Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
























Dr ilham Awaludin, SpS
SIP : 045/ DS/ 2013
Jl. Sembrani V/ 9 semarang
Semarang, 3 Maret 2014
R/ Xanax 0,25 mg No XX
S omni nocte tab 1



R/ Tegretol Tab NO XXX
S b dd tab 1






Pro : Sde Udin

INTERAKSI OBAT
Peristiwa interaksi obat terjadi karena penggunaan secara bersama-sama dua macam
obat atau lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan effek yang menguntungkan tetapi sebaliknya
juga dapat menimbulkan effek yang merugikan atau membahayakan.
Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan effek yang tidak diinginkan akibat makin
banyaknya dan makin seringnya penggunaan Polypharmacy atau Multiple Drug
Therapy .biasanya penderita menerima resep dari dokter yang memuat lebih dari dua macam
obat. Belum lagi kebiasaan penderita yang pergi berobat ke beberapa dokter untuk penyakit
yang sama dan mendapat resep obat yang baru. Kemungkinan lain terjadinya interaksi obat
adalah akibat kebiasaan beberapa penderita untuk mengobati diri sendiri dengan obat-obatan
yang dibeli di toko-toko obat secara bebas. Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat dicegah
bila kita mempunyai pengetahuan farmakologi tentang obat-obat yang dikombinasikan tetapi
pencegahan itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang
mungkin terjadi pada orang penderita yang menerima pengobatan polypharmacy cukup
banyak
Mekanisme interaksi obat bermacam-macam dan kompleks. Pada dasarnya dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Interaksi farmasetik
Interaksi ini adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat
diformulasikan / disiapkan sebelum obat digunakan oleh penderita. Misalnya
interaksi antara obat dan larutan infus IV yang dicampur bersamaan dapat
menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi pengendapan. Bentuk interaksi ini ada
2 macam :
a. Interaksi secara fisik : misalnya terjadi perubahan kelarutan
b. Interaksi secara khemis : misalnya terjadi reaksi satu dengan yang lain atau
terhidrolisisnya suatu obat selama dalam proses pembuatan ataupun selama
dalam penyimpanan
2. Interaksi Farmakokinetika
Interaksi ini adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada absorbsi,
metabolisme, distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat lain. Dalam kelompok
ini termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal,
mengganggu ikatan dengan protein plasma, metabolisme dihambat atau
dirangsang dan ekskresi dihalangi atau dipercepat.
3. Interaksi Farmakodinamik.
Interaksi ini terjadi bila sesuatu obat secara langsung merubah aksi molekuler
atau kerja fisiologis obat lain. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi :
a. Obat-obat tersebut menghasilkan kerja yang sama pada satu organ
(sinergisme)
b. Obat-obat tersebut kerjanya saling bertentangan ( antagonisme )
c. Obat-obat tersebut bekerja independen pada dua tempat terpisah

EPILEPSI
Epilepsi adalah Gangguan SSP yang ditandai dengan terjadinya bangkitan (seizure, fit
attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan terjadi berulang (kambuhan). Dalam
literatur lain definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik
didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas
neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Faktor Kejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit
serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif, tumor,
trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat) (2). Beberapa faktor
lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya
kejang. Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan
frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang
seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion),
dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang (3).

Klasifikasi Epilepsi
Kejang diklasifikasikan menjadi dua kategori umum yaitu :
1. kejang parsial (kejang parsial dapat disebabkan oleh suatu lesi pada beberapa
bagian korteks, seperti tumor, malformasi perkembangan atau stroke)
a. Kejang parsial (awal terjadi kejang secara lokal)
Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1) Disertai gejala motor
2) Disertai gejala sensori khusus atau somatosensor
3) Disertai gejala kejiwaan




b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1) Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa
gerakan otomatis
2) Diawali gangguan kesadaran, diikuti gangguan kesadaran dengan atau
tanpa gerakan otomatis.
2. kejang umum (kejang umum sering disebabkan oleh genetik).

Patofisiologi Epilepsi
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat
penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter
eksitatori dan inhibitori). Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric
Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan
aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu,
glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin,
peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat
neuron) yaitu, dopamin dan GammaAmino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga
diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase
yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron
(8).
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu
pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+,
sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan
perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi.
Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf.
Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan
terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa
obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA
(alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-propionic acid)dan menghambat reseptor
NMDA (N-methil D-aspartat).Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu
masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
potensial aksi. Namun felbamat (antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA)
bekerja dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan
dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial
aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi (9). Patofisiologi epilepsi
meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel-sel
syaraf tersebut.
Gajala Klinis epilepsi
1) Gajala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang. Jenis kejang pada setiap
pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama
2) Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kompleks parsial
3) Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.
4) Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat
5) Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi
kehilangan kesadaran.


XANAX (Alprazolam)
Alprazolam merupakan salah satu dari golongan obat Benzodiazepines atau disebut
juga Minor Transquillizer dimana golongan ini merupakan obat yang paling umum
digunakan sebagai anti ansietas. Alprazolam merupakan obat anti ansietas dan anti panik
yang efektif digunakan untuk mengurangi rangsangan abnormal pada otak, menghambat
neurotransmitter asam gama-aminobutirat (GABA) dalam otak sehingga menyebabkan efek
penenang. Alprazolamdiabsorbsi dengan baik di dalam saluran pencernaan dan bekerja cepat
dalam mengatasi gejala ansietas pada minggu pertama pemakaian. Alprazolam memiliki
waktu paruh yang pendek yaitu 12 15 jam dan efek sedasi (mengantuk) lebih pendek
dibanding Benzodiazepines lainnya, sehingga tidak akan terlalu mengganggu
aktivitas. Alprazolam juga aman digunakan bagi penderita gangguan fungsi hati dan ginjal
dengan pemakaian di bawah pengawasan dokter.




Kegunaan Alprazolam
Kegunaan obat ini terutama untuk Anti-anxietas dan anti panik. Pada saat keadaan
cemas dan panik terjadi penurunan sensitivitas terhadap reseptor 5HT
1A
, 5HT
2A/2C
,
meningkatnya sensitivitas discharge dari reseptor adrenergic pada saraf pusat, terutama
reseptor alfa-2 katekolamin, meningkatnya aktivitas locus coereleus yang mengakibatkan
teraktivasinya aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (biasanya berespons abnormal terhadap
klonidin pada pasien dengan panic disorder), meningkatnya aktivitas metabolic sehingga
terjadi peningkatan laktat (biasanya sodium laktat yang kemudian diubah menjadi
CO
2
(hiperseansitivitas batang otak terhadap CO
2
), menurunnya sensitivitas reseptor GABA-
A sehingga menyebabkan efek eksitatorik melalui amigdala dari thalamus melalui nucleus
intraamygdaloid circuitries, model neuroanatomik memprediksikan panic attack dimediasi
oleh fear network pada otak yang melibatkan amygdale, hypothalamus, dan pusat batang
otak. Sehingga, terapi yang diberikan pada kecemasan yaitu anxiolitik atau antianxietas yang
bekerja pada reseptor GABA dengan memperkuat aksi inhibitor GABA-ergic neuron
sehingga hiperaktivitas mereda.

Mekanisme Kerja Alprazolam
Berikatan dengan reseptor benzodiasepin pada saraf post sinap GABA di beberapa
tempat di SSP, termasuk sistem limbik dan formattio retikuler. Peningkatan efek inhibisi
GABA menimbulkan peningkatan permiabilitas terhadap ion klorida yang menyebabkan
terjadinya hiperpolarisasi dan stabilisasi.


Dosis ansietas awal 0,75 1,5 mg/hari.
Pemeliharaan 0,5 4 mg/hari dalam dosis terbagi
Gangguan panik awal 0,5 1 mg pada saat menjelang tidur, atau 0,5 mg 3 kali perhari
Peningkatan dosis tidak boleh melebihi 1 mg setiap 3 sampai 4 hari, maksimal 10 mg
perhari.
Lanjut usia dosis awal dan pemeliharaan 0,5 0,75 mg perhari dalam dosis terbagi.
Peroral : efek samping seperti mengantuk dapat dikurangi jika obat diberikan segera
sesudah makan
Kontra Indikasi : glaukoma sudut terbuka akut. Penggunaan bersama dengan
ketokonazol atau iktrakonazol. Pasien yang diketahui sensitif dengan benzodiazepin.
Efek Samping
Jika kita menggunakan alprazolam kita menjadi sulit lepas dari obat ini karena
memang memiliki potensi ketergantungan yang besar jika dipakai lebih dari dua minggu saja.
Sulit lepas ini juga disebabkan karena efek putus zat obat ini sangat tidak nyaman, ada yang
langsung tiba-tiba stop dan merasakan kecemasan yang lebih parah daripada sebelumnya.
Maka dari itu penggunaan obat ini harus hati-hati dan kalau bisa sesuai dengan indikasi saja.
Belakangan karena potensi ketergantungan, toleransi (makin besar pake makin lama) dan
reaksi putus zat, obat ini sudah tidak menjadi pilihan pertama lagi sebagai obat anticemas di
Amerika Serikat, di sana lebih cenderung menggunakan Antidepresan gol SSRI seperti
Sertraline, Fluoxetine, Paroxetine (Paxil).
Selain itu ESO yang ditimbulkan SSP : depresi, mengantuk, disartria (gangguan
berbicara), lelah, sakit kepala, hiperresponsif, kepala terasa ringan, gangguan ingatan, sedasi;
Metabolisme-endokrin : penurunan libido, gangguan menstruasi; Saluran cerna : peningkatan
atau penurunan selera makan, penurunan salivasi, penurunan/peningkatan berat badan, mulut
kering (xerostomia).
Interaksi
Dengan obat lain :obat anti jamur tipe azol seperti: ketokonazol dan itrakonazol; nevazodon,
flufoxsamin, simetidin, fluoksetin, propoxipen, kontrasepsi oral, diltiazem, antibiotik maag
krolit, seperti eritromisin, dan trolendomisin; HIV, protease, inhibitor seperti Ritonafir.
Dengan makanan : Merokok menurunkan konsentrasi alprazolam sampai 50 %.
Jus grapefruit meningkatkan konsentrasi alprazolam. Makanan tinggi lemak, 2 jam sebelum
pemberian bentuk lepas terkendali dapat memperpanjang Cmaks sampai 25 %. Sedangkan
pemberian segera sesudah makan akan menurunkan Tmaks, bila makanan diberikan >=1 jam
sesudah pemberian obat T maks akan meningkat 30 %.

TEGRETOL (carbamazepin)
Karbamazepin pertama-tama digunakan untuk pengobatan trigeminal neuralgia,
kemudian ternyata bahwa obat ini efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan
tonik-klonik. Saat ini, karbamazepin merupakan antiepilepsi utama di Amerika Serikat untuk
mengatasi berbagai bangkitan . Selain mengurangi kejang, efeknya nyata pada perbaikan
psikis yaitu perbaikan kewaspadaan dan perasaan. Perbaikan psikis diduga berdasarkan
pengaruhnya terhadap amigdala karena memberikan hasil yang sama dengan amigdalatomi
bilateral.
Karbamazepin memperlihatkan efek analgesik selektif mislnya pada tabes dorsalis
dan neuropati lainnya sukar diatasi dengan analgesik biasa. Atas pertimbangan untung-rugi
karbamazepin tidak dianjurkan untuk mengatasi nyeri ringan yang dapat diatasi dengan
analgesik biasa.
Golongan/Kelas Terapi Antikonvulsi Nama Dagang
* Bamgetol - Cetazep - Suppositoria - Tegretol
* Teril - Karbamazepin (Generik)
Indikasi
Karbamazepin adalah obat pilihan pertama untuk serangan tonik-klonik (gran mal),
serangan tonik dan parsial, dan dapat digunakan untuk semua jenis serangan lain kecuali
serangan umum lena (petit mal). Efektivitas untuk mengobatai serangan tonik-klonik dan
parsial sama atau lebih baik daripada fenitoin dan fenobarbital dan toksisitasnya kurang
dibandingkan dengan antikonvulsan pilihan pertama yang lain. Obat ini bermanfaat untuk
anak dan dewasa, dan untuk epilepsi karena berbagai sebab.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap karbamazepin, antidepresan trisiklik, atau komponen sediaan;
depresi sumsum tulang belakang; (Lexi-Comps Drug Information Handbook p. 269)
Dosis Dan Dosis Awal
Untuk mencapai suatu dosis rumat minimum bagi seorang pasien yang belum pernah
diobati, dianjurkan pemberian karbamazepin untuk orang dewasa dimulai dengan 200 mg
malam hari pada minggu pertama. Pada minggu kedua, dosis dinaikkan menjadi 200 mg dua
kali sehari dan pada minggu ketiga sebanyak 600 mg sehari (dosis rumat minimum). Setelah
minggu ketiga diadakan penilaian pengendalian serangan. Jika serangan tetap terjadi, dosis
obat dapat dinaikkan hingga menjadi 800 mg sehari. Dosis dapat ditambah sebanyak 200 mg
setiap kalinya hingga mencapai 1400 mg shari jika serangan masih belum terkendali
Pada anak usia 6 10 tahun pemberian karbamazepin dimulai denagn 100 mg sampai
maksimum 500 mg sehari. Pada anak usia 11 15 tahun pemberian karbamazepin dimulai
dengan 100 mg dua kali sehari (total 200 mg) dan dosis maksimum 800 mg.
Dosis
Dosis yang biasa digunakan untuk orang dewasa adalah 600 1000 mg sehari,
walaupun kadang-kadang diperlukan dosis lebih rendah atau lebih tinggi hingga 1400 mg
sehari. Dosis rumat biasa untuk anak usia sampai 1 tahun adalah 100 200 mg, usia 1 5
tahun: 200 400 mg, usia 5 10 tahun: 400 600 mg dan usia 10 15 tahun: 600 1000
mg.
Farmakologi
Aksi farmakologi dari karbamazepin secara kualitatif mirip dengan antikonvulsan
derivat hidantoin. Aktifitas antikonvulsan dari karbamazepin, seperti fenitoin, pada dasarnya
dengan membatasi hantaran seizure dengan mengurangi potensiasi posttetanic (PTP)
transmisi sinaps. Karbamazepin menghilangkan nyeri pada neuralgia trigeminal dengan
mengurangi transmisi sinap di dalam nukleus trigeminal. Karbamazepin juga mempunyai
efek sedatif, antikolinergik, antidepresan, relaksasi otot, antiaritmia, antidiuretik, dan aksi
penghambatan transmisi neuromuskular. Karbamazepin hanya mempunyai efek analgesik
ringan. (AHFS Drugs Information p. 2139).

Mekanisme Aksi
Selain sebagai antikonvulsan, karbamazepin mempunyai efek sebagai antikolinergik,
antineuralgik, antidiuretik, pelemas otot, antimanic, antidepresif dan antiaritmia. Menekan
aktifitas ventralis nukleus pada talamus atau menurunkan transmisi sinaptik atau menurunkan
jumlah stimulasi temporal yang menyebabkan neural discharge dengan cara membatasi
influks ion natrium yang menembus membran sel atau mekanisme lain yang belum diketahui;
menstimulasi pelepasan ADH dan berpotensi meningkatkan kemampuan ADH untuk
mereabsorpsi air; secara kimia terkait dengan antidepresan trisiklik. (Lexi-Comps Drug
Information Handbook p. 270)
Efek Samping
Biasanya dihubungkan dengan hipermagnesemia, mual, muntah, haus, flushing kulit,
hipotensi, aritmia, koma, depresi nafas, ngantuk, bingung, hilang refleks tendon, lemah otot,
kolik dan diare pada pemberian oral.
Bentuk Sediaan
Tablet 125 mg, 250 mg, Tablet Kunyah, Tablet Lepas Lambat, Sirup
Parameter Monitoring
CBC dengan hitung platelet, retikulosit, kadar besi dalam darah, panel lipid, tes fungsi
hati, urinalisis, BUN, kadar karbamazepin dalam serum, tes fungsi tiroid, kadar natrium
dalam serum, pemeriksaan mata (refleks pupil); amati pasien yang mengalami sedasi yang
berlebih, terutama saat dosis dinaikkan. (Lexi-Comps Drug Information Handbook p. 271)


Peringatan
Gangguan hati atau gangguan ginjal, hamil, menyususi, hindari pemutusan obat
mendadak, riwayat penyakit jantung, glaukoma, riwayat reaksi hematologik terhadap obat
lain. (IONI hal 154) Prinsip Prinsip Pemberian Obat Pada Pasien
Interaksi Karbamazepin dengan Alprazolam
Interaksi yang terjadi adalah interaksi farmakokinetika fase metabolisme dimana
karbamazepin dapat meningkatkan metabolisme dari Alprazolam jadi efek dari alprazolam di
turunkan oleh karbamazepin












BAB II
PEMBAHASAN
A. INTERAKSI OBAT CARBAMAZEPINE TERHADAP INDUKSI ENZIM
Data Farmakodinamika Carbamazepine
Efek Farmakologis
Carbamazepine digunakan untuk terapi epilepsi semua jenis baik kejang
parsial maupun menyeluruh. Ketika obat ini digunakan, fungsi ginjal dan hati serta
parameter hematologi harus dipantau. Meskipun efek carbamazepine pada hewan dan
manusia dalam banyak mirip dengan efek fenitoin, kedua obat ini berbeda dalam
sejumlah hal yang kemungkinan penting. Carbamazepine diketahui menghasilkan
respons terapeutik pada pasien mania-depresif, termasuk pada beberapa pasien yang
tidak sembuh dengan litium karbonat, selain itu, carbamazepine mempunyai efek
antidiuretik yang kadang-kadang dikaitkan dengan berkurangnya konsentrasi hormon
antidiuretik (ADH) dalam plasma. Yang menjadi perhatian adalah gangguan hati atau
gangguan ginjal, hamil, menyusui, hindari pemutusan obat mendadak, riwayat
penyakit jantung, glaucoma, riwayat reaksi hematologik terhadap obat lain
(Sweetman, 2009).
Intoksitasi akut akibat carbamazepine menyebabkan stupor atau koma,
hiperiritabilitas, konvulsi dan depresi pernapasan. Selama terapi jangka panjang, efek
obat yang tidak diinginkan yang lebih sering terjadi meliputi rasa kantuk, vertigo,
ataksia, diplopia, dan pandangan kabur. Frekuensi kejang dapat meningkat, terutama
jika overdosis. Efek merugikan lainnya meliputi mual, muntah, toksisitas hematologis
parah (anemia aplastik, agranulositosis), dan reaksi hipersensivitas (dermatitis,
eosinofilia, limfadenopati, splenomegali). Komplikasi terapi carbamazepine yang
muncul lambatvadalah retensi air, disertai dengan penurunan osmolalitas dan
konsentrasi Na+ dalam plasma, terutama pada pasien lanjut usia yang menderita
penyakit jantung (Sweetman, 2009).
Toleransi berkembang terhadap efek-efek neurotoksik carbamazepine, dan
dapat diminimalkan dengan meningkatkan dosis secara bertahap atau dengan
pengaturan dosis pemeliharaan. Berbagai abnormalitas hati atau pankreas telah
dilaporkan selama terapi dengan carbamazepine, yang paling sering terjadi adalah
peningkatan sementara enzimenzim hati dalam plasma pada 5% sampai 10% pasien.
Leukopenia ringan dan sementara terjadi pada sekitar 10% pasien selama awal-awal
terapi dan biasanya menghilang dalam 4 bulan pertama pada penanganan,
berkelanjutan, trombositopenia sementara juga telah teramati. Pada sekitar 2% pasien,
leukopenia yang menetap dapat berkembang yang mengharuskan dihentikannya
pemberian obat ini. Kekhawatiran awal bahwa anemia aplastis dapat merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada terapi jangka panjang dengan carbamazepine
tidak terbukti. Pada kebanyakan kasus, pemberian beberapa obat atau adanya penyakit
lain yang mendasari mennyulitkan penetapan suatu hubungan sebabakibat
Pada umumnya, prevalensi anemia aplastik muncul sekitar 1 dari 200.000
pasien yang ditangani dengan obat ini. Tidak jelas apakah pemantauan fungsi
hematologis dapat mencegah berkembangnya anemia aplastis ireversibel. (Sweetman,
2009).

Mekanisme Kerja
Seperti fenitoin, carbamazepine membatasi perangsangan berulang potensial
aksi yang dipicu oleh depolarisasi terus menerus pada neuron-neuron spinalis kordata
atau korteks mencit yang dipertahankan secara in vitro. Ini tampaknya diperantarai
oleh melambatnya laju pemulihan saluran Na+ yang diaktivasi tegangan dari keadaan
terinaktivasi. Efek carbamazepine ini tampak jelas pada konsentrasi dalam rentang
terapeutik di dalam CSS manusia. Efek carbamazepine bersifat selektif pada
konsentrasi ini, karena tidak ada efek pada aktivitas spontan atau pada respons
terhadap GABA atau glutamat yang diberikan secara iontoforetik. Metabolit
carbamazepine, yaitu 10,11-epoksi carbamazepine juga membatasi perangsangan
berulang secara terus menerus pada konsentrasi yang sesuai secara terapeutik, yang
menunjukkan bahwa metabolit ini dapat berkontribusi terhadap efikasi carbamazepine
sebagai antikejang (Sweetman, 2009).

Efek Samping
Efek samping penggunaan carbamazepine adalah pusing, vertigo, ataksia,
diplopia dan penglihatan kabur. Efek samping lainnya berupa mual, muntah, anemia
aplastik, agranulositosis, dan reaksi alergi berupa dermatitis, eosinofilia,
limfadenopati, dan splenomegali. Gejala intoksikasi akut dapat berupa stupor/koma,
iritabel, kejang dan depresi napas (Sweetman, 2009).

Dosis Obat
Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 100 mg sehari, anak usia 6-
12 tahun, 2 kali 100 mg sehari. Dosis awal 200 mg 2 kali sehari
Dosis dewasa : dosis awal 2 kali 200 mg sehari pertama. Dosis pemeliharaan
berkisar antara 800-1200 mg sehari untuk dewasa atau 20-30 mg/kgBB untuk anak.
(Sweetman, 2009)



Data Farmakokinetika Carbamazepine
a. Absorbsi
Carbamazepine diabsorpsi dengan lambat dan secara teratur dari saluran
percernaan dan memiliki bioavailabilitas 85 sampai 100%. Konsentrasi terapetik
dilaporkan sebesar 6 sampai 12 g/ml, walaupun terjadi keragaman yang
cukup besar. Efek samping terhadap SSP sering terjasi pada konsentrasi diatas
9 g/ml. Konsentrasi minimal dalam plasma (Cp min) sebesar 4 g/ml dan
konsentrasi maksimal dalam plasma (Cp max) sebesar 14 g/ml (Sukandar,
2008).
b. Distribusi
Carbamazepine cepat terdistribusi dalam tubuh dalam bentuk metabolit aktifnya
yaitu 10,11-epoksikarbamazepin yang konsentrasi nya dalam plasma dan otak
dapat mencapai 50%. Sekitar 70-80% dari carbamazepine terikat pada
protein plasma. Hal ini dapat menyebabkan carbamazepine menginduksi
Distribusi metabolismenya sendiri, sehingga waktu paruh plasma menjadi
lebih singkat dan berpengaruh pada pengulangan dosis. Waktu paruh rata rata
carbamazepine pada pengulangan dosis sekitar 12-24 jam, dimana waktunya
lebih singkat pada anak anak dari pada orang dewasa (Sweetman, 2009).

c. Metabolisme
Carbamazepine dimetabolisme di hati, khususnya oleh enzim sitokrom
P450 dengan isoenzimnya adalah CYP3A4 dan CYP2C8. Carbamazepine
dimetabolisme oleh CYP3A4 dan CYP2C8 menghasilkan metabolit aktif 10,11-
epoksikarbamazepin, disini yang paling banyak berperan adalah CYP3A4,
CYP2C8 hanya berfungsi untuk mempercepat kerja dari CYP3A4 untuk
mengubah carbamazepine menjadi 10,11-epoksikarbamazepin (Pearce et al.
2008). Selanjutnya diubah menjadi 10,11-dihidroksikarbamazepin yang tidak aktif
oleh enzim epoksihidrolase untuk selanjutnya diekskresikan ke dalam urin dalam
bentuk bebas dan konjugatnya (Mulyadi dkk., 2010). Jumlah carbamazepine yang
dikonversi menjadi 10,11-epoksikarbamazepin sebagai jalur metabolisme utama
adalah sebesar 30-50% dari jumlah dosis yang diberikan kepada pasien selama
pengobatan dengan antiepilepsi (Fagiolino et al., 2006). 10,11-
epoksikarbamazepin adalah bentuk aktif dari carbamazepine sedangkan 10,11-
dihidroksikarbamazepin adalah bentuk inaktif dari carbamazepine (Tatyana,
1992).
Gambar 1. Jalur metabolisme Carbamazepine (Pearce et al. 2008)

Induksi Enzim dan Sifat Autoinduksi Carbamazepine
Beberapa obat (misalnya fenobarbital, carbamazepine, etanol, dan khususnya
rifampisin) dan polutan (misalnya hidrokarbon aromatic polisiklik dalam asap
tembakau) meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang memetabolisme obat.
Mekanisme yang terlibat tidak jelas, tetapi zat-zat kimia yang mempengaruhi sekuens
DNA spesifik membangkitkan produksi dari enzim yang sesuai, biasanya adalah suatu
subtype sitokrom P-450. Akan tetapi, tidak semua enzim yang berperan pada induksi
adalah enzim mikrosomal. Sebagai contoh, dehidrogenase alcohol hepatik terjadi
dalam sitoplasma (Neal, 2005).
Carbamazepine memiliki sifat autoinduksi yang artinya carbamazepine secara
otomatis atau dengan sendirinya akan menginduksi enzim yang digunakan untuk
memetabolisme dirinya. Enzim yang diinduksi oleh carbamazepine adalah sitokrom
P450 CYP3A4. Induksi enzim akan meningkatkan kecepatan biotransformasi dari
obat yang dimetabolisme yang berpengaruh pada laju eliminasi obat yang semakin
meningkat sehingga untuk mempertahankan agar obat berada dalam rentang
konsentrasi terapi, dilakukan penambahan dosis pada pemakaian berikutnya,
akibatnya akan terjadi toleransi obat (Istianty, 2010). Carbamazepin menginduksi
ekspresi sistem enzim hati mikrosomal CYP3A4, yang memetabolisme
carbamazepine sehingga dikatakan autoinduksi. Setelah inisiasi terapi carbamazepine,
konsentrasi dapat diprediksi dan mengikuti dasar masing-masing clearance / waktu
paruh yang telah ditetapkan untuk pasien tertentu. Namun, setelah cukup
carbamazepine telah disajikan untuk jaringan hati, peningkatan aktivitas CYP3A4,
mempercepat klirens obat dan memperpendek waktu paruh. Autoinduksi akan terus
terjadi dengan peningkatan berikutnya dalam dosis tetapi biasanya akan mencapai
puncak dalam waktu 5-7 hari dengan dosis pemeliharaan. Peningkatan dosis pada laju
200 mg setiap 1-2 minggu mungkin diperlukan untuk mencapai ambang kejang stabil.
Konsentrasicarbamazepin stabil terjadi biasanya dalam waktu 2-3 minggu setelah
mulai terapi (Tatyana, 1992).




Dari gambar di atas merupakan grafik hubungan antara dosis dengan klirens
steady-state rata rata dari carbamazepine (simbol kotak merupakan nilai klirens dan
simbol batang merupakan standar deviasi). Grafik ini menunjukkan bahwa dosis dari
carbamazepine harus terus ditingkatkan agar tetap berada dalam rentang steady state,
karena setiap pemberian berulang dari carbamazepine akan meningkatkan produksi
dari enzim CYP3A4 yang berpengaruh pada peningkatan laju klirens dari
carbamazepine. Dapat dilihat pada grafik, pada pemberian dosis tunggal
carbamazepine sebanyak 100 mg/hari dan telah mencapai steady-state, klirens obat
tercatat sebesar 30 ml/menit, saat pemberian berulang dengan peningkatan dosis
tunggal menjadi 200 mg/hari, klirens carbamazepine terus meningkat menjadi 35
ml/menit tetapi tidak mencapai konsentrasi steady-state. Oleh sebab itu dosis kembali
ditingkatkan menjadi 300 mg/hari agar tetap berada dalam konsentrasi steasy-state
walaupun klirens obat terus meningkat (Tatyana, 1992).
Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan oleh Connell et al (1984) untuk
mengetahui perubahan jumlah dari carbamazepine yang dimetabolisme dalam tubuh
selama pemakaian jangka pendek dengan sampel darah yang berasal dari 6 subjek pria
sehat, maka didapatkan data di bawah ini:
First day 21 days
Elimination half-life (h) 10,4 1,7 6,81,2
Systematik clearance (ml/h) 0,790,17 1,10,3
Volume of distribution (I) 48,49,3 45,68,4

Tabel 1. Parameter farmakokinetik dari terapi carbamazepine dosis tunggal 400
mg/hari terhadap 6 pasien pria sehat selama 21 hari

Dari table diatas diketahui bahwa klirens total dari carbamazepine pada saat awal
pemberian (hari pertama) adalah sebesar 0,79 mL/jam dan setelah hari ke-21 setelah terapi
menggunakan carbamazepine, klirens total carbamazepine meningkat menjadi 1,1 mL/jam,
sehingga dapat dihitung persen kenaikan klirens total selama pemberian adalah sebesar
71,81%.

Eliminasi
25% dari dosis yang diabsorpsi, dieksresikan dalam urin sebagai metabolit 10,11-
dihidroksi karbamazepin, 2% sebagai 10,11-epoksikarbamazepin dan kurang dari 10% dalam
bentuk obat yang tidak berubah atau tidak termetabolisme (unchanged drug), sehingga total
obat yang diekskresikan ke dalam urine sebesar 37% dari keseluruhan obat yang diabsorpsi.
Selain diekskresi melalui urin, carbamazepine dikeluarkan melalui feses sebesar 30% yaitu
dalam bentuk metabolit 10,11-epoksikarbamazepin. Waktu paruh eliminasi 10 20 jam. Hal
ini dipersingkat dengan kehadiran obat antipilepsi lain dan induktor hati enzim (phenitoin,
phenobarbitone). Carbamazepin mengurangi konsentrasi plasma lamotrigin,
oxcarbamazepame, topiramate, phelbamate (Moffat et al., 2004).

Klirens
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan
mekanisme prosesnya. Ada beberapa takrif dari klirens yang secara farmakokinetik sama
artinya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan
dengan volume terbatas (volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya. Dari konsep
ini, klirens ditakrifkan sebagai volume cairan (yang mengandung obat) yang dibersihkan dari
obat per satuan waktu. Kemungkinan lain, klirens dapat ditakrifkan sebagai laju eliminasi
obat dibagi konsentrasi obat dalam plasma pada waktu tersebut (Shargel, 2005).

Klirens total, klirens renal, dan klirens nonrenal carbamazepine
Klirens obat secara umum dihitung sebagai kliren obat total atau klirens tubuh total.
Klirens tubuh total adalah jumlah obat dari seluruh jalur klirens dalam tubuh, termasuk
klirens obat lewat ginjal (klirens renal), klirens hepar (klirens hepatik) dan klirens paruparu
(klirens lung) dan didasarkan atas konsep bahwa seluruh tubuh bertindak sebagai suatu sistem
eliminasi obat (Shargel, 2005).
CLT = CLr + CLh + CLl
atau
CLT = CLrenalis + Clnonrenalis

Klirens total dari carbamazepine dengan pemberian dosis tunggal 400 mg rata-rata
berkisar antara 0,71 sampai 0,82 mL/jam (Mulyadi 2010).
Klirens hepatis dapat diartikan sebagai volume darah yang mengaliri (perfusi) hati
yang terbersihkan dari obat per satuan waktu. Klirens hepatis (CLh) juga sama dengan CL
tubuh total dikurangi CL ginjal. Dengan kata lain, CLh dapat dihitung dengan rumus :
CLh = CLT (1 % obat utuh yang ditemukan dalam urin) (Shargel, 2005)
Dengan menggunakan rumus di atas, CLh dapat ditentukan, dimana CL total
carbamazepine yang diberikan dengan dosis 400 mg pada hari pertama berdasarkan data pada
Tabel 1. adalah 0,79 mL/jam (Connell et al., 1984). Persentase obat utuh yang ditemukan
dalam urin adalah sekitar 10 % (0,1) (Moffat et al., 2004). Jadi, CLh carbamazepine pada hari
pertama adalah:
CLh = CLT x (1- % obat utuh yang ditemukan dalam urin)
CLh = CLT x (1- 10%)
CLh = 0,79 mL/jam x (1- 0,1)
CLh = 0,79 mL/jam x 0,9
CLh = 0,711 mL/jam
Sedangkan klirens renalis dari carbamazepine pada hari pertama adalah :
CLrenalis = CLT - CLh
CLrenalis = 0,79 mL/jam - 0,711 mL/jam
CLrenalis = 0,079 mL/jam

Rasio ekstraksi hepatik carbamazepine
Ekstraksi hepatik adalah istilah yang berguna untuk mengukur seberapa mudah hati
dapat memproses, atau memetabolisme, memberikan obat atau racun. Istilah ekstraksi
hepatik berarti perbedaan jumlah obat dalam darah yang dimasukkan ke dalam hati (100
persen) dan jumlah obat utuh yang keluar atau tidak termetabolisme (berarti 100 persen
dikurangi fraksi termetabolisme). Ekstraksi biasanya dituliskan dengan E yang berarti rasio
ekstraksi, Carbamazepine termasuk obat yang dieliminasi oleh metabolism hepatik dengan
rasio ekstraksi hepatis yang rendah yaitu 0,03 (Shargel, 2005).

B. Interaksi yang terjadi antara karbamazepam dan alprazolam
Significance




Onset severity documentation
Rapid major established
Delayed moderate probable
Minor Suspected
Possible
Unlikely

Effect the pharmacologic effect of Alprazolam may be decreased

Mechanisme unknown: however,presumed to be due to induction of
alprazolam metabolism

Management no special precautions appear necessary.if an interactions is
suspected,consider using a higher dose of alprazolam


(DIF hal 153 fifth editor , editor David s. Tatro,PharmD)

Berdasarkan DIF dinyatakan berdasarkan efeknya, efek farmakologis dari Alprazolam
mungkin akan menurun dan mekanismenya diduga karna induksi metabolisme
alprazolam artinya carbamazepin dapat meningkatkan metabolisme alprazolam
sehingga menurunkan efek dari alprazolam

C. Permasalahan yang terjadi
1. Adanya interaksi antara karbamazepin dan Alprazolam yaitu dapat menginduksi
metabolisme Alprazolam sehingga menurunkan efek dari alprazolam
2. Adanya interaksi dengan makanan terutama pada buah anggur

3. Alprazolam tidak baik digunakan untuk jangka panjang karena memiliki potensi
ketergantungan yang besar jika digunakan lebih dari dua minggu

D. Pengatasan Masalah
1. Karbamazepin dan Alprazolam tidak efektif jika di gabungkan menjadi 1
formulasi obat sebaiknya karbamazepin di pisah dengan Alprazolam dan
diberikan interval waktu sekitar 1 sampe 2 jam agar lebih efektif
2. Karbamazepin dan alprazolam sebaiknya di minum sesudah makan karena
absorpsinya akan lebih baik jika diberikan setelah makan tetapi tidak baik jika
dikonsumsi bersamaan dengan buah ataupun jus anggur karena meminum
grapefruit dapat mengganggu kinerja lebih dari 50 obat. buah ini bisa
meningkatkan penyerapan Alprazolam dan karbamazepin serta dapat mengubah
dosis obat yang diminum dari dosis normal menjadi dosis berlebihan. Maka dari
itu, minuman ini tidak baik jika di minum bersamaan dengan Alprazolam maupun
karbamazepin agar tidak mengalami over dosis.
3. Penggunaan Alprazolam harus hati-hati untuk menghindarinya Alprazolam
digunakan sesuai indikasinya agar tidak menimbulkan efek adisi yang kuat















BAB III
PENUTUP


1. Kesimpulan
Berdasarkan resep tersebut dapat di simpulkan bahwa pasien mengalami epilepsi
yang disertai ansietas atau gangguan kecemasan jadi diberikan obat epilepsi dan
penenang tetapi antara kedua obat tersebut tidak bisa dijadikan 1 formulasi karna
karbamazepin sebagai obat epilepsi dapat menurunkan efek Alprazolam sebagai
penenang atau ansietas.

















DAFTAR PUSTAKA
Badan pengawas obat dan makanan republik indonesia IONI tahun 2008
DIF fifth edition editor David S.Tatro,Pharmd
Homsek, I., Parojcic, J., Cvetkovic, N., Popadic, D., and Djuric, Z. 2007. Biopharmaceutical
characterization of carbamazepine immediate release tablets. Drug Res, 57 8, 511-516.
Shargel, Leon dan Andrew B.C. Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Surabaya : Airlangga University Press
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth Edition.
Pharmaceutical Press: London.
MIMS petunjuk konsultasi edisi 13 tahun 2013/2014























MAKALAH
FARMASETIKA INTERAKSI OBAT


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah farmasetika








Oleh

I WAYAN FEBI ANDHIKA ( 050111a0 )
ELLA SINTIAWATI ( 050111a011 )
YUNITA SAFITRI ( 050111a0)
NURHASANAH ( 050111a038 )




PROGRAM STUDI FARMASI
STIKES NGUDI WALUYO
UNGARAN
2014

Anda mungkin juga menyukai