Anda di halaman 1dari 21

RENCANA PENELITIAN

JUDUL : IDENTIFIKASI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DAN


PENENTUAN SUN PROTECTION FACTOR (SPF)
EKSTRAK ETIL ASETAT KECAMBAH KACANG HIJAU
(Vigna radiata L.)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Antioksidan adalah molekul yang dapat menetralkan radikal bebas

dengan cara menerima atau mendonorkan satu elektron untuk menghilangkan

kondisi “elektron tidak berpasangan”. Sejumlah buah, sayur, dan makanan

sehari-hari dipercaya mengandung antioksidan. Vitamin E, C, dan A

dipercaya mengandung banyak antioksidan. Vitamin-vitamin tersebut dapat

didapatkan dalam gandum, biji-bijian, sayuran hijau, kentang, tomat, brokoli,

dan lain-lain (Muchtadi,2013).

Menurut Aminah dan Wikanastri (2012) nilai dan kandungan gizi

kacang-kacangan menjadi lebih baik setelah melalui proses perkecambahan.

Selama proses perkecambahan pada kacang-kacangan sebagian sistem enzim

menjadi aktif dan terjadi perubahan pada beberapa komponen gizi yaitu

peningkatan kandungan vitamin C dan kadar protein (Syah,2011).

Dalam penelitian Prilly Jovica Monihaporan, dkk (2016), ditemukan

bahwa ekstrak tauge memiliki kandungan senyawa aktif metabolit sekunder

seperti flavonoid, saponin, dan triterpenoid. Flavonoid diketahui mampu


berperan menangkap radikal bebas atau berfungsi sebagai antioksidan alami

(Prameswari, dkk 2014). Flavonoid memiliki gugus hidroksi yang tidak

tersubstitusi sehingga bersifat polar (Akbar, 2010). Saponin adalah glikosida

yang tersusun dari gula yang berikatan dengan aglikon. Aglikon, (disebut

juga sapogenin) memiliki struktur yang terdiri dari rantai triterpenoid atau

steroid dan bersifat non polar (Fahrunnida, dkk 2015). Etil asetat merupakan

pelarut dengan toksisitas rendah yang bersifat semi polar sehingga

diharapkan dapat menarik senyawa yang bersifat polar maupun nonpolar dari

kecambah kacang hijau.

Berdasarkan hasil penelitian Wiwit Denny Fitriana, dkk (2015),

Erawati (2012) dan Yosina M.Huliselan, dkk (2015), diketahui bahwa ekstrak

yang menggunakan pelarut etil asetat memiliki aktivitas antioksidan yang

lebih tinggi daripada ekstrak yang menggunakan pelarut etanol dan pelarut n-

heksan. Keefektifan antioksidan pada ekstrak etil asetat dalam menetralkan

radikal bebas diduga berkaitan dengan sifat etil asetat yang semi polar

sehingga banyak komponen bioaktif yang larut di dalamnya (Yosina,

M.Huliselan dkk, 2015).


Berdasarkan hasil penelitian Prilly Jovica Moniharapon, dkk (2016)

menyatakan bahwa uji aktivitas antioksidan tauge menggunakan metode

DPPH terhadap ekstrak etanol, dan hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak

etanol tauge memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 yaitu 143,67

ppm yang tergolong memiliki kekuatan sedang karena berkisar 100-150 ppm.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah :

a. Bagaimana potensi aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat kecambah

kacang hijau?

b. Berapa nilai Sun Protection Factor (SPF) ekstrak etil asetat kecambah

kacang hijau?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui potensi aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat

kecambah kacang hijau.

b. Untuk menentukan nilai Sun Protection Factor (SPF) ekstrak etil asetat

kecambah kacang hijau.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini , yaitu:

a. Menambah wawasan peneliti tentang aktivitas antioksidan Sun

Protection Factor (SPF) ekstrak etil asetat kecambah kacang hijau.

b. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.

c. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang kecambah kacang hijau

(tauge) sebagai sumber antioksidan alami.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tauge

a. Klasifikasi Tanaman Tauge

Klasifikasi tanaman kacang hijau menurut Gembong Tjitrosoepomo

(2010) adalah sebagai berikut :

Regnum : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Subkelas : Chorypetalae-dialypetalae

Ordo : Rosales

Family : Leguminosae (Fabaceae)

Subfamily : Papilionareae

Genus : Phaseolus

Spesies: Phaseolus radiatus L

b. Deskripsi

Tanaman kacang hijau dapat ditemui di seluruh tempat di Indonesia.

Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah maupun pada ketinggian 500

m di atas permukaan laut. Jenis kacang hijau yang biasa diperdagangkan

adalah jenis kacang hijau dengan biji besar dan kacang hijau dengan biji

kecil. Biasanya, kacang hijau biji besar dikonsumsi dalam bentuk bubur
atau tepung sedangkan kacang hijau biji kecil digunakan untuk pembuatan

tauge (Astawan, 2005).

i) Buah

Buah kacang hijau berbentuk polong yang bulat silindris atau pipih

dengan ujung agak runcing atau tumpul dengan panjang polong

berkisar 5-16 cm. Setiap polong berisi 10-15 biji. Polong muda

berwarna hijau dan akan berubah menjadi kecoklatan atau kehitaman

setelah tua. Pada polong terdapat rambut-rambut pendek atau bulu

(Purwono dan Hartono, 2005).

ii) Biji

Biji kacang hijau memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan

biji kacang lainnya. Kebanyakan warna bijinya adalah hijau kusam

atau hijau mengkilap, namun ada juga yang berwarna kuning

kecoklatan atau kehitaman dan coklat (Andrianto dan Indarto, 2004).

iii) Perakaran

Sistem perakaran kacang hijau adalah tunggang dengan cabang yang

banyak. Berdasarkan penyebaran cabang-cabang akarnya, sistem

perakaran kacang hijau dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu

mesophytes dan xerophytes. Sistem perakaran mesophytes

mempunyai banyak cabang akar pada permukaan tanah dengan tipe

pertumbuhannya menyebar, sistem perakaran xerophytes memiliki

akar cabang lebih sedikit dan memanjang ke arah bawah (Purwono

dan Hartono, 2005). Pada akar tanaman kacang hijau terdapat nodul
atau bintil akar. Semakin banyak nodul akarnya maka akan semakin

tinggi kandungan Nitrogen (N) di dalamnya sehingga dapat

menyuburkan tanah (Rukmana, 1997).

iv) Batang

Kacang hijau memiliki batang yang berukuran kecil, berbulu,

berwarna hijau kemerahan atau kecoklatan. Batang berbentuk bulat

dan berbuku-buku. Setiap buku menghasilkan satu tangkai daun,

kecuali untuk daun pertama yang terbentuk sepasang dan letaknya

saling berhadapan. Batang tumbuh tegak mencapai ketinggian 30-110

cm dan cabangnya tersebar kemana-mana (Rukmana, 1997).

v) Daun

Kacang hijau memiliki daun trifoliate, terdiri dari 3 helaian, bentuk

daun terletak bersilangan. Tangkai daun berwarna hijau tua atau hijau

muda dengan panjang tangkai melebihi panjang daun (Andrianto dan

Indarto, 2004).

vi) Bunga

Bunga kacang hijau termasuk bunga kupu-kupu dan merupakan bunga

berumah satu atau memiliki kelamin ganda. Bunga berwarna kuning

kehijauan atau kuning pucat. Proses penyerbukan terjadi pada malam

hari. Pada pagi hari bunga akan mekar dan menjadi layu pada sore

hari (Purwono dan Hartono, 2005).


c. Manfaat Tauge

Kacang hijau banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Kandungan

protein yang dimilikinya juga tinggi dan sangat baik bagi tubuh manusia.

Kacang hijau mengandung kalsium dan fosfor yang bermanfaat untuk

memperkuat tulang. Asam folat yang terkandung dalam kacang hijau juga

sangat penting untuk ibu hamil karena sangat baik bagi perkembangan

saraf bayi di dalam kandungan dan juga untuk meningkatkan kecerdasan

bayi. Kacang hijau juga dapat mengobati berbagai macam penyakit seperti

beri -beri, radang ginjal, tekanan darah tinggi, keracunan alkohol dan

pestisida, mengurangi gatal karena biang keringat, muntaber, menguatkan

fungsi limpa dan lambung, impotensi, TBC, jerawat, mengatasi flek hitam

di wajah, dan menurunkan demam.

B. Radikal Bebas
Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas

tentang radikal bebas (free radical) dan antioksidan. Hal ini terjadi karena

sebagian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan

di dalam tubuh. Tampaknya, oksigen merupakan sesuatu yang paradoksial

dalam kehidupan. Molekul ini sangat dibutuhkan oleh organisme aerob

karena memberikan energi pada proses metabolisme dan respirasi, namun

pada kondisi tertentu keberadaannya dapat berimplikasi pada berbagai

penyakit dan kondisi degeneratif, seperti aging, artritis, kanker, dan lain–

lain (Winarsi, 2007).


Di sisi lain, terjadi booming produk makanan dan minuman yang
berlabel antioksidan dan dikatakan dapat melawan kerja radikal bebas.

Produk–produk antioksidan itu dijual dengan harga cukup mahal. Padahal,

komponen antioksidan terdapat di alam secara melimpah, baik dalam sayur–

sayuran maupun buah–buahan. Banyak orang tidak menyadari hal ini karena

belum paham betul apa yang dimaksud dengan antioksidan, jenis, kegunaan

dan bahan yang mengandungnya. Pemahaman tentang radikal bebas pun

belum jelas (Winarsi, 2007).


Radikal bebas didefinisikan sebagai suatu molekul, atom atau

beberapa grup atom yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak

berpasangan pada orbital terluarnya. Molekul atau atom tersebut sangat labil

dan mudah membentuk senyawa baru. Radikal bebas juga dapat terbentuk

dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah

berubah menjadi radikal bebas. Misalnya, hidrogen peroksida (H2O2), ozon

dan lain – lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan

sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) atau Reactive Oxygen Species

(ROS) (Muchtadi, 2011).


Spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species, ROS) adalah

beberapa jenis molekul dan radikal yang berasal dari oksigen molekuler (O2)

yang kita hirup sewaktu bernafas. Beberapa macam enzim respirasi

kompleks dapat “membocorkan” elektron pada oksigen, menghsilkan

terutama anion superperoksida (Muchtadi,2011).


Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan

elektron. Sebagai dampak kerja radikal bebas tersebut, akan terbentuk

radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya

diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Namun, bila dua


senyawa radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari

kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen

yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan

senyawa bukan radikal bebas, akan terjadi tiga kemungkinan, yaitu:


a. Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan

(reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas.


b. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan

radikal bebas.
c. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas

(Winarsi, 2007).

Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan

lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul

target tersebut, yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah

asam lemak tak jenuh. Akibatnya, dinding sel menjadi rapuh. Senyawa

oksigen reaktif ini juga mampu merusak bagian dalam pembuluh darah

sehingga meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan

aterosklerosis. Senyawa radikal bebas ini juga berpotensi merusak basa

DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika, dan berlanjut pada

pembentukan sel kanker. Jaringan lipid juga akan dirusak oleh senyawa

radikal bebas sehingga terbentuk peroksida yang memicu munculnya

penyakit degenerative. Kerusakan molekul protein oleh senyawa oksigen

reaktif akan menimbulkan penyakit katarak (Winarsi, 2007).

Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus–

menerus, baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan,


kekurangan gizi dan akibat respons terhadap pengaruh dari luar tubuh,

seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok dan lain–lain. Dari

pernyataan ini dapat diyakini bahwa dengan meningkatnya usia seseorang,

pembentukan radikal bebas juga makin meningkat. Secara endogenus, hal

ini berkaitan dengan laju metabolisme seiring bertambahnya usia.

Bertambahnya glikolisis juga akan menyebabkan peningkatan oksidasi

glukosa dalam siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan terbentuk

lebih banyak. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan

polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya umur seseorang.

Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas

dalam tubuh (Winarsi, 2007).

Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh

rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid

(MDA) dalam plasma Mengapa demikian? Dengan meningkatnya usia

seseorang, sel–sel tubuh mengalami degenerasi, proses metabolisme

terganggu dan respon imun juga menurun. Semua faktor ini dapat memicu

munculnya berbagai penyakit degeneratif. Oleh sebab itu, tubuh kita

memerlukan suatu substansi penting, yakni antioksidan yang dapat

membantu melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dan meredam

dampak negatifnya (Winarsi, 2007).

Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai dilaporkan dapat

menurunkan kejadian penyakit degeneratif, seperti kardiovaskuler, kanker,

aterosklerosis, osteoporosis dan lain–lain. Konsumsi makanan yang


mengandung antioksidan juga disebut–sebut dapat meningkatkan status

imunologis dan menghambat timbulnya penyakit degeneratif akibat

penuaan. Oleh sebab itu, kecukupan asupan antioksidan secara optimal

diperlukan pada semua kelompok umur (Winarsi, 2007).

C. Antioksidan

a. Definisi antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor)

atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu

menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah

terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat

menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul

yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (Winarsi,

2011).

Berkaitan dengan reaksi oksidasi di dalam tubuh, status antioksidan

merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh

manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal

bebas, yang secara kontinu dibentuk sendiri oleh tubuh. Bila jumlah

senyawa oksigen reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh,

kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA

sehingga mengakibatkan kerusakan–kerusakan yang disebut stress oksidatif.

Namun demikian, reaktivitas radikal bebas dapat dihambat melalui tiga cara

berikut:
1. Mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas baru.

2. Menginaktivasi atau menangkap radikal dan memotong propagasi

(pemutusan rantai).

3. Memperbaiki (repair) kerusakan oleh radikal. (Winarsi,2011)

Tidak selamanya senyawa oksigen reaktif yang terdapat di dalam

tubuh itu merugikan. Pada kondisi–kondisi tertentu keberadaannya sangat

dibutuhkan. Misalnya, untuk membunuh bakteri yang masuk ke dalam

tubuh. Oleh sebab itu, keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem

antioksidan dalam tubuh.

b. Penggolongan dan sumber antioksidan

Antioksidan dapat digolongkan ke dalam dua kelas, yaitu

antioksidan preventif yang mengurangi kecepatan inisiasi (permulaan) rantai

reaksi dan antioksidan pemutus rantai yang akan memotong perbanyakan

reaksi berantai (Wardani,2015).

Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase

atau SOD, katalase, glutation peroksidase, heme oksigenase dan enzim

selenium ), non-enzim (misalnya vitamin E, C, karotenoid dan vitamin A,

B2, asam lipoat, asam urat, koenzim Q, tioredoksin, bilirubin dan

melatonin). Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan (primer)

terhadap kondisi stress oksidatif. Enzim–enzim tersebut merupakan

metaloenzim yang aktivitasnya sangat bergantung pada adanya ion logam

(Muchtadi,2011).

Di samping antioksidan yang bersifat enzimatis, ada juga


antioksidan non–enzimatis yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun non–

nutrisi. Kedua kelompok antioksidan non–enzimatis ini disebut juga

antioksidan sekunder karena dapat diperoleh dari asupan bahan makanan.

Sumber–sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua

kelompok, yaitu antioksidan sintesis (antioksidan yang diperoleh dari hasil

sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi

bahan alami) (Winarsi,2007).

c. Mekanisme kerja antioksidan


Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama

merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom

hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering

disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom

hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R-, ROO) atau mengubahnya ke

bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A+) tersebut

memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua

merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju

autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil.

Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada

lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan

minyak.

D. Spektrofotometri UV–Vis

Spektrum UV–Vis merupakan hasil interaksi antara radiasi

elektromagnetik (REM) dengan molekul. Bentuk energi radiasi


elektromagnetik mempunyai sifat gelombang dan partikel (foton) (Wardani,

2015).

Pengukuran serapan dapat dilakukan pada panjang gelombang daerah

ultraviolet (190 nm–380 nm) atau pada daerah cahaya tampak (380 nm–780

nm). Senyawa atau zat yang dapat diperiksa adalah yang memiliki ikatan

rangkap terkonjugasi yang lebih dikenal dengan istilah kromofor. Senyawa

yang mengandung gugus kromofor akan mengabsorpsi radiasi sinar

ultraviolet dan cahaya tampak jika diikat oleh senyawa–senyawa bukan

pengabsorpsi (ausokrom). Gugus ausokrom yaitu gugus yang mempunyai

elektron non bonding dan tidak menyerap radiasi UV jauh, contohnya –OH,

-NH2, -NO2, -X (Wardani, 2015).

Spektrum serapan adalah hubungan antara serapan dengan panjang

gelombang yang biasanya digambarkan dalam bentuk grafik. Untuk

mengidentifikasi suatu zat pada daerah ultraviolet pada umumnya dilakukan

dengan menggambarkan spektrum serapan larutan zat dalam pelarut dan

dengan kadar yang tertera seperti pada monografi, untuk menetapkan

serapan maksimum atau minimum. Spektrum serapan dari zat yang

diperiksa kadang–kadang perlu dibandingkan dengan pembanding kimia

yang sesuai. Pembanding kimia tersebut dikerjakan dengan cara yang sama

dan kondisi yang sama dengan zat yang diperiksa. Blanko digunakan untuk

koreksi serapan yang disebabkan pelarut, pereaksi, sel ataupun pengaturan

alat. Pengukuran serapan biasanya dilakukan pada panjang gelombang

serapan maksimum atau yang tercantum dalam monografi (Wardani, 2015).


BAB III

METODE PENILITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasi laboratorium yang dilakukan

untuk menguji aktivitas antioksidan dan penentuan nilai SPF ekstrak etil asetat

kecambah kacang hijau.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2018 di Laboratorium

Kimia, Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

Makassar.

C. Alat dan Bahan

1. Alat yang digunakan:

Kapas, corong pisah, labu ukur, gelas piala, pipet volum, pipet

tetes, gelas ukur, penangas air, timbangan analitik, spektrofotometer UV –

Vis, kertas saring,, corong gelas, sendok tanduk, kapas dan alumunium

foil.

2. Bahan yang digunakan:

Kecambah kacang hijau, Air suling, Ethanol 96%, n-Heksan, etil

asetat , vit.C , 1,1-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH).

D. Pengambilan Sampel Penelitian


Kecambah kacang hijau diperoleh dari salah satu tempat pembuatan

dan pendistribusian kecambah kacang hijau di pasaran yang terletak di Desa

jenetallasa, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.

E. Prosedur Kerja
1. Penyiapan Sampel
Kecambah kacang hijau yang telah di ambil dicuci bersih dengan

air mengalir, kemudian dipotong- potong kecil lalu dikeringkan dengan

cara diangin- anginkan. Kemudian dibuat serbuk.

2. Pembuatan Ekstrak

Ditimbang 250 gram sampel kecambah kacang hijau dimasukkan

dalam bejana maserasi kemudian ditambah pelarut ethanol sampai seluruh

sampel terendam sempurna (± 500 ml). sampel diaduk rata, kemudian

bejana maserasi ditutup rapat. Proses maserasi dilakukan selama 3 x 24

jam sambil sesekali dilakukan pengadukan. Ekstraksi diulang sebanyak 3

kali. Maserat yang dihasilkan kemudian dipekatkan dengan cara

menguapkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh

ekstrak kental. Ekstrak dibiarkan diatas penangas air suhu 70ºC hingga

diperoleh ekstrak kering.

3. Fraksinasi Dengan Pelarut n-Heksan


Ekstrak kering yang diperoleh disuspensikan dengan air, kemudian

difraksinasi dengan pelarut n-heksan dengan perbandingan (1:1) di dalam

corong pisah, kocok selama ± 15 menit. Setelah didiamkan beberapa lama

terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan n-heksan dengan lapisan etanol. Di ambil

Lapisan air (bagian bawah) dengan membuka kran (corong pisah) dan
ditampung pada gelas kimia sampai lapisan air habis. Sedangkan lapisan

n-heksan dipisahkan untuk diuji oleh peneliti lain .


4. Fraksinasi Dengan Pelarut Etil Asetat
Hasil fraksinasi air dari n-heksan kemudian di fraksinasi kembali

dengan pelarut etil asetat dengan perbandingan (1:1) di dalam corong

pisah, kocok selama ± 15 menit. Setelah didiamkan beberapa lama

terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan etil asetat dengan lapisan air. Lapisan etil

asetat (bagian atas) dipisahkan dengan membuka kran (corong pisah)

sampai lapisan air habis. Diambil lapisan etil asetat kemudian dipisahkan

sebagai fraksi etil asetat lalu diuapkan di waterbath.


5. Pembuatan Larutan Baku Vitamin C
Vitamin C sebanya 10 mg dilarutkan dengan etanol ad 100 ml

sehingga diperoleh konsentrasi 100 ppm. Dari kadar ini dibuat seri

konsentrasi sebesar 5, 10, 15, 20 dan 25 ppm dengan cara diukur 0,5; 1,0;

1,5; 2,0; dan 2,5 etanol lalu dicukupkan masing-masing 10 ml.

6. Pembuatan Larutan Sampel

Ditimbang 20 mg ekstrak etil asetat tauge kemudian dilarutkan

dalam 20 ml etanol 96% hingga homogen (konsentrasi 1000 ppm). Larutan

uji dibuat beberapa konsentrasi yaitu 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400

ppm dan 500 ppm. Untuk membuat masing-masing konsentrasi tersebut,

dipipet 1,0 ml, 2,0 ml, 3,0 ml, 4,0 ml, dan 5,0 ml dari larutan induk

kedalam labu ukur 10 ml. Perlakuan ini dilakukan replikasi sebanyak 3

kali
7. Pembuatan Larutan DPPH 40 ppm
Ditimbang DPPH sebanyak 10 mg, kemudian dimasukkan kedalam

labu ukur 250 ml dan dicukupkan dengan methanol hingga tanda.


8. Pengukuran Serapan Larutan Sampel
Diukur 1.0 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml DPPH 40 ppm,

larutan dibiarkan selama 30 menit dalam wadah yang terlindung dari

cahaya (dalam vial yang ditutupi aluminium foil). Kemudian diukur

serapannya pada panjang gelombang 500 - 600 nm. Sebagai blanko diukur

1,0 ml methanol ditambahkan dengan 4 ml DPPH 40 ppm dan dibiarkan

selama 30 menit kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang

515 nm.

F. Pengumpulan Data

Data hasil pengukuran serapan untuk penentuan aktivitas antioksidan

dan nilai SPF dikumpulkan dan ditabulasikan, kemudian ditentukan aktivitas

antioksidan dan nilai SPF nya.

G. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan diambil berdasarkan hasil analisis data yang

dilanjutkan dengan pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA
Aminah, S dan Wikanastri H. (2012). Jurnal Karakteristik Kimia Tepung
Kecambah Serealia dan Kacang-Kacangan dengan variasi blanching,
209-217.

Andrianto, T.T. dan N. Indarto. (2004). Budidaya dan Analisis Usaha Tani
Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang, Absolut, Yogyakarta.

Astawan, M. (2005). Proses UHT: Upaya Penyelamatan Gizi pada Susu.


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Erawati . (2012) . Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Garciniadaedalanthera
Pierre Dengan Metode DPPH (1,1-DIFENIL PIKRIHIDRAZIL)DAN
IDENTIFIKASI GOLONGAN SENYAWA KIMIA DARI FRAKSI-FRAKSI
PALING AKTIF . SKRIPSI. Tidak Diterbitkan. DEPOK: Fakultas
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM, UNIVERSITAS
INDONESIA

Fahrunnida , dkk . (2015) . “Kandungan Saponin Buah,daun dan tangkai daun


belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)” . Yogyakarta : Fakultas Biologi
Universitas Gadjah Mada

Fitriana, W.D , dkk . (2015). Uji Aktivitas Antioksidan terhadap DPPH dan ABTS
dari Fraksi-fraksi Daun Kelor (Moringa oleifera) .

Huliselan , Yosina M , dkk . (2015) . AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK


ETANOL, ETIL ASETAT, DAN n-HEKSAN DARI DAUN SESEWANUA
(Clerodendron squamatum Vahl.)

Jun, M., H.Y., Hong, J., Wang., X., C.S. (2006). Comparison of Antioxidant
Activities of isovlafones from Kudzu Root (Pueraria lobate ohwi). The
Journal of Food Science. Institute of Technologist. 2117-2122

Molyneux, P., 2004, The Use of The Stable Free Radical Diphenylpicryl-hydrazyl
(DPPH) for Estimating Antioxidant Activity, Songklanakarin J. Sci.
Technol. , 26(2), 211-21

Moniharapon, P.J, dkk . (2016) . “Identifikasi Fitokimia Dan Uji Aktivitas


Antioksidan Ekstrak Etanol Tauge” . Jurnal Ilmiah Farmasi . 5, (4), 130-
136

Muchtadi, D, (2013). Antioksidan & Kiat Sehat Di Usia Produktif. Alfabeta,


Bandung

Prameswari, Okky Meidiana dan Simon Bambang Widjanarko. (2014). Uji Efek
Ekstrak Air Daun Pandan Wangi terhadap Penurunan Kadar Glukosa
Darah dan Histopatologi Tikus Diabetes Melitus. Jurnal Pangan dan
Agroindustri 2(2): 16-27.

Purwono , MS dan Rudi Hartono. (2012). Kacang Hijau. Jakarta : Penebar


Swadaya

Ramadhan,G., (2010). Uji Antioksidan. jurnalramadhan.blogspot.com (Diakses


16 Desember 2016)

Rohman, A., Riyanto, S., Utari, D. 2006. Aktivitas Antioksidan, Kandungan


Fenolik Total dan Kandungan Flavonoid Total Ekstrak Etil Asetat Buah
Mengkudu serta Fraksi-Fraksinya. Majalah Farmasi Indonesia. 17: 136-
142.

Rukmana, R., (1997). Kacang Hijau Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius
,Yogyakarta.

Tjitrosoepomo, G. (2010). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta:


Gadjah Mada University

Syed Adil Shah, A. Z. (2011). Effect of Sprouting time on biochemical and


nutritional qualities of Mungbean varieties. Journal of Agricultural
Research , 5092.

Wardani, H.A, (2015). Aktivitas Antioksidan Vitamin E Alami dan Vitamin E


Sintesis Dengan Metode DPPH. Karya Tulis Ilmiah. Tidak Diterbitkan.
Makassar: Fakultas Farmasi, Politeknik Kesehatan.

Winarsi, H. (2011). Antioksidan Alami dan Radikal Bebas Potensi dan


Aplikasinya dalam Kesehatan. Yogyakarta : Kanisius

Anda mungkin juga menyukai