Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIS DAN KOMUNITAS

“Monitoring Efek Samping Obat (MESO)”

Dosen Pembimbing :
Muh. Taufiqurrachman, S, Farm., Apt

Disusun Oleh :
1. Sherlina Puspita : 16180100004
2. Siti Maulidini : 16180100005

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INDONESIA MAJU (STIKIM)
JAKARTA
TAHUN 2021
A. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui apa itu Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
2. Mengetahui sikap dalam Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

B. Tinjauan Pustaka
1. Definisi ESO dan MESO
Definisi E.S.O menurut WHO Tiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan, yang terjadi pada dosis yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi. Melakukan
monitoring efek samping obat yaitu memantau baik secara langsung
maupun tidak langsung terjadinya efek samping obat, meminimalkan efek
samping yang timbul dan menghentikan atau penggantian obat jika efek
samping memperparah kondisi pasien. Pasien juga berhak melaporkan
terjadinya efek samping obat kepada farmasis di apotek atau rumah sakit
agar dilakukan upaya-upaya pencegahan, mengurangi atau menghilangkan
efek samping tersebut. Pemantauan dimaksudkan untuk memastikan terapi
obat yang tepat.
Monitoring efek samping obat
Aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemakaian obat adalah:
1) Efektivitas.
2) Keamanan
3) Mutu
4) Rasional
5) Harga
Aspek keamanan tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping
obat (E.S.O).
2. Identifikasi Masalah
Selama proses pemantauan, masalah sering timbul termasuk
kontraindikasi pada penggunaan obat, ketidak tepatan pemberian dosis,
toksisitas obat, kesalahan pemberian obat, ketidaktepatan terapi atau
masalah lain. apoteker harus waspada mengidentifikasi suatu masalah,
jika timbul dan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya masalah, jika
timbul dan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya masalah
demikian sehingga tindakan perbaikan dapat dilakukan. Selama
pemantauan rutin, masalah akan menjadi jelas, jika apoteker memberi
perhatian penuh.
Apabila suatu masalah terungkap, pertama apoteker harus
menetapkan jika masalah itu berkaitan dengan obat dan kemudian
menegaskan bahwa itu benar. Pengkajian dengan obat dapat dilakukan
untuk membuktikan masalah. Setelah keberadaan masalah telah
ditetapkan, kemudian signifikasi klinik harus ditetapkan. Acuan pada
buku teks baku tentang status penyakit dan terapi obat sering kali
membantu dalam mengadakan ketetapan. Jika masalah tersebut adalah
interaksi obat, referensi seperti Hanstens drug interactions adalah
paduan yang baik. Jika masalah melibatkan dosis atau kesalahan
penulisan resep/order, apoteker harus menetapkan mengapa dosis
tersebut itu ditulis.
Suatu fungsi kunci yang dilakukan apoteker dalam proses
pemantauan obat adalah mengidentifikasi masalah yang ada atau
masalah yang mungkin dihasilkan dari terapi obat. Semua sumber
informasi yang tersedia harus digunakan dalam proses ini. Apoteker
perlu menapis dan memisahkan masalah pasien antara masalah yang
memberi manfaat terapi obat dan masalah yang mungkin diimbas olah
obat. Apabila suatu masalah atau masalah yang mungkin dianggap
berkaitan dengan obat, penelitian harus dilakuan berkenaan dengan
status penyakit, data laboratorium, dosis obat, dan obat lain utnuk
membuktikan hubungan. Pembuktian itu perlu untuk memastikan bahwa
masalah yang diidentifikasikan merupakan bagian pustaka acuan dapat
dikonsultasikan untuk membantu dalam proses pemantauan.
Sasaran yang ingin dicapai dalam monitoring efek samping obat adalah :
1) Mengadakan pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus
menerus.
2) Menigkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat.
3) Meningkatkan kemitraan antarpribadi profesional pelayan
kesehatan
4) Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
5) Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai
akibat dosis yang akurat efek samping yang lebih sedikit, dan
waktu hospitalisasi yang lebih singkat
3. Jenis Kesalahan Obat
Jenis kesalahan obat
1) Kesalahan obat mencakup kesalahan penulisan resep, kesalahan
dispensing, kesalahan pemberian obat, dan kesalah kepatuhan
pasien.
2) Definisi kesalahan yang mungkin adalah suatu kekeliruan dalam
penulisan, dipenting atau pemberian obat yang direncanakan
dideteksi dan diperbaiki melalui interfensi ( oleh perilaku pelayan
kesehatan yang lain atau pasien ), sebelum pemberian obat
sebenarnya. Keselahan yang mungkin harus dikaji dan ditabulasi
sebagian kejadian terpisah dari kesalahan yang terjadi ( kesalahna
yang benar-benar mencapai pasien ) untuk mengidentifikasi
kesempatan guna memperbaiki masalah dalam sistem penggunaan
obat sungguhpun sebelum kesalahan itu terjadi.
3) Pendeteksian kesalahan yang mungkin harus merupakan suatu
komponen dari proses pemnyempurnaan rutin mutu rumah sakit.
Pembuktian kejadian ketika seorang individu telah mencegah
terjadinya suatu kesalahan obat, akan membantu mengidentifikasi
kelamahan sistem dan memperkuat pentingnya multi pengecekan
dalam sistem penggunaan obat.
4. Pemastian Efek Obat
Pemastiaan obat dimaksudkan untuk memastikan bahwa obat
diberikan sesuai dengan indikasi kliniknya, efek obat yang merugikan
dapat dicegah/diminimalkan dan kepatuhan pasien dapat
dievaluasi.Pada situasi dimana waktu apoteker terbatas untuk
melakukan pemastian obat pada semua pasien, maka kriteria pasien
yang mendapat prioritas adalah pasien dengan obat, obat kompleks, obat
dengan indeks terapi sempit, pasien mengalami efek samping obat yang
serius, menderita penyakit, mengalami gangguan kognitif, tidak
mempunyai care-giver, tidak patuh, akan pulang dari perawatan di
rumah sakit dan berobat pada banyak dokter.
Kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam pemastian obat
adalah melakukan pengambilan riwayat penggunaan obat pasien. Dari
kegiatan ini dapat diketahui obat-obat (obat resep, obat bebas, obat
tradisional/jamu, suplemen) yang pernah dan sedang digunakan pasien
sebelum dirawat di rumah sakit, kemungkinan adanya interaksi obat,
bagaimana tingkat kepatuhan pasien, efek terapi yang dihasilkan dan
efek samping obat yang dialami pasien. Seringkali pasien/keluarganya
tidak mengetahui atau lupa nama obat yang pernah dan sedang
digunakannya, sehingga ada baiknya meminta mereka untuk membawa
serta obat-obat yang masih tersisa dan memperlihatkannya kepada kita.
Kesulitan lain adalah pada saat pasien ditanya tentang efek yang
dirasakan selama menggunakan obat, dimana kadang pasien tidak dapat
mengungkapkan dengan jelas apa yang dirasakannya. Pasien/keluarga
perlu dipandu dalam mengidentifikasi kemungkinan adanya efek
samping obat, contoh: pada pasien yang mendapatkan kodein untuk
menghilangkan nyeri, perlu ditanyakan apakah beliau mengalami
kesulitan untuk buang air besar. Informasi yang didapat dari mereka
harus dicek silang dengan data/informasi dari sumber lain (rekam
medik, catatan pemberian obat, keterangan dokter dan perawat).
Obat-obat yang seharusnya tidak digunakan lagi oleh pasien
-misalnya karena sudah dihentikan oleh dokter, adanya duplikasi atau
obat sudah kadaluarsa- harus dipisahkan dan pasien/keluarga diberitahu
mengenai hal ini. Jika teridentifikasi adanya ketidakpatuhan dalam
menggunakan obat, maka apoteker perlu mencaritahu apa penyebab
ketidakpatuhannya, apakah karena masalah ekonomi, ketidakyakinan
akan khasiat obat, lupa, bosan, gejala penyakit sudah hilang, adanya
efek samping, takut ketergantungan, rasa obat yang tidak enak, adanya
keterbatasan kemampuan fisik, gangguan kesehatan jiwa, atau
kurangnya pemahaman tentang penyakit dan obat yang digunakannya.
Sebaiknya dokter maupun apoteker melibatkan pasien/keluarga
dalam proses pengambilan keputusan tentang terapi yang akan
dijalankan setelah mereka diberi informasi yang benar dan sejelas-
jelasnya. Dengan demikian, diharapkan pasien/keluarga akan lebih
bertanggungawab atas keputusan yang telah disepakati dan mematuhi
rejimen pengobatan. Pada saat melakukan telaah terhadap obat-obat
yang baru diresepkan dokter, apoteker perlu meneliti apakah ada
masalah terkait obat, misalnya: indikasi obat tidak jelas atau sebaliknya
-kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi pasien tidak
diberikan obat, pilihan obat tidak tepat, rejimen tidak tepat (rute, dosis,
interval pemberian, durasi) dan interaksi obat. Fenomena prescribing
cascade sering terjadi dimana pasien diberikan suatu obat untuk
mengatasi efek merugikan dari obat lain.
Banyaknya gejala klinik yang ditunjukkan pasien usia lanjut
sering menyulitkan dokter untuk menentukan prioritas terapi yang tepat.
Untuk itu perlu dibuat kerangka masalah yang menggambarkan
keterkaitan antar gejala atau kondisi klinik, sehingga dapat terlihat mana
yang menjadi akar permasalahannya, dengan demikian penanganan
terapi menjadi terarah. Jika masalah utama dapat diatasi, maka
diharapkan gejala-gejala lain yang merupakan akibat dari masalah
utama tersebut dengan sendirinya juga akan teratasi, sehingga tidak
perlu polifarmasi. Apoteker hendaknya mendiskusikan temuan masalah
dengan dokter.
 Efek samping minor yang diperkirakan
Beberapa efek samping dapat terlihat pada sebagian besar pasien
yang menerima obat dan mungkin disebabkan kerja obat. Efek
samping ini pada umumnya tidak memerlukan perlakuan medis
dan dapat dibatasi sendiri. contoh mencangkup obat yang
mengubah warna urin, menyebabkan kekeringan pada mukosa
oral; atau menyebabkan sedasi (tenang) atau menggairahkan.
Pasien perlu konseling tetntang berbagai efek itu, kapan timbul,
apa yang perlu dilakukan, dan kapan akan selesai. Pasien
sebaiknya didorong untuk menghubungi apoteker untuk
menjawab pertanyaan mereka, berkaitan dengan reaksi terhadap
reaksi obat.
 Reaksi merugikan memerlukan perhatian medis
Berbagai kondisi ini mencangkup toksisitas obat, seperti alergi,
dikaitkan dengan regimen terapi. Dalam peristiwa tanda dan
gejala merugikan yang signifikan berkaitan dengan terapi, pasien
harus menghubungi dokter penulis resep. Contoh dari gejala
demikian, adalah mual muntah berat, ruam, penglihatan kabur,
gaya berjalan tidak normal, impoten, atau berubah dalam
pancaindra. Adalah penting untuk memisahkanreaksi ini dari
efek yang dapat dibatasi sendiri tersebut di atas, dan tidak
memerlukan konsultasi dokter.
 Interaksi obat atau makanan yang mungkin
Selain mengkaji reaksi merugikan pada pasien, adalah penting
mengkaji setiap interaksi obat atau makanan yang signifikan dan
mungkin dihadapi pasien. Misalnya, pasien yang menerima
metronidazol, perlu di konseling tentang interaksi yang mungkin
dari obat itu dengan alkohol. Juga, jika seorang pasien menerima
antikoagulan, dikonseling agar men ghindari penggunaan
asetosal, dan juga pasien harus dikonseling dengan cukup obat
bebas yang mengandung asetosal.
5. Pencegahan reaksi obat merugikan
Pengetahuan tentang mekanisme reaksi merugikan sangat
terbatas untuk banyak hal, orang dengan resiko yang lebih besar
mengalami suatu efek merugikan benar, tidak dapat diidentifikasi
dengan pasti.
Pengertian dari kerja dan reaksi obat semakin luas telah menjadi
lebih nyata bahwa adanya bagian yang cukup besar dari efek merugikan,
sampai taraf tertentu, dapat diramalkan dan dapat dicegah. Presentase
pasti dari reaksi yang dapat dicegah masih dalam penentuan, tetapi
berbagai faktor yang berkontribusi sekarang telah diketahui dan
rekomendasi khusus tersedia untuk menuntun dokter dan pasien. Adalah
beberapa kategori yang perlu dipertimbangkan seperti yang tertera
dibawah ini.
1) Reaksi merugikan terlebih dahulu terhadap suatu obat
Fakta menunjukkan bahwa seorang individu yang pernah
mengalami suatu reaksi obat merugikan dalam waktu yang
lewat. Kemungkinan besar mengalami reaksi merugikan
terhadap obat lain, walaupun obat-obat itu tidak berkaitan. Hal
ini memberikan kesan bahwa beberapa individu dapat
mempunyai suatu kecendrungan genetik terhadap respon obat
yang tidak biasa dan abnormal. Pasien harus memberitahu dokter
setiap sejarah/ pengalaman obat merugikan terdahulu
2) Alergi
Individu yang mnegalami alergi bersifat alami (demam
karena peka terhadap alergen, asma, eksem, dan rasa gatal) besar
kemungkinan akan mengalami alergi terhadap obat daripada
individu yang nonalergis. Pasien alergis harus diamati sangat
ketat, untuk petunjuk paling dini dari terjadinya hipersensitivitas
terhadap setiap obat. Alergi obat diketahui harus direkam dalam
rekam medik. Pasien harus memberitahu bahwa memiliki alergi
terhadap obat tertentu, dengan menyebutka nama obat tersebut.
Pasien harus memberikan informasi ini tanpa menuggu ditanya
sehingga dapat menghindari obat yang dapat menimbulkan suatu
reaksi alergi. Demikian juga dengan obat-obat yang berkaitan
yang dapat menyebabkan pasien mengalami sensivitas silang.
3) Kontaindikasi
Wajib secara ketat mengamati semua kontraindikasi yang
diketahui terhadap setiap obat yang sedang dipertimbangkan.
Kontraindikasi absolut, mencangkup kondisi dan situasi yang
sedang dipertimbangkan dokter, tidak menghindari penggunaan
obat sama sekali, tetapi cegah intensifikasi penyakit yang sudah
ada atau mengembangkan penyakit baru. Kondisi dan situasi
demikian biasanya memerlukan penyesuaian dosis, tindakan
pendukung tambahan dan pengawasan ketat.
4) Tindakan pencegahan dalam penggunan
Pasien harus mengetahui tentang setiap tindakan
pencegahan khusus untuk diamati saat dalam penggunaan obat.
Hal ini mencangkup kelayakan penggunaan selama kehamilan
atau saat menyusui, tindakan pencegahan berkenaan dengan
pemaparan terhadap cahaya matahari, penghindaran panas yang
ekstrim, penggunaan fisik yang berat, dan lain-lain.
5) Dosis
Pasien harus taat seketat mungkin pada jadwal dosis
yang tertulis. Hal ini sangat penting dengan obat-obat yang
memiliki batas kemanan yang sempit. Keadaan yang
mempengaruhi obat yang tertulis (mual, muntah, diare) wajib
melaporkan pada dokter agar penyesuaian yang tepat dapat
dibuat.
6) Interaksi
Dewasa ini banyak diketahui tetntang beberapa obat
dapat berinteraksi yang tidak menggantungkan dengan makanan
tertentu, alkohol, dan obat lain yang mengakibatkan efek
merugikan yang serius. Pasien wajib memberitahukan mengenai
semua interaksi yang mnungkin dapat mengubah kerja obat yang
digunakan pasien. Jika selama pengobatan pasien merasa
menemukan suatu interaksi baru yang penting, dokter perlu
diberitahu agar signifikansi yang lengkap dapat ditetapkan.
7) Gejala peringatan
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak obat akan
menghasilkan gejala yang merupakan petunjuk diri yang
sebenarnya dari suatu perkembangan efek merugikan. Contoh,
termasuk timbulnya sakit kepala yang parah dan mengganggu
penglihatan, sebelum serangan stroke dalam seorang perempuan
yang menggunakan kontrasepsi oral, terjadi ketidaksanngupan
mencerna asam, dan lambung sebelum penggiatan (aktivasi)
pendarahan tukak lambung pada seorang yang menggunakan
fenilbutazon untuk matoid artritis. Adalah keharusan bahwa
pasien memahami gajala dan tanda yang dapat merupakan
indikator dini dari reaksi merugikan yang terjadi. Dengan
pengetahuan ini, pasien dapat bertindak sendiri dengan
menghentikan obat dan berkonsultasi dengan dokter untuk
petunjuk tambahan.
8) Pemeriksaan untuk memantau efek obat
Obat-obat tertentu mampu merusak jaringan tubuh vital (
sumsum tulang, hati, ginjal, struktur mata, dan lain-lain),
terutama apabila obat-obat ini digunakan selama periode yang
diperpanjang. Efek merugikan demikian relatif jarang dan hanya
tidak diketahui sampai obat tersebut telah digunakan luas untuk
jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, perlu diketahui obat-
obat yang harus dipantau secara berkala, untuk mendeteksi
sedini mungkin setiap bukti dari kerusakan jaringan akibat
penggunaan obat tersebut. Pasien harus bekerja sama sepenuhya
dalam pelaksanaan berkala untuk bukti efek obat merugikan.
9) Usia lanjut dan kelemahan
Kapasitas fungsional organ vital yang berubah, menyertai
usia lanjut dan penyakit kelemahan dan sangat mempengaruhi
respon tubuh terhadap obat. Pasien demikian, cenderung tidak
tahan menoleransi obat-obat toksis kuat yang biasanya adalah
perlu bagi mereka menggunakan dosis yang lebih kecil pada
jarak waktu yang lebih lama. Efek obat pada lanjut usia dan
berpenyakit berat, sering tidak bisa diramalkan. Kebutuhan yang
sering menyesuaikan dosis atau perubahan dalam seleksi obat
memerlukan pengamatan berkelanjutan terhadap pasien, jika
efek merugikan akan dicegah atau diminimalkan.
10) Pemilihan obat yang tepat
Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus
paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat
dicegah, jika dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan
pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak mengobati
pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerja sama dengan
upaya dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan
penyakit dan bahaya obat.
11) Polifarmasi
Istilah ini mengartikan penggunaan berbagai obat yang
bersamaan oleh seorang individu yang ditulis terpisah oleh dua
atau lebih dokter untuk gangguan yang berbeda, sering tanpa
komunikasi yang tepat antara pasien-dokter penulis resep.
Praktik yang sering ini, adalah kondusif untuk kemungkinan
besar interaksi obat-obat yang serius. Pasien harus secara
rutinmemberitahu pada dokter yang dikonsultasikan, semua obat
resep dan nonresep yang ia gunakan pada waktu itu. Adalah
wajib setiap dokter memiliki informasi ini sebelum menuliskan
resep
6. Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi obat terus-menerus yang di seleksi
berdasarkan satu alasan atau lebih alasan tertentu.
1) Didasari pada pengalaman klinik, diketahui atau dicurigai bahwa
obat menyebabkan reaksi obat merugikan atau berinteraksi
dengan obat lain dalam suatu cara yang menimbulkan suatu
resiko kesehatan yang signifikan .
2) Obat digunakan dalam pengobatan berbagai reaksi, disebabkan
umur, ketidak mampuan, atau karakteristik metabolik yang unik.
3) Obat telah ditetapkan melalui program pengendalian infeksi
rumah sakit atau kegiatan jaminan mutu lain, untuk memantau
dan mengevaluasi.

C. HASIL PRAKTIKUM
D. PEMBAHASAN
Kasus 1
Kasus 2
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan POM RI, 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping


Obat (MESO) Bagi Tenaga Kesehatan. Badan POM RI, Jakarta.
2. Depkes RI, 2009. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Pasien
Pediatri.
3. Kementrian Kesehatan RI, 2004. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004
Tentang Standard Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
4. WHO Pharmaceuticals Newsletter, No.4, 2007

Anda mungkin juga menyukai