Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Herba Seledri (Apium graveolens L)


Seledri adalah Apium graveolens L. dari suku Apiaceae. Seledri tidak hanya
dikenal di indonesia saja. Seledri mempunyai banyak nama, diantaranya
celery (Inggris), celeri (Prancis), seleri (Italia), parsley (Jerman), seledri
(Indonesia), sledri (Jawa), dan saledri (Sunda). Seledri dapat tumbuh baik di
dataran rendah maupun tinggi. Seledri biasanya ditanam di sawah dan di
ladang-ladang yang bertanah lembab dan tingginya kurang dari 1 meter.
Seledri berwarna hijau tua dengan bau dan rasa yang khas (Santoso, 2008).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Seledri

Gambar 2.1 Herba Seledri

Secara ilmiah, tanaman herba seledri diklasifikasikan sebagai berikut :


Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Magnolisia
Sub kelas : Rosidace
Ordo : Apiacedes
Famili : Apiaceae

6
7

Genus : Apium
Spesies : Apium graveolens
Nama Binomial : Apium graveolens Linn
(Fazal dan Singla, 2012)

2.1.2 Deskripsi Tanaman


Akar tanaman seledri (Apium graveolens L.) yaitu akar tunggang dan
memiliki serabut akar yang menyebar kesamping dengan radius
sekitar 5-9 cm dari pangkal batang dan akar dapat menembus tanah
sampai kedalaman 30 cm, berwarna putih kotor. Batang Seledri
memiliki batang tidak berkayu, memiliki bentuk bersegi, beralur,
beruas, tidak berambut, bercabang banyak, dan berwarna hijau. Daun
tanaman seledri daun majemuk menyirip ganjil dengan anak daun 3-7
helai, anak daun bertangkai yang panjangnya 1-2,7 cm tangkai daun
berwarna hijau keputih- putihan, helaian daun tipis dan rapat pangkal
dan ujung daun runcing, tepi daun beringgit, panjang 2-7,5 cm, lebar
2-5 cm, pertulangan daun menyirip, daun berwarna hijau muda sampai
hijau tua. Bunga tanaman seledri adalah bunga majemuk berbentuk
payung berjumlah 8-12 buah kecil-kecil berwarna putih tumbuh
dipucuk tanaman tua. Pada setiap ketiak daun dapat tumbuh sekitar 3-
8 tangkai bunga, pada ujung tangkai bunga ini membetuk bulatan.
Setelah bunga dibuahi akan terbentuk bulatan kecil hijau sebagai buah
muda, setelah tua buah berubah warna menjadi coklat muda. Buah
tanaman seledri berbentuk bulatan kecil hijau sebagai buah muda,
setelah tua buah berubah warna menjadi coklat muda (Haryoto,
2009).

2.1.3 Kandungan Herba Seledri


Kandungan kimia dalam herba seledri adalah flavonoid, tanin, minyak
atsiri, alkaloid, apiin, glukosida, lipase, saponin, kolin, apigenin
(Hariana, 2006).
8

2.1.3.1 Tanin mempunyai efek farmakologis dan fisiologis yang


berasal dari senyawa kompleks. Pembentukan ini didasari dari
rantai hidrogen dan interaksi hidrofobik antara tanin dan
protein. Tanin merupakan senyawa aktif yang memiliki
aktifitas antibakteri. Mekanisme kerja dari senyawa ini adalah
menghambat aktivitas beberapa enzim untuk menghambat
rantai ligan dibeberapa reseptor. Mekanisme kerja tanin
sebagai antimikroba berhubungan dengan kemampuan tanin
dalam menginaktivasi adhesin sel mikroba (molekul yang
menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel.
Tanin memiliki sasaran terhadap polipeptida dinding sel yang
menyebabkan kerusakan pada dinding sel. Tanin dalam
konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan pada konsentrasi tinggi tanin bekerja sebagai
antimikroba dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan
protoplasma kuman, sehingga terbentuk ikatan yang stabil
dengan protein kuman dan pada saluran pencernaan, tanin juga
diketahui mampu menggugurkan toksin (Sudirman, 2014).
2.1.3.2 Flavonoid merupakan suatu kelompok senyawa fenol yang
terbesar ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan
zat warna merah, ungu, dan biru, dan sebagian zat warna
kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid
mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom
karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu
rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-
C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni
1,3-diarilpropan atau neoflavonoid. Senyawa-senyawa
flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat
oksidasi dari rantai propane dari sistem 1,3-diarilpropana.
Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis yang banyak
ditemukan dialam sehingga sering disebut sebagai flavonoida
9

utama. Banyaknya senyawa flavonoida ini disebabkan oleh


berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau glikosilasi dari
struktur tersebut. Flavonoid merupakan senyawa polar karena
memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersub stitusi.
Pelarut polar seperti etanol, metanol, etilasetat, atau campuran
dari pelarut tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak
flavonoid dari jaringan tumbuhan (Rijke, 2005).

Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri karena flavonoid


mempunyai kemampuan berinteraksi dengan DNA bakteri dan
menghambat fungsi membran sitoplasma bakteri dengan
mengurangi fluiditas dari membran dalam dan membran luar
sel bakteri. Akhirnya terjadi kerusakan permeabilitas dinding
sel bakteri membran dan membran tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, termasuk untuk melakukan perlekatan
dengan substrat. Hasil interaksi tersebut menyebabkan
terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri,
mikrosom dan lisosom. Tujuh belas ion hidroksil secara kimia
menyebabkan perubahan komponen organik dan transport
nutrisi sehingga menimbulkan efek toksik terhadap sel bakteri
(Sudirman, 2014).

Gambar 2.2 Struktur Flavonoid

Flavonoid dapat menginhibisi sintesi asam nukleat, sehingga


menyebabkan pertumbuhan sel bakteri terhambat, flavonoid
10

juga bekerja secara langsung pada membran barier sel bakteri,


yang menyebabkan kebocoran sel. Flavonoid pada kadar
rendah, akan membentuk kompleks lemah dengan protein
bakteri, kemudian menyebabkan presipitasi dan denaturasi
protein bakteri, sedangkan pada kadar yang tinggi, flavonoid
akan menyebabkan koagulasi protein bakteri, dan
menyebabkan membran sitoplasma lisis (Wardhani dan Nanik,
2012).
Hasil penelitian yang didapatkan oleh Parubak 2013 mengenai
hasil penentuan kadar senyawa aktif flavonoid sebesar
0,3680%. Hasil fraksinasi dari ekstrak etil asetat diperoleh 4
fraksi, fraksi 1 dan 2 positif mengandung flavonoit.
Berdasarkan hasil UV-Vis maka dapat disimpulkan bahwa
daun akway mengandung senyawa flavanoit golongan
flavonon yang mempunyai gugus fungsi OH terikat, CH
alifatik, C -O, C -C aromatik, C -O dan C- H aromatik.
Pengujian dari ekstrak etil asetat psda fraksi 1 dan 2
menunjukkan bahwa mempunyai potensi sebagai senyawa anti
bakteri.
2.1.3.3 Minyak atsiri memiliki kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri. Proses denaturasi protein melibatkan
perubahan dalam stabilitas molekul protein dan menyebabkan
perubahan struktur protein dan terjadi proses koagolasi. Protein
yang mengalami proses denaturasi akan kehilangan aktifitas
fisiologi dan dinding sel akan meningkatkan permeabilitas sel
sehingga akan terjadi kerusakan (Sudirman, 2014).
2.1.3.4 Alkaloid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara
mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel
bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara
utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. Selain itu,
didalam senyawa alkaloid terdapat gugus basa yang
11

mengandung nitrogen akan bereaksi dan mempengaruhi DNA


bakteri. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan
struktur dan susunan asam amino, sehingga akan menimbulkan
kerusakan dan mendorong terjadinya lisis sel bakteri yang akan
menyebabkan kematian sel (Gunawan et al., 2008).

2.1.4 Manfaat Herba Seledri


Manfaat herba seledri untuk memperlancar pencernaan, penyembuhan
demam, flu, penambah nafsu makan, penurun tekanan darah tinggi,
antihipertensi, antioksidan, antiketombe, dan anti inflamas (Fazal dan
Singla, 2012).
2.2 Simplisia
2.2.1 Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan yang ilmiah digunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan
lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan
menjadi simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau
mineral (Samudra, 2014).

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan untuk obat dan belum
mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain
umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan
obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai
bahan obat atau produk (Meilisa, 2009).

2.2.2 Jenis Simplisia


2.2.2.1 Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh,
bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan
adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi
sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau
12

senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan


dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni
(Samudra, 2014).
2.2.2.2 Simplisia Hewani
Simplisia hewani adalah pengolahan simplisia utuh, atau
belum berupa zat kimia murni. Sedangkan simplisia mineral
adalah simplisia berasal dari bumi, baik telah diolah atau
belum, tidak berupa zat kimia murni (Melinda, 2014).

2.2.2.3 Simplisia Mineral


Simplisia mineral adalah simplisia yang berasal dari bumi,
baik telah diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni
(Meilisa, 2009).

2.2.3 Pengolahan Simplisia


Proses awal pembuatan simplisia ekstrak adalah tahapan pembuatan
serbuk simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk
simplisia dengan perekatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu.
Proses ini dapat dipengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal
yaitu makin halus serbuk simplisia proses ekstrak dengan dasar
beberapa hal yaitu makin halus serbuk simplisia proses ekstraksi
makin efektif, efisien namun makin halus serbuk maka makin rumit
secara teknologi peralatan untuk tahap filtrasi. Selama penggunaan
peralatan penyerbukan dimana ada gerakan atau interaksi dengan
benda keras (logam) maka akan timbul panas (kalori) yang dapat
berpengaruh pada senyawa kandungan. Namun hal ini dapat
dikomperasi dengan penggunaan nitrogen cair (Melinda, 2014).

Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu dalam mengelola


simplisia sebagai bahan baku pada umumnya melakukan tahapan
kegiatan sebagai berikut :
13

2.2.3.1 Sortasi Basah


Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran
atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya
simplisia yang dibuat dari akar tanaman obat, bahan asing
seperti tanah, kerikil, rumput, batang, herba, akar yang telah
rusak, serta pengotoran lainnya. Tanah yang mengandung
bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh
karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikat dapat
mengurangi jumlah mikroba awal (Melinda, 2014).

2.2.3.2 Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian
dilakukan dengan air bersih. Bahan simplisia yang
mengandung zat mudah larut dalam air yang mengalir,
pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu yang singkat
(Melinda, 2014).

2.2.3.3 Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan bahan
simplisia dilakukan untuk memperoleh proses pengeringan,
pengepakan, dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan
dikeringkan maka semakin cepat penguapan air. Akan tetapi
irisan yang tipis juga menyebabkan berkurangnya atau
hilangnya zat yang berkhasiat yang mudah menguap, sehingga
mempengaruhi komposisi, bau, rasa yang diinginkan (Melinda,
2014).

2.2.3.4 Pengeringan
Untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak,
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Dengan
14

mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan


dicegah penurunan mutu atau perusak simplisia. Proses
pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik
dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%.
Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan yaitu
suhu pengeringan, kelembaban udara, waktu pengeringan, dan
luas permukaan bahan. Suhu pengeringan yang baik adalah
tidak melebihi 60° C, tetapi bahan aktif yang tidak tahan
pemanasan atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu
rendah. Pengeringan bisa juga dengan diangin-anginkan
langsung melalui sinar matahari (Melinda, 2014).

2.2.3.5 Sortasi Kering


Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda asing
seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan atau
pengotoran lainnya yang masih ada dan tertinggal pada
simplisia (Melinda, 2014).

2.2.3.6 Penyimpanan
Simplisia perlu ditempatkan suatu wadah tersendiri agar tidak
saling bercampur dengan simplisia lain. Untuk persyaratan
wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia
adalah inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan lain,
tidak beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari
cemaran mikroba, kotoran, serangga penguapan bahan aktif
serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air (Melinda,
2014).
15

2.3 Ekstrak dan Ekstraksi


2.3.1 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penarikan senyawa dari tumbuh-
tumbuhan, hewan dan lain-lain dengan menggunakan pelarut tertentu.
Ekstraksi dilakukan dengan berbagai metode yang sesuai dengan sifat
dan tujuan ekstraksi. Proses ekstraksi digunakan sampel dalam
keadaan segar atau yang telah dikeringkan, tergantung pada sifat
tumbuhan dan senyawa yang akan diisolasi (Wilda, 2013).
Adapun metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu :
2.3.1.1 Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah perendaman bahan alam yang dikeringkan
(simplisia) dalam suatu pelarut. Metode ini dapat
menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak, serta terhindar
dari perubahan kimia senyawa-senyawa tertentu karena
pemanasan (Pratiwi, 2009).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru
dan sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan
serbuk simplisia pada suatu bejana silinder, yang bagian
bawahnya diberi sekat berpori. Proses terdiri dari tahap
pengembangan bahan, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan
(Istiqomah, 2013).

2.3.1.2 Cara Panas


a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang
16

terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin


balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna (Rahmawati, 2015).
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu
baru yang umumnya dengan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut yang relatif
konstan dengan adanya pendinginan balik (Meilisa, 2009).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan
kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur
ruangan, yaitu secara umum dilakukan temperatur 40-50°C
(Rahmawati, 2015).
d. Infusa
Infusa ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air bejana infuse tercelup dalam penangas air
mendidih, temperatur terukur 96-98°C selama waktu
tertentu (Istiqomah, 2013).
e. Dekokta
Dekokta adalah proses infusa pada waktu yang lebih lama
(suhu lebih dari 30°C) dan temperatur sampai titik didih
(Istiqomah, 2013).

2.3.2 Proses Pembuatan Ekstrak


2.3.2.1 Definisi
Proses awal pembuatan ekstrak adalah dengan pembuatan
serbuk simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat
serbuk simplisia dengan peralatan tertentu sampai derajat
kehalusan tertentu.
Pembuatan ekstrak melalui tahap sebagai berikut :
17

a. Pembasahan
Pembasahan serbuk dilakukan pada penyarian,
dimaksudkan memberikan kesempatan sebesar-besarnya
kepada cairan penyari memasuki pori-pori dalam simplisia
sehingga mempermudah penyarian selanjutnya (Istiqomah,
2013).
b. Penyari/ pelarut
Cairan penyari yang digunakan dalam proses pembuatan
ekstrak adalah penyari yang baik untuk senyawa kandungan
yang berkhasiat atau aktif. Dalam hal keamanan untuk
manusia atau hewan coba, cairan pelarut harus memenuhi
syarat kefarmasian atau dalam perdagangan dikenal dengan
kelompok spesifikasi “Pharmacentical Grade”. Aturan
pelarut yang diperbolehkan berlaku sampai saat ini yaitu
air, alkohol (etanol), atau campuran (air dan etanol)
(Istiqomah, 2013).
c. Pemisahan dan Pemurnian
Tujuannya adalah untuk menghilangkan (memisahkan)
senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin
tanpa pengaruh pada senyawa kandungan yang
dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni.
Proses-proses pada tahap ini adalah pengendapan,
pemisahan dua cairan tak tercampur, sentrifugasi,
dekantasi, filtrasi, serta proses absorbsi dan penukaran ion
(Istiqomah, 2013).
d. Pemekatan/ Penguapan
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partikel solute
(senyawa pelarut) dengan cara penguapan pelarut tanpa
sampai menjadi kering tetapi ekstrak hanya menjadi kental/
pekat (Istiqomah, 2013).
18

2.3.3 Ekstrak
2.3.3.1 Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yang terisi diperlukan sehingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Istiqomah, 2013).
Ekstrak dikelompokkan atas dasar sifatnya yaitu :
a. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi
semacam madu dan dapat dituang.
b. Ekstrak kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan
dingin dan dapat dituang, kandungan airnya berjumlah
sampai 30%.
c. Ekstrak kering adalah sediaan yang dimiliki konsistensi
kering dan mudah dituang, sebaiknya memiliki kandungan
lembab tidak lebih dari 5°.
d. Ekstrak cair adalah ekstrak yang dibuat demikiannya
sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak
cair.

2.3.4 Etanol
Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan
memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lain, etanol
mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim.
Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah bahan
pelarut yang berlainan, khususnya campuran etanol-air. Etanol sangat
efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana
bahan pengganggu hanya skala kecil yang turut ke dalam cairan
pengekstraksi (Indraswari, 2008).
19

Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai penyari adalah air,


etanol, etanol-air atau eter. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari
karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol
20% keatas, beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur
dengan air pada segala perbandingan dan panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih sedikit (Indraswari, 2008).

2.4 Bakteri
2.4.1 Definisi Bakteri
Bakteri adalah salah satu golongan prokariotik (tidak mempunyai
selubung inti). Bakteri sebagai makhluk hidup tentu memiliki
informasi genetik berupa DNA, tapi tidak terlokalisasi dalam tempat
khusus (nukleus) dan tidak ada membran inti. Bentuk DNA bakteri
adalah sirkuler, panjang dan biasa disebut nukleud. Pada DNA bakteri
tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas ekson saja. Bakteri
juga memiliki DNA ekstrakromosomal yang tergabung menjadi
plasmid yang berbentuk kecil dan sikuler (Harniza, 2009).

Berdasarkan pengecatan gram, bakteri ada 2 macam yaitu bakteri


gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif yaitu
bakteri yang memberrikan warna ungu saat diberi warna dengan
warna zat pertama (Kristal violet) dan setelah dicuci denghan alkohol,
warna ungu tersebut akan tetap kelihatan. Kemudian ditambahkan zat
warna kedua (safranin), warna ungu pada bakteri tidak berubah.
Bakteri gram negatif yaitu bakteri yang memberikan warna ungu saat
diwarnai dengan zat pewarna pertama (Kristal violet) namun setelah
dicuci dengan alkohol warna ungu akan hilang. Kemudian
ditambahkan zat warna kedua (safranin) akan menghasilkan warna
merah (Pratiwi, 2009).
20

2.4.2 Jenis Bakteri


2.4.2.1 Bentuk kokus
Kokus kuman berbentuk bulat dapat tersusun sebagai berikut:
a. Mikrokokus, tersendiri (single).
b. Diplokokus, berpasangan dua-dua.
c. Pneumokokus adalah diplokokus yang berbentuk lanset,
gonokokus adalah diplokokus yang berbentuk biji kopi.
d. Tetrade, tersusun rapi dalam kelompok empat sel.
e. Sarsina, kelompok delapan sel yang tersusun rapi
dalam bentuk kubus.
f. Sreptokokus, tersusun seperti rantai.
g. Stafilokokus, bergerombol tak teratur seperti untaian
buah anggur (Syahrurachman et al., 2010).
2.4.2.2 Bentuk bulat
Bacillus, kuman berbentuk batang dengan panjang
bervariasi dari 2-10 kali diameter kuman tersebut:
a. Kokobasilus, batang yang sangat pendek menyerupai
kokus.
b. Fusiformis, dengan kedua ujung batang meruncing.
c. Streptokokus, sel-sel bergandengan membentuk suatu
filamen (Syahrurachman et al., 2010).
2.4.2.3 Bentuk spiral
a. Vibrio, berbentuk batang bengkok.
b. Spirilium, berbentuk spiral kasar dan kaku, tidak fleksibel
dan dapat bergerak dengan flagel.
c. Spirokheata, berbentuk spiral halus, elastik dan fleksibel,
dapat bergerak dengan aksial filamen (Syahrurachman et
al., 2010).
Contohnya:
1. Borrelia, berbentuk gelombang.
2. Treponema, berbentuk spiral halus dan teratur.
21

3. Leptospira, berbentuk spiral dengan kaitan pada


satu atau kedua ujungnya (Syahrurachman et al.,
2010).

2.4.3 Penggolongan bakteri


2.4.3.1 Bakteri Gram Negatif
a. Bakteri gram negatif berbentuk batang
(Enterobacteriaceae).
b. Pseudomonas, Acinobacter, dan Bakteri Gram-negatif
lainnya.
c. Vibrio, Campylobacter, Heicobacter, dan bakteri lain
berhubungan.
d. Haemophilis, Bordetella, dan Brucella.
e. Yersinia, Francisella dan Pasteurella.
2.4.3.2 Bakteri Gram Positif
a. Bakteri Gram-positif berbentuk spora : spesies Bacillus dan
Clostridium,
b. Bakteri Gram-positf tidak membentuk spora: spesies
corynebacterium, Propionibaacterium, Listeria,
Erysipelothrix, Actinomycetes.
c. Staphyloccus.

2.4.4 Definisi Bakteri Shigella dysentriae


Shigella dysentriae merupakan bakteri gram negatif, bentuk kokobasil
dan ditemukan pada biakan muda. S. dysentriae bersifat fakultatif
anaerob tetapi paling baik tumbuh secara aerobik. Koloninya konveks,
bulat, transparan, dengan pinggir-pinggir utuh, mencapai diameter
kira-kira 2 mm dalam 24 jam (Rahmawati, 2015).

Infeksi yang disebabkan oleh S. dysentriae hampir selalu terbatas pada


saluran pencernaan, bakteri ini memproduksi eksotosin tidak tahan
22

panas yang dapat mempengaruhi saluran pencernaan dan susunan


saraf pusat. Setelah masa inkubasi yang pendek (1-2 hari) akan
menimbulkan nyeri perut, demam, dan tinja encer (Rahmawati, 2015).

2.4.5 Perbedaan Gram Positif dan Gram Negatif


Perbedaan bakteri gram positif dan negatif dapat diketahui melalui
ciri-cirinya. Bakteri gram positif hanya memiliki membran plasma
yang tunggal dengan dikelilingi dinding sel, sedangkan bakteri gram
negatif mempunyai sistem membran ganda dengan membran plasma
bakteri dilindungi membran luar permeabel.
Adapun perbedaannya dapat dilihat pada tabel 2.1 yang antara lain
sebagai berikut :

Tabel 2.1 Perbedaan Gram Positif dan Gram Negatif


Gram Positif (+) Gram Negatif (-)

Dinding sel peptidoglidan berlapis-lapis (dan Selubung sel memiliki lapisan


biasanya tebal) berayam rapat dan mengurung peptidoglidan tipis (1-3 lapis) yang
kompleks besar Kristal ungu iodium. terhubung suatu membran luar,
peptidoglidan tidak terayam rapat,
sehingga mudah kehilangan kompleks
Kristal ungu iodium pada proses
pelunturan dengan alkohol.

Bakteri gram positif tidak memiliki membran Membran luarnya memiliki


luar maka tidak memiliki penghalang (barrier) lipopolisakarida, yang paling sering
hidrofobik untuk membatasi jalan masuk untuk dikeluarkan pada saat kematian sel dan
antibiotika besar. memiliki komponen toksik.

Contoh : Bacillus, Staphylococcus, Contoh : Neisseria, Moraxella, Brucella,


Sterptococcus, Peptostreptococcus, Clostridium, Francisella, Bordetella dan sebagainya.
Enterococcus, dan lain sebagainya.

(Sumber: Jonshon & Arthur, 2011)


23

2.5 Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan. Dalam
penggolongannya antibakteri dikenal dengan antiseptik dan antibiotik.
Berbeda dengan antibiotik yang tidak merugikan sel-sel jaringan manusia,
daya kerja antiseptik tidak membedakan antara mikroorganisme dan jaringan
tubuh. Namun pada dosis normal praktis bersifat merangsang kulit.
Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungsi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang
dibuat secara semi sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua
senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Kirana, 2010).

2.5.1 Struktur Kimia


2.5.1.1 Antibiotik Beta-Laktam
Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat
yang mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin,
sefalosporin, monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta
laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya
bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap
organisme Gram -positif dan negatif. Antibiotik beta-laktam
mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat
langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu
heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada
dinding sel bakteri (Kemenkes,2011).
2.5.1.2 Aminoglikosida
Amonoglukosida adalah sekelompok obat-obatan bakterisid
yang berasal dari berbagai spesies Streptomyces dan
mempunyai sifat kimiawi, antimikroba, farmakologi dan efek
toksik yang sama. Selain gentamisin, yang termasuk golongan
aminoglikosida adalah streptomisin, kanamisin, neomisin,
amikasin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, dll . Namun saat ini
24

yang paling sering digunakan seperti gentamisin, tobramisin


dan amikasin (Katzung et al, 2002).

Aminoglikosida adalah salah satu antibiotik pilihan untuk


menangani infeksi serius. Penggunaan antibiotik ini
diindikasikan karena mempunyai spektrum luas terutama
terhadap infeksi kuman aerob gram negatif, dan berefek
sinergis terhadap gram positif bila dikombinasikan dengan
antibiotik lain (misalnya β-laktam) (Martin dan Rose, 2005).
2.5.1.3 Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah suatu grup senyawa yang terdiri dari 4 cincin
yang berfungsi dengan suatu sistem ikatan ganda konjugasi.
Perbedaannya yang kecil yaitu dalam efektivitas klinik
menunjukan variasi farmakokinetik secara individual akibat
subsitusi pada cincin−cincin tersebut (Mycek et al.,2001).

Antibiotik golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat


menghambat berbagai bakteri Gram-positif, Gramnegatif, baik
yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain
seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies
mikobakteria. Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini
adalah tetrasiklin,doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan
klortetrasiklin (Kemenkes, 2011)
2.5.1.4 Kloromfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas,
menghambat bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan
anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma. Kloromfenikol
terdiri dari kloromfenikol dan tiamfenikol. Kloramfenikol
mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit
ribosom 50S. Efek samping yang ditimbulkan adalah supresi
sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik pada anak,
25

pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam


(Kemenkes, 2011)
2.5.1.5 Makrolida
Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat
menghambat beberapa Enterococcus dan basil Grampositif.
Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten terhadap
makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela.
Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H.
influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar.
Keduanya juga aktif terhadap H. Pylori (Kemenkes, 2011).
Makrolida mengikat secara irreversible pada tempat subunit
50S ribosom bakteri, sehingga menghambat langkah translokasi
sintesisi protein (Mycek et al., 2001).
2.5.1.6 Polipeptida
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik
polipeptida, yang utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus
dan basil Gram-positif, Neisseria, H. influenzae, dan
Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Basitrasin
tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk
topikal. Basitrasin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada
beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin
dan/atau polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila
memasuki sirkulasi sistemik (Kemenkes, 2011)
2.5.1.7 Antibiotik Lain
Vankomisin adalah suatu glikopeptida trisiklik yang penting
karena efektivitasnya terhadap organisme resisten multi-obat
seperti stafilokokus resisten metilisin. Masyarakat kesehatan
sekarang ini prihatin tentang laporan adanya resistensi
vankomisin pada strain ini (Mycek et a.l., 2001).
26

Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama


aktif terhadap bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya
diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh S. aureus
yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-
negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin.
Vankomisin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh
sekitar 6 jam (Kemenkes, 2011).
2.5.1.8 Ciprofloxacin
Ciprofloxacin adalah fluorokionolo generasi ke-2 yang bekerja
menon-aktifkan produksi enzim DNAgirase dan topoisomerase
IV, dimana kedua enzim ini membantu dalam sintesis DNA
dan protein bakteri. Obat ini bekerja pada bakteri gram negatif
dan gram positif. Suhu penyimpanan 2-8°C, di dalam wadah
kedap udara dan terlindung dari cahaya. Sifat bakterisida dari
ciprofloxacin menghasilkan penghambatan enzim
topoisomerase II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV, yang
diperlukan untuk replikasi DNA bkteri, transkip, perbaikan dan
rekombinasi. Ciprofloxacin telah digunakan utuk mengobati
berbagai macam infeksi, termasuk infeksi saluran kemih, aliran
darah, usus atau saluran pernafasan (Jaktaji dan mohiti, 2010).

Besarnya zona hambat, kekuatan antibakteri dibagi menjadi 4


kelompok yaitu sangat kuat bila zona hambat > 20 mm berarti
sangat kuat, zona hambat berukuran 11-20 mm termasuk kuat,
untuk kategori sedang berukuran 6-10 mm dan yang lemah
zona hambat < 5 mm (Susanto et al, 2012).

2.6 Metode Skrining Antimikroba


Metode ini sering digunakan untuk mendeteksi aktivitas antimikroba produk
alam dibagi menjadi 3 kelompok yaitu metode difusi, metode dilusi, dan
bioautografi. Metode difusi dan bioautografi merupakan teknik secara
27

kualitatif karena metode ini hanya menunjukkan ada atau tidaknya senyawa
dengan aktivitas antimikroba. Sedangkan metode dilusi digunakan untuk
kuantitatif yang akan menentukan konsentrasi hambat minimum (Choma et
al., 2010).
2.6.1 Metode Difusi
Pada metode ini, penentuan aktivitas didasarkan pada kemampuan
difusi dari zat antimikroba dari lempeng agar yang telah
diinokulasikan dengan mikroba uji. Hasil pengamatan yang diperoleh
berupa ada atau tidaknya zona hambatan yang terbentuk disekeliling
zat antimikroba pada waktu tertentu masa inkubasi (Brooks et
al.,2007).
Metode difusi dibagi menjadi tiga, yaitu difusi cakram, difusi silinder
dan hole plate. Dalam prosedur cakram, kertas cakram berdiameter ±
6 mm yang mengandung senyawa uji ditempatkan pada permukaan
agar yang sebelumnya diinokulasi dengan mikroorganisme uji.
Senyawa uji berdifusi ke medium agar menyebabkan perhambatan
pertumbuhan mikroorganisme. Cawan petri diletakkan pada suhu
kamar sebelum inkubasi, kemudian zona hambat diukur. Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM) ditentukan secara visual, karena uji
senyawa konsentrasi terendah, yang dapat menyebabkan zona hambat
pertumbuhan dapat dikenali. Namun, metode difusi kurang cocok
untuk menentukan nilai KHM daripada dilusi, karena tidak mungkin
mengukur jumlah senyawa uji yang berdifusi kedalam medium agar
(Choma et al., 2010).
2.6.1.1 Metode silinder
Metode ini dilakukan dengan mencampur media agar dengan
larutan uji menggunakan berbagai konsentrasi. Campuran yang
ada kemudian dituangkan kedalam cawan petri yang
diletakkan dengan posisi miring kemudian dituangkan nutrisi
kedua. Plate yang ada diinkubasi selama 24 jam kemudian
28

digoreskan bakteri yang akan diuji dari arah konsentrasi


tertinggi hingga konsentrasi terendah (Rahmawati, 2015).
2.6.1.2 Metode lubang atau sumuran
Metode lubang atau sumuran yaitu membuat lubang pada agar
padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak
lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang
diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan
inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada
tidaknya daerah hambatan di sekeliling lubang (Rahmawati,
2015).
2.6.1.3 Metode cakram kertas
Metode yang paling sering digunakan. Cakram kertas saring
berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan
medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji
pada permukaannya. Setelah diinkubasi, diameter zona
hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan
hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat
dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi,
ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian,
standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan
uji kepekaan dengan baik (Rahmawati, 2015).

2.6.2 Metode Dilusi


Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun
secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media
diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dilarutkan
antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji
kepekaan cara dilusi agar, memakan waktu dan penggunaannya
dibatasi pada keadaan tertentu saja (Rahmawati, 2015).
29

2.6.3 Metode Bioautografi


Prosedur pada metode bioautografi mirip dengan yang digunakan
dalam metode difusi agar. Perbedaannya adalah bahwa senyawa uji
berdifusi dari kertas kromatografi ke media agar yang diinokulasi.
Metode bioautografi dibagi lagi menjadi bioautografi kontak, imersi
dan langsung (Choma et al., 2010).

2.7 Ketentuan Daya Hambat Antibakteri


Zona hambat merupakan daerah jernih (bening) disekitar sertas cakram yang
mengandung zat antibakteri yang menunjukkan adanya sensitivitas bakteri
terhadap zat antibakteri. Zona hambat tersebut digunakan sebagai dasar
penentuan tingkat resistensi. Tingkat resistensi bakteri dibedakan menjadi 3,
yaitu : sensitif, intermediet dan resisten. Bakteri bersifat sensitif jika
terbentuk zona bening pada saat pengujian, bersifat intermediet jika terbentuk
zona bening pada saat uji dengan diameter yang kecil dan bersifat resisten
jika tidak terbentuk zona hambat sama sekali pada saat dilakukan pengujian
(Green, 2008).

Tabel 2.2 Menjelaskan Efektivitas Suatu Zat Antibakteri Menurut Susanto et


al (2013).

Diameter Zona Hambat Respon Hambatan Pertumbuhan


>20 mm Sangat kuat
11-20 mm Kuat
6-10 mm Sedang
<5 mm Lemah

2.8 Diare
2.8.1 Pengertian Diare
Diare merupakan keadaan dimana buang air besar lebih dari tiga kali
dalam sehari serta veses berbentuk encer, dapat/tanpa disertai lendir
atau darah.
30

2.8.2 Jenis-jenis diare menurut Artiani tahun 2012 adalah sebagai berikut:
2.8.2.1 Diare akut, disebabkan oleh infeksi usus, infeksi bakteri, obat-
obat tertentu atau penyakit lain. Gejala diare akut adalah tinja
cair, terjadi mendadak, badan lemas kadang demam dan muntah,
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.
2.8..2.2 Diare kronik, yaitu diare yang menetap atau berulang dalam
jangka waktu lama, berlangsung selama 2 minggu atau lebih.
2.8.2.3 Disentri adalah diare disertai dengan darah dan lendir.
31

2.9 Kerangka Konsep

Herba Seledri (Apium graveolens L)

Determinasi tanaman

Serbuk herba seledri

Maserasi dengan etanol 96%

Konsentrasi ekstrak Kontrol positif Kontrol negatif


25% 50% 75% 100% (ciprofloxacin) (etanol 96%)

Pengujian aktivitas antibakteri Difusi agar :


Sumuran
dilusi :
Dilusi cair
Aktivitas diameter zona hambat Dilusi padat

Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat


<5mm 5-10mm 10-20mm >20mm

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Ket : Diteliti
Tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai