Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Daun Kelor


1. Sistematika tanaman daun kelor
Sistematika tanaman daun kelor (Moringa oleifera L) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Brassicales
Familia : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera Lamk (Isnan & Nurhaeda, 2017)

2. Nama daerah
Nama-nama lainnya adalah kelor (Jawa, Sunda, Bali, Lampung), maronggih
(Madura), moltong (Flores), keloro (Bugis), ongge (Bima), murong atau
barunggai (Sumatera) dan hau fo (Timur). Kelor atau yang dikenal dengan nama
Drumstick yang merupakan tanaman asli kaki gunung Himalaya bagian barat laut
India, Afrika, Arab, Asia Tenggara, Amerika Selatan (Duke, 2001; Vanajakshi et
al., 2015; Shah et al., 2015).

3. Morfologi tanaman
Menurut Aminah et al (2015) tanaman Kelor (Moringa oleifera) merupakan
salah satu jenis tanaman tropis yang mudah tumbuh di daerah tropis seperti
Indonesia. Kelor juga dikenal di seluruh dunia sebagai tanaman bergizi dan WHO
telah memperkenalkan kelor sebagai salah satu pangan alternatif untuk mengatasi
masalah gizi (malnutrisi) (Broin, 2010).
Bunga kelor merupakan tanaman yang berumur panjang dan berbunga
sepanjang tahun. Bunga kelor ada yang berwarna putih, putih kekuning kuningan
(krem) atau merah, tergantung jenis atau spesiesnya. Tudung pelepah bunganya
berwarna hijau dan mengeluarkan aroma bau semerbak (Palupi et al 2007).
Daun kelor berbentuk bulat telur dengan tepi daun rata dan ukurannya
kecilkecil bersusun majemuk dalam satu tangkai (Tilong, 2012). Daun kelor muda
berwarna hijau muda dan berubah menjadi hijau tua pada daun yang sudah tua.
Daun muda teksturnya lembut dan lemas sedangkan daun tua agak kaku dan
keras. Daun berwarna hijau tua biasanya digunakan untuk membuat tepung atau
powder daun kelor (Aminah et al 2015). Daun kelor merupakan salah satu bagian
dari tanaman kelor yang telah banyak diteliti kandungan gizi dan kegunaannya.
Daun kelor sangat kaya akan nutrisi, diantaranya kalsium, besi, protein, vitamin
A, vitamin B dan vitamin C (Misra & Misra, 2014; Oluduro, 2012; Ramachandran
et al., 1980). Daun kelor mengandung zat besi lebih tinggi daripada sayuran
lainnya yaitu sebesar 17,2 mg/100 g (Yameogo et al. 2011).
Selain itu, daun kelor juga mengandung berbagai macam asam amino, antara
lain asam amino yang berbentuk asam aspartat, asam glutamat, alanin, valin,
leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin, venilalanin, triftopan, sistein dan
methionin (Simbolan et al. 2007). Berdasarkan penelitian Verma et al (2009)
bahwa daun kelor mengandung fenol dalam jumlah yang banyak yang dikenal
sebagai penangkal senyawa radikal bebas. Kandungan fenol dalam daun kelor
segar sebesar 3,4% sedangkan pada daun kelor yang telah diekstrak sebesar 1,6%
(Foild et al., 2007). Penelitian lain menyatakan bahwa menunjukkan bahwa daun
kelor mengandung vitamin C setara vitamin C dalam 7 jeruk, vitamin A setara
vitamin A pada 4 wortel, kalsium setara dengan kalsium dalam 4 gelas susu,
potassium setara dengan yang terkandung dalam 3 pisang, dan protein setara
dengan protein dalam 2 yoghurt (Mahmood, 2011). daun kelor mengandung
antioksidan tinggi dan antimikrobia (Das et al 2012). Hal ini disebabkan oleh
adanya kandungan asam (Anwar et al 2007b; Makkar & Becker, 1997; Moyo et al
2012; Dahot, 1998).
Buah kelor berbentuk panjang dan segitiga dengan panjang sekitar 20-60 cm,
berwana hijau ketika masih muda dan berubah menjadi coklat ketika tua (Tilong,
2012). Biji kelor berbentuk bulat, ketika muda berwarna hijau terang dan berubah
berwarna cokelat kehitaman ketika polong matang dan kering dengan rata-rata
berat biji berkisar 18 - 36 gram/100 biji (Aminah et al 2015).
4. Khasiat daun kelor
Tanaman kelor berkhasiat sebagai anti diabetes karena mengandung zeng yang
tinggi seperti mineral yang sangat dibutuhkan untuk memproduksi insulin dalam
tubuh. Khasiat lainnya untuk mengobati penyakit dalam seperti luka lambung,
luka usus dan batu ginjal dikarenakan kelor mengandung antioksidan yang sangat
tinggi dan sangat bagus untuk penyakit yang berhubungan dengan masalah
pencernaan (Aritjahja,2011). Kandungan antioksidan dan potasium yang tinggi
pada daun kelor juga bermanfaat untuk mengobati kanker. Antioksidan akan
bermanfaat dalam menghalangi perkembangan sel-sel kanker sedangkan potasium
berfungsi untuk menyingkirkan sel-sel kanker. Selain itu, asam amino yang
terkandung dalam daun kelor dapat meningkatkan sistem imun (Hardiyanthi,
2015).

5. Kandungan kimia
Daun kelor memiliki berbagai kandungan yaitu flavonoid, alkaloid, saponin,
triterpenoid, tanin(Fuglie,2001)
5.1 Flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit
sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid
termasuk golongan fenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6, artinya kerangka
karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan
oleh rantai alifatik tiga karbon (Redha 2010). Flavonoid terutama berupa senyawa
yang larut dalam air, sebagian dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada
dalam lapisan air setelah lapisan ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi.
Flavonoid berupa senyawa fenol, Karena itu warnanya berubah jika ditambah
basa atau ammonia (Octavia 2009).
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri karena kemampuannya dalam
membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan dinding sel bakteri.
Mekanisme kerjanya dengan cara mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak
membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Prayudhani et al. 2012).
5.2 Alkaloid. Alkaloid adalah golongan senyawa yang bersifat basa,
mengandung satu atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan berbentuk
siklik, dan dapat bereaksi dengan pereaksi alkaloid. Menurut Harborne (1987)
alkaloid umumnya berbentuk kristal padat dan sebagian kecil bersifat cair,
memutar bidang polarisasi dan terasa pahit. Alkaloid bentuk bebas atau basanya
mudah larut dalam pelarut organik dan sukar larut dalam air. Senyawa ini dapat
terdeteksi keberadaannya dengan menggunakan pereaksi Dragenfroff, Mayer, dan
Bauchardat (Hasiholan 2012). Senyawa alkaloid mempunyai mekanisme
penghambatan dengan cara menggangu komponen penyusun peptidoglikan pada
sel mikroorganisme, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel tersebut (Nimah et al. 2012).
5.3 Saponin. Saponin adalah suatu glikosida alamiah yang terikat dengan
steroid atau triterpena yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat
seperti sabun serta dapat dideteksi berdarkan kemampuannya membentuk busa
dan menghemolisa sel darah merah (Harborne 1996). Pada umumya saponin
bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi dengan asam (sukar
larut dalam air) dan sebagian kecil ada yang bereaksi dengan basa (Hasiholan
2012). Sifat-sifat saponin adalah mempunyai rasa pahit menusuk dan
menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir, dalam larutan air
membentuk busa yang stabil, menghemolisa eritrosit, bersifat racun bagi hewan
berdarah dingin (Prihatna 2001). Saponin bersifat antibakteri dan antivirus,
senyawa ini sering disebut “deterjen alam” dapat meningkatkan sistem kekebalan
tubuh, menghambat kerja enzim proteolitik pada sistem pencernaan manusia,
mengurangi kadar gula dan pengumpalan darah (Beatrice 2010). Mekanisme
kerja saponin sebagai agen antibakteri adalah menghambat fungsi membran sel
sehingga merusak permeabilitas mebran yang mengakibatkan dinding sel rusak
atau hancur (Ayuningtyas 2008).
5.4 Triterpenoid. Terpenoid yang terkandung dalam tumbuhan biasanya
digunakan sebagai senyawa aromatik dan merupakan suatu senyawa yang
terbentuk dari satuan isoprene, sementara terpen mengacu khusus ke hidrokarbon.
Terpenoid mempunyai manfaat penting sebagai obat tradisional, anti bakteri, anti
jamur dan gangguan kesehatan (Thomson, 1993). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa senyawa terpenoid dapat menghambat pertumbuhan dengan
mengganggu proses terbentuknya membran dan atau dinding sel, membran atau
dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna (Ajizah, 2004)
5.5 Tanin. Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang
terdapat pada tanaman dan disintesis oleh tanaman. Tanin tergolong senyawa
polifenol yang karakteristiknya dapat membentuk senyawa kompleks. Tanin larut
dalam pelarut organik polar namun tidak larut dalam pelarut organik non polar
(Jayanegara et al.2008).
Tanin terletak di dalam tumbuhan terpisah dari protein dan enzim
sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak dapat terjadi reaksi penyamakan. Tanin
merupakan senyawa fenol berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri
dengan memunculkan denaturasi protein dan menurunkan tegangan permukaan
(Sudirman 2014). Tanin memiliki mekanisme penghambatan bakteri dengan
membentuk kompleks polisakarida yang dapat merusak dinding sel bakteri
(Nurhalimah et al. 2014).

B. Simplisia
1. Pengertian simplisia
Simplisia merupakan bahan alami untuk obat yang telah dikeringkan dan
belum mengalami proses apapun. Simplisia dibagi menjadi 3 golongan, yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral. Simplisia
nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat
tanaman. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau bagian hewan
yang masih berupa zat kimia murni. Simplisia mineral adalah simplisia berupa
bahan mineral yang belum diolah dengan cara sederhana (Gunawan dan Mulyani
2004). Faktor yang mempengaruhi yaitu bahan baku simplisia, proses pembuatan
simplisia, cara penyimpanan bahan baku simplisia dan cara pengepakan.
Persyaratan minimal simplisia harus terpenuhi untuk menjamin keseragaman
senyawa aktif, dari kemampuan maupun kegunaannya (Depkes RI 2010).
2. Pengumpulan simplisia
Pengumpulan dan pemanenan herba pada umumnya ketika herba telah
berbunga. Pengumpulan herba sebaiknya dilakukan pada saat cuaca kering, bila
kondisi basah akan menurunkan mutunya (Depkes RI 2007).
3. Pencucian dan pengeringan simplisia
Pencucian dilakukan bertujuan untuk memisahkan kotoran dari simplisia.
Proses ini dilakukan menggunakan air bersih. Bahan simplisia mengandung zat
yang mudah larut dalam air sehingga pencucian harus dilakukan secara tepat dan
cepat (Ningsih 2016). Pengeringan secara alami dapat dilakukan dengan
menggunakan panas sinar matahari langsung. Cara ini dilakukan untuk
mengeringkan bagian tanaman yang relatif keras seperti kayu, biji dan simplisia
dengan kandungan senyawa aktif yang stabil apabila terkena panas. Pengeringan
alamiah lainnya adalah dengan cara diangin-anginkan, cara ini dipakai untuk
mengeringkan bagia tanaman yang lunak seperti daun dan bunga. Tujuan dari
pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dan untuk mengantisipasi
timbulnya bakteri serta jamur. Dalam pengeringan simplisia yang harus
diperhatikan adalah jenis bahan, suhu pengeringan dan waktu pengeringan, agar
simplisia tidak mudah rusak (Gunawan dan Mulyani 2004)

C. Metode Penyarian
1. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larutsehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa
aktif yang terdapat dalamberbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Senyawa aktif yang dikandung
simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat
(Depkes RI 2000). Pelarut yang diinginkan dalam ekstrasi harus dipilih
berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimal dari zat
aktif dan seminimal mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Ansel 1989).
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstrasi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Depkes RI 2000)
2. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif,
akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di
dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat yang didesak keluar.
Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia
yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak
mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari. Cairan penyari
yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%. Pelarut yang digunakan
etanol 70%, karena etanol 70% tidak menyebabkan pembengkakan membran sel
dan memperbaiki stabilitas bahan obat yang larut. Keuntungan lainnya adalah
sifatnya mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim.
Keuntungan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan
sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian maserasi adalah pengerjaannya lama
dan penyariannya kurang sempurna (Depkes RI 1986).
3. Fraksinasi
Fraksinasi adalah suatu cara untuk memisahkan golongan utama kandungan
satu dari golongan utama lainnya berdasarkan kepolarannya.Jumlah dan jenis
senyawa yang telah dipisahkan akan terjadi fraksi yang berbeda-beda. Senyawa-
senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar, begitu pula senyawa
yang bersifat non polar akan masuk ke pelarut non polar dan senyawa semi polar
akan masuk ke pelarut semi polar (Harborne 1987).
4. Pelarut
4.1 Etanol. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida,
kumarin, flavonoid, antrakuinon, steroid, dan klorofil. Lemak, malam, tanin,
dan saponin hanya sedikit larut. Etanol dipertimbangkan sebagai larutan
penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman kulit tidak dapat tumbuh
dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat
bercampur dengan air, pada skala perbandingan, panas yang diperlukan lebih
sedikit (Depkes RI 1986).
4.2 n-Heksan. Pelarut n-Heksan adalah hasil penyulingan minyak tanah yang
telah bersih terdiri dari satu campuran rangkaian hidrokarbon, tidak berwarna
atau pucat, transparan, bersifat volatile, mudah terbakar, bau karakteristik,
tidak dapat larut dengan air, dapat larut dengan alkohol, benzen, kloroform,
eter. Senyawa yang dapat larut dengan pelarut n-Heksan, yaitu senyawa yang
bersifat non polar seperti terpenoid, triterpenoid dan sterol, alkaloid dan fenil
propanoid (Martindale 1993; Depkes RI 1987).
4.3 Etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar, mudah terbakar, dan
mudah menguap, maka penyimpanannya dalam wadah tertutup rapat dan
terhindar dari panas. Etil asetat merupakan cairan jernih, tidak berwarna, bau
khas seperti buah, dan larut 15 bagian air. Etil asetat dapat bercampur dalam
eter, etanol dan kloroform. Senyawa yang larut kedalam pelarut ini adalah
flavonoid (Depkes RI 1979; Harbone 1987).
4.4 Air. Air dipertimbangkan sebagai pelarut karena stabil, tidak mudah
menguap, tidak mudah terbakar, tidak beracun, dan alamiah. Air dapat
melarutkan enzim sehingga enzim yang terlarut dengan adanya air akan
menyebabkan reaksi enzimatis, yang mengakibatkan penurunan mutu tetapi
dengan adanya air dapat mempercepat proses hidrolisis. Penggunaan air
sebagai cairan penyari kurang menguntungkan disamping zat aktif ikut
tersari juga zat lain yang tidak di perlukan mengganggu proses penyarian
(Depkes RI 1986).

D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode pemisahan
secarafisikakimia. Pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip adsorbsi dan
partisi, yang ditentukan oleh fase diam (adsorban) dan fase gerak (eluen).
Komponen kimia bergerak naik mengikuti fase gerak karena daya serap adsorben
terhadap komponen – komponen kimia tidak sama. Komponen kimia dapat
bergerak dengan kecepatan yang berbeda berdasarkan tingkat kepolarannya hal
inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahan.
Fase diam dalam KLT juga disebut sebagai lapisan penjerap. Sifat – sifat
umum dari penyerap untuk KLT adalah ukuran partikel dan homogenitasnya.
Diameter partikel berkisarantara 10-30 µm.Semakin kecil ukuran rata-rata partikel
fase diam,maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya
(ka). Lapisan yang kering mempunyai wajah yang seragam dan membentuk ikatan
yang baik dengan penyangga jika dilihat dalam sinar jatuh dan sinar lewat. Lapisan
disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari uap
laboratoriumsebelum digunakan.Fase diam yang digunakan ada bermacam-macam
yaitu alumina, serbuk selulosa, gel sephadex, selulosa penukar ion, silika yang
dimodifikasi dengan hidrokarbon dan silika gel (ka). Silika gel menghasilkan
perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung pada cara pembuatannya.
Penjerap dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap
daya pemisahannya. Pemisahan harus digunakan suatu penjerap yang aktif dan
pelarut pengembang yang kurang polar.
Fase gerak merupakan medium yang terdiri dari satu pelarut atau lebih. Fase
gerak dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya
kapiler.Gaya kapiler tersebut menyebabkan pelarut merambat naik keatas sehingga
terjadi proses pemisahan campuran cuplikan (Stahl 1985).

E. Staphylococcus aureus

1. Sistematika bakteri
Sistematika bakteri Staphylococcus aureus menurut Holt et al 1994 adalah sebagai
berikut :
Divisi : Protophyta
Class : Scihizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Familia : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus
2. Klasifikasi bakteri
Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk bulat dengan diameter sekitar
1 µm dan biasanya hidup bergerombol seperti buah anggur. Staphylococcus aureus
tidak bergerak karena tidak mempunyai flagella dan tidak membentuk spora.
Staphylococcus aureus mudah tumbuh dalam keadaan aerobik maupun mikro-
aerobik pada suhu optimum 37ºC. Koloni pada medium padat berbentuk bulat, halus,
menonjol, dan berkilau cmembentuk pigmen berwarna kuning emas (Brooks et al
2012).
Staphylococcus aureus adalah bakteri bersifat Gram positif, biasanya tersusun
dalam rangkaian tidak beraturan seperti buah anggur. Tergolong flora normal pada
kulit dan selaput mukosa manusia, tetapi dapat menyebabkan impetigo, ruam,
imfeksi kulit, folikulitis, infeksi pada folikel rambut. Staphylococcus aureus
mengandung polisakarida dan protein yang berfungsi sebagai antigen dan
merupakan substansi penting didalam struktur dinding sel, tidak membentuk spora,
dan tidak membentuk glagel (Radji 2013).
Staphylococcus aureus relatif resisten terhadap pengeringan dan terhadap
panas(tahan pada suhu 50 ºC selama 30 menit). Banyak strain resisten terhadap
penisilin karena membentuk penisilinase (beta-laktamase) suatu enzim yang
merusak penisilin dengan memecahkan cincin beta-laktam. Pembentukannya diatur
oleh plasmid yang dapat dipindahkan oleh bakteriofage (transduksi). Plasmid juga
membawa kontrol genetik resisten terhadap antibiotika lainnya, misalnya
tetrasiklin dan eritromisin (Brooks et al 2012).
Staphylococcus aureus bersifat koagulase positif, yang membedakannya dari
spesies yang lain. Protein yang menyerupai enzim yang membekukan plasma
beroksalat atau bersitrat. Staphylococcus aureus biasanya membentuk koloni
berwarna abu-abu hingga kuning emas pekat. Staphylococcus aureus tumbuh
dengan mudah pada sebagian besar media bakteriologis dengan kondisi aerob atau
mikroaerofilik, tumbuh paling cepat pada 37ºC, tetapi membentuk pigmen paling
baik pada temperatur ruang (20-25ºC). Koloni pada media solid berbentuk bulat,
halus, timbul, dan mengkilat (Brooks et al 2012).
3. Patogenesis
Staphylococcus aureus adalah anggota flora normal kulit, saluran napas, dan
saluran cerna manusia. Staphylococcus aureus juga sering ditemukan pada pakaian,
seprei tempat tidur dan barang lain yang terkontaminasi pada lingkungan manusia.
Staphylococcus aureus terdapat di hidung pada 20-50% manusia (Brooks et al
2012).
Staphylococcus aureus yang invatif dan patogenik menghasilkan koagulase
dan cenderung menghasilkan pigmen kuning serta bersifat hemolitik. Sekitar 50%
galur Staphylococcus aureus dapat menghasilkan satu atau lebih jenis
enterotoksin, seperti TSST-1, enterotoksin merupakan antigen super. Enterotoksin
bersifat stabil panas dan resisten terhadap kerja enzim usus (Brooks et al 2012).
F. Antibakteri
1. Mekanisme antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan. Dalam
penggolongannya antibakteri dikenal dengan antiseptik dan antibiotik. Berbeda
dengan antibiotik yang tidak merugikan sel-sel jaringan manusia, daya kerja
antiseptik tidak membedakan antara mikroorganisme dan jaringan tubuh.Antibiotik
adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh bakteri dan fungi. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi dalam 5 kelompok yaitu: mengganggu
metabolisme dinding sel bakteri, menghambat sintesis dinding sel bakteri,
mengganggu permeabilitas membran sel bakteri, menghambat sintesis protein sel
bakteri, menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel bakteri (Odianti
2010).
1.1 Menghambat metabolisme dinding sel bakteri. Mikroba membutuhkan
asam folat untuk kelangsungan hidupnya, bakteri patogen harus mensintesis
sendiri asam folat dari asam para amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan
hidupnya. Antibakteri bila bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam
pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam folat non fungsional,
sehingga kebutuhan asam folat tidak terpenuhi hal ini bisa menyebabkan bakteri
mati (Odianti 2010). Contoh antibiotik sulfonamide dan trimethoprim (Bakung
2014).
1.2 Menghambat sintesis dinding sel.
Dinding sel bakteri terdiri atas polipeptidoglikan. Polipeptidoglikan yaitu suatu
komplek polimer glikopeptida. Salah satu kerja antibakteri adalah menghambat
sintesis dinding sel. Struktur dinding sel dapat rusak dengan cara menghambat
pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk. Kerusakan dinding
sel bakteri akan menyebabkan terjadinya lisis (Odianti 2010). Contoh antibiotik
penisilin sefalosporin karbapenem, manobaktam, vancomysin (Bakung 2014).
1.3 Menganggu permeabilitas membran sel bakteri. Selaput sel berguna
sebagai penghalang yang selektif, meloloskan beberapa zat yang terlarut dan
menahan zat zat yang terlarut lainnya. Salah satu kerja antibakteri adalah
mengubah tegangan permukaan sehingga merusak permeabilitas selektif dari
membran sel mikroba. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai
komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat, nukleotida
dan lain alin (Odianti 2010). Contoh antibiotik polimiksin, amfoterisin B,
gramisidin, nistatin (Bakung 2014).
1.4 Menghambat sintesis protein sel bakteri. Untuk kehidupannya, bakteri
perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung ribosom dengan
bantuan mRNA dan tRNA. Salah satu kerja antibakteri adalah menyebabkan kode
pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein, akibatnya akan
terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba (Odianti
2010). Contoh antibiotik adalah aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin,
streptogamin, kloramfenikol (Bakung 2014).
1.5 Menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA) sel bakteri. DNA,
RNA dan protein memegang peranan penting dalam kehidupan normal sel. Salah
satu kerja antibakteri yang lain adalah mekanisme berikatan dengan enzim
polymerase RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim
tersebut (Odianti 2010). Contoh antibiotik yang mengganggu sintesis DNA
adalah metronidasol, kuinolon, novobiosin. Contoh yang mengganggu RNA
seperti rifampisin (Bakung 2014).

F. Uji Aktivitas Antibakteri


Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode dilusi. Metode ini
menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik
dengan media cair atau padat. Media diinokulasikan terhadap bakteri uji dan
diinkubasi. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang menghambat
dan mematikan (Brookset al. 2012).
Keuntungan metode ini adalah memberikan hasil kuantitatif yang
menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri. Hasil
yang diperoleh lebih teliti, Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi
Bunuh Minimum (KBM) dapat ditentukan, lebih mudah dan praktis. Kekurangan
metode dilusi adalah sampel yang dibutuhkan untuk percobaan harus jernih, kalau
keruh akan mempersulit pengamatan dan membutuhkan alat yang lebih banyak dan
tidak praktis (Pratiwi 2008).
G. Media
1. Pengertian
Media adalah tempat jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang
mengandung kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai bahan
yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak diri. Mikroba dapat
tumbuh dan berkembang biak dengan baik, didalam media diperlukan persyaratan
tertentu, yaitu media harus mengandung semua unsur hara yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Media harus mempunyai tekanan
osmosa, tegangan permukaan dan pH yang sesuai dengan kebutuhan mikroba.
Media harus dalam keadaan steril artinya sebelum ditanami mikroba yang
dimaksud, tidak ditumbuhi mikroba lain (Abdurahman 2008)
2. Macam-macam media
Menurut konsistensinya media dapat dibedakan menjadi medium cair, medium
padat dan medium setengah padat. Pertama, medium cair seperti kaldu nutrient
atau kaldu glukosa dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti perbiakan
organisme dalam jumlah besar, penelaahan fermentasi dan berbagai macam uji.
Kedua, medium padat, dapat ditambahkan bahan pemadat kedalam medium kaldu.
Biasanya digunakan untuk mengamati penampilan atau morfologi koloni dan
mengisolasi biakan murni. Ketiga, medium setengah padat, digunakan untuk
menguji ada tidaknya motilitas dan kemampuan fermentasi. Medium setengah
padat mengandung gelatin ataupun agar-agar namun konsentrasi lebih kecil dari
pada medium padat (Hadioetomo 1985).

H. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan suatu tindakan untuk membebaskan alat dan media dari
mikroba. Cara sterilisasi yang umum dilakukan meliputi sterilisasi secara fisik
yaitu pemanasan basah dan kering, penggunaan sinar bergelombang pendek seperti
sinar-X, sinar α, sinar gamma dan sinar UV. Sterilisasi secara kimia yaitu
penggunaan desinfektan, larutan alkohol, larutan formalin. Sterilisasi secara
mekanik yaitu penggunaan saringan atau filter untuk bahan yang akan mengalami
perubahan atau penguraian akibat pemanasan tinggi atau tekanan tinggi (Darmandi
2008). Bahan atau peralatan yang dipergunakan di dalam mikrobiologi harus dalam
keadaan steril, artinya pada bahan atau peralatan tersebut tidak didapatkan mikroba
yang tidak diharapkan kehadirannya, baik yang akan mengganggu atau merusak
media atapun mengganggu kehidupan dan proses yang sedang dikerjakan
(Suriawiria 2005). Media yang digunakan disterilisasi terlebih dahulu dengan
autoclav pada suhu 121°C selama 15 menit. Gelas ukur dan beaker glass
disterilkan dengan oven pada suhu 170°C -180°C selama 2 jam, sedangkan alat-
alat seperti jarum ose disterilkan dengan pemanasan api langsung. Sterilisasi inkas
menggunakan formalin (Denyer 2004).

H. Amoxicilin
Amoksisilin merupakan penisilin semisintetik yang rentan terhadap

penisilinase dan secara kimia serta farmakologis berhubungan dekat dengan

ampisilin. Antibiotik golongan penisilin bekerja dengan cara manghambat

pembentukan mukopeptida yang diperluhkan untuk sintesis dinding sel

mikroorganisme (Goodman & Gilman 2008).

Amoksisilin merupakan antibiotik golongan penisilin berspektrum luas.

Antibiotik ini stabil dalam suasana asam dan dirancang untuk penggunaan oral.

Absorbsi amoksisilin dari gastrointestinal lebih cepat dan lebih sempurna daripada

ampisilin karena absorbsi amoksisilin tidak terganggu dengan adanya makanan

dalam lambung. Spektrum antimikroba amoksisilin pada dasarnya sama dengan

ampisilin, tetapi amoksisilin tampaknya tidak begitu efektif untuk sigelosis

dibandingkan ampisilin (Goodman & Gilman 2008).

I. Landasan Teori
Menurut Aminah et al (2015) tanaman Kelor (Moringa oleifera) merupakan
salah satu jenis tanaman tropis yang mudah tumbuh di daerah tropis seperti
Indonesia. Kelor juga dikenal di seluruh dunia sebagai tanaman bergizi dan WHO
telah memperkenalkan kelor sebagai salah satu pangan alternatif untuk mengatasi
masalah gizi (malnutrisi) (Broin, 2010). Tanaman kelor berkhasiat sebagai anti
diabetes karena mengandung zeng yang tinggi seperti mineral yang sangat
dibutuhkan untuk memproduksi insulin dalam tubuh. Khasiat lainnya untuk
mengobati penyakit dalam seperti luka lambung, luka usus dan batu ginjal
dikarenakan kelor mengandung antioksidan yang sangat tinggi dan sangat bagus
untuk penyakit yang berhubungan dengan masalah pencernaan (Aritjahja,2011).
Kandungan antioksidan dan potasium yang tinggi pada daun kelor juga bermanfaat
untuk mengobati kanker. Antioksidan akan bermanfaat dalam menghalangi
perkembangan sel-sel kanker sedangkan potasium berfungsi untuk menyingkirkan
sel-sel kanker. Selain itu, asam amino yang terkandung dalam daun kelor dapat
meningkatkan sistem imun (Hardiyanthi, 2015).
Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Savitri et al (2018)
dengan ekstrasi daun kelor menggunakan metode maserasi dengsn pelarut etanol
untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Hasil yang
didapat yaitu ekstrak etanol daun kelor dalam konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan
80% mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan terlihat
terjadi peningkatan besar daya hambat bakteri seiring dengan besarnya konsentrasi
ekstrak. Sehingga hal ini berarti bahwa kandungan senyawa dalam ekstrak daun
kelor memiliki efek antimikroba.

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut


sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Metode ekstraksi yang digunakan
adalah maserasi. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke
dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di
luar sel, maka larutan yang terpekat yang didesak keluar. Keuntungan maserasi
adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah
diusahakan. Kerugian maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya
kurang sempurna (Depkes RI 1986). Cairan penyari yang digunakan dalam
penelitian ini adalah etanol 70%. Pelarut yang digunakan etanol 70%, karena etanol
70% tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas
bahan obat yang larut. Keuntungan lainnya adalah sifatnya mampu mengendapkan
albumin dan menghambat kerja enzim (Depkes RI 1986). Setelah di maserasi
dengan pelarut etanol 70% dilanjutkan dengan fraksinasi. Fraksinasi adalah suatu
cara untuk memisahkan golongan utama kandungan satu dari golongan utama
lainnya berdasarkan kepolarannya. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan
masuk ke pelarut polar, begitu pula senyawa yang bersifat non polar akan masuk
ke pelarut non polar dan senyawa semi polar akan masuk ke pelarut semi polar
(Harborne 1987). Hasil ekstraksi etanol 70% dengan metode maserasi kemudian
dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan fraksi n-heksan, eti asetat, dan air.
Tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh antibakteri ekstrak etanol 70% serta
fraksi n-heksan, etil asetat, dan air dari daun jambu air terhadap pertumbuhan
Staphylococcus aureus.
Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode dilusi. Metode ini
menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik
dengan media cair atau padat. Media diinokulasikan terhadap bakteri uji dan
diinkubasi. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang menghambat
dan mematikan (Brooks et al. 2012).
Keuntungan metode ini adalah memberikan hasil kuantitatif yang
menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri. Hasil
yang diperoleh lebih teliti, Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi
Bunuh Minimum (KBM) dapat ditentukan, lebih mudah dan praktis. Kekurangan
metode dilusi adalah sampel yang dibutuhkan untuk percobaan harus jernih, kalau
keruh akan mempersulit pengamatan dan membutuhkan alat yang lebih banyak dan
tidak praktis (Pratiwi 2008).

J. Hipotesis
Penelitian ini dapat ditarik hipotesis antara lain:
Pertama, ekstrak etanol 70%, fraksi n-heksan, etil asetat dan air dari daun kelor
(Moringa oleifera L) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan
Staphylococcus aureus
Kedua, dapat diketahui Konsentrasi Hambat Minimum(KHM) dan Konsentrasi
Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanol 70%, fraksi n-heksan, etil asetat dan air
dari daun kelor (Moringa oleifera L) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus
Ketiga, fraksi etil asetat yang paling aktif dari daun kelor (Moringa oleifera L)
terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus

Anda mungkin juga menyukai