Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “DRPs (Drug
Related Problems pada resep antibiotik”. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Indri Dwi
Rahasti, selaku dosen mata kuliah Ilmu Resep yang telah memberikan tugas ini. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan.Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan, berupa pengalaman
pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan pada kenyataannya atau potensial
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Drug Related Problem merupakan
maslah yang terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien
serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceuticaal care Network Europe
mendefinisikan masalah terkait obat (DPRs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi
obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinik kesehatan yang diinginkan.
Pasien mengalami keluhan medis, gejala, diagnose penyakit kerusakan, cacat atau
sindrom dan dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisiologis, sosial, bahkan kondisi
ekonomi.
b. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.
Sifat hubungan ini tergantung akan kekhususan Drug Related Problems (DRPs).
Hubungan yang biasanya terjadi antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi
obat adalah kejadiaan itu akibat dari terapi obat atau kejadian itu membutuhkan terapi
obat( Cipolle et al., 1998). Drug Related Problems (DRPs) terdiri dari DRPs actual dan
DRPs potensial. DRPs actual adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi
obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs potensial adalah problem yang
diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh
pasien (Yunita et al., 2004).
2.3 Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :
Penyebabnya yaitu pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profil aksi atau
pramedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinu, memerlukan
terapi kombinasi untuk menghasilkan efek sinergis atau potensiasi dan atau ada kondisi
kesehatan baru yang memerlukan terapi obat.
b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.
Hal ini dapat terjadi sebagai berikut: menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat
membaik kondisinya dengan terapi non obat, minum beberapa obat padahal hanya satu terapi
obat yang diindikasikan atau minum obat untuk mengobati efek samping.
Kasus yang mungkin terjadi adalah: obat tidak efektif, ketidaktepatan pemilihan obat,
alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat
yang tidak perlu dan atau obat bukan yang paling aman.
Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak tepat, dan jangka waktu tidak
tepat.
Penyebabnya antara lain: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang diinginkan,
jangka waktu terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute pemberian, dan sediaan yang tidak
tepat.
Penyebab umum untuk kategori ini: pasien menerima obat yang tidak aman, pemakaian
obat tidak tepat, interaksi dengan oba tlain, dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat
sehingga menyebabkan adverse drug reaction dan atau pasien mengalami efek yang tak
dikehendaki yang tidak diprediksi.
g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak minum obat secara
benar (non compliance).
Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien tidak mampu
membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk tidak mau minum obat
karena alasan pribadi dan atau pasien lupa minum obat (Cipolle et al., 1998).
Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems (DRPs) tergantung pada
beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya semua data esensial dan farmasis bertugas
menentukan data apa yang dibutuhkan (Cipolle et al., 1998).
2.4 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori :
a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis, ras, sejarah
sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan jantung, status nutrisi, serta
harapan pasien.
b. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini dan masa
lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara pemberian obat, dan
persepsi mengenai pengobatannya.
c. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan, prognosa,
kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang yang merawat
pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis, data laboratorium, dokter,
perawat dan profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas.
Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat yang
salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat
antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi
dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih
kecil dar ipada yang dibutuhkannya.
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau
potensial.
Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang kurang mengenai
kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan
terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.
Klasifikasi DRP:
1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk
penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita
penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya,
sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain
ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk
menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif.
Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar,
polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak menggunakan
obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi
negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang
dikeluarkan diluar yang seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu
mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk
tersebut sudah mengandung paracetamol.
2. Efektivitas
Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat
berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali
kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan
untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian
puyer pada anak dengan batuk pilek yang berisi :
a. Amoksisillin
b. Parasetamol
c. Gliseril Guaiakolat
d. Deksametason
e. CTM
f. Luminal
Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa menkonfirmasikan atau
mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti
deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi
yang salah.
Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara konsentrasi
darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-
benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.
Contohnya: frekuensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari.
cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum makan,
yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi lambung.
Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurum
pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu
minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini
sangat penting agar kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh
bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal ini dapat
menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau
bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya.
3. Keamanan
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal
ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi
membahayakan. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu
tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat
yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan,
menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol
sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak
sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi
pemberian maupun durasi terapi. ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya
dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis maupun terapi.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau
kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan
benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang
tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan
pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan
yang berlebihan.
6. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena
interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan
efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat
dapat terjadi sebagai berikut:
1. Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat.
Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
2. Obat-Uji Laboratorium
Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji diagnostik.
Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya, laksatif antrakuinon dapat
mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh perubahan zat yang diukur. Apabila
mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada
hasil uji diagnostik.
3. Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker harus
mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien. Dalam pustaka
medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif.
Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan
antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.
4. Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat termasuk
obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-obat
yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu
mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat
dapat berakibat merugikan atau menguntungkan.
Dalam ranah farmasi klinik-komunitas, apoteker pada hakikatnya memiliki tugas primer
yaitu mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai pengobatan yang rasional dan
optimal. Secara ringkas langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah
sebagai berikut :
4. Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan untuk evaluasi
2.8 Definisi
Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada
manusia. Sedangkan antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
khususnya dihasilkan oleh fungi atau dihasilkan secara sintetik yang dapat 11 membunuh atau
menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Utami, 2011).
PCNE. 2006. Classification for Drug Related Problems V5.01. Europe: Pharmaceutical Care
Network Europe Foundation.
Strand, MD, Morley, PC, Cipolle, RJ, Ramsey, R, Lamsam, GD 1990, ‘Drug-Related Problems:
Their Structure and function’, DICP the Annals of Pharmacotherapy, vol. 24, pp. 1094-1096.
Tatro, DS, 2015, Drug Interaction Fact. 1st, Facts and Comparisons. 2008.
Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care, McGraw-Hill, New York.