Anda di halaman 1dari 5

Pemberian Edukasi Obat di Rumah Sakit

Pemberian Edukasi Obat atau sering disebut dengan PIO (Pelayanan Informasi Obat)
didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang
independen, akurat,komprehensif, terkini oleh petugas farmasi kepada pasien, masyarakat
maupun pihak yang memerlukan (Anonim, 2004). Unit ini dituntut untuk dapat menjadi sumber
terpercaya bagi para pengelola dan pengguna obat, sehingga mereka dapat mengambil
keputusan dengan lebih mantap.
Pemberian Edukasi Obat pada pasien ini sangatlah penting, sebab belum semua pasien
tahu dan sadar akan apa yang harus dilakukan tentang obat-obatnya. Untuk itu guna mencegah
kesalahgunaan, penyalahgunaan, dan adanya interaksi obat yang tidak dikehendaki, pelayanan
infomasi obat dirasakan sangat diperlukan, terlebih lagi belum semua pasien mendapatkan
informasi yang memadai dan juga pengetahuan tentang obat yang digunakan belum semuanya
diketahui, apalagi adanya obat-obat tertentu yang sangat memerlukan perhatian.
Sayangnya, informasi obat yang sahih pada saat ini sulit diperoleh, mengingat jenis dan
jumlah obat di Indonesia makin lama makin bertambah banyak, sehingga terjadi persaingan
yang tidak sehat antara para produsen obat. Disamping itu para pengelola dan pengguna obat,
dalam hal ini dokter, apoteker, asisten apoteker dan tenaga perawat tidak mempunyai cukup
waktu untuk dapat menguasai dengan baik seluruh informasi obat yang beredar, sehingga tidak
jarang terjadi pertentangan pendapat suatu obat.
Menghadapi era persaingan yang ketat hal utama yang perlu diperhatikan oleh Rumah Sakit
adalah kepuasan pelanggan agar dapat bertahan, bersaing, mempertahankan pasar yang sudah
ada. Untuk itu Rumah Sakit harus mampu mempertahankan kualitasnya dengan memberikan
pelayanan yang sesuai dengan harapan pasien sehingga konsumen merasa puas.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004
tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit menyebutkan bahwa pelayanan farmasi
rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit
yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk
pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Tuntutan pasien dan
masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari
paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru (patientoriented) dengan filosofi
Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan
kegiatan yang terpadu dengan tujuan mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah
yang berhubungan dengan kesehatan (Anonim, 2004).
Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan atau
paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Setiap obat memiliki indikasi yang
berbeda-beda tergantung sediaan aktif yang ada didalamnya. Cara penggunaan nya pun
berbeda, hal ini juga tergantung pada bentuk sediaan dan tujuan penggunaannya. Agar pasien
tidak salah terima informasi, maka harus dilakukan pemberian informasi dan edukasi obat yang
jelas, sehingga tidak ada kesalahan dalam pemberian obat. Berikut point yang harus
disampaikan kepada pasien, diantaranya Indikasi Obat, Kontra Indikasi, Dosis, efek samping,
Interaksi Obat, Cara Penggunaan, serta Penyimpanan Obat.
1. Indikasi Obat
Indikasi Obat atau lebih dikenal dengan istilah khasiat obat yaitu tujuan dari
penggunaan obat tersebut untuk mengobati penyakit apa. Beberapa obat memiliki khasiat
lebih dari satu kegunaan, misalnya paracetamol berfungsi untuk analgetik (meredakan
nyeri) dan sebagai antipyretik (meredakan panas/demam). Jadi, ketika pemberiaan
informasi pada pasien harus dijelaskan kegunaan obat tersebut, disesuaikan dengan
kondisi pasien, apakah pasien tersebut demam atau nyeri, sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman antara petugas farmasi dengan pasien. Bahasa yang digunakan ketika
melakukan edukasi obat pada pasien juga disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien,
apabila pasien masih awam maka sebaiknya memakai istilah umum seperti antinyeri
(antipyretik), peradangan (anti inflamasi), antiracun (anti dotum) dan sebagainya. Hal ini
untuk mempermudah pasien dalam memahami informasi yang kita sampaikan.
2. Kontra Indikasi Obat
Kontra indikasi yaitu melawan yang diindikasikan (dianjurkan atau diperlukan).
Kontraindikasi adalah situasi dimana aplikasi obat atau terapi tertentu tidak dianjurkan,
karena dapat meningkatkan resiko terhadap pasien. Misalnya, ketika seseorang memiliki
alergi terhadap penisillin, dia dianggap kontraindikasi untuk pemberian penisillin, karena
akan memicu reaksi alergi. Kontra indikasi adalah salah satu dari fakta medis utama yang
dipertimbangkan ketika memulai rencana perawatan untuk pasien. Kontrainidkasi bisa
bersifat absolut atau relatif. Misalnya, paracetamol dikontra indiaksikan untuk pasien
yang memiliki gangguan fungsi hati, sehingga diusahakan agar pasien dengan penderita
fungsi hati tidak mengkonsumsi paracetamol ini.
Pemberian informasi ini sangat penting, hal ini untuk mencegah terjadinya hal yang
tidak diinginkan yang bisa terjadi pasien.
3. Dosis/Takaran
Dosis obat adalah jumlah atau takaran tertentu dari suatu obat yang memberikan
efek tertentu terhadap suatu penyakit atau gejala sakit.Jika dosis terlalu rendah (under
dose) maka efek terapi tidak tercapai. Sebaliknya jika berlebih (over dose) bisa
menimbulkan efek toksik/keracunan bahkan sampai kematian. Dosis setiap obat berbeda
beda, ha ini tergantung pada Dosis Maksimal masing-masing obat. Dosis Maksimal adalah
dosis yang relatif masih aman diberikan pada penderita. Dosis obat yang digunakan
biasanya juga akan masuk rentang Dosis Lazim yang ada. Misalnya, antibiotik amoksisilin
untuk pasien dibedakan berdasarkan berat badannya, sehingga kita juga harus aktif tanya
keadaan pasien, beserta berat badannya. Hal ini untuk menghitung kesesuaian antara
dosis oyang diberikan pasien oleh dokter pada pasien tersebut. Dosis obat ini juga bisa
kita jumpai pada brosur obat mauapun kemasan yang ada pada obat tersebut.
4. Efek Samping Obat
Efek samping obat (ESO) adalah efek merugikan yang timbul dari pemakaian obat
pada dosis yang diperbolehkan atau lazim dipergunakan (dosis diantara dosis minimum
efektif dan dosis maksimum efektif), efek samping obat ini juga sering disebut dengan
istilah Adverse Drug Reactions (ADRs) atau side effects.
Jenis (tipe) efek samping obat ini ada 3, telah dibahas pada artikel sebelumnya,
yaitu Efek samping tipe A dan efek samping tipe B dan tipe C. efek samping tipe A
dipengaruhi seberapa banyak takaran dosis dan biasanya efek ini bisa diprediksi sejak
awal contohnya mual, muntah, pusing dan sebagainya, sedangkan tipe B adalah efek
samping yang tidak bisa diprediksi dan tidak tergantung dosis, contohnya
hipersensitifitas, alergi, syok anafilaktik, dll. sedangkan tipe C efek sampingnya sulit
dideteksi dan tidak diketahui penyebabnya, biasanya terjadi pada pemakaian obat jangka
panjang.
Faktor pendorong terjadinya Efek Samping Obat antara lain,
a. Terapi Obat Berganda
b. Usia
c. Jenis Kelamin
d. Penyakit
e. Perbedaan etnik
f. Faktor Farmasi
Setiap pasien memiliki reaksi tubuh yang berbeda terhadap efek samping yang
ditimbulkan dari obat yang diminumnya. Ada pasien yang tidak mengalami efek samping
suatu obat, tapi ad apula pasien yang peka terhadap suatu obat, sehingga dia terkena dari
efek samping obat yang diminumya. Misalnya, captopril dalam pemakaian jangka panjang
dapat menyebabkan batuk. Hal ini bisa diketahui dari hasil monitoring berkelanjutan
terhadap pasien yang bersangkutan. Apabila untuk waktu yang akan datang, dalam masa
terapi obat tersebut pasien mengeluhkan efek samping yang ditimbulkan dari pemakaian
obat tersebut, maka sebaiknya disarankan pada si pasien agar menghentikan penggunaan
obat tersebut dan berkonsultasi pada dokter untuk penggantian obatnya.
5. Interaksi Obat
Interaksi obat juga merupakan salah satu penyebab efek samping. Hal ini terjadi
ketika tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat) lalai dalam memeriksa obat yang
dikonsumsi oleh pasien, sehingga terjadi efek-efek tertentu yang tidak diharapkan di
dalam tubuh pasien. Bertambah parahnya penyakit pasien yang dapat berujung kematian
merupakan kondisi yang banyak terjadi di seluruh dunia akibat interaksi obat ini.
Interaksi ini dapat terjadi antar obat atau antara obat dengan makanan/minuman.
Bahkan tanaman yang digunakan dalam pengobatan alternatif yang disangka aman oleh
sebagian besar masyarakat juga dapat berinteraksi dengan obat lainnya. Contohnya
adalah tanaman St. John's wort (Hypericum perforatum), yang digunakan untuk
pengobatan depresi sedang. Tanaman ini menyebabkan peningkatan enzim sitokrom
P450 yang berperan dalam metabolisme dan eliminasi banyak obat-obatan di tubuh,
sehingga pasien yang mengkonsumsi St John's wort akan mengalami pengurangan kadar
obat lain dalam darah yang digunakan bersamaan.
6. Cara Penggunaan
Penggunaan obat satu dengan yang lain berbeda-beda. Hal ini tergantung pada
bentuk sediaan obat tersebut serta tujuan terapinya. Oleh karena itu, sebagai petugas
farmasi juga harus memberikan informasi yang jelas tentang cara pakai obat tersebut.
Berdasarkan Cara Pemberiannya obat dibedakan menjadi :
a) Oral, obat yang diberikan atau dimasukkan melalui mulut, Contoh: serbuk,
kapsul, tablet sirup.
b) Parektal, obat yang diberikan atau dimasukkan melalui rectal. Contoh
supositoria, laksatif.
c) Sublingual, dari bawah lidah, kemudian melalui selaput lendirdan masuk ke
pembuluh darah, efeknya lebih cepat. Untuk penderita tekanan darah tinggi,
Contoh: tablet hisap, hormone.
d) Parenteral, obat suntik melaui kulit masuk ke darah. Ada yang diberikan secara
intravena, subkutan, intramuscular, intrakardial.
e) Langsung ke organ, contoh intrakardial.
f) Melalui selaput perut, intraperitoneal (Anief, 1994).
Dengan diberikannya edukasi tentang cara pakai obat ini, diharapakan pasien
tidak bingung terhadap cara pakai obat, sehingga tujuan terapi dari obat
tersebut dapat tercapai.
7. Penyimpanan Obat
Cara penyimpanan obat juga harus disampaikan pada pasien. Hal ini sangat penting,
mengingat kestabilan obat tergantung pada cara dan suhu penyimpanan, menurut
Farmakope Indonesia Edisi IV, suhu untuk penyimpanan dibagi menjadi :
Dingin adalah suhu tidak lebih dari 8o
Lemari pendingin memiliki suhu antara 2o dan 8o sedangkan lemari
pembeku mempunyai suhu antara - 20o dan -10o
Sejuk adalah suhu antara 8o dan 15o.
Kecuali dinyatakan lain harus disimpan pada suhu sejuk dapat disimpan di
dalam lemari pendingin
Suhu kamar adalah suhu pada ruang kerja.
Suhu kamar terkendali adalah suhu yang diatur antara 15 o dan 30o
Hangat adalah suhu antara 30o dan 40 o
Panas berlebih adalah suhu di atas 40o
Misalnya, obat dalam sediaan kapsul harus disimpan di tempat yang sejuk
dan terhindar dari sinar matahari langsung. Hal ini dilakukan agar kapsul
tetap dalam kondisi baik serta tidak kering dan rapuh, Contoh lainnya
adalah, obat sediaan suppositoria disimpan di dalam kulkas tapi bukan pada
freezer nya melainkan di dalam kulkas atau di pintu kulkas.
Sumber Referensi

http://ilmu-kefarmasian.blogspot.com/2013/06/efek-samping-obat.html
http://hafikoandresni005.blogspot.com/2013/05/makalah-obat-
obatan.html
Ansel, Howard C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas
Indonesia Press, Jakarta

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai