Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Daun Sirih Hijau (Piper bettle L.)


1. Klasifikasi Daun Sirih Hijau (Piper bettle L.)
Berdasarkan ilmu taksonomi, berikut adalah klasifikasi dari tanaman sirih

hijau (Tjitrosoepomo,2010):

Regnum : Planate

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Classis : Dicotyledoneae

Ordo : Piperales

Familia : Piperaceae

Genus : Piper

Species : Piper bettle L.

2. Morfologi Daun Sirih Hijau (Piper bettle L.)


Sirih adalah nama sejenis tumbuhan merambat yang bersandar pada batang

pohon lain, yang memiliki tinggi 5-15m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan,

berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang

tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tepi rata, tulang daun melengkung,

lebar daun 2,5-10 cm, panjang daun 5-18cm, tumbuh berselang-seling, bertangkai,

dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas (Fauziah, 2007).

5
6

Gambar I.1 Tanaman sirih hijau (Piper bettle Linn) (Dalimartha, 2006).

3. Tempat Tumbuh Sirih


Sirih bisa tumbuh subur di daerah tropis dengan ketinggian 300-1.000 m di

atas permukaan laut (dpl) dan tumbuh subur pada tanah yang kaya akan zat

organik dan cukup air. Kandungan minyak atsiri dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan seperti suhu udara, kelembaban, komposisi mineral dan kandungan air

pada tempat tumbuh (Koensoemardiyah, 2010). Tumbuhan sirih (P. betle Linn.)

memerlukan iklim sejuk dan kelembapan tinggi untuk kehidupannya, dimana

apabila tanaman sirih dipaparkan pada panas yang ekstrem, daunnya akan berubah

menjadi hijau tua dan renyah. Pada iklim sejuk daun sirih akan berwarna hijau

muda (Fauziah, 2007).

4. Kandungan Kimiawi Daun Sirih Hijau


Sirih merupakan tanaman yang berasal dari famili Piperaceae yang

memiliki ciri khas mengandung senyawa metabolit sekunder yang biasanya

berperan sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh hewan (hama)
7

ataupun sebagai agen untuk bersaing dengan tumbuhan lain dalam

mempertahankan ruang hidup. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh

tanaman sirih berupa saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri triterpenoid,

minyak atsiri terdiri atas khavikol, chavibetol, karvakrol, eugenol, monoterpena,

estragol), seskuiterpen, gula, dan pati. Kandungan minyak atsiri yang terdapat

pada daun sirih juga berkhasiat sebagai insektisida alami. Disamping itu,

kandungan minyak atsiri yang terkandung di dalam daun sirih juga terbukti efektif

digunakan sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006).

Di dalam daun sirih terkandung senyawa tannin yang juga dapat berpotensi

sebagai senyawa yang berpotensi sebagai racun bagi tubuh serangga. Tannin yang

diproduksi oleh tanaman, berfungsi sebagai substansi perlindungan dalam jaringan

maupun luar jaringan. Selsin itu tannin juga bekerja sebagai zat astringent yang

dapat menyusutkan jaringan dan menutup struktur protein pada kulit dan mukosa.

Tanin umumnya tahan terhadap perombokan atau fermentasi selain itu juga dapat

menurunkan kemampuan binatang untuk mengonsumsi tanaman (Yenie, et.all,.

2013).

Saponin merupakan glukosida yang larut dalam air dan etanol, tetapi tidak

larut dalam eter. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu

stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakterilisis, jadi

mekanisme kerja saponin termasuk dalam kelompok antibakteri yang mengganggu

permeabilitas membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan membran sel


8

dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri

yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida (Darsana, 2012).

Flavonoid memiliki mekanisme kerja dalam menghambat pertumbuhan

bakteri, antara lain bahwa flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan

permeabilitas dinding sel bakteri. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari

senyawa fenol, senyawa fenol mempunyai sifat efektif menghambat pertumbuhan

virus, bakteri, dan jamur. Senyawa-senyawa flavonoid umumnya bersifat

antioksidan dan banyak yang telah digunakan sebagai salah satu komponen

bahanbaku obat-obatan. Senyawa flavonoid dan turunannya memilki dua fungsi

fisiologi tertentu, yaitu sebagai bahan kimia untuk mengatasi serangan penyakit

(sebagai antibakteri), dan anti virus bagi tanaman (Lestari, 2015).

Flavonoid memiliki mekanisme kerja dalam menghambat pertumbuhan

bakteri dengan cara inaktivasi protein pada membran sel. Struktur sel dan

membran sitoplasma bakteri sebagian besar mengandung protein dan lemak,

ketidakstabilan pada dinding sel dan membran sitoplasma bakteri menyebabkan

pengangkutan aktif, yang akan berakibat pada lolosnya makromolekul dan ion dari

sel, sehingga sel bakteri menjadi kehilangan bentuknya (Lestari, 2015).

Polifenol mampu merusak dinding sel bakteri yang memiliki kandungan

peptidoglikan dan menghambat sintesis protein sel dengan cara bereaksi dengan

enzim glukosil transferase sehingga menyebabkan pertumbuhan sel terhambat.

Polifenol pada konsentrasi tinggi dapat merusak membran sitoplasma secara total

dan mengendapkan protein sedangkan pada konsentrasi yang rendah hanya dapat
9

merusak membran sel yang mengakibatkan keluarnya metabolit atau nutrisi

penting untuk pertumbuhan bakteri dan juga menginaktifkan sistem enzim bakteri

(Purnamasari, 2012).

Polifenol merupakan senyawa yang memiliki banyak gugus fenol dan dapat

mendenaturasi protein sel serta merusak membran sel. Polifenol memiliki

kandungan yang dapat melindungi sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas,

penghambat enzim hidrolisis, oksidatif dan bekerja sebagai antibakteri (Lestari,

2015).

Kandungan kimia yang dimiliki daun sirih antara lain minyak atrisiri,

alcohol, eugenol, eugano metal eter, kariopilen dan etilbrenskatenin. Selain itu,

daun sirih juga mengandung enzim diatase, gula dan vitamin A. Minyak atsiri dari

daun serih segar sepertiga bagian terdiri dari fenol dan alkaloid yang memiliki

daya pembunuh bakteri, antioksidan, antifungsida, dan anti jamur (Dalimartha,

2006).

5. Sifat dan khasiat Daun Sirih Hijau


Daun sirih mempunyai bau aromatik khas, bersifat pedas, dan hangat.

Sirih berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, antibakteri. Bagian tanaman yang

dapat digunakan adalah daun, akar, dan bijinya. Daunnya digunakan untuk

mengobati bau mulut, sakit mata, keputihan, radang saluran pernapasan, batuk,

sariawan, dan mimisan. Sirih juga berpotensi sebagai insektisida alami yang

bersifat sebagai pestisida yang ramah lingkungan (Moerfiah dan Supomo, 2011).
10

B. Perawatan Saluran Akar


Hampir semua penyakit endodontik, baik penyakit pulpa maupun penyakit

periradikuler disebabkan oleh keberadaan bakteri (Baumgartner, 2004). Lebih dari

700 spesies bakteri ditemukan dalam rongga mulut. Bakteri tersebut masuk

melewati beberapa jalur, antara lain tubulus dentinalis, kavitas yang terbuka

secara langsung karena trauma atau kesalahan prosedur pada saat melakukan

perawatan, membran periodontal, aliran darah, restorasi yang rusak, dan jalur

lainnya (Narayana dan Vaishnavi, 2010). Beberapa penelitian telah membuktikan

bahwa hampir 90% bakteri yang ditemukan disaluran akar terinfeksi merupakan

bakteri anaerob. Salah satu contohnya adalah bakteri Enterococcus faecalis

(Ferreira et.all., 2003).

Irigasi saluran akar merupakan tahapan penting dalam menunjang

keberhasilan perawatan saluran akar, karena irigasi memudahkan pengeluaran

jaringan nekrotik, mikroorganisme dan serpihan dentin dari saluran akar terinfeksi

dengan aksi bilasan larutan irigasi. Disamping itu, larutan irigasi juga membilas

dan melarutkan timbunan endapan jaringan keras/lunak terinfeksi dibagian apikal

dan jaringan periapikal. Selain memiliki aktivitas antimikroba, larutan irigasi juga

bersifat toksik dan dapat menimbulkan rasa nyeri bila masuk ke jaringan periapical

(Tanumihardja, 2010).

Larutan irigasi yang ideal seyogyanya memiliki efek antibakteri dengan

spektrum yang luas, tidak toksik, mampu melarutkan sisa jaringan pulpa nekrotik

dan mengeluarkan smear layer selama preparasi saluran akar atau mampu
11

melarutkannya segera setelah terbentuk smear layer. Dari berbagai penelitian yang

telah dilakukan, belum ada senyawa larutan irigasi yang dapat memenuhi kriteria

yang ideal tersebut. Sebaliknya, penelitian menunjukkan pengunaan kombinasi

dari larutan irigasi tertentu dapat meningkatkan efektivitas larutan irigasi dan

mendukung keberhasilan perawatan (Tanumihardja, 2010).

C. Enterococcus faecalis
Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang banyak ditemukan di

saluran akar dan tetap bertahan di dalamnya meskipun telah dilakukan perawatan.

E. faecalis, suatu bakteri fakultatif Gram positif, dikenal sebagai spesies yang

paling resisten pada rongga mulut dan paling sering ditemukan pada kasus dengan

kelainan setelah perawatan. E. faecalis ditemukan sebanyak 20 dari 30 kasus

infeksi endodontik yang persisten pada gigi yang telah dilakukan perawatan

saluran akar (Wardhana et.all,. 2008). E. faecalis merupakan bakteri fermentative

dan terbentuk secara non-sporadis. Sel E. faecalis berbentuk ovoid dan

diameternya 0,5 sampai dengan 1um. Bakteri ini berada dalam kondisi tunggal,

berpasangan atau rantai yang pendek, dan biasanya mengalami elongasi pada arah

rantai (Suchitra dan Kundabala. 2013). Spesies ini ditemukan pada 18% dari kasus

infeksi endodontik primer, prevalensinya pada gigi dengan pengisian saluran

akarlebih tinggi lagi yaitu 67% dari kasus (Wardhana et.all., 2008).

Enterococcus faecalis dapat bertahan hidup pada berbagai tekanan yang

ada dilingkungan tempat tinggalnya, termasuk pada suhu yang ekstrim (5-65oC),
12

pH (4,5 - 10), sehingga memungkinkan bakteri ini hidup diberbagai tempat

(Wardhana et.all., 2008).

1. Klasifikasi Enterococcus faecalis


Klasifikasi Enterococcus faecalis menurut (Fisher dan Philips, 2009)

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Division : Firmicitus

Ordo : Lactobacillaes

Family : Enterococcaceae

Genus : Enterococcus

Species : Enterococcus faecalis


2. Morfologi Enterococcus faecalis
Secara etimiologi nama genus E. faecalis adalah Cocci saluran cerna. E.

faecalis merupakan nama spesiesnya untuk saat ini. Dulunya dikenal dengan

spesies Streptococcus faecalis seperti yang dijelaskan sebelumnya. Secara

taxonomy E.faecalis masuk ke dalam filum Firmicutes, kelas Bacilli, ordo

Lactobacillales, family Enterococcaceae, dan merupakan genus Enterococcus.

Merupakan gram positif dengan jenis enzim esculinase, β galactosidase, α

galactosidase, dan hippuricase. E. faecalis mampu untuk memfermentasi berbagai

macam karbohidrat seperti D-glukosa, laktosa, maltose, sukrosa, D-minatol,

gliserol, dan berbagai macam karbohidrat lainnya (Thurlow et.all., 2010).


13

Enterococcus faecalis adalah gram positif cocci yang dapat berdiri sendiri,

berpasangan, atau berbentuk rantai pendek. Merupakan bakteri fakultatif anaerob,

dapat hidup tanpa adanya oksigen. Diameter bakteri sekitar 0,5-1 μm.

Enterococcus faecalis mengkatabolisme berbagai sumber energy, antara lain

karbohidrat, gliserol, laktat, maltase, sitrat, arginine, argamatin dan asam α keto

lainnya. Bakteri ini dapat bertahan dalam lingkungan yang sangat ekstrim

termasuk Ph yang sangat alkalis. Bakteri ini memiliki antigen dinding sel grup D,

yaitu kombinasi dari asam gliserol teichoic. Peptidoglikan memiliki peran penting

untuk mempertahankan bentuk bekteri (Weaver et.all., 2011).

Gambar II.2 Morfologi bakteri Enterococcus Fecalis (Weaver et.all.,


2011).
3. Enterococcus faecalis Sebagai Salah Satu Bakteri yang Berperan dalam
Infeksi Saluran Akar
Penyebab utama infeksi pasca perawatan adalah mikroorganisme yang

persisten pada apikal saluran akar gigi yang telah dirawat. Beberapa spesies

mikroorganisme yang ditemukan pada infeksi pasca perawatan mampu bertahan pada

lingkungan yang tidak mendukung dan keterbatasan nutrisi. Penelitian menunjukkan


14

bahwa mikroflora dengan prevalensi tinggi pada infeksi persisten adalah Enterococci

dan Streptococci, kemudian Lactobacilli, Actinomyces sp., Peptostreptococci, dan

Candida. Enterococci telah dikenal sebagai bakteri yang berpotensi patogen terhadap

manusia sejak lama dan terlibat dalam infeksi saluran akar. Enterococci memiliki

kemampuan untuk tumbuh dengan atau tanpa oksigen dan bertahan pada lingkungan

dengan pH alkalin yang ekstrim (Luis, Marie, et.all., 2004)

Enterococcus faecalis merupakan salah satu dari 23 spesies Enterococci yang

telah diketahui. Enterococcus faecalis tidak membentuk spora, fakultatif anaerob,

gram positif kokus, berbentuk ovoid dengan diameter 0,5 – 1 µm, biasanya tunggal,

berpasangan atau berbentuk rantai pendek (Weaver et.all., 2011).

Gambar II.3 Gambaran koloni E. faecalis di bawah scanning electron microscope

(Weaver et. all,. 2011).

Ada tiga komponen utama yang menyusun dinding sel Enterococcus faecalis:

peptidoglikan, teichoic acid, dan polysaccharide. Dinding sel tersusun atas 40%

peptidoglikan, sementara sisanya terdiri dari polysaccharide dan teichoic acid.


15

Peptidoglikan berfungsi untuk menahan pecahnya sel yang disebabkan oleh tekanan

osmotik sitoplasmik yang tinggi (Seluck, Ahmet, 2009).

Enterococcus faecalis ditemukan sebanyak 4%−40% pada infeksi endodontikk

primer dan bertambah banyak pada lesi periradikular persisten dengan prevalensi

24%-77%. Faktor-faktor yang menyebabkan Enterococcus faecalis mampu bertahan

pada saluran akar, antara lain: bertahan terhadap ketidaktersediaan nutrisi, berikatan

dengan dentin, menginvasi tubulus dentin, mengubah respon host, menekan kerja

limfosit, bersaing dengan bakteri lain, membentuk biofilm, dan resisten terhadap

pemberian kalsium hidroksida (Seluck, Ahmet.,2009).

Dinding sel bakteri ini terdiri dari peptidoglikan 40%, sisanya merupakan

teichoic acid dan polisakarida. Sintesis peptidoglikan dihasilkan oleh keseimbangan

antara enzim polimerisasi dan hidrolik. Peptidoligan merupakan makromolekul utama

yang terlibat dalam penentuan bentuk sel dan pemeliharaanya. Zat ini juga berperan

sebagai lapisan pelindung dari kerusakan oleh tekanan osmotic sitoplasma yang

tinggi. Virulensi bakteri ini disebabkan kemampuannya dalam pembentukan

kolonisasi pada host, dapat bersaing dengan bakteri lain, resisten terhadap mekanisme

pertahanan host, menghasilkan perubahan pathogen baik secara langsung melalui

produksi toksin atau secara tidak langsung melalui rangsangan terhadap mediator

inflamasi (Jhon et.all., 2015).


16

Gambar II.4 Scaning electron microscopy saluran akar tertutup oleh biofilm E.

faecalis Agregasi sel bakteri ke tubulus dentin (Seluck, Ahmet, 2009).

Enterococcus faecalis dapat berkolonisasi dalam saluran akar dan membentuk

koloni di permukaan dentin dengan bantuan LTA, sedangkan AS dan surface

adhesion lainnya berperan pada perlekatan di kolagen. Cytolysin, AS-48, dan

bacteriosin menghambat pertumbuhan bakteri lain. Hal ini menjelaskan rendahnya

jumlah bakteri lain pada infeksi endodontic yang persisten sehingga Enterococcus

faecalis menjadi mikroorganisme dominan pada saluran akar (Busani et.all., 2004).

Virulensi Enterococcus faecalis disebabkan kemampuannya dalam

pembentukan kolonisasi pada host, dapat bersaing dengan bakteri lain, resisten

terhadap mekanisme pertahanan host, menghasilkan perubahan patogen baik secara

langsung melalui produksi toksin atau secara tidak langsung melalui rangsangan

terhadap mediator inflamasi. Faktor-faktor virulen yang berperan adalah komponen

aggregation substance (AS), surface adhesion, sex pheromones, lipoteichoic acid


17

(LTA), extracelullar superoxide production (ESP), gelatinase, hyalurodinase, AS-48

dan cytolysin (Kayaoglu, 2012).

Gambar II.5 Sebuah model penyakit endodontikk terkait dengan faktor-faktor

virulensi Enterococcus faecalis (Kayaoglu, 2012).

AS (agregation substance) membantu untuk berikatan dengan protein

extracellular matrix (ECM), termasuk kolagen tipe I yang merupakan komponen

organik utama dentin. Ikatan dengan kolagen ini kemungkinan akan menyebabkan

infeksi endodontikk. AS bersama dengan BS (binding substance) menginduksi

proliferasi sel-T, diikuti dengan pelepasan tumor necrosis factor beta (TNF-β) dan

gamma interferon (IFN-γ), kemudian mengaktifkan makrofag melepaskan tumor

necrosis factor alpha (TNF-α). Sitokin TNF-α dan TNF-β terlibat dalam resorpsi

tulang, sementara IFN-γ dianggap sebagai faktor dalam pertahanan host terhadap

infeksi, tapi pada saat bersamaan juga sebagai mediator inflamasi. IFN-γ menstimulasi

produksi agen sitotoksik nitric oxide (NO) oleh makrofag dan neutrofil dan

menyebabkan kerusakan jaringan (Kayaoglu, 2012).


18

D. Konsentrasi Hambat Minimal


Aktivitas antibakteri ditentukan oleh spectrum kerja, cara kerja dan di

tentukan pula oleh konsentrasi hambat minimum (KHM). Konsentrasi hambat

minimum (KHM) adalah konsentrasi minimum dari suatu zat yang mempunyai

efek daya hambat pertumbuhan mikroorganisme (ditandai dengan tidak adanya

kekeruhan pada tabung), setelah diinkubasikan dengan 37°C selama 18-24 jam

Penetapan KHM dapat dilakukan dengan du acara yaitu (Kuete, 2011) :


a. Cara Dilusi
Pada cara ini digunakan media cair yang telah ditambahkan zat yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri atau jamur dengan pengenceran tertentu

kemudian diinokulasikan biakan bakteri atau jamur dalam jumlah yang sama.

Respon zat uji ditandai dengan kejernihan atau kekeruhan pada tabung setelah

diinkubasi (Kuete, 2011).

b. Cara Difusi
Pad acara ini digunakan media padat yang telah dicampur dengan larutan zat

uji dengan berbagai konsentrasi. Dengan cara ini suatu cawan petri dapat digores

lebih dari satu jenis mikroba untuk memperoleh nilai KHM.

E. Konsentrasi Bunuh Minimal


KBM (Konsentrasi Bunuh Minimal) Merupakan kadar terendah dari

antimikroba yang dapat membunuh bakteri (ditandai dengan tidak tumbuhnya

kuman pada medium padat) atau pertumbuhan koloninya kurang dari 0,1 % dari
19

jumlah koloni inokulum awal (original inoculum) pada medium padat yang telah

dilakukan penggoresan sebanyak satu ose sebelumnya (Altun et al., 2014).

Anda mungkin juga menyukai