Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI III

(FA4105)

PRAKTIKUM VI
ANTIHIPERGLIKEMIA
HEPATOPROTEKTOR

Oleh
Kelompok 4 Shift Selasa
Nelly Setyawaty 10708011
Lin Hofa Nurul Alifah 10708035
Andy Setiawan 10708042
Hubbi Nashrullah 10708060
Gilang Putri Suryani 10708070
Egy Chandra 10708084

Asisten:
Putri Rizkita 11608014

Tanggal Praktikum : 25 Oktober 2011


Tanggal Pengumpulan : 1 November 2011

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2011
ANTIHIPERGLIKEMIA

I. Tujuan Percobaan
Menentukan pengaruh pemberian Glibenklamid dan Metformin secara oral terhadap
kadar glukosa dalam darah mencit

II. Prinsip Percobaan


Hiperglikemia dapat menunjukkan terjadinya diabetes melitus, yaitu menurunnya
fungsi pankreas dalam memproduksi insulin atau tidak pekanya reseptor insulin sehingga
terjadi gangguan metabolisme dimana glukosa tidak diubah menjadi glikogen akibatnya
glukosa darah meningkat. Melalui percobaan antihiperglikemia ini dapat diketahui kadar
glukosa darah pada mencit yang diinduksi menjadi hiperglikemia setelah pemberian
antidiabetes oral. Mencit dibagi menjadi kontrol negatif, kontrol positif, dan dua
kelompok obat uji kemudian diukur kadar glukosa setiap 30 menit.

III. Metodologi Percobaan


Mencit dikelompokkan menjadi empat: kontrol negatif, kontrol positif, metformin,
dan glibenklamid. Semua kelompok mencit tersebut dipuasakan semalam. Setelah
diambil darah melalui ekor untuk menentukan kadar glukosa awal, kelompok kontrol
positif dan kelompok obat uji diberikan larutan glukosa 3 g/kg BB secara oral. Dua
kelompok obat uji diberikan glibenklamid dan metformin secara oral sedangkan
kelompok kontrol negatif hanya pembawanya saja. Setelah pemberian glukosa selama
tiga jam, diambil darah tiap 30 menit dan ditentukan kadarnya menggunakan strip test
glukosa.

IV. Data Pengamatan dan Pengolahan Data


Masukkin data ny yah hubb
V. Pembahasan
Hiperglikemia dapat mengindikasikan terjadinya suatu penyakit yaitu diabetes
mellitus dimana penyebabnya adalah karena kekurangan insulin secara absolut maupun
relatif. Kekurangan insulin secara absolut terjadi apabila pankreas tidak berfungsi lagi
untuk menghasilkan insulin. Sedangkan kekurangan insulin secara relatif terjadi apabila:
1. Produksi insulin di dalam tubuh tidak sesuai dengan kebutuhannya
2. Kerja insulin pada sel yang dituju diperlemah oleh antibodi insulin
3. Jumlah reseptor insulin pada organ yang dituju berkurang
4. Cacat pada reseptor insulin
Secara umum Diabetes Melitus diklasifikasikan ke dalam empat tipe yaitu sebagai
berikut :
 Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe I (DM tipe I) disebabkan oleh kekurangan insulin absolut
akibat turunnya kemampuan pankreas dalam memproduksi insulin. Penyebab DM
tipe I antara lain gangguan autoimun, kecenderungan genetik, dan faktor lingkungan.
Pada gangguan autoimun, sel T menjadi autoreaktif sehingga terjadi penghancuran
sel beta pankreas yang bertanggung jawab dalam menghasilkan insulin. Pada
kecenderungan genetik, orang-orang tertentu memiliki gen diabetogenik yang
diduga terdapat dalam kromosom 6, yaitu kromosom yang mengontrol pengenalan
antigen sel tubuh sendiri yaitu human lymphocyte antigen (HLA) DR3 dan DR4 oleh
sistem imun, dan kromosom 11, yaitu kromosom yang mengontrol perkembangan
dan replikasi sel beta pankreas. Pada faktor lingkungan, diduga albumin dalam
serum sapi merupakan homolog subunit protein MHC kelas II yang berbagi epitop
antigenik dengan sel manusia sehingga memicu produksi antibodi. Pengobatan DM
tipe I dilakukan dengan pemberian insulin. Oleh karena itu, DM tipe I disebut
insulin dependent diabetes mellitus.
 Diabetes melitus tipe II
Diabetes melitus tipe II (DM tipe II) disebabkan oleh menurunnya sensitivitas
sel terhadap insulin sehingga insulin tidak dapat berikatan dengan reseptor. DM tipe
II dipicu oleh faktor genetik, obesitas, usia, dan tingginya kadar lemak asam lemak
bebas yang dapat menutup reseptor insulin. Diabetes tipe II dapat diobati dengan
menggunakan obat-obatan sehingga biasa disebut insulin independent diabetes
mellitus.
 Diabetes melitus tipe lain
Diabetes melitus tipe lain disebabkan oleh penyakit dan penggunaan obat-
obatan. Salah satu penyakit yang memicu terjadinya diabetes melitus adalah
Cushing’s disease. Pada penyakit tersebut terjadi peningkatan glukokortikoid yang
menyebabkan peningkatan glukoneogenesis dan trauma pankreatik. Obat-obatan
yang dapat memicu terjadinya diabetes melitus, antara lain obat-obatan agonis -
adrenergik, hormon tiroid, dan obat-obatan glukokortikoid yang dapat menstimulasi
terjadinya glukoneogenesis.
 Diabetes melitus gestasional
Diabetes melitus gestasional terjadi pada wanita hamil. Pada masa kehamilan,
kebutuhan energi meningkat begitu juga dengan hormon estrogen dan hormon
pertumbuhan. Untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat ini, nafsu makan
wanita hamil menjadi tinggi sehingga asupan glukosa pun meningkat. Kadar hormon
pertumbuhan yang meningkat pun memicu terjadinya glukoneogenesis sehingga
kadar glukosa dalam darah meningkat. Kondisi ini memicu pelepasan insulin, akan
tetapi sekresi insulin yang terjadi berlebih sehingga mengakibatkan turunnya
sensitivitas selular insulin.
Secara umum ciri-ciri orang yang menderita Diabetes Meliitus adalah sebagai
berikut:
 Polyphagia
Polyphagia merupakan keadaan dimana penderita mudah lapar sehingga banyak
makan. Hal ini disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tinggi tetapi tidak diubah
menjadi glikogen sehingga tidak diubah menjadi energi.
 Polydipsia
Polydipsia merupakan keadaan dimana penderita mudah haus sehingga banyak
minum. Hal ini karena adanya sistem keseimbangan dari ginjal yaitu akibat adanya
kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan banyak air yang tertarik sehingga
penderita tersebut akan selalu merasa haus.
 Polyuria
Polyuria merupakan keadaan dimana sering terjadinya urinasi terutama pada malam
hari.
 Mudah lelah dan sering mengantuk.
 Sukar sembuh jika terluka.
 Penglihatan kabur.
 Sering pusing dan mual.
 Koordinasi gerak anggota tubuh terganggu.
 Berat badan terus menurun.
 Sering kesemutan dan gatal-gatal pada tangan dan kaki.
 Glikosuria (terdapat glukosa di dalam urin).
 Hiperglikemia (peningkatan abnormal kandungan gula dalam darah).
Pada penderita diabetes melitus, kadar gula darah terhitung tinggi. Klasifikasi kadar
gula darah adalah sebagai berikut:
a. Kadar gula puasa
● Normal: 80 - 110 mg/dl
● Pra-Diabetes Mellitus: 110 – 126 mg / dl
● Hipoglikemia: < 80 mg / dl
b. Kadar gula dalam keadaan tidak puasa
● Normal: 100 – 140 mg/dl
● Pra-Diabetes Mellitus: 140 – 200 mg / dl
● Hipoglikemia: < 100 mg / dl
Diabetes melitus dapat ditangani dengan pengubahan pola hidup menjadi pola hidup
yang sehat meliputi makan dan berolahraga serta dengan administrasi obat-obatan
antihiperglikemia. Obat-obatan antihiperglikemia dapat digolongkan menjadi:
 Golongan sulfonilurea
Obat-obatan antihiperglikemia sulfonilurea bekerja dengan meningkatkan sekresi
insulin pada sel  pankreas akibat penghambatan ATP-gated K+ channel. Oleh
karena kerjanya meningkatkan sekresi insulin, sulfonilurea dapat menyebabkan efek
samping berupa hipoglikemia. Contoh obat-obatan golongan sulfonilurea adalah
tolbutamid, glibenklamid, gliklazid, dan repaglinid.
 Golongan biguanida
Obat-obatan antihiperglikemia biguanida bekerja dengan meningkatkan
pengambilan glukosa dalam darah ke dalam sel serta menghambat glikolisis yaitu
proses perubahan glikogen menjadi glukosa. Contoh obat golongan biguanida adalah
metformin.
 Glitazon
Glitazon bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan target.
Glitazon merupakan agonis PPAR yang memberikan efek peningkatan
pengambilan glukosa dari darah ke dalam sel. Contoh obat golongan glitazon adalah
pioglitazon dan rosiglitazon.
 Inhibitor -glukosidase
Golongan ini bekerja dengan menghambat kerja -glukosidase dalam mengubah
disakarida menjadi glukosa, akibatnya tidak terbentuk glukosa yang dapat
diabsorpsi. Contohnya adalah akarbose.
 Gliptin
Gliptin bertindak sebagai inhibitor DPP-4s (dipeptidyl peptidase – 4). DPP-4s
merupakan enzim yang menghambat kerja GLP1 (hormon inkretin) yang berfungsi
menstimulasi sel  pankreas menghasilkan insulin. Dengan penghambatan DPP-4s,
hormon inkretin tidak terhambat sehingga sekresi insulin oleh sel  pankreas dapat
ditingkatkan. Selain itu, gliptin juga bekerja menghambat sekresi glukagon, yang
berfungsi mengubah glikogen menjadi glukosa, oleh sel  pankreas.
 Insulin
Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara menstimulasi
pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin
digunakan pada terapi diabetes tipe I dan diabetes tipe II yang gula darahnya tidak
dapat dikendalikan dengan diet dan antidiabetikum oral. Terapi insulin juga dapat
diberikan pada penderita diabetes dengan komplikasi akut serta diabetes gestational
(pada masa kehamilan). Insulin merupakan pilihan pada wanita hamil karena tidak
membahayakan fetus. Insulin bekerja dengan tiga cara: lambat, sedang, dan cepat.
Insulin yang bekerja lambat dan sedang digunakan untuk mengatur kadar gula
darah agar tetap stabil. Insulin ini biasa digunakan oleh penderita diabetes melitus
tipe I yang ingin mengatur kadar gula darahnya agar tetap dalam rentang “normal”
bagi penderita diabetes melitus. Insulin yang bekerja cepat digunakan untuk
mengatasi koma diabetikum dimana insulin ini biasa digunakan oleh penderita
diabetes melitus yang sedang kritis dan sedang mengalami koma diabetikum. Insulin
diberikan kepada penderita diabetes melitus 15 menit sebelum makan agar pada saat
glukosa darah meningkat oleh asupan makanan, sudah terdapat insulin dalam tubuh
penderita. Pemakaian insulin pada penderita diabetes melitus dapat memberikan
beberapa efek samping, yaitu hipoglikemia yang ditandai dengan fertigo, pusing,
pingsan, takikardia.
Diabetes melitus jika tidak ditangani dapat menyebabkan komplikasi, seperti:
hiperlipidemia, gangguan kardiovaskular, dan gagal ginjal. Pada pasien diabetes melitus,
sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa yang ada akibat kejenuhan reseptor sehingga
tubuh menguraikan lipid menjadi asam lemak dan gliserol. Jika penguraian lipid menjadi
asam lemak dan gliserol berlangsung dengan kecepatan tinggi, akan dihasilkan keadaan
hiperlipidemia. Penggunaan asam lemak sebagai sumber energi dapat menyebabkan
peningkatan badan keton dalam darah yang dapat berujung pada ketoasidosis di mana pH
darah turun akibat terlalu tingginya kadar badan keton dalam darah. Selain itu, pada
pasien diabetes melitus, darah cenderung kental akibatnya akan meningkatkan beban
jantung dalam memompa darah yang dapat memicu timbulnya gangguan kardiovaskular.
Gagal ginjal juga dapat disebabkan oleh diabetes melitus karena glukosa yang berukuran
molekul besar mengendap pada ginjal.
Pengukuran kadar gula darah yang paling akurat adalah melalui pengukuran HbA1C,
yaitu fraksi hemoglobin yang berikatan dengan glukosa sehingga darah tidak dapat
mengangkut oksigen dan karondioksida. HbA1C mencerminkan kadar glukosa darah
selama 2-3 minggu sebelumnya. Hal ini menjamin tidak ada manipulasi dari penderita
dengan menjaga pola makan sebelum pengecekkan karena HbA1C ini sesuai dengan
umur sel darah merah yang sekitar 100-120 hari sebelumnya. Klasifikasi hasil
pengukuran HbA1C adalah sebagai berikut:
● Normal: kadar HbA1C <6,0%
● Pra-Diabetes Mellitus: kadar HbA1C 6,0-6,5 %
● Diabetes: kadar HbA1C > 6,5%
Dalam penentuan uji hiperglikemia dikenal dua metode pengujian, yakni :
 Metode uji toleransi glukosa
Uji dilakukan pada hewan sehat yang diinduksi menjadi hiperglikemia dengan
pemberian glukosa dan obat uji untuk melihat efektivitas obat antihiperglikemia
dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah kembali ke kadar glukosa normal
dibandingkan dengan kontrol positif.
 Metode uji menggunakan hewan diabetes
Uji ini dilakukan dengan penginduksian hewan uji menggunakan obat, misalnya
aloksan, sehingga didapatkan hewan uji yang menderita diabetes. Setelah itu, baru
hewan uji diabetes ini diadministrasikan obat antihiperglikemia dan dilihat
efektivitas obat tersebut.
Bahas Peembahasan uji yah hubb,...trs di ambil kesimpulan, q gak bs ambil
kesimpulan karena harus baca dlu pembahasan ujiny...mksi

VI. Kesimpulan
Di isi yah

VII. Daftar Pustaka


Martini, Frederick. Fundamental of Anatomy & Phisiology 5th. Prentice Hall. p. 586-608
Mutschler, Ernst.1991. Dinamika Obat. Edisi 5. Terjemahan : Penerbit Bandung, ITB.
(hal : 340-344, 347-348, 349-351)
Neal, M.J. Medical Pharmacology at a Glance.1997. Blackwell Science Ltd: London.
(Hal 78)
http://medicine.uii.ac.id/index.php/Artikel/Diabetes-Mellitus-dan-Pengobatannya.html
(tgl akses : 31 oktober 2011, 19:00)

VIII. Jawaban Pertanyaan


1. Prinsip metode uji toleransi glukosa :
Uji efek obat antihiperglikemia, dapat menggunakan metode uji toleransi
glukosa. Prinsipnya adalah hewan uji yang telah dipuasakan 20-24 jam diberikan
larutan glukosa per oral dan pada awal percobaan sebelum pemberian obat dilakukan
pengambilan cuplikan darah sebagai kadar glukosa awal. Pengambilan cuplikan
darah diulangi setelah perlakuan pada waktu-waktu tertentu. Keadaan hiperglikemia
pada uji toleransi glukosa hanya berlangsung beberapa jam setelah pemberian
glukosa sebagai diabetogen (induktor).
Untuk menentukan apakah tubuh memiliki toleransi glukosa atau tidak, juga
dilakukan dengan uji toleransi gula dengan melihat respon tubuh terhadap influks
glukosa diet. Toleran atau tidak, ditentukan oleh tingkat kesanggupan mekanisme
untuk menghilangkan kelebihan glukosa dalam darah. Toleransi glukosa biasanya
diukur dengan mengikuti konsentrasi glukosa darah dalam 15 menit sampai 2 atau 3
jam setelah pemberian glukosa per oral sebanyak 50-100 g setelah dipuasakan
semalam. Diabetes mellitus ditandai dengan berkurangnya toleransi tubuh terhadap
glukosa yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan
dengan kadar glukosa darah yang makin meningkat (hiperglikemik) disertai
glikosuria dan perubahan pada metabolisme lemak.

2. Pengaturan hormonal terhadap kadar glukosa darah :


Tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan
keseimbangan di dalam tubuh. Level glukosa di dalam darah dimonitor oleh
pankreas. Bila konsentrasi glukosa menurun karena dikonsumsi untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh, pankreas melepaskan hormon glukagon yang akan
mengubah glikogen menjadi glukosa (proses glikogenolisis). Glukosa dilepaskan ke
dalam aliran darah, hingga meningkatkan level gula darah.
Apabila level gula darah meningkat yang dapat disebabkan karena perubahan
glikogen atau karena pencernaan makanan, hormon yang lain dilepaskan dari dalam
pankreas. Hormon ini, yang disebut insulin, menyebabkan hati mengubah lebih
banyak glukosa menjadi glikogen (proses glikogenosis) sehingga mengurangi level
gula darah. Namun pada orang yang kurang melakukan aktivitas seperti jarang
berolahraga, kelebihan zat gula tersebut akan disimpan dalam bentuk lemak
(lipogenesis).

3. Pemberian karbohidrat dalam diet :


 Jumlah total karbohidrat dalam diet lebih berpengaruh pada kadar gula darah
dibandingkan jenis karbohidrat dalam makanan.
 Jika menambahkan lemak tidak jenuh (mono unsaturated fatty acid),
karbohidrat total dapat ditingkatkan sampai 70% total kalori sehari.
 Sukrosa tidak perlu dibatasi sebagai penggganti sumber karbohidrat asal jumlah
totalnya tidak melebihi kebutuhan karbohidrat total dalam sehari.
 Jika bisa, jangan minum alkohol. Kalaupun minum, jumlahnya tidak lebih dari
100 gram.
 Fruktosa dibatasi tidak lebih dari 60 gram (pada diet 2000 kalori).
 Pemanis dapat digunakan secukupnya.

4. Kriteria diagnosis diabetes mellitus tipe 2


Dalam menegakkan diagnosis diabetes mellitus, patokan yang dijadikan acuan
tentu saja adalah pemeriksaan glukosa darah. Dalam hal ini dikenal adanya istilah
pemeriksaan penyaring dan uji diagnostik diabetes mellitus.
Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan memeriksa kadar gula darah sewaktu
(GDS) atau gula darah puasa (GDP), yang selanjutnya dapat dilanjutkan dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Dari pemeriksaan GDS, disebut diabetes
mellitus apabila didapatkan kadar GDS ≥ 200 mg/dl dari sampel plasma vena
ataupun darah kapiler. Sedangkan pada pemeriksaan GDP, dikatakan sebagai
diabetes mellitus apabila didapatkan kadar GDP ≥ 126 mg/dl dari sampel plasma
vena atau ≥ 110 mg/dl dari sampel darah kapiler.
Uji diagnostik dikerjakan pada kelompok yang menunjukkan gejala atau tanda
diabetes mellitus. Bagi yang mengalami gejala khas diabetes mellitus, kadar GDS ≥
200 mg/dl atau GDP ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes
mellitus. Sedangkan pada pasien yang tidak memperlihatkan gejala khas diabetes
mellitus, apabila ditemukan kadar GDS atau GDP yang abnormal maka harus
dilakukan pemeriksaan ulang GDS/GDP atau bila perlu dikonfirmasi pula dengan
TTGO untuk mendapatkan sekali lagi angka abnormal yang merupakan kriteria
diagnosis diabetes mellitus (GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang
lain, atau TTGO ≥ 200 mg/dl).
HEPATOPROTEKTOR

I. Tujuan Percobaan
Menentukan efek hepatoprotektor ekstrak silimarin dan propolis

II. Prinsip Percobaan


Kerusakan hati dapat disebabkan antara lain oleh obat, berbagai senyawa kimia lain,
virus seperti virus hepatitis B dan C. Diantara senyawa hidrokarbon terhalogenasi,
karbon tetraklorida paling besar daya hepatotosiknya. Karbon tetraklorida, parasetamol,
brombenzena, dan tioasetamid banyak digunakan untuk mengembangkan model hepatitis
eksperimental pada hewan. Prlindungan terhadap hepatotoksisitas oleh sesuatu zat dan
bahan uji dinilai berdasarkan kemampuannya untuk memperngaruhi berbagai parameter
misalnya menekan peningkatan aktivitas enzim-enzim aminotransferase dan mencegah
pengausan glutation hati.

III. Metodologi Percobaan


Empat ekor tikus masing-masing diberi nomor pada bagian ekornya dan ditimbang
bobotnya, mewakili kelompok kontrol positif, kontrol negatif, uji dengan silimarin dan
uji dengan propolis. Berdasarkan bobot badan tersebut, dihitung dosis untuk senyawa
penginduksi hepatotoksik, baik parasetamol ataupun CCl4 dan obat yang akan diberikan.
Pada tikus kontrol negatif diberikan saline secara intraperitoneal atau CMC Na 0.5%
melalui oral. Pada kelompok lain diberikan CCl4 (1 mL/kgBB) atau parasetamol (1200
mg/kgBB) sesuai dosis, kemudian tikus diberikan obat. Pada kelompok kontrol negatif
dan positif diberi CMC Na 0.5%, sedangkan kelompok uji diberikan silimarin (38.2
mg/kgBB tikus) dan propolis (100 mg/kgBB tikus) sesuai dosis.
Setelah pemberian obat tikus dibiarkan hidup selama sekitar 4 jam kemudian
dikorbankan dan diambil darahnya. Tikus kemudian dibedah untuk diambil organ
hatinya. Organ hati masing-masing ditimbang dan diamati warnanya. Darah yang telah
diambil disentrifuga pada 3000 rpm selama 10 menit. Serum darah diambil untuk
penentuan SGOT dan SGPT.
IV. Data Pengamatan

Tikus I : kontrol negatif

Tikus II : kontrol positif

Tikus III : Uji Silimarin

Tikus IV : Uji Propolis

Tikus Kelompok 4 Bobot Hati (g) Bobot Badan (g) Indeks Hati
Kontrol negatif 4.3 151.3 0.028
Kontrol positif 3.7 145.4 0.025
Silimarin 4.2 148.7 0.028
Propolis 3.2 152.8 0.021

Penginduksi Kelompok Kelompok SGOT (mg/dL) SGPT (mg/dL)


kontrol - 315 56.34
kontrol + 1.476 161.3
Parasetamol Kelompok 2
Silimarin - -
Propolis 6.38 721.1
kontrol - 274.7 42.17
kontrol + 552 52.24
Kelompok 3
Silimarin 24.59 266
Propolis 4.906 211.5
kontrol - 538.6 129.5
kontrol + 221.4 62.38
Kelompok 4
Silimarin 212.9 146.9
Propolis 278.1 95.2
CCl4
kontrol - 153.5 47.47
kontrol + 504.6 254.9
Kelompok 8
Silimarin 152.7 497.2
Propolis 453.8 178.9

Data Blanko:
GOT : 0.637
GPT : 1.768

V. Pembahasan
Hati merupakan organ penting dalam tubuh terutama perannya dalam hal
detoksifikasi senyawa racun. Namun, organ yang satu ini dapat menjadi tidak berfungsi
karena mengalami kerusakan yang disebabkan antara lain oleh obat-obatan (misal:
asetominofen), senyawa kimia (misal CCl4, alkohol) ataupun oleh virus hepatitis B atau
C. Adapun beberapa mekanisme senyawa obat untuk merusak hati adalah dengan cara:
a. Gangguan hepatosit
Obat berikatan kovalen dengan protein intraseluler yang menyebabkan jumlah ATP
menjadi berkurang, menyebabkan gangguan aktin (dalam hal kontraksi otot), fibrin
aktin menjadi pecah dan membran selpun rusak
b. Gangguan transport protein
Obat yang mengganggu protein transport pada membran kanalikuler dapat
menyumbat aliran empedu, mencegah ekskresi billirubin, menyebabkan kolestatis
yang ditandai dengan peningkatan jumlah ALP (Alkaline Posphatase) & TBL (Total
Billirubin) dalam serum.
c. Aktivasi sel-T
Ikatan kovalen antara obat dengan enzim sitokrom P-450 bersifat imunogenik,
mengaktivasi sel T dan sitokin serta menstimulasi respon imun yang kompleks
d. Apopotosis sel hepatosit
Aktivasi jalur apoptosis dengan reseptor faktor α pada tumor nekrosis akan memicu
proses kaskade yang berakhir pada kematian sel
e. Gangguan mitokondria
Obat yang menghambat fungsi mitokondria dengan mempengaruhi produksi energi
dengan menghambat jalur NAD (nicotinamide adenine dinucleotide) dan FAD
(flavin adenine dinucleotide), sehingga jumlah ATP menjadi turun.
f. Luka pada saluran empedu
Beberapa hasil metabolisme dari suatu obat tertentu mengakibatkan inflamasi pada
sel epitel saluran empedu.
Kerusakan hati pada suatu organisme terjadi secara bertahap diantaranya:
a. Nekrosis
Kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel akut atau trauma
(misalnya: kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrem, dan cedera mekanis),
di mana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan
rusaknya sel. Inti sel yang mati akan menyusut (piknotik), lalu menjadi padat,
batasnya tidak teratur dan berwarna gelap. Selanjutnya, inti sel hancur dan
meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. Proses ini
disebut karioresis. Kemudian inti sel yang mati akan hilang (kariolisis)

b. Obstruksi
Suatu hambatan dalam saluran empedu yang menyebabkan billirubin yang seharusnya
dialirkan ke jejenum menjadi dialirkan ke saluran darah, sehingga mengakibatkan
efek jaundice (kekuningan).
c. Sirosis & Fibrosis
Mekanisme utama yang menyebabkan sirosis diantaranya adalah kematian sel
hati, regenerasi, fibrosis progresif, dan perubahan vesikular. Perkembangan sirosis
membutuhkan kematian sel yang terjadi dalam periode lama disertai dengan adanya
fibrosis. Kematian sel akan menimbulkan respon normal berupa regenerasi sebagai
proses sebab akibat, sementara fibrosis berupa respon penyembuhan luka/inflamasi
yang berkembang menjadi pembentukan jaringan parut, sebab ketika cedera tidak
hanya meliputi parenkim tetapi juga jaringan ikat. Pada hati yang normal matriks
ekstraselular terdiri dari kolagen interstial (fibril pembentuk kolagen tipe I, III, V dan
XI) yang hanya ada di kapsul liver, saluran portal, dan sekeliling vena sentralis. Selain
itu, liver tidak mempunyai basal yang sejati, tapi sebuah kerangka kolagen tipe VI dan
protein lain yang terdapat pada celah di antara sinusoid sel endotelial dan hepatosit.
Sementara itu pada sirosis, kolagen tipe I dan III serta komponen lain terdeposit di
celah Disse.
Pada fibrosis dan sirosis lebih lanjut, pita fibrosis memisahkan nodul hepatosit
pada keseluruhan hati. Perubahan vaskuler dimulai dengan hilangnya penestrasi sel
endotelial sinusoid dan perkembangan aliran vena portal-vena hepatika dan arteri
hepatik-vena portal endothelial yang memungkinkan pertukaran bebas larutan antara
plasma dan hepatosit menuju tekanan yang lebih tinggi sehingga terjadi gangguan
pertukaran larutan. Khususnya, pergerakan protein seperti albumin, faktor intrinsik
pembekuan darah, lipoprotein di antara hepatosit dan plasma menjadi sangat lemah.
Perubahan fungsional ini dipengaruhi oleh kerusakan mikrovili permukaan hepatosit
yang mengurangi kapasitas transport sel.
Sumber utama kolagen berlebih ini adalah berasal dari sel stellate perisinusoidal
(sering dikenal dengan sel Ito atau sel penyimpan lemak), yang berada pada celah
Disse. Meskipun secara normal sel tersebut berfungsi sebagai sel penyimpan vitamin
A dan lemak, selama perkembangan fibrosis akan teraktivasi dan bertransformasi
menjadi sel mirip miofibroblas yang mengekskresikan α-aktin otot polos dan glial
fibrillary acidic protein. Stimulus untuk pengaktifan sel stellate dan produksi kolagen
misalnya adalah ROS, growth factor, dan sitokin seperti INF, IL-1, dan limfotoksin,
yang bisa diproduksi oleh hepatosit rusak atau oleh stimuli sel Kupffer serta sel
endothelial sinusoid. Sel stellate yang teraktivasi memproduksi growth factor,
kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi lebih lanjut dan sintesis kolagen.
Transforming growth factor β merupakan agen fibrogenik utama untuk sel stellate.
Pad atahap awal ini, fibrosis merupakan proses dinamis yang melibatkan sintesis dan
deposisi matriks ekstraseluler, aktivasi malproteinase dan juga jaringan penghambat
metalloproteinase.
Salah satu obat yang dipakai sebagai hepatoprotektor dalam percobaan kali ini
adalah silimarin. Silimarin dengan metabolit aktifnya yaitu silibin merupakan jenis
falvonoid yang diekstraksi dari bahan alam yaitu Silybum marianum. Mekanisme kerja
dari silimarin ini adalah sebagai antioksidan, antiperoksida lipid, serta meningkatkan
daya detoksifikasi, meningkatkan sintesis protein sel-sel hati, mengurangi aktivitas
bahan-bahan yang menyebabkan tumor, memelihara keberadaan sel mast.

Berdasarkan hasil percobaan menggunakan penginduksi karbon tetraklorida dan


parasetamol diperoleh hasil yang kurang lebih sama pada kelompok kontrol positif.
Keduanya menghasilkan konsentrasi SGOT dan SGPT yang tinggi di atas angka normal.
Hal ini menandakan bahwa kedua senyawa bersifat toksik terhadap hati. Pada pemberian
karbontetraklorida, biotransformasi di hati oleh sitokrom P450 reduktase dengan
kofaktor NADPH menghasilkan bentuk radikal triklorkarbon (•CCl3). Radikal tersebut
menginisiasi pembentukan peroksidase pada membrane asam lemak dan berikatan secara
kovalen pada membrane hepatosit. Keadaan ini akan menghasilkan banyak reactive
oxygen species (ROS) yang mengakibatkan terjadinya stress oksidatif dan lama-
kelamaan sel hati akan rusak.
Sedangkan pada pemberian parasetamol dalam dosis tinggi akan menyebabkan
toksisitas pada sel hati dengan mekanisme yang mirip dengan karbon tetraklorida.
Metabolisme parasetamol di hati terjadi melalui tiga jalur. Metabolisme parasetamol di
hati, 80% melalui konjugasi dengan asam glukuronat, sebagian lainnya melalui konjugasi
dengan sulfat (sulfatasi) dan sebagian kecil lagi dimetabolisme oleh mikrosoma hati.
Metabolisme parasetamol oleh mikrosoma hati menghasilkan N-acetyl-p-
benzoquinineimine (NAPQI) yang bersifat toksik pada hepatosit di hati. Dalam jumlah
kecil, NAPQI dapat diikat dengan glutation sehingga tidak bersifat toksik. Akan tetapi,
konsumsi parasetamol dalam dosis tinggi mengakibatkan glutation untuk inaktivasi zat
toksik kurang sehingga akan bereaksi dengan hepatosit dan mengakibatkan kerusakan.
(Palupi, M. F., dkk. )
Pemberian oral propolis berperan dalam menghentikan reaksi radikal tersebut
dengan adanya senyawa flavonoid yang telah dikenal berperan sebagai antioksidan.
Selain itu, propolis juga berperan membantu proses metabolisme di hati sehingga
parameter lain seperti bilirubin pada percobaan hewan yang telah diinduksi juga dapat
kembali normal. Dari histologi hati juga dapat diamati pada hati yang rusak banyak
terdapat vakuola sedangkan yang normal vakuolanya lebih kecil. Silimarin juga bekerja
sama seperti propolis sebagai antioksidan. Silimarin berasal dari tanaman Silybum
marianum dengan konstituen aktif yaitu silibinin.
Histologi hati yang rusak (kiri) dan normal
(kanan)
Selanjutnya jika dibandingkan dengan kontrol negatif, hasil tersebut kurang lebih
sama pada masing-masing kelompok. Hal ini menandakan adanya kesalahan pada
perlakuan atau kesalahan pada pengukuran dengan alat. Jika dibandingkan dengan data
kelompok uji baik silimarin maupun propolis, juga tidak bisa dilihat hubungan yang
menunjukkan khasiat hepatoprotektor. Kemungkinan waktu untuk obat bereaksi tidak
cukup sehingga efek hepatoprotektor belum muncul. Kit atau larutan pereaksi yang
digunakan sendiri kemungkinan tidak bermasalah karena serapan blanko yang diberikan
cukup kecil. Kemungkinan kesalahan terjadi pada waktu reaksi sampel serum darah
dengan pereaksi atau kit. Reaksi pada preparasi sebelum pengukuran juga penting
memperhatikan kesamaan waktu inkubasi pada setiap pengukuran. Semakin lama waktu
reaksi yang terjadi kemungkinan reaksi menjadi berlebihan dan konsentrasi yang terukur
lebih rendah atau bila waktu inkubasi kurang sampel belum bereaksi sempurna dengan
pereaksi sehingga konsentrasi yang terukur menjadi lebih rendah. Selain itu suhu
inkubasi juga penting diperhatikan karena semakin tinggi suhu untuk inkubasi hasil
pengukuran bisa lebih tinggi.
Menurut Mitruka (1981) kadar normal SGOT tikus putih adalah 141 ± 67,4 IU/L
dan kadar normal SGPT tikus putih adalah 12.6 ± 4,4 IU/L. Konversi untuk SGPT 1
IU/L setara dengan 0.01714 mckat/L setara dengan 6 ng/µL sedangkan untuk SGOT 1
IU/L setara dengan 0.1636 mckat/L setara dengan 5.7 ng/µL. Maka kadar normal SGOT
tikus putih adalah 80.37 ± 38.4 mg/dL sedangkan SGPT 7.56 ± 2.64 mg/dL. Jika
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh, maka tidak ada tikus yang memenuhi batas
normal tersebut.
Lebih lanjut jika dibandingkan dengan kondisi hati setelah dibedah maka terlihat ada
perbedaan antara organ hati pada tikus kontrol dan tikus kelompok uji. Pada tikus
kelompok kontrol warnanya lebih tua dibandingkan organ hati pada tikus kelompok uji.
Hal ini menandakan timbulnya efek hepatoprotektor pada tikus uji. Dari indeks organ
yang diukur juga tidak terlihat adanya pembekakkan hati pada kontrol positif, maka
dapat disimpulkan bahwa induksi tidak sampai pada tingkat keparahan atau kerusakan
hati yang cukup tinggi.
Pada manusia sendiri kadar SGOT dan SGPT normal berbeda pada pria dan wanita.
Pada pria kadar keduanya umumnya lebih besar dibandingkan pada wanita. Kadar SGOT
dan SGPT ini dapat digunakan sebagai parameter kerusakan hati karena senyawa
tersebut dihasilkan dan ada terutama dalam sel hati dan akan lepas kemudian terbawa
masuk ke dalam darah jika terjadi kerusakan di organ hati. SGPT merupakan enzim yang
dihasilkan oleh hati untuk mengkatalisis reaksi pembentukan asam amino, sedangkan
SGOT adalah enzim yang berperan mengkatalis reaksi balik dari suatu asam amino.
SGPT lebih spesifik untuk deteksi adanya kerusakan hati karena hanya sedikit dihasilkan
oleh organ lain selain hati, sedangkan SGOT terdapat di hati dan organ lain seperti
jantung termasuk di otot sehingga kurang spesifik untuk kerusakan hati.

Kerusakan hati yang terjadi pada manusia dapat berupa serangan hepatitis yang
menyebabkan kerusakan hati akibat infeksi virus hepatitis baik hepatitis A, B, maupun C,
sirosis atau insufisiensi hati, hati yang berlemak akibat kelebihan alkohol, dan gangguan
hati akibat intoksikasi obat. Seluruh gangguan hati tersebut dapat meningkatkan
konsentrasi SGOT dan SGPT dalam darah.
Pada kenyataannya dalam diagnosis, SGPT dan SGOT setiap orang dapat
menghasilkan sesuatu yang bias karena kondisi tertentu. Pada orang normal konsentrasi
SGOT dan SGPT dapat tinggi diakibatkan karena aktivitas yang tinggi, sedangkan pada
orang dengan serangan hepatitis misalnya, bisa saja konsentrasi SGOT dan SGPT yang
terukur tidak terlalu jauh dari batas atas kondisi normal, padahal infeksi telah terjadi.
Selain itu, batas normal SGOT dan SGPT juga dapat berbeda-beda antar laboratorium
bergantung pada metode diagnosis yang digunakan sehingga hasil ini sebenarnya tidak
bisa dijadikan hasil vonis suatu penyakit. Maka diagnosis untuk gangguan hati biasanya
dilakukan beberapa kali dalam selang waktu tertentu atau digunakan cek biokimia darah
lain.

VI. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran SGPT dan SGOT kedua zat uji tidak memberikan efek
hepatoprotektor, tetapi dari pengamatan secara fisik, warna organ hati yang diberi zat uji
baik Silimarin maupun Propolis lebih muda.

VII. Daftar Pustaka


Bhadauria, Monika, S. Kumar Nirala, dan S. Shukla. 2007. Hepatoprotective Efficacy of
Propolis Extract: A Biochemical and Histopathological Approach. IJPT; 6. 145-154
Bhadauria, Monika. 2011. Propolis prevents Hepatorenal Injury Induced by Chronic
Exposure to Carbon Tetrachloride. Evidence Based Complementary and Alternative
Medicine vol 2012
Mitruka,M. 1987. Clinical Biochemical and Hematological Reference Values in Normal
Experimental Animals and Normal Humans. Second Edition. USA : Masson
Publishing.
Palupi, M. F., M. Rahminiwati, dan U. Patriana. Farmakokinetik Parasetamol dalam
Plasma Ayam (Gallus Domesticus).
Martini, Frederick. Fundamental of Anatomy & Phisiology 5th. Prentice Hall. p. 586-608
Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basic of Therapeutics, 11 th ed. 2005.
Callifornia: hal 784
http://www.medscape.com/viewarticle/422884_2 (tanggal akses 29 Oktober 2011, pukul
02.00 WIB)
http://arthritis.about.com/od/diagnostic/a/liverbloodtests.htm (tanggal akses 29 Oktober
2011, pukul 02.00 WIB)
http://www.medicinenet.com/liver_blood_tests/page2.htm. Diakses tanggal 28 Oktober
2011 (23.40)
http://www.hepfi.org/pdfs/Common%20Liver%20Function%20Tests%20rev.%200705.p
df. Diakses tanggal 28 Oktober 2011 (23.45)
http://www.pointescientific.com/products/PI/A7560.pdf. Diakses tanggal 28 Oktober
2011 (15.40)
http://www.bloodindex.org/normal_laboratory_values.php. Diakses tanggal 28 Oktober
2011 (16.10)
http://nikiwae.com/news/medika/75-sgot-sgpt-sering-bikin-kecele.html. Diakses tanggal
28 Oktober 2011 (16.10)
http://en.wikipedia.org/wiki/Silibinin. Diakses tanggal 28 Oktober 2011 (16.10)

VIII. Jawaban Pertanyaan


1. Jelaskan peran penting hati bagi tubuh kita?
a. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan Karbohidrat, lemak dan protein saling
berkaitan satu sama lainnya. Hati akan mengubah pentosa dan heksosa yang
diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis.
Glikogen lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen
menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen menjadi glukosa disebut
glikogenelisis, karena proses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam
tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt
dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan:
Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan
membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat
diperlukan dalam siklus krebs).
b. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES
2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak
dan gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Di dalam hati terjadi berbagai proses penting yaitu sintesis, esterifikasi dan
ekskresi kolesterol dan serum kolesterol inilah menjadi standar pemeriksaan
metabolisme lipid.
c. Fungsi hati sebagai metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.
Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan
non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yang membentuk plasma
albumin (terdiri dari ± 584 asam amino dengan BM 66.000) dan γ- globulin dan
organ utama bagi produksi urea. Urea merupakan enproduk akhir dari
metabolisme protein yang akan di ekskresikan melalui urin. γ - globulin selain
dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang sementara β
– globulin hanya dibentuk di dalam hati.
d. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor
V, VII, IX, X. Benda asing mengenai pembuluh darah, maka faktor intrinsik
akan segera merespon, dengan proses akhir pembentukan Fibrin (berupa isomer)
agar pembekuannya kuat dan ditambah dengan faktor XIII.
e. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K
f. Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam
bahan seperti zat racun, atau overdosis dalam hal konsumsi obat.
g. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
Sel kupfer berperan penting dalam filtrasi bakteri, pigmen dan senyawa kimia
lainnya melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi γ
- globulin sebagai imun livers mechanism.
h. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500
cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam arteri
hepatica ± 25% dan di dalam vena portahepatica adalah sekitar 75% dari seluruh
aliran darah ke hati. Aliran darah ke hati dipengaruhi oleh faktor mekanis,
sistem saraf pusat dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu kontraksi
dan gejala shock. Hati merupakan salah satu organ penting untuk
mempertahankan aliran darah.
2. Parameter apa yang diukur untuk menentukan efek hepatoprotektor? jelaskan!
a. ALT (alanin transferase), merupakan enzim penting dalam metabolime asam
amino. Apabila terjadi kerusakan dalam sel hati (hepatosit), biasanya terjadi
peningkatan jumlah ALT dalam darah. Adapun nilai ALT atau SGPT normal
adalah 5-35 IU/L
b. AST (Aspartat aminotransferase), sama halnya dengan ALT, apabila terjadi
kerusakan dalam sel hati (hepatosit), biasanya terjadi peningkatan jumlah AST
dalam darah. Namun, AST ini dapat ditemukan dalam organ lain selain di hati
seperti di otot, ginjal, jaringan, ginjal dan otak. Adapun nilai AST atau SGOT
normal adalah 10-34 IU/L
c. ALP (alkali Posfatase), merupakan isoenzim yang terdapat di berbagai organ
seperti tulang, hati, ginjal dan usus halus. Namun, ALP ini diproduksi di sitosol
hepatosit, tepatnya di sel epitelial kantung empedu. Peningkatan konsentrasi
ALP dalam serum menandakan terjadinya kerusakan di hati, sebab
terhambatnya saluran empedu. Adapun nilai ALP normal adalah 20-140 IU/L
d. GGT (Gamma-glutamyl transferase), suatu enzim yang diproduksi di jaringan
hati. Serupa dengan fosfatase alkali, GGT dapat meningkat dalam darah pasien
dengan penyakit saluran cairan empedu. Namun, parameter ini tidak mutlak
menunjukkan terjadinya kerusakan hati, sebab dipengaruhi oleh kondisi lain
seperti karena konsumsi alkohol yang tinggi. Apabila nilai GGt normal dan ALP
meningkat maka kemungkinan terjadinya kerusakan tulang, sedangkan apabila
nilai GGt dan ALP keduanya meningkat, kemungkinan terjadi penyakit hati atau
saluran empedu. Adapun nilai GGT normal adalah 0-51 IU/L
e. Albumin, merupakan protein transport penting dalam darah yang disintesis
langsung dalam hati. Penurunan jumlah albumin dalam plasma darah, dapat
menjadi indikator gangguan hati yang tidak dapat memproduksi albumin
sebagaimana mestinya. Adapun jumlah albumin normal adalah 3,4 – 5,4 g/dL
f. Billirubin, merupakan produk utama dari penguraian eritrosit yang sudah tua,
dan dikeluarkan bersama cairan empedu. Dengan rusaknya hati, maka jumlah
billirubin total akan meningkat di atas jumlah normal. Namun, dari sebagian
bilirubin total ini akan termetabolisme dan disebut bilirubin langsung, apabila
bilirubin langsung jumlahnya tinggi, kerusakan terjadi pada organ di luar hati.
Sedangkan, apabila bilirubin langsung jumlahnya rendah dan bilirubin total
tinggi, maka kerusakan terjadi pada organ di dalam hati. Adapun jumlah
bilirubin langsung yang normal adalah 0 -0,3 mg/dL, sedangkan untuk bilirubin
total normal adalah 0,3 – 1,9 mg/dL.
g. Total Protein, akan terjadi perbedaan antara kondisi hati normal dengan
abnormal sebab protein plasma kebanyakan diproduksi di hati seperti albumin
dan globulin. Adapun rentang normal protein adalah 6 – 8,3 g/dL.
h. Waktu protrombin (PT) atau protime, berhubungan dengan proses pembekuan
darah. Faktor pembekuan darah adalah protein yang diproduksi di hati. Jika hati
rusak, maka faktor pembekuan tida dapat dihasilkan. Adapun rentang normal
dari protrombin adalah 11 – 13,5 s.

3. Sebutkan contoh obat yang menyebabkan hepatotoksik (drug induced liver disease)?
Meningkatkan jumlah Meningkatkan jumlah Meningkatkan jumlah
ALT ALT & ALP TBL & ALP
Acarbose Amitriptyline Amoxicillin-Clavulanic
Acetaminophen Azathioprine Acid
Allopurinol Captopril Anabolic steroid
Amiodarone Cyphroheptadine Chloropromazine
Baclofen Clindamycin Clopidogrel
Buproprion Carbamazepine Erythromycin
Fluoxetine Enalapril Estrogen
HAART drugs Flutamide Irbesartan
Isoniazide Nitrofurantion Mirtazapine
Ketoconazole Phenobarbital Phenothiazines
Lisinopril Phenytoin Terbinafine
Losartan Sulfonamide Tricyclics
Methootrexate Trazodone
NSAIDs Trymethorime-
Omeprazole Sulfamethoxazole
Paroxetine Verapamil
Pyrazinamide
Rifampine
Risperidone
Sertraline
Statins
Tetracyclines
Trazodone
Trovafloxacin
Valproic Acid

4. Jelaskan metabolisme parasetamol di hati!


Metabolisme parasetamol terjadi di hati, secara umum menghasilkan 3 jenis
metabolit, diantaranya:
1. Bentuk yang terglukoronasi, berjumlah sekitar 40%.
2. Bentuk konjugat dengan sulfat, sekitar 20-40%.
3. Senyawa intermediet N-hidroksilasi, yang perubahannya dibantu oleh enzim
sitokrom P-450 (dengan isoenzim CYP2E1 dan CYP1A2) menghasilkan
NAPQI (N-acetyl-p-benzo-quinone imine) yang bersifat toksik terutama pada
hati karena menyebabkan kematian sel. Dan selanjutnya NAPQI akan
didetoksifikasi sehingga kekuatan toksiknya menjadi lemah dengan cara
konyugasi glutation menjadi asam merkapturat, asalkan jumlahnya tidak terlalu
banyak (tidak overdosis), sehingga pada akhirnya dapat dieliminasi melalui
urin.
LAMPIRAN
Brosur Reagen SGOT

Memperhatikan kestabilan reagen


Bergantung waktu

Bergantung pada suhu pengukuran

Anda mungkin juga menyukai