Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

STANDAR PELAYANAN FARMASI KLINIK DI RUMAH SAKIT


RSUD dr SOEROTO NGAWI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kenaikan Pangkat Apoteker


Ahli Madya
Apt LIA PRAMUDHA WARDHANI, M.Farm

198512222011012017

RSUD dr SOEROTO NGAWI

2021
A. Definisi Pharmacetical Care
Pharmaceutical Care adalah Patient Centered Practice yang mana
merupakan praktisi yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan terapi obat
pasien dan memegang tanggung jawab terhadap komintmen (Cipole dkk,
1998). Menurut American Society of Hospital Pharmacist (1993), Asuhan
Kefarmasian (Pharmaceutical Care) merupakan tanggung jawab langsung
apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien
dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas
hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi
juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan
untuk tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis,
rute, dan metode pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi
dan konseling pada pasien. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang
melibatkan tanggung jawab farmasis yang menuju
keberhasilan outcome tertentu sehingga pasien membaik dan kualitas
hidupnya meningkat (Heppler and Strand, 1990).
Outcome yang dimaksud adalah (Heppler and Strand, 1990):
1. Merawat Penyakit;
2. Menghilangkan atau menurunkan gejala;
3. Menghambat atau memeperlama proses penyakit;
4. Mencegah penyakit atau gejala.
B. Ruang Lingkup Pharmaceutical Care
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome
terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat,
untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup
pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan
meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan Resep;
2. Penelusuran riwayat penggunaan Obat;
3. Rekonsiliasi Obat;
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
5. Konseling;
6. Visite;
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10. Dispensing sediaan steril; dan
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

Dalam menjalankan pekerjaannya seorang apoteker dituntut untuk


memenuhi tangung jawabnya sebagai apoteker. Tanggung jawab seorang
apoteker meliputi berbagai aspek salah satunya dalam ruang
lingkup pharmaceutical care. Tanggung jawab apoteker dalam ruang
lingkup pharmaceutical care adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan kebutuhan terapi obat pasien sepanjang waktu, yang


artinya
a. Semua kebutuhan terapi obat pasien digunakan sewajarnya dalam
segala kondisi;
b. Terapi obat oleh pasien adalah yang paling efektif;
c. Terapi obat yang diterima oleh pasien adalah yang paling aman;
d. Pasien sanggup dan mau untuk menjalankan medikasi.
2. Tanggung jawab apoteker termasuk dalam menjalankan identifikasi,
resolusi dan pencegahan kesalahan terapi obat (drug therapy
problems).
3. Menjamin bahwa tujuan terapi dapat digunakan baik untuk pasien.
Praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk memantau
kondisi pasien untuk memastikan bahwa pengobatan mencapai hasil
yagn diinginkan.
4. Tanggung jawab ini dipenuhi oleh merawat setiap pasien sebagai
individu dengan cara yang menguntungkan pasien, bahaya
meminimalkan, dan jujur, adil, dan etis.
5. Praktisi pharmaceutical care memenuhi tanggung jawab klinis
dengan cara menemukan standar profesionla dan ethical behavior
prescribed dalam filsafat dari Praktik pharmaceutical care.
6. Standar dalam sikap profesional termasuk menyediakan asuhan
kefarmasian dalam specified standard of care, membuat keputusan
secara etis, menunjukan collegiality, kolaborasi, memelihara
kompetensi, menerapkan temuan penelitian mana yang tepat, dan
menjadi sensitif terhadap sumber daya yang terbatas.
7. Ini adalah tanggung jawab perawatan praktisi farmasi untuk menahan
rekan jawab untuk menerapkan standar yang sama kinerja profesional.
Keberhasilan praktek akan tergantung pada hal itu.
8. Melakukan yang terbaik untuk pasien. Dalam segala kasus, tidak
membuat kesalahan. Mengatakan yang sebenarnya pada pasien. Be
fair. Setia. Mengakui bahwa pasien lah yang menentukan keputusan.
Selalu menjaga privasi pasien.
C. Identifikasi Drug Related Problems
DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait
terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh
pada outcome yang diinginkan pasien.
Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori
besar:
1. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi
pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.
2. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak
mempunyai indikasi medis yang valid.
3. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obat yang tidak
aman, tidak paling efektif, dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.
4. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benartetapi
dosis obattersebut kurang.
5. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi
dosis obat tersebut lebih.
6. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan.
7. Pasien mempunyai kondisi medis akibatinteraksi obat-obat, obat-
makanan, obat-hasil laboratorium.
8. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang
diresepkan.
Klasifikasi DRP:
1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi
untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi
tersebut.
1) Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien
menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih
buruk daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan.
Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk
mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk
menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif
atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya
dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya iritasi lambung.
2) Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang
tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi
agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang
tepat. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien
berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang
dikeluarkan diluar yang seharusnya.Misalnya, pasien yang menderita
batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah
padahal dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.
2. Efektivitas
1) Pasien menerima regimen terapi yang salah
a. Terapi multi obat (polifarmasi)
Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien
dan penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-
rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian
lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan
dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang
diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang
tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek
yang berisi :
a) Amoksisillin
b) Parasetamol
c) Gliseril Guaiakolat
d) Deksametason
e) CTM
f) Luminal
Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa
menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter
sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal
sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang
salah.
b. Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk
memelihara konsentrasi darah dan jaringan.Namun, beberapa obat yang
dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila
dikonsumsi sekali dalam sehari.Contohnya: frekwensi pemberian
amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari. cara pemberian
yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum
makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.
3. Keamanan
1) Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan
dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan
resiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang
menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi
antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan
durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin
dengan
kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik
yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar
fenitoin dalam darah meningkat.
2) Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug
reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan
karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang
tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya
interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian
obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
a. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang
berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti
diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok
jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan
oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan.
Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
b. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi.
Reaksi alergi mencakup tipe berikut :
 Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera
(hipersensitivitas)
 Tipe II, sitotoksik
 Tipe III, serum
 Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
c. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik,
nefropati.
d. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan
karsinogenesis.
e. Reaksi Tipe E
f. Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena
ketidakcukupan adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan
nasehat medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
1) Persepsi tentang kesehatan
2) Pengalaman mengobati sendiri
3) Pengalaman dengan terapi sebelumnya
4) Lingkungan (teman, keluarga)
5) Adanya efek samping obat
6) Keadaan ekonomi
7) Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).

Masalah Terapi Obat:


DRPs Kemungkinan kasus pada DRPs
Butuh terapi obat tamba  Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obatnya
han yang terbaru
 Pasien dengan kronik membutuhkan lanjutan terapi obat
 Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombi
nasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergi satau
potensiasi
 Pasien dengan resiko pengembangan kondisi
kesehatan baru dapat dicegah dengan penggunaan obat
profilaksis
Terapi obat yang tidak  Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi
perlu  Pasien yang mengalami toksisitas karena obat atau hasil
pengobatan
 Pengobatan pada pasien pengkonsumsiobat,alkohol dan
rokok
 Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik di obati
tanpa terapi obat
 Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana
hanya sigle drug therapy dapat di gunakan
 Pasien dengan terapi obat untuk penyembuhan dapat menghi
ndari reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya
Obat tidak tepat  Pasien di mana obatnya tidak efektif
 Pasien alergi
 Pasien penerima obat yang tidak paling
efektif untuk indikasi pengobatan
 Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi
penggunaan obat
 Pasien menerima obat yang efektif tetapi
ada obat lain yanglebih murah
 Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman
 Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat
yang diberikan
Dosis terlalu rendah  Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang
digunakan
 Pasien menerima kombinasi produk yag tidak perlu dim
ana single drug dapat memberikanpengobatan yang tepat
 Pasien alergi
 Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan
respon
 Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah
range terapeutikyang diharapkan
 Waktu prophylaksis (preoperasi) antibiotik diberikan terl
alucepat
 Dosis dan fleksibilitas tidakcukup untuk pasien
 Terapi obat berubah sebelum terapetik percobaan
cukup untuk pasien
 Pemberian obat terlalu cepat
Reaksi obat merugikan  Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat
digunakan
 Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi deng
an obat lainatau makanan pasien
 Efek dari obat dapat diubah oleh substansimakanan pasien
 Efek dari obat di ubah enzym inhibitor atau induktor dari
obat lain
 Efek dari obat diubah dengan pemindahan obatdari
bindingsi te oleh obat lain
 Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain

Dosis telalu tinggi  Dosis terlalu tinggi


 Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas range terapi
obat yang diharapkan
 Dosis obat meningkat terlalu cepat
 Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat.
 Dosis dan interval flexibility tidak tepat
Ketidakpatuhan pasien  Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat
(penulisan, obat, pemberian, pemakaian)
 Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang
diberikan untuk pengobatan
 Pasien tidak mengambil obat yang
diresepkankarena harganya mahal
 Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan
karena kurang mengerti
 Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan
secara konsisten karena merasa sudahsehat

D. Rasionalitas Penggunaan Obat


Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang
sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu,
serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya.
Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di atas adalah pola
pengobatan tidak rasional.
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat
akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat
yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
2. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,
misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian
obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi
bakteri.

3. Tepat Pemilihan Obat


Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap
efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya
kadar terapi yang diharapkan.
5. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping
sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak
boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan
kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
6. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini
lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan
aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian
aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya
nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
7. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi Sebagai contoh :
- Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna
merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar
akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut
menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita
tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka
panjang.
- Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut
harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1
course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau
hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4
kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting,
agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat
membunuh bakteri penyebab penyakit.
8. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering
memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu
ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam
penatalaksanaan syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua
perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi
kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan.
9. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah
obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek
atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker
menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian
diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan
secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam
menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat
kepada pasien.
10. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan
minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut :
 Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
 Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
 Jenis sediaan obat terlalu beragam
 Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
 Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai
cara minum/menggunakan obat
 Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung),
atau efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa
diberikan penjelasan terlebih dahulu.

E. Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara
pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki
(ROTD),)dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi
obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur
pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat
diketahui.
Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami
masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta
respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah
terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam
praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek
yang tidak dikehendaki.
Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh
pasien. Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah
pasien, maka perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi
dapat dilakukan berdasarkan:
1. Kondisi pasien

a. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit

sehingga menerima polifarmasi.


b. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika. Pasien

dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.

c. Pasien geriatri dan pediatri


d. Pasien hamil dan menyusui
e. Pasien dengan perawatan intensif

2. Jenis obat
Pasien yang menerima obat dengan resiko tinggi seperti:

 obat dengan indeks terapi sempit (contoh:

digoksin,fenitoin),

 obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan

hepatotoksik (contoh: OAT),


 sitostatika (contoh: metotreksat),
 antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
 obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh:
metoklopramid, AINS),
 obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).

3. Penggumpulan data pasien


Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses
PTO. Data tersebut dapat diperoleh dari:
 Rekam medik: Rekam medik merupakan kumpulan data
medik seorang pasien mengenai pemeriksaan, pengobatan
dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat
diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi
pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat
keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium,
diagnostik, diagnosis dan terapi.
 Profil pengobatan pasien di rumah sakit : diperoleh dari
catatan pemberian obat oleh perawat dan kartu/formulir
penggunaan obat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut
mencakup data penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika
perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh: insulin).

4. Identifikasi masalah terkait


Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk
identifikasi adanya masalah terkait obat. Masalah terkait obat
menurut Hepler dan Strand dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Ada indikasi tetapi tidak di terapi: Pasien yang diagnosisnya
telah ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi tidak
diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua

keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan obat.

- Pemberian obat tanpa indikasi: Pasien mendapatkan obat yang

tidak diperlukan.

- Pemilihan obat yang tidak tepat: Pasien mendapatkan obat


yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan
merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective,
kontra indikasi. Dosis terlalutinggi, Dosis terlalu rendah,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD), Interaksi obat,
Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab.
- Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain:
masalah ekonomi, obat tidak tersedia, ketidakpatuhan pasien,
kelalaian petugas.
- Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan
kondisi pasien, dan menentukan masalah tersebut sudah terjadi
atau berpotensi akan terjadi. Masalah yang perlu penyelesaian
segera harus diprioritaskan.
5. Rekomendasi terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas
hidup pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)

b. Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien


(contoh: nyeri)
c. Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan
fungsi ginjal)
d. Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi
antara lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut
atau kronis).Pilihan terapi dari berbagai alternatif yang ada
ditetapkan berdasarkan: efikasi, keamanan, biaya, regimen yang
mudah dipatuhi.
6. Rencana pemantauan
tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek
yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana
pemantauan perlu menetapkan langkah-langkah:

a. Menetapkan parameter farmakoterapi


Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih
parameter pemantauan, antara lain:
a) Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari

allopurinol, aminoglikosida). Obat dengan

indeks terapi sempit yang harus diukur kadarnya


dalam darah (contoh: digoksin)

b) Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen

c) Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan

fungsi ginjal pada pasien geriatri mencapai

40%)
b. Efisiensi pemeriksaan laboratorium
a) Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan
kadar kalium dalam darah untuk penggunaan

furosemide dan digoxin secara bersamaan)

b) Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang


tersedia)

c) Biaya pemantauan.

c. Menetapkan sasaran terapi (end point) Penetapan sasaran

akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang

disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan


sasaran terapi yang diinginkan, apoteker harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a) Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit
yang bersamaan diderita pasien (contoh:
perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit
Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan asma).

b) Karakteristik obat Bentuk sediaan, rute

pemberian, dan cara pemberian akan


mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan
(contoh: perbedaan penurunan kadar gula darah
pada pemberian insulin dan anti diabetes oral)

d. Menetapkan frekuensi pemantauan Frekuensi

pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit


dan risiko yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai
contoh pasien yang menerima obat kanker harus dipantau
lebih sering dan berkala dibanding pasien yang menerima
aspirin. Pasien dengan kondisi relatif stabil tidak
memerlukan pemantauan yang sering.
7. Tindak lanjut

F. Monitoring Efek Samping Obat


Efek Samping Obat/ESO (Adverse Drug Reactions/ADR) adalah
respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan dan yang
terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan,
diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik..
Melakukan monitoring efek samping obat yaitu memantau baik secara
langsung maupun tidak langsung terjadinya efek samping obat,
meminimalkan efek samping yang timbul dan menghentikan atau penggantian
obat jika efek samping memperparah kondisi pasien. Pasien juga berhak
melaporkan terjadinya efek samping obat kepada farmasis di apotek atau
rumah sakit agar dilakukan upaya-upaya pencegahan, mengurangi atau
menghilangkan efek samping tersebut. Pemantauan dimaksudkan untuk
memastikan terapi obat yang tepat.

 Tujuan MESO :
a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang;

b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan;

c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi


angka kejadian dan hebatnya ESO;

d. Meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki; dan

e. Mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.

 Form pelaporan MESO :

a. Kode sumber data : Diisi oleh Badan POM

b. Informasi tentang penderita

- Nama (singkatan) : Diisi inisial atau singkatan nama pasien, untuk menjaga
kerahasiaan Identitas pasien
- Umur : Diisi angka dari tahun sesuai umur pasien. Untuk pasien bayi dibawah
1 (satu) tahun, iisi angka dari minggu (MGG) atau bulan (BL) sesuai umur
bayi, dengan diikuti penulisan Huruf MGG atau BL,misal 7 BL.

– Suku : Diisi informasi nama Suku dari pasien, misal suku Jawa, Batak, dan
sebagainya.

– Berat Badan : Diisi angka dari berat badan pasien, dinyatakan dalam
kilogram (kg).
– Pekerjaan : Diisi apabila jenis Pekerjaan pasien mengarah kepada
kemungkinan adanya hubungan antara jenis pekerjaan dengan gejala atau
manifestasi KTD atau ESO. Contoh: buruh pabrik kimia, pekerja bangunan,
pegawai kantor, dan lain-lain.

G. Kesimpulan

Pelayanan farmasi klinik yang telah diberlakukan menjadi standar pelayanan RS sudah
dilakukan degan segala keterbatasan.

Beberapa pelayanan farmasi klinik yang telah diberlakukan di Instalasi Farmasi RSUD dr
Soeroto Ngawi dalam rangka memenuhi standar pelayanan RS dimana keselamatan pasien
merupakan outcome utama yang menjadi focus pelaksanaannya antara lain,

- Pelayanan unit dose dispensing untuk pasien rawat inap

- Rekonsiliasi pasien baru, pasien transfer dan pasien pulang

- Rekonstitusi sediaan aseptis

- Konseling dan Pemberian Informasi Obat baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan.

- Pemantauan terapi obat

- Monitoring dan pelaporan efek samping obat


CONTOH FORM PELAPORAN MESO :
Daftar Pustaka

Amstrong dkk, 2005, The contribution of community pharmacy to improving the public’s
helath, Report 3 : An overview of evidence-base from 1990-2002 and
recommendations for action.

Anonim. 1990. The Role of the Pharmacist in Health Care System.

Cipolle dkk, 1998, Pharmaceutical Care Practice : The Clinician’s Guide, 2nd Edition.

Hepler and Stranf, 1990, Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care.

World Health Organitation, 2006, Developing pharmacy practice A focus on patient care
HANDBOOK-2006 EDITION. World Health Organitation.

http://ikafarmasipoltekesmks.blogspot.com/2009/03/perlindungan-pasien-melalui-
pelayanan.html,

http://kedaiobatcocc.wordpress.com/2010/05/13/pengertian-dan-tanggung-jawab-apoteker-
pengelelola-apotek-apa/,

Suyatno. 2010. Poin-poin Penting Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009.


http://suyatno.blog.undip.ac.id/2010/02/26/poin-poin-penting-undang-undang-
kesehatan-no-36-th-2009

Journal Perkembangan Dan Penerapan PharmaceuticalCare


http://andisuryaamal.multiply.com/journal/item/9?&show_interstitial=1&u=%2Fjour
nal%2Fitem

Anda mungkin juga menyukai