Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi DRPs (Drug Related Problems)

DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara
nyata maupun potensialberpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat
disebut DRPs apabila terdapat dua kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami
pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnose penyakit, ketidak mampuan
(disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi; dan (b)
adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).

Society Consultant American Pharmacist menyebutkan bahwa tujuan dari terapi obat adalah
perbaikan kualitas hidup pasien melalui pengobatan atau pencegahan penyakit, mengurangi
timbulnya gejala, atau memperlambat proses penyakit. Kebutuhan pasien berkaitan dengan terapi
obat atau drug related needs meliputi ketepatan indikasi, keefektifan, keamanan terapi, kepatuhan
pasien, dan indikasi yang belum tertangani. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau
outcome pasien tidak tercapai maka hal ini dapat dikategorikan sebagai DRP (Cipolle et al., 1998).

Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dan pengalaman pasien
akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan
penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle et al, 1998).

DRP aktual adalah DRP yang sudah terjadi sehingga harus diatasi dan dipecahkan.Dalam hal ini
pasien sudah mengalami DRP misalnya dosis terlalu besar sehingga dosis harus disesuaikan dengan
kondisi pasien. DRP potensial adalah DRP yang kemungkinan besar dapat terjadi dan akan dialami
oleh pasien apabila tidak dilakukan pencegahan, misalnya pasien apabila diberikan suatu obat akan
mengalami kontraindikasi sehingga harus diganti dengan obat lain (Rovers et al, 2003).

2.2 Komponen-Komponen DPRs

Ada dua komponen penting dalam DRPs yaitu:

1. Kejadian atau resiko yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien. Kejadian ini dapat
diakibatkan oleh kondisi ekonomi, psikologi, fisiologis, atau sosiokultural pasien.

2. Ada hubungan atau diduga ada hubungan antara kejadian yang tidak diharapkan yang dialami
oleh pasien dengan terapi obat. Hubungan ini meliputi konsekwensi dari terapi obat sehingga
penyebab/diduga sebagai penyebab kejadian tersebut,atau dibutuhkannya terapi obat untuk
mencegah kejadian tersebut.

Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah:

1. Membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya

Membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau premedikasi, memiliki penyakit kronik
yang memerlukan pengobatan kontinyu.
2. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai

Menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non
obat,minum beberapa obat padahal hanya satu terapiobat yang diindikasikan dan atau minum obat
untuk mengobati efeksamping.

3. Menerima obat salah

Kasus yang mungkin terjadi: obat tidak efektif, alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap
obat yang diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan bukan yang paling aman.

4. Dosis terlalu rendah

Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang diinginkan, jangka
waktu terapi yang terlalu pendek,pemilihan obat, dosis, rute pemberian, dan sediaan obat tidak
tepat.

5. Dosis terlalu tinggi

Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka waktu tidak tepat dan adanya
interaksi obat.

6. Pasien mengalami ADR

Penyebabnya: pasien dengan factor resiko yang berbahaya bila obatdigunakan, efek dari obat dapat
diubah oleh substansi makanan pasien,interaksi dengan obat lain, dosis dinaikkan atau diturunkan
terlalu cepatsehingga menyebabkan ADR dan mengalami efek yang tidak dikehendakiyang tidak
diprediksi.

7. Kepatuhan

Penyebab: pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat, pasien tidak menuruti
rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan, pasien tidak mengambil obat yang diresepkan
karena harganya mahal, pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten
karena merasa sudah sehat (Cipolle et al, 1998).

2.3 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori :

1. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis, ras, sejarah sosial,
status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan jantung, status nutrisi, serta harapan
pasien.

2. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini dan masa lalu,
alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara pemberian obat, dan persepsi
mengenai pengobatannya.
3. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan, prognosa,
kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.

Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang yang merawat pasien,
keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis, data laboratorium, dokter, perawat dan
profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).

Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems sebaiknya diprioritaskan pada
pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta pasien yang mendapatkan obat dengan
indeks terapi sempit(Yunita et al., 2004).

Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah dan memecahkan Drug
Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak selalu mudah dicapai.Faktor kepatuhan pasien
ikut bertanggung jawab atas kesembuhannya.Sebab itu farmasis juga harus dapat melakukan
konseling, edukasi dan informasi kepada pasien (Cipolle et al., 1998).

Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta
berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien.Pharmaceutical Care Network Europe
mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat
yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical
Care Network Europe., 2006).

2.4 Klasifikasi DRPs

Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori besar:

1. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obattetapi pasien


tidak mendapatkan obatuntuk indikasi tersebut.

2. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang
valid.

3. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obatyang tidak aman, tidak palingefektif,
dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.

4. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benartetapi dosis obattersebut
kurang.

5. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benartetapi dosis obat tersebut
lebih.

6. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan.

7. Pasien mempunyai kondisi medis akibatinteraksi obat-obat, obat-makanan, obat-


hasillaboratorium.

8. Pasien mempunyai kondisi medis tetapitidakmendapatkan obat yang diresepkan.

Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01) mengelompokkan masalah
terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006) :
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)

Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas.

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat yang salah
(atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain:
obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat
yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.

3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih kecil dar
ipada yang dibutuhkannya.

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak menggunakan obat sama


sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.

5. Interaksi obat (Interaction)

Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau
potensial.

6. Masalah lainnya (Others)

Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang kurang mengenai
kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan
terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium.

Klasifikasi DRP:

1. Indikasi

Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk penggunaan obat),
tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.

1) Pasien memerlukan obat tambahan

Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita penyakit
sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga
memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk
mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek
terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat
AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya iritasi lambung.

2) Pasien menerima obat yang tidak diperlukan

Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar, polifarmasi
dan duplikasi.Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak
memiliki indikasi yang tepat.DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien
berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang
seharusnya.Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-
antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.

2. Efektivitas

1) Pasien menerima regimen terapi yang salah

a. Terapi multi obat (polifarmasi)

Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat berlebihan
oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter
atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu
jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek
yang berisi :

a) Amoksisillin

b) Parasetamol

c) Gliseril Guaiakolat

d) Deksametason

e) CTM

f) Luminal

Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa menkonfirmasikan atau
mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti
deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi
yang salah.

b. Frekuensi pemberian

Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara konsentrasi darah
dan jaringan.Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar
manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.Contohnya: frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali
sehari yang seharusnya 3 kali sehari.
cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum makan, yang
seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi lambung.

a) Durasi dari terapi

Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurum pengobatan,
meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga
harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar
kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab
penyakit.

b) Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah

Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya.Hal ini dapat menjadi
masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan
dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam
jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan
durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang
seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara
pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien.

Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara lain obat
diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa
mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan kondisi penyakit pasien
sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih
menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan sisi
efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah,
antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang
diresepkan, dan pasien tidak paham cara menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian
antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA Pneumonia.

3. Keamanan

1) Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi

Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal ini tentu
berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal
yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah
kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya,
penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan interaksi
farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam
darah meningkat.

2) Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak sesuai
dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun
durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-
obat tertentu.

ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi
pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.

Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

1) Reaksi tipe A

Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan atau perluasan
yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol
mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh
suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi pada
setiap orang.

2) Reaksi tipe B

Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi mencakup tipe
berikut :

Ø Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera (hipersensitivitas)

Ø Tipe II, sitotoksik

Ø Tipe III, serum

Ø Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan Steven Johnson syndrome.

3) Reaksi Tipe C (berkelanjutan)

Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.

4) Reaksi Tipe D

Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.

5) Reaksi Tipe E

Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena ketidakcukupan


adrenokortikal.

4. Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau
kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
1) Persepsi tentang kesehatan

2) Pengalaman mengobati sendiri

3) Pengalaman dengan terapi sebelumnya

4) Lingkungan (teman, keluarga)

5) Adanya efek samping obat

6) Keadaan ekonomi

7) Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).

Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama pengobatan
dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas.Ketidakpatuhan seolah-olah diartikan akibat kelalaian
dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat
ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien
dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :

a. Obat tidak tersedia

Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan pasien enggan
untuk menebus obat keapotek lain.

b. Regimen yang kompleks

Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat sirup, tablet,
tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien enggan minum obat.

c. Usia lanjut

Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan beberapa kali dalam
sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-
obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan.Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami
hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.

d. Lamanya terapi

Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis, hipertensi dapat
mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam penggunaan obat tersebut
yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.

e. Hilangnya gejala

Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih
lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien tidak menghabiskan
obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini
meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk
menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Takut akan efek samping

Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri lambung atau
timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat rimpafisin dapat
menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.

g. Rasa obat yang tidak enak

Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh anak-anak,
misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan penawar rasa dan zat warna
dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.

h. Tidak mampu membeli obat

Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien akan lebih enggan
mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.

i. Pasien lupa dalam pengobatan.

j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk


penggunaan obat.

Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah
terapi yang diakibatkan oleh obat.Biasanya pasien menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan
kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat.Jika terapi tidak memenuhi
harapan, mereka cenderung tidak patuh.Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien tentang
kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.

Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang pentingnya pengobatan
pada keadaan penyakit pasien.Selain itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan
apoteker sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.

5. Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar.Obat
yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang tersedia.Banyak reaksi
merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang
baik.Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama
dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan
demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

6. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena
interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek
toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi
sebagai berikut:
1) Obat-Makanan

Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat. Ada 2
jenis yang mungkin terjadi:

a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat antibiotik tidak
boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi
dan menurunkan efektifitas.

b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi meningkatkan kecepatan
metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat diberikan pada saat lambung kosong.
Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan
gizi.

2) Obat-Uji Laboratorium

Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji diagnostik.Interaksi ini
dapat terjadi melalui gangguan kimia.Misalnya, laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin
untuk urobilinogen atau oleh perubahan zat yang diukur.Apabila mengevaluasi status kesehatan
pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.

3) Obat-Penyakit

Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau.Apoteker harus mengevaluasi
pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien.Dalam pustaka medik, interaksi
obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif.Misalnya, penggunaan
kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat
menyebabkan nefrotoksik.

4) Obat-Obat

Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari.Semua obat termasuk obat non
resep harus dikaji untuk interaksi obat.Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-obat yang secara
klinik signifikan.Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan
menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien.Interaksi antar obat dapat berakibat merugikan
atau menguntungkan.Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit.

Adapun kasus masing-masing kategori DRPs yang mungkin terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1Jenis-jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi

DRPs Kemungkinan kasus pada DRPs


Butuh terapi obat 1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obatnya yang terbaru
tambahan
2. Pasien dengan kronik membutuhkan lanjutanterapi obat

3. Pasien dengan kondisi kesehatan yangmembutuhkan kombinasi


farmakoterapi untukmencapai efek sinergisataupotensiasi

4. Pasien dengan
resiko pengembangan kondisikesehatan baru dapat dicegah denganpenggunaano
batprofilaksis

Terapi obat yang ti 1. Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepatindikasi
dak perlu
2. Pasien yang mengalami toksisitas karena obat atau hasil pengobatan

3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsiobat,alkohol dan rokok

4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik di obati tanpa terapi obat

5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya sigle drug
therapy dapat di gunakan

6. Pasien dengan terapi obat untuk penyembuhandapat menghindari reaksi yan


g merugikan denganpengobatan lainnya

Obat tidak tepat 1. Pasien di mana obatnya tidak efektif

2. Pasien alergi

3. Pasien penerima obat yang tidak paling efektif untuk indikasi pengobatan

4. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi

penggunaan obat

e.Pasien menerima obat yang efektif tetapi ada obat lain yanglebihmurah

f. Pasienmenerima obat efektif tetapi tidak aman


g.Pasienyangterkenainfeksiresistenterhadapobatyangdiberikan

Dosis terlalu 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan
rendah
2. Pasien menerima kombinasi produk yag tidak perlu dimana single drug d
apat memberikanpengobatan yang tepat

3. Pasien alergi

4. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon

5. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah


range terapeutikyang diharapkan

6. Waktu prophylaksis (preoperasi) antibiotik diberikan terlalucepat

7. Dosisdan fleksibilitas tidakcukup untuk pasien

8. Terapi obat berubah sebelum terapetik percobaan cukupuntuk pasien

9. Pemberian obat terlalu cepat


Reaksi obat merug 1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bilaobat digunakan
ikan
2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lainatau
makanan pasien

3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansimakanan pasien

4. Efek dari obat di ubah enzym inhibitor atau induktor dari obat lain

5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obatdari bindingsite oleh obat lain

6. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain

Dosis telalu tinggi 1. Dosis terlalutiggi

2. Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas srangeterapi obat yang


diharapkan

3. Dosis obat meningkat terlalu cepat

4. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidaktepat.

5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat

Ketidakpatuhan pa 1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, obat,
sien pemberian, pemakaian)

2. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang


diberikan untuk pengobatan

3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkankarena harganya mahal

4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang meng
erti

Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan


secara konsisten karena merasa sudahsehat

(Cipolle, etal., 2004)

2.5 Studi Kasus DRP (Drug Related Problem)


Dalam ranah farmasi klinik-komunitas, apoteker pada hakikatnya memiliki tugas primer yaitu
mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai pengobatan yang rasional dan optimal.
Secara ringkas langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah sebagai berikut :

1. Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi

2. Menentukan penyebab terjadinya DRPs

3. Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs

4. Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan untuk evaluasi

2.6 Kasus

CONTOH ANALISA KASUS DRP

Kasus 1

Seorang pria 42 tahun dengan diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi dirujuk ke klinik untuk
assassment (penilaian)mixed hyperlipidemia yang ditemukan dalam pemeriksaan rutinnya. Hasil
pemeriksaan fisik yang dilakukan di klinik menunjukan hasil yang biasa. Pasien tidak
memiliki xanthomatous. Riwayat keluarga ada yang menderita diabetes melitus tipe 2. Pengobatan
saat ini ramipril, glyburide, dan hydroclorthiazide. Hasil analisis sampel darah (puasa) kolesterol total
356,34 mg/dL, total trigliserida 5927,4 mg/dL, HDL-c 23,4 mg/dL, TSH 0,94 mIU/L. Urea, kreatininm
elektrolit, bilirubin, AST, ALT normal. HbA1c 9,5%. Kemudian dokter meresepkan fenofibrate,
metformin, dan rosuvastatin termasuk ramipril, glyburide, dan hydroclorothiazide. Empat minggu
kemudian lipid profil pasien mengalami peningkatan. Hasil laboratorium menunjukkan kadar
kolesterol total 213,45 mg/dL, trigliserida 825,5 mg/dL, HDL-c 37,05 mg/dL. Dengan terus dilakukan
follow up, 3 bulan kemudian kolesterol total 145,9 mg/dL, trigliserida 330,4 mg/dL, HDL-c 27,84
mg/dL.

Penyelesaian

A. Subjek

Pria berusia 55 tahun

1. Past Medical History

ü Diabetes melitus tipe 2

ü Hipertensi

2. Medication History (Dosis tidak dicantumkan di dalam jurnal)

ü Ramipril
ü Glyburide

ü Hydrochlorothiazide

3. Physical Examination

ü Results of our physical examination were unremarkable

B. Objek

Data Laboratorium (Puasa)

Saat pertama Nilai uji Nilai normal

Kolestrol Total 536.34 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL

Trigliserida 5927.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL

HDL-c 23.4 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL

TSH 0.94 mIU/L 0.49 - 4.67 mIU/L

HbA1c 9.5% < 6,5%

Urea, kreatininm elektrolit,


bilirubin, AST, ALT normal

4 minggu kemudian

Kolestrol Total 213.45 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL

Trigliserida 825.5 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL

HDL-c 37.05 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL

3 minggu kemudian

Kolestrol Total 145.9 mg/dL, 146.94 - 201.08 mg/dL

Trigliserida 330.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL

HDL-c 27.84 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL

C. Assassment

Pasien mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi. Glyburide (dosis tidak
dicantumkan) digunakan untuk terapi diabetes pasien. Ramipril dan hydroclorothiazide (dosis tidak
dicantumkan) digunakan untuk terapi hipertensi pasien. Berdasarkan data diatas, kolesterol total
dan trigliserida pasien sangat tinggi sementara kadar HDL-c dibawah normal. Menurut NCEP
(National Cholestrol Education Program) kolesterol total normal < 200 mg/dL, trigliserida normal <
150 mg/dL, dan HDL-c 35-93 mg/dL. Hal ini mengindikasikan bahwa pasien menderita hiperlipidemia
(mixed hyperlipidemia). Diabetes melitus tipe 2 yang diderita pasien merupakan salah satu
penyebab terjadinya hiperlipidemia sekunder karena kondisi tersebut dapat menyebabkan
meningkatnya level VLDL dan menurunkan HDL (Rader & Hobbs, 2012). Menurut Koda-Kimble et
al (2005), pemakaian obat hipertensi golongan tiazid juga menyebabkan peningkatan kolestrol 5-7%
dan peningkatan trigliserida 30-50%. Sementara menurut Martin et al. 2009, pasien dengan kadar
trigliserida > 2001,77 mg/dL semuanya hampir memiliki hiperlipidemia sekunder dan primer. Dokter
meresepkan fenofibrate (dosis tidak dicantumkan) untuk mengatasi hiperlipidemia. Saat
pemeriksaan HbA1c pasien sebesar 9,5% maka dokter memberi metformin (dosis tidak
dicantumkan) tambahan obat untuk diabetes pasien. Rusovastatin (dosis tidak dicantumkan) untuk
terapi mixed hyperlipidemia.

D. Plan

Tujuan terapi yang ingin dicapai dalam pengobatan adalah penurunan kadar kolesterol total dan
trigliserida, meningkatkan kadar HDL-c, menormalkan kadar gula darah dan tekanan darah tinggi
serta mengurangi resiko pertama atu berulang dari infark miokardiak, angina, gagal jantung, stroke
iskemia, dan kejadian lain pada penyakit arterial (karotid stenosis atau aortik abdominal)

1. Terapi hiperlipidemia

ü Fenofibrate

Dosis inisial yang biasa digunakan dalam terapi mixed hyperlipidemia yaitu sebesar 300 mg per hari
dan dapat ditingkatkan menjadi 400 mg perhari. Dosis pemeliharan 200 mg per hari. Obat diminum
setelah makan.

ü Rusovastatin

Dosis inisial yang biasa digunakan yaitu 20 mg per hari. Range dosis 5 – 40 mg per hari dan tidak
lebih dari 40 mg perhari. Obat sebelum atau setelah makan.

2. Terapi hipertensi

ü Ramipril

Dosis pemeliharaan yaitu 2,5-5 mg per hari diminum pagi sebelum atau setelah makan.

ü Hidrochlortiazide

Dosis yang biasanya digunakan yaitu 12,5 mg per hari diminum pagi sebelum atau setelah makan.

3. Terapi Diabetes melitus tipe 2

ü Glyburide

Dosis pemeliharaan yaitu 1,25 – 20 mg per hari diminum segera sebelum makan.

ü Metformin
Dosis pemeliharan yaitu 500 mg 1 – 2 kali perhari diminum setelah makan.

Drug Related Problem dalam Kasus 1

Pasien dengan mixed hyperlipidemia , diabetes metitus tipe 2 dan hipertensi dalam kasus ini
menerima 6 macam obat dalam pengobatannya. Walaupun dokter tetap melakukan follow up
terhadap pasien tersebut, analisis DRP tetap harus dilakukan untuk mencegah pasien mengalami
kegagalan terapi dan kejadian DRP yang dapat merugikan pasien. Adapun analisis DRP antara lain:
indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat, kelebihan dosis obat,
interaksi obat, efek samping obat, dan kegagalan pasien menerima terapi.

1. Indikasi tanpa obat

Pasien menderita mixed hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan hipertensi. Dari data hasil
laboratorium dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya indikasi penyakit lain.

2. Obat tanpa indikasi

Enam jenis obat yang digunakan (glyburide, ramipril, hydrochlortiazide, fenofibrate, rusovostatin,
dan metformin) diindikasikan untuk mengobati mixed hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan
hipertensi. Tidak ditemukan obat tanpa indikasi dalam kasus ini.

3. Ketidaktepatan pemilihan obat

Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien artinya ada pemberian obat yang tidak efektif, seperti
produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya atau obat bukan paling efektif untuk
mengatasi penyakit. Rusovostatin efektif menurunkan kadar kolesterol total dan LDL dan merupakan
terapi utama untuk mayoritas pasien hiperlipidemik. Namun dalam kasus tertentu dapat
ditambahkan agen hipolipidemik lain untuk mencapai tujuan terapi yang lebih agresif. Oleh sebab
itu, Fenofibrate ditambahkan karena memiliki kemampuan menurunkan kadar VLDL. Mekanisme
kunci obat golongan fibrat adalah dengan meningkatkan lipolisis, meningkatkan asupan lemak hati
dan menurunkan produksi trigliserida hati, meningkankan asupan LDL oleh reseptor LDL, dan
menstrimulasi transpor balik sehingga meningkatkan HDL. Fibrat utamanya digunakan pada pasien
yang hanya mengalami peningkatan trigliserida dan juga digunakan dalam terapi mixed
hyperlipidemia, terutama jika HDL rendah. Kombinasi golongan statin dan fibrat meningkatkan resiko
miopati bermakna, pertimbangan pemilihan obat baru seperti ezetimid mungkin akan lebih tepat.

Glyburide golongan sulfonil urea dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5% dengan menstimulasi
sekresi insulin. Metformin memiliki efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose
output” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan
HbA1C sebesar ~ 1,5%. Algoritma pengelolaan diabetes melitu tipe 2 menurut ADA/EASD yang
pertama yaitu dengan intervensi pola hidup dan metformin. Bila belum maksimal maka obat kedua
dapat ditambahkan agar HbA1C pasien < 7%, konsensus menganjurkan penambahan sulfonilurea
atau insulin. Pemilihan kombinasi glyburide dan metformin sebagai antidiabetes melitus tipe 2 dinilai
cukup tepat.

Terapi hipertensi dalam kasus ini menggunakan ramipril dan hydrochlortiazide. Ramipril adalah
antihipertensi golongan ACEi yang merupakan vasodilator yang menghambat angiotensin II
(vasokonstriktor kuat). Penghambatan pembentukan angiotensin II akan menurunkan tekanan
darah. Jika sistem angiotensin-renin-aldonsteron teraktivasi (misalnya pada keadaaan penurunan
sodium, atau terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. Oleh karena itu dalam kasus
itu menggunakan kombinasi ramipril dengan hydrochlorothiazide. Pasien diabetes memerlukan
kombinasi antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah optimal. ACEi merupakan terapi
pilihan karena dapat mencegah progresi mikroalbuminoria ke nefropati. Selain itu,
penggunaan beta-blocker tidak lagi direkomendasikan oleh NICE karena kurang efektif untuk
mengurangi resiko diabetes terutama untuk pasien yang mendapatkan diuretik tiazid.

4. Dosis obat kurang dan berlebih

Dalam kasus ini hanya terdapat data jenis kelamin dan usia pasien, tidak dicantumkan berapa dosis
yang digunakan dan juga tidak tersedia data berat badan pasien. Penilaian apakah dosis yang
diberikan oleh dokter kurang atau berlebih sangat sulit dilakukan, kerena perhitungan dosis tidak
dapat dilakukan. Namun, apabila dokter memberikan dosis obat-obat tersebut dalam jumlah dan
range dosis lazimnya maka dapat dikatakan tidak terjadi kekurangan dan kelebihan dosis obat.
Mengingat kondisi organ pasien dalam keadaan baik (dilihat dari data laboratorium dan pernyataan
dokter mengenai pemeriksaan fisik) maka tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis.

5. Interaksi obat

Obat A Obat B Tingkat Interaksi

Fenofibrate Rosuvastatin Serius Meningkatkan efek karena sinergisme


farmakodinamik. Fenofibrate dapat meningkatkan
risiko rhabdomyolysis ketika di kombinasi dengan
statin untuk menurun trigliserida dan
meningkatkan HDL. Jika tetap digunakan maka
lakukan monitoring dengan ketat. Gunakan
alternatif obat lain (ezetimibe).

Fenofibrate meningkatkan efek dari glyburide


dengan berkompetisi membentuk ikatan protein
plasma. Signifikan interaksi dapat terjadi, lakukan
monitoring.

Glyburide Signifikan

Rosuvastatin Glyburide Signifikan Glyburide meningkatkan toksisitas rosuvastatin.


Merupakan inhibitor OATP1B1, dapat
meningkatkan risikomyopathy. Lakukan
monitoring.
Hydrochloro- Metformin Minor / tidak Hydrochlorothiazide akan meningkatkan efek
thiazide signifikan metformin melalui mekanisme kompetisi klirens
tubular ginjal.

Ramipril Glyburide Signifikan Ramipril meningkatkan efek glyburide melalui aksi


interaksi sinergisme farmakodinamik. Monitoring dengan
mungkin ketat.
terjadi

6. Efek samping

Obat Efek samping Keterangan

Fenofibrate Nyeri otot, myopathi, myositis, diare,


flatulance, pankreatitis, ulser peptik,
kolelitiasis, depresi CNS, disarithmia,
pulmonari emboli, gangguan ginjal, anemia,
leukopenia.

Keluhan abdominal ringan, ruam kulit, gatal,


nyeri kepala, nyeri otot, kejang otot, lelah,
Rosuvastatin dan gangguan tidur. Kenaikan konsentrasi
transminase. Efek samping yang jarang
terjadi: rhabdomiolisis dan miopati. Pasien diingatkan
tentang efek samping
Anafilaksis, aneroksia, kebingungan,
yang mungkin terjadi.
gangguan hematopoetik, pusing, gangguan
Efek yang mungkin
lambung, kelelahan, sakit kepala,
Hydrochlorothiazide terjadi berbeda antar
hiperkalemia, hiperkolestro, hiperurisemi,
invidu, tergantung
hipotensi, metabolik asidosis, nausea,
dengan respon tubuh.
pankreatitis, vertigo, dan vomitting.

Batuk, hipotensi, pusing, angina pektoris,


Metformin sakit kepala, vomitting, vertigo,
abnormalitas fungsi ginjal, dan diare.

Gangguan saluran cerna, sakit kepala, gejala


hematologik, trombositopenia,
Glyburide agranulositosis, anemia aplastik (jarang).
Gangguan fungsi hati dan ginjal pada pasien
lanjut usia
Neutropenia, agranulosis, proteinuria,
Ramipril
glomerulusnefrosis, gagal ginjal akut.

7. Kegagalan terapi

Tidak ditemukan kegagalan terapi dalam kasus ini, sejauh follow up yang dilakukan oleh dokter
pasien terus mengalami perkembangan peningkatan profil lipid. Kegagalan terapi dalam suatu
pengobatan dapat disebabkan oleh faktor psikososial, ketidakmampuan ekonomi, kurangnya
pemahaman pasien tentang terapi yang dia lakukan, dosis yang tidak sesuai, dan pasien
menggunakan obat lain tanpa sepengetahuan dokter. Kegagalan terapi juga dapat disebabkan oleh
petugas kesehatan yang tidak memberitahu cara penggunaan obat dengan benar.

Kasus 2

Resep

25 maret 2017

R/ Metformin 500 XLV

S 3 dd 1

R/ Glibenklamide 5 XV

S 1 dd 1

R/ Captopril 50 XLV

S 3 dd 1

R/ furosemid X

S ½-0-0

R/ BC XLV

S 3 dd 1

R/ Amlodipin 5 XV

S 1 dd 1

R/ Na-diklofenak 50 XXX

S 0-0-1

R/ Simvastatin 10 XV

S 0-0-1

Pro : Tn. SS (66 tahun)


1. Analisa

1) Anamnesa/ diagnose

Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia, ostheoartritis, dan


sindrom dispepsia.

2) Analisa resep

Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :

a. Metformin, antidiabetes golongan biguanid

b. Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonylurea

c. Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (ACEI

d. Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic

e. BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B

f. Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)

g. Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid

h. Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin

Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain berupa hipertensi
diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis kombinasi kedua obat tersebut juga
masih dalam batas aman. Dimana dosis maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid,
dan 2000 mg/hari untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385).

Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi, yaitu captopril (ACE
inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok kanal kalsium).Kombinasi tersebut
diperbolehkan.Dosis furosemid merupakan dosis terendah yaitu 20 mg, dengan waktu pemberian
yang tepat yaitu pada pagi hari.Sedangkan dosis captopril merupakan dosis maksimum yaitu 150
mg/hari, dalam dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan adalah dosis menengah, yaitu 5
mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien telah cukup lanjut usianya (66 tahun),
captopril diberikan pada dosis maksimum dikombinasi dengan furosemid, dan amlodipin, akan
berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan pemberian furosemid, pasien akan mengalami
diuresis, yang berarti volume darah menurun dan menurun pula tekanan darahnya, sedangkan
pemberian ACE inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai
mekanisme yang terlibat dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga
resiko hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah
dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro: 233-234)

Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam dosis rendah adalah
untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema perifer. Amlodipin dapat
menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian furosemid, maka aktivitas urinary
meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat osteoarthritis.Diklofenak
merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif.Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal
pada malam hari sebesar 50 mg.

Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi terjadinya ulkus peptikum,
sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan bahwa pasien mengalami sindrom
dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan diklofenak pada saluran cerna tidak sekuat aspirin,
namun pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu dipertimbangkan, mengingat pasien telah
dinyatakan mengalami sindrom dispepsia. (Dipiro; 1131)

Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat terapi AINS yang dapat
memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak mendapat obat untuk indikasi ini.Tak ada obat
yang diberikan untuk mengobati sindrom dispepsianya.

Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi hiperlipidemia.Penggunaan
simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan. Pemberian vitamin B kompleks, yang
mengandung asam nikotinat, akan membentu menghambat pembentukan kolesterol dan
trigliserida, sehingga akan membantu menekan kadar lipid dalam darah. (BNF 57; 539)

Interaksi yang mungkin terjadi

a. Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang digunakan bersama-sama,
cenderung berinteraksi menyebabkan efek hipotensif, ACE inhibitor juga akan bekerja pada sistem
kanal kalsium, meski tidak secara langsung, begitu pun dengan furosemid.

b. Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi captopril menurun. (DIF)

Anda mungkin juga menyukai