PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui definisi dari DRPs (Drug Relatit Problems)
b. Mengetahui komponen-komponen DPRs
c. Mengetahui apa saja data yang penting mengenai pasien
d. Mengetahui klasifikasi DRPs
e. Mengetahui contoh studi kasus DRP (Drug Related Problem)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Keamanan
1) Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal ini
tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi
membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu
tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat
yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan,
menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh
kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
2) Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak
sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi
pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu
cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta
terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis
maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1) Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan atau
perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau
propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin
disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi
tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
2) Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi mencakup
tipe berikut :
Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera (hipersensitivitas)
Tipe II, sitotoksik
Tipe III, serum
Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan Steven Johnson syndrome.
3) Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.
4) Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
5) Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena ketidakcukupan
adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau
kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
:
1) Persepsi tentang kesehatan
2) Pengalaman mengobati sendiri
3) Pengalaman dengan terapi sebelumnya
4) Lingkungan (teman, keluarga)
5) Adanya efek samping obat
6) Keadaan ekonomi
7) Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama
pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas.Ketidakpatuhan seolah-olah
diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab terhadap
hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan
semata-mata hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun
banyak faktor pendorongnya, yaitu :
a. Obat tidak tersedia
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan pasien
enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat sirup,
tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien enggan minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan beberapa kali
dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti ukuran, warna, atau
bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan.Beberapa pasien geriatrik
dapat mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis, hipertensi
dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam penggunaan obat
tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu
lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien tidak
menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi telah
terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien
wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Takut akan efek samping
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri lambung atau
timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat rimpafisin dapat
menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh anak-
anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan penawar rasa dan
zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah pemberian obat dan
meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien akan lebih
enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk
penggunaan obat.
Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat
dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat.Biasanya pasien menetapkan pikiran sendiri
berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat.Jika
terapi tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh.Oleh karena itu diperlukan
edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.
Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang pentingnya
pengobatan pada keadaan penyakit pasien.Selain itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif
antara dokter dan apoteker sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat
berjalan dengan baik.
5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan
benar.Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang
tersedia.Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan
pertimbangan dan pengendalian yang baik.Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan
yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan
tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
6. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan
bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena
interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni
meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan.
Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
1) Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat.
Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat antibiotik tidak
boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan sehingga obat tdak dapat
diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.
b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi meningkatkan
kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat diberikan pada saat
lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari
penggunaan suatu bahan gizi.
2) Obat-Uji Laboratorium
Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji
diagnostik.Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia.Misalnya, laksatif antrakuinon
dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh perubahan zat yang
diukur.Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker harus mempertimbangkan
efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.
3) Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau.Apoteker harus
mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien.Dalam pustaka
medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan
relatif.Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan
penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.
4) Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari.Semua obat termasuk
obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat.Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-
obat yang secara klinik signifikan.Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal
itu mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien.Interaksi antar
obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan.Interaksi obat dianggap penting secara
klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang
berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
Adapun kasus masing-masing kategori DRPs yang mungkin terjadi dapat dilihat pada Tabel
2.1
Reaksi obat merugikan 1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat
digunakan
2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi
dengan obat lainatau makanan pasien
3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan
pasien
4. Efek dari obat di ubah enzym inhibitor atau induktor
dari obat lain
5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari
bindingsite oleh obat lain
2.6 Kasus
CONTOH ANALISA KASUS DRP
Kasus 1
Penyelesaian
A. Subjek
Pria berusia 55 tahun
1. Past Medical History
Diabetes melitus tipe 2
Hipertensi
2. Medication History (Dosis tidak dicantumkan di dalam jurnal)
Ramipril
Glyburide
Hydrochlorothiazide
3. Physical Examination
Results of our physical examination were unremarkable
B. Objek
Data Laboratorium (Puasa)
Saat pertama Nilai uji Nilai normal
Kolestrol Total 536.34 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 5927.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 23.4 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
TSH 0.94 mIU/L 0.49 - 4.67 mIU/L
HbA1c 9.5% < 6,5%
Urea, kreatininm elektrolit,
bilirubin, AST, ALT normal
4 minggu kemudian
Kolestrol Total 213.45 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 825.5 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 37.05 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
3 minggu kemudian
Kolestrol Total 145.9 mg/dL, 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 330.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 27.84 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
C. Assassment
Pasien mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi. Glyburide
(dosis tidak dicantumkan) digunakan untuk terapi diabetes pasien. Ramipril dan
hydroclorothiazide (dosis tidak dicantumkan) digunakan untuk terapi hipertensi pasien.
Berdasarkan data diatas, kolesterol total dan trigliserida pasien sangat tinggi sementara kadar
HDL-c dibawah normal. Menurut NCEP (National Cholestrol Education Program)
kolesterol total normal < 200 mg/dL, trigliserida normal < 150 mg/dL, dan HDL-c 35-93
mg/dL. Hal ini mengindikasikan bahwa pasien menderita hiperlipidemia (mixed
hyperlipidemia). Diabetes melitus tipe 2 yang diderita pasien merupakan salah satu penyebab
terjadinya hiperlipidemia sekunder karena kondisi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya
level VLDL dan menurunkan HDL (Rader & Hobbs, 2012). Menurut Koda-Kimble et al
(2005), pemakaian obat hipertensi golongan tiazid juga menyebabkan peningkatan kolestrol
5-7% dan peningkatan trigliserida 30-50%. Sementara menurut Martin et al. 2009, pasien
dengan kadar trigliserida > 2001,77 mg/dL semuanya hampir memiliki hiperlipidemia
sekunder dan primer. Dokter meresepkan fenofibrate (dosis tidak dicantumkan) untuk
mengatasi hiperlipidemia. Saat pemeriksaan HbA1c pasien sebesar 9,5% maka dokter
memberi metformin (dosis tidak dicantumkan) tambahan obat untuk diabetes pasien.
Rusovastatin (dosis tidak dicantumkan) untuk terapi mixed hyperlipidemia.
D. Plan
Tujuan terapi yang ingin dicapai dalam pengobatan adalah penurunan kadar kolesterol
total dan trigliserida, meningkatkan kadar HDL-c, menormalkan kadar gula darah dan
tekanan darah tinggi serta mengurangi resiko pertama atu berulang dari infark miokardiak,
angina, gagal jantung, stroke iskemia, dan kejadian lain pada penyakit arterial (karotid
stenosis atau aortik abdominal)
1. Terapi hiperlipidemia
Fenofibrate
Dosis inisial yang biasa digunakan dalam terapi mixed hyperlipidemia yaitu sebesar 300 mg
per hari dan dapat ditingkatkan menjadi 400 mg perhari. Dosis pemeliharan 200 mg per hari.
Obat diminum setelah makan.
Rusovastatin
Dosis inisial yang biasa digunakan yaitu 20 mg per hari. Range dosis 5 – 40 mg per hari dan
tidak lebih dari 40 mg perhari. Obat sebelum atau setelah makan.
2. Terapi hipertensi
Ramipril
Dosis pemeliharaan yaitu 2,5-5 mg per hari diminum pagi sebelum atau setelah makan.
Hidrochlortiazide
Dosis yang biasanya digunakan yaitu 12,5 mg per hari diminum pagi sebelum atau setelah
makan.
3. Terapi Diabetes melitus tipe 2
Glyburide
Dosis pemeliharaan yaitu 1,25 – 20 mg per hari diminum segera sebelum makan.
Metformin
Dosis pemeliharan yaitu 500 mg 1 – 2 kali perhari diminum setelah makan.
Drug Related Problem dalam Kasus 1
Pasien dengan mixed hyperlipidemia , diabetes metitus tipe 2 dan hipertensi dalam kasus
ini menerima 6 macam obat dalam pengobatannya. Walaupun dokter tetap melakukan follow
up terhadap pasien tersebut, analisis DRP tetap harus dilakukan untuk mencegah pasien
mengalami kegagalan terapi dan kejadian DRP yang dapat merugikan pasien. Adapun
analisis DRP antara lain: indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan
obat, kelebihan dosis obat, interaksi obat, efek samping obat, dan kegagalan pasien menerima
terapi.
1. Indikasi tanpa obat
Pasien menderita mixed hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan hipertensi. Dari data
hasil laboratorium dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya indikasi penyakit lain.
2. Obat tanpa indikasi
Enam jenis obat yang digunakan (glyburide, ramipril, hydrochlortiazide, fenofibrate,
rusovostatin, dan metformin) diindikasikan untuk mengobati mixed hyperlipidemia, diabetes
melitus tipe 2, dan hipertensi. Tidak ditemukan obat tanpa indikasi dalam kasus ini.
3. Ketidaktepatan pemilihan obat
Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien artinya ada pemberian obat yang tidak
efektif, seperti produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya atau obat bukan
paling efektif untuk mengatasi penyakit. Rusovostatin efektif menurunkan kadar kolesterol
total dan LDL dan merupakan terapi utama untuk mayoritas pasien hiperlipidemik. Namun
dalam kasus tertentu dapat ditambahkan agen hipolipidemik lain untuk mencapai tujuan
terapi yang lebih agresif. Oleh sebab itu, Fenofibrate ditambahkan karena memiliki
kemampuan menurunkan kadar VLDL. Mekanisme kunci obat golongan fibrat adalah dengan
meningkatkan lipolisis, meningkatkan asupan lemak hati dan menurunkan produksi
trigliserida hati, meningkankan asupan LDL oleh reseptor LDL, dan menstrimulasi transpor
balik sehingga meningkatkan HDL. Fibrat utamanya digunakan pada pasien yang hanya
mengalami peningkatan trigliserida dan juga digunakan dalam terapi mixed hyperlipidemia,
terutama jika HDL rendah. Kombinasi golongan statin dan fibrat meningkatkan resiko
miopati bermakna, pertimbangan pemilihan obat baru seperti ezetimid mungkin akan lebih
tepat.
Glyburide golongan sulfonil urea dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5% dengan
menstimulasi sekresi insulin. Metformin memiliki efek utama metformin adalah menurunkan
“hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan
metformin dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5%. Algoritma pengelolaan diabetes melitu
tipe 2 menurut ADA/EASD yang pertama yaitu dengan intervensi pola hidup dan metformin.
Bila belum maksimal maka obat kedua dapat ditambahkan agar HbA1C pasien < 7%,
konsensus menganjurkan penambahan sulfonilurea atau insulin. Pemilihan kombinasi
glyburide dan metformin sebagai antidiabetes melitus tipe 2 dinilai cukup tepat.
Terapi hipertensi dalam kasus ini menggunakan ramipril dan hydrochlortiazide. Ramipril
adalah antihipertensi golongan ACEi yang merupakan vasodilator yang menghambat
angiotensin II (vasokonstriktor kuat). Penghambatan pembentukan angiotensin II akan
menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin-renin-aldonsteron teraktivasi (misalnya
pada keadaaan penurunan sodium, atau terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih
besar. Oleh karena itu dalam kasus itu menggunakan kombinasi ramipril dengan
hydrochlorothiazide. Pasien diabetes memerlukan kombinasi antihipertensi untuk mencapai
target tekanan darah optimal. ACEi merupakan terapi pilihan karena dapat mencegah progresi
mikroalbuminoria ke nefropati. Selain itu, penggunaan beta-blocker tidak lagi
direkomendasikan oleh NICE karena kurang efektif untuk mengurangi resiko diabetes
terutama untuk pasien yang mendapatkan diuretik tiazid.
4. Dosis obat kurang dan berlebih
Dalam kasus ini hanya terdapat data jenis kelamin dan usia pasien, tidak dicantumkan
berapa dosis yang digunakan dan juga tidak tersedia data berat badan pasien. Penilaian
apakah dosis yang diberikan oleh dokter kurang atau berlebih sangat sulit dilakukan, kerena
perhitungan dosis tidak dapat dilakukan. Namun, apabila dokter memberikan dosis obat-obat
tersebut dalam jumlah dan range dosis lazimnya maka dapat dikatakan tidak terjadi
kekurangan dan kelebihan dosis obat. Mengingat kondisi organ pasien dalam keadaan baik
(dilihat dari data laboratorium dan pernyataan dokter mengenai pemeriksaan fisik) maka
tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis.
5. Interaksi obat
Obat A Obat B Tingkat Interaksi
Fenofibrate Rosuvastatin Serius Meningkatkan efek karena sinergisme
farmakodinamik. Fenofibrate dapat
meningkatkan risiko rhabdomyolysis ketika di
kombinasi dengan statin untuk menurun
trigliserida dan meningkatkan HDL. Jika tetap
digunakan maka lakukan monitoring dengan
ketat. Gunakan alternatif obat lain (ezetimibe).
Fenofibrate meningkatkan efek dari glyburide
dengan berkompetisi membentuk ikatan
protein plasma. Signifikan interaksi dapat
Glyburide Signifikan terjadi, lakukan monitoring.
Rosuvastatin Glyburide Signifikan Glyburide meningkatkan toksisitas
rosuvastatin. Merupakan inhibitor OATP1B1,
dapat meningkatkan risiko myopathy. Lakukan
monitoring.
Hydrochloro- Metformin Minor / Hydrochlorothiazide akan meningkatkan efek
thiazide tidak metformin melalui mekanisme kompetisi
signifikan klirens tubular ginjal.
Ramipril Glyburide Signifikan Ramipril meningkatkan efek glyburide melalui
interaksi aksi sinergisme farmakodinamik. Monitoring
mungkin dengan ketat.
terjadi
6. Efek samping
Obat Efek samping Keterangan
Fenofibrate Nyeri otot, myopathi, myositis, diare,
flatulance, pankreatitis, ulser peptik,
kolelitiasis, depresi CNS, disarithmia,
pulmonari emboli, gangguan ginjal,
anemia, leukopenia.
Keluhan abdominal ringan, ruam kulit,
gatal, nyeri kepala, nyeri otot, kejang
otot, lelah, dan gangguan tidur.
Rosuvastatin
Kenaikan konsentrasi transminase. Efek
samping yang jarang terjadi:
Pasien diingatkan
rhabdomiolisis dan miopati.
tentang efek samping
Anafilaksis, aneroksia, kebingungan,
yang mungkin terjadi.
gangguan hematopoetik, pusing,
Efek yang mungkin
gangguan lambung, kelelahan, sakit
terjadi berbeda antar
Hydrochlorothiazide kepala, hiperkalemia, hiperkolestro,
invidu, tergantung
hiperurisemi, hipotensi, metabolik
dengan respon tubuh.
asidosis, nausea, pankreatitis, vertigo,
dan vomitting.
Batuk, hipotensi, pusing, angina
Metformin pektoris, sakit kepala, vomitting, vertigo,
abnormalitas fungsi ginjal, dan diare.
Gangguan saluran cerna, sakit kepala,
gejala hematologik, trombositopenia,
Glyburide agranulositosis, anemia aplastik (jarang).
Gangguan fungsi hati dan ginjal pada
pasien lanjut usia
Neutropenia, agranulosis, proteinuria,
Ramipril
glomerulusnefrosis, gagal ginjal akut.
7. Kegagalan terapi
Tidak ditemukan kegagalan terapi dalam kasus ini, sejauh follow up yang dilakukan
oleh dokter pasien terus mengalami perkembangan peningkatan profil lipid. Kegagalan terapi
dalam suatu pengobatan dapat disebabkan oleh faktor psikososial, ketidakmampuan ekonomi,
kurangnya pemahaman pasien tentang terapi yang dia lakukan, dosis yang tidak sesuai, dan
pasien menggunakan obat lain tanpa sepengetahuan dokter. Kegagalan terapi juga dapat
disebabkan oleh petugas kesehatan yang tidak memberitahu cara penggunaan obat dengan
benar.
Kasus 2
Resep
25 maret 2017
R/ Metformin 500 XLV
S 3 dd 1
R/ Glibenklamide 5 XV
S 1 dd 1
R/ Captopril 50 XLV
S 3 dd 1
R/ furosemid X
S ½-0-0
R/ BC XLV
S 3 dd 1
R/ Amlodipin 5 XV
S 1 dd 1
R/ Na-diklofenak 50 XXX
S 0-0-1
R/ Simvastatin 10 XV
S 0-0-1
Pro : Tn. SS (66 tahun)
1. Analisa
1) Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia,
ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
2) Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
a. Metformin, antidiabetes golongan biguanid
b. Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonylurea
c. Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (ACEI
d. Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic
e. BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
f. Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
g. Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
h. Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin
Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain berupa
hipertensi diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis kombinasi kedua
obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana dosis maksimum keduanya adalah 20
mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385).
Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi, yaitu
captopril (ACE inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok kanal
kalsium).Kombinasi tersebut diperbolehkan.Dosis furosemid merupakan dosis terendah yaitu
20 mg, dengan waktu pemberian yang tepat yaitu pada pagi hari.Sedangkan dosis captopril
merupakan dosis maksimum yaitu 150 mg/hari, dalam dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin
yang diberikan adalah dosis menengah, yaitu 5 mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu
diperhatikan pasien telah cukup lanjut usianya (66 tahun), captopril diberikan pada dosis
maksimum dikombinasi dengan furosemid, dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan
efek hipotensi. Dengan pemberian furosemid, pasien akan mengalami diuresis, yang berarti
volume darah menurun dan menurun pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE
inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang
terlibat dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga resiko
hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah
dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro: 233-
234)
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam dosis
rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema perifer.
Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian furosemid, maka
aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis.Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif.Dosis yang
diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi terjadinya ulkus
peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan bahwa pasien mengalami
sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan diklofenak pada saluran cerna
tidak sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu dipertimbangkan,
mengingat pasien telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia. (Dipiro; 1131)
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat terapi
AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak mendapat obat untuk
indikasi ini.Tak ada obat yang diberikan untuk mengobati sindrom dispepsianya.
Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi
hiperlipidemia.Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan. Pemberian
vitamin B kompleks, yang mengandung asam nikotinat, akan membentu menghambat
pembentukan kolesterol dan trigliserida, sehingga akan membantu menekan kadar lipid
dalam darah. (BNF 57; 539)
Interaksi yang mungkin terjadi
a. Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang digunakan bersama-
sama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek hipotensif, ACE inhibitor juga akan bekerja
pada sistem kanal kalsium, meski tidak secara langsung, begitu pun dengan furosemid.
b. Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi captopril menurun.
(DIF)
2. Saran
Dari uraian diatas dapat disarankan :
1) Kombinasi captopril, furosemid, dan amlodipin, perlu dipantau efeknya, ada baiknya dosis
captopril dikurangi
2) Konsumsi captopril 1 jam sebelum makan, untuk menghindari interaksinya dengan makanan
3) Pasien perlu diberi obat untuk mengatasi sindrome dispepsianya, terlebih dalam resep
tersebut terdapat obat-obat yang menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan pada
saluran cerna, berupa iritasi lambung (natrium-diklofenak), mual, muntah, diare (metformin
dan glibenklamid). Ranitidine dan antiemetic seperti domperidon atau metoklopramid
mungkin perlu diberikan.
4) Pasien juga harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non farmakologis, berupa
diet makanan rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
5) Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol
6) Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dan pengalaman
pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataannya/potensial mengganggu
keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki.
2. Terdapat dua komponen penting dalam DRPs yaitu Kejadian atau resiko yang tidak
diharapkan yang dialami oleh pasien dan ada hubungan atau diduga ada hubungan antara
kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien dengan terapi obat
3. Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah:
a. Membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya
b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai
c. Menerima obat salah
d. Dosis terlalu rendah
e. Dosis terlalu tinggi
f. Pasien mengalami ADR
g. Kepatuhan
4. Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori:
a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien
b. Obat lain yang dikonsumsi pasien
c. Penyakit, keluhan, gejala pasien
5. Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01) mengelompokkan
masalah terkait obat sebagai berikut:
a. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
b. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
c. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
d. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)
e. Interaksi obat (Interaction)
f. Masalah lainnya (Others)
6. Klasifikasi DRP meliputi: Indikasi, Efektivitas, Keamanan, Kepatuhan, Pemilihan Obat,
Interaksi Obat.
7. langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah sebagai berikut :
a. Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi
b. Menentukan penyebab terjadinya DRPs
c. Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs
d. Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan untuk evaluasi
3.2 SARAN
Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan kedepannya agar
penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
BNF. 2009. British National Formulary, Edisi 57, British Medical Association Royal Pharmacetical
of Great Britain, England.
Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care, McGraw-Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1992, Pharmaceutical Care An Introduction Current
Concept, McGraw-Hill, New York.
Hepler, CD, Strand, LM 1990, ‘Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care’,
American Journal of Hospital Pharmacy, 47, pp.533-543.
PCNE. 2006. Classification for Drug Related Problems V5.01. Europe: Pharmaceutical Care
Network Europe Foundation.
Rovers, J.P., Currie, J.D., Hagel, H.P., McDonough, R.P., Sobotka, J.L. Eds., 2003, A Practical
Guide to Pharmaceutical Care,2nd Ed., American Pharmaceutical Association, Washington,
D.C.
Strand, MD, Morley, PC, Cipolle, RJ, Ramsey, R, Lamsam, GD 1990, ‘Drug-Related Problems:
Their Structure and function’, DICP the Annals of Pharmacotherapy, vol. 24, pp. 1094-1096