih tegar?

Sebastian tidak merasakan perbedaan itu. Bahkan mungkin ia tidak akan pernah tahu jika pada suatu
hari ia tidak kembali bertemu dengan Alan Humphries.

Sebastian mendesah panjang. Kedua irisnya yang berwarna merah lekat menatap tangannya yang
terikat benang takdir. Pikirannya segera berputar mundur ke kejadian beberapa hari yang lalu.

Saat itu belum malam. Tepatnya sore yang sejuk di akhir musim gugur. Sebastian sedang berjalan
tanpa tujuan di tengah kotadi sela-sela orang yang berjejal memenuhi jalanan. Sebastian
melakukannya bukan karena ia suka. Tapi ia butuh pengalihan. Pengalihan dari rasa sepi dan bosan
yang dirasakannya.

Sebastian berputar-putar selama beberapa saat sampai kakinya membuatnya sampai ke sebuah
taman lengang di tengah kota. Sebastian memperhatikan tempat yang berkesan ramah itu.
Dedaunan merah hasil kerja musim gugur berserakan di lantai. Ada beberapa anak kecil yang sedang
bermain di situ. Sebastian yang menganggapnya menarik memutuskan untuk bersandar di palang
besi yang ada di situ. Memperhatikan.

Selama ini Sebastian tidak terbiasa memperhatikan hal-hal yang bukan urusannya. Selama hal itu
tidak melibatkannya, maka Sebastian tidak perlu memikirkannya. Ia orang yang dingin dan cuek. Apa
yang terjadi di dunia ini tidak pernah menjadi sesuatu yang penting baginya. Bahkan dunia ini pun
entah terlihat seperti apa di matanya.

Saat sedang merenung sendirian begini, Sebastian jadi memperhatikan hal-hal yang sebelum ini tidak
pernah ia perhatikan. Hal ini membuatnya terkejut sendiri. Matanya seolah baru terbuka sekarang.

Ternyata dunia itu seperti ini, batinnya, cantik.

Sebastian menengadah saat ia merasakan angin musim gugur berhembus pelan. Sebelum ini ia tidak
pernah merasakan angin yang selembut ini. Sebegitu asingkah ia dengan dunia? Sebegitu tidak
pedulinyakah ia selama ini? Lalu...

...sejak kapan ia berubah jadi seperti ini?

Sebastian sibuk memikirkan jawaban itu, meski pada akhirnya pikirannya justru jadi kosong. Senja
mulai datang. Sebastian tidak menyadari bahwa ada sosok seseorang yang berjalan mendekatinya.

Hei...

Sosok itu berusaha membuyarkan lamunan Sebastian. Sebastian yang tersadar langsung menoleh ke
belakangdi mana suara itu berasal. Ia mengenal orang yang barusan memanggilnya itu. Namun
Sebastian sama sekali tidak berharap akan bertemu dengannya lagi. Orang itu...

Alan Humphries..., sahut Sebastian tidak antusias. Kedua matanya menyipit. Seribu pertanyaan
muncul di kepala Sebastian setelah kedatangan Alan yang tak terduga itu. Namun Sebastian berpikir
bahwa ia akan membuang banyak tenaga jika ia menanyakan semuanya sekarang. Karena itu ia
memutuskan untuk diammemilih pertanyaan mana yang sekiranya bisa dimintakan jawaban ke
Alan.

Kenapa kau ada di sini? tanya Sebastian apda akhirnya. Mulai dari pertanyaan paling mendasar dan
sederhana.

Oh. Bukan apa-apa. Sebenarnya aku sedang menganggur. Cuma menemani Eric yang mendapat
tugas di sekitar sini, jawab Alan santai. Sebastian berdecih pelan.

Kalau memang tidak ada pekerjaan lakukan yang lebih berguna sedikit, dong. Dasar!

Sebastian kembali mengalihkan pandangannya ke barat, tempat matahari mulai terbenam, dengan
tatapan jemu. Alan memperhatikannya dengan alis berkerut sedikit. Di luar perkiraannya, Sebastian
tidak menyerangnya secara verbal maupun fisik. Padahal ia kira ia akan memancing amarah
Sebastian sedikit jika menghampiri iblis itu lagi seperti ini.

Di luar dugaan, ujar Alan tiba-tiba. Ia berjalan ke ayunan yang berada di sebelah Sebastian dan
duduk di atasnya. Mulai menggoyangkan ayunan itu pelan.
Apanya? Sebastian menanggapi sekadarnya. Alan menaikkan sebelah ujung bibirnyatersenyum
asimetris.

Kau.

Hah?

Kau, ulang Alan lagi. Reaksimu di luar dugaan.

Alan menunjuk Sebastian yang berdiri diam, menyandarkan punggung ke palang besi dengan tangan
terlipat di depan dada. Sebastian menunjukkan wajah tidak mengerti. Dan, memang ia tidak
mengerti.

Aku tidak paham apa maksudmu, jawabnya menyuarakan pikiran. Alan mengamati gerak-gerik
Sebastian sejak awal. Kali ini suaranya terdengar begitu kalem. Entah karena memang sedang susah
diprovokasi atau karena tidak ada tenaga.

Tidak paham juga tidak apa-apa, tukasnya cepat. Hanya saja... tadi sempat kukira kau akan
memukulku jika aku datang ke hadapanmu seperti ini. Nyatanya tidak.

Alan tertawa pendek. Sebastian mengernyit. Ia tidak menemukan hal humor apa pun untuk bisa
ditertawakan.

Kenapa kaukira aku akan memukulmu? Sebastian bertanya dengan wajah tidak mengerti yang
murni. Alan tidak langsung menjawab.

Sebastian... berubah, pikirnya sunyi, sebelum menjawab pertanyaan Sebastian.

Apa maksudmu dengan kenapa? Itu reaksi paling normal yang bisa kuharapkan darimu, jelas Alan
tanpa membuat Sebastian merasa jelas. Ia melanjutkan, Kau tidak menyadarinya, ya? Perubahan
pada dirimu itu.

Wajah Alan berubah serius. Sebastian menautkan pangkal alisnya di tengah. Perubahan? Perubahan
apa?

Melihat Sebastian yang diam tak menjawab, Alan mengambil satu kesimpulan; Sebastian tidak
menyadari apa yang terjadi pada dirinya sendiri.

Begini saja..., kata Alan, ...aku punya beberapa pertanyaan untukmu. Coba jawab dengan jujur. Kau
tidak perlu menyuarakannya keras-keras. Aku tidak butuh jawaban itu. Itu hanya penting bagimu.

Sebastian mengangkat alismempersilakan Alan untuk memulai.

Satu; sejak kapan kau mau berbaur di dunia manusia dengan tubuh manusia juga?

Pertanyaan pertama. Sebastian memainkan ujung jaketnya yang tidak bermasalah. Sebuah kesadaran
yang tiba-tiba datang memberinya cubitan kecil. Membuatnya terbangun.

Sebelum ini Sebastian tidak pernah sudi terjun ke dalam kumpulan manusia di bumi. Ditambah lagi
dengan tubuh manusianya. Itu hal yang tidak mungkin... dulu.
Dua; kau sudah tidak pernah mengganggu manusia lainnya lagi. Kau lupa kodratmu sebagai iblis?

Mata Sebastian membola. Benar, pikirnya, benar juga. Selama ini ia tidak menyebarkan malapetaka
dalam bentuk apa pun. Bukan hanya itu. Ia bahkan tidak bersentuhan sama sekali dengan manusia-
manusia yang dulu dianggapnya menarik sebagai mainan. Kenapa? Padahal ia iblis.

...kenapa?

Tiga; kapan terakhir kali kau menggunakan kekuatanmu? sela Alan menginterupsi pemikiran
Sebastian. Kebalikan dengan Sebastian, matanya justru menyipit melihat reaksi-reaksi Sebastian.

Alan menyadari sesuatu. Ada yang berubah dengan Sebastian. Perubahan yang mungkin fatal. Mata
di balik kacamata itu kembali menyipit. Perubahan yang terjadi pada iblis ini, jika berlanjut terus-
menerus, mungkin akan berakibat gawat pada dirinya sendiri.

Lalu bagaimana? Alan bertanya pada dirinya sendiri. Sangat tidak biasa baginya untuk memikirkan
nasib orang lain, terutama iblis. Tidak penting baginya untuk memikirkan Sebastian sampai seperti
ini. Namun perubahan sifat iblis ini terlalu menarik untuk tidak diperhatikan.

Alan hanya perlu memastikan sesuatu.

Oi, kau! panggilnya meminta perhatian Sebastian. Kini ia sudah berdiri di hadapan Sebastian.
Sebastian hanya menoleh samar dan berkata ha pelan. Namun tatapan tajam Alan seolah
mengatakan bahwa hal ini berbeda, lebih penting dari yang sebelumnya.

Apa? tanya Sebastian ketika Alan tidak langsung berbicara. Alan menatapnya lurus-lurus dengan
mata yang lebih keras dan tajam. Sebastian memahami situasi yang berubah ini. Ia tak lagi bersandar
pada palang besi itu. Berdirinya lebih tegap. Dibalasnya tatapan itu sama tajam.

Alan menyeringai, tidak seperti biasanya. Dan, dengan suara yang tidak seperti biasanya pula ia
berkata dengan intonasi rendah.

Aku menantangmu bertarung di sini. Sekarang, ujarnya tanpa tedeng aling-aling. Kedua mata
Sebastian membola.

Apa maksudmu? Aku tidak bisa

Kau bisa memberikku serangan pertama tanpa aku melawan. Ayo, cepat, sela Alan sambil
merentangkan tanganseolah membuka pertahanan diri. Sambil tersenyum misterius ia
menambahkan.

Bunuh aku.

Jangan bercanda! bentak Sebastian dengan wajah terkejut. Mana mungkin aku tiba-tiba
membunuhmu tanpa alasan? Dasar tolol! Apa yang salah denganmu, sih?!

Sebastian mengambil beberapa langkah ke belakang sambil mengumpat dan menyumpahi Alan.
Punggungnya sekali lagi membuat kontak dengan palang besi itu.
Aku tidak tahu ada apa denganmu. Tapi kelakuanmu, dewa kematian, aneh sekali, gumam
Sebastian dengan suara kesal. Ia mengarahkan wajahnya untuk menantang kembali wajah Alan.
Namun, yang Sebastian temui hanya wajah yang...

terlihat tidak percaya.

Alan membelalakkan matanya kaget. Sebastian bahkan tidak mengerti mengapa Alan membuat
wajah yang seperti itu. Namun, itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Sesaat berikutnya bahu
Alan turun, otot-otot wajahnya mengendur. Wajahnya kembali berekspresi datar seperti saat
Sebastian bertemu dengannya dulu.

Ada apa?

Sudah kuduga, begitu ternyata.

Sehelai daun ginkgo jatuh di antara mereka. Alan menatap Sebastian dengan sorot tenang yang
tanpa emosi.

Aku tidak tahu ada apa denganmu. Tapi kelakuanmu, iblis, aneh sekali.

Alan bergumam lambat-lambat. Dramatis. Membuat Sebastian terkejut karena kata-katanya. Barusan
itu kalimatnya, bukan? Tapi... daripada itu, maksudnya

Kau menyadarinya, panggil Alan, Sebastian Michaelis?

Sebastian tidak menjawab. Saat ini pikirannya sedang fokus pada satu objek; dirinya sendiri. Alan
tidak memedulikan hal itu dan terus berbicara.

Kau sudah menyadarinya? ulang Alan tajam. Kau berubah. Ada apa denganmu?

Dengan santainya kau berjalan dengan tubuh manusiamu. Sama sekali tidak melakukan hal-hal yang
biasa dilakukan iblis lainnya. Tidak menggunakan pernah menggunakan kekuatanmu. Yang terakhir...
bahkan menolak kesempatan untuk membunuhku.

Alan menjawab sendiri semua pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Sebastian. Sebastian berdiri
tercenung. Tersadarkan oleh perkataan Alan seperti diguyur air es.

Kau berubah. Kau bukannya menolak membunuhku, kan? Kau tidak bisa membunuhku.

...

Kau tahu kenapa? Itu karena kau berpikir seperti manusia.

Pupil Sebastian mengecil. Barusan... dia bilang apa? Akuberpikir seperti manusia?

Sebastian menenggelamkan diri pada pikirannya yang berpusar kuat. Semua yang Alan katakan itu
benar, tidak butuh waktu panjang bagi Sebastian untuk mencernanya. Sebastian baru menyadari hal
itu. Segala hal yang ia lakukan dalam beberapa waktu ini... apa yang ia pikirkan selama beberapa
waktu ini...

...bukankah semua itu seperti manusia?


Mengerti sekarang? konfirmasi Alan sekali lagi. Sebastian menunduk dalam. Dari gerak-geriknya itu
Alan bisa paham bahwa Sebastian telah sepenuhnya mengerti.

Ayolah... kalau terus-menerus seperti ini kau bisa terjebak dalam situasi yang gawat, ujar Alan
sekali lagi. Nada suaranya berubah seperti memohon. Ekspresi dinginnya berubah menjadi raut
prihatin. Sebastian tidak bisa melihatnya, namun perasaan itu tersampaikan padanya. Dewa
kematian ini...

...mempedulikanku, ya? Kau.

Sebastian mendongak, perlahan-lahan. Air mukanya tidak lebih tegar daripada Alan sekarang.
Keduanya memiliki mata bercahaya pedih. Yang satu prihatin, yang satunya lagi merasa dikasihani.

Sehelai daun ginkgo jatuh di antara merekalagi. Alan menegakkan punggungnya. Perlahan-lahan ia
berbalikbersiap pergi meninggalkan tempat itu.

Aku tidak mengatakan bahwa berperilaku seperti manusia begini itu salah, kata Alan sebelum
melangkah, ...tapi kalau kau kehilangan instingmu sebagai iblis, kau bisa mati. Jangan lengah. Kau
yang seperti ini bisa ditusuk mati dari arah mana pun. Jangan lupa. Selama kau masih hidup di dunia
ini, kau akan berhadapan dengan berbagai masalah. Dan, masalahmu bukan hanya tentang manusia
itu.

Alan terdiam sejenakseperti memikirkan kata-kata yang cocok diucapkan berikutnya.

Rasanya aku paham apa yang membuatmu berubah seperti ini, kata Alan tiba-tiba. Sebastian hanya
diam tanpa mau menanggapi. Wajahnya terlihat sedih dan terluka.

Aku tidak akan mengerti apa yang kau rasakan. Apalagi mencoba untuk mengerti. Yang aku tahu...,
Alan membersihkan tenggorokannya, ...orang itu penting bagimu, bukan? Aku tidak akan
menyalahkan atau pun membenarkan apa pun yang akan kau lakukan setelah ini. Tapi...

...

Kalau ada hal yang bagimu begitu berharga, hingga kau mati-matian ingin melindunginya, lakukan
segala yang kau mampu. Sekejam apa pun cara yang kaugunakan, setidaknya itu bukan merupakan
dosa jika dilihat dengan matamu.

Alan berbalik membelakangi Sebastian yang masih tidak bisa bicara. Sebastian tidak mengerti
mengapa seorang dewa kematian mempedulikannya sampai seperti ini. Kenyataan bahwa ia perlu
ditegur seorang dewa kematian itu sebenarnya sedikit melukai. Namun sepersekian bagian dari
dirinyaentah mengapaingin berterima kasih pada Alan.

Sebastian menatap Alan yang mulai melangkahkan kakinya tanpa kata. Namun sebelum benar-benar
menghilang dari pandangan Sebastian, ia sempat memberikan beberapa kalimat lagi untuk
disampaikan. Entah didengarkan atau tidak.

Oh, ya, iblis, panggil Alan yang ternyata masih dapat didengar Sebastian. Sebastian memasang
telinga sambil tetap menatap punggung Alan yang menjauh.
Kuberi satu hint lagi. Pada bulan mati tigapuluh hari lagi, sebaiknya kau lihat apa yang muncul di jari
kelingkingmu.

Sebastian, dengan telinganya yang sangat sensitif, mendengar perkataan itu dengan jelas. Seluruh
otot di tubuhnya menegang. Perasaannya campur aduk antara gelisah dan bahagia yang meluap.

Tidak mungkin, kan? Maksudmu... itu?

Sambil tetap memunggungi Sebastian, Alan tersenyum.

Dia akan terus kembali selama kau menunggunya, Sebastian Michaelis.

Alan menghilang dari pandangan. Bersembunyi di balik daun-daun merah yang berguguran.
Sayangnya Sebastian sudah tidak dapat mendengar suaranya.

xxXxx

Kau yang barusan sangat bukan dirimu... Alan.

Aku tahu. Haha. Lagipula tidak masalah, kan? Aku tidak melanggar aturan apa pun, Eric.

Alan berjalan beberapa langkah di belakang pria tinggi yang rambutnya disisir ke arah kiri itu.
Seniornya itu tertawa. entah menertawakan Alan atau jawabannya.

Tidak kusangka kau akan bicara sebanyak itu. Terlebih lagi, ini hanya untuk seorang iblis sepertinya.
Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan William padamu kalau ia tahu apa yang kau lakukan.

Hahaha. Aku juga ingin tahu.

Keduanya berjalan tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat. Eric tampak memliki berbagai
hal yang mengantri untuk diutarakan.

Tapi kau baik sekali, memberinya petunjuk seperti itu, kata Eric lagientah bisa disebut memuji
atau tidak. Namun Alan menerimanya sebagai pujian.

Bukan hal besar. Sebelum ini Angela juga memberikan petunjuk yang sama, kan? Jadi

Tidak, tidak. Kau salah paham. Yang kumaksudkan bukan itu, sela Eric cepat. Alan mengangkat
alisnya sebelah, membentuk ekspresi bertanya.

Lalu?

Aku hanya tidak menyangka kau akan menunjukkan pada iblis itu bahwa nalurinya sebagai iblis
berkurang. Perlukah kau memperingatkannya? Kau lebih suka melihatnya bersifat beringas
sebagaimana iblis lainnya, ya?

Eric memperlambat laju kakinya. Alan yang menyadari bahwa Eric berusaha menyamai tempo
langkahnya pun mengurangi jarak di antara mereka berdua.

Tentu saja tidak. Bukannya aku ingin mengembalikan sifat iblisnya itu. Tapi kalau terus-menerus
menjadi lemah begini juga akan berbahaya, kan? Hmm, bagaimana, ya? Alan nyengir. Mungkin itu
karena aku memang orang baik.
Haaah?

Alan tertawa pelan. Mungkin Eric tidak mengerti apa maksudnya. Lagipula ia tidak berharap Eric akan
mengerti apa maksudnya. Namun ia dengan senang hati tetap bercerita.

Kita sudah cukup dibenci, Eric..., gumam Alan pelan. Oleh iblis sepertinya, maupun oleh para
manusia. Yak. Karena pekerjaan ini. Tapi kita tidak bisa melakukan apa pun.

...Alan.

Eric melirik Alan yang masih tersenyum. Sedikit demi sedikit ia mulai mengerti maksud lelaki itu.

Mereka adalah dewa kematian. Dewa kematian bertugas mengantarkan kematian. Manusia takut
kematian. Mereka membencinya. Mereka membenci dewa kematian yang telah mengambil nyawa
orang-orang yang mereka sayangi. Sadis, berdarah dingin, pembunuh. Itu yang dikatakan manusia
tentang mereka.

Dibenci tentunya bukan sesuatu yang menyenangkan.

...karena itu..., Alan memandang kedua mata Eric lurus-lurus, ...jangan bilang aku orang baik, deh.
Ini cuma keegoisanku. Aku tidak peduli apa pun yang akan terjadi pada iblis itu. Bukannya aku
menolongnya. Aku hanya tidak mau ada lagi orang yang membenciku lebih dari ini. Itu saja.

Alan tertawa. Ericdengan alis terangkat sebelahmemandangi Alan yang berjalan cepat di
depannya. Begitu Alan sudah tidak terjangkau suaranya lagi, Eric mendesah panjang.

Dewa kematian itu tersenyum maklum.

Bodoh, apanya yang keegoisanmu? Kau harus lebih banyak latihan berbohong kalau mau sok keren
di hadapanku.

Afterwords: YO! Terima kasih sudah membaca sampai sini. Sesuai yang sudah saya bilang di awal
tadi, ada banyak yang pengen saya bicarakan.

SATU!!

Nah, dari sekian review yang udah saya dapat, ada satu pertanyaan utama yang selalu muncul.
Pertanyaannya; Kalau Ciel reinkarnasi lagi, terus-terusan, cerita ini tamatnya kapan, dong?

Pertanyaan bagus. Jawabannya; tentu saja fic ini bakal tamat. Kalau Ciel reinkarnasi terus-terusan,
ceritanya memang bakal jadi endless. Tapi suatu saat (yang masih lama dan mungkin akan jadi saat-
saat yang membosankan) cerita ini bakal sampai ke titik akhir dan tamat. Pasti. Jadi... makanya
ditunggu aja. #desh

DUA!!
Saya melakukan beberapa penyuntingan yang agak berefek di chapter-chapter awal. Ada yang
penasaran mau mengecek? Haha.

TIGA!!

Saya mengumumkan kehiatusan. Saya sedang mengalami masa-masa yang berat. Jadi, mohon
dimaklumi. OTL

Sekian, sampai jumpa.

Anda mungkin juga menyukai