Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH EFEK SAMPING OBAT

DISUSUSN UNTUK MEMENUHI TUGAS FARMASI KLINIK

Dosen Pengampu: Apt., S.Farm.,M.Farm

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Resma Seftiana (2008060031)

Wardatul Aini (2008060051)

Wina Pratiwi (2008060046)

Wulan Aulia Utami (2008060047)

Yati Nuranisa (2008060048)

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA NUSA TENGGARA BARAT

MATARAM

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Efek Samping Obat”. Kami
menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Farmasi
Klinik yang diberikan oleh dosen pengampu Apt, S.Farm.,M.Farm. Kami
menyadari bahwa Efek Samping Obat merupakan salah satu masalah kesehatan
yang sering dijumpai di masyarakat. Kondisi ini dapat menyebabkan berbagai
komplikasi yang serius.

Makalah ini berisi informasi tentang Farmasi Klinik yang telah diteliti
untuk Efek Samping Obat. Kami mengharapkan makalah ini dapat memberikan
informasi yang berguna bagi pembaca, terutama bagi mereka yang tertarik dengan
pengobatan alternatif atau alami. Makalah ini juga dapat menjadi sumber referensi
bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang Efek
Samping Obat dalam Farmasi Klinik.

Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan guna meningkatkan kualitas makalah ini di masa yang akan datang.

Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
Farmasi Klinik.

Mataram, 10 April 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BABI PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Efek samping obat adalah (ESO) adalah setiap efek berbahaya yang tidak
diinginkan dan terjadi secara tidak sengaja dari suatu obat yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis normal pada manusia untuk tujuan pencegahan,
diagnosis atau terapi, serta modifikasi fungsi fisiologis (WHO, 2014). Banyak
bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah,
dengan cara menambah pengetahuan, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan
aspek keamanan obat pasca pemasaran atau yang sekarang lebih dikenal dengan
istilah Farmakovigilans (BPOM, 2012).

WHO dibawah program farmakovigilans telah merekomendasikan setiap


negara untuk melakukan pelaporan efek samping obat (ESO), baik secara aktif
maupun spontan (pasif) dalam upaya mengidentifikasi obat-obat yang bisa
menyebabkan efek samping obat (WHO, 2014). Farmakovigilans adalah seluruh
kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek
samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat (WHO, 2014).

Farmakovigilans memainkan peran yang sangat penting dalam


menurunkan kejadian efek samping obat, karena itu, evolusi dan perkembangan
ilmu ini, sangat penting untuk praktik klinis yang aman dan efektif (WHO, 2014).
Monitoring efek samping obat (MESO) merupakan salah satu bentuk program
farmakovigilans. Tujuan dilakukannya program ini adalah untuk mengetahui
efektifitas dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau
praktik klinik yang sebenarnya.

Menurut PerMenKes nomor 72 dan nomor 73 tahun 2016, monitoring efek


samping obat (MESO) merupakan salah satu tugas klinis apoteker baik di rumah
sakit maupun di apotek. Apoteker dapat turut berperan dalam program monitoring
efek samping obat dengan melakukan pelaporan secara spontan terkait efek
samping obat (BPOM, 2012). Pelaporan ESO secara spontan menjadi sistem
banyak digunakan dan merupakan landasan pemantauan keamanan obat secara
klinis. Pelaporan ESO secara spontan dapat mendeteksi reaksi merugikan yang
sebelumnya tidak dikenal dan mengidentifikasi faktor risiko yang menyebabkan
toksisitas obat serta menyelidiki kausalitasnya. Selain itu, metoda ini dapat
membantu untuk memfasilitasi penilaian perbandingan antata resiko dan manfaat
dalam kategori terapeutik.

Saat ini jika dibandingkan dengan negara lainnya di ASEAN, profil


pelaporan efek samping obat Indonesia masih rendah (BPOM, 2012). Hal ini
dikarenakan kesadaran apoteker untuk melaporkan ESO masih sangat rendah
(Kudri dan Barliana, 2018). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad
(2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan, sikap dan praktik, yang baik, akan
menciptakan strategi yang baik dalam mendorong terlaksananya pelaporan ESO
yang lebih optimal.

Di Indonesia, penelitian tentang pengetahuan apoteker terkait monitoring


efek samping obat telah dilakukan di apotek wilayah Yogyakarta, yang
menunjukkan bahwa dari 100 Apoteker, 24% apoteker memiliki pengetahuan
baik, tentang pelaporan MESO (Ulfa et al, 2017). Namun belum ditemukan studi
pengetahuan, sikap dan praktik apoteker tentang monitoring efek samping obat
(MESO) yang dilakukan kepada apoteker di rumah sakit.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan


praktik Apoteker di rumah sakit Kota Bengkulu tentang pelaporan monitoring
efek samping obat (MESO). Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuisioner
yang berisi beberapa pertanyaan terkait pengetahuan, sikap dan praktik Apoteker
terhadap pelaporan monitoring efek samping obat (MESO). Setelah melalui
proses tersebut maka dilakukan analisa hubungan dan penilaian terhadap tiga
variabel tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pemberian obat?


2. Bagaimana cara pencegahan keselahan dalam pemberian obat?
3. Apa saja faktor-faktor kesalahan dalam pemberian obat?
4. Apa yang dimaksud dengan penerapan prinsip 7 benar dalam pemberian
obat?
5. Apa saja akibat dari kesalahan pemberian obat?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahun pemberian obat.


2. Untuk mengetahui cara pencegahan keselahan dalam pemberian obat.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor kesalahan dalam pemberian obat.
4. Untuk mengetahui penerapan prinsip 7 benar dalam pemberian obat?
5. Untuk mengetahui akibat dari kesalahan pemberian obat?
BAB II PEMBAHASAN

A. Pemberian Obat

1. Definisi Obat
Obat yaitu zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan biologi pada
organ tubuh manusia (Batubara, 2008). Definisi lain menjelaskan obat
merupakan sejenis subtansi yang digunakan dalam proses diagnosis,
pengobatan, penyembuhan dan perbaikan maupun pencegahan terhadap
gangguan kesehatan tubuh. Obat adalah sejenis terapi primer yang
memiliki hubungan erat dengan proses penyembuhan sebuah penyakit
(Potter & Perry, 2009).
2. Hak Pasien dalam Pemberian Obat
Hak merupakan kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh seseorang atau
suatu badan hukum untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat
sesuatu. Terkait dengan pemberian obat-obatan, pasien memiliki hak
sebagai berikut :
 Hak pasien mengetahui alasan pemberian obat
Hak ini adalah prinsip dari memberikan persetujuan setelah
mendapatkan informasi (informed concent), yang berdasarkan
pengetahuan individu yang diperlukan untuk membuat suatu
keputusan.
 Hak pasien untuk menolak pengobatan
Pasien dapat menolak pemberian pengobatan. Adalah tanggung jawab
tenaga kefarmasian untuk menentukan, jika memungkinkan, alasan
penolakan dan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk
mengusahakan agar pasien mau menerima pengobatan. Jika suatu
pengobatan ditolak, penolakan ini harus segera didokumentasikan.
Tenaga kefarmasian yang bertanggung jawab, atau dokter harus
diberitahu jika pembatalan pemberian obat ini dapat membahayakan
pasien, seperti dalam pemberian insulin. Tindak lanjut juga diperlukan
jika terjadi perubahan pada hasil pemeriksaan laboratorium, misalnya
pada pemberian insulin atau warfarin (Taylor, Lillis and LeMone,
1993; Kee and Hayes, 1996).
B. Cara Mencegah Kesalahan dalam Pemberian Obat

Untuk mencegah kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien, tenaga


kefarmasian harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

Tabel 1.1 Cara mencegah kesalahan dalam pemberian obat

Kewaspadaan Rasional

Baca label obat dengan teliti Banyak produk yang tersedia dalam kotak,
warna, dan bentuk yang sama.

Pertanyakan pemberian banyak Kebanyakan dosis terdiri dari satu atau dua
tablet atau vial untuk dosis tablet atau kapsul atau vial dosis tunggal.
tunggal. Interpretasi yang salah terhadap program obat
dapat mengakibatkan pemberian dosis tinggi
berlebihan.

Waspadai obat-obatan bernama Banyak nama obat terdengar sama (misalnya,


sama. digoksindan digitoksin, keflex dan keflin,
orinase dan ornade)

Pertanyakan peningkatan dosis Kebanyakan dosis diprogramkan secara


yang tiba-tiba dan berlebihan bertahap supaya dokter dapat memantau efek
terapeutik dan responsnya.

Ketika suatu obat baru atauobat Jika dokter tidak lazim dengan obat tersebut
yang tidak lazim maka risiko pemberian dosis yang tidak
diprogramkan, konsultasi akurat menjadi besar
kepada sumbernya

Jangan beri obat yang Banyak dokter menggunakan nama pendek


diprogramkan dengan nama atau singkatan tidak resmi untuk obat yang
pendek atau singkatan tidak sering diprogramkan. Apabila perawat atau
resmi ahli farmasi tidak mengenal nama tersebut,
obat yang diberikan atau dikeluarkan bisa
salah

Jangan berupaya atau Apabila ragu, tanyakan kepada dokter.


mencobamenguraikan dan Kesempatan terjadinya salah interpretasi
mengartikan tulisan yang tidak besar, kecuali jika perawat mempertanyakan
dapat dibaca program obat yang sulit dibaca.

Kenali klien yang memiliki Seringkali, satu dua orang klien memiliki
nama akhir sama. Juga minta nama akhir yang sama atau mirip. Label
klien menyebutkan nama khusus pada kardeks atau buku obat dapat
lengkapnya. Cermati nama memberi peringatan tentang masalah yang
yang tertera pada tanda potensial.
pengenal

Cermati ekuivalen Saat tergesa-gesa, salah baca ekuivalen


mudah terjadi(contoh, dibaca miligram,
padahal mililiter)

C. Faktor - faktor yang mempengaruhi pemberian obat

Menurut Harmiady (2014) dalam penelitiannya menyatakan ada tiga faktor


yang mempengaruhi perawat dalam pemberian obat antara lain :

1. Tingkat pengetahuan tenaga kefarmasian


Tenaga Kefarmasian dengan tingkat pengetahuan yang tinggi cenderung
untuk mampu melaksanakan prinsip benar dalam pemberian obat dengan
tepat dibandingkan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik.
Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang baik akan memiliki adab
yang baik dan mengamalkan ilmu tersebut. Tanpa pengetahuan seseorang
tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan
tindakan terhadap masalah yang dihadapi oleh pasien. Pengetahuan
diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang
pengambilan tindakan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien. Pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang dalam
pengambilan keputusan sehingga nantinya akan memotivasi tenaga
kefarmasian untuk bersikap dan berperan serta dalam peningkatan
kesehatan pasien dalam hal ini pemberian tindakan pemberian obat dengan
tepat.
2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang telah dicapai oleh tenaga kefarmasian dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakat dan juga berperan dalam menurunkan angka kesakitan.
Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang dapat membantu
menekan/menurunkan tingginya angka kesakitan pada pasien (Nursalam,
2012). Semakin tinggi tingkat pendidikan tenaga kefarmasian maka
semakin baik kemampuan dalam melaksanakan prinsip-prinsip dalam
pemberian obat. Hal ini disebabkan karena ukuran tingkat pendidikan
seseorang bisa menjadi tolak ukur sejauh mana pemahaman perawat
terhadap prosedur dan prinsip yang berlaku dalam lingkup kerjanya.
3. Motivasi kerja
Motivasi kerja tenaga kefarmasian merupakan tingkah laku seseorang
yang mendorong kearah suatu tujuan tertentu karena adanya suatu
kebutuhan baik secara internal maupun eksternal dalam melaksanakan
perannya. Semakin baik motivasi kerja yang dimiliki tenaga kefarmasian
maka cenderung mendorong diri mereka untuk melaksanakan prinsip dan
prosedur yang berkaitan dibandingkan yang memiliki motivasi yang
kurang. Timbulnya motivasi dalam diri seorang tenaga kefarmasian dapat
disebabkan oleh adanya rasa tanggung jawab yang timbul dalam diri
seorang atau aspek internal tenaga kefarmasian. Sehingga melakukan
tindakan yang cepat, tepat dan terarah untuk mengatasi masalah pasien
termasuk ketepatan dalam pemberian obat.

D. Penerapan Prinsip 7 Benar Dalam Pemberian Obat

Tenaga Kefarmasian sebagai pelaksana dalam memberikan obat hanya


boleh memberikan obat sesuai dengan resep yang telah diberikan oleh dokter dan
melakukan pengecekan ulang apabila ada keraguan terhadap instruksi tersebut.
Proses pemberian obat minimal menggunakan prinsip 7 benar dalam pemberian
obat dengan cara membandingkan resep yang didapatkan terhadap label obat.
Adapun prinsip 7 benar berdasarkan standar yang berlaku di Rumah Sakit antara
lain :

1. Benar pasien
Pasien yang benar dapat dipastikan dengan memeriksa identitas pasien dan
meminta pasien menyebutkan namanya sendiri. Sebelum obat diberikan,
identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang
identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika
pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat
dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup
mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari
cara identifikasiyang lain seperti menanyakan langsung kepada
keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.Jadi
terkait dengan pasien yang benar, memiliki implikasi keperawatan
diantaranya mencakup memastikan pasien dengan memeriksa gelang
identifikasi dan membedakan dua klien dengan nama yang sama.
2. Benar jenis obat
Sebelum memberikan obat pada klien, perawat memastikan kembali obat
yang telah diresepkan oleh dokter dengan memeriksa label obat sebanyak
tiga kali.
3. Benar dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu,
perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau
apoteker, sebelum dilanjutkan ke pasien. Sebelum menghitung dosis obat,
perawat harus mempunyai dasar pengetahuan mengenai rasio dan
proporsi. Jika ragu-ragu, dosis obat harus dihitung kembali dan diperiksa
oleh perawat lain. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus
memeriksanya lagi.
4. Benar cara pemberian
Sikap hati-hati sangat diperlukan agar perawat dapat memberikan obat
yang benar. Tenaga kefarmasian perlu memastikan apakah obat yang akan
diberikan sudah dengan jalur yang tepat. Tenaga kefarmasian juga perlu
berkonsultasi pada dokter jika tidak disertakan jalur pemberian obat.
5. Benar waktu
Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus
diberikan. Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari,
seperti b.i.d (dua kali sehari), t.i.d (tiga kali sehari), q.i.d (empat kali
sehari), atau q6h (setiap 6 jam), sehingga kadar obat dalam plasma dapat
dipertahankan. Jika obat mempunyai waktu paruh (t .) yang panjang, maka
obat diberikan sekali sehari. Obat-obat dengan waktu paruh pendek
diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu yang tertentu. Beberapa
obat diberikan sebelum makan dan yang lainnya diberikan pada saat
makan atau bersama makanan.
6. Benar dokumentasi
Setelah pemberian obat perawat harus mencatat tindakan yang telah
diberikan segera setelah tindakan dengan mencatat nama klien, nama obat
dan alergi, dosis obat, jalur obat, serta waktu pemberian obat.
7. Waspada interaksi obat
Tenaga Kefarmasian harus mengetahui intraksi obat yang akan diberikan
dan mengetahui cara menanggulangi bagaimana jika reaksi obat diluar
dugaan tenaga kefarmasian.

E. Akibat Kesalahan dalam Pemberian Obat

Menurut Kemenkes (2011) akibat kesalahan pemberian obat dibagi


menjadi dua yaitu :

1. Adverse drug event


Adverse drug event adalah suatu insiden dalam pengobatan yang dapat
menyebabkan kerugian pada pasien. Adverse drug event meliputi kerugian
yang bersifat intrisik bagi individu/pasien contoh :
 Meresepkan obat NSAID pada pasien dengan riwayat pada pasien
dengan riwayat penyakit ulkus peptik yang terdokumentasi di rekam
medis, yang dapat menyebabkan pasien menggalami perdarahan
saluran cerna.
 Memberikan terapi antiepilepsi yang salah, dapat menyebabkan pasien
menggalami kejang.
2. Adverse drug reaction
Adverse drug reaction merupakan respon obat yang dapat membahayakan
dan menimbulkan kesalahan dalam pemberian obat seperti
hipersensitivitas, reaksi alergi, toksisitas dan interaksi antar obat
berdasarkan penelitian Nurinasari (2014) sebagai berikut :
 Hipersensitivitas
Reaksi yang muncul ketika klien sensitif terhadap efek obat karena
tubuh menerima dosis obat yang berlebihan. hipersensitivitas obat
biasanya terjadi sekitar 3 minggu hingga 3 bulan setelah pemberian
obat, yang ditandai oleh demam dan munculnya lesi pada kulit.
 Alergi
Reaksi alergi obat adalah reaksi melalui mekanisme imunologi
terhadap masuknya obat yang dianggap sebagai benda asing dalam
tubuh dan tubuh akan membuat antibodi untuk mengeluarkan benda
asing dari dalam tubuh.
 Toksisitas
Akibat dosis yang berlebihan sehingga terjadi penumpukan zat di
dalam darah karena gangguan metabolisme tubuh.
 Interaksi antar obat
Reaksi suatu obat dipengaruhi oleh pemberian obat secara bersamaan,
sehingga terjadi interaksi obat yang kuat atau bertentangan terhadap
efek dari obat.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai