PENDAHULUAN
1
ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Selain masalah kepatuhan, pasien juga
dapat mengalami efek yang tidak diinginkan dari penggunaan obat. Dengan
diberikannya informasi obat kepada pasien maka masalah terkait obat seperti
penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi yang tidak terobati, dosis obat
terlalu tinggi, dosis subterapi, serta interaksi obat dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep
baru meliputi nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu
penggunaan, saran ketaatan dan pemantauan sendiri, efek samping dan efek
merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi, petunjuk
penyimpanan, informasi pengulangan resep dan rencana pemantauan lanjutan.
Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali dan
menekankan hal-hal terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.
BAB II
PEMBAHASAN
2
yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang
diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
3
(memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak
diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.
kontinyu.
Kasus yang mungkin terjadi: obat tidak efektif, alergi, adanya resiko
kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat yang
tidak perlu dan bukan yang paling aman.
Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka
waktu tidak tepat dan adanya interaksi obat.
4
Penyebabnya: pasien dengan factor resiko yang berbahaya bila obat
digunakan, efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien,
interaksi dengan obat lain, dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat
sehingga menyebabkan ADR dan mengalami efek yang tidak dikehendaki
yang tidak diprediksi.
g. Kepatuhan
Klasifikasi DRPs:
1. Indikasi
5
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
2. Efektivitas
a. Amoksisillin
b. Parasetamol
c. Gliseril Guaiakolat
d. Deksametason
e. CTM
f. Luminal
6
kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti
deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk
mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.
Frekuensi pemberian
7
ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat
yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih
sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh
terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang
tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke
dalam tubuh pasien.
3. Keamanan
8
farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol
sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
1. Reaksi tipe A
2. Reaksi tipe B
9
b. Tipe II, sitotoksik
4. Reaksi Tipe D
5. Reaksi Tipe E
4. Kepatuhan
10
Ketidakpatuhan seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan
hanya pasienlah yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi
akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan
semata-mata hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang telah
ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :
c. Usia lanjut
d. Lamanya terapi
e. Hilangnya gejala
11
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa
bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda.
Misalnya, ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama
terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal
ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga
pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama
terapi antibiotik.
12
Biasanya pasien menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi
dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi
tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena
itu diperlukan edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya,
manfaat serta keterbatasan terapi obat.
5. Pemilihan Obat
6. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat
lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat
bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang
dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan
efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang
diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
13
1. Obat-Makanan
2. Obat-Uji Laboratorium
3. Obat-Penyakit
4. Obat-Obat
14
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua
obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker
perlu mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu
interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai
kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi
antar obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat
dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
15
2.3 Komponen Primer Dari Drug Related Problems
b. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.
a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks,
etnis, ras, sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi
ginjal, hati dan jantung, status nutrisi, serta harapan pasien.
16
b. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada
saat ini dan masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug
reaction, rute dan cara pemberian obat, dan persepsi mengenai
pengobatannya.
17
1. Modul 1 : Pharmacists Patient Data Base
Tujuan pengisian Pharmacists Patient Data Base adalah untuk
memperoleh data pasien yang obyektif maupun subyektif sehingga dapat
digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan terapi.
18
klinik yang dipantau untuk mencapai tujuan terapi, frekuensi pemantauan
kepada pasien dan waktu pemantauan.
2.3.1 Kasus
CONTOH ANALISA KASUS DRPs
Resep
23-5-2014
R/ Metformin 500 XLV
S 3 dd 1
R/ Glibenklamide 5 XV
S 1 dd 1
19
R/ Captopril 50 XLV
S 3 dd 1
R/ furosemid X
S -0-0
R/ BC XLV
S 3 dd 1
R/ Amlodipin 5 XV
S 1 dd 1
R/ Na-diklofenak 50 XXX
S 0-0-1
R/ Simvastatin 10 XV
S 0-0-1
ANALISA
a. Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi,
hiperkolesterolemia, ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
b. Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
Metformin, antidiabetes golongan biguanid
Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonylurea
Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin
(ACEI
Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic
BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin
20
Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain
berupa hipertensi diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2.
Dosis kombinasi kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana
dosis maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000
mg/hari untuk metformin.
Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi,
yaitu captopril (ACE inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin
(Pemblok kanal kalsium). Kombinasi tersebut diperbolehkan. Dosis furosemid
merupakan dosis terendah yaitu 20 mg, dengan waktu pemberian yang tepat
yaitu pada pagi hari. Sedangkan dosis captopril merupakan dosis maksimum
yaitu 150 mg/hari, dalam dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan
adalah dosis menengah, yaitu 5 mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu
diperhatikan pasien telah cukup lanjut usianya (66 tahun), captopril diberikan
pada dosis maksimum dikombinasi dengan furosemid, dan amlodipin, akan
berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan pemberian furosemid, pasien
akan mengalami diuresis, yang berarti volume darah menurun dan menurun
pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang
terlibat dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS),
sehingga resiko hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang
telah lanjut usia, ditambah dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah
harus senantiasa dipantau.
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam
dosis rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa
udema perifer. Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer,
dengan pemberian furosemid, maka aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak
terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis. Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS)
nonselektif. Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari
sebesar 50 mg.
21
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi
terjadinya ulkus peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah
menyatakan bahwa pasien mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk
yang disebabkan diklofenak pada saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun
pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu dipertimbangkan, mengingat pasien
telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia.
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat
terapi AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak
mendapat obat untuk indikasi ini. Tak ada obat yang diberikan untuk
mengobati sindrom dispepsianya.
Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi
hiperlipidemia. Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan.
Pemberian vitamin B kompleks, yang mengandung asam nikotinat, akan
membentu menghambat pembentukan kolesterol dan trigliserida, sehingga
akan membantu menekan kadar lipid dalam darah.
22
yang tidak menyenangkan pada saluran cerna, berupa iritasi lambung
(natrium-diklofenak), mual, muntah, diare (metformin dan glibenklamid).
Ranitidine dan antiemetic seperti domperidon atau metoklopramid
mungkin perlu diberikan.
Pasien juga harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non
farmakologis, berupa diet makanan rendah karbohidrat, lemak, dan
garam.
Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol
Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan
Blangko DRPs
23
24
25
26
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan
dan pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga
kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang
dikehendaki.
b. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.
28
Dalam mengidentifikasi dan memecahkan Drug Related
Problems(DRPs) baik aktual maupun potensial menggunakan modul
1-5 yaitu:
Modul 1 : Pharmacists Patient Data Base
Modul 2: Drug Therapy Assesment Worksheet (DTAW)
Modul 3: Drug Therapy Problem List (DTPL)
Modul 4: Pharmacist Care Plan (PCP)
Modul 5: Pharmacist Care Plan Monitoring Worksheet (PCPMW)
3.2 Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis pada
khususnya. Apabila ada kesalahan dalam makalah ini, diharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk lebih baik lagi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
29
Cipolle , R.J at all. 1998. Pharmaceutical Care Practice. New York : McGraw-
Hill
30