Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “DRPs (Drug
Related Problems pada resep antibiotik”. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Indri Dwi
Rahasti, selaku dosen mata kuliah Ilmu Resep yang telah memberikan tugas ini. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan.Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Bekasi, Desember 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


DRP (Drug Related Problem) merupakan keadaan yang tidak diinginkan pasien terkait
dengan terapi obat serta hal-hal yang mengganggu tercapainya hasil akhir yang sesuai dan
dikehendaki untuk pasien. Tujuh penggolongan DRp menurut Cipolle adalah penggunaan obat
yang tidak diperlukan, kebutuhan akan terapi obat tambahan, obat yang tidak efektif, dosis terapi
yang digunakan terlalu rendah, adverse drug reactoin, dosis terapi yang trlalu tinggi, dan
ketidakpatuhan. Hal-hal yang terkait dengan DRP seharusnya dapat dicegah dan dikurangi
keberadaannya melalui pengenalan secara awal terhadap adanya DRP oleh seorang farmasis.
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka memperbaiki kualitas
hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi pasien. Kualitas hidup dan pelayanan
bermutu dapat menurun akibat adanya ketidakpatuhan terhadap program pengobatan. Penyebab
ketidakpatuhan tersebut salah satunya disebabkan kurangnya informasi tentang obat. Selain itu,
regimen pengoatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti regimen pengobatan yang diresepkan
merupakan masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Selain maslah
kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang tidak diinginkan dari penggunaan obat.
Dengan diberikannya informasi obat kepada pasien maka maslah terkait obat seperti penggunaan
obat tanpa indikasi, indikasi yang tidak terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta
interaksi obat dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep baru meliputi
nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu penggunaan, saran ketaatan dan
pemantauan sendiri, efek samping dan efek merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi, dan
interaksi, petunjuk penyimpanan, informasi pengulangan resep dan rencanapemantauan lanjutan.
Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali dan menekankan hal-hal
terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari DRPs (Drug Related Problems)?
2. Apa saja komponen-komponen DPRs?
3. Apa saja kategori umum DRPs?
4. Apa saja klasifikasi DRPs?
5. Apakah dalam resep terdapat interaksi?
6. Bagaimana DRP yang terdapat dalam resep?
7. Apakah dalam resep terdapat dosis berlebih?
8. Apa khasiat yang terkandung dalam resep?

1.3 Tujuan Makalah


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Drug Related Problem
2. Mengetahui komponen-komponen DRPs
3. Mengetahui ketegori umum DRPs
4. Mengetahui klasifikasi DRPs
5. Mengetahui interaksi yang terdapat dalam resep
6. Mengetahui DRP yang terdapat dalam resep
7. Mengetahui apakah ada dosis berlebih dalam resep
8. Mengetahui khasiat yang terkandung dalam resep
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Drug Related Problem (DRP)

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan, berupa pengalaman
pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan pada kenyataannya atau potensial
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Drug Related Problem merupakan
maslah yang terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien
serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceuticaal care Network Europe
mendefinisikan masalah terkait obat (DPRs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi
obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinik kesehatan yang diinginkan.

2.2 Komponen primer dari Drug Related Problems:

a. Pasien mengalami keadaan yang tidak dikehendaki.

Pasien mengalami keluhan medis, gejala, diagnose penyakit kerusakan, cacat atau
sindrom dan dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisiologis, sosial, bahkan kondisi
ekonomi.

b. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.

Sifat hubungan ini tergantung akan kekhususan Drug Related Problems (DRPs).
Hubungan yang biasanya terjadi antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi
obat adalah kejadiaan itu akibat dari terapi obat atau kejadian itu membutuhkan terapi
obat( Cipolle et al., 1998). Drug Related Problems (DRPs) terdiri dari DRPs actual dan
DRPs potensial. DRPs actual adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi
obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs potensial adalah problem yang
diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh
pasien (Yunita et al., 2004).
2.3 Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :

a. Membutuhkan obat tambahan.

Penyebabnya yaitu pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profil aksi atau
pramedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinu, memerlukan
terapi kombinasi untuk menghasilkan efek sinergis atau potensiasi dan atau ada kondisi
kesehatan baru yang memerlukan terapi obat.

b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.

Hal ini dapat terjadi sebagai berikut: menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat
membaik kondisinya dengan terapi non obat, minum beberapa obat padahal hanya satu terapi
obat yang diindikasikan atau minum obat untuk mengobati efek samping.

c. Menerima obat yang salah.

Kasus yang mungkin terjadi adalah: obat tidak efektif, ketidaktepatan pemilihan obat,
alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat
yang tidak perlu dan atau obat bukan yang paling aman.

d. Dosis terlalu besar.

Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak tepat, dan jangka waktu tidak
tepat.

e. Dosis terlalu kecil.

Penyebabnya antara lain: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang diinginkan,
jangka waktu terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute pemberian, dan sediaan yang tidak
tepat.

f. Pasien mengalami adverse drug reactions.

Penyebab umum untuk kategori ini: pasien menerima obat yang tidak aman, pemakaian
obat tidak tepat, interaksi dengan oba tlain, dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat
sehingga menyebabkan adverse drug reaction dan atau pasien mengalami efek yang tak
dikehendaki yang tidak diprediksi.

g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak minum obat secara
benar (non compliance).

Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien tidak mampu
membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk tidak mau minum obat
karena alasan pribadi dan atau pasien lupa minum obat (Cipolle et al., 1998).

Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems (DRPs) tergantung pada
beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya semua data esensial dan farmasis bertugas
menentukan data apa yang dibutuhkan (Cipolle et al., 1998).

2.4 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori :

a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis, ras, sejarah
sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan jantung, status nutrisi, serta
harapan pasien.

b. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini dan masa
lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara pemberian obat, dan
persepsi mengenai pengobatannya.

c. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan, prognosa,
kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.

Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang yang merawat
pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis, data laboratorium, dokter,
perawat dan profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).

Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah dan


memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak selalu mudah
dicapai. Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas kesembuhannya. Sebab itu
farmasis juga harus dapat melakukan konseling, edukasi dan informasi kepada pasien (Cipolle
et al., 1998).
2.5 Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)

Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)


mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network
Europe., 2006) :

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)

Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas.

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat yang
salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat
antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi
dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.

3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih
kecil dar ipada yang dibutuhkannya.

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak menggunakan obat sama


sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.

5. Interaksi obat (Interaction)

Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau
potensial.

6. Masalah lainnya (Others)

Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang kurang mengenai
kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan
terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.
Klasifikasi DRP:

1. Indikasi

Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk
penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.

a. Pasien memerlukan obat tambahan

Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita
penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya,
sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain
ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk
menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif.
Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.

b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan

Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar,
polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak menggunakan
obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi
negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang
dikeluarkan diluar yang seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu
mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk
tersebut sudah mengandung paracetamol.

2. Efektivitas

a. Pasien menerima regimen terapi yang salah

 Terapi multi obat (polifarmasi)

Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat
berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali
kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan
untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian
puyer pada anak dengan batuk pilek yang berisi :

a. Amoksisillin
b. Parasetamol
c. Gliseril Guaiakolat
d. Deksametason
e. CTM
f. Luminal

Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa menkonfirmasikan atau
mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti
deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi
yang salah.

 Frekuensi pemberian

Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara konsentrasi
darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-
benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.

Contohnya: frekuensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari.

cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum makan,
yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi lambung.

 Durasi dari terapi

Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurum
pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu
minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini
sangat penting agar kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh
bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah

Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal ini dapat
menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau
bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya.

3. Keamanan

a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi

Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal
ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi
membahayakan. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu
tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat
yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan,
menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol
sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.

b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)

Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak
sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi
pemberian maupun durasi terapi. ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya
dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis maupun terapi.

4. Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau
kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

a. Persepsi tentang kesehatan


b. Pengalaman mengobati sendiri
c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d. Lingkungan (teman, keluarga)
e. Adanya efek samping obat
f. Keadaan ekonomi
g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).

Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama


pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan seolah-olah diartikan
akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang
terjadi akibat ketidakpatuhannya.

5. Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan
benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang
tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan
pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan
yang berlebihan.

6. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena
interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan
efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat
dapat terjadi sebagai berikut:

1. Obat-Makanan

Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat.
Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:

2. Obat-Uji Laboratorium

Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji diagnostik.
Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya, laksatif antrakuinon dapat
mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh perubahan zat yang diukur. Apabila
mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada
hasil uji diagnostik.

3. Obat-Penyakit

Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker harus
mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien. Dalam pustaka
medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif.
Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan
antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.

4. Obat-Obat

Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat termasuk
obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-obat
yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu
mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat
dapat berakibat merugikan atau menguntungkan.

2.6 Studi Kasus DRP (Drug Related Problem)

Dalam ranah farmasi klinik-komunitas, apoteker pada hakikatnya memiliki tugas primer
yaitu mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai pengobatan yang rasional dan
optimal. Secara ringkas langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah
sebagai berikut :

1. Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi

2. Menentukan penyebab terjadinya DRPs

3. Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs

4. Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan untuk evaluasi

2.7 Tinjuan umum tentang antibiotik

2.7.1 Sejarah Antibiotik


Sejak zaman dahulu orang kuno telah mempraktekkan fitoterapi dengan jalan
mencoba−coba. Orang Yunani dan Aztec (Mexico) menggunakan masing masing pakis pria
(filix mas) dan minyak chenopodi untuk membasmi cacing dalam usus. Orang Hindu sudah
beribu−ribu tahun lalu mengobati lepra dengan minyak chaulmogra dan di China serta di Pulau
Mentawai (Sumatera Barat) sejak dahulu borok diobati dengan menggunakan jamur−jamur
tertentu sebagai pelopor antibiotika. China dan Vietnam sejak dua ribu tahun lalu menggunakan
tanaman qinghaosu (mengandung artemisin) untuk mengobati malaria, sedangkan suku−suku
Indian di Amerika Selatan memanfaatkan kulit pohon kina. Pada abad ke-16 air raksa (merkuti)
mulai digunakan sebagai kemoterapetikum pertama terhadap sifilis (Tjay & Rahardja, 2010).
Penemuan antibiotik diinisiasi oleh Paul Ehrlich yang pertama kali menemukan apa yang
disebut “magic bullet”, yang dirancang untuk menangani infeksi mikroba. Pada tahun 1910,
Ehrlich menemukan antibiotika pertama, salvarsan yang digunakan untuk melawan syphilis.
Ehrlich kemudian diikuti oleh Alexander Fleming yang secara tidak sengaja menemukan
penisilin pada tahun 1928. Tujuh tahun kemudian, Gerhard Domagk menemukan sulfa, yang
membuka jalan penemuan obat anti TB, isoniazid. Pada tahun 1943, anti TB pertama
streptomycin, ditemukan oleh Selkman Wakzman dan Albert Schatz. Wakzman juga orang
pertama yang memperkenalkan terminologi antibiotik. Sejak saat itu antibiotika ramai digunakan
klinisi untuk menangani berbagai penyakit infeksi (Utami, 2011).
Setelah penisilin, mulai banyaknya antibiotik yang ditemukan seperti kloramfenikol dan
kelompok sefalosforin, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida, polipeptida, linkomisin dan
rifampisin. Selain sulfonamida dikembangkan juga kemoterapeutika sintesis, seperti senyawa
nirofuran pada tahun 1944, asam nalidiksat pada tahun 1962, serta turunannya flurokuinolon
pada tahun 1985, obat−obatan TBC (PAS, INH) dan obat protozoa (kloroquin, progua-nil,
metronidazol, dll. Dewasa ini banyak obat antimikroba baru yang telah dikembangkan yang
mampu menyembuhkan hampir semua infeksi antimikroba (Tjay & Rahardja, 2010).
Antibiotik yang seperti yang kita ketahui saat ini berasal dari bakteri yang telah
dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa bakteri yang telah dilemahkan tersebut dapat
membunuh bakteri lain yang berkembang didalam tubuh makhluk hidup. Antibiotik adalah zat
yang dihasilkan oleh mikroba terutama jamur, yang dapat menghambat atau membunuh
pertumbuhan dari mikroba lain (Nastiti, 2011).
Namun seiring berjalannya waktu, satu demi satu bakteri mulai resisten terhadap
pemberian antibiotik. Pada tahun 1950-an telah muncul jenis bakteri baru yang tidak dapat
dilawan dengan penislin. Tetapi ilmuan terus menerus melakukan berbagai penelitian, sehingga
antibiotik−antibiotik baru terus ditemukan. Antara tahun 1950 sampai 1960-an jenis bakteri yang
resisten masih belum menghawatirkan, karena penemuan antibiotik baru masih bisa
membasminya. Namun sejak akhir 1960-an, tidak ada lagi penemuan yang bisa diandalkan. Baru
pada tahun 1999 ilmuan berhasil mengembangkan antibiotik baru, tetapi sudah semakin banyak
bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Borong, 2012).

2.8 Definisi
Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada
manusia. Sedangkan antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
khususnya dihasilkan oleh fungi atau dihasilkan secara sintetik yang dapat 11 membunuh atau
menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Utami, 2011).

2.9 Klasifikasi Antibiotik


Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
1. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, antara lain beta-laktam (penisilin,
sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase), basitrasin, dan vankomisin.
2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein antara lain, aminoglikosid, kloramfenikol,
tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan
spektinomisin.
3. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat antara lain, trimetoprim dan
sulfonamid.
4. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat antara lain, kuinolon, nitrofurantoin
(Kemenkes, 2011).
Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerja:
2.9.1 Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri.
a. Antibiotik Beta-Laktam Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat
yang mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu 12 penisilin, sefalosporin, monobaktam,
karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat
bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif. Antibiotik
beta-laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir
dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada
dinding sel bakteri (Kemenkes, 2011).
Penisilin Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi, mekanisme kerja,
farmakologi, dan karakterisktik imunologis dengan sefalosforin, monobaktam, karbapenem, dan
penghambat beta-laktamase. Semua obat tersebut merupakan senyawa beta laktam yang
dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam beranggota empat yang unik (Katzung,
2012).
Penisilin mempunyai mekanisme kerja dengan cara mempengaruhi langkah akhir sintesis
dinding sel bakteri (transpepetidase atau ikatan silang), sehingga membran kurang stabil secara
osmotik. Lisis sel dapat terjadi, sehingga penisilin disebut bakterisida. Keberhasilan penisilin
menyebabkan kematian sel berkaitan dengan 13 ukurannya, hanya defektif terhadap organisme
yang tumbuh secara cepat dan mensintesis peptidoglikan dinding sel (Mycek et al., 2001).
Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas antibiotiknya, antara
lain penislin G dan penislin V, penislin yang resisten terhadap beta-laktamase, aminopenislin,
karboksipenislin, ureidopenislin.
Penisilin G (Benzil Penisilin) merupakan klasifikasi dari antibiotik golongan penisilin
yang diindikasikan pada pasien dengan penyakit pneumonia, infeksi tenggorokan, otitis media,
penyakit Lyme, endokarditis streptokokus, infeksi meningokokus, enterokolitis nekrotika,
fasciitis nekrotika, leptospirosis, antraks, aktinomikosis, abses otak, 15 gas gangren, selulitis,
osteomielitis. Golongan antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif.
Dosis pemakaian penisilin pada infeksi ringan sampai sedang pada organisme yang sensitif
adalah dengan cara injeksi (Intarmuskular) IM atau (Intravena) IV lambat atau infus IV. (IDAI,
2012).
DAFTAR PUSTAKA

PCNE. 2006. Classification for Drug Related Problems V5.01. Europe: Pharmaceutical Care
Network Europe Foundation.

Strand, MD, Morley, PC, Cipolle, RJ, Ramsey, R, Lamsam, GD 1990, ‘Drug-Related Problems:
Their Structure and function’, DICP the Annals of Pharmacotherapy, vol. 24, pp. 1094-1096.

BNF. 2009. British National Formulary, Edisi 57, British Medical Association Royal


Pharmacetical of Great Britain, England.

Tatro, DS, 2015, Drug Interaction Fact. 1st, Facts and Comparisons. 2008.

Drug Interaction Checker, Medscape

Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.

Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care, McGraw-Hill, New York.

Anda mungkin juga menyukai